39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Karakteristik Responden Pada penelitian ini dianalisis penerimaan responden terhadap produk
Minyak Sawit Mentah (MSMn) pada 9 cluster dengan jumlah responden 508 orang yang terbagi dalam 151 kepala keluarga. 4.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah responden yang dievaluasi dan dimonitor konsumsi minyak sawit mentah adalah sebanyak 508 responden yang terdiri dari 271 perempuan (53%) dan 237 laki-laki (47 %) (Gambar 5).
% Responden
60 50
53.3 46.7
40 30 20 laki-laki
perempuan
Gambar 5 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin (n=508) Dari data di atas diketahui bahwa responden perempuan persentasennya lebih besar dibanding laki-laki, ini menguntungkan bagi sosialisasi produk MSMn karena perempuan (ibu) merupakan gate-keeper dalam keluarga. Nutritional gatekeeper menggambarkan seseorang di dalam rumah tangga sebagai pembuat keputusan membeli hingga menyiapkan makanan untuk keluarga, bisa orangtua, nenek atau pembantu. Sebagaimana hasil penelitian Birch (2006) yang menunjukkan bahwa para ibu adalah gate-keepers bagi lingkungan makan anakanaknya. Di Indonesia kebanyakan ibu berlaku sebagai gate-keeper bagi keluarganya, walaupun sebagian dari mereka adalah perempuan bekerja (Waysima 2011). Dengan demikian cara introduksi produk pangan baru ke tingkat rumah tangga yang lebih tepat adalah melalui ibu.
40
4.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 12 berikut: Tabel 12 Karakteristik responden berdasarkan usia Usia (tahun) 0–5 6 – 15 16 – 25 26 – 55 > 55 Jumlah
Jumlah 69 42 71 299 27 508
Persentase (%) 13,6 8,3 14,0 58,9 5,3 100,0
Sebagian besar responden (72,9 %) berusia antara 16–55 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagian besar responden masih dalam usia produktif, usia
individu masih mampu mencari pengetahuan dan memungkinkan untuk
diberi pengetahuan baru sehingga penyerapan terhadap informasi baru masih tinggi. 4. 1. 3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 13. Tingkat pendidikan sebagian besar responden adalah sekolah dasar (32,9%). Tabel 13 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan Jenis Pekerjaan Belum sekolah Tidak sekolah SD SMP SMA PT Total
Jumlah 86 32 167 85 134 4 508
Persentase(%) 16,9 6,3 32,9 16,7 26,4 0,8 100,0
Tingkat pendidikan menentukan tingkat penerimaan seseorang terhadap informasi baru. Semakin tinggi pendidikan maka tingkat penerimaan terhadap informasi baru semakin mudah. Tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan pangan keluarga seperti yang dikemukakan
41
Schaffner et al.(1998) dan Madaniyah (2003), tingginya tingkat pendidikan orang tua memberi peluang lebih besar memperoleh pengetahuan tentang gizi dan tentang makanan sehat bagi keluarga, dimana atribut gizi suatu produk pangan menjadi penting bagi mereka. 4. 1. 4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan responden memperlihatkan produktifitasnya sehari-hari dan menentukan jumlah penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya. Pada penelitian ini, sebagian besar responden mengelompok pada jenis pekerjaan IRT (Ibu Rumah Tangga) dan tidak bekerja. Tabel 14 Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan Jenis Pekerjaan Buruh Guru Wiraswasta Pelajar Karyawan IRT Supir Tidak Bekerja Total
Jumlah 70 7 36 66 53 145 6 125 (Balita=86 orang) 508
Persentase(%) 13,8 1,4 7,1 13,0 10,4 28,5 1,2 24,6 100,0
Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa pekerjaan IRT memiliki persentase yang paling banyak yaitu 28,5%. Ini sejalan dengan pemilihan responden yang diutamakan adalah Ibu, terkait dengan pemilihan menu untuk makanan sehari-hari dalam keluarga adalah ibu sebagai “gate keeper”. 4. 1. 5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Perkeluarga Perbulan Pendapatan keluarga merupakan penentu penting pada pola makan keluarga. Harga pangan sangat berpengaruh dalam penentuan pilihan pangan, mempengaruhi sebagian kelompok masyarakat lebih daripada hal-hal lain. Pendapatan keluarga berhubungan secara nyata dan positif dengan perilaku konsumsi pangan anggota keluarga (Soedikarijati 2001).
42
60.0 49.7
Jumlah KK (%)
50.0 40.0
27.2
30.0 20.0
13.9
9.3
10.0 0.0 < 100
100-250
250-500
>500
Penghasilan (Rp)x1000 Gambar 6 Karakteristik responden (KK) berdasarkan penghasilan (n=151 KK) Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pendapatan per keluarga perbulan kebanyakan keluarga responden adalah antara Rp. 100.000 sampai Rp. 250.000. Pendapatan tersebut termasuk kedalam kelompok pendapatan yang rendah, ini menunjukkan bahwa kebanyakan responden adalah keluarga prasejahtera sesuai dengan alasan pemilihan responden diprioritaskan pada keluarga prasejahtera yang mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan/pengobatan. Pendapatan perkeluarga perbulan keluarga responden yang mengelompok pada pendapatan antara Rp 100.000,- sd Rp 250.000,- (49,7%) menunjukkan nilai pendapatan tersebut tergolong rendah dibandingkan dengan Upah Minimal Regional (UMR) Kabupaten Bogor yaitu sebesar Rp 800.000,-. Nilai pendapatan tersebut juga memperlihatkan daya beli yang relatif rendah terhadap suatu produk termasuk produk pangan sebagai pilihan pangan untuk kebutuhan pokok seharihari dan terhadap akses kesehatan. 4.1.6 Pengetahuan Sumber dan Penggunaan Vitamin A dan Minyak Sawit Mentah Pengetahuan Sumber dan Penggunaan Vitamin A dan Minyak Sawit Mentah dianalisis berdasarkan wawancara mengunakan kuesioner, yang menggambarkan pengetahuan awal responden tentang pengenalan sumber dan penggunaan vitamin A dan minyak sawit mentah.
