IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO meliputi uji kadar air, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan, fraksi tak tersabunkan, nilai FFA, komposisi asam lemak, densitas, dan viskositas. Hasil analisis CPO dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisa sifat fisiko kimia CPO Karakteristik
Satuan
Nilai ± SD
Rujukan
mg KOH/g minyak
9,26 ± 0,17
6,9 a
%
4,66 ± 0,07
Max 0,5% b
mg KOH/g minyak
206,44 ± 1,20
224-249 a
g/cm3
0,9097 ± 0,0003
0,900
mg iod/g minyak
51,4 ± 1,95
50-55 b
Fraksi massa
0,5 ± 0,06
-
Viskositas
cP
110
-
Kadar Air
%
0,16
Max 0,5 b
Bilangan Asam Nilai FFA Bilangan Penyabunan Densitas Bilangan Iod Fraksi tak tersabunkan
Sumber : a Hui (1996) b SNI 01-2901-2006 Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa minyak sawit kasar (CPO) yang digunakan pada penelitian ini memenuhi standar dari SNI (01-2901-2006) untuk nilai kadar air dan bilangan iod, namun tidak memenuhi untuk nilai FFA (Free Fatty Acid) dan bilangan asam. Bilangan asam adalah banyaknya miligram KOH yang diperlukan untuk menetralkan satu gram lemak atau minyak dengan prinsip pelarutan contoh minyak dalam pelarut organik tertentu (alkohol netral 95%) yang dilanjutkan dengan titrasi menggunakan basa (NaOH atau KOH). Bilangan asam dari CPO bernilai 9,26 mg KOH/g minyak lebih tinggi dari literatur yang dianalisa oleh Hui (1996) dengan nilai 6,9 mg KOH/g minyak. Hal ini disebabkan karena proses penyimpanan bahan baku CPO yang berdampak pada terjadinya proses hidrolisis. Menurut Ketaren (1986), minyak atau lemak akan diubah menjadi asam-asam
lemak bebas dan gliserol dalam reaksi hidrolisis. Hal ini juga menyebabkan nilai kadar asam lemak bebas atau Free Fatty Acid (FFA) dari hasil analisa memiliki nilai yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan SNI. Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodin yang diserap oleh 100 gram minyak atau lemak. Bilangan
iod bergantung kepada komposisi asam
lemak penyusunan minyak/lemak ataupun produk turunannya. Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak atau lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau tidak jenuh (Ketaren,1986). Penetapan bilangan iod dilakukan untuk mengetahui keberhasilan adisi gugus sulfat ke dalam rantai lemak dan membentuk gugus sulfonat. Bilangan iod yang dianalisa memiliki nilai 51,4 mg iod/g minyak. Nilai ini sesuai dengan analisa Hui (1996) yaitu 44-54 mg iod/g minyak untuk nilai bilangan iod CPO. Berdasarkan hasil analisa GC (Gas Chromatography), komponen asam lemak CPO memiliki rasio persentase yang hampir sama antara komponen asam lemak tak jenuh (ALTJ) dan asam lemak jenuh (ALJ). Komponen ALTJ tertinggi dari CPO yaitu asam oleat sebesar 39,32% sedangkan komponen ALJ tertinggi yaitu asam palmitat sebesar 42,63%. Nilai ini tidak berbeda jauh dari literatur menurut Hui (1996) sebesar 39,2% untuk asam oleat dan sebesar 44% untuk asam palmitat. Hasil analisa GC untuk komponen asam lemak dapat dilihat pada Lampiran 4.
B. Analisis Sifat Fisiko Kimia Metil Ester CPO Tahapan setelah analisa sifat fisiko kimia CPO dari penelitian ini adalah pembuatan metil ester. Pembuatan metil ester dilakukan di pilot plant SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) dengan kapasitas 100 liter. Kondisi proses produksi metil ester CPO merujuk pada Setyaningsih et al., (2007) dengan berbagai adaptasi. Foto reaktor metil ester dengan kapasitas 100 L dapat dilihat pada Gambar 5.
21
Gambar 5. Reaktor metil ester pilot plant sbrc dengan kapasitas 100 L Metil ester CPO diproduksi melalui dua tahapan reaksi. Tahap pertama adalah
reaksi
esterifikasi
dan
kemudian
dilanjutkan
dengan
reaksi
transesterifikasi. Pada reaksi esterifikasi, CPO yang telah dianalisis nilai FFA-nya direaksikan dengan metanol dan digunakan H2SO4 sebagai katalis. Diketahui bahwa FFA CPO adalah sebesar 4,7%, maka ditambahkan metanol sebesar 10,5% dan H2SO4 0,23% terhadap total bahan baku CPO sehingga diperoleh reaksi yang sempurna. Reaksi esterifikasi dilakukan selama 1 jam dengan kecepatan 300-500 rpm pada suhu antara 50-60 0C. Tahapan ini bertujuan untuk mengubah asam lemak bebas (FFA) menjadi alkil ester (metil ester). Hasil akhir proses esterifikasi merupakan campuran metil ester dan trigliserida CPO. Setelah reaksi berhenti, campuran didiamkan hingga terjadi separasi antara campuran minyak dengan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) di bagian bawah dengan sisa alkohol, gum, serta sabun di bagian atas.
22
Bahan baku dengan kadar FFA >2%
H2SO4
Pemanasan
Metanol
Pencampuran Esterifikasi KOH
Metanol
Separasi Pencampuran Transesterifikasi
Metanol
Separasi Recovery Metanol
Gliserol
Crude Metil ester
Purifikasi
Metil ester
Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan metil ester dua tahap Transesterifikasi trigliserida diawali dengan protonisasi satu gugus karbonil pada molekul trigliserida menghasilkan senyawa intermediet II berupa senyawa karboksi. Bentuk karboksi kemudian akan bereaksi dengan alkohol membentuk senyawa intermediet III berupa molekul tetrahedral. Senyawa intermediet tetrahedral kemudian akan terpecah menjadi ester yang baru dan digliserida. Langkah ini terjadi berulang pada molekul digliserida dan molekul monogliserida (Schuchardt et al., 1998). Proses esterifikasi kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi untuk menyempurnakan konversi trigliserida menjadi alkil ester. Proses transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan CPO setelah proses esterifikasi dengan
15%-v/v
methanol.
Reaksi
transesterifikasi
dipercepat
dengan
penambahan katalis KOH sebesar 1%-v/v. Reaksi transesterifikasi diawali dengan penyerangan ion alkoksida pada atom karbon gugus karbonil dalam molekul
23
trigliserida menghasilkan senyawa intermediet berbentuk tetrahedral. Pada tahap kedua, senyawa intermediet ini akan terpecah menjadi metil ester dan anion digliserida. Anion digliserida kemudian akan bereaksi dengan metanol membentuk molekul digliserida. Molekul digliserida kemudian akan dikonversi menjadi molekul monogliserida dan gliserol melalui mekanisme yang sama. Sifat fisiko kimia metil ester penting diketahui untuk mengetahui kesesuaian bahan baku untuk pembuatan metil ester sulfonat (MES) CPO. Pada Tabel 7 disajikan sifat fisiko kimia metil ester CPO yang dihasilkan. Tabel 7. Sifat fisiko kimia metil ester CPO yang dihasilkan No 1 2 3 4 5 6 7
Sifat fisiko kimia Satuan Nilai SNI (04-7182-2006) Kadar air % 0,13 maks. 0,05 Bilangan asam mg KOH/g ME 0,32 maks. 0,8 Bilangan iod mg Iod/g ME 38,66 maks.115 Bilangan penyabunan mg KOH/g ME 204,52 FFA % 0,16 Densitas g/cm3 0,8725 0,850-0,890 (suhu 400C) Viskositas cP 6 Berdasarkan data pada Tabel 7 di atas, dapat diperoleh informasi bahwa
parameter densitas, bilangan asam dan bilangan iod masih memenuhi standar yang telah disyaratkan oleh SNI Bodiesel (04-7182-2006). Sifat fisiko kimia metil ester CPO juga relatif berbeda dengan sifat fisiko kimia bahan bakunya (CPO). Perubahan mencolok yang terjadi dengan proses trans-esterifikasi adalah adanya perubahan pada parameter bilangan asam, FFA dan viskositas. Bilangan asam metil ester CPO (0,32 mg KOH/g minyak) jauh lebih rendah dari bilangan asam CPO (9,26 mg KOH/g minyak) sedangkan nilai FFA berkurang menjadi 0,16% dari 4,66%. Terjadinya fenomena tersebut menunjukkan bahwa reaksi transesterifikasi bersifat menurunkan bilangan asam. Asam lemak merupakan komponen penyusun minyak dan terdeteksi sebagai bilangan asam. Dengan terjadinya penurunan bilangan asam tersebut maka asam lemak telah mengalami konversi menjadi ester (dalam hal ini metil ester). Viskositas berkurang secara mencolok dari CPO sebesar 110 cP menjadi 6 cP pada metil ester. Secara penampakan fisik dapat dilihat bahwa CPO pada suhu ruang berbentuk semipadat sedang metil ester berbentuk cair. Proses kimia trans/esterifikasi telah mengubah struktur kimia CPO dari trigliserida dengan 24
rantai cabang tiga (garpu) menjadi metil ester dengan rantai lurus. Hal ini membuat pergerakan antarmolekul menjadi semakin tinggi sehingga viskositasnya menjadi berkurang pada metil ester. Salah satu kriteria yang penting dari metil ester CPO untuk pembuatan MES adalah kadar air. Semakin kecil kadar air metil ester maka semakin baik MES yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena kadar air dapat mempengaruhi proses sulfonasi. Kandungan air dalam bahan dapat bereaksi dengan SO3 saat proses sulfonasi dan membentuk asam sulfat (H2SO4). Gas SO3 berlebih ditambah dengan asam sulfat dalam reaksi dapat menyebabkan desulfonasi surfaktan. Desulfonasi mempengaruhi degradasi surfaktan di kemudian hari dimana surfaktan kehilangan komponen aktifnya. Menurut Rossen (1999), pada surfaktan yang mengandung gugus ester, degradasi berlangsung lebih cepat dimana surfaktan akan terurai menjadi alkohol dan asam. Kedua produk hasil degradasi ini sangat bersifat tidak aktif permukaan. Nilai kadar air dari metil ester yang dihasilkan yaitu 0,13% sedangkan SNI biodiesel mensyaratkan maksimum 0,05%. Hal ini disebabkan saat proses pengeringan metil ester berlangsung kurang sempurna sehingga masih terkandung air dalam senyawa metil ester. Selain itu juga proses penyimpanan hasil di tempat terbuka dapat mengakibatkan kadar airnya menjadi meningkat. Densitas diukur dengan menggunakan piknometer menghasilkan nilai 0,8725 g/cm3, masih masuk dalam nilai rentang SNI sebesar 0,850-0,890 g/cm3. Terdapat penurunan densitas dari bahan bakunya CPO yaitu 0,9097 g/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi transesterifikasi mengurangi nilai densitas. Asam lemak (trigliserida) dari CPO dengan bobot molekul yang tinggi bertransformasi menjadi gliserin dan metil ester. Metil ester ini memiliki bobot molekul yang lebih rendah sehingga densitasnya lebih rendah. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 7, bilangan iod metil ester adalah sebesar 38,66 mgIod/g. Nilai tersebut telah sesuai dengan SNI 04-7182-2006 yaitu maksimal 115 mgKOH/g. Sheats dan MacArthur (2002) menggunakan ME dengan bilangan iod (iodine value) sebesar 30 mgIod/g atau lebih rendah. Bahan baku ME yang memiliki bilangan iod tinggi sangat sulit untuk dipucatkan dan warna produk tidak baik untuk dikomersialisasikan.
25
Berdasarkan komposisi asam lemak penyusunnya yang mengandung asam lemak dominan C16 (asam lemak palmitat) dan C18 (asam lemak oleat), CPO merupakan bahan baku yang prospek untuk pembuatan MES. Menurut Hui (1996), C16-C18 mempunyai daya deterjensi yang baik, sehingga metil ester C16C18, minyak sawit merupakan sumber bahan baku yang tepat dan murah untuk produksi metil ester sulfonat (MES).
C. Analisis Fisiko kimia dan kinerja Metil Ester Sulfonat Metil ester sulfonat pada penelitian ini dihasilkan dari proses sulfonasi metil ester CPO dengan reaktan gas SO3. Kondisi proses produksi surfaktan MES hingga tahap bleaching dan netralisasi merujuk pada Watkins (2001), Sheats dan MacArthur (2002), Sheats dan Foster (2003) serta adaptasi penelitian mengenai produksi MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemiton Corporation di Amerika Serikat. Proses sulfonasi metil ester dilakukan di dalam Singletube Film Sulfonation Reactor (STFR). Terdapat tiga reaksi yang terjadi dalam reaktor, yaitu : kontak antara fase gas dan liquid, penyerapan gas SO3 dari fase gas dan reaksi dalam fase liquid. Metil ester dipompakan ke head reactor, masuk ke liquid chamber dan mengalir turun membentuk liquid film dengan ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong head yang didisain khusus untuk keperluan ini. Reaktor STFR yang digunakan mempunyai panjang reaktor sekitar 6 meter dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Reaktor STFR (Single Tube Film Sulfonation Reactor) untuk sulfonasi
26
Reaksi sulfonasi pada penelitian ini memiliki parameter yang dijaga antara lain: (a) Rasio mol SO3 terhadap metil ester adalah 1,2 – 1,8, (b) Temperatur inlet diatur pada suhu 1000C sehingga kontak reaksi terjadi sekitar suhu 80 - 85 0C, (c) Konsentrasi SO3 dalam aliran 5% - 6%. Konsentrasi gas SO3 yang dihasilkan dari pabrik H2SO4 pada lokasi penelitian adalah sekitar 26%. Untuk proses sulfonasi, gas SO3 yang dibutuhan hanya 5-7%. Oleh karena itu, gas SO3 didilusikan dengan udara kering. Udara kering ini berfungsi untuk mengencerkan gas SO3 yang pekat. Tiga tahapan reaksi yang disebut sebelumnya yaitu kontak antara fase gas dan liquid, penyerapan gas SO3 dari fase gas dan reaksi dalam fase liquid. Mekanisme reaksi yang terjadi selama reaksi sulfonasi dapat dijelaskan pada Gambar 8 berikut (dalam hal ini dijelaskan dengan menggunakan salah satu asam lemak penyusun yang dominan dari ME CPO yaitu asam lemak oleat). O
O
CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐C‐OCH3 (I) + SO3 O CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐(C‐OCH3):SO3 (II) + SO3 O CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)6‐CH‐(C‐OCH3) SO3H
(IV) + SO3
CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐(C‐OCH3):SO3 (II) O CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)6‐CH‐(C‐OCH3):SO3 (III) SO3H O CH3‐(CH2)7‐CH‐CH‐(CH2)6‐CH‐C‐OCH2 SO3H SO3H SO3H
Gambar 8. Mekanisme reaksi pembentukan MESA (MacArthur et al., 1996) Metil ester CPO (I) dalam hal ini menggunakan senyawa asam lemak yang dominan yaitu oleat C18 bereaksi dengan gas SO3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO3 (yang bukan terikat pada gugus alfa) sehingga menjadi senyawa (IV). Kemudian setelah gugus SO3 terikat pada gugus alfa, gugus SO3 berikutnya terikat pada rantai rangkap lalu diikuti dengan gugus SO3 yang terikat pada gugus karboksil. Pada mekanisme reaksi ini, lokasi terjadinya proses sulfonasi adalah pada bagian α-atom karbon. