IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Unit Pengolahan Fillet Ikan
4.1.1 Lokasi Unit Pengolahan Fillet Pada penelitian ini, lokasi unit pengolahan fillet ikan yang dijadikan tempat penelitian tersebar di Pulau Jawa.
Apabila dirinci berdasarkan provinsi dan
status penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, maka sebaran lokasi unit pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Sebaran lokasi unit pengolahan ikan (UPI) berbentuk fillet berdasarkan provinsi dan status penerapan CPB dan SPOS Status UPI No
Provinsi
1
Total UPI
BM
LM
Banten
0
1
1
2
DKI Jakarta
0
3
3
3
Jawa Barat
0
1
1
4
Jawa Tengah
15
2
17
5
Jawa Timur
0
4
4
Total
15
11
26
Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa provinsi Jawa Tengah memiliki unit pengolahan fillet ikan terbesar dengan jumlah tujuh belas, diikuti provinsi Jawa Timur empat unit dan provinsi DKI Jakarta tiga unit. Banyaknya unit pengolahan fillet ikan di tiga provinsi tersebut dikarenakan letaknya yang berdekatan dengan sumber bahan baku ikan seperti Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Nizam Zachman Muara Baru, Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan, PPI Tegal Sari, PPS Cilacap, PPN Brondong, PPN Prigi dan lain sebagainya.
32
Khusus di provinsi Jawa Tengah, dari tujuh belas unit pengolahan fillet ikan yang ada, lima belas diantaranya saat ini berhenti menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sedangkan dua unit pengolahan lainnya lanjut menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Kelima belas unit pengolahan tersebut terletak di Kawasan Tegal Sari, Kota Tegal, Jawa Tengah.
4.1.2
Kapasitas Produksi dan Tingkat Utilisasi Total kapasitas produksi terpasang seluruh unit pengolahan fillet ikan yang
dijadikan lokus penelitian adalah 176,2 ton/hari sebesar 103,5 ton/hari (Lampiran 9).
dengan realisasi produksi
Artinya, dari total kapasitas produksi
terpasang, tingkat utilisasinya baru mencapai 58,74% sehingga terdapat kapasitas menganggur atau idle capacity sebesar 41,26%. Pada unit pengolahan fillet ikan yang termasuk kelompok BM, total kapasitas produksi terpasang mencapai 83,2 ton/hari dengan realisasi produksi sebesar 53,2 ton/hari.
Artinya, unit pengolahan fillet ikan tersebut memiliki
tingkat utilitas sebesar 63,9% sehingga terdapat idle capacity sebesar 36,1%. Pada unit pengolahan fillet ikan yang termasuk kelompok LM, total kapasitas produksi terpasang mencapai 93,0 ton/hari dengan realisasi produksi sebesar 50,3 ton/hari. Artinya, pada unit pengolahan fillet ikan tersebut, memiliki tingkat utilitas sebesar 54,1% sehingga terdapat kapasitas menganggur atau idle capacity sebesar 45,9% (Lampiran 9). Kondisi idle capacity di unit pengolahan fillet milik responden kelompok BM dan LM mengakibatkan sarana pengolahan fillet tidak dapat dioperasikan secara maksimal sesuai dengan kapasitasnya.
Tingkat idle capacity yang tinggi
ini dikhawatirkan menyebabkan biaya produksi fillet menjadi tidak ekonomis karena seluruh total biaya produksi hanya dapat ditanggung oleh produk fillet yang jumlahnya kurang dari yang seharusnya. Secara umum, rendahnya tingkat utilitas pada unit pengolahan fillet ikan disebabkan oleh kurangnya bahan baku. meningkatkan
utilitas
unit
pengolahan
Oleh karena itu, fillet,
perlu
dalam upaya
dilakukan
upaya
pengembangan kemitraan antara unit pengolahan fillet ikan dengan perusahaan penangkap ikan, peningkatan mutu bahan baku
serta mengembangkan 33
diversifikasi produk fillet dari yang berbasis pada bahan baku hasil tangkapan menjadi hasil budidaya seperti patin, lele dan nila. Departemen Kelautan dan Perikanan (2009) menyatakan, pada tahun 2006, produksi lele baru mencapai 77.542 ton meningkat pada tahun 2007 menjadi 112.571 ton. Adapun patin, pada tahun 2006, produksinya hanya sebesar 31.490 ton meningkat pada tahun 2007 menjadi 79.051 ton dan nila sebesar 169.390 ton pada tahun 2006 meningkat menjadi 214.401 ton pada tahun 2007. Nurdjana (2009) menyatakan bahwa mulai periode 2009-2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mendorong peningkatan budidaya ikan patin hingga 70%, yaitu dari 132.600 ton di tahun 2009 menjadi 1.883.000 pada tahun 2014. Lebih lanjut Nurdjana (2009) menyatakan bahwa mulai periode 2009-2014, produksi ikan lele akan ditingkatkan sebesar 35%, yaitu dari 200.000 ton di tahun 2009 menjadi 900.000 ton pada tahun 2014 dan nila sebesar 27%, yaitu dari 378.300 ton di tahun 2009 menjadi 1.242.900 ton pada tahun 2014. Peningkatan produksi tersebut menggambarkan bahwa pada periode ke depan, ketersediaan bahan baku ikan patin, lele dan nila akan berlimpah. Apabila unit pengolahan fillet mendiversifikasi produk dengan bahan baku yang berasal tiga komoditas tersebut akan mendapatkan jaminan ketersediaan bahan baku, sehingga utilitas unit pengolahan fillet akan lebih besar lagi.
4.1.3 Tenaga Kerja Pengolahan Fillet Ikan Jumlah tenaga kerja yang terdapat di unit pengolahan fillet ikan kelompok BM dan LM sebanyak 2.432 orang dengan komposisi tenaga kerja laki-laki sebanyak 690 orang (28,37%) dan perempuan sebanyak 1.742 orang (71,63%) (Lampiran 10). Apabila dilihat dari penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, unit pengolahan fillet ikan yang termasuk kelompok BM menyerap tenaga kerja dengan jumlah 892 orang dengan komposisi tenaga kerja laki-laki sebanyak 181 orang (20,29%) dan tenaga kerja perempuan 711 orang (79,71%). Pada unit pengolahan fillet ikan yang termasuk kelompok LM, jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 1.540 orang dengan komposisi tenaga kerja laki-laki sebanyak
34
509 orang (33,05%) dan tenaga kerja perempuan dengan jumlah 1031 orang atau (66,95%) (Lampiran 10). Mayoritas tenaga kerja laki-laki yang berkerja di unit pengolahan fillet ikan melaksanakan proses sanitasi dan pembersihan ruangan, penerimaan ikan, distribusi ikan maupun fillet dari satu tahapan proses ke tahapan yang lain serta menimbang dan mengemas produk akhir.
Sedangkan mayoritas tenaga kerja
wanita melaksanakan aktivitas memfillet ikan. Banyaknya tenaga kerja wanita yang memfillet ikan disebabkan tenaga kerja wanita memiliki tingkat ketelitian yang tinggi dalam mengolah fillet. Tingkat ketelitian pekerja wanita dapat dilihat dari rendemen fillet hasil produksi yang rata-rata mencapai 35 – 40%.
4.1.4 Pemasaran Fillet Ikan Pada unit pengolahan fillet yang menjadi lokasi penelitian, pola pemasaran yang dilakukan dapat dikelompokan menjadi 3 jenis sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4, 5, dan 6.
Produsen
Konsumen
Gambar 4. Pola 1 pemasaran fillet ikan
Gambar 4 memperlihatkan pola pemasaran fillet dari produsen langsung kepada konsumen. Pola ini dilakukan oleh unit pengolahan fillet yang termasuk dalam kelompok BM dan LM. Pada kelompok BM, 15 responden melalukuan pemasaran fillet secara langsung kepada konsumen industri olahan ikan lanjutan di dalam negeri, seperti industri pengolahan kerupuk, baso, otak-otak, nugget dan lain-lain. Pada kelompok LM, 11 responden memasarkan langsung produk fillet kepada konsumen industri seperti jaringan katering dan supermarket serta importir luar negeri.
35
Konsumen I Produsen
Supplier Konsumen II
Gambar 5. Pola 2 pemasaran fillet ikan Gambar 5 memperlihatkan pola pemasaran fillet yang dilakukan melalui perantara (supplier).
Pola pemasaran fillet seperti ini dilakukan oleh satu
responden kelompok BM.