43
a. Pengenalan Sumber dan Penggunaan Vitamin A sebelum Intervensi Pengetahuan mengenai sumber dan penggunaan vitamin A perlu diketahui untuk dapat memperlihatkan bagaimana konsumsi responden terhadap sumber vitamin A. Berikut disajikan tentang pengenalan sumber dan penggunaan vitamin A pada pengenalan awal (pada saat belum dilakukan sosialisasi). Tabel 15 Pengenalan sumber dan penggunaan vitamin A Pengenalan dan Konsumsi sumber Vitamin A Telah mengetahui sumber Vit.A Mengonsumsi sumber Vit. A Mempunyai pengalaman buruk Mengonsumsi Vit A
Jumlah (orang) 220 306 5
Persentase (%) 43,30 60,23 0,98
Tabel 15 memperlihatkan 43,30% responden mengetahui sumber vitamin A. Artinya kurang dari 50% responden belum memiliki pengetahuan mengenai sumber vitamin A. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa responden masih dapat menerima informasi/pengetahuan baru. Dari tabel juga diketahui bahwa sebanyak 60,23% responden Mengonsumsi sumber vitamin A. Adapun jenis sumber vitamin A yang diketahui oleh responden dan yang sering dikonsumsi yaitu sayur-sayuran (wortel, bayam, kangkung, buncis), buah-buahan (tomat, pepaya, apel, pisang, mangga) dan kapsul vitamin A yang berasal dari posyandu. Kurang dari 1% responden yang mempunyai pengalaman buruk pada saat Mengonsumsi vitamin A. Bentuk gangguan yang dikeluhkan akibat konsumsi kapsul vitamin A dosis tinggi seperti sakit perut, pusing, mencret, keluar kotoran dari mata, masuk angin dan kulit kasar. Walaupun demikian, belum dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan mengalami sakit/gangguan hanya karena Mengonsumsi sumber vitamin A tersebut.
b. Pengenalan Sawit dan Produknya Sebelum Intervensi Pengenalan minyak sawit dan minyak sawit merah perlu dilakukan agar responden lebih mengetahui produk dan minyak sawit merah yang kaya akan vitamin A. Berikut merupakan data pengenalan minyak sawit dan minyak sawit merah pada awal program agar dapat diketahui pengetahuan awal responden terhadap minyak sawit dan minyak sawit merah yang dapat memperlihatkan karakteristiknya. Berdasarkan hasil survei, tidak banyak responden yang memiliki
44
pengetahuan tentang minyak sawit dan minyak sawit merah. Gambar 5 memperlihatkan persentase pengetahuan dan pengenalan terhadap sawit dan
Pengenalan Minyak Sawit
produknya. Pernah mencoba MSM
0.51
Mengetahui manfaat MSM
1.35
Mengetahui minyak sawit merah
1.77
Mengenal produk minyak sawit
99.49 98.65 98.23 80.95
19.05
Mengenal MSMn
99.21
0.79
Melihat&mengetahui pohon sawit
42.25 0
57.75
50
100
% Responden Tidak
Ya
Gambar 7 Pengenalan sawit dan produknya Berdasarkan Gambar 7 dari seluruh responden hanya 1,77% yang mengetahui minyak sawit merah dan manfaatnya, bahkan kurang dari 1% responden pernah mencoba MSM. Dari Gambar 5 juga dapat dilihat sudah cukup banyak (42,25%) responden yang mengenal pohon sawit dan yang sudah kenal produk minyak sawit (19,05%). Beberapa jawaban mereka yang melihat dan mengetahui pohon sawit pada awal program mendefinisikan bahwa pohon sawit adalah yang memiliki buah kecil berkelompok, warnanya oranye kemerahan, lebih pendek daripada pohon kelapa, seperti buah salak, berduri, pohon seperti pohon palem tidak terlalu tinggi, bisa dilihat di layar TV, perkebunan di daerah Banten, Cigudeg, IPB, Lampung, Jasinga dan Leuwiliang. Produk Minyak Sawit yang dikenal yaitu minyak goreng (minyak goreng curah, Bimoli, Sania, Simas, Filma), margarine (Simas, Filma). MSM yang baru diketahui adalah minyak sawit perasan yang dilihat di TV. Pengetahuan mengenai manfaat MSM juga masih umum yaitu hanya sebatas menjadi lebih sehat.
45
4.2 Respon Responden Terhadap Produk MSMn 4.2.1
Respon Awal Memilih makanan menjadi salah satu bentuk perilaku yang kompleks,
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu oleh makanan itu sendiri, individu yang membuat pilihan, lingkungan ekonomi dan sosial dimana pilihan itu dibuat (Meiselman & MacFie 1996). Sebagai produk pangan baru yang diperkenalkan kepada responden, perlu diketahui respon awal responden terhadap produk supaya dapat diketahui seberapa besar tingkat penerimaan responden terhadap produk baru. Respon awal (2-4 hari)
terhadap konsumsi produk
dianalisis berdasarkan wawancara mengunakan kuesioner. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa respon awal (2-4 hari) setelah Mengonsumsi, menunjukkan bahwa responden dapat menerima produk baru dengan baik. Lebih dari 95 % responden menyatakan tidak terganggu dan biasa saja. Hal ini ditunjukkan dari tidak terganggunya responden oleh warna, rasa dan aroma. Pengujian penerimaan produk diuji pada produk pangan yang diolah menggunakan MSMn, bukan uji organoleptik pada produk MSMn. 100
98.62
95.87
97.64
90 % Responden
80 70 60 50 40
Tidak terganggu
30
Terganggu
20 10
1.38
4.13
2.36
0 Rasa
Aroma
Warna
Atribut Produk
Gambar 8 Respon awal responden (2-4 hari) terhadap rasa, aroma dan warna MSMn (n=508)
46
4.2.2
Bentuk Gangguan Terhadap Atribut Produk MSMn Sebagai produk baru, tidak dipungkiri bahwa pada evaluasi 2-4 hari
setelah konsumsi ada responden yang menyatakan terganggu dengan produk yang diberikan. Beberapa gangguan terhadap atribut produk yang dirasakan hanya kurang dari 5 % responden. Dari data yang didapatkan, gangguan pada atribut produk yang sangat mengganggu adalah pada atribut aroma. Beberapa responden mengalami gangguan berupa bau menyengat, bau aneh dan ada aroma lain serta bau asam. Hal ini dapat dirasakan karena produk yang diberikan berupa MSMn yang merupakan hasil perasan minyak sawit merah yang memiliki aroma alami minyak sawit merah itu sendiri. Adapun gangguan pada rasa meliputi rasa getir, tidak enak dan agak lengket. Sedangkan gangguan pada warna dirasakan responden karena tidak suka warnanya yang terlalu merah. 4.2.3
