IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI TEH HIJAU Pada penelitian ini, proses ekstraksi teh hijau dilakukan dengan cara penyeduhan. Menurut Astill et al. (2001), perbedaan cara penyeduhan teh dapat memengaruhi komposisi senyawa kimia yang terdapat pada produk akhir minuman teh. Perbedaan cara penyeduhan yang dimaksud diantaranya ialah jumlah teh dan air yang digunakan (konsentrasi teh), jumlah pengadukan, suhu penyeduhan, waktu penyeduhan dan penambahan bahan lain seperti gula. Penelitian ini menggunakan teh hijau sebanyak 2 gram yang diseduh dengan 100 ml air. Menurut Laresolo (2008), penyeduhan teh sebanyak 2 gram dalam 100 ml air akan menghasilkan teh dengan cita rasa yang pas. Formulasi ini juga sesuai dengan konsumsi masyarakat Indonesia pada umumnya. Air yang digunakan untuk menyeduh teh juga berpengaruh terhadap kualitas minuman teh. Pada penelitian ini, teh diseduh dengan menggunakan air destilata. Menurut Rohdiana (2006), penggunaan air yang mengandung mineral Ca/Mg atau air sadah akan mempersulit proses ekstrak teh sehingga ekstraksi menjadi tidak maksimal dan hasilnya menjadi kurang pekat. Ekstraksi teh dilakukan dengan memvariasikan suhu dan waktu. Suhu awal penyeduhan yang digunakan adalah 70˚C, 85˚C, dan 100˚C. Suhu 70˚C digunakan karena merupakan suhu air hangat pada dispenser. Sebagian masyarakat Indonesia melakukan penyeduhan teh dengan menggunakan air panas pada dispenser dan sebagian lagi menggunakan air yang dimasak hingga mendidih. Suhu 100˚C merupakan suhu dimana air mendidih. Sementara untuk suhu 85˚C digunakan karena merupakan suhu yang terletak diantara keduanya. Suhu penyeduhan ini cenderung menurun seiring lamanya waktu penyeduhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengecekan suhu akhir dengan tujuan untuk mengetahui kisaran temperatur selama penyeduhan. Data suhu akhir ekstrak teh hijau ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Suhu akhir ekstrak teh hijau Perlakuan penyeduhan
Suhu Akhir (˚C)
70˚C 5 menit 70˚C 10 menit 70˚C 15 menit
58 53 47
85˚C 5 menit 85˚C 10 menit 85˚C 15 menit
67 59 48
100˚C 5 menit 100˚C 10 menit 100˚C 15 menit
68 60 56
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu waktu penyeduhan selama 5 menit, 10 menit, dan 15 menit. Hal ini dilihat dari kebiasaan masyarakat Indonesia, yaitu teh yang baru diseduh, didiamkan terlebih dahulu guna menunggu teh dengan suhu tidak terlalu panas saat diminum. Variasi waktu penyeduhan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar total fenol, kadar tanin terkondensasi, dan nilai inhibisi enzim lipase oleh komponen bioaktif yang terdapat di dalam teh yang diseduh dengan waktu berbeda.
15
B. NILAI pH EKSTRAK TEH HIJAU Pengukuran pH merupakan prosedur penting karena pH menentukan banyak peranan penting dar struktur dan aktivitas makromolekul biologi seperti aktivitas katalitik enzim (Lehninger, 1993). Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen yang menggambarkan tingkat keasaman. Semakin tinggi nilai pH berarti tingkat keasaman akan semakin rendah dan sebaliknya, semakin rendah pH berarti semakin tinggi tingkat keasamannya (Lehninger, 1982). Pengukuran nilai pH pada ekstrak awal teh hijau dilakukan dengan tujuan mengetahui kisaran pH ekstrak teh hijau sebelum diperlakukan simulasi sistem pencernaan. Nilai pH ekstrak awal teh hijau adalah 5.83 (70˚C 5’), 5.90 (70˚C 10’), 5.65 (70˚C 15’), 5.66 (85˚C 5’), 5.73 (85˚C 10’), 5.73 (85˚C 15’), 5.74 (100˚C 5’), 5.64 (100˚C 10’), dan 5.58 (100˚C 15’). Dari data tersebut terlihat bahwa nilai pH ekstrak awal teh hijau bersifat asam yaitu berada di pH 5.5 sampai dengan 5.9. Lehninger (1982) menyatakan bahwa larutan yang mempunyai pH lebih kecil dari 7 akan bersifat asam karena konsentrasi H+ lebih besar daripada konsentrasi OH-. Berdasarkan data yang diperoleh, nilai pH ekstrak teh hijau yang dihasilkan bersifat asam. Dari Lampiran 1, diketahui bahwa perlakuan suhu, lamanya waktu penyeduhan, dan interaksi antara suhu dan waktu penyeduhan teh hijau tidak berpengaruh pada nilai pH ekstrak teh hijau (p > 0.05). Setelah diketahui nilai pH awal, ekstrak teh hijau disimulasikan sesuai dengan sistem pH pencernaan. Ekstrak diturunkan pH nya menjadi pH 2 yang merupakan kondisi pH pada lambung, ditunggu 30 menit, dan kemudian dinaikkan lagi pH nya menjadi pH 6.8 yang merupakan pH usus halus. Lamanya waktu yang dibutuhkan makanan untuk berada di dalam tergantung dari jenis makanan dan jumlah yang dimakan. Aryani (2011) menyatakan bahwa diperlukan waktu sekitar 30 menit untuk makanan cair atau minuman mengalir dari lambung ke usus kecil. Sementara itu kondisi di lambung sangat asam yakni pH nya sekitar 1-2. Miller (1998) menambahkan bahwa waktu yang diperlukan lambung untuk mencerna minuman adalah sekitar 30 menit. Setelah keluar dari lambung, makanan setengah cair yang memiliki pH sekitar netral akan bercampur dengan enzim-enzim pencernaan yang diproduksi oleh pankreas (Siregar, 2004), seperti enzim lipase yang merupakan enzim pencernaan lipid.
C. KADAR TOTAL FENOL Senyawa fenolik ialah senyawa dengan suatu gugus OH yang terikat pada cincin aromatik (Vermerris dan Nicholson, 2008). Pengukuran kadar total fenol dilakukan pada ekstrak awal teh hijau dan juga pada ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan. Penentuan kadar total fenol dilakukan dengan tujuan mengetahui kadar total fenol pada ekstrak teh hijau baik sebelum maupun setelah simulasi sistem pencernaan. Senyawa polifenol ini diduga merupakan senyawa yang akan menghambat aktivitas enzim lipase di dalam pencernaan. Sudah banyak penelitian yang melaporkan bahwa senyawa polifenol memiliki andil dalam menghambat aktivitas enzim. Haslam et al. (1999) diacu dalam Ali (2002) menyatakan bahwa pembentukan kompleks protein-fenol disebabkan salah satunya oleh adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil fenolik dengan gugus NH- dan CO- pada protein dan juga terjadinya ikatan kovalen dan hidrofobik pada reaksi tersebut. Polifenol teroksidasi berinteraksi lebih kuat dengan protein (Siebert1999 diacu dalam Ali 2002) dan dapat berinteraksi dengan asam amino yang dapat menghambat aktivitas enzim (Millic et al. 1968 diacu dalam Ali 2002). Penentuan kadar total fenol didapatkan dari kurva larutan standar asam galat seperti dapat dilihat pada Lampiran 3. Penentuan kadar total fenol dilakukan menggunakan metode Folin
16
Ciocalteau didasarkan pada reaksi oksidasi-reduksi. Reagen folin yang terdiri dari asam fosfomolibdat dan asam fosfotungstat akan tereduksi oleh senyawa polifenol menjadi molibdenumtungsten (The Grape Seed Method Evaluation Comittee, 2001). Hasil dari reaksi ini membentuk kompleks warna biru. Semakin tinggi komponen polifenol yang terdapat di dalam teh, maka semakin banyak molibdenum-tungsten yang terbentuk, sehingga semakin besar nilai absorbansinya, dan sebaliknya. Standar polifenol yang digunakan pada pengukuran kadar fenol adalah asam gallat (asam 3,4,5-hidroksibenzoat). Nilai total fenol dinyatakan dalam Gallic Acid Equivalent (GAE)/g basis kering (BK). Pengukuran total fenol pada ekstrak awal teh hijau dilakukan dengan tujuan mengetahui kadar total fenol pada ekstrak awal teh hijau sebelum diperlakukan simulasi sistem pencernaan. Total fenol yang dihasilkan memiliki nilai yang berkisar antara 29.59 mg GAE/g BK sampai 47.14 mg GAE/g BK. Nilai total fenol pada ekstrak awal teh hijau (dalam mg GAE/g BK) adalah 32.37 (70˚C 5’), 29.59 (70˚C 10’), 35.99 (70˚C 15’), 42.53 (85˚C 5’), 43.87 (85˚C 10’), 44.21 (85˚C 15 menit), 46.75 (100˚C 5’), 47.17 (100˚C 10’), dan 46.10 (100˚C 15’). Berdasarkan Lampiran 4, perlakuan sampel memiliki pengaruh nyata terhadap total fenol (p < 0.05). Pada uji Duncan (Lampiran 5) dapat terlihat bahwa total fenol awal terendah ditunjukkan oleh ekstrak teh hijau perlakuan penyeduhan 70˚C selama 5 menit dan 10 menit. Sementara total fenol awal tertinggi adalah ekstrak teh hijau perlakuan penyeduhan 85˚C 10 dan 15 menit serta suhu penyeduhan 100˚C semua waktu. Dilihat dari analisis statistik (Lampiran 6), faktor suhu dan interaksi antara suhu dan waktu berpengaruh nyata pada total fenol ekstrak teh awal (p < 0.05). Dari uji lanjut Duncan terlihat bahwa masing-masing suhu penyeduhan menunjukkan perbedaan yang signifikan. Faktor waktu pada perlakuan penyeduhan tidak memberikan pengaruh nyata (p>0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusumaningrum tahun 2008 yang menunjukkan bahwa waktu penyeduhan tidak berpengaruh nyata terhadap total fenol (p>0.05). Sedangkan suhu penyeduhan teh hijau berpengaruh nyata terhadap total fenol seduhan. Kadar total fenol ekstrak teh awal terbesar ditunjukkan oleh ekstrak teh hijau dengan kondisi suhu penyeduhan 100˚C sedangkan nilai total fenol ekstrak teh awal terendah ditunjukkan oleh penyeduhan teh dengan suhu 70˚C. Semakin tinggi suhu penyeduhan maka makin tinggi total fenol yang terekstrak. Suhu tinggi pelarut dapat meningkatkan efisiensi dari proses ekstraksi karena panas dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel, meningkatkan kelarutan dan difusi dari senyawa yang diekstrak, dan mengurangi viskositas pelarut, namun suhu yang terlalu tinggi dapat mendegradasi senyawa polifenol (Escribano dan Santos, 2002). Pengukuran total fenol juga dilakukan pada ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan. Pengukuran total fenol pada ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan dilakukan dengan tujuan mengetahui kadar total senyawa fenol yang masih terdapat di dalam ekstrak teh hijau apabila telah melalui simulasi sistem pencernaan. Total fenol yang dihasilkan berkisar antara 27.88 mg GAE/ g BK sampai 43.37 mg GAE/g BK. Nilai total fenol pada ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan (dalam mg GAE/g BK) adalah 28.63 (70˚C 5’), 27.88 (70˚C 10’), 29.80 (70˚C 15’), 40.96 (85˚C 5’), 40.38 (85˚C 10’), 40.24 (85˚C 15’), 43.03 (100˚C 5’), 43.37 (100˚C 10’), dan 41.75 (100˚C 15’). Berdasarkan Lampiran 8, perlakuan sampel memiliki pengaruh nyata terhadap total fenol (p < 0.05), kemudian pada uji Duncan, terlihat dua kelompok perlakuan yang tergolong berbeda. Perlakuan penyeduhan sampel dengan suhu 70˚C pada semua waktu merupakan perlakuan penyeduhan yang menghasilkan total fenol terendah. Sedangkan perlakuan penyeduhan dengan suhu 85˚C dan 100˚C memiliki total fenol tertinggi. Seluruh perlakuan menghasilkan total fenol yang tidak berbeda nyata.
17
Pada Lampiran 10, dapat dilihat bahwa faktor suhu memberikan pengaruh nyata pada kadar total fenol ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan (p < 0.05). Sedangkan faktor waktu dan interaksi antara suhu dan waktu tidak berpengaruh nyata pada kadar total fenol ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan (p > 0.05). Kemudian dilakukan uji lanjut menggunakan uji Duncan pada faktor suhu. Dari uji lanjut Duncan terlihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara perlakuan suhu penyeduhan. Kadar total fenol pada ekstrak teh hijau setelah simulasi pencernaan yang terendah ditunjukkan oleh ekstrak teh hijau dengan suhu penyeduhan 70˚C, sedangkan kadar total fenol tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak teh hijau dengan suhu penyeduhan 100˚C. Dilihat dari hasil statistik, faktor suhu penyeduhan ekstrak teh hijau memberikan pengaruh nyata baik pada ekstrak sebelum maupun setelah melalui simulai sistem pencernaan. Secara umum, ekstrak teh dengan suhu penyeduhan 70˚C memiliki kadar total fenol yang lebih kecil dibandingkan suhu penyeduhan 85˚C. Begitu pula pada ekstrak teh dengan suhu penyeduhan 85˚C memiliki kadar total fenol yang lebih kecil dibandingkan suhu penyeduhan 100˚C. Hal tersebut dapat dilihat dari Gambar 4, kadar total fenol baik pada ekstrak awal teh hijau maupun ekstrak setelah simulasi sistem pencernaan terus meningkat dari perlakuan suhu 70˚C selama 10 menit hingga perlakuan penyeduhan pada suhu 100˚C selama 10 menit. Dengan demikian, diuga komponen fenol akan lebih banyak terkestrak jika panas yang diberikan semakin tinggi. Menurut Kusumaningrum (2008), Semakin tinggi suhu penyeduhan maka makin tinggi total fenol yang terekstrak. Kadar total fenol yang tinggi pada perlakuan suhu 100˚C selama 10 menit menunjukkan bahwa komponen polifenol terekstrak dengan baik. Gambar 4 menunjukkan kadar fenol sebelum dan setelah simulasi sistem pH pencernaan.
50.00
total fenol (mg GAE/ g BK)
C 40.00 30.00
B A a
A
a
b
b
D
D
CD
CD
b
b
b
D b
a
20.00 10.00 0.00 70˚C 5 70˚C 10 70˚C 15 85˚C 5 85˚C 10 85˚C 15 100˚C 5 100˚C 10 100˚C 15 menit menit menit menit menit menit menit menit menit perlakuan penyeduhan ekstrak awal
ekstrak simulasi
*Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan nilai total fenol yang berbeda nyata (p< 0.05) dengan uji Duncan
Gambar 4. Total fenol ekstrak teh hijau sebelum dan setelah simulasi pencernaan Semakin lama waktu ekstraksi, maka komponen polifenol yang larut akan semakin tinggi, tetapi pada waktu ekstraksi yang sangat lama justru akan menyebabkan senyawa polifenol rusak karena teroksidasi oleh panas. Hal tersebut didukung oleh data perlakuan penyeduhan suhu 100˚C
18
selama 15 menit yang menurun nilainya. Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya pemaparan O2 semakin banyak, sementara terdapat beberapa komponen fenol yang bersifat termosensitif. Cheong et al.(2005) meneliti tentang stabilitas panas pada senyawa fenolik dan melaporkan bahwa kadar epikatekin dan epigalokatekin galat menurun seiring dengan kenaikan suhu sedangkan epikatekin galat meningkat jumlahnya, dengan penggunaan suhu 60, 80, dan 100°C dengan waktu 0-300 menit. Menurut Rohdiana (2006) kadar katekin menurun sebesar 20% jika dipanaskan pada suhu diatas 98˚C. Proses pemanasan dapat menyebabkan oksidasi dari komponen polifenol di dalam teh. Komponen polifenol, seperti katekin dapat teroksidasi menjadi theaflavin. Jika proses oksidasi berlanjut, theaflavin juga akan teroksidasi menjadi thearubigin. Hal itu dapat menyebabkan menurunnya pH teh karena thearubigin bersifat asam kuat (Lelani, 1995). Persen penurunan kadar total fenol pada ekstrak teh hijau sebelum dan setelah simulasi pH sistem pencernaan ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Data total fenol ekstrak teh hijau Perlakuan penyeduhan
Total fenol ekstrak awal (mg GAE/g BK)
Total fenol ekstrak simulasi (mg GAE/g BK)
Penurunan (%)
70˚C 5' 70˚C 10' 70˚C 15' 85˚C 5' 85˚C 10' 85˚C 15' 100˚C 5' 100˚C 10' 100˚C 15'
32.37 29.59 35.99 42.53 43.87 44.21 46.75 47.17 46.10
28.63 27.88 29.8 40.96 40.38 40.24 43.03 43.37 41.75
11.55 5.78 17.20 3.69 7.95 8.98 7.96 7.97 9.44
D. KADAR TANIN TERKONDENSASI Menurut Hagerman (2002), tanin kebanyakan terdiri dari polimer flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Golongan tanin yang banyak terdapat di teh adalah tanin terkondensasi (Shahidi et al., 2009). Pengukuran kadar tanin terkondensasi dilakukan dengan tujuan menduga lebih tepat senyawa apakah di dalam teh hijau yang dapat berperan sebagai inhibitor terhadap lipase. Pengukuran kadar tanin terkondensasi dilakukan pada ekstrak awal teh hijau dan ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan. Kadar tanin terkondensasi didapatkan dari perhitungan pada nilai absorbansi yang diperoleh yang kemudian dikonversi ke dalam satuan g LE (Leucocyanidin Equivalent) / 100 g BK. Pengukuran kadar tanin terkondensasi pada ekstrak awal teh hijau bertujuan untuk mengetahui kadar tanin terkondensasi yang terdapat pada ekstrak awal teh hijau sebelum melalui simulasi sistem pencernaan. Nilai kadar tanin pada ekstrak awal teh hijau (dalam g LE/100g BK) adalah 0.41 (70˚C 5’), 0.35 (70˚C 10’), 0.38 (70˚C 15’), 0.40 (85˚C 5’), 0.44 (85˚C 10’), 0.45 (85˚C 15’), 0.58 (100˚C 5’), 0.60 (100˚C 10’), dan 0.51 (100˚C 15’). Menurut Suryaningrum et al. (2007), kadar tanin terkondensasi pada ekstrak teh hijau adalah 83.503 ppm. Perbedaan nilai ini dapat disebabkan oleh perbedaan komposisi kimia dari daun teh asal dan juga karena proses ekstraksi.
19
Suryaningrum melakukan proses ekstraksi pada teh hijau dengan kondisi penyeduhan 80˚C selama 8 menit. Dari data yang didapatkan terlihat adanya peningkatan kadar tanin terkondensasi dari suhu penyeduhan 70˚C selama 10 menit hingga suhu penyeduhan 100˚C selama 10 menit. Berdasarkan Lampiran 14, perlakuan sampel memiliki pengaruh nyata terhadap kadar tanin terkondensasi (p < 0.05), kemudian pada uji Duncan, terlihat beberapa kelompok perlakuan yang tergolong berbeda. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada masing-masing perlakuan sampel. Perlakuan penyeduhan ekstrak teh hijau yang memiliki kadar tanin terkondensasi tertinggi adalah ekstrak teh hijau dengan suhu awal penyeduhan 100˚C selama 5 dan 10 menit. Berdasarkan analisis statistik (Lampiran 16), dapat dilihat bahwa faktor suhu, waktu, dan interaksi antara suhu dan waktu berpengaruh pada kadar tanin terkondensasi pada ekstrak awal teh hijau (p < 0.050). Pada uji Duncan terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara ketiga perlakuan suhu penyeduhan. Pada umumnya, kadar tanin terkondensasi pada ekstrak awal teh hijau terbesar ditunjukkan oleh teh hijau dengan suhu penyeduhan 100˚C, sedangkan kadar tanin terkondensasi terendah ditunjukkan oleh ekstrak teh hijau dengan suhu penyeduhan 70˚C. Untuk faktor waktu, penyeduhan teh hijau selama 15 menit menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pengukuran kadar tanin terkondensasi pada ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan bertujuan untuk mengetahui kadar tanin terkondensasi setelah mengalami perlakuan simulasi sistem pencernaan, apakah terdapat perbedaan kadar tanin terkondensasi yang kemungkinan dipengaruhi oleh pH pencernaan. Nilai kadar tanin pada ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan (dalam g LE/100 g BK) adalah 0.40 (70˚C 5’), 0.34 (70˚C 10’), 0.37 (70˚C 15’), 0.39 (85˚C 5’), 0.42 (85˚C 10’), 0.45 (85˚C 15’), 0.50 (100˚C 5’), 0.59 (100˚C 10’), dan 0.49 (100˚C 15’). Berdasarkan Lampiran 18, perlakuan sampel memiliki pengaruh nyata terhadap kadar tanin terkondensasi (p < 0.05) pada ekstrak setelah simulasi sistem pencernaan, kemudian pada uji Duncan, terlihat perbedaan yang cukup signifikan pada masing-masing perlakuan sampel. Perlakuan penyeduhan dengan suhu awal penyeduhan 100˚C selama 10 menit menghasilkan kadar tanin terkondensasi tertinggi untuk ekstrak teh hijau setelah simulasi pH sistem pencernaan. Berdasarkan analisis statistik (Lampiran 20), faktor suhu, waktu, dan interaksi antara suhu dan waktu berpengaruh pada kadar tanin terkondensasi pada ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan (p < 0.050). Dari uji lanjut Duncan, terlihat bahwa kadar tanin terkondensasi terendah ditunjukkan oleh ekstrak teh hijau dengan suhu penyeduhan 70˚C dan kadar tanin terkondensasi tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak teh hijau dengan suhu penyeduhan 100˚C. Untuk fakor waktu, dapat terlihat bahwa kondisi penyeduhan selama 10 menit memberikan perbedaan yang signifikan. Dari hasil statistik tersebut dapat dilihat bahwa faktor waktu, suhu, dan interaksi antara suhu dan waktu jelas berpengaruh nyata pada kadar tanin terkondensasi baik pada ekstrak awal teh hijau maupun pada ekstrak teh hijau hasil simulasi sistem pencernaan. Dari Gambar 5 dapat terlihat bahwa tanin terkondensasi pada ekstrak teh hijau dengan kondisi penyeduhan suhu 70˚C selama 10 menit meningkat kadarnya hingga ekstrak teh hijau penyeduhan suhu 100˚C selama 10 menit. Kondisi demikian terjadi pada ekstrak teh hijau sebelum maupun sesudah simulasi sistem pencernaan. Xu et al., (2006) menyatakan dengan semakin meningkatknya suhu ekstraksi maka jumlah komponen fenolik dalam bentuk glikosida akan semakin menurun. Sebagian besar komponen fenol yang terekstrak pada kondisi ekstraksi 100˚C diduga adalah tanin. Ekstraksi pada suhu 100˚C dapat menyebabkan gula dan beberapa komponen organik pada tanaman pecah dan menghasilkan ekstrak dengan warna yang gelap. Tanin adalah golongan polifenol yang tahan terhadap pemanasan (Pansera et al., 2004; Winarno, 1997).
20
Tanin terkondensasi (g/100 g)
Pada pemanasan dengan suhu yang semakin tinggi akan diperoleh kadar tanin dalam jumlah besar tetapi kualitas tanin yang dihasilkan kurang baik karena komponen non-tanin yang terlarut juga semakin besar. Sedangkan penyeduhan dengan suhu yang terlalu rendah dan waktu pemanasan yang terlalu singkat kurang efisien karena kelarutan tanin belum mencapai titik optimal. Hal ini bisa menjadi alasan mengapa pada perlakuan suhu 70˚C selama 10 menit dan 100˚C selama 15 menit kadar tanin terkondensasi nya rendah. Diduga pada perlakuan penyeduhan suhu 100˚C selama 15 menit, senyawa tanin mulai terjadi kerusakan. Kadar tanin terkondensasi sebelum dan setelah simulasi pH pencernaan dapat dilihat pada Tabel 7. F
F
0.60 0.50
C
0.40
cd
A a
B b
D
C c
d
D e
f
g E
f
0.30 0.20 0.10 0.00 70˚C 5 70˚C 10 70˚C 15 85˚C 5 85˚C 10 85˚C 15 100˚C 5 100˚C 10 100˚C 15 menit menit menit menit menit menit menit menit menit perlakuan penyeduhan ekstrak awal simulasi
ekstrak simulasi
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan kadar tanin terkondensasi yang berbeda nyata (p < 0.05) dengan uji Duncan
Gambar 5. Tanin terkondensasi pada ekstrak teh hijau sebelum dan setelah simulasi sistem pencernaan
Tabel 7. Data kadar tanin terkondensasi ekstrak teh hijau Perlakuan penyeduhan
Tanin terkondensasi ekstrak awal (g/100g)
Tanin terkondensasi ekstrak simulasi (g/100 g)
Penurunan (%)
70˚C 5'
0.41
0.40
2.44
70˚C 10' 70˚C 15' 85˚C 5' 85˚C 10'
0.35 0.38 0.40 0.44
0.34 0.37 0.39 0.42
2.86 2.63 2.50 4.54
85˚C 15' 100˚C 5' 100˚C 10' 100˚C 15'
0.45 0.58 0.6 0.51
0.45 0.5 0.59 0.49
0.00 13.79 1.67 3.92
21
E. INHIBISI ENZIM LIPASE Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas penghambatan enzim lipase yang berasal dari pankreas babi tipe II (Sigma L3126). Uji inhibisi enzim lipase secara in vitro dilakukan dengan menggunakan model penghambatan pemecahan substrat p-nitrofenil-laurat (tidak berwarna) menjadi p-nitrofenil (berwarna kuning) dan asam laurat oleh enzim lipase. Proses pemecahan substrat p-nitrofenil laurat dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Reaksi hidrolisis pNp Laurat Nilai inhibisi ekstrak awal digunakan sebagai pembanding bagi ekstrak simulasi pH pencernaan, sehingga dapat diketahui apakah proses pencernaan memiliki pengaruh terhadap kemampuan teh hijau dalam menghambat enzim lipase. Kemampuan inhibisi ekstrak awal teh hijau terhadap lipase adalah berkisar antara 69.23% hingga 93.47%. Hasil uji inhibisi enzim lipase terhadap ekstrak awal teh hijau adalah 74.28 % (70˚C 5’), 69.23 % (70˚C 10’), 73.69 % (70˚C 15’), 72.06 % (85˚C 5’), 72.74 % (85˚C 10’), 79.80 % (85˚C 15’), 88.42 % (100˚C 5’), 93.47 % (100˚C 10’), dan 89.17 % (100˚C 15’). Berdasarkan analisis statistik, (Lampiran 23), faktor suhu merupakan faktor yang mempengaruhi nilai inhibisi lipase pada ekstrak awal teh hijau (p < 0.05) dan kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan. Sementara untuk faktor waktu dan interaksi antara suhu dan waktu tidak berpengaruh terhadap nilai inhibisi lipase pada ekstrak awal teh hijau. Dari uji Duncan terlihat bahwa teh hijau dengan suhu penyeduhan 100˚C memberikan perbedaan yang signifikan diantara ketiga perlakuan suhu. Pada Lampiran 27, dapat dilihat faktor perlakuan sampel dan Orlistat terhadap inhibisi enzim lipase pada pH awal. Faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap inhibisi lipase pada pH awal (p < 0.05). Pada uji lanjut Duncan, terlihat bahwa Orlistat memiliki daya inhibisi yang hampir sama dengan perlakuan sampel dengan suhu 70˚C dan 85˚C di semua waktu. Daya inhibisi tertinggi pada ekstrak awal teh hijau ditunjukkan oleh ekstrak teh hijau dengan perlakuan penyeduhan suhu awal 85˚C selama 15 menit, dan suhu awal penyeduhan 100˚C di semua waktu. Kemampuan inhibisi ekstrak teh hijau setelah melalui simulasi pH pencernaan adalah berkisar antara 44.29% sampai 91.48%. Nilai inhibisi lipase terhadap ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan adalah 55.69 % (70˚C 5’), 44.29 % (70˚C 10’), 68.67 % (70˚C 15’), 70.23 % (85˚C 5’), 71.97 % (85˚C 10’), 73.65 % (85˚C 15’), 87.43 % (100˚C 5’), 91.48 % (100˚C 10’), 69.86 % (100˚C 15’). Berdasarkan analisis statistik, faktor suhu dan interaksi antara suhu dan waktu merupakan faktor yang mempengaruhi nilai inhibisi lipase pada ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan (p < 0.05) dan kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan. Dari uji Duncan terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketiga perlakuan suhu. Teh hijau dengan suhu penyeduhan 70˚C memiliki nilai inhibisi lipase ekstrak awal yang paling rendah sedangkan teh hijau dengan suhu penyeduhan 100˚C memiliki nilai inhibisi lipase yang paling besar. Pada Lampiran 29 dapat dilihat faktor perlakuan sampel dan Orlistat terhadap inhibisi enzim lipase pada pH setelah simulasi pencernaan. Faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap inhibisi lipase (p < 0.05). Pada uji lanjut Duncan, terlihat bahwa Orlistat memiliki daya inhibisi
22
Inhibisi lipase (%)
setelah simulasi pencernaan yang nilainya tidak berbeda dengan sampel dengan perlakuan penyeduhan suhu 70˚C selama 5 menit. Perlakuan penyeduhan sampel ekstrak teh hijau dengan suhu awal penyeduhan 100˚C selama 10 menit memiliki nilai daya inhibisi setelah simulasi pencernaan yang hampir sama dengan perlakuan penyeduhan 100˚C selama 5 menit. Kedua perlakuan penyeduhan ekstrak teh hijau tersebut menghasilkan daya inhibisi tertinggi setelah simulasi pencernaan. Dari Gambar 7 terlihat bahwa daya inhibisi lipase pada perlakuan penyeduhan 70˚C selama 10 menit sampai perlakuan suhu penyeduhan 100˚C selama 10 menit terus meningkat. Hal itu terjadi karena komponen bioaktif yang diduga dapat menghambat aktivitas enzim lipase belum banyak terekstrak dan pada perlakuan penyeduhan suhu 100˚C selama 15 menit, komponen bioaktif tersebut diduga teroksidasi oleh panas dan menurunkan aktivitas inhibisi lipase. Selain itu kemungkinan pada perlakuan penyeduhan pada suhu dan waktu tertentu juga terdapat senyawa jenis lain yang ikut terekstrak yang memliki aktivitas inhibisi lipase karena masing-masing senyawa bioaktif yang berbeda akan terekstrak pada waktu dan suhu yang berbeda pula. Data persen penurunan inhibisi lipase antara ekstrak teh hijau sebelum dan setelah simulasi pH sistem pencernaan dapat dilihat pada Tabel 8. Pada pH asam, kondisi lingkungan akan dipenuhi ion-ion H+. Diduga perubahan sifat asam amino-asam amino penyusun enzim akan memengaruhi struktur tiga dimensi enzim sehingga enzim tidak dapat bekerja secara optimum. Oleh karena itu, terdapat penurunan yang cukup signifikan pada sebagian besar perlakuan ekstrak teh hijau antara sebelum dan setelah simulasi pH sistem pencernaan. Hart et al., (2003) menyatakan asam amino bersifat amfoterik artinya dapat berperilaku sebagai asam dan basa. Muchtadi et al., (2006) menyatakan perubahan keaktifan enzim oleh perubahan pH lingkungan disebabkan oleh terjadinya perubahan ionisasi pada gugus ionik enzim, pada sisi aktifnya atau sisi lain yang secara tidak langsung memengaruhi sisi aktif. 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
BC e AB
AB
A
cd
A cd
A
cd
ABC
d
C e
BC cd
A
b
bc
a
70C 5 70C 10 70C 15 85C 5 85C 10 85C 15 100C 5 100C 10 100C 15 orlistat menit menit menit menit menit menit menit menit menit Penyeduhan ekstrak awal
ekstrak simulasi
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan inhibisi yang berbeda nyata (p< 0.05) dengan uji lanjut Duncan
Gambar 7. Nilai inhibisi enzim lipase dari ekstrak teh hijau sebelum dan setelah simulasi sistem pencernaan Orlistat pada penelitian ini digunakan sebagai kontrol positif dalam inhibisi lipase. Orlistat merupakan zat aktif yang pertama kali ditemukan dapat berfungi sebagai inhibitor lipase dan
23
memiliki efek yang sangat tinggi. Orlistat dihasilkan oleh bakteri Streptomyces toxitricini (Hadvary et al., 1988). Orlistat bekerja spesifik dengan mekanisme penghambatan non kompetitif pada lumen lambung dan usus halus dengan membentuk suatu ikatan kovalen pada serine yang aktif dari lipase pankreas dan lambung sehingga merubah kerja enzim menjadi non aktif (Cariere et al., 2001). Enzim yang dinonaktifkan tersebut tidak dapat menghidrolisis trigliserida makanan menjadi asam lemak bebas dan monogliserol yang dapat diserap. Orlistat memiliki daya inhibisi lipase sebesar 71.65% sebelum simulasi sistem pencernaan dan 62.01% setelah simulasi sistem pencernaan. Jika dibandingkan dengan Orlistat, semua perlakuan ekstrak teh hijau memiliki daya inhibisi lebih tinggi dibandingkan dengan Orlistat kecuali pada perlakuan penyeduhan dengan suhu 70˚C selama 10 menit. Hal ini bisa terjadi karena kelarutan Orlistat lebih rendah dibandingkan teh hijau. Menurut Iswantini et al., (2011), Xenical (Orlistat) dapat menginhibisi lipase pankreas 10.6% pada konsentrasi 100 ppm. Tabel 8. Data inhibisi lipase ekstrak teh hijau Perlakuan penyeduhan
Daya Inhibisi lipase ekstrak awal (%)
Daya inhibisi lipase ekstrak simulasi (%)
penurunan (%)
70˚C 5' 70˚C 10' 70˚C 15' 85˚C 5' 85˚C 10' 85˚C 15' 100˚C 5' 100˚C 10' 100˚C 15' Orlistat
74.28 69.23 73.69 72.06 72.74 79.8 88.42 93.47 89.17 71.65
55.69 44.29 68.67 70.23 71.97 73.65 87.43 91.48 69.86 62.01
18.59 24.94 5.02 1.83 0.77 6.15 0.99 1.99 19.31 9.64
Dalam hal kemampuan menghambat lipase, teh hijau terbukti lebih baik dibandingkan teh hitam. Penelitian yang dilakukan Bijaksana (2012) menunjukkan bahwa inhibisi lipase dari teh hitam memiliki nilai dibawah kemampuan Orlistat. Pada teh hitam kemampuan inhibisi terbaik adalah pada penyeduhan suhu 70oC selama 5 menit dan 10 menit, atau 100o C selama 15 menit. Studi terbaru yang dilakukan terhadap potensi teh adalah peranannya membantu menurunkan berat badan seperti dilaporkan dalam American Journal of Clinical Nutrition, 1999 . Penelitian tersebut dilakukan oleh Institute of Physiology , University of Fribourg , Switzerland , yang melibatkan 10 orang sebagai sampel. Para peneliti melakukan pengukuran 24 jam energi expenditure pada subjek yang diberi kafein (50 mg), ekstrak teh hijau (50 mg kafein dan 90 mg EGCG), serta placebo. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian ekstrak teh hijau secara bermakna meningkatkan 4% energi expenditure bila dibandingkan placebo. Dari penelitian tersebut, teh hijau diketahui mempunyai potensi sebagai thermogenesis sehingga mampu meningkatkan pembakaran kalori dan lemak yang berimplikasi terhadap penurunan berat badan. Hasil studi ini menjanjikan potensi penggunaan ekstrak teh hijau dalam program penurunan berat badan, di samping melakukan pembatasan konsumsi kalori (Pambudi, 2006). Uji T-Test dapat dilihat pada Lampiran 31-39. Uji ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai antara kadar total fenol, tanin terkondensasi, dan nilai inhibisi pada ekstrak awal teh hijau sebelum dan sesudah simulasi sistem pencernaan. Berdasarkan Uji T, kadar total fenol yang memiliki perbedaan nyata pada p < 0.05 antara ekstrak teh hijau sebelum dan sesudah sistem
24
pencernaan adalah pada perlakuan penyeduhan suhu 70˚C selama 15 menit, suhu 85˚C selama 10 menit, dan suhu 100˚C di ketiga waktu. Hal ini berarti bahwa secara garis besar pH berpengaruh pada kadar total fenol di dalam teh. Pengujian pada kadar tanin terkondensasi memberikan hasil adanya perbedaan nyata ( p < 0.05) pada kadar tanin terkondensasi antara ekstrak awal teh hijau dan ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan dengan perlakuan penyeduhan suhu 70˚C selama 15 menit dan suhu 100˚C selama 5 menit. Hagerman et al 1998 menyatakan bahwa jika terbentuk ikatan hidrogen antar tanin dengan protein, terutama pada pH mendekati isoelektrik (4-5) kemungkinan yang terjadi adalah protein menjadi terendapkan. Fenomena ini dikenal dengan denaturasi protein. Apabila protein enzim terdenaturasi, maka enzim akan menjadi inaktif. (Insel et al., 2011). Dilihat dari hasil T-Test pada keseluruhan perlakuan, didapatkan bahwa perlakuan penyeduhan dengan suhu 70˚C selama 10 menit dan suhu 100˚C selama 15 menit memberikan perbedaan yang nyata. Hal ini berarti pH pencernaan dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada ekstrak teh yang diberi perlakuan simulasi sistem pencernaan. Komponen bioaktif yang diduga dapat menghambat kerja dari enzim adalah komponen fenolik yang tahan terhadap panas dan tidak tahan terhadap perubahan pH sistem pencernaan manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari kemampuan komponen yang masih bisa terekstrak dengan baik di suhu 100˚C dan memberikan nilai inhibisi lebih besar dibandingkan Orlistat. Sementara itu, tanin merupakan senyawa fenol yang tahan pada suhu tinggi 3. Hubungan Inhibisi Enzim Lipase dan Total Fenol Korelasi yang bernilai antara 0.41 hingga 0.70 (p<0.05) memiliki keeratan kuat dan 0.71 hingga 0.90 (p<0.05) memiliki keeratan sangat kuat (Nugroho, 2005). Dari Uji Korelasi (Lampiran 40) pada p < 0.01, diketahui bahwa kadar total fenol pada ekstrak awal teh hijau memberikan pengaruh nyata pada nilai inhibisinya. Dengan uji lanjut Pearson, nilai 0.510 menunjukkan korelasi yang kuat antara keduanya. Dengan menggunakan p < 0.01 juga, didapatkan kadar total fenol pada ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan memberikan pengaruh nyata pada nilai inhibisi lipase. Uji lanjut Pearson menunjukkan nilai 0.731 yang artinya pada taraf kepercayaan 99%, korelasi antara total fenol dan nilai inhibisinya sangat kuat. 90.00 Inhibisi lipase (%)
85.00
R² = 0.510 ( p < 0.01)
80.00 75.00 70.00
R² = 0.731 (p < 0.01)
65.00 60.00 55.00 50.00 25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
Total Fenol (mg GAE/g BK) Linear (ekstrak awal)
Linear (ekstrak simulasi)
Gambar 8. Grafik Korelasi Inhibisi Enzim Lipase dan Total Fenol
25
Inhibisi lipase (%)
4. Hubungan Inhibisi Enzim Lipase dan Kadar Tanin Terkondensasi Dari Uji Korelasi (Lampiran 42) pada p < 0.01, diketahui kadar tanin terkondensasi pada ekstrak awal teh hijau memberikan pengaruh nyata pada nilai inhibisinya. Dengan uji lanjut Pearson, nilai 0.622 menunjukkan korelasi yang kuat antara keduanya. Dengan menggunakan p < 0.01 juga, didapatkan kadar tanin terkondensasi pada ekstrak teh hijau setelah simulasi sistem pencernaan memberikan pengaruh nyata pada nilai inhibisi lipase. Uji lanjut Pearson menunjukkan nilai 0.725 yang artinya pada taraf kepercayaan 99%, korelasi antara kadar tanin terkondensasi dan nilai inhibisinya sangat kuat. 95.00 90.00 85.00 80.00 75.00 70.00 65.00 60.00 55.00 50.00
R² = 0.622 ( p < 0.01) R² = 0.725 ( p < 0.01)
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
Tanin terkondensasi (g LE/100 g BK) Linear (ekstrak awal)
Linear (ekstrak simulasi)
Gambar 9. Grafik Korelasi Inhibisi Lipase dan Tanin Terkondensasi Dari hasil uji korelasi yang didapat, besar dugaan senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim lipase pada ekstrak teh hijau adalah komponen polifenol golongan flavanol yang didominasi oleh EC, ECG, dan EGCG. Ketiga senyawa tersebut merupakan senyawa polifenol yang tidak tahan panas. Sementara itu, dilihat dari hasil penyeduhan suhu 100˚C, tanin juga diduga kuat berperan dalam aktivitas penghambatan enzim lipase pada ekstrak teh hijau. Tanin adalah golongan polifenol yang tahan terhadap pemanasan (Pansera et al., 2004; Winarno, 1997).
26