Responden memasarkan produk filletnya tidak
langsung ke konsumen rumah tangga maupun industri melainkan melalui perantara pemasok/supplier. Pemasok yang berhubungan secara langsung kepada konsumen yang terdiri atas industri maupun pengecer di pasar.
Produsen
Agen
Konsumen
Gambar 6. Pola 3 pemasaran fillet
Gambar 6 memperlihatkan pola pemasaran fillet yang menggunakan agen penjualan atau melalui sistem keagenan.
Model pemasaran melalui sistem
keagenan tersebut dilakukan satu responden kelompok LM.
Responden
memasarkan fillet ikan melalui agen-agen perusahaan yang ada di beberapa kota seperti Jakarta dan Bandung. Agen-agen perusahaan kelompok LM tersebut yang kemudian akan meneruskan produk fillet ikan kepada konsumen rumah tangga maupun hotel, restoran dan rumah makan. Berdasarkan diskusi dengan responden, harga jual fillet yang berasal dari ikan kuniran, swangi dan coklatan di dalam negeri antara Rp. 7.000 – 8.000/kg, sedangkan yang berasal dari ikan mata goyang antara Rp. 17.000 – 18.000/kg. Fillet tersebut di jual sebagai bahan baku industri makanan berbahan baku ikan di dalam negeri seperti otak-otak, baso ikan, kaki naga, siomay dan kerupuk. Harga jual fillet ikan kakap dengan kulit di pasar dalam negeri berkisar Rp. 30.000/kg dan tanpa kulit Rp. 32.000/kg. Untuk pasar ekspor, harga fillet kakap merah antara US $ 7,8 – 8/kg.
36
Seluruh unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam kelompok BM memasarkan produknya di pasar dalam negeri pada konsumen industri. Hanya satu responden kelompok BM yang memasarkan fillet ke konsumen industri dan pasar retail melalui perantara. Sedangkan responden kelompok LM memasarkan produknya di pasar dalam negeri dan mayoritas di pasar luar negeri (ekspor).
4.2
Proses Pengolahan Fillet Ikan Responden kelompok BM mengolah fillet tanpa memperhatikan persyaratan
dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Standar Nasional Indonesia SNI 012696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Secara rinci, perbandingan proses pengolahan fillet ikan yang dilakukan di unit pengolahan fillet kelompok BM dengan LM dalam kaitannya dengan pemenuhan persyaratan dan ketentuan pengolahan fillet seperti diatur dalam SNI 01-2696.32006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan jumlah unit pengolahan fillet dalam memenuhi ketentuan proses pengolahan sesuai SNI berdasarkan penerapan CPB dan SPOS. Urutan Proses
BM
LM
Unit
%
Unit
%
Penerimaan
0
0%
11
100%
Sortasi I
0
0%
11
100%
Penyiangan
0
0%
11
100%
Pencucian I
0
0%
11
100%
Pemfilletan
0
0%
11
100%
Perapihan
0
0%
11
100%
Pencucian II
0
0%
11
100%
Sortasi II
0
0%
11
100%
Penimbangan
0
0%
11
100%
Pengepakan
8
53,33%
11
100%
Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS
37
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa pada umumnya unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam Kelompok BM melaksanakan proses pengolahan fillet tidak sesuai dengan yang diatur dalam SNI 01-2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Sedangkan pada unit pengolahan fillet ikan kelompok LM, proses pengolahan fillet ikan yang dilakukan telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang ditetapkan dalam SNI 01-2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Bentuk tidak dipenuhinya persyaratan pengolahan fillet ikan oleh responden kelompok BM dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Penerimaan Pada proses penerimaan, tidak dilaksanakan dalam kondisi saniter, tidak
dilaksanakan pengujian bahan baku secara organoleptik ataupun melihat riwayat perlakuan bahan baku yang diterima apakah ditangani dengan sistem rantai dingin sejak dari atas kapal hingga ke tangan supplier/pemasok.
Apabila terjadi
penundaan proses, bahan baku ikan tidak diberikan es sehingga suhunya tidak dipertahankan agar tetap dingin. 2.
Sortasi I Proses sortasi tidak dilaksanakan. Seluruh bahan baku fillet yang ada
dikeranjang selalu diproses lebih lanjut tanpa memperhatikan ukuran dan mutunya. 3.
Penyiangan Proses penyiangan tidak dilakukan dalam kondisi yang saniter dan bersih.
Ikan yang menunggu untuk disiangi tidak diberikan es dengan jumlah yang cukup untuk menjaga suhunya tetap dingin agar tidak mendorong berkembangnya bakteri. 4.
Pencucian I Pencucian dilakukan dengan air yang tidak dingin. Air untuk mencuci
seringkali tidak diganti apabila sudah menjadi keruh dan terkadang dicampur dengan air yang baru. Hal ini rentan mengakibatkan terjadinya kontaminasi pada ikan. Selain itu, Ikan yang telah dicuci diletakan pada keranjang berlubang yang bersentuhan langsung dengan lantai.
38
5.
Pemfilletan Proses pemfilletan dilakukan pada kondisi yang tidak saniter dan bersih.
Kondisi yang tidak saniter dan bersih ini berasal dari sarana pengolahan yang digunakan maupun lingkungan tempat mengolah fillet. Sarana pemfilletan terbuat dari kayu. Adapun pisau yang digunakan untuk memfillet ikan tidak rutin dicuci dengan air bersih. Hal tersebut menyebabkan resiko fillet terkontaminasi oleh bakteri dan serpihan kayu menjadi lebih besar.
Fillet yang dihasilkan tidak
diberikan es agar suhunya tetap dingin. 6.
Perapihan Proses perapihan fillet dilakukan pada kondisi yang tidak saniter dan
higienis. Sarana yang digunakan untuk proses perapihan fillet seperti meja terbuat dari bahan kayu. Hal tersebut memungkinkan ikan terkontaminasi oleh bakteri, serpihan kayu, sisa sisik yang menempel dan sumber kontaminan lainnya. Fillet ikan yang sudah dirapihkan bentuknya tidak segera dipertahankan suhunya agar tetap dingin. 7.
Pencucian II Pencucian dilakukan dengan air tanah atau PDAM yang tidak dingin dan
belum terukur kualitasnya. Air untuk mencuci sering tidak diganti apabila sudah keruh atau air yang sudah keruh tersebut hanya ditambahkan dengan air yang baru. Fillet ikan yang telah dicuci diletakan dalam keranjang berlubang yang bersentukan langsung dengan lantai.
Perlakuan tersebut memungkinkan fillet
terkontaminasi oleh bakteri dan kontaminan lainnya. 8.
Sortasi II Proses sortasi pada umumnya tidak dilakukan dalam proses pengolahan
fillet. Apabila dilakukan, ikan yang telah disortir tidak dipertahankan suhunya agar tetap dingin. 9.
Penimbangan Penimbangan tidak dilakukan secara cepat, saniter dan dalam kondisi
dingin. Hal ini ditunjukan dari seringnya fillet ikan yang akan ditimbang atau menunggu untuk ditimbang diletakan di atas meja yang terbuat dari kayu dan tidak diberi es.
39
10. Pengepakan Hanya delapan responden kelompok BM yang melakukan proses pengepakan sebagaimana yang disyaratkan, yaitu ikan yang telah ditimbang di dalam plastik seberat 1 kg secepat mungkin diletakan dalam blong/tong plastik besar yang bersisi air dingin. Proses pengepakan yang dilakukan di unit pengolahan fillet yang termasuk dalam kelompok BM mengindikasikan bahwa dalam menjaga mutu fillet ikan, para pengolah fillet masih berorientasi pada produk akhir (end product orientation). Hal ini dapat dilihat dari pemberian es yang hanya dilakukan pada tahapan pengepakan dan menyampingkan kemungkinan berkembangnya bakteri selama proses pengolahan sebagai akibat tidak diterapkannya rantai dingin secara berkesinambungan selama proses pengolahan fillet. Hal tersebut mencerminkan rendahnya tingkat pengetahuan responden kelompok BM tentang CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Berdasarkan pengamatan di unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam kelompok BM, tidak dipenuhinya ketentuan dalam mengolah fillet sebagaimana diatur dalam SNI menyebabkan fillet ikan rentan terkontaminasi selama proses pengolahan.