Frekuensi Konsumsi Produk MSMn Pemberian produk yang diberikan diharapkan digunakan setiap hari oleh
responden dalam mengolah makanannya, akan tetapi pada faktanya ada saja responden yang tidak mengonsumsi setiap hari
baik itu pernah tidak
mengonsumsi atau bahkan kadang-kadang tidak menggunakan produk (Tabel 16). Umumnya responden yang pernah tidak mengonsumsi karena makan di luar rumah, tidak memasak atau ada di luar kota. Frekuensi mengonsumsi produk yang diberikan dianalisis berdasarkan wawancara mengunakan kuesioner. Tabel 16 Frekuensi konsumsi produk MSMn Frekuensi konsumsi Setiap hari Pernah tidak mengonsumsi Kadang-kadang tidak Total
Jumlah (orang) 395 96 17 508
Persentase (%) 77,28 18,93 3,79 100
4.3 Penerimaan Responden Terhadap Produk MSMn Menurut Pilgrim (1956), penerimaan pangan (food acceptability) menunjukkan perilaku makan yang disertai dengan kesenangan. Batasan tersebut menekankan adanya komponen perilaku dan komponen sikap, dimana kesenangan termasuk di dalamnya. Namun berbeda dengan food preference yang merupakan
47
penilaian afektif pada pangan yang belum atau sudah dimakan, penerimaan pangan digambarkan untuk penilaian afektif pada pangan yang secara aktual telah dimakan (Cardello & Schuutz 2000). Penerimaan terhadap makanan baru tidak terjadi begitu saja, diperlukan pengulangan berkali-kali untuk mengonsumsi makanan tersebut, barulah terjadi peningkatan kesukaan. Hasil beberapa penelitian menunjukkan diperlukan serangkaian pengulangan 15 kali makan makanan baru bagi bayi untuk meningkatkan konsumsi lebih dari 2 kali (Sulivan & Birch 1994), 10 kali lebih mengonsumsi makanan tertentu baru menghasilkan peningkatan konsumsi anak usia 2 tahun (Birch & Marlin 1982) dan 8-15 kali pengulangan makan pada anak usia 4-5 tahun untuk meningkatkan penerimaan pangan anak (Sullivan & Birch 1990). Penemuan tersebut menekankan pentingnya pengalaman awal dan penerimaan anak terhadap pangan serta jenis pangan yang telah dikenalnya akan membentuk preferensinya terhadap pangan tersebut. Hasil penelitian Birch et al. (1987) menunjukkan bahwa untuk mendapatkan perubahan positif dalam preferensi, anak harus mendapatkan pengalaman langsung, yaitu merasakan makanan tersebut yang tidak menimbulkan resiko sakit perut. Menurut Birch (1998), sebagai hasil dari berbagai peristiwa makan dimana pangan dihubungkan dengan konteks sosial dan dampak fisiologis penyerapan pangan yang bisa positif atau negatif, anak akan menyukai dan mau menerima beberapa makanan serta menolak yang lain, selanjutnya akan terbentuk konsumsi pangan. Dengan demikian masuknya produk baru kepada responden dan anak dilakukan dengan cara diikutsertakan pada makanan yang sudah dikenal. Evaluasi
penerimaan
responden
dilakukan
setelah
responden
Mengonsumsi produk selama dua minggu, satu bulan, dan dua bulan. Masingmasing evaluasi tersebut dianalisis berdasarkan wawancara menggunakan kuesioner.
48
4.3.1
Penerimaan Responden Setelah 2 minggu Mengonsumsi Produk MSMn Produk yang diberikan pada bulan pertama program berjalan adalah
MSMn dengan satu jenis variasi yaitu tumis. Penerimaan responden setelah mengonsumsi produk selama dua minggu dinilai sangat baik. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 17, bahwa lebih dari 96% menyatakan menerima terhadap rasa dan warna, dan aroma. Tabel 17 Penerimaan responden terhadap atribut produk setelah 2 minggu konsumsi produk MSMn Penerimaan Menerima Agak menerima Agak menolak Menolak Jumlah 4.3.2
rasa n 495 12 1 0 508
% 97,44 2,36 0,20 0,00 100,00
2 minggu konsumsi aroma n % 490 96,46 16 3,15 2 0,39 0 0,00 508 100,00
Warna n % 496 97,64 11 2,17 1 0,20 0 0,00 508 100,00
Penerimaan Responden Setelah 1 bulan Mengonsumsi Produk MSMn Pada Tabel 18 juga dapat dilihat penerimaan responden setelah
mengonsumsi produk selama satu bulan yaitu bahwa lebih dari 97% responden menerima atribut rasa, warna dan aroma. Dari peningkatan jumlah responden yang menjawab mau, memperlihatkan adanya peningkatan terhadap penerimaan yang lebih baik kepada atribut produk baik dari rasa, aroma maupun warna. Tabel18 Penerimaan responden terhadap atribut produk setelah 1 bulan konsumsi produk MSMn Penerimaan Menerima Agak menerima Agak menolak Menolak Jumlah
rasa n 496 11 1 0 508
% 97,64 2,17 0,20 0,00 100,00
1 bulan konsumsi aroma n % 494 97,24 13 2,56 1 0,20 0 0,00 508 100,00
Warna n % 500 98,43 8 1,57 0 0,00 0 0,00 508 100,00
49
4.3.3
Penerimaan Responden Setelah 2 Bulan Mengonsumsi MSMn Tabel 19 Penerimaan responden setelah 2 bulan konsumsi MSMn
Penerimaan
2 bulan konsumsi aroma n % 496 97,64 12 2,36 0 0,00 0 0,00 508 100,00
rasa
Menerima Agak menerima Agak menolak Menolak Jumlah
n 500 8 0 0 508
% 98,43 1,57 0,00 0,00 100,00
Warna n % 504 99,21 4 0,79 0 0,00 0 0,00 508 100,00
Setelah mengonsumsi produk MSMn selama dua bulan penerimaan produk semakin baik,
tingkat
ini memperlihatkan adanya peningkatan
terhadap penerimaan yang lebih baik kepada atribut produk baik dari rasa, aroma maupun warna. Terjadinya peningkatan penerimaan setalah 2 intervensi disebabkan oleh adanya sosialisasi aspek manfaat dari MSMn selama intervensi. Selama intervensi responden diberi pengetahuan tentang manfaat dan cara penggunaan MSM. Pengetahauan konsumen akan mempengaruhi keputusan pembelian, yaitu semakin banyak pengetahuan yang dimiliki konsumen maka akan semakin baik pula
dalam
mengambil
keputusan.
