IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui hasil produk APG bila diganti bahan baku penyusunnya. Untuk mengetahui telah tersintesisnya produk APG yaitu dengan pengujian karakteristik-karakteristik surfaktan APG yang sesuai jika dibandingkan dengan APG produk komersial dan APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C12 pada penelitian sebelumnya (Noerdin, 2008). Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati tapioka dan fatty alcohol C10. Pemilihan penggunaan tapioka karena tapioka merupakan salah satu jenis pati yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuat APG. APG dapat dibentuk dari bahan berbasis pati salah satunya adalah tapioka (Margareta,1999). Keberadaan pati tapioka mudah didapatkan, selain itu pati tapioka memiliki karakteristik fisiko kimia yang sesuai dengan pati pada umumnya. Hal ini ditunjukkan oleh sifat fisiko kimia pati mengandung amilosa dan amilopektin yang tersusun oleh D-glukosa. Penggunaan fatty alcohol dipilih sesuai dengan karakteristik fisiko kimia bahan baku penyusun APG, salah satunya yaitu fatty alcohol C10. Fatty alcohol C10 memiliki rantai C panjang sehingga dapat berperan sebagai gugus hidrofobik dari surfaktan APG. Selain itu, penggunaan fatty alcohol C10 lebih memudahkan dalam proses pembuatan APG pada tahap distilasi karena dengan penggunaan rantai C yang lebih pendek, sehinga waktu yang diperlukan pada tahap distilasi akan lebih cepat dan memerlukan suhu yang lebih rendah. Produk APG diamati melalui penampakan dan dianalisis karakteristiknya untuk mengetahui bahwa APG murni telah tersintesis. Pengamatan secara visual mengindikasikan bahwa APG dengan bahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 telah tersintesis dengan melihat penampakkannya berupa pasta berwarna coklat dan bau yang sesuai. Bentuk produk APG berupa pasta memiliki kesesuaian bentuk dengan APG komersial dan APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C12 . Jika dilihat dari warna masing-masing produk APG, APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 tidak memiliki kesesuaian warna jika
dibandingkan dengan produk komersial, tetapi memiliki kesesuaian warna dengan APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C12. APG komersial memiliki penampakan warna bening, sedangkan APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 dan APG berbahan baku pati sagu dan fatty alcohol C12 berwarna coklat tua. Warna coklat tua yang terbentuk pada produk akhir APG diperoleh dari proses pembuatannya, timbulnya warna gelap dapat disebabkan karena pengaruh suhu yang terlalu tinggi dan penggunaan katalis asam yang digunakan dalam pembentukan senyawa alkil poliglikosida. Menurut Buchanan et al. (1998), warna gelap produk surfaktan APG dapat terjadi selama proses sintesis surfaktan APG yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : a. Suhu pemanasan yang terlalu tinggi dan tidak terkontrol pada tahap proses distilasi, sehingga menimbulkan kerusakan warna dan kegosongan pada produk yang terjadi selama distilasi. b.
Penggunaan katalis asam pada proses sintesis surfaktan APG. Pemilihan katalis ini merupakan titik kritis terhadap warna dari produk akhir APG.
c. Turunan furan dengan warna kelam yang tinggi seperti furfuraldehid. Turunan furan ini dihasilkan pada proses dehidrasi monosakarida oleh katalis dengan asam kuat. d. Logam seperti Fe, Ca, Mn, dan Mg akan menimbulkan warna yang tidak diinginkan dalam produk surfaktan. Selain itu, analisis karakteristiknya meliputi tegangan permukaan, tegangan antar muka, kestabilan emulsi, stabilitas busa, pH, dan HLB untuk mengetahui indikasi telah tersintesis
APG C10. Dari hasil uji karakteristik
surfaktan, APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 telah memiliki kesesuaian karakteristik sebagai surfaktan APG (Tabel 2). APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka. Setelah penambahan APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10, terjadi penurunan tegangan permukaan air sebesar 52 % dan penurunan tegangan antar muka air dan xilena sebesar 76 %. APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 memiliki kemampuan menstabilkan emulsi dan membentuk busa dengan nilai kestabilan emulsi 65 % dan nilai
stabilitas busa yang terbentuk sebesar 48 %. pH yang dimiliki sebesar 8,75 merupakan suatu basa dan sesuai dengan karakteristik derajat keasaman APG pembanding. APG berbahan baku tapioka dan fatty alcohol C10 memiliki nilai HLB 14,1, hal ini menunjukkan kesesuaian dengan nilai HLB APG pembanding yaitu merupakan jenis pengemulsi O/W.