Kontaminasi dapat berasal dari lingkungan unit
pengolahan, sarana dan prasarana yang digunakan dalam mengolah, dan ketidakdisiplinan karyawan dalam menerapkan prinsip-prinsip higiene selama melakukan proses pengolahan. Beberapa hal yang memungkinkan fillet rentan terkontaminasi antara lain masih digunakannya sarana pengolahan yang terbuat dari bahan kayu, tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dan rantai dingin (cold chain) selama proses pengolahan fillet ikan, banyaknya karyawan yang tidak menggunakan perlengkapan kerja sebagaimana yang dipersyaratkan serta masih adanya karyawan yang merokok, makan dan minum selama proses pengolahan fillet ikan berlangsung. Berdasarkan Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa seluruh responden kelompok LM melakukan proses pengolahan fillet sesuai dengan ketentuan dalam SNI 01-2696.3-2006 tentang Penanganan dan Pengolahan Fillet Kakap Beku. Hal tersebut ditunjukan dengan dipenuhinya persyaratan CPB dan SPOS pengolahan
40
fillet ikan seperti menerapkan rantai dingin selama proses pengolahan, mencegah terjadinya kontaminasi silang, menjaga kebiasaan karyawan agar tidak mengontaminasi produk, menjaga kebersihan peralatan dan ruangan proses, menggunakan air dan es yang memenuhi persyaratan dalam melaksanakan proses pengolahan, memenuhi persyaratan lokasi dan konstruksi bangunan sebagaimana yang dipersyaratkan, membuat prosedur pencatatan dan pemantauan, dan lain sebagainya . Berdasarkan uraian di atas, penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sangat perlu dilakukan oleh responden kelompok BM untuk meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk fillet yang dihasilkan. Hal ini mengingat CPB dan SPOS merupakan persyaratan kelayakan dasar (pre requisite) yang apabila dilaksanakan secara konsisten oleh responden maka akan dapat menjamin mutu dan kemanan produk fillet yang diproduksi. CPB dan SPOS berbeda dengan sistem manajemen mutu Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) maupun ISO. CPB bersisi minimum standar sanitasi dan proses pengolahan yang diperlukan untuk menjamin proses pengolahan pangan secara utuh (Luning et al 2002). Adapun SPOS adalah prosedur memelihara kondisi sanitasi yang berhubungan dengan seluruh fasilitas produksi dan tidak terbatas pada tahap tertentu atau critical control point (Surono 2007). Artinya melalui penerapan CPB, diharapkan responden kelompok BM akan memenuhi standar minimum sanitasi dan proses pengolahan fillet ikan. Pada saat yang bersamaan, dengan penerapan SPOS, para pengolah fillet kelompok BM akan dapat mengendalikan penerapan CPB pengolahan fillet ikan melalui prosedur pemantauan yang teratur. Implementasi CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara konsisten akan menjamin mutu dan keamanan produk fillet yang dihasilkan oleh responden pengolah fillet ikan kelompok BM. HACCP adalah sistem manajemen keamanan pangan yang didasarkan pada kesadaran bahwa bahaya dapat timbul pada setiap titik pada proses produksi, namun dapat dikendalikan dengan tindakan pencegahan dan pengendalian bahaya tersebut pada titik kritis (Ditjen P2HP 2008).
Hal itu berarti sebagai sistem
jaminan mutu dan keamanan pangan, HACCP menekankan tindakan pencegahan dan pengendalian pada titik kritis tertentu dan tidak terhadap keseluruhan hal-hal
41
yang diatur dalam CPB dan SPOS. Oleh karena itu, agar implementasi HACCP dapat berjalan secara efektif, diperlukan pemenuhan persyaratan CPB dan SPOS secara konsisten terlebih dahulu. ISO adalah sistem manajemen mutu yang pada awalnya diterapkan di pabrik-pabrik. Namun saat ini, ISO telah diterapkan di organisasi, perusahaan bahkan perguruan tinggi serta universitas. ISO adalah badan penetap standar internasional yang terdiri dari wakil-wakil dari badan standardisasi nasional setiap negara. ISO 9000 adalah kumpulan standar untuk sistem manajemen mutu. Penerapan ISO di suatu perusahaan berguna untuk meningkatkan citra perusahaan, meningkatkan kinerja lingkungan perusahaan, meningkatkan efisiensi kegiatan, memperbaiki manajemen organisasi dengan menerapkan perencanaan, pelaksanaan, pengukuran dan tindakan perbaikan (plan, do, check, action), meningkatkan penataan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal pengelolaan lingkungan, mengurangi risiko usaha, meningkatkan daya saing, meningkatkan komunikasi internal dan hubungan baik dengan berbagai pihak yang
berkepentingan
dan
mendapat
kepercayaan
dari
konsumen/mitra
kerja/pemodal. Hal tersebut menunjukan bahwa sertifikasi atas penerapan salah satu ISO 9000 tidak sepenuhnya menjamin kualitas dan kemanan dari barang yang dihasilkan melainkan hanya menerangkan bahwa suatu perusahaan atau organisasi telah melaksanakan bisnis proses yang berkualitas secara konsisten (http://id.wikipedia.org/wiki/ISO 9000. 2010).
4.3
Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Penerapan CPB dan SPOS Pengolahan Fillet Ikan Berdasarkan penelitian yang dilakukan, faktor-faktor yang berpengaruh
pada penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan pada responden pengolah fillet kelompok BM maupun LM dijabarkan berikut ini.
42
4.3.1 Faktor Internal 4.3.1.1 Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan responden kelompok BM dan LM akan aspek-aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbandingan tingkat pengetahuan responden kelompok BM dan LM BM
LM
Kriteria Pengetahuan Responden
Jumlah % Responden Tinggi 0 0 Sedang 4 27 Rendah 11 73 15 100 Jumlah Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS
Jumlah Responden 11 0 0 11
% 100 0 0 100
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa pada unit pengolahan ikan yang termasuk dalam kelompok BM, 11 responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah akan aspek-aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hanya empat responden pengolah fillet kelompok BM yang memiliki tingkat pengetahuan dengan kategori sedang akan aspek-aspek teknis CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Berdasarkan rekapitulasi hasil kuisioner, responden kelompok BM, umumnya melakukan kesalahan dalam menjawab soal yang terkait dengan hal-hal teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, seperti aspek konstruksi bangunan, pelaksanaan
karyawan/pekerja, CPB
dan
proses
SPOS
pengolahan,
pengolahan
fillet
pemantauan ikan
serta
terhadap aspek
penandaan/pelabelan produk. Pada unit pengolahan fillet kelompok LM, seluruh responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang aspek-aspek teknis CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai yang diperoleh sebagian besar responden kelompok LM yang pada umumnya lebih dari 80.
43
Tingginya tingkat pengetahuan responden kelompok LM akan aspek-aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan disebabkan oleh lamanya pengalaman menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan serta dianut dan dijalankannya nilai-nilai bisnis yang menekankan pentingnya mutu dan keamanan produk fillet. Selain itu, dorongan permintaan pasar dan penerapan nilai-nilai bisnis yang menekankan pentingnya aspek mutu dan keamanan mendorong responden kelompok LM menerapakan CPB dan SPOS dalam proses pengolahan fillet ikan secara konsisten.
Hal ini pada akhirnya menyebabkan responden
kelompok LM memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang aspek-aspek teknis penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Rendahnya tingkat pengetahuan responden kelompok BM dibandingkan dengan kelompok LM disebabkan oleh kurangnya sosialisasi, pembinaan dan pendampingan yang dilakukan pemerintah secara berkelanjutan dan singkatnya pengalaman dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Hal
tersebut menyebabkan hingga saat ini, para pengolah fillet ikan kelompok BM memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
4.3.1.2 Pengalaman Terdapat perbedaan tingkat pengalaman responden kelompok LM dan BM dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Secara rinci perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan lama pengalaman menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan antara kelompok BM dan LM. BM
Waktu Penerapan (Bulan)
LM
Jumlah Unit
%
Jumlah Unit
%
1 – 12
15
100
0
0
13 – 24
0
0
1
9,09
>24
0
0
10
90,91
Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS
44
Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa unit pengolahan yang termasuk dalam kelompok BM memiliki pengalaman menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan kurang dari 12 bulan, sedangkan pada unit pengolahan fillet yang termasuk dalam kelompok LM, 10 responden memiliki pengalaman menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan lebih dari 24 bulan. Singkatnya waktu penerapan oleh responden kelompok BM disebabkan inovasi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak memenuhi unsur karateristik inovasi yang ditandai dengan tidak dirasakannya keuntungan relatif, tidak sesuainya penerapan CPB dan SPOS dengan nilai yang dianut serta rumitnya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Meskipun para
responden kelompok BM menganggap penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan memenuhi 2 unsur karateristik inovasi, yaitu penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat (observability) dan dapat dicoba (triability), kondisi tersebut tidak mendorong mereka untuk menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal itu karena dalam masa percobaan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, pemerintah memberikan bantuan dan pendampingan kepada responden kelompok BM. Hal sebaliknya terjadi pada unit pengolahan fillet yang termasuk kelompok LM. Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan oleh responden kelompok LM berlangsung sangat lama karena responden menilai bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan memenuhi unsur karateristik inovasi, seperti responden kelompok LM merasa memperoleh keuntungan relatif, sesuai dengan nilai-nilai
yang
dianut
khususnya
nilai-nilai
bisnis
perikananan,
tidak
dirasakannya kerumitan serta dapat dilihat dan dicobanya penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Berdasarkan uraian di atas diperoleh hasil bahwa pada faktor internal, terdapat perbedaan tingkat pengetahuan dan lamanya waktu penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan antara responden pengolah fillet kelompok BM dengan LM.