Selain
itu
pengetahuan
konsumen
menyebabkan konsumen akan lebih efesien dan lebih tepat dalam mengolah informasi serta mampu mengingat informasi dengan baik (Sumarwan 2003). Menurut Engel, Blackwell & Miniard (1995) pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan konsumen untuk mengerti suatu pesan, membantu konsumen mengamati logika yang salah dan dapat menghindari penafsiran yang tidak benar. 4.3.4
Jumlah produk MSMn yang Dikonsumsi selama Intervensi Jumlah produk MSMn yang terdistribusi dan dikonsumsi oleh 508 orang
responden selama 2 bulan konsumsi pada 9 cluster responden penelitian adalah sebanyak 836 botol, sehingga setiap orang Mengonsumsi sebanyak 1,6 botol atau 230 ml selama 2 bulan atau sebanyak 3,8 ml per hari/orang. Konsumsi 3,8 ml/hari setara dengan 2523 mikrogram/hari, karena produk MSMn yang digunakan mengandung 664 ppm beta karoten (Anggraeni 2012).
50
4.3.5 Kelanjutan Konsumsi Produk MSMn Kelanjutan mengonsumsi produk dianalisis berdasarkan wawancara mengunakan kuesioner memperlihatkan bahwa sebanyak 473 responden (93,11%) responden menyatakan bersedia melanjutkan konsumsi produk yang diberikan, sedangkan responden yang menyatakan ragu-ragu yaitu 35 responden (6,89%). Hal ini menunjukkan bahwa responden menerima dengan baik produk tersebut sehingga mereka juga mau melanjutkan konsumsinya. Gambar 9 memperlihatkan persentase kelanjutan konsumsi oleh responden. 6.89%
Bersedia Ragu 93.11%
Gambar 9 Kelanjutan konsumsi MSMn (n=508) Adapun bila untuk mengonsumsi produk MSMn, responden harus membeli, ternyata lebih dari 99,21% (n=508) responden menyatakan tetap mau melanjutkan baik yang tidak memperhatikan harga, maupun yang mau melanjutkan asalkan harga produk terjangkau. Kemauan responden untuk melanjutkan konsumsinya terhadap produk semakin menunjukkan bahwa produk sudah diterima responden dengan baik. Kategori kelanjutan konsumsi produk apabila harus membeli disajikan pada Gambar 10. Alasan responden mau melanjutkan konsumsi disajikan pada Gambar 11.
51
% Responden
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
99.21
0.79 Mau asal harga terjangkau
Ragu
Kelanjutan Komsumsi Produk MSMn
% Responden
Gambar 10 Kemauan responden melanjutkan konsumsi produk jika harus membeli (n=473) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
58.86 36.61
4.53 terasa manfaatnya
agar terasa manfaatnya
percaya pada fasilitator
Alasan mau melanjutkan konsumsi produk MSMn Gambar 11 Alasan mau melanjutkan Mengonsumsi (n=473) Sosialisasi produk MSMn dengan mengedepankan manfaat kesehatan diperkirakan dapat berjalan dengan bagus. Hal ini terlihat dari alasan responden yang mau melanjutkan konsumsi karena sudah merasakan manfaatnya dan agar dapat merasakan manfaatnya sebanyak 94,49% (n=473). Beberapa responden yang menyatakan tidak mau, menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan vitamin A, akan menggantinya dengan mengonsumsi buah dan sayur dan menggantinya dengan mengonsumsi vitamin A sintetik. Sementara alasan responden yang tidak mau melanjutkan mengonsumsi
52
produk adalah belum merasakan manfaatnya, belum dapat menerima produk dan alasan lain seperti tidak mempunyai uang untuk membeli produk.
4.4 Perbaikan Pengetahuan Pengetahuan Tentang Sumber dan Penggunaan Vitamin A setelah Intervensi
% Responden
4.4.1
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
90.16
98.03
60.24 43.31
sebelum sesudah
0.98 0.00 Mengetahui sumber Mengonsumsi sumber Pengalaman kurang vitamin A vitamin A menyenangkan kon. Vit. A/MSM
Pengetahuan tentang sumber dan konsumsi sumber vitamin A Gambar 12 Pengetahuan sumber dan konsumsi vitamin A (n=508) Setelah intervesi selama 2 bulan terjadi penigkatan pengetahuan tentang sumber vitamin A dan konsumsi sumber vitamin A (Gambar 12).
Sebelum
intervensi hanya sekitar 43,31 % yang mengetahui sumber vitamin A, setelah interensi menjadi 90,16 %. Konsumsi sumber vitamin A meningkat dari 60,24 % menjadi 98,03 % setelah intervensi. Peningkatan ini disebabkan oleh edukasi yang dilakukan selama intervensi melalui pembagian leaflet, komik dan tanya jawab melalui penyuluhan serta demo masak. Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap penerimaan dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu (Engel, Blackwell & Miniard 1993).