Tabel 2. Karakteristik APG Komersial, APG C12-Pati Sagu, dan APG C10-Pati Tapioka Karakteristik
APG
APG
APG
komersiala
C12-pati sagub
C10-pati tapioka
Bentuk
Pasta
Pasta
Pasta
Warna
Bening
Coklat tua
Coklat tua
pH
8,50
7,15
8,75
Tegangan permukaanc 34,05 dynes/cm
32,2 dynes/cm
34,5 dynes/cm
Tegangan antar mukac 10,15 dynes/cm
13,08 dynes/cm
9,3 dynes/cm
Kestabilan emulsi
61 %
72,3 %
65 %
Stabilitas busa
87 %
67 %
48 %
HLB
13,3
8,81
14,1
a
PT Cognis
b
Noerdin (2008)
c
konsentrasi APG 0,1 g/L Selain itu, penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk menentukan nilai
critical micelle concentration (CMC) dari APG sintesis. Menurut Schueller dan Romanousky (1998), pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah. Pengukuran nilai CMC diperoleh dengan mengukur tegangan permukaan dan tegangan antar muka. APG yang ditambahkan dengan berbagai konsentrasi hingga tegangan antar muka dan tegangan permukaan tidak lagi mengalami penurunan dan stabil. Pengukuran tegangan antar muka larutan APG sintesis menghasilkan CMC dicapai pada konsentrasi 0,6 g/L dan pengukuran tegangan
permukaan menghasilkan CMC dicapai pada konsentrasi 0,5 g/L, disajikan dalam Gambar 11 dan Gambar 12. Hasil penelitian dari Ware et al. (2007) menyatakan pengukuran tegangan permukaan air dengan penambahan APG C10 memiliki nilai CMC 0,5 g/L. Dalam penelitian ini, hasil nilai CMC yang diperoleh digunakan sebagai konsentrasi APG yang ditambahkan untuk pengukuran tegangan antar muka sebagai respon utama dalam metode permukaan respon untuk optimasi pada penelitian utama.
Gambar 11. Grafik Tegangan Permukaan Air dengan Penambahan APG pada Penelitian Pendahuluan
Gambar 12. Grafik Tegangan Antar Muka Air dan Xilena dengan Penambahan APG pada Penelitian Pendahuluan 4.2. ANALISIS HASIL OPTIMASI NILAI TEGANGAN ANTAR MUKA DENGAN PENAMBAHAN APG Proses pembuatan APG dengan reactor double jacket dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu, tekanan, waktu reaksi, jenis katalis, nisbah mol
pati-butanol dan nisbah mol pati-fatty alcohol. Di dalam penelitiaan ini diamati faktor nisbah mol pati-butanol dan nisbah mol pati-fatty alcohol. Metode permukaan respon merupakan bentuk analisis statistik yang digunakan pada respon yang dipengaruhi oleh beberapa faktor dan bertujuan untuk menemukan kondisi optimum dari respon tersebut. Di dalam penelitian ini, metode permukaan respon digunakan untuk menentukan nilai optimasi parameter tegangan antar muka dari faktor-faktor yang digunakan. Tegangan antar muka merupakan salah satu karakteristik yang penting untuk menentukan sifat suatu surfaktan. Hasil analisis statistik optimasi dengan metode permukaan respon didapatkan koefisien dan nilai signifikansi tegangan antar muka air dan xilena dengan penambahan APG dapat dilihat pada Tabel 3 (Lampiran 3). Model persamaan kuadratik yang diperoleh dari analisis statistik permukaan respon adalah: Y = 9,354561 – 0,398990 X1 – 0,411616 X2 + 0,809388 X12 + 0,025000 X1X2 + 0,855307 X22. Grafik dan kontur permukaan respon parameter tegangan antar muka sebagai fungsi dari nisbah mol pati-butanol (X1) dan nisbah mol pati-fatty alcohol (X2) disajikan pada Gambar 13 dan Gambar 14. Tabel 3. Koefisien Parameter dan Nilai Signifikansi Optimasi Tegangan Antar Muka Parameter
Koefisien parameter
Signifikansi (%)
Intersep
9,354561
99,99
Nisbah mol pati-butanol (X1)
-0,398990
92,11
Nisbah mol pati-fatty alcohol (X2)
-0,411616
92,6
X1*X1
0,809388
97,12
X2*X2
0,025000
97,53
X1*X2
0,855307
52,9
R2 = 0,8060
Tegangan Antar Muka (dynes/cm)
Gambar 13.