Responden pengolah fillet kelompok BM memiliki tingkat
pengetahuan yang lebih rendah serta memiliki pengalaman penerapan CPB dan SPOS yang lebih singkat dibandingkan dengan responden pengolah fillet ikan kelompok LM.
45
4.3.2 Faktor Eksternal 4.3.2.1 Kebijakan Pemerintah di Bidang Sosial Pendapat responden kelompok BM dan LM terkait dengan kebijakan pemerintah di bidang sosial yang mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sangat bervariasi. Adapun pendapat responden kelompok BM terkait dengan kebijakan dalam bidang sosial yang dilakukan pemerintah dalam mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan Lampiran 1 terlihat, bahwa mayoritas responden kelompok BM berpendapat pemerintah kurang berperan dalam aspek sosial untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal itu ditunjukan oleh jawaban mayoritas responden yang berpendapat bahwa pemerintah kurang dalam melakukan sosialisasi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan (66,66%), menyediakan sumber permodalan usaha (66,66%), menyediakan sumber informasi pasar (66,66%) dan menyediakan informasi regulasi tentang mutu dan kemanan pangan (66,66%). Kurangnya pemerintah dalam melakukan sosialisasi CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan termasuk juga informasi regulasi tentang mutu dan keamanan pangan kepada responden kelompok BM ditunjukan oleh minimnya frekuensi serta keberlanjutan sosialisasi yang dilakukan pemerintah kepada pengolah fillet kelompok BM.
Direktorat Pengolahan Hasil (Dit PH) (2008)
menyatakan, telah dilakukan 2 kali sosialisasi CPB dan SPOS pada kegiatan Bimbingan Teknis Pengolahan Fillet di Tegal Sari, Jawa Tengah pada tanggal 1-3 Februari 2007 dan 15-17 Februari 2007. Kegiatan tersebut diikuti oleh 20 orang pengolah fillet ikan. Materi-materi yang disosialisasikan terdiri atas CPB, SPOS, Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsepsi HACCP, Sanitasi dan Higiene serta Teknik Pengolahan Fillet Ikan. Lebih lanjut Dit PH (2008) menyatakan, Pada tanggal 17-19 Desember 2007 dilakukan bimbingan teknis secara langsung di unit pengolahan fillet di TPI Tegal Sari. Kegiatan pendampingan bertujuan untuk mendorong penyempurnaan penyediaan sarana dan prasara pengolahan fillet ikan serta pemanfaatannya.
46
Dit PH (2006) menyatakan, dalam hal penyedian sumber permodalan bagi 15 pengolah fillet kelompok BM, telah dilakukan satu kali fasilitasi permodalan ke Bank Danamon Jakarta. Sumber permodalan yang dapat difasilitasi oleh Bank Danamon antara lain melalui Program Danamon Simpan Pinjam (DSP) yang besarnya mencapai Rp 500 juta. Bentuk permodalan berupa kredit yang tidak mensyaratkan usaha yang berbadan hukum. Sebagai tindak lanjut, Ditjen P2HP telah mengirimkan surat ke Direksi Bank Danamon dengan alamat Menara Bank Danamon, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta dengan Nomor surat B. 3182/P2HP.1.3/PM.410/XI/06. Dalam hal penyediaan informasi pasar bagi 15 responden kelompok BM, pemerintah telah melakukan fasilitasi pemasaran fillet dengan mengikutsertakan para pengusaha perikanan yang tergabung dalam Asosiasi Suplier Produk Perikanan Indonesia (ASPPI).
Ditjen P2HP (2007) menyatakan hal-hal yang
disepakati dalam fasilitasi pemasaran antara pengolah fillet dengan ASPPI sebagai berikut: a.
ASPPI siap bekerjasama untuk membantu mencari para pembeli baru hasil olahan fillet dengan syarat: - Mutu produk fillet baik - Kontinuitas produk fillet terjamin - Adanya kestabilan harga pada periode tertentu (berdasarkan perjanjian kerjasama)
b.
ASSPI akan menjamin pembelian produk fillet yang selanjutnya ASPPI akan berhubungan dengan buyer. ASPPI akan memperoleh komisi dari transaksi tersebut sebesar 2 %. Produk fillet akan dibayarkan dalam jangka waktu 1-2 bulan. Kurangnya penyediaan sumber permodalan menyebabkan responden
kelompok BM tidak memiliki tambahan modal untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal ini karena penerapan CPB dan SPOS membutuhkan pemenuhan berbagai persyaratan dan perlengkapan yang memerlukan dukungan permodalan. Selain itu, tidak adanya alternatif pasar lain menyebabkan responden kelompok BM tidak memiliki pilihan selain pasar yang tidak mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Kondisi
47
tersebut mengakibatkan responden kelompok BM tidak terdorong untuk menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan karena alasan tidak diminta oleh pasar. Apabila pemerintah dapat menyediakan informasi pasar lain yang menginginkan produk fillet diproduksi menggunakan CPB dan SPOS dengan harga pembelian yang lebih tinggi dan memungkinkan responden kelompok BM mengakses informasi tersebut, diharapkan akan mendorong responden kelompok BM menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Pada unit pengolahan fillet ikan yang termasuk dalam kelompok LM, pendapat responden tentang peran pemerintah dalam bidang sosial untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ditunjukan pada Lampiran 2. Berdasarkan Lampiran 2 terlihat, dari 11 responden kelompok LM, 81,8% menyatakan pemerintah berperan baik dalam melakukan frekuensi sosialisasi CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dan 100% responden menyatakan pemerintah telah berperan baik dalam menyampaikan regulasi tentang mutu dan keamanan pangan. Peran pemerintah yang baik dalam melakukan sosialisasi CPB dan SPOS penerapan fillet ikan dan penyediaan informasi tentang mutu dan keamanan pangan kepada responden kelompok LM disebabkan
responden dinilai siap
melaksanakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dan adanya permintaan dari negara importir untuk menerapkan persyaratan jaminan mutu dan keamanan pangan yang salah satunya ditandai dengan penerapan kelayakan pengolahan ikan, yaitu CPB dan SPOS.
Hal ini dilakukan agar responden
kelompok LM dapat segera menyesuaikan dengan persyaratan negara importir. Selain hal di atas, 63,6% responden pengolahan fillet kelompok LM menyatakan pemerintah telah berperan baik dalam menyediakan sumber permodalan dan 72,7% menyatakan pemerintah berperan baik dalam menyediakan informasi pasar. Fasilitasi pasar yang dilakukan pemerintah dilakukan dengan menyelenggarakan temu bisnis, penyediaan informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan,
online pada website
maupun dalam bentuk cetak seperti
majalah atau tabloid, statistik kelautan dan perikanan, statistik ekspor dan impor hasil perikanan, dan lain sebagainya. Ketersediaan informasi pasar yang baik, khususnya informasi pasar yang menginginkan produk fillet mendorong
48
responden kelompok LM meneruskan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan hingga saat ini. Dalam hal sumber permodalan, mayoritas para pengolah yang termasuk dalam kelompok LM berpendapat bahwa pemerintah sudah berperan baik dalam melakukan hal tersebut. Hal ini didasari oleh mudahnya para pengolah yang termasuk kelompok LM dalam memperoleh kredit invetasi maupun modal usaha dari perbankan. Perbedaan kebijakan yang diberikan kepada responden kelompok BM dan LM dikarenakan pemerintah menilai bahwa responden kelompok LM sudah siap untuk menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Selain itu, hal tersebut dilakukan untuk merespon tuntutan pasar khususnya di luar negeri yang mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
4.3.2.2 Kebijakan Pemerintah di Bidang Fisik Pendapat responden pada unit pengolahan yang termasuk dalam kelompok BM dan LM terkait dengan kebijakan dalam bidang fisik yang dilakukan pemerintah untuk mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara umum tidak jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden yang secara umum menyatakan pemerintah kurang berperan dengan baik dalam menyediakan fasilitas fisik. Adapun pendapat pengolah fillet ikan yang termasuk dalam kelompok BM terkait dengan kebijakan dalam bidang fisik yang dilakukan pemerintah dalam mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan Lampiran 3 terlihat bahwa dari seluruh responden kelompok BM, 87%
responden menyatakan bahwa pemerintah kurang berperan dalam
penyediaan sumber air bersih, 67% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam penyediaan es, 74% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam penyediaan sarana rantai dingin serta 67% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam penyediaan sarana penanganan dan pengolahan fillet ikan.
49
Kurang berperannya pemerintah dalam menyediakan sarana air bersih dapat dilihat dari belum tersedianya sumber air bersih secara baik di unit pengolahan fillet ikan. Saat ini, dalam memenuhi kebutuhan air bersih, para pengolah fillet membeli air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum serta menggunakan air tanah. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat air bersih merupakan komponen utama yang sangat dibutuhkan dalam proses pengolahan fillet ikan. Dalam hal penyediaan air bersih,
pemerintah Kota Tegal telah
mengupayakan PDAM untuk mengalirkan air bersih ke unit pengolahan fillet. Namun demikian, hingga saat ini PDAM belum dapat menyediakan sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan para pengolahan fillet. Dalam hal penyediaan sarana rantai dingin dan penanganan serta pengolahan fillet ikan, pemerintah telah melakukan beberapa upaya antara lain menyediakan 4 unit bangunan pengolahan fillet ikan, 52 unit meja proses fillet, 300 unit pisau fillet, 300 unit talenan fillet, 800 unit keranjang besar, 140 unit keranjang kecil, 60 unit blong, 300 pasang sepatu boot, 300 stel baju kerja, 300 apron plastik, 300 topi, 400 pasang sarung tangan, 4 unit freezer, 4 unit timbangan besar, 4 unit timbangan kecil, 4 unit pompa semprot lantai, 4 unit kereta dorong, 4 unit penghancur es, 16 lusin kantong sampah, 12 unit jebakan serangga, 400 unit masker, 28 unit pallet, 80 unit box berinsulasi ukuran besar dan 100 unit box berinsulasi ukuran sedang untuk menyimpan ikan (Dit PH 2006). Meskipun berbagai jenis sarana rantai dingin dan penanganan serta pengolahan fillet disediakan pemerintah, namun saat ini sebagian besar sarana tersebut tidak digunakan oleh para pengolah. Pada umumnya, para pengolah berpendapat bahwa sarana tersebut mempersulit dan memperlambat pengolahan fillet sehingga menurunkan hasil produksi.
Hal ini mengindikasikan bahwa
penyediaan sarana rantai dingin dan pengolahan yang dilakukan oleh pemerintah tidak memenuhi unsur karateristik inovasi karena menyulitkan proses pengolahan yang pada akhirnya menurunkan produktivitas pengolah. Dalam upaya mendorong para pengolah kembali menggunakan peralatan kerja sesuai dengan ketentuan, hal yang penting untuk dilakukan adalah meningkatkan pembinaan dan pengawasan kepada pengolah fillet kelompok BM.
50
Melalui pembinaan yang menyeluruh dan berkelanjutan serta pengawasan yang baik diharapkan pengolah fillet kelompok BM kembali menggunakan peralatan yang sesuai ketentuan tersebut. Pendapat responden kelompok LM terkait peran pemerintah di bidang fisik dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan Lampiran 4 terlihat bahwa dari seluruh responden kelompok LM, 90,91% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam menyediakan sumber air bersih, 81,82% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam menyediakan es, 81,82% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam menyediakan sarana rantai dingin dan 72,73% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam menyediakan sarana penanganan dan pengolahan ikan.
Kurangnya
pemerintah dalam menyediakan dukungan kebijakan fisik dikarenakan hingga saat ini, seluruh sarana dan prasarana yang ada di unit pengolahan responden LM merupakan asset perusahaan dan bukan hasil bantuan pemerintah. Meskipun pemerintah dinilai kurang memberikan dukungan penyediaan sarana dan prasarana fisik, responden kelompok LM tetap melanjutkan penerapan CPB dan SPOS karena didorong oleh permintaan pasar serta berbagai keuntungan yang masih dirasakan seperti kesempatan memperluas akases pasar ke manca negara.
4.3.2.3 Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Secara umum, pendapat responden kelompok BM dan LM terkait dengan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sangat bervariasi. Pendapat responden pengolah yang termasuk dalam kelompok BM terkait dengan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan Lampiran 5 terlihat dari seluruh responden kelompok BM, 60% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam melakukan pembinaan, 80% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam melakukan pengawasan dan 86% responden menyatakan pemerintah kurang berperan dalam melakukan penegakan hukum. 51
Hal tersebut di atas dapat dilihat dari tidak berlanjutnya pembinaan yang dilakukan pemerintah terhadap responden kelompok BM.
Dit PH (2009)
menyatakan bahwa pada tahun 2008 telah dilakukan 3 kali pembinaan teknis dan mutu kepada pengolah fillet yang ada di sentra pengolahan fillet ikan Tegal Sari, Kota Tegal, Jawa Tengah dengan tujuan sebagai berikut: 1. mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi proses produksi pengolahan di unit pengolahan 2. melakukan pendampingan teknis dalam proses pengolahan/produksi di unit pengolahan (yang sesuai dengan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan) 3. pembinaan terhadap mutu proses pengolahan di unit pengolahan. Lebih lanjut Dit PH (2010) menyatakan bahwa pada tahun 2009 dilaksanakan 1 kali pembinaan teknis dan mutu kepada pengolah fillet yang ada di Sentra Fillet Ikan Tegal Sari, Kota Tegal, Jawa Tengah untuk mendorong penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Adapun pendapat para pengolah fillet yang termasuk dalam kelompok LM terkait dengan pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 6.
Berdasakan
Lampiran 6, dari 11 responden kelompok LM, 45,45% menyatakan pemerintah berperan baik dalam melakukan pembinaan dan 100% responden menyatakan pemerintah berperan baik dalam melakukan pengawasan.
Hal tersebut
dilaksanakan dengan memberikan pelatihan-pelatihan tentang CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Baiknya pemerintah dalam melakukan pembinaan,
pengawasan dan penegakan hukum kepada pengolah kelompok LM disebabkan pemerintah melaksanakan prioritas penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal ini karena pengolah kelompok LM dinilai sudah siap menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan serta mayoritas melakukan ekspor sehingga diperlukan langkah cepat untuk menyesuaikan dengan aturan negara importir yang semakin ketat dalam mempersyaratkan mutu dan keamanan produk perikanan, termasuk fillet. Keterlambatan pemenuhan terhadap persyaratan impor dari luar negeri akan mengakibatkan terganggunya ekspor produk perikanan Indonesia sehingga dikhawatirkan akan menggangu devisa negara dan mengurangi peran sektor kelautan dan perikanan dalam perekonomian nasional.
52
Selain hal di atas, 81,82% responden pengolah fillet kelompok LM menyatakan pemerintah berperan baik dalam melakukan penegakan hukum. Hal tersebut dilaksanakan melalui penahanan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dan pencabutan SKP apabila dalam waktu yang ditentukan tidak dilakukan perbaikan terhadap temuan pengawas mutu atas ketidaksesuaian penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan. Peraturan Direktur Jenderal P2HP selaku Otoritas Kompeten Mutu dan Keamanan Pangan Hasil Perikanan di Indonesia Nomor PER.010/DJ-P2HP/2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No : PER 067/DJP2HP/2008 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan menyatakan untuk menjamin dan memelihara kesesuaian unit pengolahan ikan terhadap persyaratan kelayakan unit pengolahan, Direktorat Jenderal P2HP melakukan verifikasi satu tahun sekali dan Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) melakukan survailen sesuai dengan tingkat kelayakan penerapan CPB dan SPOS. Unit pengolahan ikan dengan SKP rating A dan B disurveilen setiap 2 minggu sekali, dan unit pengolahan ikan dengan rating C disurveilen 1 bulan sekali. Berdasarkan pendapat responden pengolah fillet kelompok BM, hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam mendorong penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan adalah melalui pengembangan berbagai program atau kegiatan pembinaan kepada pengolah hasil perikanan termasuk juga fillet ikan yang saat ini belum menerapkan CPB dan SPOS. Dalam konteks regulasi, hal tersebut sangat mungkin dilakukan mengingat Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan. Selain hal di atas, pengawasan yang baik dan penegakan hukum secara tegas kepada pengolah fillet yang tidak menerapkan CPB dan SPOS juga memainkan peran yang amat penting. Penegakan hukum berperan penting untuk memberikan efek jera bagi setiap produsen fillet ikan yang memproduksi fillet tanpa memperhatikan mutu dan keamanannya sehingga membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen.
53
4.3.2.4 Permintaan Pasar Secara umum terdapat tujuan pemasaran yang berbeda antara responen kelompok BM dan LM.
Responden kelompok BM memasarkan seluruh
produknya ke industri pengolahan ikan lanjutan di dalam negeri sedangkan responden kelompok LM memasarkan sebagian besar produknya ke luar negeri selain sebagian kecil di dalam negeri. Di dalam negeri, pasar responden kelompok BM yang sebagian besar di dominasi oleh industri pengolahan produk perikanan lanjutan tidak mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS. Setidaknya hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan salah satu responden kelompok BM, yaitu “konsumen kita tidak minta yang begitu-gitu, orangnya gak kasih syarat apa-apa, gak pernah protes. Yang penting bersih aja diterima”. Responden kelompok BM
lainnya menyatakan, “konsumen kita tidak
minta, tapi saya berani tanggung jawab, produk fillet yang kita kirim bagus mutunya dan gak pakai formalin”. Terdapat juga responden pada kelompok BM yang menyatakan, “pembeli kita nggak mempersyaratkan itu mas, yang penting ikan yang dikirim bagus. Kalau seumpama jelek ya dipulangin. Kalau dibuat kerupuk terus kerupuknya patah ya dikomplain”. Responen kelompok BM lainnya menyatakan, “yang penting sempelnya bagus mas, buat produksi baso, otak-otak hasilnya bagus, pasti langsung dibeli. Kita kan udah lama dagang ke mereka. Udah ada kepercayaan gitu”. Hal yang berbeda terjadi di kelompok pengolah LM. Konsumen produk fillet yang dilayani baik di dalam maupun luar negeri mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Hal tersebut di katakan oleh salah satu responden, yaitu “Kalo kita kirim pasti dengan kualitas bagus. Konsumen minta seperti itu pak. Di dalam negeri, agen-agen kita meminta fillet dengan kualitas baik. Apalagi di pasar luar negeri. Kalau kita kirim ke Eropa saja SKP kita harus A. Jadi memang diminta mereka pak.” Responden kelompok LM lainnya menyatakan, “kita ini posisinya ngirim bahan baku pak.
Pembeli kita adalah pabrik pusat di karawang yang
memproduksi baso, otak-otak dan nugget. Kebijakan perusahaan kita memang
54
menerapkan GMP dan SSOP agar kualitas produknya baik, disamping disyaratkan oleh pemerintah”. Pengolah kelompok LM lainnya menyatakan, “penerapan GMP dan SSOP sudah keharusan pak. Pasar mintanya kayak gitu. Jadi kita cuma nurutin apa yang diminta aja.
Selain itu, penerapan CPB dan SPOS penting untuk
memenangkan persaingan yang saat ini semakin ketat, terutama dari produk asal Vietnam”. Responden kelompok LM lainnya menyatakan, “pasar kita meminta CPB dan SPOS pak. Apalagi untuk yang pasar ekspor khususnya Eropa, Amerika dan Jepang. Mereka secara tegas mempersyaratkan hal itu. Kalau tidak memenuhi, sudah pasti produksi fillet kita gak bias masuk ke sana pak. Konsumen di sana juga pasti komplain kalau produk fillet yang kita kirim rendah kualitasnya”. Berdasarkan pernyataan responden kelompok BM dan LM tentang permintaan pasar di atas terlihat, bahwa pasar dalam negeri yang selama ini dilayani oleh para pengolah kelompok BM tidak menuntut penerapan CPB dan SPOS, sedangkan pasar luar negeri dan dalam negeri yang dilayani pengolah kelompok LM meminta penerapan CPB dan SPOS.
Kondisi tersebut pada
akhirnya mendorong pengolah kelompok BM tidak menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Sedangkan bagi responden kelompok LM, kondisi tersebut pada akhirnya mendorong mereka menerapkan CPB dan SPOS untuk memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang akan digunakan sebagai dokumen persyaratan ekspor dan memenangkan persaingan dengan produk impor sejenis. Dalam upaya mendorong penerapan CPB dan SPOS oleh responden kelompok BM, hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah mewajibkan industri pengolahan ikan
lanjutan, seperti baso, otak-otak, kerupuk yang selama ini
menjadi tujuan pasar responden kelompok BM menerapkan CPB dan SPOS. Hal ini dapat dilakukan mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi pangan menyatakan bahwa pemerintah dapat mewajibkan penerapan standar termasuk juga CPB dan SPOS dengan mempertimbangkan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomis.
55
Selain hal di atas, Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.
Lebih lanjut disebutkan, bahwa badan usaha yang memproduksi
pangan olahan untuk diedarkan bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksi terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut. Apabila terbukti badan usaha mengedarkan pangan yang mengandung bahan yang dilarang, merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia, maka badan usaha tersebut wajib mengganti segala segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan setinggi-tingginya Rp. 500.000.000,-. Apabila terbukti badan usaha menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, menggunakan bahan tambahan yang dilarang, menggunakan bahan yang dilarang sebagai kemasan, memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, mengganti label, melabel kembali, mengganti tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa dapat dipidana dengan penjaran paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,-. Saat ini di Indonesia, banyak terdapat produk fillet ikan impor, seperti fillet ikan dory dari Vietnam dan fillet ikan Tsuchi dari China.
Hal ini
mengindikasikan bahwa pasar fillet di dalam negeri sedang tumbuh. Melihat hal itu, maka ke depan para responden baik kelompok BM maupun LM perlu didorong untuk menerapkan CPB dan SPOS agar dapat memenangkan persaingan yang semakin meningkat. Berdasarkan uraian di atas, maka pada faktor eksternal terlihat adanya perbedaan dukungan pemerintah dalam bidang sosial, pengawasan dan penegakan hukum antara responden kelompok BM dan LM dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Selain itu, terdapat juga perbedaan permintaan pasar
produk fillet ikan milik responden kelompok BM dan LM. Perbedaan perlakuan pemerintah terhadap responden kelompok BM dan LM dalam mendukung penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan disebabkan responden kelompok LM dipandang sudah siap untuk menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan serta untuk merespon tuntutan pasar. Dalam hal permintaan pasar, ternyata
56
pasar fillet ikan responden kelompok BM yang mayoritas berada di dalam negeri tidak mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, sedangkan pasar fillet ikan responden kelompok LM yang berlokasi di dalam maupun luar negeri mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
4.3.3 Faktor Karateristik Inovasi Terdapat perbedaan persepsi yang sangat besar antara responden kelompok BM dengan LM dalam menilai pengaruh faktor karateristik inovasi terhadap penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Secara umum,
responden kelompok BM memiliki persepsi bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak memenuhi faktor karateristik inovasi.
Adapun
persepsi responden kelompok BM terkait dengan faktor karateristik inovasi yang mempengaruhi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan Lampiran 7 terlihat dari 15 responden kelompok BM, 86,67% menyatakan bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak memberikan keuntungan relatif.
Keuntungan relatif yang tidak dirasakan oleh
reponden kelompok BM saat melaksanakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan terkait dengan aspek ekonomi dan kenyamanan kerja, seperti menurunkan produktifitas karyawan dan mengurangi kenyamanan dalam berkerja.
Ketidakuntungan dalam aspek ekonomi adalah
menurunnya
produktivitas karyawan yang pada akhirnya berakibat pada penurunan produksi fillet dan pendapatan.