53
4.4.2 Pengenalan Sawit dan Produknya setelah Intervensi sebelum 92.29
% Responden
100
95.14
100.00 86.86
80.57
80 60
sesudah
85.71
42.25
40 19.05
20 0
0.79
1.77
1.35
0.15
Gambar 13 Pengenalan Sawit dan produknya setelah intervensi (n=508) Selama dua bulan, responden
mengonsumsi produk yang diberikan
disertai pengenalan, penyuluhan, cara penggunnaan dan sosialisasi mengenai Minyak Sawit Mentah (MSMn). Gambar 13 menunjukkan bahwa dari berbagai parameter pengenalan terhadap sawit dan produknya persentase responden yang tahu di awal dan di akhir penelitian mengalami peningkatan. Penelitian selama dua bulan ini mampu membuat responden mengenal MSMn, manfaat MSMn dan mencoba MSMn, sehingga mereka
menjadi mengenal, menyukai dan
mengonsumsi MSMn. Peningkatan pengetahuan responden membuktikan bahwa dengan usia responden yang rata-rata termasuk kelompok usia produktif, walaupun tingkat pendidikan setara dengan lulusan SD ternyata mampu menyerap pengetahuan atau informasi tentang produk MSMn dan tentang kesehatan yang diberikan selama penelitian berjalan. Pada penelitian ini berhasil memperkenalkan MSMn yang
54
merupakan sumber vitamin A alami sehingga informasi tersebut bisa semakin dikenal dan dekat dengan masyarakat. 4.5 Analisis Plama 4.5.1
Analisis Profil Lipid
a. Trigliserida 180.0 Kadar Trigliserida (mg/dL)
160.0
161.0
158.7
Sebelum
Sesudah
140.0 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0
Gambar 14 Rata-rata trigliserida (mg/dL) sebelum dan sesudah intervensi Rata-rata kadar trigliserida sebelum intervensi minyak sawit merah adalah 161,0 mg/dL dan sesudah intervensi menjadi 158,7 mg/dL (Gambar 14). Berdasarkan uji statistik (t berpasangan) penurunan ini tidak signifikan. Hasil yang sama dilaporkan oleh Karaji-Bani (2006), bahwa pemberian minyak sawit sebanyak 12 % dalam pakan tikus menurunkan kadar trigliserida tetapi tidak bermakna secara statistik. Hasil berbeda dilaporkan oleh Bester et al. (2010), melaporkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan dalam serum trigliserida pada kelompok tikus yang diberi diet Red Palm Oil (RPO) dibandingkan dengan kelompok tikus diet standar. Trigliserida plasma dipengaruhi oleh asupan energi, kelebihan asupan energi disimpan dalam bentuk trigliserida. Tinggi asupan energi disebabkan karena tingginya asupan gula, lemak dan rendahnya aktifitas fisik .Lemak disimpan didalam tubuh dalam bentuk trigliserida yang merupakan hasil sintesa
55
dari asam–asam lemak dan gliserol yang dibantu dengan hormon insulin; proses ini dikenal sebagai lipogenesis (deposisi lemak) yang terjadi akibat masukan energi
melebihi
keluaran
energi
(Prawirokusumo
1994).
Apabila
sel
membutuhkan energi atau masukan energi lebih rendah dibanding energi yang keluar, enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak serta melepasnya ke dalam pembuluh darah, proses ini disebut lipolisis (mobilisasi lemak) (Soehardi 2004). Trigliserida tidak hanya berasal dari lemak makanan (asam lemak jenuh dan tidak jenuh), tetapi juga berasal dari makanan yang mengandung karbohidrat (sederhana dan kompleks) (Soehardi 2004). Trigliserida yang ada dalam epithel usus selama absorbsi lemak, akan diekskresikan ke dalam limpa dalam bentuk kilomikron dan dalam bentuk inilah lemak ditransfer ke jaringan–jaringan di seluruh tubuh (Lloyd et al.1978). Peningkatan trigliserida dalam plasma merupakan salah satu resiko penyakit kardiovaskuler. Peningkatan kadar trigliserida sebesar 1 mmol/L (90 mg/dL) dapat meningkatkan resiko terkena penyakit kardiovaskular sebesar 32 % (Oberman 2000).
b. Kolesterol Total Dari Gambar 15 diketahui bahwa terjadi penurunan rata-rata kolesterol total sesudah intervensi dengan minyak sawit merah selama 2 bulan. Rata-rata total kolesterol turun dari 168,3 mg/dL menjadi 158,0 mg/dL. Penurunan ini signifikan secara statistik berdasarkan uji t berpasangan. Potensi minyak sawit mentah menurunkan kolesterol dikaitkan dengan kandungan tokotrienol, kandungan sterol, squalen, polyphenolics dan komposisi asam lemaknya. Minyak sawit merah mengandung tokotrienol sekitar 300-600 ppm (Sudram 2003). Tokotrienol dapat menghambat 17-32 % aktivitas enzym 3-hidroxy-3methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reduktase yang berperan dalam biosintesis kolesterol (Qureshi 1991a).
56
Kadar Kolesterol Total (mg/dL)
180
168,3
158
160 140 120 100 80 60 40 20
Sebelum Sesudah Gambar 15 Rata-rata kolesterol total (mg/dL) sebelum dan sesudah intervensi Efek tokotrienol menurunkan kolestrol telah banyak dilaporkan, Qureshi (1991b) memberikan tocotrienol-rich fraction (TRF) yang diisolasi dari minyak sawit dalam bentuk kapsul kepada babi yang hiperkolesterolemia, menurunkan 44% kolesterol total dan menurunkan 60% kolesterol LDL. Eqbal et al. (2011) melaporkan bahwa terjadi penurunan kolesterol LDL dan peningkatan kolestrol HDL serta penurunan kolesterol total secara signifikan pada tikus setelah di beri 15 % minyak sawit merah dalam pakannya selama 4 minggu. Kamsiah et al. (2001) juga melaporkan bahwa pemberian minyak sawit merah terhadap tikus jantan selama 20 minggu menurunakan kolesterol total secara signifikan. Konsumsi ransum yang mengandung gamma-tocotrienol (50 mg / kg) dan alfatokoferol (500 mg/kg) selama enam minggu menyebabkan penurunan konsentrasi plasma lipid. Kolesterol plasma, LDL dan VLDL, dan trigliserida masing-masing menurun secara signifikan (P <0,001) (Watkins 2003). Minyak sawit merah juga mengandung sterol sekitar 210-620 ppm (Bonnie 2000). Sterol memiliki kemampuan untuk berkompetisi dengan kolesterol dalam penyerapannya di dalam usus. Kompetisi ini mengakibatkan berkurangnya jumlah kolesterol yang dapat diserap oleh tubuh, karena sterol mempunyai struktur kimia yang mirip dengan kolesterol, sehingga dapat menghambat penyerapan kolesterol diusus kecil (Ostlund 2003). Bukti sterol menghambat penyerapan sterol telah dilaporkan oleh Thomsen (2004), sterol tanaman di campurkan kedalam susu rendah lemak dapat menurunkan klesterol LDL sebesar 7,13 – 9,59 %.
57
Squalen dalam MSMn juga berpotensi menurunkan kolesterol. Penelitian telah menunjukkan bahwa suplementasi dengan 900 mg squalene setiap hari selama 7 sampai 30 hari dapat bermanfaat untuk kesehatan jantung (Strandberg et al. 1989). Selain itu, squalen yang ada pada jaringan menjadi prekursor metabolik kolesterol dan steroid lainnya (Kelly 1999). Dalam studi lain dilakukan untuk melihat efek gabungan dari squalene (860 mg) dan pravastatin (10 mg), baik sendiri atau kombinasi pada pasien hiperkolesterolemia. Sebanyak 102 pasien menerima pengobatan selama 20 minggu dan dilaporkan bahwa squalen mengurangi kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida serta meningkatkan kolesterol HDL, walaupun kombinasi pravastatin dan squalene dilaporkan lebih ampuh dalam mengurangi kolesterol total dan LDL (Chan et al. 1996) MSMn juga berpotensi sumber antioksidan fenolik yang murah, MSMn mengandung senyawa polifenol sekitar 40-70 ppm. Engler et al. (2004) melaporkan bahwa flavonoid dapat meningkatkan fungsi endotel dan mengurangi tekanan darah, mengurangi kerusakan oksidatif, menurunkan kadar kolesterol darah, mengurangi peradangan dan mengurangi risiko trombosis. Asam lemak tidak jenuh utama dalam minyak sawit merah adalah asam palmitat (16:0), tetapi asam palmitat bersifat netral terhadap kolesterol. Asam misristat (14:0) dan laurat (12:0) yang dapat menaikkan kolesterol hanya sekitar 1,5 % dalam minyak sawit merah. Hayes et al. (1991) menunjukkan pada monyet, bahwa diet asam miristat (14:0) dan asam palmitat (16:0) memiliki efek yang sangat berbeda pada metabolisme kolesterol, asam miristat menjadi sangat kolesterolemic sedangkan palmitat netral terhadap kolesterol. Asam miristat (14:0) menurunkan reseptor LDL, sehingga terjadi kenaikan kolesterol LDL. Frenchh et al.( 2002) meneliti hubungan antara sintesis endogen kolesterol dan kandungan asam palmitat dalam makanan disumbangkan oleh minyak sawit, tingginya asam palmitat dalam makanan tidak secara signifikan mempengaruhi total serum dan LDL kolesterol. National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel-III (NCEP ATP-III dalam Watson 2002) telah mengemukakan bahwa penurunan kadar kolesterol total sebesar 1% (1 mg/dL) akan menurunkan risiko penyakit jantung sebesar 2% dan kenaikan kadar kolesterol HDL sebesar 1 mg/dL akan
58
menurunkan risiko penyakit jantung sebesar 2-3 %. Pada penelitian ini terjadi penurunan rata-rata kadar kolesterol total 4,33%, sehingga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner sekitar 8,66 – 12,99%.
c. Kolesterol HDL Rata-rata kolesterol HDL meningkat dari 41,5 mg/dL menjadi 45,6 mg/dL, dan peningkatan ini signifikan secara statistik (Gambar 16).
Hal yang sama
dilaporkan oleh Dauqan et al. (2011) bahwa konsumsi MSM pada tikus percobaan dapat meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL.
Asam lemak tidak jenuh
tunggal utama dalam minyak sawit merah adalah asam oleat. Menurut Wood (1993) oleat dapat menurunkan kolelesterol LDL dan meningkatkan kolesterol
Kadar Kolesterol HDL (mg/dL)
HDL secara lebih besar dibanding asam lemak omega-3 dan omega-6. 50
41.5
45.6
45 40 35 30 25 20 15 10 Sebelum
Sesudah
Gambar 16 Rata-rata kolesterol HDL (mg/dL) sebelum dan sesudah intervensi Minyak kelapa sawit merangsang sintesis kolesterol HDL dan menurunkan kolesterol LDL berbahaya (Mukherjee 2009). Peningkatan kadar kolesterol HDL menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler. Secara umum, setiap kenaikan kadar HDL-C sebesar 1 mg/dL dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular sebesar 2-3%. HDL menurunkan kadar kolesterol melalui transpor keluar dinding sel dan meningkatkan katabolisme kolesterol di perifer (Ridker & Libby 2008).
59
d. LDL Rata-rata kolesterol LDL turun dari 98,7 mg/dL menjadi 81,1 mg/dL, dan penurunan ini signifikan secara statistik (Gambar 17). Kemampuan minyak sawit merah menurunkan kolesterol LDL berhubungan dengan komposisi asam lemaknya. Minyak sawit merah mengandung asam lemak tidak jenuh seitar 50 % dalam bentuk asam oleat (18:1) dan linoleat (18:2). Asam lemak tidak jenuh meningkatkan jumlah dan
aktivitas reseptor LDL sehingga meningkatkan
katabolik kolesterol LDL, dengan demikian kolesterol LDL akan turun
Kadar kolesterol LDL (mg/dL)
(Fernandez 2005). 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10
98.7
81.1
Sebelum
Sesudah
Gambar 17 Rata-rata kolesterol LDL (mg/dL) sebelum dan sesudah intervensi Hasil yang sama dilaporkan Dauqan et al. (2011) bahwa konsumsi MSM selama 4 minggu pada tikus percobaan menurunkan konsentrasi kolesterol LDL. Daniel et al. (1991) dan Qureshi et al. (1991) juga melaporkan bahwa isolasi vitamin E dari minyak sawit dapat menurunkan konsentrasi kolesterol LDL. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Grundy dan Mattson (1985) bahwa pemberian diet asam oleat (18:1) memberikan efek menurunkan kolesterol LDL dalam plasma. Mesink dan Katan (1989) juga melaporkan bahwa subtitusi asam
60
lemak oleat dalam diet menurunakan kolesterol LDL, bahkan efek penurunan kolesterol LDL yang diberikan sama dengan yang diberikan oleh asam lemak linoleat (18:2).
e. Rasio Kolesterol Total terhadap kadar HDL
Rasioa Kolesterol Total terhadap kadar HDL
5 4.5
4.3
3.5
Sebelum
Sesudah
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Gambar 18 Rata-rata Rasio Kolesterol Total terhadap kadar HDL Dari gambar 18 diketahui bahwa terjadi penurunan rasio kolesterol total:kolesterol HDL dari 4,3 menjadi 3,5, dan penurunan ini signifikan secara statistik. Rasio kolesterol total: HDL kolesterol sebaiknya <4,6 pada laki-laki dan <4,0 pada perempuan (American Heart Association, AHA) (2005). Makin tinggi rasio kolesterol total: HDL kolesterol risiko penyakit jantung koroner (PJK) makin meningkat. Pada beberapa orang yang mempunyai kadar kolesterol total yang normal dapat menderita PJK juga, ternyata didapatkan rasio kolesterol total: HDL kolesterol yang meninggi. Sebagai contoh penderita dengan kolesterol total 140-185 mg/dl, HDL kolesterol 20-22 mg/dl maka rasio kolesterol total: HDL
61
kolesterol lebih besar dari 7. Jadi tidak hanya kadar kolesterol total yang meninggi saja yang berbahaya, akan tetapi rasio kolesterol total: HDL kolesterol yang meninggi juga merupakan faktor resiko terjadinya PJK. Kelompok wanita dengan kadar HDL <35 mg/dl mempunyai risiko 1,88 kali lebih besar
untuk menderita PJK, dan kelompok wanita dengan rasio
kolesterol total dengan HDL >5 mempunyai risiko 2,27 kali lebih besar untuk menderita PJK dibandingkan kelompok kontrol. Secara relatif wanita yang berusia dibawah 65 tahun dengan peningkatan kadar LDL memiliki risiko 3,3 kali lebih besar daripada wanita dengan kadar LDL normal untuk menderita PJK, sedangkan wanita yang berusia diatas 65 tahun dengan peningkatan kadar LDL tidak memiliki risiko lebih besar untuk menderita PJK (Stangl 2002). Rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga di pengaruhi oleh konsumsi asam lemak trans. Menurut Sartika (2008) asam lemak trans memiliki pengaruh dua kali lipat dalam menaikkan rasio kolesterol total terhadap kolesterol HDL di bandingkan dengan asam lemak jenuh. Pengaruh konsusmi minyak sawit terhadap profil juga banyak dibandingkan dengan pengaruh minyak nabati lain yang kaya kandungan asam lemak tidak jenuh, misalnya minyak zaitun, minyak canola, minyak kedelai, minyak kacang tanah, miyak jangung dan minyak biji matahari (Choudhury 1995).
Ng et al. (1992)
melakukan sebuah studi perbandingan pada orang
dewasa muda Australia, menunjukkan bahwa total kolesterol darah, trigliserida, dan kadar kolesterol LDL dari mereka makan minyak kelapa sawit dan minyak zaitun adalah sama, yaitu lebih rendah dari yang makan diet kontrol. Sebuah studi pada 51 orang dewasa Pakistan menunjukkan bahwa mereka diberikan diet minyak kelapa sawit lebih baik dari mereka diberikan minyak bunga matahari. Minyak kelapa sawit meningkatkan kolesterol HDL (Farooq et al. 1996). Sebuah studi oleh Institut Nutrisi dan Makanan Kebersihan, Beijing, Cina membandingkan efek dari kelapa sawit, minyak kedelai dan minyak kacang. Minyak sawit menurunkan kadar kolesterol total dan LDL sekaligus meningkatkan HDL kolesterol. Minyak kedelai dan minyak kacang tidak berpengaruh pada kolesterol darah (Zhang 1997). Sebuah studi yang dilakukan oleh Ghafoorunnissa (1995) pada mata pelajar sehat India menunjukkan bahwa
62
minyak goreng sawit dan minyak kacang tanah memiliki efek yang sebanding menurunkan lipoprotein (Lpa). Marzuki et al. (1991) melaporkan bahwa minyak sawit dan minyak kedelai mempunyai efek yang sama terhadap penuruna kolesterol pada 110 siswa di Malaysia. Walaupun kandungan asam lemak jenuh minyak sawit merah hanya sekitar 50 % tetapi efeknya sama dengan minyak nabati yang lebih kaya dengan asam lemak tidak jenuh. Hal ini dapat dijelaskan bahwa asam lemak tidak jenuh pada minyak sawit sekitar 87 % berada pada posisi sn (stereospesific numbering)2 pada ester gliserol dan asam lemak pada trigliserida (Ong dan Goh 2002). Enzim lipase pada manusia bekerja secara spesifik pada posisi sn-1 dan sn-3, dan tidak menghidrolisis asil pada posisi sn-2. Setelah hidrolisis asam lemak dan 2MAG dalam bentuk misel bersama dengan cairan empedu diabsorpsi melalui mukosa intestinal. Asam lemak dalam bentuk 2-MAG yang diserap, bercampur dengan kilomikron, dan diangkut melalui saluran limpha. Asam lemak rantai panjang jenuh dalam bentuk bebas tidak diserap dengan baik, karena titik leleh yang tinggi akan berupa zat padat dan bereaksi dengan kalsium atau magnesium membentuk garam yang tak larut dalam air. Oleh karena itu, diupayakan untuk menempatkan asam lemak yang bermanfaat bagi kesehatan pada posisi sn-2 agar diserap lebih baik, tetapi asam lemak yang merugikan pada sn-1,3 agar tidak terserap (Willis et al. 1998)
4.5.2
C-Reactive Protein Dari Tabel 20 diketahui bahwa konsumsi minyak sawit mentah (MSMn)
selama 2 bulan dapat menurunkan kadar C-RP plasma pada 21 responden (63,6 %). Penurunan ini bermakna secara statistik berdasarkan uji t berpasangan. Kemampuan MSMn menurunkan kadar C-RP dihubungkan dengan sifat antioksidan yang dimilikinya. Karotenoid dan vitamin E dalam MSMn merupakan antioksidan yang sangat kuat. Antioksidan dari MSMn dapat mencegah oksidasi dan kerusakan membran sel, sehingga mencegah terjadinya kerusakan sel dan mencegah inflamasi, dengan demikian dapat menurunkan produksi C-RP.