17 16 15 14 13 12 11 10
Permukaan Respon Tegangan Antar Muka sebagai Fungsi dari Nisbah Mol Pati-Butanol (X1) dan Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X2)
6,72
Nisbah mol pati-fatty alcohol
6,00
4,25
2,50 1,78
5
6
8
10
11
17 16 15 14 13 12 11 10
Nisbah mol pati-butanol
Gambar 14. Kontur Permukaan Respon Tegangan Antar Muka sebagai Fungsi dari Nisbah Mol Pati-Butanol (X1) dan Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X2)
APG merupakan salah satu emulsifier. Menurut Suryani et al. (2000), emulsifier merupakan “surface active agent” yang mempunyai dua gugus yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Penurunan tegangan antar muka oleh emulsifier akan mempermudah pembentukan permukaan antar muka yang sangat luas. Artinya kontak antara fasa terdispersi dan fasa pendispersi lebih baik (lebih luas) dengan adanya emulsifier. Bila tegangan antar muka mendekati nilai nol, maka emulsi akan terbentuk dengan spontan. Pengukuran tegangan antar muka menggunakan metode Du Nouy untuk mengetahui tegangan antar muka suatu zat yang berbeda kepolarannya dalam suatu larutan yang ditambahkan surfaktan. Pada penelitian ini digunakan air sebagai fasa polar dan xilena sebagai fasa non polar. Dari grafik dan kontur permukaan respon yang terbentuk diketahui bahwa pada rentang nisbah mol pati-butanol 1 : 6 – 1 : 10 (mol) didapatkan titik kritis minimum pada konsentrasi 1 : 8,49 (mol). Peningkatan konsentrasi butanol menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena, akan tetapi setelah melalui titik kritis tersebut didapatkan konsentrasi butanol menyebabkan peningkatan tegangan antar muka. Sebelum titik kritis, peningkatan konsentrasi butanol menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi butanol pada proses pembuatan APG, menghasilkan APG dengan kinerja yang baik untuk menurunkan tegangan antar muka. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin tinggi konsentrasi butanol yang digunakan, maka semakin besar peluang butanol untuk mengadisi glukosa pada gugus aldehid untuk membentuk butyl glycoside pada tahap butanolisis. Hal ini menyebabkan hasil reaksi pada proses butanolisis lebih baik. Menurut Fessenden dan Fessenden (1982), suatu alkohol dapat mengadisi suatu gugus karbonil, salah satunya aldehid dan keton. Setelah
melalui
titik
kritis,
peningkatan
konsentrasi
butanol
menyebabkan peningkatan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa setelah melalui kondisi optimum, dengan penambahan konsentrasi butanol pada proses pembuatan APG, menghasilkan APG dengan kinerja yang kurang baik untuk menurunkan tegangan antar muka . Hal ini dapat
disebabkan oleh konsentrasi butanol yang terlalu tinggi akan menghasilkan sisa reaksi yang dapat mengganggu keseimbangan reaksi pada tahap transasetalisasi. Pada proses transasetalisasi sisa butanol yang terlalu banyak dapat mengganggu tahap transasetalisasi untuk membentuk senyawa APG murni. Jika butanol yang tersisa tidak diuapkan seluruhnya, maka akan mengganggu keseimbangan reaksi transasetalisasi. Oleh karena itu diperlukan perhitungan yang tepat untuk menentukan jumlah konsentrasi butanol. Menurut Balzer (2000), dalam pembentukan APG menggunakan metanol, untuk mencapai keseimbangan reaksi menjadi produk dapat dilakukan dengan mengevaporasi metanol yang terjadi selama transglikosida. Dari grafik dan kontur permukaan respon yang terbentuk diketahui bahwa pada rentang nisbah mol pati- fatty alcohol 1 : 2,5 – 1 : 6 (mol) didapatkan titik kritis minimum pada konsentrasi 1 : 4,66 (mol). Peningkatan konsentrasi fatty alcohol akan menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena, akan tetapi setelah melalui titik kritis, konsentrasi fatty alcohol menyebabkan peningkatan tegangan antar muka air dan xilena. Sebelum titik kritis, peningkatan konsentrasi fatty alcohol menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi fatty alcohol pada proses pembuatan APG, menghasilkan APG dengan kinerja yang baik untuk menurunkan tegangan antar muka. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi fatty alcohol yang digunakan, maka semakin besar peluang fatty alcohol bereaksi dengan butyl glikosides yang telah terbentuk, sehingga keseluruhan reaksi trasasetalisasi dapat menghasilkan senyawa alkyl polyglicosides yang lebih sempurna sebelum tahap netralisasi dan distilasi. Menurut Hart (2003), dengan kehadiran alkohol berlebih, hemiasetal/hemiketal bereaksi lebih lanjut membentuk asetal/ketal. Produk butyl glycosides direaksikan dengan alkohol rantai panjang (C8C22) dengan katalisator asam dengan jumlah 25-50% dari berat katalis pertama. Pada proses transasetalisasi ini, gugus butil akan diganti dengan alkil rantai panjang untuk membentuk alkyl polyglycosides, sedangkan butanol dan air akan teruapkan (Gibson et al., 2001). Dalam proses transasetalisasi digunakan fatty alcohol
untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang
bersifat hidrofobik. Dengan demikian, untuk memperoleh sifat hidrofobik diperlukan fatty alcohol rantai yang panjang, sebab semakin panjang rantai maka sifat non polar akan semakin tinggi (Wuest et al., 1992). Selain itu, dengan lebih banyak fatty alcohol yang bereaksi, maka jumlah gugus alkil rantai panjang yang terbentuk sebagai bagian yang bersifat hidrofobik akan lebih banyak. Setelah titik kritis, peningkatan konsentrasi fatty alcohol menyebabkan peningkatan tegangan antar muka air dan xilena. Hal ini menunjukkan bahwa setelah melalui kondisi optimum, dengan penambahan konsentrasi fatty alcohol pada proses pembuatan APG, menghasilkan APG dengan kinerja yang kurang baik untuk menurunkan tegangan antar muka. Hal ini terjadi jika distilasi kelebihan fatty alcohol tidak teruapkan seluruhnya dan meninggalkan sisa pada produk akhir APG. Keberadaan fatty alcohol pada produk akhir APG dapat menggangu karakteristik kinerja surfaktan. Menurut Buchanan et al, (1998), diperlukan proses distilasi untuk menghilangkan alkohol rantai panjang yang tidak bereaksi. Grafik permukaan respon yang terbentuk didapat respon optimum minimum berupa permukaan yang menyerupai lembah. Nilai kritis nisbah mol pati-butanol (X1) dan nisbah mol pati-fatty alcohol (X2) dalam bentuk code berturut turut adalah 0,243 dan 0,237. Nilai tersebut dikonversi menjadi konsentrasi sebenarnya (uncode) dan diperoleh titik optimum minimum untuk faktor nisbah mol pati-butanol (X1) pada konsentrasi 1: 8,49 (mol) dan nisbah mol pati-butanol (X1) pada konsentrasi 1: 4,66 (mol). Pada konsentrasi optimum tersebut, validasi dilakukan untuk memperoleh respon tegangan antar muka air dan xilena yang diinginkan sesuai dengan kondisi optimum pada model. Validasi dilakukan berdasarkan pada titik optimum konsentrasi nisbah mol pati-butanol (X1) dan nisbah mol pati-fatty alcohol (X2) pada model. Hasil validasi nilai tegangan antar muka air dan xilena dengan penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum didapatkan sebesar 9,00 dynes/cm. Hasil validasi ini telah mendekati nilai tegangan antar muka pada model sebesar 9,23 dynes/cm. Hal ini menunjukkan bahwa tegangan antar muka APG hasil validasi telah sesuai dengan model.
Pengaruh dari satu faktor perlakuan terhadap nilai tegangan antar muka pada faktor utama lain yang bernilai tetap disajikan pada empat gambar yang berbeda, yaitu Gambar 15-18. Dari Gambar 15, diketahui bahwa pada konsentrasi butanol rendah, peningkatan konsentrasi fatty alcohol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan peningkatan konsentrasi fatty alcohol. Namun, ketika telah mencapai titik minimum, peningkatan konsentrasi fatty alcohol perlahan akan
Tegangan Antar Muka (dynes/cm)
meningkatkan tegangan antar muka dengan kenaikan lebih landai.
17 16 15 14 13 12 11 10
Gambar 15. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X2) dengan Nisbah Mol Pati-Butanol (X1) Rendah Terhadap Tegangan Antar Muka Dari Gambar 16, diketahui bahwa pada konsentrasi fatty alcohol rendah, peningkatan konsentrasi butanol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan peningkatan konsentrasi butanol. Namun, ketika telah mencapai titik minimum, peningkatan konsentrasi butanol perlahan akan meningkatkan tegangan antar muka dengan kenaikan lebih landai.