Dalam hal kenyamanan kerja, penerapan CPB dan SPOS
pengolahan fillet ikan yang mensyaratkan penggunaan apron, masker, dan topi membuat para pekerja menjadi risih dan merasa tidak nyaman saat mengolah fillet. Kondisi ini mengakibatkan tidak nyaman yang pada akhirnya menyebabkan penurunan produktivitas unit pengolahan fillet milik responden kelompok BM. Selain hal di atas, 80% responden pengolah fillet kelompok BM menyatakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Hal ini disebabkan para pembeli yang sebagain besar adalah industri olahan ikan lanjutan seperti kerupuk, baso, dan otak-otak di dalam negeri tidak mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolah fillet ikan. 57
Pembeli hanya meminta fillet ikan yang dibeli harus dalam kondisi baik yang ditandai dengan tidak bau busuk, tidak lembek, tidak kotor dan harus dalam kondisi dingin. Selain hal itu, responden kelompok BM juga menilai bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak sejalan dengan kebiasaan yang selama ini dilakukan saat mengolah fillet ikan. Dalam hal tingkat kerumitan, 73,33% responden pengolah fillet kelompok BM menyatakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan rumit. Hal ini disebabkan ketatnya persyaratan yang terdapat dalam ketentuan CPB dan SPOS pengolahan fillet.
Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan antara lain
mensyaratkan kondisi ruang proses yang bersih, peralatan kerja yang saniter, karyawan yang higienis dan tertib dalam melakukan pengolahan fillet, air dan es yang mutunya baik, penerapan rantai dingin yang tidak boleh putus sejak penerimaan bahan baku hingga pengemasan dan pendistribusian, penerapan prosedur pencatatan dan pemantauan terhadap aktifitas pengolahan dan lain sebagainya yang kesemuanya dianggap rumit oleh responden kelompok BM selain ketersediannya yang kurang. Meskipun demikian, 66,67% responden menyatakan CPB dan SPOS pengolahan fillet dapat diuji coba sampai batas tertentu dan diamati.
Hal ini
karena Direktorat Jenderal P2HP, Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan fasilitas pendukung dan melakukan pendampingan pada saat proses uji coba penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Adapun persepsi para responden kelompok LM terkait dengan faktor karateristik inovasi yang mempengaruhi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan Lampiran 8 diketahui bahwa dari 11 responden kelompok LM, 90,91% menyatakan bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan memberikan keuntungan relatif. Bentuk keuntungan relatif yang dirasakan oleh responden kelompok LM dalam menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan adalah kesempatan untuk memperluas pasar hingga ke luar negeri, kemudahan dalam memperoleh sertifikat kesehatan sebagai dokumen pelengkap ekspor, memiliki kesempatan untuk terdaftar di negara importir sebagai unit pengolahan ikan dengan nilai kelayakan tertentu dan memiliki kesempatan untuk mencantumkan nomor registrasi dari
58
negara importir pada karton pengemas yang salah satunya berisi informasi tingkat penerapan CPB dan SPOS. Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan juga meminimalkan resiko ditolaknya produk fillet di pasar. Sebagai salah satu contoh, responden kelompok LM menyatakan sebelum menerapkan CPB dan SPOS, tujuan pasar hanya meliputi wilayah China dan Jepang. Setelah menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, responden kelompok LM tersebut mampu menembus pasar Eropa dan Amerika yang terkenal sangat ketat peraturannya. Selain hal di atas,
72,73% responden pengolah fillet kelompok LM
menyatakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet sesuai dengan nilai-nilai bisnis perikanan yang dianut terutama oleh pembeli mereka di dalam maupun luar negeri.
Dalam mengekspor produk perikanan ke luar negeri, pembeli dan
pemerintah negara importir menerapkan ketentuan impor produk yang ketat dan harus diikuti oleh para produsen. Dalam hal tingkat kerumitan, 100% responden kelompok LM menyatakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak rumit. Hal ini karena pemerintah memberikan pelatihan, pembinaan dan penyediaan panduan agar para responden kelompok LM tersebut mampu menyesuaikan dengan peraturan negara importir. Sampai dengan saat ini, responden pengolah fillet kelompok LM tetap menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan.
Selain hal itu, 90,91%
responden kelompok LM menyatakan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan dapat diuji coba dan diamati sampai batas tertentu. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat perbedaan antara responden pengolah fillet kelompok BM dan LM dalam mempersepsikan pengaruh faktor karateristik inovasi terhadap penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Responden kelompok BM mempersepsikan bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak memberikan keuntungan relatif, rumit dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh responden kelompok BM. Hal sebaliknya terjadi pada responden kelompok LM yang mempersepsikan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan secara positif karena memberikan keuntungan relatif, tidak rumit dan sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.
59
Kenyataan yang terjadi pada responden pengolah fillet ikan kelompok BM dan LM di atas telah sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Rogers bahwa semakin pengguna (user) merasakan suatu adopsi memiliki keuntungan relatif, sesuai dengan nilai yang dianut, tidak rumit, dapat diamati dan diuji coba sampai batas tertentu, maka proses adopsi inovasi tersebut akan semakin mudah dan cepat. Hal sebaliknya adalah apabila pengguna (user) tidak merasakan suatu adopsi memiliki keuntungan relatif, sesuai dengan nilai yang dianut, mudah, dapat diamati dan diuji coba sampai batas tertentu, maka proses adopsi inovasi tersebut akan semakin lambat dan kemungkinan besar akan ditolak.
4.4
Kondisi Penerapan CPB dan SPOS Kondisi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan sesungguhnya
menggambarkan kelayakan unit pengolahan dalam melaksanakan proses pengolahan fillet ikan.
Kondisi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan
dapat dilihat dengan menghitung jumlah penyimpangan yang ada di unit pengolahan fillet ikan. Secara rinci, jumlah penyimpangan dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan pada unit pengolahan kelompok BM dan LM dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Perbandingan rata-rata jumlah penyimpangan di unit pengolahan fillet antara kelompok BM dan LM Rata-rata penyimpangan di Unit Pengolahan Fillet
Jenis Peyimpangan BM
LM
Minor
10,28
1,27
Mayor
27,00
3,45
Serius
28,33
0,63
Kritis
3,06
0
Keterangan: BM = berhenti menerapkan CPB dan SPOS LM = lanjut menerapkan CPB dan SPOS Berdasarkan Tabel 16 diketahui, bahwa pada unit pengolahan fillet kelompok BM, seluruhnya dikatakan memiliki penerapan CPB dan SPOS
60
pengolahan fillet ikan yang sangat buruk. Hal ini disebabkan tingginya tingkat penyimpangan yang terjadi di unit-unit pengolahan fillet ikan tersebut. Berdasarkan Tabel 16, rata-rata jumlah penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet ikan kelompok BM adalah 10,28 penyimpangan minor, 27,00 penyimpangan mayor, 28,33 penyimpangan serius dan 3,06 penyimpangan kritis. Pada unit pengolahan fillet ikan kelompok LM, nilai kelayakan pengolahan fillet ikan bervariasi antara A, B hingga C. Dari 11 unit pengolahan fillet kelompok LM, satu unit pengolahan fillet atau 9,09% diantaranya layak dengan kriteria C, tiga unit pengolahan fillet atau 27,27% layak dengan kriteria B dan 6 unit pengolahan fillet atau 63,63% lulus dengan nilai A. Pada unit pengolahan fillet ikan kelompok BM, penyimpangan yang terjadi pada umumnya meliputi aspek lingkungan, konstruksi bangunan dan lay out, ventilasi dan fasilitas karyawan, penerangan, saluran pembuangan, persyaratan konstruksi ruang penanganan dan pengolahan fillet, bahan baku, penanganan limbah, pencegahan hewan penggangu, kebersihan dan kesehatan karyawan, proses sanitasi, perlindungan produk dari kontaminasi dan penanganan produk produk yang tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan. Secara rinci, deskripsi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan kelompok BM dijabarkan sebagai berkut: 1. Penyimpangan Minor - Kondisi kebersihan lingkungan tidak dijaga - Tempat cuci tangan tidak digunakan hanya untuk mencuci tangan dan bahkan tidak tersedia - Tidak tersedia loker untuk menyimpan barang karyawan - Lantai sebagian retak sehingga air sisa pengolahan fillet tidak lancar terbuang ke saluran pembuangan - Pertemuan antar dinding sulit untuk dibersihkan - Peralatan kebesihan tidak cukup - Pasokan air panas dan dingin tidak cukup - Frekuensi pembersihan dan desinfeksi tidak cukup mencegah kontaminasi - Tidak tersedia peta distribusi air dengan outlet dan keran yang diberi kode tertentu
