IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. Sejarah Musik Rock (pattern of resistance) Tidak ada sumber tulisan yang menyebutkan usia musik rock dengan pasti. Sejarah rock dalam literatur memiliki versinya sendiri-sendiri. Beberapa sumber menyebutkan rock’n’roll lahir di akhir 1951, saat penyanyi Johnny Ray tampil atraktif di atas panggung atau ketika Elvis Presley pada bulan Juli 1954 muncul. Atau pada Maret 1955 saat film Blackboard Jungle melesatkan ”Rock Around the Clocknya” Bill Haley. Oleh karena itu, sering terjadi perdebatan mengenai asal muasal rock’n’roll di awal 1950-an, serta lagu apa yang pertama kali benar-benar rock. Rock dibentuk dari hibridisasi berbagai macam roots menjadi suatu identitas yang orang-orang menyebutnya sebuah genre baru (lihat lampiran). Hal tersebut dieksplorasi dan dikembangkan oleh banyak orang. Lagu Bill Haley ini tercatat sebagai lagu rock pertama yang menjadi hit serta mengejutkan kesadaran nasional. Elvis, Carl Perkins, Jerry Lee Lewis, dan Roy Orbison, para bintang rock kala itu, pertama kali muncul di bawah bendera Sun Records, satu dari sekian banyak record label yang memproduksi musik rock serta musik blues Howlin’ Wolf dan juga musik country Johny Cash. Musik rock sendiri mengalami perkembangan pesat pada awal tahun 60-an di Amerika. Pada masa ini, rock menjadi agen resistensi situasi dalam negeri tentang hak-hak rakyat sipil Amerika terlihat sampai pertengahan tahun 1960. Aktivis-aktivis Amerika keturunan Afrika (Afro-Amerika) menggambarkan tradisi menyanyi mereka sebagai objektivasi dalam memperoleh keadilan dan kebebasan. Melalui lagulagunya, mereka menyuarakan protes, membangun komunitas, menjadikan model sebuah demokrasi, dan memfasilitasi sebuah pandangan akan sebuah dunia yang lebih baik. Di era ini, sound yang muncul mulai diperkeras dengan adanya organ, dan pemakaian tamborin. Selain itu, ditandai juga dengan munculnya warna surf rock dan folk rock. Surf rock lahir di kawasan pantai Amerika (terutama di pantai barat) sebagai musiknya para peselancar. Kelompok Beach Boys tercatat sebagai pengusung surf rock yang paling berkibar. Sementara folk rock merupakan perpanjangan tangan
dari musik folk. Mengangkat isu politik dan sosial dalam lirik sekaligus balutan musik elektrik, folk rock melesatkan penyanyi seperti Bob Dylan dan Joan Baez. Pertengahan tahun 1960-an sampai dengan awal tahun 1970-an, tema anti perang Vietnam muncul ke permukaan. Ini merupakan ilustrasi akan kekuatan musik yang paling tidak diharapkan sebagai agen resistensi. Masyarakat Amerika terluka oleh keterlibatan permusuhan di Vietnam, gerakan menuntut hak-hak rakyat sipil, credibility gap dan generation gap, masalah keprihatinan kaum feminis, meningkatnya penggunaan obat-obat terlarang di kalangan generasi muda kelas menengah ke atas, pembunuhan atas beberapa pemimpin negara yang sangat karismatik dan kesadaran baru akan pentingnya isu lingkungan. Era ini ditandai dengan sound gitar elektrik dan grup berformasi empat serta melahirkan beberapa subgenre musik rock juga musisi maupun band seperti Jimi Hendrix, Eric Clapton, Alvin Lee, Grateful Dead, Jefferson Airplane, Quicksilver Messenger Service sampai dengan Big Brother and Holding Company. Ketika perang Vietnam usai, industri musik dan radio kembali normal. Musik politis jarang ditemukan. Inilah era berakhirnya booming musik rock. Lahirnya subgenre heavy metal lebih mengarah pada jalur pelarian hedonis dari masalahmasalah personal atau murni hiburan. Industri musik sempat mengalami destabilisasi ketika Sex Pistols, The Clash, dan band punk lainnya muncul di London, Inggris. Era 1980-an ini, dari punk juga lahir genre new wave yang oleh Rick Carroll, program director radio KROQ-FM di Los Angeles, Amerika Serikat, disebut dengan “rock of the eighties”. Beberapa stasiun radio mengalami polemik apakah perlu memutar musik dari B 52’s, Talking Heads, dan The Police. Banyak kolaborasi antara musik rock dan pop pada masa ini, salah satunya adalah Usa for Africa yang menghasilkan 50 juta dollar untuk mengurangi kelaparan di Etiopia. Rock of eighties ini dikenal dengan sound yang serba elektronik–komputer, keyboard, dan synthesizer. Mulai akhir tahun 1980-an sampai saat ini, musik rock begitu beragam. Pada era informasi ini tidak ada lagi yang mendominasi. Jika ada yang muncul dengan sound yang serba ”industrial” itu bukan varian baru. Rock kemudian menjadi payung besar yang menaungi berbagai macam genre musik, mulai dari hard rock, heavy
metal, speedmetal, acid rock, psychedelic rock, glam rock, punk rock, art rock, jazz rock, trashmetal, grindcore, hipmetal, hingga nu metal. Apa pun sebutannya, semua jenis musik itu akan merujuk pada satu kata: rock. Di Era ini, dikarakterisasi dengan fenomena berakhirnya perang dingin yang mengakibatkan perubahan struktur sosial dalam skala global. Disintegrasi Uni Soviet sebagai salah satu kekuatan akibat globalisasi menjadikan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan adidaya di dunia baik secara ekonomi maupun politik. Tidak ada lagi ancaman militer yang signifikan bagi Amerika Serikat di dunia sehingga pemerintah Amerika lebih fokus pada industri budaya. Peranan CIA termarjinalisasi dan digantikan oleh perwakilan dagang (trade representatives) sebagai representasi dari kepentingan pemerintah Amerika Serikat mulai dari para ahli ekonomi, investor, dan berbagai komunitas bisnis. Selama Amerika Serikat masih melakukan intervensi secara intens di wilayah Timur Tengah, Amerika Tengah, dan berbagai wilayah lainnya di dunia, para musisi rock underground akan terus menghasilkan musik protes terhadap kebijakan luar negeri pemerintahan negara tersebut. Salah satu suara protes tersebut muncul dari band subkultur asal Amerika Serikat sendiri yaitu Dead Kennedy’s band. Berikut lirik yang merefleksikan kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintahan Amerika Serikat: In the name of world peace, in the name of world profits America pumps up our secret police, America wants fuel To get it, it need puppets, So what’s ten million dead If it’s keeping out the Russians? When cowboy Ronnie comes to town, forks out his tounge at human rights... Smile at the mirror as cameras click, and make big business happy C’mon bleed...bleed for me
Perkembangan tema musik rock era permulaan sampai tema terakhir, dapat dilihat pada matriks 6 berikut ini: Matriks 6. Perkembangan Musik Rock Era
Tema
1950-1965
Protes akan situasi nasional dalam negeri tentang hak-hak rakyat sipil Amerika
1965-1975
Anti perang Vietnam dan kesadaran baru akan pentingnya isu lingkungan
1975-1986
Kebebasan berekspresi (katarsis dan hiburan)
1986-2011
Resistensi terhadap intervensi pemerintah Amerika Serikat
Dari matriks di atas terlihat bahwa musik rock dari tahun ke tahun mengalami perubahan tema. Meski tidak selalu terjadi dalam kurun waktu tertentu, perubahan tema yang disuarakan secara tidak langsung merefleksikan situasi sosial pada masa tersebut serta perasaan masyarakat dimana musik rock tersebut disuarakan. Dengan demikian, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir mayoritas terlihat resistensi masyarakat dunia mengarah kepada satu kekuatan negara adidaya yaitu Amerika Serikat. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa musik memiliki peranan penting dalam komunikasi antarmanusia. Sebagai manifestasi pergerakan sosial musik rock underground merupakan bentuk ekspresi manusia yang potensial dalam memobilisasi hati dan pikiran. Musik rock underground merupakan komunikasi simbolik yang dapat menjadi tema sebuah protes tentang kondisi sosial seperti yang terlihat pada era 1950-1965, era 1965-1975, dan era 1986-2011. Musik rock underground merupakan sebuah refleksi dan respons terhadap situasi kehidupan yang mengkonfirmasi identitas budaya penciptanya. 4. 2. Perkembangan Musik Rock di Indonesia Genre musik Indonesia selalu sinkretis dan menyerap pengaruh dari luar. Usaha mempribumikan musik asing dimulai jauh sebelum derasnya pembicaraan tentang ”musik dunia” atau ”globalisasi” saat ini, dan jauh sebelum munculnya minat dalam pemasaran musik rekaman secara internasional.
Pada abad 20, perubahan dalam teknologi rekaman dan praktik pemasaran barat juga mempengaruhi pola produksi dan konsumsi musik di Indonesia. Alat musik gramofon Columbia buatan AS diimpor ke Hindia Belanda pada awal 1900-an. Pada awal tahun-tahun sebelum perang, ada tiga perusahaan rekaman milik Cina di wilayah jajahan ini, dua di Batavia dan satu di Surabaya dengan pasar kecil di kalangan elit perkotaan. Musik populer di Indonesia mulai berkembang sejak 1950-an. Saat itu festival musik, pergelaran musik, dan misi kesenian (yang mencakup musik) mulai banyak diadakan. Di tahun 1951, untuk pertama kali Radio Republik Indonesia (RRI) mengadakan pemilihan ”bintang radio”. Di tahun 1959 berdiri Persatuan Warga Musik Indonesia (PWMI), suatu organisasi yang bertujuan menyatukan semua tenaga musik yang masih berpencaran. Pada 1951, sebuah perusahaan pribumi, Irama, mulai memproduksi rekamanrekaman piringan hitam, diikuti pada oleh Remaco dan Dimita. Lokananta, perusahaan rekaman milik negara yang didirikan di Solo tahun 1955, segera mendominasi industri rekaman dalam negeri, berkonsentrasi hampir secara eksklusif pada musik-musik Jawa (Philip Yampolsky. Lokananta: A Discography of the National Recording Company of Indonesia 1957-1985, Center for South-East Asian Studies, University of Wiscounsin, Madison, 1987). Dominasinya berlangsung singkat, karena perubahan teknologi di tahun 1960-an mengakibatkan masuknya perusahaan serta teknik produksi yang baru ke dalam industri ini. Pada pertengahan dasawarsa 1950-an itu berkembang jenis musik rock’n’roll yang diperkenalkan Bill Halley and The Comets dan kemudian dipopulerkan oleh Elvis Presley. Bahkan, di Amerika Serikat, musik ini mendapatkan sorotan keras dari para “pengawal budaya” karena dianggap mengancam nilai-nilai budaya dominan. Lewat medium piringan hitam, rock’n’roll masuk Indonesia dan menjadi populer di kalangan anak-anak muda golongan menengah kota besar yang jumlahnya sangat terbatas. Pada 1960-an, pengaruh musik rock’n’roll diperkuat dengan masuknya jaringan hitam kelompok-kelompok musik Inggris seperti The Shadows dan The Beatles.
Dalam perkembangan sejarah musik Indonesia belum pernah terjadi bahwa kaum muda total gandrung kepada musik asing seperti terjadi pada tahun-tahun itu. Suatu situasi yang secara kultural-politis sangat memprihatinkan penguasa pada satu pihak, akan tetapi juga sekaligus merisaukan para orang tua dan para pejuang kebangsaan yang sedang mencari bentuk jati diri budayanya sebagai sebuah bangsa. Di satu sisi ada upaya memberi bentuk, watak, dan cara-cara baru pengucapan musik yang dapat mencitrakan cita rasa ke-Indonesiaan. Namun, pada sisi lain, kuatnya pengaruh budaya musik bebas nilai yang datang dari luar melanda begitu kuat kaum mudanya seperti tidak pernah dapat dibendung. Presiden Sukarno, dalam pidatonya 17 Agustus 1959 (ketika memaparkan suatu ‘manifesto politik’ atau ‘manipol’) mendesak anak-anak muda untuk melawan kebudayaan dari yang disebutnya sebagai negara-negara nekolim (neo-kolonialis dan imperialisme) barat: “dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock’n’roll-rock’n’roll-an, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musikmusikan ala ngak-ngik-ngek gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi?”. Kritik tersebut menjadi dorongan bagi tumbuhnya musik pop Indonesia yang lebih nasionalistis. Band-band menghidupkan kembali lagu-lagu lama dengan gaya baru. Lagu standar keroncong yan terkenal, ”Bengawan Solo”, dibawakan dalam gaya musik rock dan cara menyanyi gaya Elvis. Setelah keputusan September 1959 oleh DPA untuk mengadopsi prinsip-prinsip manipol presiden sebagai GBHN, terjadi pelarangan atas lagu-lagu barat yang dianggap ngak-ngik-ngok. Musik rock barat populer oleh artis-artis seperti Elvis Presley dan The Beatles dikeluarkan dari radio Pemerintah. Rekaman-rekaman musik rock dikumpulkan dan dibakar di depan umum. Namun, kecaman resmi dari pemerintah malah mengubah rock menjadi simbol perlawanan terhadap otoritas negara: album-album asing diselundupkan dan anak-anak muda Jakarta menyetel siaran gelombang pendek dari luar negeri.