63
Tabel 20 Hasil pemeriksaan C-RP responden (n=33) sebelum dan sesudah konsumsi MSMn (± 3,8 ml/hari) selama 2 bulan Responden
OD awal
OD akhir
Naik/Turun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
0,129 0,145 0,157 0,135 0,110 0,111 0,103 0,092 0,085 0,095 0,110 0,137 0,131 0,131 0,155 0,109 0,107 0,122 0,117 0,085 0,087 0,087 0,087 0,126 0,106 0,104 0,084 0,123 0,095 0,085 0,103 0,095 0,127
0,105 0,118 0,129 0,114 0,066 0,089 0,111 0,093 0,094 0,074 0,120 0,151 0,112 0,135 0,124 0,089 0,092 0,116 0,087 0,085 0,078 0,124 0,076 0,123 0,083 0,097 0,083 0,089 0,096 0,097 0,127 0,092 0,124
Turun Turun Turun Turun Turun Turun Naik Tetap Naik Turun Naik Naik Turun Naik Turun Turun Turun Turun Turun Tetap Turun Naik Turun Turun Turun Turun Tetap Turun Tetap Naik Naik Turun Turun
Kemampuan MSMn menurunkan kadar C-RP dihubungkan dengan sifat antioksidan yang dimilikinya dan kemampuannya mengoptimalkan respon imun. Karotenoid dan vitamin E dalam MSMn merupakan antioksidan yang sangat kuat. Antioksidan dari MSMn dapat mencegah oksidasi dan kerusakan membrane sel,
64
sehingga mencegah terjadinya kerusakan sel dan mencegah inflamasi, dengan demikian dapat menurunkan produksi C-RP. Karotenoid dan vitamin E dalam MSMn dapat mengoptimalkan fungsi sistem imun, sehingga dapat mencegah terjadinya inflamasi yang dapat menurunkan produksi C-RP. Minyak sawit mentah merupakan sumber
beta karoten dengan
bioavailabilitas paling tinggi dibanding dengan pangan lain, oleh sebab itu konsumsi minyak sawit mentah dapat meningkatkan konsenrasi beta karoten dalam plasma. Beta karoten sebagai anti oksidan dalam plasma akan mengurangi stress oksidatif, sehingga dapat mengurangi respon inflamasi dan menurunkan produksi C-RP. Kadar beta karoten dalam darah bersifat sensetif terhadap asupan bahan makanan sumber beta karoten (Wallstrom et al. 2001). Cooper et al. (2002) melaporkan bahwa konsumsi MSMn meningkatkan kadar alfa dan beta karoten plasma yang berkoreasi negatif dengan C-RP pada anak pra-sekolah penderita Malaria di Nigeria. Minyak sawit merah merupakan sumber beta karoten dengan bioavaliabilitas paling tinggi dibanding dengan pangan lain, oleh sebab itu konsumsi minyak sawit merah dapat meningkatkan konsentrasi beta karoten dalam plasma. Beta karoten sebagai anti oksidan dalam plasma akan mengurangi stress oksidatif, sehingga dapat mengurangi respon inflamasi dan menurunkan produksi C-RP. Kadar beta karoten dalam darah sensitif terhadap asupan bahan makanan sumber beta karoten (Wallstrom et al. 2001). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Perdede et al. (2008) yang menyatakna bahwa kadar C-RP lebih tinggi pada responden penelitian dengan kadar beta karoten rendah dibandingkan dengan responden dengan kadar beta karoten normal dan tinggi. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Erlinger et al. (2001) bahwa terdapat hubungan terbalik antara kadar beta karoten plasma dengan kadar C-RP plasma pada 14.470 responden. Anna et al. (2001) juga melaporkan bahwa ada korelasi negatif konsentarsi α- dan β-karoten dengan kadar C-RP Kandungan vitamin E dalam CPO juga berpotensi menurunkan C-RP. Ross (2004) melaporkan bahwa terjadi penurunan konsentrasi C-RP plasma secara bermakna pada 110 orang pasien sindrom koroner akut. Hal
65
disebabkan karena vitamin E merupakan antioksidan kuat untuk mencegah proses inflamasi. Antioksidan dalam minyak sawit akan melindungi kerusakan sel sehingga mengurangi proses inflamasi, dan selanjutnya berdampak pada penurunan produksi C-RP. Kandungan beta karoten dan vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) dalam CPO dapat mengoptimalkan fungsi sistem imun. Sel-sel imun sangat rentan terhadap oksidasi karena membrannya banyak mengandung asam lemak tak jenuh. Fungsi sistem imun yang optimal akan mengurangi proses inflamasi, sehingga berpotensi menurunkan kadar C-reactive protein (C-RP). C-RP menurut Lorentz (1990) merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri, peradangan dan kerusakan jaringan dan merupakan biomarker prediksi penyakit kardiovaskuler. Namun ada 8 orang responden (24,2 %) mengalami peningkatan kadar CRPnya, hal ini kemungkinan responden terpapar kondisi lingkungan yang meningkatkan risiko inflamasi, sehingga asupan MSMn tidak cukup untuk dapat mengurangi inflamasi tersebut. Selain itu kadar C-RP dipengaruhi juga oleh aktivitas fisik, stress, serta asupan nutrisi lain (Kluft 2001). Meningkatnya kadar C-RP pada beberapa responden ada hubungannya dengan statusnya sebagai keluarga prasejahtera. Keluarga prasejahtera/miskin adalah kelompok yang rawan terserang panyakit infeksi. Beberapa alasan meningkatnya beban penyakit pada penduduk miskin adalah, Pertama, penduduk miskin lebih rentan terhadap penyakit karena terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi serta kecukupan gizi. Kedua, penduduk miskin cenderung enggan mencari pengobatan walaupun sangat membutuhkan karena terdapatnya kesenjangan yang besar dengan petugas kesehatan, terbatasnya sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan terbatasnya pengetahuan untuk menghadapi serangan penyakit (WHO 2002). Konsekuensi ekonomi jika terjadi serangan penyakit pada anggota keluarga merupakan bencana jika untuk biaya penyembuhannya mengharuskan menjual aset yang mereka miliki atau berhutang. Hal ini akan menyebabkan keluarga jatuh kedalam kemiskinan, dan jika tidak bisa keluar dari hal ini akan mengganggu tingkat kesejahteraan seluruh anggota keluarga bahkan generasi
66
berikutnya. Serangan penyakit yang tidak fatal dalam kehidupan awal akan mempunyai pengaruh yang merugikan selama siklus hidup berikutnya. Pendidikan secara luas dikenal sebagai kunci dari pembangunan, tetapi masih belum dihargai betapa pentingnya kesehatan anak dalam pencapaian hasil pendidikan. Kesehatan yang buruk secara langsung menurunkan potensi kognitif dan secara tidak langsung mengurangi kemampuan sekolah. Penyakit dapat memelaratkan keluarga melalui menurunnya pendapatan, menurunnya angka harapan hidup, dan menurunnya kesejahteraan psikologis (WHO 2002). Kadar C-RP dipengaruhi juga oleh variasi biologis, oleh sebab itu variasi biologis harus diperhatikan supaya tidak mempengaruhi interpretasi hasil pemeriksaan. Variasi biologis yang dapat meningkatkan C-RP adalah obesitas, hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus dan penyakit infeksi (Ridker 2001). Pada penelitian ini sudah dilakukan identifikasi pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap C-RP melalui skrining responden, tetapi masih ada faktor yang tidak dapat dikendalikan yaitu faktor genetik dan adanya infeksi atau inflamasi.