IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sifat-sifat Fisik Kompos Perubahan warna, suhu, dan pengurangan volume selama proses pengomposan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Perubahan Warna, Bau, Suhu, dan Pengurangan Volume Selama Proses Pengomposan No
Bahan kompos
MSP
Warna
Bau
Suhu (0C)
1.
Jerami
1 2 3 4 5 6
Segar – Coklat Coklat Coklat tua kehitaman Coklat tua kehitaman Coklat tua kehitaman Coklat tua kehitaman
-
43 – 47 38 – 42 37 – 39 30 – 37 29 – 30 29 – 30
2.
Kaliandra
1 2 3 4 5 6
Hijau – hitam Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam
-
52 – 61 37 – 51 38 – 54 39 – 47 36 – 40 35 – 39
3.
Sayuran
1 2 3 4 5 6
Segar – coklat tua Coklat tua kehijauan Hijau tua kehitaman Hijau tua kehitaman Hijau tua kehitaman Hijau tua kehitaman
*** *** ** -
44 – 53 35 – 46 29 – 34 27 – 29 29 – 31 29 – 29
4.
Campuran
1 2 3 4 5 6
Segar – Coklat Coklat Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman
** ** -
64 – 71 49 – 62 37 – 47 33 – 35 32 – 34 30 – 31
Pengurangan Volume kompos (%) 20 10 8 7 1 0 Jumlah 46 8 1 2 0 1 0 Jumlah 12 37 6 4 33 2 0 Jumlah 82
Jumlah Keterangan :
- = Tidak Bau ** = Bau MSP = Minggu setelah pengomposan
28 2 3 5 0 0 38
*** = Sangat Bau
Selama proses pengomposan warna bahan berubah dari warna aslinya ke arah coklat dan akhirnya menjadi coklat kehitaman setelah proses pengomposan berlangsung selama 4 minggu. Tanaman kaliandra pada minggu ke-2 telah 28
berubah menjadi hitam sedangkan sampah sayuran warna kehijauan masih nampak sampai kompos matang. Bahan jerami padi dan campuran menghasilkan kompos berwarna coklat kehitaman. Selama proses pengomposan, sampah sayuran mengeluarkan aroma yang sangat bau akibat terjadi proses dekomposisi anaerob pada minggu ke-1 an ke-2. Sedangkan bahan campuran mengeluarkan bau pada minggu pertama dan kedua pengomposan. Sementara itu, bahan jerami padi dan kaliandra tidak mengeluarkan bau. Pada pengomposan dari bahan sayuran pada minggu ke-1 sampai minggu ke-2 mengalami proses dekomposisi anaerob, akibat kadar air yang sangat tinggi sekitar 1500%. Pada kondisi seperti itu, aerasi pada bahan kompos menjadi tidak baik, kompos sangat berair dan mengeluarkan bau busuk yang sangat menyengat. Untuk menurunkan kadar air dan menghilangkan bau busuk serta merubah dekomposisi yang terjadi secara anaerob supaya menjadi aerob, maka dilakukan pembalikan setiap 3 hari sekali pada kompos. Selama proses pengomposan, suhu kompos mengalami peningkatan pada minggu pertama dan selanjutnya menurun stabil mendekati suhu ruangan. Data pengukuran suhu kompos selama proses pengomposan disajikan pada Lampiran 1. Pada minggu pertama, suhu kompos jerami padi meningkat sampai 47ºC, kompos
Suhu Kompos (0C)
kaliandra 61ºC, kompos sayuran 53ºC dan kompos campuran 71ºC. 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20
Pembalikan I
Kompos Campuran Pembalikan II
Kompos Kaliandra Kompos Jerami Kompos Sayuran
1
8
15 22 29 36 Waktu pengomposan (Hari)
43
Gambar 3. Grafik Perubahan Suhu Kompos Selama Proses Pengomposan. Berdasarkan Gambar 3 dapat dijelaskan bahwa setelah pembalikan pertama suhu kompos kaliandra naik kembali dari 37 ºC menjadi 54ºC, hal tersebut 29
disebabkan karena proses dekomposisi yang belum merata pada semua bagian kompos kaliandra dan seterusnya suhu menurun secara perlahan sampai minggu ke-6. Sedangkan suhu kompos sampah sayuran mengalami penurunan suhu lebih cepat pada minggu ke-3, penurunan tersebut diakibatkan oleh pengaruh pembalikan yang lebih sering dilakukan sehingga suhu kompos lebih cepat menurun. Jumlah kompos yang dihasilkan dari proses pengomposan diukur berdasarkan volume kompos dibandingkan dengan volume awal pengomposan, volume kompos yang dihasilkan sangat berkaitan dengan karakteristik bahan seperti : jenis tanaman, bagian tanaman, umur tanaman, dan kadar air.