Periode tahun 1960-an banyak dianggap memunculkan musik-musik murahan yang bersifat kedaerahan atau berbau agitasi politik, serta kurang memenuhi selera baik musik. Banyak orang tak profesional yang hanya berbekal berani tampil muncul sebagai idola-idola baru musik yang semata-mata telah menjadi pentas dunia hiburan. Musik modern Indonesia yang sedang tumbuh semakin kehilangan basis orientasi keseniannya lalu berbalik menjadi semata-mata komoditi kesenangan yang tak jelas arah perkembangannya dan tak jarang menjadi alat pencari kuasa politik. Di awal dasawarsa 1960-an tersebut, anak-anak dari golongan kaya, yang mampu membeli peralatan musik seperti gitar, mulai membentuk kelompok band. Mereka ini memainkan lagu-lagu barat populer dari kelompok yang baru mereka dengar seperti Everly Brothers atau pun irama jenis baru (rock’n’roll), The Beatles dari piringan hitam yang mereka dengar. Los Suitama, Eka Djaja Combo, The Shadow, Koes Bersaudara adalah beberapa dari yang melakukan hal ini. Menjelang pertengahan dasawarsa 1960-an, kelompok-kelompok seperti ini mulai menyanyikan lagu sendiri yang jelas terpengaruh lagu-lagu asing yang sering mereka bawakan. Pada masa ini di berbagai kota mulai dikenal festival band. Perubahan politik pada 1965-1966 membuka kembali pasar Indonesia bagi produk musik barat serta mendorong tumbuhnya kelompok band pop baru. Mereka menggabungkan yang sebelumnya dilarang sebagai rock barat ke dalam lagulagunya. Lagu-lagu dari kelompok-kelompok rock barat seperti The Rolling Stones, Deep Purple, maupun lagu-lagu dari kelompok Indonesia seperti Rollies serta Godbless, terus menerus diputar di stasiun-stasiun radio amatir, begitu pula d
lam
pertunjukkan konser-konser rock yang digelar di kota-kota besar di Indonesia. Penyanyi utama Rolling Stones, Mick Jagger, memiliki pengaruh yang luar biasa terutama pada band-band di Bandung. Nama, kebiasaan maupun judul lagu Rolling Stones, telah menjadi semacam standar ”kebudayaan” kaum muda Indonesia. Politik ”pintu terbuka” membawa konsekuensi terjadinya arus penyatuan dengan budaya populer dunia. Berbagai macam produk budaya yang berasal dari negeri-negeri kapitalis maju memasuki Indonesia. Gaya hidup kaum muda barat masuk ke Indonesia melalui media massa, di masa itu kebanyakan majalah hiburan
menyadur tulisan dari majalah luar negeri. Majalah-majalah hiburan Indonesia mayoritas menyajikan tulisan-tulisan mengenai gaya hidup pemuda negara-negara Eropa/Amerika, salah satunya adalah kaum hippies. Mereka bagian dari youth counter-culture yang menggugat kemapanan masyarakat kapitalisme industri maju yang tidak memberikan kebahagiaan kepada mereka, sebaliknya justru bersifat menindas. Rock juga merupakan bagian dari counter-culture ini. Akan tetapi di tahun 1970-an rock mengalami masalah. Musik yang oleh para pendukungnya pada 1960an dianggap bisa mengubah dunia menjadi lebih baik itu, di awal 1970-an mulai terserap dalam dunia bisnis dan berubah menjadi industri hiburan. Saat rock mengalami kondisi seperti inilah, musik ini dengan segala perniknya membanjiri Indonesia. Kaum muda perkotaan Indonesia mulai meniru gaya hidup kaum muda barat, meski untuk alasan yang tidak sama. Anak-anak muda perkotaan mulai muncul dengan rambut panjang dengan celana jeans yang lebar di bagian bawahnya. Lakilaki dan perempuan pun menghisap ganja dan tak jarang mempraktekkan seks bebas. Guruh Soekarnoputra misalnya, mengikuti flower generation (hippies) di barat, tahun 1970-an membentuk band yang dinamakan Flower Poetman yang anggotanya berambut gondrong, menyanyi dengan pakaian bunga-bunga, dan menyelipkan bunga di telinga. Mereka kemudian juga ikut yoga dan menghisap ganja. Di tahun 1970-an, konser musik rock sangat sering diadakan di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Medan, Malang, dan Surabaya. Menurut Sawung Jabo dan Suzan Piper, musik ini ”menggusur musik populer yang lembut dan menggantikannya dengan lagu-lagu dari band Black Sabbath, Led Zeppelin, dan Deep Purple.” Keributan berupa perkelahian atau pelemparan ke atas panggung oleh penonton yang tidak puas, banyak mewarnai pertunjukkan musik rock. Begitu pun halnya dengan minuman keras. Musik rock dalam dasawarsa 1970-an adalah musik panggung. Frekuensi panggung musik rock pada tahun 70-an ini cukup tinggi. Pada masa ini mulai banyak pihak yang melihat pertunjukkan musik sebagai usaha yang bisa menarik untung. Di bidang rekaman, pada awal sampai dengan medio 1970-an, para produser rekaman
tak berani menjual musik rock Indonesia. Album God Bless, Huma di Atas Bukit (1976) merupakan album rock pertama di Indonesia. Satu tahun kemudian, rock ”berhasil” masuk TVRI lewat iklan ”Mana Suka Siaran Niaga”. Sejak 1978 banyak musisi rock yang terlibat dalam musik pop yang menandai kemunduran dalam dunia rock. Sampai mendekati pertengahan 1980-an, musik rock suasananya masih lesu, walaupun ada banyak usaha yang dilakukan anak-anak muda penggemar rock untuk menggairahkan kembali. Kebanyakan pentas sifatnya masih seperti mayoritas pentas di tahun 1970-an, tidak diselenggarakan secara profesional dengan pendekatan bisnis. Grup yang tampil adalah grup dari dasawarsa 1970-an yang masih bertahan seperti God Bless, Superkidd, dan grup-grup baru yang membawakan warna musik lama maupun baru (misalnya new wave-nya The Police). Di tahun 1984, tampak semacam kegairahan baru di beberapa kota digelar kembali festival musik rock. Dalam festival ini, tampil grup-grup baru membawa warna musik heavy metal yang jenis baru yang sedang melanda dunia rock. Festival yang sifatnya kompetitif ini berakhir dengan babak final yang diselenggarakan di Malang (kota yang pernah menjadi barometer musik rock Indonesia) dan Surabaya. Festival ini diselenggarakan tiap tahun, yang semakin lama semakin besar dengan melibatkan semakin banyak grup dan kota. Kembali populernya jenis musik rock di akhir 1980-an berkaitan dengan perkembangan di berbagai bidang lain. Di sekitar tahun 1986, di Jakarta muncul RCTI, televisi swasta pertama di Indonesia, setahun kemudian di Surabaya berdiri SCTV. Bersaing dengan televisi negara, TVRI, televisi swasta itu menampilkan halhal yang tidak ada di TVRI. Mereka pun membuat acara musik yang diambil dari videoklip musisi dunia. Hadirnya televisi swasta, memungkinkan para perekam kaset lagu asing, yang sekarang menggandakannya dengan ijin pemegang hak ciptanya, mempromosikan kasetnya di televisi dengan cara memutar videoklipnya. Akibatnya, audiens dapat lebih mudah mengakses atau menyaksikan musisi heavy metal seperti Europe, Extreme, Scorpions, dan sebagainya. Pada tahun 1990-an musik rock underground berkembang dengan pesat di Indonesia yang ditandai dengan munculnya berbagai band rock underground lokal di
berbagai daerah mulai dari Jakarta (Tengkorak band), Bandung (Jasad band), Yogyakarta (Death Vomit band), Malang (Rotten Corpse), Surabaya (Slow Death) sampai dengan Bali (Eternal Madness). Arus musik rock underground mengalir semakin deras ke dalam negeri setelah pemerintah Indonesia menghapus paket deregulasi November 1988 tentang kemitraan asing-lokal. Sebagai gantinya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1994 yang memungkinkan lima perusahaan rekaman transnasional yaitu Warner Music Group (Amerika), Sony Music Entertainment (Jepang), EMI (Inggris), Universal Music Group (Perancis), dan Bertelsmann Music Group (BMG, Jerman) mengoperasikan bisnisnya secara penuh di Indonesia tanpa memerlukan kemitraan dengan perusahaan rekaman lokal. Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 ini tidak lepas dari regulasi tata dunia mengenai perdagangan bebas yang direkomendasikan di Uruguay pada tahun 1994. Industri budaya ini menjadi perdebatan beberapa negara karena terdapat ketidakseimbangan perdagangan yang sangat signifikan antara Amerika Serikat dengan negara-negara lain dalam produk budaya populer (popular culture). Fakta menunjukkan bahwa industri budaya adalah area surplus ekspor terbesar untuk Amerika Serikat (Chloridiany, 2004). Oleh karena itu, pemerintah Indonesia sempat melarang pertunjukan band-band rock asing setelah terjadi peristiwa kerusuhan konser pertunjukan Metallica band pada April 1993 di stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan yang mengakibatkan kerusakan parah di sekitar wilayah tersebut. Menurut pemerintah di Jakarta, musik ini memungkinkan ekspresi spontan dari kemerdekaan yang instan dan berbahaya bagi daerah yang berbeda iklim budayanya dengan London atau Los Angeles (Christie, 2004) Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai budaya di dunia tidaklah sempit. Adanya perkembangan berbagai teknologi komunikasi serta praktik-praktik bisnis internasional menunjukkan bahwa budaya di dunia, termasuk Indonesia, telah terpengaruh oleh ”budaya luar”. Konsekuensi dari penetrasi ”budaya luar” ini adalah terdapatnya kekhawatiran akan dampak ”flow of information” dari negara maju, terutama Amerika Serikat sebagai negara yang mendominasi produk budaya, kepada negara yang masih berkembang di dunia.
Pengaruh internasional melalui musik bukan fenomena saat ini saja, begitu pula dengan globalisasi musik rock undergound di Indonesia. Kekhawatiran pemerintah Indonesia akan munculnya imperialisme budaya modern melalui musik tersebut pada dasarnya telah direfleksikan melalui pidato Presiden Sukarno tahun 1959 dan larangan terhadap pertunjukan musik rock underground dari pemerintah Orde Baru pada tahun 1993. Jika homogenisasi ini terjadi akibat globalisasi budaya musik rock underground, sebuah ”identitas anak muda rock underground internasional” akan muncul. Selain itu, homogenisasi budaya ini dikhawatirkan juga akan mengarah kepada erosi musik lokal secara gradual dan semakin melebarnya kesenjangan budaya serta sikap mereka terhadap generasi yang lebih tua.
4. 3. Tengkorak band dan Sosialisasi Audiens 4. 3. 1. Biografi Tengkorak band Tengkorak merupakan sebuah kelompok musik (band) yang dibentuk pada akhir 1993 di wilayah Ciledug, Tangerang, Provinsi Banten. Lahirnya band ini berawal dari bertemunya empat anak muda yang memiliki hobi dan kesamaan visi dalam bermusik yaitu Muhammad Hariadi Nasution atau biasa dipanggil Ombat (vocalist), Danang Budhiarto (bassist), Haryo Radianto (guitarist), dan Deni Julianto (drummer). Saat itu, mereka baru saja menyelesaikan pendidikan menengah pada institusi pendidikannya masing-masing. Danang dan Haryo adalah lulusan SMAN 28 Jakarta, sedangkan Ombat dan Deny adalah keluaran SMA Islamic Village Tangerang. Hijrahnya domisili Danang dari wilayah Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan ke wilayah Perumahan Taman Asri Larangan Selatan, Ciledug, Tangerang inilah yang akhirnya mempertemukan keempat anak muda tersebut. Pada awalnya mereka sepakat untuk memainkan lagu-lagu dari band asal Inggris, Napalm Death, sebagai ekspresi rasa suka keempat anak muda terhadap grup idolanya itu. Kemudian, nama Tengkorak sengaja dipilih dengan harapan agar dapat mengingatkan orang lain pada kematian, sehingga dengan mengingat kematian yang tidak dapat diprediksi kepastiannya, orang tersebut akan selalu melakukan kebaikan selama hidupnya.
Band ini memiliki markas di Jalan Baru, Cipondoh Tangerang, kediaman Ombat Nasution beserta orang tuanya, H.M. Lian Nasution. Akan tetapi, krisis finansial yang terjadi di keluarga Nasution mengakibatkan mereka terpaksa menjual tempat tinggalnya. Sehingga, markas Tengkorak kemudian dialihkan ke Komplek Taman Asri Blok I3 No.14 yang merupakan kediaman orang tua Danang, yaitu F. Sunardi dan istrinya yang pensiunan seorang guru sekolah menengah pertama. Rumah ini terletak di jalan utama perumahan yang cukup ramai dilalui kendaraan bermotor yang melintas di depan tempat berkumpulnya para personil Tengkorak. Dengan pindahnya markas Tengkorak dari Cipondoh ke Ciledug tersebut, maka alamat korespondensi pun ditetapkan di alamat kediaman basist Tengkorak, Danang. Sejak didirikan, formasi Tengkorak telah mengalami beberapa kali pergantian. Awalnya formasi band underground ini terdiri dari empat orang, dengan formasi ini Tengkorak mengawali aksi panggung mereka lewat jalur festival di kampus Universitas Mercu Buana. Meski tidak berhasil memperoleh predikat apa pun, aksi panggung mereka cukup menarik perhatian audiens yang menyaksikan saat itu. Namun, di tahun 1994, seorang gitaris dari band Retaliator, Adam Mustofa yang akrab disapa Adhonx, ikut bergabung memperkuat posisi gitar sehingga formasi band ini pun menjadi lima orang. Dengan formasi ini, Tengkorak meneruskan perjalanannya dari satu panggung ke panggung lainnya. Selanjutnya, mereka pun mulai mencoba untuk menciptakan lagu-lagu karya mereka sendiri. Langkah awal ini dilakukan para personil Tengkorak dengan sedikit banyak meniru pola musik band asing favorit mereka yang pada masa itu sedang banyak diminati oleh anak muda akibat semakin derasnya arus globalisasi. Mulai dari suara vokal, chords gitar sampai dengan kecepatan drum lagu-lagu yang mereka ciptakan memang mengingatkan pendengarnya akan nuansa musik band grindcore asal Birmingham, Inggris, Napalm Death. Oleh karena itu, Tengkorak pun kerap dijuluki sebagai Napalm Death-nya Indonesia oleh para penggemar musik rock independen. Setahun kemudian, tepatnya 12 September 1995, personil Tengkorak band akhirnya menjejakkan kakinya ke dapur rekaman. Dengan materi lagu, bekal finansial
dan pengetahuan akan dunia rekaman yang serba terbatas, mereka merekam lagu-lagu hasil karya sendiri dengan judul Primitive Jokes, Aggression, The Grave Torment, serta Bencana Moral di studio Triple M, Jakarta Pusat. Tidak lebih dari satu minggu mereka menyelesaikan proses rekaman. Selanjutnya, mereka berusaha menawarkan hasil rekaman kepada beberapa perusahaan rekaman lokal seperti Aquarius Records, Musica Records sampai Java Musikindo. Akan tetapi, setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama, jawaban yang dikeluarkan pihak perusahaan rekaman tidak sesuai harapan. Artinya, untuk dapat memperoleh kontrak rekaman, Tengkorak harus menyesuaikan musiknya dengan arus bisnis mainstream industri musik. Mereka menolak untuk memproduksi lagu-lagu hasil karya Tengkorak karena dianggap tidak komersil. Perusahaan rekaman lokal lebih memberikan prioritas kepada band-band musik pop mainstream yang memenuhi selera pasar, yaitu vokal yang nyaman didengar, minimalisasi distorsi gitar, beat drum yang sudah umum serta isi lirik lagu yang berpihak pada status quo atau apolitis. Hal ini jelas tidak konvergen dengan karakter musik Tengkorak band yang merupakan representasi musik subkultur politis. Kondisi tersebut tidak mematahkan semangat personil Tengkorak band untuk coba memproduksi hasil karyanya. Tanpa melakukan kompromi dengan perusahaan rekaman, mereka justru memutuskan untuk menempuh jalur “indie label” dalam memproduksi mini album yang diberi judul It’s a Proud to Vomit Him di tahun 1995 tersebut. Tengkorak band memproduksi lagu-lagu hasil karya mereka tanpa keterlibatan perusahaan rekaman major sedikit pun. Mulai dari proses rekaman, penggandaan kaset, desain sampul album, pencetakan, promosi, distribusi sampai dengan proses penjualan, Tengkorak band melakukannya sendiri atau lebih dikenal dengan istilah do it yourself di bawah naungan label yang dibentuk oleh sang vokalis yaitu Sebelas April Record sebagai respon dari tekanan budaya dominan industri musik nasional yang mereka hadapi. Berikut penuturan vokalis Tengkorak, ON, ketika menyiasati hegemoni budaya mainstream industri musik nasional yang dihadapinya saat itu:
“Gue bentuk Sebelas April Record gunanya untuk memproduksi dan mendistribusikan mini album Tengkorak. Sebab, kalo nggak begini, mana bisa gue bikin musik yang sesuai idealisme” Dengan membentuk Sebelas April Record, artinya Tengkorak band memilih strategi bermusik do it yourself atau indie label. Mereka tanggung bersama biaya rekaman atau swadana, sama halnya ketika mereka melakukan duplikasi kaset hasil rekaman. Pada awalnya, karena keterbatasan finansial, Tengkorak menggandakan mini album “It’s a Proud to Vomit Him” hanya seratus keping saja. Namun, di luar dugaan permintaan akan mini album tersebut semakin meningkat. Sehingga, sebagian kaset terpaksa diperbanyak dengan cara yang sangat tradisional, yaitu direkam dengan menggunakan tape recorder milik personilnya. Kaset kosong beserta boksnya mereka dapatkan dengan membelinya di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Sementara itu, urusan desain dan mencetak cover kaset sang vokalis mendesainnya sendiri dibantu beberapa teman yang bersedia melakukan cetak sablon cover album tersebut secara manual tanpa menggunakan mesin cetak. Dengan demikian, predikat band independen semakin melekat di tubuh Tengkorak band. Dalam hal strategi promosi dan penjualan hasil karyanya, baik itu berupa kaset, t-shirt, sampai dengan stiker, personil Tengkorak band menciptakan sistem penjualan
sendiri.
Mereka
tidak
saja
di
dalam
negeri,
namun
juga
mendistribusikannya sampai ke luar negeri. Tengkorak menjualnya secara langsung (direct selling) pada saat mereka tampil di berbagai event atau sebaliknya melalui jalur pos (mail order) dan bekerja sama membentuk jaringan distribusi bersama rekan-rekan penggemar musik rock underground lain yang memiliki distribution outlet (distro) di berbagai kota besar dan kecil di negeri ini. Sistem jaringan distribusi ini bagi yang sudah kenal baik biasanya Tengkorak band menerapkan sistem kosinyasi atau titip jual. Sedangkan bagi yang belum dikenal baik atau yang berlokasi cukup jauh biasanya harus membayar kontan atau jual putus. Sistem jual putus ini juga berlaku pula untuk distro-distro yang ada di luar negeri sehingga distribusi hasil karya Tengkorak band juga tersebar ke berbagai negara di benua Amerika, Asia, dan Eropa. Mulai dari Malaysia, Jepang, Republik Ceko, Polandia, Spanyol sampai
dengan Amerika. Namun, selain jual putus, untuk distribusi luar negeri personil Tengkorak juga melakukan sistem barter, yaitu saling bertukar merchandise seperti kaset, compact disc, atau t-shirt sebagai strategi alternatif dari sistem titip jual di luar negeri. Strategi yang dijalani ternyata berdampak positif. Secara perlahan, nama Tengkorak band mulai dikenal kalangan audiens musik rock independen tidak saja di dalam negeri namun juga di luar negeri berkat diseminasi mini album It’s a Proud to Vomit Him melalui aktivitas tukar-menukar kaset yang melibatkan penggemar musik rock independen antarnegara di dunia (tape trader circuit). Di dalam negeri, Tengkorak band pun mulai sering diminta tampil dalam sebuah event, baik itu di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, sampai dengan kafe atau kelab-kelab kecil. Minimal dua kali dalam satu bulan mereka memiliki jadwal untuk tampil di venuevenue tersebut. Di luar negeri, Tengkorak ikut ambil bagian dalam proyek kompilasi rock underground yang dirilis oleh label independen dari berbagai negara seperti kompilasi “Till Your Ears Bleed Compilation” yang dirilis oleh Hibernia Records (Portugal), dan kompilasi “Grind the Faces of Rockstar” oleh Bloodbath Records (Jepang). Akan tetapi, setelah beberapa kali tampil bersama Tengkorak di tahun 1995, Adam Mustofa terpaksa mengundurkan diri. Diterimanya gitaris Tengkorak tersebut sebagai calon pegawai negeri sipil pada Departemen Kehutanan membuatnya harus menetap di Denpasar, Bali. Sehingga, aktivitasnya sebagai gitaris Tengkorak band terpaksa ia tinggalkan. Meski demikian, dengan seorang gitaris tidak menjadi halangan bagi Tengkorak band untuk melanjutkan kiprahnya di dunia musik. Salah satu hasil yang cukup signifikan dari aktifitas tape trader
adalah
tertariknya Bloodbath Records, satu label independen asal Jepang, untuk merilis lagulagu Tengkorak band dalam format piringan hitam. Album yang dirilis pada akhir tahun 1996 itu diberi judul Dying Poor dimana Tengkorak bersanding dengan band rock underground asal Republik Ceko, Cerebral Turbulency. Dengan demikian, Tengkorak menjadi band rock underground pertama di tanah air yang merilis lagu
dalam format piringan hitam dan semakin diakui eksistensinya di komunitas musik indie international. Munculnya Tengkorak, band rock underground asal Indonesia semakin membuka mata komunitas penggemar musik rock independen dan media massa independen luar negeri seperti Malaysia, Jepang, Thailand, Belarusia, Spanyol, Rusia, Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Republik Ceko, Polandia, Belgia, Latvia, Perancis, dan Portugal. Banyak yang tidak menduga bahwa di Indonesia juga eksis sebuah band rock underground. Tengkorak pun mulai mengisi kolom interview serta review di media massa independen luar negeri tersebut. Sedangkan, munculnya profil Tengkorak band di Majalah Hai, salah satu majalah lokal yang seringkali menampilkan profil band pendatang baru, semakin meningkatkan popularitas band rock underground tersebut di dalam negeri. Publikasi media massa ini mau tidak mau pada akhirnya membuat beberapa produser major label lokal mulai memusatkan perhatiannya pada jenis musik rock underground. Salah satunya adalah produser dari Warner Musik Indonesia, Pak Handi. Dengan Anang Hermansyah dan Irfan Sembiring sebagai mediator, akhirnya keempat personil Tengkorak band dipertemukan dengan pemilik Warner Musik Indonesia di kantornya di wilayah Mangga Besar, Jakarta Utara. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan bahwa sebelum merilis album penuh, Tengkorak band akan merilis album kompilasi Metalik Klinik 1 terlebih dulu sebagai pilot project. Proyek ini sengaja dilakukan pihak perusahaan rekaman sebagai strategi untuk melihat sejauhmana tingkat penjualan genre musik rock underground di tanah air sebelum mereka merilis album Tengkorak band. Akhir Desember 1997, Album kompilasi yang berisikan 23 band underground dari dalam negeri dengan berbagai genre tersebut akhirnya dirilis oleh Rotorcorp, sublabel dari perusahaan rekaman Musica Records yang mengkhususkan diri pada genre musik indie mulai dari punk, hardcore sampai dengan ska. Hanya dalam waktu satu bulan angka penjualannya sudah melebihi angka 60.000 keping. Sebuah angka penjualan yang cukup mengejutkan untuk jenis musik baru yang mereka usung. Di album kompilasi ini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagu berdurasi sekitar
tiga menit dengan judul “Konflik”. Lagu yang bercerita mengenai kegelisahan Tengkorak band akan menurunnya dedikasi para pelajar tanah air dalam berbakti kepada orang tuanya dimana mereka merasa lebih bangga dengan melibatkan diri dalam perkelahian antarpelajar ketimbang menuntut ilmu ini semakin mengangkat nama mereka di kalangan audiens musik rock underground. Dari angket yang dikeluarkan oleh pihak Musica Records, Tengkorak band menjadi band favorit para pembeli album kompilasi pertama musik underground tersebut. Gaya vokal menggeram yang seakan mewakili kegelisahan mereka, distorsi gitar yang meliukliuk serta beat drum super cepat yang memompa semangat menjadi pengantar lirik lagu “Konflik” yang ampuh untuk lebih dekat dengan audiensnya. Singkat kata, Tengkorak band sukses menembus hegemoni major label lewat warna musik grindcore dan berbagi kegelisahan bersama audiensnya. Meski berhasil merilis Metalik Klinik 1, Tengkorak band tidak lepas dari kritik sesama band rock underground lokal asal Malang, Bandung, dan Yogya. Mereka menganggap bahwa Tengkorak band telah melanggar dari norma-norma indie label yaitu dengan melakukan kerja sama merilis Metalik Klinik 1 di bawah perusahaan rekaman major atau major label sehingga band-band yang ikut berpartisipasi dalam kompilasi tersebut diboikot. Namun, para personil Tengkorak band tidak ambil pusing dengan ancaman boikot tersebut. Mereka berpendapat bahwa sebagai produk sosial, budaya indie label lokal tidak perlu mengikuti pola indie label luar negeri begitu saja, karena kondisi sosial yang dihadapi Tengkorak band berbeda dengan kondisi sosial band-band indie label asal luar negeri. Tengkorak band pun bergeming dan terus mempromosikan single “Konflik” ke berbagai stasiun radio serta media cetak di dalam negeri dengan donasi minim dari label mereka. Di saat masa promosi album kompilasi Metalik Klinik 1 bersama Rotorcop sedang berjalan, di tubuh Tengkorak band justru terjadi perubahan formasi. Mereka terpaksa menghentikan drummer lama Denny Julianto karena pola hidupnya tidak lagi sejalan dengan personil lainnya. Donnirimata, drummer band Suffering, rekan lama gitaris Tengkorak band, segera dihubungi untuk sementara waktu mengisi posisi drummer yang kosong. Setelah tampil dua kali bersama Tengkorak, Donni pun
diangkat menjadi personil tetap dan tidak lagi berstatus drummer Suffering band. Selain memiliki drummer baru, Tengkorak band juga menambah seorang gitaris bernama Heilla Tanissan, mantan gitaris Trauma band, yang tinggal tidak jauh dari base camp Tengkorak band untuk mengisi posisi gitar yang sudah lama ditinggalkan oleh Adam Mustofa. Dengan demikian, setelah merilis single “Konflik” dalam album kompilasi Metalik Klinik 1, Tengkorak band memiliki formasi Ombat Nasution (vocal), Danang Budhiarto (bass), Haryo Radianto (guitar 1), Heilla Tanissan (guitar 2), dan Donnirimata (drummer). Pada tahun 1998, dengan formasi tersebut Tengkorak kembali diikutsertakan oleh pihak Rotorcorp dalam lanjutan proyek album kompilasi musik indie Metalik Klinik 2. Ini dilakukan pihak Rotorcorp atas dasar hasil angket yang diedarkan sebelumnya oleh perusahaan rekaman yang menunjukkan tingginya animo audiens pembeli kaset tersebut akan lagu hasil karya Tengkorak band. Dalam album kompilasi Metalik Klinik 2 ini, Tengkorak band menyumbangkan satu single baru mereka yang diberi judul “Rusuh”. Lagu yang menggambarkan sikap represif Polri terhadap aksi unjuk rasa mahasiswa ini menuai sukses pula mengikuti jejak single terdahulu di Metalik Klinik 1. Di bulan Maret 1999, akhirnya Tengkorak band kembali masuk dapur rekaman untuk menggarap debut album mereka di Magenta Studio, Jakarta Selatan. Album yang diberi judul “Konsentrasi Massa” ini memuat 20 lagu dimana sebagian besar lagu-lagu tersebut memiliki tema kritik sosial yang merefleksikan kondisi sosial di Indonesia pada masa itu. seperti Oknum, Gawean Reget, Asap Tebal, Kemelut, Primitive Jokes, Prestasi Gila, Buruh, Propaganda, Spekulasi Bisnis, Bisnis Ejakulasi, Dosa Keluarga, Bencana Moral, dan Konsentrasi Massa. Album perdana ini dirilis dalam format kaset di bawah label Rotorcorps dan didistribusikan secara nasional melalui jaringan distribusi yag dimiliki Musica Records, sebagai label induk dari Rotorcorps. Akan tetapi, setahun lebih tampil bersama Tengkorak band mempromosikan lagu-lagu album perdana di berbagai kota mulai dari Medan, Surabaya, Jakarta sampai Lombok, Heilla Tanisan (gitar 2), mengundurkan diri untuk kembali
bergabung bersama band lamanya, Trauma. Musik Tengkorak band ternyata kurang sejalan dengan pola permainan yang dimiliki Heilla, sehingga ia pun memutuskan untuk kembali bergabung dengan rekan-rekan lamanya. Posisi Heilla sebagai gitaris 2 digantikan oleh Muhammad Taufik yang lebih akrab dipanggil dengan nama Opick, seorang mahasiswa Universitas Mercu Buana asal Palembang yang juga seorang penggemar Tengkorak band dan gitaris dari band rock underground bernama Sarcastic band. Sampai dengan Mei 1999, Tengkorak band, memiliki formasi M. Hariadi Nasution (vokal), Haryo Radianto (gitar 1), Muhammad Taufik (gitar 2), Danang Budhiarto (Bass), dan Donnirimata (drum). Bersama formasi baru tersebut Tengkorak band melakukan berbagai pertunjukan di berbagai lokasi. Mereka juga kerap berlatih hampir setiap akhir pekan untuk memperbanyak materi lagu baru. Pada April 2001, Yutaka Kimura, rekan tape trader dari Bloodbath Records Jepang, menginformasikan bahwa album “Konsentrasi Massa” telah dirilis oleh label Jepang tersebut. Berbeda dengan rilisan Rotorcorp Records, album Tengkorak band versi Bloodbath Records ini dirilis dalam format compact disc dan memasukkan dua single Tengkorak dari album kompilasi Metalik Klinik 1 dan 2 sebagai bonus tracks. Oleh Bloodbath Records, album ini didistribusikan secara internasional mulai dari Jepang, Jerman, Belarusia, Republik Ceko sampai dengan Malaysia. Bulan Mei 2002, Tengkorak band kembali masuk Magenta studio bersama formasi terakhirnya untuk ikut berpartisipasi dalam proyek kompilasi yang berjudul “Tribute to Rotor”. Kompilasi ini diikuti oleh 12 band rock underground Indonesia serta 1 band asal Malaysia, Sil Khannaz. Proyek ini merupakan kerja sama antara Rotorcorps dengan Sebelas April Records untuk mengenang salah satu band pionir musik rock underground, Rotor. Di sini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagu diambil dari album perdana Rotor yang berjudul “Pluit Phobia”. Di saat proses rekaman akan dimulai, Deni, drummer lama Tengkorak sempat mencoba mengisi permainan drum, namun tidak berjalan dengan baik. Sehingga, Donnirimata kembali dipercaya oleh para personil Tengkorak band untuk melakukan proses rekaman lagu “Pluit Phobia” sampai selesai. Proses rekaman lagu Pluit Phobia tersebut akhirnya berjalan lancar sesuai harapan.
Begitu selesai dengan Album kompilasi “Tribute to Rotor”, para personil Tengkorak harus menghadapi dilema dalam menentukan label untuk produksi album berikutnya. Di satu sisi, Rotorcorp Records sebagai label sebelumnya dan telah berganti nama menjadi Krossover Records, tetap ingin bekerjasama dan siap merilis album Tengkorak band selanjutnya, sedangkan pada sisi lain Ombat, sang vokalis sekaligus motor penggerak dan juga pendiri sebelas April Records, ingin melakukan produksi album di bawah label miliknya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, sempat terjadi perdebatan diantara para personil Tengkorak band dalam menyikapi hal tersebut. Akan tetapi, akhirnya kelima personil sepakat untuk kembali bekerja sama dengan pihak Krossover Records hanya sampai produksi album ini saja. Selanjutnya, mereka berencana memproduksi album di bawah label Sebelas April Records. Akhirnya, pertengahan September 2002 para personil Tengkorak kembali masuk studio Magenta yang berlokasi di wilayah Pondok Pinang, Jakarta Selatan untuk menggarap album kedua Tengkorak band yang diberi judul “Darurat Sipil”. Sebanyak empat belas lagu mereka kemas di dalam album tersebut di bawah naungan label Krossover Record/Hemaswara/Sebelas April Records. Dua belas lagu bertempo cepat dengan tema yang merefleksikan fenomena sosial Indonesia sampai dunia, sedangkan dua lagu sisanya bertempo cenderung lambat. Untuk lebih memperkaya warna musik, Tengkorak band juga melibatkan beberapa musisi tamu yaitu Rockmor dari band rock underground Bromo serta Iwan Hassan, gitaris band rock progresif, Discuss. Rockmor mengisi backing vocal pada lagu Pemimpin Gila sedangkat Iwan Hassan mengisi harpa pada intro lagu Diskriminasi Harta. Proses rekaman sendiri berlangsung kurang dari satu minggu atau sebanyak 7 shift jadwal studio mereka habiskan untuk menyelesaikan album “Darurat Sipil”. Pada Oktober 2002, album ini pun dirilis oleh pihak label. Selain itu, album ini juga dirilis oleh Bloodbath Records Jepang dalam format compact disc pada akhir tahun 2002. Album versi compact dics ini memuat video clip Pemimpin Gila sebagai bonus track dalam format mpeg 4 serta didistribusikan ke seluruh dunia oleh pihak label.
Namun demikian, di pertengahan tahun 2003, formasi Tengkorak band kembali mengalami perubahan. Opick, yang biasanya bertugas sebagai gitaris kedua terpaksa mengundurkan diri dari posisinya. Kedua orang tuanya meminta gitaris Tengkorak band itu kembali ke Palembang, Sumatera Selatan untuk meneruskan bisnis rempah-rempah yang telah lama mereka jalani. Hal ini sempat menimbulkan polemik di Tengkorak band, dimana Ombat menginginkan Opick untuk bertahan sementara personil lainnya dengan berat hati merelakan Opick untuk kembali ke Palembang. Situasi ini menjadi dilema bagi Opick, ia pun tidak dapat mengambil keputusan. Guna mencari solusi, Ombat dan para personil lainnya segera bermusyawarah dan menghasilkan kesepakatan untuk menganjurkan Opick kembali ke Palembang untuk memenuhi keinginan kedua orang tuanya. Dengan mundurnya Opick, Tengkorak band kembali memerlukan seorang gitaris lagi untuk menggantikan posisinya sebagai gitaris kedua. Namun demikian, tidak perlu menunggu lama, posisi Opick akhirnya digantikan oleh Samir, gitaris dari band rock underground asal Surabaya, Slow Death. Dalam waktu singkat, Samir mampu beradaptasi dengan lagu-lagu Tengkorak band. Panggung perdana Tengkorak band dengan gitaris baru adalah saat mereka tampil di acara peringatan 10 tahun berdirinya Tengkorak band yang digelar oleh Lian Mipro Organizer di Nirvana Café, Jakarta Selatan. Sebanyak 21 lagu mereka bawakan pada momen tersebut. Mulai dari Oknum, Primitive Joke, Rusuh, sampai Pemimpin Gila mereka bawakan. Sekitar 500 audiens lebih memadati kafe yang berlokasi di bagian bawah Hotel Maharaja, Jakarta Selatan tersebut. Selain ber-slamdancing, ada juga audiens yang memberikan kue tart beserta lilin saat Tengkorak jeda membawakan lagu-lagu. Ritual tiup lilin bersama Tengkorak band akhirnya terlaksana di atas panggung. Dengan formasi ini, Tengkorak band ikut ambil bagian dalam beberapa proyek kompilasi independen yang bertema perjuangan HAM yang bertitel “Strip Hitam”. Dalam album kompilasi ini, Tengkorak band menyumbangkan satu lagunya yang berjudul Rusuh. Selain itu, mereka juga merilis mini album Lunatic Leader yang berisi empat lagu dari cikal bakal album Darurat Sipil.
Pertengahan tahun 2004, perubahan formasi kembali terjadi di tubuh Tengkorak band. Setelah tampil di satu event di Gelanggang Olah Raga Bekasi, Danang Budhiarto, bassist sekaligus salah satu pendiri Tengkorak band, mengundurkan diri. Statusnya sebagai pegawai negeri pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan menuntut perhatian yang lebih. Ia memutuskan untuk lebih konsentrasi pada pekerjaannya. Sehingga, Tengkorak band untuk sementara waktu tampil minus pemain bass. Posisinya kemudian digantikan oleh Bonny Sidharta, mantan pemain bass Thrashline band. Bersama bassist baru, Tengkorak band ikut ambil bagian dalam proyek kompilasi Tribute to Death, sebuah kompilasi yang berisi lagu-lagu dari band rock underground legendaris asal Amerika, Death. Mereka merekam lagu klasik dari band tersebut yang berjudul “Back from the Dead”. Album kompilasi ini diproduseri oleh sebuah label independen lokal, yaitu Amon-Ra Records. Setahun kemudian, Donnirimata, sang drummer, mengundurkan diri dari Tengkorak band. Aktivitasnya di beberapa band lain serta kesibukan bekerja di perusahaan swasta membuatnya kesulitan untuk dapat lebih fokus di Tengkorak band. Sehingga, posisinya untuk sementara digantikan oleh Roni Yuska, drummer band rock underground Bekasi, Panic Disorder. Setelah berlatih dan tampil bersama di beberapa event, akhirnya Roni diresmikan sebagai drummer tetap. Di bulan April 2005, Tengkorak band mencatat sejarah dengan menjadi grup pembuka band pionir rock underground Inggris, Napalm Death, di Pantai Festival Ancol, Jakarta Utara. Tengkorak band membawakan 10 lagu selama satu jam, mulai dari Primitive Jokes, Konsentrasi Massa, Teroris, Buruh sampai single mereka yang berjudul Konflik. Sekitar 7000 audiens musik rock underground dengan antusias menyaksikan event tersebut. Penampilan Tengkorak band saat itu tidak saja mendapat apresiasi dari audiens, namun juga para personil Napalm Death yang menyaksikan langsung dari sisi panggung. Mereka tidak menduga, bahwa Tengkorak band mempelajari jenis musik tersebut cukup detail dan memainkan musiknya di atas panggung dengan baik. Event yang bertema Grinding Indonesia 2005 ini kembali meningkatkan popularitas Tengkorak band baik di khasanah musik rock dalam dan
luar negeri. Inilah event besar musik rock underground pertama sejak pemerintah Orde Baru mengeluarkan larangan tampil bagi grup-grup musik rock asing setelah insiden konser Metallica tahun 1993 di stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Setelah Napalm Death, pada 23 september 2005 Tengkorak band kembali mendampingi Kreator, band rock underground Jerman, yang didatangkan oleh Lian Mipro Event Organizer untuk tampil di dua kota, Surabaya dan Jakarta. Namun, Tengkorak band hanya tampil di satu event sebagai grup pembuka yaitu di Kenjeran, Surabaya. Terbatasnya waktu yang diberikan, membuat Tengkorak band hanya membawakan 5 lagu di depan 1000-an audiens yang hadir di Kenjeran, Surabaya. Secara keseluruhan, event di Surabaya ini berjalan kurang berhasil karena masalah sponsor, promosi, dan lokasi yang tidak representatif. Memasuki pertengahan tahun 2006, para personil Tengkorak band kembali merekam materi-materi baru untuk album berikutnya. Dengan dana terbatas, mereka terpaksa menyelesaikan proses rekaman album baru di tiga studio berbeda. Enam lagu pertama mereka rekam di studio milik Piyu, gitaris band Padi, yang berlokasi di wilayah Cinere, Jakarta Selatan. Sedangkan materi lainnya mereka selesaikan di Bee Sound studio Condet, Jakarta Timur dan Buana Sound studio, Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Setelah menyelesaikan proses produksi rekaman, Tengkorak band akhirnya merilis album baru di bawah naungan label independen Sebelas April Records, pada 14 Juli 2007 dengan judul Agenda Suram. Terdiri dari 20 lagu rock underground, sebagian besar lagu di album ini merefleksikan sikap Tengkorak band yang mengkritisi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan kelompok Zionist Israel. Adapun lagu-lagu tersebut antara lain berjudul Jihad, Boycott Israel, United state of Asu, Zionist Exaggeration, dan Hisbullah. Sementara itu, materi lagu lainnya, menyuarakan kondisi sosial politik dalam negeri seperti, Trias Politica, Buruh, Disgusting Agenda, Celebrity Syndrome, dan lainnya. Namun, sebelum tampil sebagai pembuka Suffocation band, satu rock underground Amerika Serikat, di Ancol, Jakarta Utara, pada 12 Agustus 2007, formasi Tengkorak band kembali mengalami perubahan pada posisi pemain bass.
Bonnie, bassist yang bergabung pada Maret 2004, terpaksa mengundurkan diri karena tidak sependapat dengan sikap bermusik Tengkorak band yang militan terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan Zionist Israel. Ia merasa tidak nyaman lagi untuk bertahan di Tengkorak band karena tema lagu yang disuarakan oleh Tengkorak band menurutnya sama dengan cara pandang seorang teroris. Posisi Bonnie untuk sementara diambil alih oleh Opick, mantan gitaris Tengkorak. Sikap bermusik Tengkorak band yang kritis terhadap zionisme Israel ini menarik perhatian Sam Dunn, seorang antropolog Kanada, dan Scott McFadyen, produser dari Universal Music Canada. Selain telah tertarik dengan lagu Tengkorak band di album Darurat Sipil yang berjudul Destroy Zionist, mereka melihat apa yang dilakukan Tengkorak band adalah sebuah kontradiksi sosial, berbeda dengan bandband rock underground lain di Indonesia. Oleh karena itu, kedua warga Kanada tersebut rela melakukan perjalanan jauh agar dapat mewawancarai Tengkorak band secara langsung untuk sebuah film dokumenter mengenai globalisasi musik rock underground yang berjudul Global Metal. Film dokumenter ini akhirnya dirilis pada awal tahun 2008 di bawah naungan Universal Music Canada dalam format dvd. Selain itu, Universal Music Canada juga merilis cd soundtrack film Global Metal dimana satu lagu Tengkorak band yang berjudul Jihad Soldiers ikut terpilih masuk. Hasilnya, kedua produk dari Universal Music Kanada tersebut kembali meningkatkan popularitas Tengkorak band di kalangan audiens musik rock underground. Setelah dvd dan cd soundtrack Global Metal beredar secara resmi, Tengkorak band kembali mengejutkan audiens musik rock underground di Indonesia. Mereka mengubah “salam metal tiga jari” yang merupakan salah satu simbol signifikan audiens musik rock underground menjadi “salam satu jari” pada saat tampil di event Urban Garage Festival 27 Maret 2010 di Rossi Music, Fatmawati Jakarta Selatan. Tengkorak band melakukan ini setelah personilnya mendapat tambahan stock of knowledge dari berbagai media massa nonmainstream serta berdiskusi dengan sesama rekan-rekan. Napalm Death tidak lagi menjadi reference group Tengkorak band. Mereka melihat adanya kontradiksi, dimana salam metal tiga jari yang terdiri dari jempol, telunjuk dan kelingking memiliki makna yang merujuk pada simbol setan
dengan dua tanduknya dan anti Tuhan. Sedangkan salam satu jari, yang hanya terdiri dari jari telunjuk memiliki makna ketauhidan Allah SWT. Mulai saat itu mereka memandang musik rock underground dengan perspektif yang berbeda. Tengkorak band melihat budaya musik rock underground yang datang dari luar nusantara mengarah pada imperialisme budaya modern dan berpotensi mengambil alih nilai-nilai budaya lokal secara gradual dari pikiran audiens musik tersebut. Tengkorak band mengkhawatirkan terjadinya homogenisasi budaya anak muda internasional yang dengan mudah akan dikendalikan pola pikirnya oleh rezim pemaknaan yang berada di balik industri musik dunia. Salam satu jari sebagai simbol signifikan hasil reproduksi Tengkorak band menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai pihak. Mulai dari audiensnya, bandband rock underground lain sampai dengan para produser musik rock independen. Sebagian dari mereka sependapat dengan salam satu jari, namun ada juga yang tidak sependapat. Wendy Putranto, wartawan majalah Rolling Stone dan pemerhati musik rock underground, tidak sependapat dengan pemikiran Tengkorak band mengenai simbol signifikan satu jari. Menurutnya salam metal tiga jari adalah simbol produksi seorang vokalis rock senior bernama Ronie James Dio. Hal yang sama diutarakan oleh Bonny Sidarta, mantan pemain bass Tengkorak band yang kini aktif bersama band rock underground Dead Squad. Bonie mengutarakan pendapatnya,“Masak tengkorak yang udah puluhan tahun main musik metal nggak tau siapa Ronie James Dio sih. Salam tiga jari bukan simbol zionis.” Sedangkan Azis, pengelola Dapurletter webzine, sebuah majalah elektronik khusus musik independen yang sudah lama eksis di kalangan rock underground, lebih memilih netral dalam memandang simbol signifikan tersebut. Ia mengemukakan,“Sebagai pihak media, selama itu masih rock underground
saya tetap akan memberikan ruang di media saya dan tidak
mempermasalahkan apakah itu salam satu jari atau salam metal tiga dan dua jari.” Kondisi tersebut tidak menggoyahkan Tengkorak band untuk membawa visi dan misi mereka yaitu menjadi band rock underground tanpa melupakan aspek-aspek penting dari budaya bangsa Indonesia dan mengajak audiensnya berpikir kritis
terhadap pesan-pesan media massa, khususnya simbol-simbol signifikan dalam musik rock underground. Matriks 7. Perubahan identitas Tengkorak Band Kurun waktu Perubahan yang dialami Tengkorak band perubahan 1993-1995
1993-1995
1995-1998
1998-2006
2006-2008
2008-2009 2009-2011
Memandang musik sebagai hiburan dan katarsis Membentuk formasi band 4 orang Memainkan lagu-lagu karya band asing (spesialis ND) Mendapat label sebagai Napalm Death-nya Indonesia Mulai berlomba-lomba mengumpulkan dan mengenakan artefak-artefak musik rock underground impor tanpa memahami makna dari simbolsimbol signifikan yang ada di dalamnya.
Menyatakan diri sebagai band rock underground namun berharap mendapatkan kontrak dengan perusahaan rekaman mainstream lokal agar dapat memiliki album rekaman Memandang musik sebagai kompetisi Mulai menghasilkan lagu-lagu karya sendiri dengan tema beragam Merilis mini album melalui jalur indie label krn ditolak oleh perusahaan rekaman mainstream lokal Memutuskan untuk bekerja sama dengan perusahaan rekaman mainstream lokal, Musica Records, dengan merilis album kompilasi Metalik Klinik 1 Mendapat kritik dan boikot dari komunitas rock underground di beberapa wilayah Indonesia, karena bekerja sama merilis kompilasi tersebut dengan Musica Records Merilis album Konsentrasi Massa dan Darurat Sipil di bawah Musica Menghentikan kerja sama dengan Musica Records Merilis Album Agenda Suram di bawah Sebelas April Records Turning point melepaskan diri dari imitator band asing Mulai memahami realitas subyektif dari musik rock underground sehingga lebih kritis dalam memandang simbol-simbol signifikan yang ada di dalamnya Menciptakan lagu Boycott Israel yang bertema resistensi terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan sekutunya Mulai mengenakan artefak-artefak musik rock underground lokal Mengalami vakum akibat conflict of interest dalam diri personilnya Memutuskan kembali aktif di dunia musik rock underground karena rasa tanggungjawab untuk mengungkapkan introyeksi gerakan zionisme lewat simbol-simbolnya dalam musik rock underground kepada audiens Membentuk simbol baru dalam budaya rock underground yaitu salam satu jari sebagai strategi membuka pikiran audiens dan respon terhadap simbol-simbol zionisme Tidak lagi memandang musik sebagai sebuah kompetisi
Dari matriks di atas terlihat bahwa Tengkorak band telah mengalami pergeseran pola pemikiran dari penerima pasif sebuah budaya rock underground
barat menjadi sebuah kelompok musik yang lebih kritis dalam menyikapi budaya tersebut. Perubahan tidak dalam waktu singkat, namun cukup lama. Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan bahwa proses sosialisasi yang membentuk kesadaran kritis personil Tengkorak band juga memerlukan waktu yang panjang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat suatu pola dimana pada awalnya Tengkorak band sebagai sebuah band rock underground mencoba untuk melakukan imitasi dengan detail terhadap musik “rock underground asing” yang menjadi role model-nya. Kemudian, setelah melewati fase imitasi tersebut, kecenderungan yang terlihat adalah Tengkorak band menggabungkan materi budaya baru tersebut ke dalam pengalaman budaya mereka sendiri daripada mencoba untuk menciptakan suatu budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal. Hal ini menunjukkan tumbuhnya kembali satu rasa nasionalisme dan harga diri dalam tubuh Tengkorak band, yang juga berarti menyatakan identitas budaya mereka sendiri dalam menghadapi budaya internasional. Nasionalisme dan harga diri yang tumbuh dalam tubuh Tengkorak band tidak muncul dalam waktu singkat. Kesadaran nasionalisme dan harga diri tersebut muncul pada saat sistem politik di Indonesia mengalami perubahan dari sistem politik pemerintahan orde baru yang otoriter menjadi sistem politik pemerintahan reformasi yang lebih demokratis. 4. 3. 2. Konstruksi Realitas Simbol-simbol Signifikan Tengkorak Band Sebagai agen sosialisasi dalam tahap sosialisasi sekunder, Tengkorak band memiliki simbol-simbol signifikan dalam melakukan interaksi dengan audiensnya. 1. Lirik Lirik merupakan refleksi atau obyektivasi dari stock of knowledge vokalis Tengkorak band. Ditemukan bahwa lirik lagu hasil karya Tengkorak band menunjukkan bagaimana memandang dunia. Tabel berikut menyajikan beberapa lirik yang merepresentasikan visi dan misi Tengkorak band.
Matriks 8. Lirik, makna dan ideologi Tengkorak band Signifier
Makna
Ideologi
BENCANA MORAL Seks bebas tradisi barat mencoba hancurkan moral…
Lirik Tengkorak band
Bahaya pengaruh budaya barat
Berpikir kritis dan menjaga budaya lokal
KONFLIK Pegang pena bukan belati, orang tua maunya nanti, jadi anak yang berbakti…
Lirik Tengkorak band
Keprihatinan akan identitas generasi muda
Berpikir kritis dan menjaga budaya lokal
RUSUH Kerusuhan yang berlarut-larut harus segera kita hentikan… Aparat serta mahasiswa samasama orang Indonesia
Lirik Tengkorak
Keprihatinan akan reformasi 98 yang menimbulkan gejolak sosial
Berpikir kritis
BOYCOTT ISRAEL Boycott Israel and all their allied products…..boycott america They want to take over and control the world
Lirik Tengkorak band
Resistensi atas kebijakan luar negeri Amerika & gerakan zionisme Israel
Berpikir kritis
ZIONIST EXAGGERATION Aren’t what Israel done is the real terrorism?....