61
- Tidak tersedia prosedur pengendalian serangga dan binatang penggangu lainnya - Tidak tersedia posedur pembuangan binatang yang mati - Karyawan banyak yang tidak memelihara tingkat kebersihan - Proses sanitasi tidak direncanakan dan dimonitor - Tidak tersedia prosedur penarikan barang yang sudah beredar 2. Penyimpangan Mayor - Area unit pengolahan fillet tidak memadai untuk pekerjaan dan kondisinya tidak saniter dan higienis - Kondisi lingkungan
tidak dipelihara untuk mencegah kontaminasi dari
serangga dan binatang penggangu lainnya - Konstruksi unit pengolahan fillet tidak dirawat sehingga tidak dapat mencegah masuknya serangga dan binatang penggangu lainnya - Aliran udara tidak mengalir dengan baik - Pintu masuk tidak dilengkapi dengan bak cuci kaki dan tangan yang cukup - Bak cuci kaki tidak dilengkapi dengan air bersih dan disinfeksi - Fasilitas cuci tangan tidak tersedia dalam jumlah cukup dan dilengkapi dengan sabun dan pembersih - Keran air dioperasikan dengan tangan - Ruang ganti tidak tersedia dalam jumlah cukup - Toilet tidak dilengkapi dengan sistem siram - Toilet tidak dilengkapi dengan ventilasi yang memadai - Saluran pembuangan tidak bersih - Dinding tidak kedap air - Dinding yang memiliki tonjolan dan kabel tidak ditutup dengan baik - Jendela tidak dilengkapi dengan kasa yang mudah dibersihkan - Permukaan yang kontak dengan produk seperti meja tidak memiliki saluran pembuangan yang baik - Peralatan tidak dijaga selalu dalam keadaan bersih dan saniter - Pembersihan peralatan kerja tidak dilengkapi dengan air yang memenuhi persyaratan air minum - Bahan pembungkus disimpan dengan cara yang tidak mencegah kontaminasi
62
- Es digunakan secara berulang dalam setiap tahapan proses pengolahan - Tempat penampungan limbah kurang tersedia dan tidak dirawat kondisi kebersihannya - Penanganan limbah dilakukan secara tidak higienis - Tidak tersedia peta penempatan perangkap tikus - Karyawan tidak menggunakan perlengkapan kerja sebagaimana yang dipersyaratkan 3. Penyimpangan Serius - Konstruksi unit pengolahan fillet tidak dapat mencegah kontaminasi dari kotoran, kondensasi, jamur dan lainnya - Kondisi tempat penanganan dan pengolahan fillet tidak dalam keadaan saniter dan higienis - Kondisi tidak memadai untuk mengolah dalam temperatur yang dipersyaratkan - Ketersediaan ventilasi kurang memadai - Fasilitas cuci tangan tidak tersedia dipintu masuk dalam jumlah memadai, tidak dilengkapi sabun dan lap - Tempat cuci tangan tidak tersedia dalam jumlah cukup di ruang pengolahan - Toilet tidak tersedia dalam jumlah yang cukup dan memadai - Saluran pembuangan tidak dikonstruksi untuk mencegah kontaminasi dan mengalir dari tempat yang bersih ke kotor - Permukaan dinding banyak yang retak - Konstruksi jendela tidak dapat mencegah kontaminasi serta akumulasi kotoran dan debu - Pintu masuk tidak mudah dibersihkan dan didisinfeksi - Peralatan kerja tidak dijaga kebersihannya - Rancang bangun dan penempatan peralatan tidak menjamin sanitasi dilakukan secara efektif - Limbah tidak ditempatkan pada wadah yang tertutup - Prosedur pengawasan dan pencegahan pest tidak efektif - Produk fillet tidak dipertahankan pada suhu yang mendekati suhu es mencair - Produk tidak terlindung dari kontaminasi yang menyebabkan tidak layak dikonsumsi atau membahayakan kesehatan
63
- Bahan setengah jadi tidak disimpan dalam suhu yang mendekati titik leleh es melalui rantai dingin - Air lelehan dari bahan baku tidak mengalir dengan baik - Bahan baku tidak disimpan dalam suhu dingin pada saat penerimaan - Pembuangan isi perut dan kepala (sebelum proses) dilakukan secara tidak higienis - Setelah dibuang isi perut dan kepala, produk fillet tidak segera dicuci dengan air yang sesuai persyaratan - Peralatan penampungan digunakan tidak dalam kondisi bersih - Produk yang tidak segera diproses, disimpan dalam kondisi yang tidak dingin dan tidak diberi es - Tidak dilakukan pengesan produk setelah di es secara teratur - Pemfilletan dan pemotongan dilakukan ditempat yang sama dengan pembuangan sisi perut dan kepala - Proses pemotongan dan pemfilletan dilakukan secara tidak higienis - Terjadi proses penundaan dalam pembuatan fillet atau pemotongan ikan - Fillet tidak segera didinginkan 4. Penyimpangan Kritis - Penerangan ruang pengolahan tidak dilengkapi dengan pelindung yang aman - Ketersediaan air yang memiliki kualitas sesuai air minum tidak cukup - Produk yang tidak segera diproses tidak diberikan es dan tidak berada dalam sistem rantai dingin - Konstruksi jendela di ruang pengolahan dan pengepakan tidak mencegah kontaminasi Pada unit pengolahan fillet yang termasuk kelompok LM, penyimpangan yang terjadi dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Penyimpangan Minor - Pasokan air panas dan dingin tidak cukup - Tidak adanya loker untuk menyimpan barang karyawan - Tidak tersedianya peta distribusi air dengan outlet dan keran yang diberi kode tertentu
64
2. Penyimpangan Mayor - Keran air dioperasikan dengan tangan - Ruang ganti tidak tersedia dalam jumlah cukup - Toilet tidak dilengkapi dengan ventilasi yang memadai 3. Penyimpangan Serius - Permukaan dinding banyak yang retak - Ventilasi tidak cukup memadai Banyaknya penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan kelompok BM menggambarkan bahwa unit pengolahan tersebut tidak layak untuk melaksanakan proses pengolahan fillet ikan.
Akibat yang ditimbulkan dari penyimpangan-
penyimpangan tersebut adalah rentannya fillet terkontaminasi oleh mikroba, bahan kimia dan partikel fisik yang bersumber dari lingkungan pengolahan, sarana pengolahan, teknis pengolahan yang salah dan karyawan yang tidak menjaga kebersihannya.
Penyimpangan yang terjadi di unit pengolahan fillet
milik responden kelompok BM menggambarkan tidak adanya jaminan mutu dan kemanan pangan produk fillet serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh instansi berwenang.
Hal tersebut tidak perlu terjadi mengingat dalam
Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa pemerintah berhak melakukan pengawasan dan melakukan tindakan administratif maupun penyidikan apabila patut diduga terdapat pelanggaran pidana di bidang pangan. Berdasarkan uraian di atas, ternyata responden kelompok BM dan LM memiliki pendapat berbeda dalam menilai faktor internal, eksternal dan karateristik inovasi yang mempengaruhi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Pada faktor internal, tingkat pengetahuan responden kelompok BM akan aspek-aspek teknis CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan lebih rendah jika dibandingkan dengan responden kelompok LM.
Demikian juga dalam hal
pengalaman menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, dimana reponden kelompok BM ternyata kurang berpengalaman apabila dibandingkan dengan kelompok LM. Pada faktor eksternal, dukungan pemerintah yang diberikan dalam bidang sosial, pengawasan serta penegakan hukum dalam penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan berbeda antara responden kelompok BM dan LM
65
tergantung pada kesiapan responden untuk menerapkan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan serta respon atas tuntutan pasar. Pada aspek permintaan pasar, pembeli fillet responden kelompok BM tidak mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, sedangkan pembeli fillet responden kelompok LM mensyaratkan penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Pada faktor karateristik inovasi, responden kelompok BM lebih mempersepsikan negatif inovasi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Mereka menilai bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan tidak memberikan keuntungan relatif, rumit dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Sedangkan responden kelompok LM lebih mempersepsikan positif inovasi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan. Mereka menilai bahwa penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan memberikan keuntungan relatif, tidak rumit, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, dapat dilihat dan diuji coba keunggulannya.
66