Tegangan Antar Muka (dynes/cm)
17 16 15 14 13 12 11 10
Gambar 16. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Butanol (X1) dengan Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X2) Rendah Terhadap Tegangan Antar Muka Dari Gambar 17, diketahui bahwa pada konsentrasi butanol tinggi, peningkatan konsentrasi butanol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan peningkatan konsentrasi fatty alcohol. Namun, ketika telah mencapai titik minimum, peningkatan konsentrasi fatty alcohol perlahan akan meningkatkan tegangan antar muka dengan kenaikan lebih landai.
Tegangan Antar Muka (dynes/cm)
17 16 15 14 13 12 11 10
Gambar 17. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X2) dengan Nisbah Mol Pati-Butanol (X1) Tinggi Terhadap Tegangan Antar Muka Dari Gambar 18, diketahui bahwa pada konsentrasi fatty alcohol tinggi, peningkatan konsentrasi butanol berpengaruh terhadap penurunan tegangan antar muka. Tegangan antar muka mengalami penurunan tajam seiring dengan peningkatan konsentrasi butanol. Namun, ketika telah mencapai titik minimum, peningkatan konsentrasi butanol perlahan akan meningkatkan tegangan antar muka dengan kenaikan lebih landai.
Tegangan Antar Muka (dynes/cm)
17 16 15 14 13 12 11 10
Gambar 18. Hubungan Antara Nisbah Mol Pati-Butanol (X1) dengan Nisbah Mol Pati-Fatty Alcohol (X2)Tinggi Terhadap Tegangan Antar Muka
4.3. PEMBANDINGAN KARAKTERISTIK APG YANG DIPRODUKSI PADA KONDISI OPTIMUM DENGAN APG KOMERSIAL Karakteristik APG yang diproduksi pada kondisi optimum dibandingkan dengan APG komersial sebagai standar. Pengujian karakteistik APG yang dilakukan adalah pH, tegangan permukaan, tegangan antar muka, kestabilan emulsi, stabilitas busa, HLB dan analisis gugus fungsional dengan fourier transform infrared spectroscopy (FTIR). Cara kerja bahan penstabil adalah dengan menurunkan tegangan permukaan. Hal tersebut dilakukan dengan cara membentuk lapisan pelindung yang menyelimuti globula fasa terdisfersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan lebih mudah terdisfersi dalam sistem dan bersifat stabil (Fennema, 1985). Kestabilan emulsi merupakan salah satu karakteristik yang penting untuk menentukan sifat suatu surfaktan. Menurut Kamel (1991), emulsi yang stabil
mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada tingkat waktu tertentu yang diinginkan. Dalam penelitian ini, pengukuran kestabilan emulsi dilakukan dengan cara menambahkan APG, air, dan xilena kemudian mencampurnya menggunakan alat vortex, sehingga terbentuk suatu emulsi yang sempurna. Dalam metode ini, air berperan sebagai fasa polar dan xilena sebagai fasa non polar. Penambahan APG bertujuan sebagai emulsifier antara air dan xilena. Kestabilan emulsi menunjukkan kemampuan APG dalam membentuk emulsi antara air dan xilena. Hasil pengukuran kestabilan emulsi air dan xilena dengan penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum sebesar 64 % (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum telah mampu berperan sebagai emulsifier sehingga terbentuk suatu emulsi air dan xilena yang stabil. Jika dibandingkan dengan APG komersial pada penambahan konsentrasi dan waktu pengamatan yang sama, hasil pengukuran kestabilan emulsi air dan xilena dengan penambahan APG komersial sebesar 61 %. Larutan APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kestabilan emulsi yang lebih besar.
Tabel 4. Nilai Uji Kestabilan Emulsi Air dan Xilena Surfaktan Kestabilan emulsi (%) APG yang diproduksi pada kondisi optimum 65 64 64 APG komersial 61 62 61
Rata-rata (%) 64 62
APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki pH sebesar 7,98 diukur dengan pH meter (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa APG yang terbentuk memiliki sifat basa sesuai dengan karakteristik APG yang umumnya diinginkan memiliki pH 8-10. APG komersial memiliki pH 8,5, jika dibandingkan dengan APG yang diproduksi pada kondisi optimum kedua APG tersebut memiliki pH yang sama, yaitu basa. Sifat basa dari APG yang diproduksi pada kondisi optimum ini diperoleh dari proses pembuatan APG dengan penambahan NaOH pada tahap netralisasi dan pemucatan dengan tujuan agar senyawa APG sebagai asetal akan lebih stabil dalam kondisi basa.
Tabel 5. Nilai Uji pH APG Surfaktan APG yang diproduksi pada kondisi optimum APG komersial
pH 8,06 7,88
Rata-rata 7,97
8,45 8,56
8,50
Fungsi surfaktan ditentukan dari nilai HLB dari surfaktan yang akan digunakan. HLB (hydrophilic-lipophilic balance) merupakan ukuran afinitas terhadap air dan minyak yang pertama kali dikemukakan oleh Griffin (Suryani et al., 2000). Pengelompokkan surfaktan berdasarkan nilai HLB dan penggunaannya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kisaran HLB Surfaktan dan Penggunaannya Kisaran HLB
Aplikasi
3-6
Emulsi w/o
7-9
Pembasahan
8-18
Emulsi o/w
13-15
Deterjen
15-18
Solibilizer
Sumber: Tadros (1992)
Pada penelitian ini, penentuan nilai HLB menggunakan metode bilangan air (water number method) yaitu dengan cara membuat suatu kurva hubungan antara nilai HLB dari bermacam-macam surfaktan yang telah diketahui nilai HLB-nya dan air digunakan untuk titrasi (Lampiran 4). Surfaktan yang digunakan untuk membentuk kurva dalam metode ini adalah asam oleat, cocoamide DEA, dan polisorbat. Kurva yang diperoleh digunakan untuk interpolasi nilai HLB surfaktan yang belum diketahui nilai HLB-nya (Gambar 19).
Gambar 19. Kurva standar HLB Dengan metode bilangan air, nilai HLB APG yang diproduksi pada kondisi optimum sebesar 13,8. Bila dibandingkan dengan APG komersial memiliki nilai HLB sebesar 13,3. Kisaran nilai HLB APG sintesis telah sama dengan nilai HLB komersial sebagai standar. Selain itu, hal ini ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum merupakan jenis pengemulsi O/W. Berdasarkan nilai HLB menunjukkan bahwa aplikasi APG salah satunya adalah untuk deterjen. Menurut Hargreaves (2003), tegangan permukaan merupakan gaya yang terjadi di antara molekul dalam cairan. Apabila surfaktan ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antar muka cairan tersebut. Sebagian besar surfaktan, pada tingkat 0.1% akan mengurangi tegangan permukaan air dari 72 menjadi 32 mN m-1 (dynes cm-1). Hal ini terjadi karena molekul-molekul dalam sebagian besar cairan saling tertarik satu sama lain oleh gaya Van der Waals yang menggantikan ikatan hidrogen air. Pada konsentrasi rendah, molekul surfaktan dalam larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air.
Jika ditambahkan konsentrasi surfaktan, maka
surfaktan akan teradsorpsi pada permukaan hingga mencapai kejenuhan dan tegangan permukaan menjadi konstan. Jika surfaktan terus ditambahkan ke dalam larutan tersebut, maka molekul surfaktan berada dalam larutan namun bagian hidrofobik dari surfaktan tetap menolak air sehingga molekul-molekul surfaktan membentuk bulatan yang dikenal micelles. Konsentrasi surfaktan dimana micelles
pertama kali terbentuk disebut sebagai ’critical micelle concentration’ (CMC) (Porter, 1991). Menurut Schueller dan Romanousky (1998), pada konsentrasi surfaktan di bawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah. Ketika ditambahkan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dengan konsentrasi rendah telah mampu menurunkan tegangan permukaan air dan CMC dicapai pada konsentrasi 0,6 g/L (nilai tegangan permukaan 34,55 dynes/cm), sedangkan APG komersial memiliki nilai CMC 0,6 g/L (nilai tegangan permukaan 31,95 dynes/cm).
APG yang diproduksi pada kondisi optimum
memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan air lebih besar bila dibandingkan dengan penambahan APG komersial, tetapi ketika mendekati nilai CMC tegangan permukaan air yang ditambahkan APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki tegangan permukaan yang lebih kecil (Gambar 20). Hal ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan lebih baik daripada APG komersial setelah melalui CMC.