Lirik Tengkorak band
Bahaya gerakan Zionisme Israel
Berpikir kritis
JIHAD SOLDIERS Lets fight in the name of Allah
Lirik Tengkorak band
Solidaritas sesama muslim
Berpikir kritis dan menjaga budaya lokal
Lagu “Bencana Moral” merupakan salah satu lagu dari empat lagu awal yang ditulis oleh personil Tengkorak. Lagu ini merefleksikan kekhawatiran Tengkorak band akan pengaruh infiltrasi budaya barat khususnya seks bebas. Selain narkotika, pada masa itu, musik rock underground juga identik dengan budaya seks bebas yang dapat membawa penyakit HIV serta merusak moralitas generasi muda. Sebagai generasi muda muslim, melalui lagu ini, Tengkorak band coba menyampaikan pesan kepada audiensnya untuk tetap berpegang pada norma-norma religi yang ada sehingga dapat terhindar dari demoralisasi. Lagu “Konflik” merupakan lagu yang populer di kalangan audiens Tengkorak band. Audiens selalu menunggu lagu ini dan seringkali menjadi lagu penutup pertunjukan. Lagu “Konflik”, merefleksikan keprihatinan Tengkorak band akan penyakit sosial tawuran yang terjadi di kalangan para pelajar sekolah menengah. Ikut tawuran seakan menjadi tren, sedangkan, menuruti keinginan orang tua merupakan hal yang tidak sesuai tren di kalangan pelajar. Bertindak sesuai norma-norma adalah hal tabu atau menjadi sesuatu sikap yang memalukan terutama bagi pelajar yang
menyukai musik rock underground. Ikut tawuran seolah menjadi suatu prestasi yang membanggakan. Melalui lagu ini, Tengkorak band berusaha menyampaikan bahwa tidak perlu malu dan ragu bersikap sesuai norma-norma agama dengan tetap fokus menuntut ilmu serta berbakti pada kedua orang tua. Dengan demikian, implikasi lagu ini adalah ajakan kepada generasi muda untuk selalu berpikir kritis dengan tetap memegang teguh nilai-nilai budaya lokal sehingga kita tetap berada di jalur yang benar. Pada lagu “Rusuh”, Tengkorak band memotret situasi ibukota Negara Indonesia saat terjadi aksi reformasi mahasiswa yang berakhir dengan kerusuhan. Keprihatinan atas tindakan represif aparat kepolisian yang merespons aksi reformasi, perusakan fasilitas umum dan aksi penjarahan berbagai oleh masyarakat yang frustasi akan kondisi sosial, seakan mencerminkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal yang tercermin dalam sila-sila Pancasila. Semua pihak terlibat, tidak lagi berpikir jernih bahwa mereka satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia. Melalui lagu ini, Tengkorak band mengingatkan seluruh pihak agar dapat berpikir kritis dan memegang teguh norma-norma budaya lokal sebagai jati diri bangsa Indonesia. Lagu “Boycott Israel”, “Zionist Exaggeration”, dan “Jihad Soldiers” memiliki makna yang berkaitan. “Boycott Israel” merefleksikan sikap protes Tengkorak band terhadap kebijakan luar negeri Amerika yang cenderung berpihak kepada Israel dalam krisis di Palestina dan Timur Tengah. Tengkorak band melihat bahwa kebijakan luar negeri pemerintahan Amerika Serikat selalu menguntungkan Israel. Bagi Tengkorak band, di antara kedua negara tersebut terdapat “kerja sama mutualisme”. Ketika perang dingin berakhir dan Uni Soviet runtuh pada tahun 90-an, di era informasi ini tidak ada lagi ancaman militer bagi Amerika Serikat. Mereka coba mengendalikan dunia dengan ekspor industri budaya seperti musik, film, bukubuku, periklanan, dan internet. Tengkorak band mengkhawatirkan ekspor produk budaya tersebut, khususnya musik, mengarah pada electronic colonialism yang sasarannya adalah pikiran individu. Menurut McPhail (2002), electronic colonialism bertujuan mempengaruhi sikap, keinginan (hawa nafsu), keyakinan, gaya hidup, dan perilaku konsumerisme yang berakibat pada hilangnya budaya lokal, kebiasaan, nilai-
nilai termasuk proses sosialisasi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan Robinson dalam Lull (1989) bahwa distribusi musik akan menimbulkan kekhawatiran akan modern cultural imperialism yang dapat membawa pada homogenisasi sebuah “international youth culture” dan mengakibatkan erosi gradual budaya lokal. Implikasi lagu ini adalah Tengkorak band menghimbau audiensnya untuk berpikir kritis dan tetap berpegang pada norma-norma budaya lokal Indonesia agar tidak terjebak pada electronic colonialism dalam menghadapi era informasi ini. Pada lagu “Zionist Exaggeration” Tengkorak band menggambarkan bahwa electronic colonialism merupakan hasil kerja rahasia gerakan Zionis internasional. Sebagai rezim pemaknaan (regime of significance) yang berada di balik lahirnya politik luar negeri Amerika Serikat, mereka dapat melakukan apa yang disebut Marcuse (1964) dalam Nugroho (1999) sebagai desublimasi represif, yaitu memproduksi realitas sosial yang diterima masyarakat dengan puas walaupun implikasi makna-makna tersebut menindas secara intelektual dan kultural. Mereka mempengaruhi pikiran masyarakat internasional melalui dominasi dan hegemoni makna atas berbagai peristiwa, pengetahuan, kesadaran dan wacana. Oleh karena itu, Tengkorak band berargumen bahwa tindakan zionis internasional sebagai regime of significance inilah teroris yang sebenarnya. Melalui lagu ini, Tengkorak band membangkitkan kesadaran audiensnya untuk berpikir secara kritis dengan mengingatkan bahaya gerakan zionis ini. “Jihad Soldiers” menjadi lagu Tengkorak band yang merefleksikan semangat juang dalam menghadapi penindasan dan solidaritas sesama muslim di dunia. Lagu ini memiliki makna yang luas. Di satu sisi, dengan melihat agresi militer Israel di wilayah Palestina yang dilakukan pada Desember 2008, Tengkorak band berusaha mengajak audiensnya untuk mendoakan saudara-saudaranya sesama muslim di wilayah tersebut untuk tetap kuat. Sebagai generasi muda muslim, Tengkorak band mengajak audiensnya berpikir kritis untuk berjuang mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam diri sendiri sebagai bentuk jihad di era electronic colonialism ini. Karena, berjuang melawan hawa nafsu merupakan pertempuran terbesar yang harus dihadapi oleh kita yang tidak berada di Timur Tengah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu merupakan ekspresi pandangan dunia dalam kaca mata penyanyi dan penciptanya. Pesan yang disampaikan melalui lirik lagu Bencana Moral, Konflik, Rusuh, Boycott Israel, Rusuh, Zionist Exaggeration, dan Jihad Soldiers tidak hanya merupakan reaksi perasaan mereka atas kondisi lingkungan skala lokal namun juga dalam skala global. Selain menjadi elemen yang penting, lirik lagu-lagu tersebut juga menjadi sumber komunikasi untuk membantu konstruksi identitas audiens Tengkorak band. Bahkan, lirik lagu-lagu Tengkorak band dapat juga menggambarkan kesadaran masyarakat umum. 2. Ilustrasi Ilustrasi bagi Tengkorak band adalah sesuatu yang dapat berbentuk foto atau gambar garis, ungkapan dan lain-lain untuk memperjelas pemikiran mereka. Ilustrasi merefleksikan realitas sosial, sehingga dapat mengungkapkan sesuatu dengan lebih cepat dari pada hanya berupa teks. Dari hasil observasi, penulis memperoleh data bahwa Tengkorak band banyak menggunakan ilustrasi pada media komunikasi cetak seperti T-shirt dan sampul album (kaset maupun compact disk). Berikut matriks ilustrasi yang terdapat dalam sampul album dan t-shirt Tengkorak band:
Matriks 9. Ilustrasi sampul album, t-shirt, makna dan ideologi Tengkorak band Signifier
Makna Gambar mumi Firaun pada cover demo kaset Tengkorak band
Pelajaran bagi mereka yang mau mengambil pelajaran dan peringatan bagi mereka yang bersikap keras kepala, arogan dan tidak beriman pada Allah SWT
Ideologi Berpikir kritis
Signifier
Makna
Ideologi
Ilustrasi pada cover album “Konsentrasi Massa”
Peristiwa kerusuhan yang terjadi tahun 1998 di Indonesia mengindikasikan adanya konspirasi kelompok elit tertentu
Berpikir kritis
Ilustrasi pada cover album “Darurat Sipil”
Nusantara tidak lepas dari pengaruh gerakan zionisme internasional
Berpikir kritis
Ilustrasi pada cover album “Agenda Suram”
Resistensi/keprihatin an atas kebijakan militer Israel atas Palestina
Berpikir kritis
Ilustrasi Tshirt Tengkorak band (United State of ASU): Gambar kiri tampak depan. Gambar kanan tampak belakang
Keprihatinan atas kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang bersifat desublimasi represif
Berpikir kritis
Ilustrasi album “Agenda Suram” pada tshirt Tengkorak band. Gambar kiri tampak depan. Gambar kanan tampak belakang.
Resistensi/keprihatin an atas kebijakan militer Israel atas Palestina
Berpikir kritis
Ilustrasi pada cover album “It’s a Proud to Vomit Him” mencerminkan banyak pelajaran yang dapat diambil dari kisah seorang Firaun. Mulai dari pertandingan antara Nabi Musa dengan para tukang sihir pengikut Firaun yang dimenangkan oleh Nabi Musa berkat bantuan Allah SWT sampai dengan tenggelamnya Firaun dan bala tentaranya di tengah-tengah laut pada saat mengejar Nabi Musa. Sebagai generasi muda muslim, pesan yang ingin disampaikan oleh Tengkorak band melalui cover album ini adalah agar kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Firaun dengan menghindari sikap keras kepala, arogan serta tidak beriman kepada Allah SWT mengingat budaya negatif musik rock underground dapat menjauhkan kita dari Sang Pencipta. Situasi kerusuhan pada saat reformasi pemerintahan tahun 1998 merupakan refleksi dari ilustrasi cover album perdana Tengkorak band yang berjudul “Konsentrasi Massa”. Kepada penulis, Ombat Nasution, vokalis Tengkorak band menyatakan bahwa sengaja mendesain gambar dua pria berdasi yang sedang berdiskusi pada posisi sentral di cover tersebut untuk menggambarkan adanya aktor intelektual dari tragedi tersebut. Sehingga, cover album tersebut memiliki makna adanya permainan politik atau konspirasi di tingkat elite politisi terkait kerusuhan 1998 di Indonesia. Menurut Ombat Nasution, vokalis Tengkorak band, ilustrasi gambar mata satu (all seing eyed) dengan bendera Israel disilang yang terletak di atas gambar kepulauan nusantara pada cover album Darurat Sipil yang didesain olehnya memiliki makna besarnya pengaruh gerakan zionis internasional dalam berbagai aspek kehidupan sosial di Indonesia. Ridyasmara (2006) mengungkapkan bahwa gambar mata satu ini merupakan gambar mata dewa horus (dewa matahari kaum paganisme). Simbol ini menjadi simbol paling terkenal di dunia yang digunakan oleh Freemason, salah satu fungsionaris kelembagaan zionisme yang berada di balik pemerintahan Amerika Serikat. Mereka merupakan representasi dari negara adidaya tersebut yang melakukan intervensi terhadap pemerintah Indonesia sehingga memiliki kemampuan untuk membentuk wacana publik yang diterima apa adanya oleh individu meskipun pada dasarnya implikasi wacana yang diciptakan itu menindas intelektual dan kultural
masyarakat. Sementara itu, Ombat mengaku bahwa makna dari ilustrasi bendera Israel disilang yang dimuat olehnya adalah sikap resistensi Tengkorak band terhadap gerakan zionis Israel tersebut. Untuk ilustrasi pada cover album “Agenda Suram”, Ombat Nasution mengatakan bahwa gambar sepatu tentara tanpa terlihat bagian atas memiliki makna ekspansi yang dilakukan negara-negara maju terutama Amerika Serikat terhadap negara-negara dunia ketiga. Ekspansi dilakukan berdasarkan agenda-agenda yang dimiliki, dimana salah satu agenda tersebut adalah homogenisasi budaya anak muda melalui musik. Sementara itu, untuk ilustrasi United State of ASU pada t-shirt produksi Tengkorak band, Ombat menjelaskan bahwa ilustrasi tersebut ia desain untuk merefleksikan keprihatinan Tengkorak band terhadap intervensi Amerika Serikat mulai dari bidang politik, ekonomi, sampai budaya di berbagai wilayah di dunia. Menurutnya, negara Amerika Serikat sengaja dilustrasikan sedemikian rupa menjadi seekor hewan yang identik setia dengan tuannya, dimana tuan yang dimaksud di sini adalah negara Israel. Dengan demikian, ilustrasi tersebut berimplikasi bahwa Israel memiliki posisi kuat dalam menentukan kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Berbagai ilustrasi yang didesain oleh Tengkorak band pada sampul album maupun t-shirt mereka merupakan elemen penting dalam membentuk realitas dalam pikiran audiensnya. Ilustrasi pada sampul album Its a Proud to Vomit Him, Konsentrasi Massa, Darurat Sipil, Agenda Suram, dan A.S.U membantu Tengkorak band dalam memvisualisasikan dan memperjelas lirik-lirik lagu sebagai pesan yang bersifat abstrak yang ingin mereka sampaikan kepada audiensnya. 3. Salam satu jari. Berdasarkan temuan lapang penulis, simbol salam satu jari merupakan reinterpretasi Tengkorak band terhadap simbol salam metal tiga jari melalui proses bricolage. Claude Levi-Strauss (1982) mengemukakan bahwa bricolage merupakan proses dimana elemen simbolik dikombinasikan menjadi sebuah format budaya baru. Tengkorak band merelokasi dan mentransformasikan budaya salam metal tiga jari menjadi sebuah budaya baru yang memiliki makna berbeda dari sebelumnya
disesuaikan dengan budaya lokal yang ada. Makna dari salam satu jari dapat dilihat pada matriks 10 di bawah ini: Matriks 10. Salam satu jari, makna, dan ideologi Tengkorak band Signifier Salam satu jari
Makna
Ideologi
Keesaan Allah SWT
Berpikir Kritis
Menurut vokalis Tengkorak band, salam satu jari memiliki makna pengakuan atas ketauhidan atau keesaan Allah SWT. Pada sisi lain, peneliti melihat bahwa selain merefleksikan kesadaran religius, salam satu jari juga berimplikasi pada nasionalisme Tengkorak band. Oleh karena itu, salam satu jari menunjukkan posisi Tengkorak band yang tidak mau ikut dan tunduk terhadap hegemoni salam metal tiga jari sebagai produk sosial yang memiliki makna negatif, yaitu tanduk iblis, dan sudah lama diterima begitu saja oleh mayoritas audiens musik rock underground. Tengkorak band memandang bahwa budaya musik rock undergound yang identik dengan penggunaan
obat-obatan
terlarang
dan
minuman
keras,
seks
bebas
dan
pemberontakan terhadap orang tua cenderung mengarah pada desublimasi represif hasil produksi rezim pemaknaan di balik industri musik internasional. Karena pada dasarnya budaya musik rock underground barat tersebut bertentangan dengan nilainilai budaya lokal di Indonesia. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa simbol salam satu jari tidak saja menjadi strategi Tengkorak band dalam menyebarkan makna positif di audiensnya namun juga merupakan respons mereka terhadap hegemoni salam metal tiga jari. Hal ini sejalan dengan pendapat Hebdige (1979) yang mengatakan bahwa bricolage merupakan strategi dan respon atas situasi sosial yang spesifik. Melalui salam satu jari, Tengkorak band memberikan pilihan kepada audiensnya untuk berpikir kritis dengan menggunakan akal pikirannya dalam memandang signifikan simbol yang ada
dalam musik rock underground barat agar tidak terlena dalam pengaruh negatif musik tersebut. Sehingga, pada akhirnya audiens tidak lagi menjadi obyek namun memposisikan diri mereka sebagai subyek dalam menyikapi implikasi ideologi budaya musik rock underground barat. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa simbol-simbol signifikan Tengkorak band mulai dari lirik, ilustrasi, sampai dengan salam satu jari merupakan objektivasi pengetahuan personil Tengkorak band. Simbol-simbol signifikan Tengkorak band di atas merefleksikan sebuah “perang gerilya semiotik” (semiotic guerilla warfare). Menurut Eco dalam Hebdige (1999), perang gerilya semiotik merupakan sebuah istilah yang dipakai dalam menggambarkan strategi bersifat resisten yang digunakan oleh kelompok subkultur dalam mengkonstruksi kontra hegemoni makna-makna di media. Hal ini berarti bahwa simbol-simbol signifikan yang dihasilkan Tengkorak band tidak saja menjadi sebuah kekuatan sosial dalam proses
konstruksi
identitas
namun
juga
menjadi
kekuatan
sosial
dalam
mendekonstruksi simbol-simbol signifikan musik rock underground barat. 4. 3. 3. Konstruksi Identitas Audiens Tengkorak band 1. Audiens 1 (Audiens dengan identitas abu-abu) Aries Zona Febrian atau biasa dipanggil dengan nama Gomes adalah seorang penggemar Tengkorak band yang lahir pada tahun 1989. Ia merupakan lulusan sebuah sekolah menengah kejuruan di wilayah Karawang, Jawa Barat. Saat ini, Gomes terpaksa kehilangan pekerjaan dari tempatnya bekerja akibat dampak krisis global yang melanda tempatnya bekerja dua tahun lalu. Kegiatannya sehari-hari lebih banyak membantu orang tuanya dengan menjaga adik perempuannya di rumahnya di Ciranggon, Karawang, Jawa Barat. Sebagai produk sosial, pada dasarnya musik rock underground telah hadir di wilayah penghasil beras tersebut sebelum Gomes memasuki pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Menurut Gomes, anak-anak muda di lingkungannya yang tergabung dalam komunitas Ciranggon Bergerak Gerakan Bawah (CBGB) sering berkumpul setiap Jumat malam di warung tidak jauh dari rumah tetangganya yang
bernama Ewok, seorang anak muda yang menjadi pusat informasi karena banyak memiliki pengetahuan tentang musik rock underground. Mereka
menghabiskan
waktu sambil memutar musik rock underground melalui perangkat elektronik yang tersedia. Gomes mengatakan bahwa musik rock underground menjadi pelumas sosial dalam interaksi tersebut dimana Tengkorak band adalah salah satu wacana utama dalam interaksi sosial ini karena memiliki audiens yang besar di kalangan penggemar musik rock underground. Gomes sendiri mengaku bahwa pada awalnya ia hanya ikut kumpul bersama temanteman sekitar rumahnya dan tidak mengerti sama sekali tentang jenis musik rock underground yang dimainkan oleh Tengkorak band. Berikut penuturannya: ”Yah..biasa-biasa aja gitu waktu pertama denger om. Saya tanya sama si Ewok, ini musik apa sih wok? Lu mah gak bakalan ngerti deh ceuna dengerin musik ginian mah. Ya udah dengerin aja. Ya, nggak sempet langsung suka gitu om. Nggak ngerti dan belum paham banget.” Memasuki bangku kelas 3 SMP tahun 2003, interaksi Gomes dengan EW dan teman-teman lainnya dalam komunitas CBGB semakin intensif. Rasa ketertarikannya akan musik rock underground juga semakin tinggi, sementara waktu menyaksikan televisi bersama keluarga mulai kurang menarik bagi dirinya. Setiap lepas sholat Maghrib, ia sering berkunjung ke rumah Ewok untuk mendengarkan musik rock underground. Di sinilah momen pertama Gomes mendengar lagu ”Konflik” milik Tengkorak band yang ada dalam kaset kompilasi Metalik Klinik 1 produksi Musica Records. Dari sekian banyak lagu rock underground yang diputar kaset kompilasi tersebut, ia tertarik dengan Tengkorak band. Sejak itu, Gomes mulai mengenal Tengkorak band dan menemukan dunia lain selain keluarganya, sub dunia musik rock underground mulai masuk dalam kehidupan sehari-harinya. Adanya fenomena peer pressure dalam interaksi Gomes dengan komunitasnya semakin mendorong Gomes untuk mengetahui lebih jauh musik rock underground yang dimainkan Tengkorak band. Berikut pengakuan Gomes mengenai peer pressure:
”Heeh..sering dengerin terus sering kumpul bareng sama temen gitu. Didoktrin sama temen. Wah, pokoknya gitu...apa....pamer-pamer melulu lah, musik kita nih laki banget gitu macho banget.” Dari hubungan informal peer group ini, Gomes juga mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan musik rock underground dari Ewok dan teman-teman lainnya. Mulai dari ideologi sampai simbol-simbol signifikan yang terdapat dalam rock underground. Akan tetapi, Gomes menyatakan bahwa dalam hal cara berpakaian ia lebih banyak mempelajarinya dari foto-foto personil band yang ada cover kaset dan majalah khusus musik, bukan melalui interaksi dengan sesama teman dalam peer group. Sedangkan aktivitas slamming, yang biasa dilakukan saat pertunjukan berlangsung, dipelajari secara langsung dalam sebuah pertunjukan musik rock underground yang diselenggarakan di Gelanggang Olah Raga Karawang. Turning point Gomes semakin menyukai Tengkorak band adalah pada saat menyaksikan pertunjukan Tengkorak band tahun 2003 di Senayan, Jakarta. Keingintahuan, kekaguman serta keinginan untuk mereduksi tekanan emosinya yang terpendam melatarbelakangi ia menghadiri pertunjukan Tengkorak band. Berikut pernyataan Gomes: “Waktu nonton di Senayan. Wah, chaos banget nih Tengkorak manggungnya. Di situ sukanya oom, jadi ah…gila banget. Liriknya juga pemberontakan-pemberontakan gitu, resis sama pemerintahan. Nggak mau tertindas gitu.” Gomes menyukai Tengkorak band karena musik, isi lirik, dan orasi vokalis Tengkorak band di atas panggung cocok dengan jiwanya. Ia mengungkapkan bahwa ketiga elemen tersebut dapat merefleksikan realitas sosial yang ia lihat dan rasakan selama ini. Musik yang dihasilkan serta orasi vokalis Tengkorak band sebelum tampil, menjadi pengantar kepada dirinya dalam mengirimkan pesan dalam lirik lagu. Gomes melegitimasi makna pesan dari Tengkorak band, sehingga terjadi konvergensi ideologi antara Tengkorak band dengan dirinya. Ia menangkap bahwa inilah dunia musik dimana sesuai dengan pemikirannya. Sebagai perwujudan bahwa dirinya merupakan penggemar Tengkorak band, Gomes mengekspresikan kekagumannya dengan mengoleksi hasil karya Tengkorak
band mulai dari album Tengkorak band baik dalam format kaset maupun cd, serta tshirt, sampai dengan stiker. Artefak-artefak ini menjadi penting bagi Gomes bukan saja karena menjadi tanda bahwa ia merupakan bagian dari audiens Tengkorak band namun juga di dalamnya terdapat simbol-simbol signifikan yang memiliki makna subyektif baginya maupun produsennya. Ketika ditanya simbol-simbol signifikan apa saja yang bermakna, Gomes menyebutkan simbol-simbol tersebut antara lain lagu dan lirik, ilustrasi pada t-shirt dan cover kaset serta aktivitas slamming dan orasi sang vokalis. Lagu Konflik yang terdapat dalam salah satu koleksi kasetnya dan juga menjadi lagu favoritnya memiliki makna kritik terhadap para pelajar yang terlibat dalam tawuran. Bagi Gomes, lagu ini seolah merepresentasikan fenomena tawuran antarpelajar yang sering terjadi di Karawang. Sedangkan aktivitas slamming yang dilakukannya pada saat pertunjukan baginya memiliki makna luapan emosi dirinya. Sementara itu, Gomes menyetujui orasi vokalis Tengkorak band sebelum membawakan lagu ”Boycott Israel”, orasi tersebut menunjukkan arogansi politik luar negeri Amerika dan Israel di wilayah Timur Tengah, terutama di wilayah Palestina. Gomes menyadari bahwa semua simbol-simbol signifikan yang terdapat dalam hasil karya Tengkorak band merupakan bentuk komunikasi simbolik. Simbolsimbol signifikan yang dimaksud di sini adalah lagu dan liriknya, orasi, aktivitas slamming serta ilustrasi pada t-shirt Tengkorak band. Simbol-simbol tersebut merupakan suatu produksi makna dari proses-proses subyektif para personil Tengkorak band. Sebagai penggemar, Gomes mengidentifikasikan dirinya dengan Tengkorak band. Ia secara aktif menyerap makna-makna yang terkandung dalam lagu dan lirik, orasi, serta ilustrasi yang ada sehingga makna-makna yang dilegitimasinya mengkonstruksi pemikiran atau cara pandangnya terhadap dunia. Ia memahami identitas dirinya sebagai penggemar Tengkorak band yang mencoba untuk berpikir kritis dan tidak terpengaruh budaya negatif musik rock underground seperti mengkonsumsi narkoba, menghiasi tubuhnya dengan tato, memberontak terhadap orang tua maupun melakukan seks sebelum nikah. Meski demikian, Gomes tidak selalu melegitimasi simbol-simbol signifikan yang
diproduksi Tengkorak band.
Berikut pernyataannya mengenai simbol signifikan
salam satu jari: “Yang saya rasain, metal itu satu kesatuan. Semuanya sama rata dan nggak ada yang dibedain.” Untuk simbol signifikan salam satu jari, Gomes mengaku sama sekali tidak memahami makna simbol signifikan tersebut. Menurutnya, salam dua, tiga, atau pun satu jari di dalam rock underground tidak memiliki perbedaan makna yang signifikan. Akan tetapi, Gomes menegaskan bahwa hal tersebut tidak mengurangi rasa kagumnya terhadap Tengkorak band. Ia menegaskan salah satu alasan ia mengidentifikasi dirinya dengan Tengkorak band adalah karena keinginan untuk memiliki band seperti Tengkorak band dan mereproduksi kembali simbol-simbol signifikan tersebut di Karawang, Jawa Barat. Secara skematis, proses konstruksi identitas Gomes dapat dilihat pada gambar berikut ini: PROSES SOSIALISASI
Keluarga (-) Sekolah (+) Peer group (+) Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 1
Lirik (+) Ilustrasi (+) Orasi (+) Salam satu jari (-)
Audiens identitas “abu-abu”
Ketidakpuasan (+) Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi Gambar 10. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 1
2. Audiens 2 (Audiens berpikiran kritis) Maraja Saimima, atau biasa dipanggil dengan Aja, adalah seorang penggemar Tengkorak band yang berstatus sebagai pelajar kelas 2 bekasi SMAN 5 Bekasi. Ia lahir di Jakarta 16 tahun lalu dan saat ini masih tinggal bersama kedua orang tuanya di wilayah Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Menurut Aja, keluarganya belum memiliki tempat tinggal yang tetap, sehingga mereka harus mengontrak rumah untuk berdiam diri. Mulai dari wilayah Ciputat, Kalibata, sampai dengan area Ciranggon, Karawang, Jawa Barat pernah menjadi tempat tinggalnya. Aja mengatakan bahwa perkenalannya dengan musik rock underground pertama kali dimulai pada tahun 2001 saat ia masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Saat itu ia masih tinggal bersama orang tuanya di salah satu wilayah Ciranggon, Karawang, Jawa Barat. Di sinilah ia mendengar musik rock underground dari kaset kompilasi musik underground Metalik Klinik 1 produksi Musica Records milik kakak kandungnya yang bernama Abdul. Menurut Aja, Abdul cukup sering memutar kaset kompilasi Metalik Klinik 1 ketika berada di rumah dan pada saat berkumpul dengan teman-temannya di lingkungan rumahnya. Aja mengatakan bahwa sejak ia tinggal di Ciranggon, lingkungan sekitarnya sudah dipenuhi oleh anak-anak muda yang menyukai musik rock underground. Namun, saat pertama kali mendengarkan musik tersebut Aja belum dapat menikmatinya. Pada waktu itu, ia lebih dapat menikmati lagu-lagu dari musik rock mainstream. Berikut pengakuan Aja: ”Ya pertamanya dengar gak jelas gitu....apaan nih? Waktu itu dengerinnya Jamrud band melulu sih...he-he-he.” Ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), Aja mengatakan mulai lebih sering mendengarkan Metalik Klinik 1 karena lingkungan pergaulan di sekolah juga dipenuhi para pelajar yang menggemari musik rock undergound. Ia mengaku dari kaset kompilasi tersebut mulai mengetahui Tengkorak band dengan lagunya ”Konflik”. Namun, ia belum memperhatikan secara detail lagu Tengkorak band itu, hanya mendengar secara sepintas saja tanpa ada kesan sedikit pun. Uniknya, Aja menyatakan bahwa turning point ia menyukai Tengkorak band itu terjadi bukan dari Tengkorak band sendiri, melainkan ketika ia menyaksikan
Gomes dan teman-temannya tampil menyanyikan lagu ”Konflik” milik Tengkorak band di suatu pertunjukan musik di Karawang. Aja sangat terkesan dengan musik, lirik, serta gaya vokal dari lagu tersebut. Bagi Aja, musik Tengkorak band, gaya vokal dan lirik yang diproduksi terasa pas di jiwanya yang sedang dalam masa peralihan dari sosialisasi primer ke arah sosialisasi sekunder. Aja mengatakan bahwa alasan dirinya menyukai Tengkorak band disebabkan karena musik, lirik, suara vokal & sikap personilnya. Berikut penuturan Aja: “Musiknya enak & liriknya sosial politik banget, beda sama yang lain. Vokalnya bagus & personilnya jg baik-baik.” Situasi ini menunjang terjadinya peningkatan interaksi antara dirinya dengan peer group serta mobilitas dalam rutinitas sehari-hari. Sedangkan waktu bersama kedua orang tuanya mulai berkurang begitu pula dengan kebiasaannya menggunakan media. Ia pun semakin intens mendengarkan Tengkorak band dan berinteraksi dengan Gomes dan teman-temannya. Dari Gomes, ia banyak belajar dari tentang musik rock underground dan pengalaman dalam bermusik seperti aktivitas slamming dan cara berpakaian. Selain itu, Musik rock underground menjadi bagian penting dalam rutinitas sehari-harinya. Aja mulai menemukan sebuah subdunia di luar dunia orang tuanya dengan melegitimasi makna simbol-simbol signifikan produksi Tengkorak band. Sebagai penggemar Tengkorak band, Aja mewujudkan rasa kagumnya dengan mengumpulkan berbagai artefak yang berkaitan dengan Tengkorak band, mulai dari cd, kaset, t-shirt, poster, sampai dengan stiker. Untuk kaset, Aja memiliki album Metalik Klinik 1 dan Its a Proud to Vomit Him. Sedangkan dalam format cd ia memiliki album Konsentrasi Massa, Darurat Sipil, dan Agenda Suram. Selain itu, Aja juga memiliki vcd Release from Suffering dari Tengkorak band. Baginya, semua artefak tersebut menjadi simbol-simbol signifikan yang menjadi tanda bahwa dirinya merupakan bagian dari audiens Tengkorak band dan mengantarnya pada tindakan tertentu.
Aja mengaku bahwa ia tidak begitu memahami makna dari lirik lagu Agenda Suram meskipun lagu tersebut merupakan lagu favoritnya. Begitu juga dengan ilustrasi pada t-shirt dan cover kaset Agenda Suram, meskipun ia memiliki kedua artefak itu, kepada penulis Aja mengaku belum dapat memahami maknanya. Namun ia juga menyukai lagu lainnya yang sesuai dengan jiwanya seperti Jihad Soldiers, Konflik, Rusuh, Pemimpin Gila, dan United State of ASU. Menurut Aja, orasi vokalis Tengkorak band sebelum membawakan sebuah lagu yang dapat memudahkan dirinya untuk memahami isi lirik lagu. Aja mengakui orasi yang sangat sesuai dengan pemikirannya adalah orasi vokalis Tengkorak band yang mengkritik kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Sementara itu, ia menyatakan bahwa makna stiker dan poster agar menunjukkan bahwa dirinya adalah salah seorang penggemar Tengkorak band. Berikut penuturannya: ”Stiker ditempelin di gitar. Ya kalo bukti nge-fans aja gitu....masak nge-fans nggak punya atributnya. Poster tengkorak band album ”Konsentrasi Massa” saya pasang di tembok kamar. Harus punyalah....nge-fans masak nggak ada!...he-he.” Aja menambahkan bahwa pada saat menyaksikan Tengkorak, ia juga sering melakukan aktivitas slamming sebagai bentuk apresiasi kepada Tengkorak band. Kepada penulis ia mengaku bahwa makna aktivitas slamming adalah menghilangkan stress atau membebaskan beban pikiran dari tekanan pelajaran sekolah yang tinggi. Menurutnya, setelah melakukan aktivitas slamming, pikirannya terasa bebas. Singkatnya aktivitas slamming menjadi sebuah katarsis. Satu lagi simbol signifikan produksi Tengkorak band yang memiliki makna bagi Aja adalah salam satu jari. Simbol ini muncul paling akhir dalam kehidupannya, namun memiliki makna paling signifikan karena bagi Aja salam satu jari memiliki makna ketaatan kepada sang Pencipta yaitu Ketuhanan yang maha esa. Aja menyadari bahwa simbol-simbol signifikan tersebut merupakan suatu produksi makna dari proses-proses subyektif para personil Tengkorak band. Oleh karena itu, sebagai penggemar, Aja mengidentifikasikan dirinya dengan Tengkorak band. Ia secara aktif menyerap makna-makna yang terkandung dalam lagu dan lirik,
serta orasi yang sering disuarakan vokalis Tengkorak. Makna-makna yang dilegitimasi olehnya secara tidak langsung ikut mengkonstruksi pemikiran atau cara pandangnya terhadap dunia sehari-hari. Oleh karena itu, ia sangat menyetujui pemikiran Tengkorak band yang disimbolisasi melalui salam satu jari. Berikut penuturan Aja. “Saya setuju, Dengan adanya salam satu jari bisa menimbulkan halhal positif om buat para penikmat musik underground. InsyaAllah mereka bisa berubah, dari yang sesat kembali ke jalan yang benar om. Tp itu tergantung individunya, karena dengan adanya salam satu jari menimbulkan berbagai opini tuh om. Ada yg setuju ada yang enggak. Bagi yg gak setuju, mungkin yg sejak awal suka band-band metal tiga jari jd membenci band-band metal satu jari setelah muncul salam satu jari. Tapi saya mah setuju om dgn adanya salam satu jari.” Menurut Aja, pengetahuan yang ia serap dari simbol-simbol signifikan Tengkorak band sedikit banyak mempengaruhi sikapnya dalam mengambil tindakan. Sebagai pelajar, ia memang tidak setuju dengan aktivitas tawuran, lebih dari itu, ia juga berusaha tidak melakukan korupsi nantinya jika ia bekerja. Sedangkan , sebagai penggemar Tengkorak band, simbol satu jari menjadikannya lebih kritis dalam memandang simbol-simbol signifikan yang ada dalam musik rock underground itu sendiri. Aja mengaku tidak merokok, menggunakan obat-obatan terlarang dan minuman keras, terlibat tawuran serta seks bebas karena tidak tertarik. Selain itu, agama masih menjadi filter baginya dalam menjauhkan hal-hal negatif tersebut darinya. Ia pun mengaku bahwa dirinya ingin sekali dapat memiliki kelompok musik seperti Tengkorak band yang menyuarakan pesan-pesan positif melalui penampilan di atas panggung sehingga ia berharap dapat menyebarluaskan kepada temantemannya. Untuk lebih mudahnya, secara skematis proses konstruksi identitas Maraja Saimima dapat dilihat pada gambar berikut ini:
PROSES SOSIALISASI
Keluarga (+) Sekolah (+) Peer group (+) Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 2
Lirik (+) Ilustrasi (-) Orasi (+) Salam satu jari (+)
Audiens berpikiran kritis
Ketidakpuasan (+) Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi Gambar 11. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 2
3. Audiens 3 (Audiens berpikiran kritis) Handy Hariyanto atau biasa dipanggil Andy merupakan penggemar Tengkorak band yang lahir di Tangerang 23 tahun yang lalu. Sehari-hari Andy bekerja pada sebuah pabrik produksi gitar yang terkemuka di Jakarta. Sampai saat ini, Andy belum berkeluarga dan saat ini ia masih tinggal bersama orang tuanya di daerah Rawa Lumbu, Bekasi. Ayah Andy adalah seorang Slankers sementara ibunya mengurus rumah tangga. Andy memiliki band rock underground bernama Vagintor dan seringkali membawakan lagu Konflik dari Tengkorak band pada berlatih bersama. Andy mengutarakan bahwa pada dasarnya musik, terutama rock underground, sudah ia dengar sejak ia masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD). Menurutnya, hal ini disebabkan oleh banyaknya anak-anak muda sering berkumpul sambil
mendengarkan musik rock underground yang diputar melalui perangkat pemutar musik portabel di lingkungan sekitar rumahnya. Selain memiliki band, menurut Andy, anak-anak muda tersebut adalah teman-teman kakak kandungnya dan berusia lebih tua dari dirinya. Akan tetapi, Andy mengaku bahwa pada saat itu belum memahami jenis musik yang sering diputar kakak kandung dan teman-temannya, ia hanya sebatas mendengar & mengetahui eksistensi musik tersebut. Memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), Andy mengatakan bahwa ia mulai banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman sepergaulannya, terutama teman satu meja di sekolahnya. Interaksi mereka tidak hanya berlangsung di sekolah saja, namun juga di luar sekolah. Tidak hanya pelajaran sekolah, mereka juga sering berdiskusi masalah musik sehingga ia mulai menyukai Tengkorak band saat mendengar teman satu mejanya memutar lagu ”Konflik” Tengkorak band dari kaset kompilasi Metalik Klinik 1. Menurut Andy saat mendengar lagu Konflik, ia merasa tersentuh oleh isi liriknya. Berikut penuturan Andy: ”Pertama kali kenal musik underground dan gue jatuh hati sama Tengkorak band pas gue dengerin kaset Metalik Klinik 1 yang judulnya Konflik, kepunyaan temen sebangku kelas 1 SMP. Waktu pas gue suka itu pas lagu Konflik deh. Kalo menurut gue itu masalah tawuran kan? Jadi, gue dalam-dalamin kayaknya kalo kayak gitu-gitu orang yang gak punya nyali. Kayaknya lagu walaupun keras...cadas kayak gini, jadi ada masukan buat orang gitu lho. Diri gue sendiri, gue ngaca sendiri lho.” Sebagai pelajar yang sering ikut dalam aksi tawuran antarsekolah, Andy merasa mendapat kritik dan masukan dari Tengkorak band melalui lagu Konflik. Akan tetapi, ia tidak menolak kritik tersebut. Sebaliknya ia merasa menemukan musik rock underground yang sejalan dengan pemikirannya. Andy melegitimasi makna yang ada dalam lagu tersebut sehingga mulai saat itu ia pun merasa menemukan sebuah dunia audiens Tengkorak band. Setelah menyukai Tengkorak band, Andy mengaku mulai mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan Tengkorak band. Mulai dari cara berpakaian, sampai aktivitas slamming yang biasa dilakukan audiens pada saat pertunjukan Tengkorak band. Menurutnya penampilannya sebelum menjadi
penggemar
Tengkorak band tidak seperti sekarang. Andy mengatakan bahwa cara berpakaian seperti personil Tengkorak band ia pelajari dari foto yang ada di cover kaset, pamfletpamflet pertunjukan musik rock underground serta meniru teman-teman sesama audien
musik
tersebut.
Sementara
itu,
untuk
informasi
pertunjukan
dan
perkembangan Tengkorak band Andy memperolehnya dari , majalah musik independen, teman-teman dan sebuah distro (distribution outlet) yang ada di wilayahnya. Andy mengemukakan bahwa pada awalnya sang ibu kurang menyukai dirinya mendengarkan musik rock underground. Menurutnya, ibu kandungnya lebih terbiasa mendengarkan musik campur sari sehingga merasa terlalu bising dengan musik Andy. Selain itu, sang ibu khawatir dengan citra musik rock underground yang identik dengan narkoba dan hal negatif lainnya. Namun, Andy berhasil meyakinkan ibu kandungnya untuk tidak terlalu khawatir bahwa ia masih memiliki agama sebagai filter. Untuk mewujudkan kekagumannya terhadap Tengkorak band, Andy mulai mengumpulkan hasil karya Tengkorak band seperti album Tengkorak band dalam format kaset dan cd, poster, pamflet, t-shirt, dan stiker. Bagi dirinya, artefak-artefak hasil reproduksi Tengkorak band ini memiliki simbol-simbol signifikan di dalamnya. Sehingga, dengan mengumpulkan berbagai artefak tersebut, secara tidak langsung ia mengekspresikan bahwa dirinya adalah bagian dari audiens Tengkorak band. Kepada penulis Andy mengaku bahwa lagu favoritnya adalah lagu Tengkorak band yang berjudul Konflik. Ia menyatakan bahwa lagu tersebut merupakan cerminan dirinya. Andy memaknai lirik lagu tersebut sebagai sebuah nasihat bagi para pelajar, begitu juga dirinya, agar tidak melakukan aktivitas tawuran yang dapat merugikan banyak pihak. Sementara itu, t-shirt Tengkorak band yang dimiliki bagi Andy memiliki makna aktualisasi dirinya sebagai penggemar Tengkorak band. Pada saat menyaksikan pertunjukan Tengkorak band Andy juga mengatakan bahwa ia selalu memperhatikan orasi vokalis Tengkorak band, melakukan salam satu jari, dan aktivitas slamming. Andy, memaknai orasi sebagai gambaran dari isi lagu yang akan dibawakan oleh Tengkorak band, sedangkan untuk salam satu jari ia
memaknainya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Sementara itu, ia memaknai aktivitas slamming sebagai bentuk apresiasi terhadap musik Tengkorak band. Menurut Andy, vokalis Tengkorak band merupakan inspirasi dirinya. Oleh karena itu, ia menyadari bahwa simbol-simbol signifikan tersebut merupakan suatu produksi makna dari proses-proses subyektif para personil Tengkorak band. Andy mengidentifikasikan
dirinya
dengan
Tengkorak
band
terutama
vokalisnya.
Menurutnya, apa yang disampaikan vokalis Tengkorak band sebelum menyanyikan sebuah lagu pada saat pertunjukan merefleksikan realitas kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan apa yang ada dalam benak pikirannya. Andy menyerap makna-makna yang terkandung dalam lagu dan lirik, serta orasi yang sering disuarakan vokalis Tengkorak band. Berikut penuturannya: ”Kalo nonton Tengkorak band seperti nonton Abang sendiri. Soalnya, Tengkorak band udah mendarah daging di otak gue. Ibarat organ tubuh gue sendiri. Ombat Nasution, vokalis tengkorak band itu influence gue bang.” Andy sangat kecewa saat mendengar vokalis Tengkorak band menyatakan bahwa Tengkorak band akan vakum. Ia mengaku langsung meneteskan air mata dan melaksanakan sholat sangat. Andy tidak setuju karena menurutnya tidak ada band rock underground yang memiliki karakter seperti Tengkorak band yang sering menyuarakan kritik terhadap kebijakan Amerika Serikat dan Israel di Timur Tengah dan wilayah lainnya. Meskipun Andy memiliki band rock underground belum sebesar Tengkorak band, ia berharap dapat mengikuti jejak idolanya tersebut. Jika ada kesempatan, setidaknya ia ingin tampil bersama Tengkorak band dalam sebuah pertunjukan. Secara skematis, proses konstruksi identitas Andy seperti telah diuraikan sebelumnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
PROSES SOSIALISASI
Keluarga (+) Sekolah (+) Peer group (+) Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 3
Lirik (+) Ilustrasi (-) Orasi (+) Salam satu jari (+)
Audiens berpikiran kritis
Ketidakpuasan (+) Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi Gambar 12. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 3
4. Audiens 4 (Audiens apolitis) Trias Sari atau lebih akrab dipanggil dengan Nia adalah pengemar Tengkorak band wanita yang lahir 40 tahun lalu di Surabaya. Pada saat masih di perguruan tinggi, ia sempat menjadi vokalis band rock underground, Retry Beauty, yang semua personilnya adalah wanita. Saat ini ia sibuk bekerja pada sebuah biro perjalanan swasta dan berstatus single parent dalam mengurus putri semata wayangnya. Sebelum mengenal Tengkorak band, Nia mengaku bahwa ia sudah mendengarkan musik rock underground sejak duduk di bangku terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1988. Awalnya, seorang teman sekolahnya meminjamkan kaset-kaset band rock underground asing seperti Slayer band dan sebagainya. Begitu mendengarnya ia merasa cocok, karena irama yang dihasilkan sesuai dengan jiwanya saat itu. Setelah itu, Nia mengaku mulai banyak
mendengarkan berbagai band-band rock underground asing lainnya karena keingintahuannya yang besar akan jenis musik tersebut. Berikut penuturannya: ”Terus terang menyukai musik ini karena penasaran dengan musik yang cepat” Namun
demikian,
kedua
orang
tuanya
kurang
menyukai
jika
ia
mendengarkan musik rock underground karena musik tersebut identik dengan kaum adam serta hal-hal negatif seperti narkoba dan seks bebas. Oleh karena itu, Nia mengaku bahwa ia lebih sering mendengarkan musik rock underground saat bersama teman-temannya di luar rumah. Nia juga mengatakan bahwa ia lebih banyak memperoleh pengetahuan mengenai budaya musik rock underground dari temanteman sepergaulan dan cover kaset, misalnya saja cara berpakaian. Nia mengungkapkan bahwa ia mulai menyukai Tengkorak band pada saat ia duduk di bangku perguruan tinggi. Saat itu ia mendengar lagu Tengkorak band yang berjudul Konflik dari kaset kompilasi Metalik Klinik 1 milik seorang temannya dan langsung menyukai lagu tersebut karena mengingatkan dirinya akan band rock underground asal Birmingham, Inggris yaitu Napalm Death. Akan tetapi, untuk mewujudkan kekagumannya Nia tidak mengkoleksi semua album Tengkorak band seperti halnya audiens pria. Tidak semua simbol-simbol signifikan hasil reproduksi Tengkorak band bermakna bagi dirinya. Selain sulit diperoleh, sebagai wanita ia merasa cukup dengan mengunduh lagu-lagu dalam format mp3 melalui internet serta menyimpan t-shirt dan stiker Tengkorak band. Berikut penuturannya: ”Kalo stiker, aku merasa bangga aja kalau ada yang nanya–nanya… suka atau tau sama band Tengkorak nggak?” Nia mengaku dengan memiliki stiker dan menempelkannya pada motor dan helm yang dimilikinya menjadi sebuah cara bagi Nia untuk mengekspresikan diri sebagai bagian dari penggemar Tengkorak band. Ia memang lebih sering mengendarai motor dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari di Surabaya.
Sebagai seorang ibu dari seorang putri, saat ini Nia tidak dapat menyaksikan pertunjukan Tengkorak band yang digelar di luar kota Surabaya. Menurutnya, ia tidak mungkin meninggalkan putrinya hanya untuk menyaksikan penampilan Tengkorak band. Nia mengaku bahwa pada saat menyaksikan pertunjukan Tengkorak band ia tidak melakukan aktivitas slamming karena menurutnya aktivitas tersebut hanya untuk kaum pria saja, tidak untuk dirinya. Sementara itu, Nia juga mengatakan bahwa selain lagu Konflik, lagu yang ditunggu saat Tengkorak band tampil adalah lagu yang berjudul Pemimpin Gila dan Konsentrasi Massa. Akan tetapi, kepada penulis ia berterus terang bahwa dirinya tidak memperhatikan isi lirik dari kedua lagu Tengkorak band tersebut. Baginya ketiga lagu tersebut memberi kesan lucu untuk dirinya. Nia mengaku bahwa pada dasarnya ia menyukai Tengkorak band bukan karena isi liriknya, namun karena musik yang dihasilkan Tengkorak band dan penampilan mereka di atas panggung yang berbeda dengan band rock underground lainnya. Menurut Nia, Tengkorak band memainkan musik yang keras, namun sang vokalis sering menyampaikan orasinya dengan santai dan penuh humor. Namun demikian, Nia mengaku bahwa ia tidak mengidentifikasi dirinya dengan Tengkorak band sepenuhnya. Tidak semua simbol-simbol signifikan dan orasi yang disampaikan oleh vokalis Tengkorak band diserap olehnya. Ia belum dapat menentukan pendapatnya terhadap orasi yang bersifat politis seperti masalah intervensi Amerika Serikat dan Israel di Timur Tengah dan wilayah lain di dunia karena ia sendiri belum memiliki kepastian mengenai kebenarannya. Baginya, musik sebaiknya dipisahkan dari unsur politik. Begitu pula halnya dengan simbol salam satu jari yang dihasilkan Tengkorak band pada awal tahun 2010 sebagai bentuk bricolage. Nia belum sependapat dengan Tengkorak band karena menurut pendapatnya musik rock underground tidak memiliki hubungan dengan zionisme. Uniknya, Nia mengakui bahwa ia tetap merupakan fans berat Tengkorak band meskipun di satu sisi pemikiran Tengkorak band bertentangan dengan cara pandang dirinya terhadap realitas kehidupan sehari-hari. Ia bahkan mengakui jika musik yang dimainkan Tengkorak band berperan menaikkan semangat dan rasa
percaya dirinya. Oleh karena itu, kepada penulis ia berharap agar Tengkorak band tidak berhenti di tengah jalan dalam bermusik. Proses konstruksi identitas yang telah dilalui oleh Nia seperti yang telah diuraikan di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini: PROSES SOSIALISASI
Keluarga (-) Sekolah (+) Peer group (+) Media massa (+)
Tengkorak band
Audiens 4
Lirik (-) Ilustrasi (-) Orasi (-) Salam satu jari (-)
Audiens Apolitis
Ketidakpuasan (-) Katarsis (+)
Eksternalisasi------------------------------Obyektivasi----------------------------Internalisasi Gambar 13. Skema Proses Konstruksi Identitas Audiens 4
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa konstruksi identitas audiens Tengkorak band melalui proses sosialisasi menghasilkan identitas yang berbeda. Dua audiens memiliki kesadaran kritis yaitu audiens 2 dan 3, satu audiens memiliki identitas abu-abu yaitu audiens 1, dan satu audiens memiliki identitas apolitis yaitu audiens 4. Keberagaman identitas ini disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan komunikasi dari keempat audiens Tengkorak band. Tidak ada seorang audiens tersebut yang memiliki kesempatan yang sama untuk membaca berbagai materi-
materi dan tidak ada seorang audiens pun yang berinteraksi secara akurat dengan agen sosialisasi yang sama pula. Selain itu, perbedaan aspek sosiodemografik (jenis kelamin, usia, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa, agama, pekerjaan, ideologi, dan kepemilikan media), aspek psikologis (emosi dan kebutuhan), dan aspek karakteristik perilaku (nilai dan norma serta mobilitas sosial) di antara satu audiens dengan yang lainnya juga secara tidak langsung ikut mempengaruhi proses sosialisasi yang menghasilkan keberagaman identitas audiens Tengkorak band. Artinya proses konstruksi identitas audiens yang berlangsung dalam masa sosialisasi sekunder ini tidak semudah pada masa sosialisasi primer. Dalam masa sosialisasi sekunder, konstruksi identitas audiens tidak berlangsung dalam kondisi yang nihil, namun di dalam audiens sudah terbentuk sebuah dunia beserta nilai-nilai yang dibawa pada masa sosialisasi primer. Sehingga, untuk menghasilkan audiens dengan identitas kesadaran kritis memerlukan strategi yang tepat dan waktu yang lama.
4. 3. 4. Konstruksi Identitas Audiens Hasil Penetrasi Simbol-simbol Signifikan Tengkorak band Tengkorak band merupakan sebuah kelompok musik yang memainkan jenis musik rock underground. Menurut James Lull (1989), musik jenis ini termasuk dalam kategori musik oppositional subculture. Hal ini disebabkan karena ideologi bermusik Tengkorak band tidak mementingkan masalah finansial serta memanfaatkan industri lebih untuk menyatakan orientasi alternatif dan subkultur yang dinyatakan dalam ruang publik melalui simbol-simbol signifikan yang bersifat politis. Simbol-simbol signifikan yang dihasilkan oleh Tengkorak band disebut sebagai manifestasi dari gerakan sosial baru yang memiliki potensi terjadinya difusi ideologi di antara mereka dengan audiensnya. Musik Tengkorak band yang berirama cepat, lirik yang eksplisit dan kritis yang mengangkat tema kritik sosial dimana mayoritas anak muda tidak berani menyuarakannya serta sikap personil yang bersahabat menjadi daya tarik sebagian generasi muda yang memiliki kegelisahan terhadap situasi sosial sehingga membuat Tengkorak band memiliki audiens yang cukup banyak di Indonesia.
Audiens Tengkorak band adalah individu-individu yang memperlihatkan selera musik mereka terhadap musik Tengkorak band. Keempat subyek penelitian menunjukkan keterlibatan mereka terhadap musik Tengkorak band melalui proses sosialisasi. Berger (1990) mengatakan bahwa sosialisasi adalah suatu proses interaksi individu dengan lingkungannya dimulai dari momen eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural), objektivasi (interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi (proses dimana individu mengindentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya). Menurut peneliti, empat audiens Tengkorak band yang menjadi subyek penelitian ini membentuk identitas dengan melakukan pemaknaan terhadap simbolsimbol signifikan yang terdapat pada budaya musik Tengkorak band melalui proses sosialisasi. Pada awalnya, keempat audiens mulai mengenal Tengkorak band pada masa sosialisasi sekunder. Mereka mengalami eksposur dan menyukai musik Tengkorak band pada saat berinteraksi dengan peer group yang dekat dengan lingkungan sehari-hari. Kemudian, audiens mulai mengekspresikan kekaguman dengan mengumpulkan kaset, cd, t-shirt, menghadiri konser yang sesuai dengan selera mereka. Setelah itu, mereka mulai mengintegrasikan nilai-nilai yang ada ke dalam substansi kehidupan sehari-hari dan berusaha menjadi identik dengan Tengkorak band. Berbeda dengan apa yang teori Berger jelaskan sebelumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi identitas audiens Tengkorak band tidak hanya terbentuk oleh teman sebaya yang berfungsi sebagai significant others mereka, akan tetapi di dalam proses konstruksi identitas ini juga melibatkan media massa seperti yang dinyatakan oleh Bungin (2007). Audiens Tengkorak band melakukan pemaknaan terhadap simbol-simbol signifikan Tengkorak band yang tersedia di media massa (majalah underground serta cover kaset dan cd), media format kecil (stiker dan pamflet) serta media lini bawah (t-shirt dan stiker). Menurut Laswell (1964), salah satu fungsi media massa adalah mentransmisikan nilai dan kultur dari satu generasi ke generasi lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa media
massa, media format kecil dan media lini bawah, secara tidak langsung ikut memperkuat konstruksi identitas audiens Tengkorak band. Salah satu temuan peneliti menunjukkan bahwa audiens Tengkorak band banyak melakukan pemaknaan terhadap simbol-simbol signifikan gaya berpakaian melalui media cover kaset, cd, dan majalah underground. Audiens Tengkorak memaknai gaya berpakaian Tengkorak band sebagai gaya berpakaian yang sederhana, apa adanya, namun kritis. Gaya ini kemudian menjadi identitas audiens Tengkorak band yang dapat dilihat secara kasat mata. Menurut Barnard (1996), di dalam gaya berbusana terdapat muatan budaya dan ideologi. Melalui gaya yang sederhana dan kritis, karena ilustrasi yang terdapat di dalamnya menunjukkan sikap politis Tengkorak band, audiens Tengkorak mengekspresikan ideologinya sebagai individuindividu yang berpikiran kritis. Individu-individu ini menampilkan gaya berpakaian tersebut dengan tujuan menunjukkan identitasnya kepada orang lain dan gaya yang demikian itu membuat mereka merasa sebagai bagian dari audiens Tengkorak band yang tersebar di berbagai wilayah meskipun tidak saling mengenal. Simbol signifikan Tengkorak band berikutnya yang berpotensi menimbulkan terjadinya difusi ideologi adalah ilustrasi yang terdapat pada cover kaset, cd, dan tshirt produksi Tengkorak band. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat audiens melakukan pemaknaan terhadap ilustrasi tersebut secara beragam. Pada satu sisi, Gomes dan Aja melakukan pemaknaan bahwa ilustrasi merupakan ekspresi pemikiran dari Tengkorak band, sehingga keduanya menjadikan ilustrasi sebagai bagian dari identitas diri mereka sebagai audiens Tengkorak band yang berpikiran kritis. Di sisi lain, Andy dan Trias memberi makna bahwa ilustrasi tersebut tidak memiliki implikasi yang mendalam. Lagu-lagu Tengkorak band yang memiliki beat yang enerjik dan lirik yang kritis juga menjadi salah satu simbol signifikan yang dimaknai oleh audiens Tengkorak band dalam membentuk cara pandang terhadap dunia. Menurut Lull (1989) jelas bahwa lirik dan beat sebuah lagu tidak dapat dipisahkan, keduanya memiliki dampak yang mendalam. Beat lagu dipandang sebagai suatu media untuk mengirimkan lirik masuk jauh ke dalam pikiran audiensnya secara ritmik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa keempat audiens Tengkorak band memiliki lagu kesukaan yang beragam dan dimaknai secara beragam pula oleh mereka. Bagi ketiga subyek penelitian pria, lirik lagu-lagu Tengkorak band yang mereka sukai memberi kontribusi dalam membentuk cara pandang mereka terhadap dunia, terutama dalam menyikapi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Amerika Serikat dan Israel. Sehingga, tiga subyek penelitian berpotensi untuk menjadi audiens yang berpikiran kritis seperti yang diharapkan Tengkorak band. Akan tetapi, satu-satunya audiens wanita mengaku lebih menikmati beat lagu Tengkorak band
daripada
memperhatikan isi liriknya. Ia memaknai beat tersebut sebagai sebuah reduksi ketegangan atau hiburan semata yang mampu menaikkan situasi mood-nya. Baginya lirik-lirik politis yang ditulis Tengkorak band belum dapat mengkonstruksi identitas dirinya sebagai audiens Tengkorak band yang berpikiran kritis. Dengan demikian, temuan peneliti menunjukkan bahwa terdapat dua kategori audiens dalam Tengkorak band yaitu mereka yang memanfaatkan lirik dan beat dan mereka yang hanya lebih mengutamakan beat saja. Kategori audiens Tengkorak band yang pertama memiliki kecenderungan untuk menjadi identitas audiens yang berpikir kritis sedangkan kategori kedua lebih mengarah pada identitas audiens yang apolitis. Simbol signifikan Tengkorak band lainnya yang peneliti temukan selama pengamatan
lapang
adalah
orasi
vokalis
Tengkorak
band.
Orasi
yang
menggambarkan isi lagu dilakukan pada saat berinteraksi dengan audiens ketika sedang konser. Komunikasi antara vokalis dengan audiensnya pada saat konser ini memperkuat pemaknaan yang dilakukan audiens terhadap pesan yang terkandung dalam isi lagu Tengkorak band. Sehingga, dapat dikatakan bahwa orasi vokalis tersebut juga berperan memberikan acuan di dalam proses konstruksi identitas audiens tengkorak band. Temuan peneliti menunjukkan bahwa tiga audiens pria memiliki pemaknaan yang sama sedangkan satu audiens wanita menyatakan keraguannya dalam melegitimasi makna yang terdapat dalam orasi vokalis Tengkorak band. Gejala ini disebabkan oleh adanya pertentangan
antara isi orasi vokalis
Tengkorak band dengan nilai-nilai yang sudah terinternalisasi sebelumnya pada audiens tersebut.
Aktivitas slamming merupakan sebuah simbol signifikan yang peneliti temukan sering terlihat pada saat Tengkorak band melakukan pertunjukan. Pada dasarnya simbol ini bukan hasil produksi Tengkorak band, melainkan produksi budaya musik rock underground pada umumnya. Menurut Lull (1989) aktifitas slamming merupakan simbolisasi kesadaran pada setiap orang yang tidak menginginkan adanya perbedaan-perbedaan kelas di antara kedua pihak yang berinteraksi atau hilangnya jarak baik fisik maupun psikis antara musisi dan audiensnya. Berbeda dengan Lull, dari hasil penelitian mengungkapkan bahwa tiga audiens pria memaknai aktifitas slamming ini sebagai bentuk pelepasan emosi mereka serta apresiasi mereka terhadap band idolanya. Melalui aktifitas ini audiens juga berusaha menunjukkan identitas mereka sebagai penggemar Tengkorak band. Sementara itu, satu orang audiens wanita tidak melakukan aktifitas tersebut karena aktifitas tersebut tidak sesuai jika dilakukan oleh seorang wanita. Simbol signifikan yang paling akhir muncul di dalam tubuh Tengkorak band adalah salam satu jari. Simbol ini muncul di awal tahun 2010, namun sangat membantu audiens Tengkorak band dalam proses konstruksi identitas mereka sebagai audiens yang kritis. Simbol salam satu jari berpotensi menjadi refensi simbol yang membangkitkan kesadaran mereka agar tetap ingat kepada sang pencipta serta belajar memahami kontradiksi sosial dan berpikir kritis terhadap budaya musik rock underground yang lebih identik dengan nilai-nilai negatif seperti yang disebut dalam Lull (1989) yaitu memberontak dari orang tua, menggunakan narkoba, dan radikalisasi penampilan. Hadirnya simbol salam satu jari dengan nilai dan gaya yang meninggalkan budaya mapan musik rock underground membuktikan bahwa ideologi Tengkorak band menjadi kekuatan untuk menggeser posisi salam metal dua dan tiga jari dalam konteks yang tepat. Dari temuan peneliti, keempat audiens memaknai salam satu jari secara beragam. Dua audiens melegitimasi makna tersebut dengan mulai mengubah pola salam sebagai bentuk konvergensi ideologi mereka dengan Tengkorak band. Sedangkan dua audiens lainnya masih tetap bertahan dengan pola salam budaya musik rock underground lama. Satu audiens pria tidak mengubah pola salam lebih disebabkan oleh karena distribusi pengetahuan yang tidak merata seperti
yang dikatakan oleh Berger (1990). Sementara itu, satu audiens wanita belum melegitimasi salam satu jari karena memiliki kecenderungan adanya konflik intrapersonal. Widgery dalam Hamidi (2007) menyebut konflik intrapersonal tersebut dengan istilah disonansi kognitif, yaitu suatu ketegangan keadaan psikologis yang terjadi, sehingga seseorang menjadi sadar akan adanya hubungan yang tidak serasi antara kognisi-kognisinya, perasaan-perasaannya, nilai-nilainya, dan perilakuperilakunya. Sejumlah audiens yang tergabung dalam komunitas salam satu jari bekerja sama dengan personil Tengkorak band memanfaatkan media jejaring sosial di internet dengan membuka akun facebook untuk Tengkorak band yaitu “Tengkorak (The Greatest Indonesian Metal Legend)” untuk menyebarluaskan informasi terkini serta berinteraksi dengan audiens lainnya di berbagai wilayah. Melalui media ini, komunikasi antara Tengkorak band dan 33.176 audiensnya dapat tetap terjaga. Umumnya, para audiens mengakses facebook Tengkorak band ini untuk mengetahui karya-karya terbaru, jadwal pertunjukan, kehidupan personil, serta mengajukan berbagai pertanyaan mulai dari visi-misi Tengkorak band sampai dengan dukungan terhadap Tengkorak band. Pada dasarnya, Tengkorak band yang diharapkan identitas audiens adalah anak muda yang berpenampilan sederhana, sesuai dengan norma-norma budaya lokal dan berpikiran kritis. Ideologi ini berusaha ditularkan kepada audiens Tengkorak band melalui penetrasi simbol-simbol signifikan yang diproduksi oleh para personil Tengkorak band seperti lagu-lagu beserta liriknya, ilustrasi pada cover kaset, cd, dan t-shirt, orasi vokalis pada saat pertunjukan serta salam satu jari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua audiens berusaha membangun identitasnya sesuai dengan ideologi Tengkorak band, namun hanya dua audiens pria yang telah melakukan identifikasi dirinya dengan Tengkorak band. Kedua audiens ini adalah individuindividu yang telah masuk dalam kategori audiens berpikiran kritis dengan mengikuti perubahan pola dari salam tiga dan dua jari menjadi salam satu jari yang diproduksi Tengkorak band setahun yang lalu. Sedangkan satu audiens pria masuk dalam kategori identitas audiens “abu-abu”. Kategori identitas “abu-abu” ini adalah individu
yang melegitimasi ideologi politik Tengkorak band akan tetapi belum mengikuti perubahan pola salam satu jari. Munculnya audiens dengan identitas “abu-abu” ini diduga karena distribusi pengetahuan yang tidak merata dalam proses sosialisasi. Sementara itu, satu audiens wanita masuk dalam kategori identitas audiens yang apolitis karena ia belum melegitimasi makna simbol-simbol signifikan Tengkorak band yang berimplikasi politis dan juga belum mengikuti pola salam satu jari. Dengan demikian, pemaknaan yang telah dilakukan keempat audiens Tengkorak band melalui proses sosialisasi yang melibatkan Tengkorak band sebagai agen sosialisasi membentuk identitas mereka yang beragam. Belum adanya keseragaman identitas audiens yang diharapkan Tengkorak band melalui sosialisasi ini diduga karena distribusi pengetahuan yang tidak merata serta adanya pertentangan nilai-nilai yang sudah diinternalisasi sebelumnya dengan nilai-nilai baru yang dipenetrasi melalui simbol-simbol signifikan Tengkorak band. 4. 4. Penelitian Gerakan Sosial Baru untuk Komunikasi Pembangunan Pada bagian awal telah dikemukakan bahwa untuk mengatasi titik kritis yang dialami bidang komunikasi pembangunan akibat perubahan struktur sosial, ekonomi, dan politik dalam skala global, maka bidang komunikasi pembangunan dianjurkan untuk mengalihkan perhatian pada bidang gerakan sosial baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manifestasi gerakan sosial baru yang dilakukan Tengkorak band melalui penetrasi simbol-simbol signifikan mereka dalam proses konstruksi identitas atau sosialisasi keempat audiens telah menghasilkan identitas audiens yang beragam. Terkait dengan komunikasi partisipatif, keberagaman identitas audiens yang dihasilkan ini merupakan sebuah konsep yang akan mendorong pemberdayaan disebut oleh Rahim (2004) dengan istilah heteroglasia. Heteroglasia merupakan konsep yang menunjukkan fakta bahwa sistem pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbedabeda dengan berbagai variasi ekonomi sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik di
tingkat
nasional-lokal,
makro-mikro,
publik-privat,
teknis-ideologis,dan
informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut, terdapat pula berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan beragam peserta. Sebagai contoh, dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda. Sementara itu, petani subsisten di level pedesaan juga akan menggunakan kosakata yang berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor industri meskipun mereka memiliki bahasa nasional yang sama. Mereka mungkin membicarakan permasalahan yang sama akan tetapi mereka bisa saja tidak mengerti satu dengan yang lainnya. Tantangan bagi komunikasi pembangunan adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan heteroglasia. Bagaimana menempatkan konsep tersebut untuk kepentingan publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi, dan kelompok yang berbedabeda atau variasi pandangan tentang pembangunan tanpa menekan satu pandangan atas pandangan yang lain. Inilah yang menjadi problem dari komunikasi partisipasif. Artinya, hal ini juga menjadi problema bagi Tengkorak band bagaimana memanfaatkan keberagaman identitas audiensnya dalam menghadapi hegemoni budaya musik rock barat. Menghadapai situasi yang demikian, seperti halnya sebuah negara yang memiliki berbagai perbedaan budaya, Tengkorak band tidak memaksakan ideologi kesadaran kritis yang terdapat dalam simbol-simbol signifikan mereka. Keberagaman identitas audiens ini dipandang sebagai kekayaan budaya. Audiens dibiarkan bebas mengkonstruksi makna simbol-simbol signifikan tersebut sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki dalam konteks pendewasaan bersama. Seperti yang diungkapkan oleh Dervin dan Huesca (1997) bahwa komunikasi partisipatoris sebagai “kata kerja” untuk menegaskan bahwa tidak ada teori yang final. Begitu pula dengan identitas audiens yang tidak bersifat statis, proses sosialisasi audiens atau konstruksi identitas terus berjalan mulai individu lahir sampai akhir hayat. Ia tidak berhenti dalam satu kurun waktu. Sehingga, proses pembentukan kesadaran kritis memerlukan waktu yang dialog pengetahuan yang berkelanjutan, tidak dapat tercapai dalam waktu singkat.
Apa yang dilakukan Tengkorak band di dalam penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Servaes dalam White (2004) bahwa pembangunan harus berdasarkan pada inisiatif lokal dan mengandalkan pada diri sendiri, dimana setiap unit dari pembangunan akan memiliki modelnya masing-masing dan terdapat banyak jalan untuk melakukan pembangunan. Semua ini berimplikasi pada penolakan terhadap tesis modernisasi yang mengartikan pembangunan dengan implantasi rasionalitas dan nilai-nilai bisnis budaya barat. Berikut perbandingan budaya musik rock underground barat dengan budaya Tengkorak band: Matriks 11. Budaya Rock underground Barat vs Tengkorak band
Rock underground Barat
Tengkorak band
Penggunaan minuman keras
Menghindari minuman keras
Memberontak dari orang tua
Hormat kepada orang tua
Seks bebas
Menghindari seks bebas
Menuntut ilmu bukan prioritas
Menuntut ilmu adalah prioritas
Penggunaan salam dua dan tiga jari
Penggunaan salam satu jari
Untuk itu, komunikasi pembangunan perlu mempertimbangkan bahwa memiliki sebuah kesadaran kritis akan keunikan nilai-nilai kultural sebagai sebuah tujuan utama dari pembangunan sama pentingnya dengan produktivitas ekonomi. Semakin kuatnya rasa identitas budaya lokal dan regional akan menyediakan sebuah basis untuk mendekonstruksi hegemoni ideologi. Bricolage simbol signifikan salam satu jari Tengkorak band yang dilegitimasi oleh dua audiensnya dalam penelitian ini merupakan bukti otentik dari kekuatan pemberdayaan dalam mendekonstruksi hegemoni nilai-nilai bisnis budaya barat serta menolak homogenisasi budaya. Servaes dalam White (2004) menambahkan bahwa model pembangunan seperti ini merupakan multiplicity model, yaitu pembangunan harus diterjemahkan terutama dalam terminologi budaya daripada terminologi ekonomi dan politik. Hal ini disebabkan karena budaya merupakan arena dari perjuangan memperoleh
pemberdayaan serta gerakan-gerakan pemberdayaan itu sendiri menegaskan bahwa identitas budaya yang independen merupakan inti permasalahan.