120
Volume Kompos (%)
100
Kompos Kaliandra
80 60
Kompos Campuran
40
Kompos Jerami
20
Kompos Sayuran
0 0
2 4 6 Umur Kompos (Minggu)
8
Gambar 4. Grafik Penurunan Volume Kompos Terhadap Volume Awal
Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa Kompos bahan sampah sayuran mengalami penurunan volume drastis pada minggu ke-3 sekitar 33 cm, hal ini disebabkan oleh pembalikan yang sering untuk menurunkan kadar air. Seiring dengan menurunnya kadar air, maka volume kompospun ikut menurun secara drastis. Berdasarkan volume kompos yang dihasilkan, bahan tanaman kaliandra menghasilkan kompos paling banyak sebesar 88% dari bahan awal, jerami padi 54%, kompos campuran 62%. Sedangkan bahan kompos sampah sayuran pasar menghasilkan jumlah kompos paling sedikit, yaitu hanya 18%.
30
4.2. Kandungan Hara Kompos Dalam
proses
dekomposisi
bahan
organik,
C
digunakan
oleh
mikroorganisme sebagai sumber energi dan bersama N digunakan sebagai penyusun selnya. Oleh karena itu hasil analisis C, N, S menunjukkan terjadinya penurunan kadar C dan peningkatan kadar N selama proses pengomposan. Kandungan N dalam kompos meningkat selama proses pengomposan, karena terjadi mineralisasi N-organik menjadi N-mineral oleh mikroorganisme. Akan tetapi, pada kompos sampah sayuran terjadi penurunan kandungan N. Penurunan kadar N pada kompos sampah sayuran disebabkan oleh proses dekomposisi anaerob yang terjadi pada minggu ke-1 dan ke-2. Dekomposisi N-organik secara anaerob menghasilkan gas amoniak (NH3) yang menguap menyebabkan bau menyengat pada saat pengomposan. Kadar C dan N terbesar terdapat pada kompos tanaman kaliandra, diikuti oleh kompos campuran, sampah sayuran pasar, dan jerami padi. Penurunan kadar C dan peningkatan kadar N pada proses pengomposan menyebabkan terjadi penurunan nisbah C/N. Tabel 4. Hasil Analisis C, N, S, C/N Ratio No
Bahan kompos
1.
Jerami
2.
Kaliandra
3.
Sayuran
4.
Campuran
Umur kompos
C
N
S
0 MSP 2 MSP 4 MSP 6 MSP 0 MSP 2 MSP 4 MSP 6 MSP 0 MSP 2 MSP 4 MSP 6 MSP 0 MSP 2 MSP 4 MSP 6 MSP
33.49 31.07 27.57 25.22 46.02 43.74 43.09 41.94 37.17 34.90 31.04 31.81 36.87 36.80 37.92 36.16
% 1.44 1.53 2.15 2.37 3.85 3.99 4.90 4.91 3.21 2.85 2.51 2.63 2.73 3.49 4.10 3.91
0.047 0.057 0.046 0.046 0.052 0.04 0.045 0.038 0.005 0.005 0.001 0.004 0.017 0.013 0.004 0.006
C/N 23 20 13 11 12 11 9 9 12 12 12 12 14 11 9 9
Keterangan : MSP = Minggu setelah pengomposan
Kompos yang matang selain ditandai oleh warna kompos yang coklat kehitaman dan stabilnya suhu, kematangan kompos juga ditandai dengan 31
rendahnya nisbah C/N. Kecepatan penurunan nisbah C/N sangat tergantung pada kandungan C dan N bahan yang akan dikomposkan. Jika bahan organik banyak mengandung lignin atau bahan-bahan resisten lainnya dengan nisbah C/N tinggi, maka proses dekomposisi akan berlangsung lambat dibandingkan dengan bahan organik yang sedikit mengandung lignin dan memiliki nisbah C/N rendah. Perubahan nisbah C/N pada kompos segar sampai kompos matang dengan nilai akhir paling kecil sampai besar adalah tanaman kaliandra, campuran, jerami padi, dan sampah sayuran. Tabel 5. Hasil Analisis Kimia Berbagai Macam Kompos Minggu ke-6. No
Jenis kompos
1.