Gambar 20. Grafik Tegangan Permukaan Air dengan Penambahan APG yang Diproduksi pada Kondisi Optimum dan APG Komersial
Pada penelitian ini, nilai tegangan permukaan air yang terukur sebesar 72 dynes/cm, sedangkan setelah ditambahkan APG, terjadi penurunan tegangan permukaan air. Pada penambahan konsentrasi APG yang semakin meningkat, menyebabkan peningkatan penurunan tegangan permukaan air, dengan kata lain tegangan permukaan air semakin kecil. Setelah mencapai titik CMC, penambahan APG tidak menyebabkan penurunan tegangan permukaan. Setelah melalui titik CMC, penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dapat menurunkan tegangan permukaan air sebesar 57 %, sedangkan APG komersial sebesar 53 %. Hal ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kemampuan lebih baik jika dibandingkan dengan APG komersial dalam menurunkan tegangan permukaan air. Menurut Hargreaves (2003), antar muka adalah bagian dimana dua fasa saling bertemu atau kontak, sedangkan permukaan yaitu antar muka dimana satu fasa kontak dengan gas (biasanya udara). Tegangan antar muka adalah gaya per satuan panjang yang terjadi pada antar muka antara dua fasa cair yang tidak dapat tercampur (Moecthar, 1989). Pengukuran tegangan antar muka menunjukkan kemampuan surfaktan menurunkan tegangan permukaan antara dua fasa yang berbeda dalam larutan. Pengukuran tegangan antar muka dengan metode Du Nouy digunakan untuk mengetahui tegangan antar muka suatu zat yang berbeda kepolarannya dalam suatu larutan yang ditambahkan surfaktan. Pada penelitian ini digunakan air sebagai fasa polar dan xilena sebagai fasa non polar. Hasil pengukuran tegangan antar muka air dan xilena dengan penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dan APG komersial menunjukkan adanya penurunan tegangan antar muka dengan bertambahnya konsentrasi APG yang ditambahkan hingga terbentuk CMC (Gambar 21). Ketika ditambahkan APG yang diproduksi pada kondisi optimum dengan konsentrasi rendah telah mampu menurunkan tegangan antar muka dan nilai CMC dicapai pada konsentrasi 0,9 g/L (nilai tegangan antar muka 9,75 dynes/cm), sedangkan penambahan APG komersial memiliki nilai CMC 0,8 g/L (nilai tegangan antar muka 10,5 dynes/cm). Walaupun nilai CMC APG yang diproduksi pada kondisi optimum lebih tinggi, namun mampu menurunkan tegangan antar
muka lebih besar jika dibandingkan dengan APG komersial setelah CMC tercapai (Gambar 21).
Gambar 21. Grafik Tegangan Antar Muka Air dan Xilena dengan Penambahan APG yang Diproduksi pada Kondisi Optimum dan APG Komersial
Pada penelitian ini, nilai tegangan antar muka air dan xilena yang terukur sebesar 38 dynes/cm. Setelah ditambahkan APG, terjadi penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Ketika CMC terbentuk, penambahan APG tidak lagi menyebabkan penurunan tegangan antar muka air dan xilena. Setelah air dan xilena ditambahkan APG dan melalui titik CMC, penambahan APG yang diproduksi pada kondisi optimum menghasilkan penurunkan tegangan antar muka sebesar 76 %, sedangkan APG komersial sebesar 74 %. Hal ini menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kemampuan menurunkan tegangan antar muka lebih baik daripada APG komersial. Tegangan antar muka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antar muka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar, 1989). Hal ini sesuai dengan hasil karakteristik APG yang diproduksi pada kondisi optimum dan APG komersial pada pengujian tegangan permukaan dan teg angan antar muka yang dilakukan. Kehadiran busa pada shampo atau cairan pencuci kemungkinan memberikan pengaruh psikologi, sebagian orang menganggap bahwa jika shampo
tidak berbusa maka shampo tersebut tidak baik. Walaupun demikian, pada awal penggunaannya pembentukan busa penting untuk menunjukkan bahwa surfaktan mulai bekerja (Hargreaves, 2003). Busa adalah buih-buih yang saling berdekatan membentuk dindingdinding polihedral yang saling membagi sudut menjadi 120 o. Formasi tersebut mirip dengan struktur sarang lebah. Dinding-dinding yang terbentuk dari cairan ini memisahkan kotoran yang lepas di dalam suspensi (SDA-Amerika, 2003; Lynn, 1996). Pembentukan busa pada sebuah cairan disertai dengan perluasan permukaan cairan-udara yang besar. Kestabilan cairan dalam pembentukan busa erat hubungannya dengan stabilitas busa. Efektivitas dari surfaktan dalam mempertahankan stabilitas busa karena kecenderungan berkumpul pada lapisan antar muka kedua bahan (Swern,1979). Surfaktan dapat menyebabkan terjadinya pembusaan
(Hui, 1996).
Stabilitas busa dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu (MPOB, 2001). Dalam penelitian ini, uji stabilitas busa dilakukan dengan cara menambahkan APG ke dalam air kemudian dikocok menggunakan vortex. Selanjutnya diamati busa yang terbentuk, dan diukur volume busa yang tersisa setelah 1 jam. Volume sisa busa akhir dibandingkan dengan volume busa awal yang terbentuk dan dihitung sebagai stabilitas busa. Hasil uji stabilitas busa menunjukkan bahwa APG yang diproduksi pada kondisi optimum memiliki kemampuan membentuk busa. Busa yang dibentuk berwarna putih dan cenderung lembut. Stabilitas busa larutan APG yang diproduksi pada kondisi optimum sebesar 77 %, sedangkan APG komersial sebesar 87 % (Tabel 7). Hal ini enunjukkan bahwa APG komersial memiliki kemampuan mempertahankan busa lebih baik. Busa yang dihasilkan harus stabil agar bertahan lebih lama selama proses pencucian (MPOB, 2001). Larutan APG yang diproduksi pada kondisi optimum membentuk busa secara cepat ketika dikocok. Hal ini menunjukkan bahwa molekul surfaktan mulai bekerja mengikat udara dan membentuk sistem emulsi dengan udara sebagai fasa terdispersi dan air sebagai medium pendispersi. Menurut Hui (1996), dalam pembusaan surfaktan akan terkonsentrasi pada permukaan antara air dan udara,
dimana gugus hidrofobik berikatan dengan udara dan gugus hidrofilik akan berikatan dengan air.
Tabel 7. Nilai Uji Stabilitas Busa Surfaktan APG yang diproduksi pada kondisi optimum APG komersial
Stabilitas busa (%) 78 76 86
88
Rata-rata (%) 77 87
Pada spektrofotometri fourier transform infrared (FTIR), spektrum infra merah terletak pada daerah dengan panjang gelombang dari 0,78 sampai 1000 µm atau bilangan gelombang dari 12.800 sampai 1 cm-1. Aplikasi teknik spektroskopi infra merah sangat luas, baik untuk tujuan analisis kuantitatif maupun kualitatif. Untuk analisis kualitatif dan kuantitatif maka pola spektrum FTIR suatu senyawa perlu dilakukan analisis referensi sebagai pembanding. Instrumentasi spektrum infra merah dibagi ke dalam tiga jenis radiasi, yaitu: infra merah dekat (bilangan gelombang 1.280 – 4.000 cm-1), infra merah pertengahan (bilangan gelombang 4000 - 200 cm-1), dan infra merah jauh (bilangan gelombang 200 - 10 cm-1) (Nur et al., 1989). Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui adanya gugus fungsi di dalam suatu senyawa. APG yang diproduksi pada kondisi optimum hasil penelitian dibandingkan dengan APG komersial yang memiliki gugus-gugus fungsi pada senyawanya. Gugus fungsi APG komersial dijadikan acuan dan pembanding adanya gugus-gugus yang ada dalam APG yang diproduksi pada kondisi optimum untuk memastikan telah terjadi sintesis senyawa alkyl polyglikosides. Menurut Harborne (1996), dengan membandingkan spektrum infra merah dari dua senyawa yang diperkirakan identik maka seseorang dapat menyatakan apakah kedua senyawa tersebut identik atau tidak. Pelacakan tersebut lazim disebut dengan bentuk sidik jari (finger print) dari dua spektrum infra merah. Jika puncak spektrum infra merah kedua senyawa pada bilangan gelombang tertentu sama maka dalam banyak hal kedua senyawa tersebut adalah identik.
Hasil analisis FTIR didapatkan pita serapan yang hampir sama antara APG komersial dan APG hasil penelitian, ditemukan beberapa pita serapan gugus kimia pada rentang bilangan gelombang yang sama. Dengan acuan tabel pita serapan pada Sukkary et al. (2007), gugus eter (C-O-C) sebagai komponen gugus utama pada APG telah tersintesis yaitu pada bilangan gelombang 1.120-1.170 cm1
. Selain itu komponen lain yang ada dalam APG berupa gugus O-H terbentuk
pada bilangan gelombang 3.200-3.400 cm-1, gugus fungsi CH2 dan gugus fungsi CH3 ditunjukkan pada Gambar 22 dan Gambar 23.
Gambar 22. Hasil analisis FTIR APG yang diproduksi pada kondisi optimum
Gambar 23. Hasil analisis FTIR APG komersial sebagai standar