Jerami
kadar abu Ca Mg K Na ------------------ % ---------------42.40 0.25 0.14 1.37 0.29
2.
Kaliandra
12.02 0.80 0.79 0.59 0.07
418 243
13
3.
Sayuran
32.13 0.93 0.62 1.28 0.37 1463 200
4.
Campuran
27.24 0.65 0.69 1.46 0.29
+
-
15
144
7750
43
21
252
2170
15
25
180
1426
Fe Mn Cu Zn NH4 NO3 ------------------ ppm ------------------383 276 11 5 234 7688
915 410
Berdasarkan Tabel 5 dapat dijelaskan bahwa peningkatan bobot kadar abu mencerminkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan organiknya. Pada akhir pengomposan jerami padi memiliki kadar abu paling tinggi 42.40%, kompos sampah sayuran pasar 32.13%, kompos campuran 27.24% dan kompos kaliandra sebesar 12.02%. Hasil analisis kimia berbagai macam kompos pada minggu Ke-0, 2, 4, dan ke-6 dapat dilihat pada Lampiran 2. Kandungan unsur hara tertinggi terdapat pada kompos sampah sayuran, seterusnya kompos campuran dan kompos kaliandra. Sedangkan kompos jerami padi mengandung unsur hara paling rendah walaupun memiliki kadar abu paling tinggi hal ini dapat dijelaskan bahwa pada jerami padi terdapat 4-9% mineral silika (SiO2) dan sardi (2006) medapatkan mineral silika pada arang sekam padi sebesar 23.96%. Mineralisasi N adalah transformasi biologi dari N yang terikat secara organik menjadi N mineral (N-NH4 dan N-NO3) selama proses dekomposisi NNH4 dan N-NO3 merupakan bentuk tersedia bagi tanaman. Kandungan ion amonium (NH4+) pada kompos sampah sayuran paling tinggi dan pada kompos kaliandra paling rendah. Sebaliknya, kandungan ion nitrat (NO3-) paling besar adalah kompos kaliandra dan paling rendah pada kompos sampah sayuran. 32
Sedangkan kompos jerami padi kandungan NH4+ dan NO3- berada di antara kompos sampah sayuran dan kompos kaliandra.
4.3. Kandungan Asam Organik Hasil ekstraksi senyawa humat pada Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa, berdasarkan penampakan warna dan jumlah endapan dapat dengan mudah untuk mengetahui kandungan asam humat dan asam fulvat pada kompos. Secara kualitatif dapat dijelaskan bahwa kandungan asam fulvat paling tinggi terdapat pada kompos kaliandra dan diikuti oleh kompos campuran, jerami dan sayuran.
Gambar 5. Kandungan Asam Humat dan Fulvat pada Kompos Sedangkan untuk penentuan kandungan asam humat walaupun sudah dapat dilihat secara kualitatif, alangkah lebih baiknya bila ditentukan secara kuantitatif.
Gram
Kandungan asam humat secara kuantitatif dapat dilihat pada Gambar 6.
0.14 0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00
0.126
0.120 0.105
0.043
Jerami Kaliandra Sayuran Campuran Gambar 6. Kandungan Asam Humat per gram Kompos Kering 60ºC.
33
Berdasarkan Gambar 6 dapat dijelaskan bahwa, asam humat paling tinggi terdapat pada kompos jerami padi dan seterusnya kompos sayuran, kompos campuran dan kompos kaliandra. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, penentuan kandungan asam humat dan asam fulvat pada kompos dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Walaupun hanya sampai tahap penentuan secara kualitatif, akan tetapi kandungan asam humat dan asam fulvat sudah dapat ditentukan dan terlihat secara jelas. Penentuan asam humat dan asam fulvat seperti ini, jauh lebih mudah dan cepat dibanding dengan penentuan nilai C/N ratio dan kandungan unsur hara. Oleh karena itu, dengan melihat kandungan asam humat dan asam fulvat pada kompos, maka penentuan kualitas kompos dapat dilakukan dengan mudah dan lebih cepat.
4.4. Gugus Fungsional Kompos Hasil analisis FTIR (fourier Transform Infra Red) pada pengomposan jerami padi (Gambar 7) dapat diterangkan bahwa, pada bilangan gelombang (3750-3000)cm-1 terdapat rangkaian gugus hidroksil (OH-fenolik dan OHalkoholik) dan gugus amina (-NH). Nilai absorban pada bilangan gelombang 3363 cm-1 mengalami peningkatan pada minggu ke-2 dari absorban 0.236-0.545, tetapi gugus O-H dan N-H tersebut hilang kembali pada minggu ke-4 dan ke-6 yaitu pada absorban 0.345 dan 0.145. Pada bilangan gelombang (3000-2613)cm-1 terdapat rangkaian C-H alifatik, alkana (C-C) dan aldehid (-CO-OH). Nilai absorban pada bilangan gelombang 2909 cm-1 mengalami peningkatan pada minggu ke-2 dari absorban 0.273-0.345, tetapi gugus-gugus tersebut hilang kembali pada minggu ke-4 dan ke-6 yaitu pada absorban 0.236 dan 0.109. Pada bilangan gelombang (2000-1500)cm-1 terdapat gugus C=O (amida I, anhidrida siklik dan campuran, fenol, karboksil, karbonil ketonik), gugus C=C (olefenik, aromatik, aromatik multinuklir), rangkaian antisimetris COO dan intisimetri COO-, getaran gugus karboksil COOH, deformasi N-H dan rangkaian C=N (amida II). Nilai absorban 1659 cm-1 mengalami peningkatan pada minggu
34
ke-2 dari absorban 0.254-0.509, tetapi gugus-gugus tersebut hilang kembali pada minggu ke-4 dan ke-6 yaitu pada absorban 0.381 dan 0.145.
1090 cm-1
3363 cm-1
1659 cm-1 1500 cm-1
2909 cm-1
861 cm-1
3000 cm-1 3750 cm-1
2613 cm-1
2000 cm-1
Jerami Mentah Jerami Minggu ke-2 Jerami Minggu ke-4 Jerami Minggu ke-6
Gambar 7. Kurva FTIR Kompos Jerami Padi Pada bilangan gelombang (1500-861)cm-1 terdapat rangkaian C-C; C-OH; C-O-C
sebagai ciri khas sambungan glukosida bahan polimer dan
ketidakmurnian senyawa humat, rangkaian –NH (amino, imina), rangkaian C-H dari gugus metil, rangkaian COO, garam COOH, C=N dan deformasi N-H (amida III), sambungan ester C=O dan C-OH fenolik. Gugus-gugus fungsional pada bilangan gelombang 1090 cm-1 tersebut
mengalami peningkatan pada
minggu ke-2 dari absorban 0.49-1.218, tetapi gugus-gugus tersebut juga hilang kembali pada minggu ke-4 dan ke-6 yaitu pada absorban 0.854 dan 0.309. Berdasarkan kurva FTIR kompos kaliandra (Gambar 8) terlihat bahwa pada bilangan gelombang (3750-2590)cm-1 terdapat rangkaian gugus hidroksil (OHfenolik dan OH-alkoholik), gugus amina (-NH), C-H alifatik, CH2, CH3, dan OH ikatan hidrogen. Pada bilangan gelombang 3318 cm-1 gugus fungsional tersebut menurun pada pengomposan minggu ke-2 dari absorban 0.536-0.418. Sedangkan pada minggu ke-4, gugus-gugus tadi meningkat sampai absorban 0.630 tetapi hilang lagi pada minggu ke-6 (kompos matang) pada absorban 0.490. 35
1659 cm-1
1068 cm-1
3318 cm-1 1410 cm-1
955 cm-1
2590 cm-1
3750 cm-1
1818 cm-1
2250 cm-1
Kaliandra Mentah Kaliandra Minggu ke-2 Kaliandra Minggu ke-4 Kaliandra Minggu ke-6
Gambar 8. Kurva FTIR Kompos Kaliandra Pada bilangan gelombang (2590-1818)cm-1 terdapat rangkaian gugus C=O dari anhidrida siklik dan anhidrida campuran, pada bilangan gelombang 2250 cm1
gugus-guigus fungsional tersebut mengalami peningkatan pada minggu ke-2
dari absorban 0.081-0.209, tetapi hilang kembali pada minggu ke-4 sampai absorban 0.073 dan meningkat kembali pada minggu ke-6 dengan absorban 0.090. Pada bilangan gelombang (1818-1410)cm-1 terdapat rangkaian gugus C=O (amida I, anhidrida siklik dan campuran, fenol, karboksil, karbonil ketonik), gugus C=C (olefenik, aromatik, aromatik multinuklir), rangkaian antisimetris COO dan intisimetri COO-, getaran gugus karboksil COOH. Pada bilangan gelombang 1659 cm-1 gugus-gugus fungsional tersebut mengalami penurunan pada minggu ke-2 dan ke-4 dari absorban 0.573-0.473 dan 0.454. tetapi pada minggu ke-6, gugus-gugus yang hilang tadi timbul kembali sampai absorban 0.563. Pada bilangan gelombang (1410-955)cm-1 terdapat rangkaian antisimetris COO, garam COOH, C=N dan deformasi N-H (amida III), rangkaian C-O aromatik, sambungan ester C=O dan C-OH fenolik, rangkaian C-C; C-OH; C-OC sebagai ciri khas sambungan glukosida bahan polimer dan ketidakmurnian senyawa humat, getaran O-CH3 dan C-H aromatik. Pada bilangan gelombang 1068 cm-1 Gugus-gugus fungsional tersebut menurun pada minggu ke-2 dari 36
absorban 0.536-0.418, akan tetapi meningkat kembali setelah dikomposkan pada minggu ke-4 dan ke-6 sampai absorban 0.736 dan 0.627.
1045 cm-1
945 cm-1
3340 cm-1 1772 cm-1
2568 cm-1 3750 cm-1
2318 cm-1
Sayuran Mentah Sayuran Minggu ke-2 Sayuran Minggu ke-4 Sayuran Minggu ke-6
Gambar 9. Kurva FTIR Kompos Sayuran Berdasarkan kurva FTIR kompos sayuran (Gambar 9) terlihat bahwa pada bilangan gelombang (3750-2568)cm-1 terdapat rangkaian gugus hidroksil (OHfenolik dan OH-alkoholik), gugus amina (-NH), C-H alifatik, CH2, CH3, dan OH ikatan hidrogen. Pada bilangan gelombang 3341 cm-1 gugus-gugus fungsional tersebut mengalami peningkatan akibat dekomposisi sampai minggu ke-4 dari absorban 0.490-0.545, tetapi mengalami penurunan/hilang kembali setelah kompos matang (minggu ke-6) dengan absorban 0.354. Pada bilangan gelombang (2568-1772)cm-1 terdapat rangkaian OH hidrogen dan gugus C=O dari fenol, anhidrida siklik dan anhidrida campuran, pada bilangan gelombang 2318 cm-1 gugus-gugus fungsional tersebut timbul setelah bahan dikomposkan dan absorbannya terus meningkat sampai kompos matang dari 0.109-0.150. Pada bilangan gelombang (1772-1045)cm-1 terdapat rangkaian gugus C=O (amida I, anhidrida siklik dan campuran, fenol, karboksil, karbonil ketonik), gugus C=C (olefenik, aromatik, aromatik multinuklir), rangkaian antisimetris COO dan intisimetri COO-, getaran gugus karboksil COOH, rangkaian C-C; C-OH; C-O-C 37
sebagai ciri khas sambungan glukosida bahan polimer dan ketidakmurnian senyawa humat, dan getaran O-CH3, pada bilangan gelombang 1045 cm-1 gugusgugus fungsional tersebut mengalami penurunan pada pengomposan minggu ke-2 dari absorban 0.750-0.695. Sedangkan pada minggu ke-4
gugus-gugus
fungsional tersebut meningkat pada absorban 0.7968 tetapi menurun kembali sampai minggu ke-6 pada nilai absorban 0.654.
1068 cm-1
3318 cm-1 955 cm-1
3000 cm-
3750 cm-
1
2295 cm
1
-
1
Campuran Mentah Campuran Minggu ke-2 Campuran Minggu ke-4 Campuran Minggu ke-6
Gambar 10. Kurva FTIR Kompos Campuran Hasil analisis FTIR kompos campuran (Gambar 10) terlihat bahwa pada bilangan gelombang (3750-3000)cm-1 terdapat rangkaian gugus hidroksil (OHfenolik dan OH-alkoholik), gugus amina (NH3). Gugus-gugus fungsional tersebut dapat dilihat pada bilangan gelombang 3318 cm-1 yang mengalami peningkatan pada minggu ke-2 dari absorban 0.290-0.336, Walaupun pada minggu ke-3 terjadi penurunan pada nilai absorban 0.200, tetapi gugus O-H dan N-H tersebut meningkat kembali pada minggu ke-6 dengan nilai absorban 0.309. Pada bilangan gelombang 2295 cm-1 terdapat rangkaian gugus
C=O (amida I,
anhidrida siklik dan campuran, fenol, karboksil, karbonil ketonik), gugus C=C (olefenik, aromatik, aromatik multinuklir), rangkaian antisimetris COO dan intisimetri COO-, getaran gugus karboksil COOH, yang mengalami penurunan pada minggu ke-2 dan ke-4 dari absorban 0.181-0.154 dan meningkat kembali 38
sampai kompos matang (minggu ke-6) pada absorban 191. Pada bilangan gelombang 1068 cm-1 terdapat rangkaian C-C; C-OH; C-O-C sebagai ciri khas sambungan glukosida bahan polimer dan ketidakmurnian senyawa humat, getaran O-CH3 dan getaran C-H aromatik. Gugus-gugus fungsional ini meningkat setelah dikomposkan, walaupun sempat turun pada minggu ke-3 yaitu dari absorban 0.563-0.236 tetapi setelah minggu ke-6 gugus-gugus fungsionsl tersebut meningkat kembali sampai absorban 0.563. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya kurva FTIR menunjukkan pola perubahan dan keterkaitan gugus fungsional yang hampir sama pada tiap bahan selama proses pengomposan, tetapi memiliki absorban yang berbeda pada umur pengomposan. Pada kompos jerami padi dan sampah sayuran, gugus-gugus fungsional menurun setelah kompos matang (minggu ke-6) bila dilihat berdasarkan nilai absorbannya. Kompos matang (minggu ke-6) dari bahan kaliandra menunjukkan absorban yang tinggi pada bilangan gelombang 1068 cm-1, dimana pada bilangan gelombang tersebut sebagai ciri khas sambungan glukosida bahan polimer dan ketidakmurnian dalam senyawa humat. Sedangkan pada kompos campuran (minggu ke-6), terjadi peningkatan gugus-gugus fungsional yang ada pada bilangan gelombang 3318 cm-1 dan 1068 cm-1 walaupun nilai absorbannya lebih kecil daripada absorban pada kompos kaliandra.
39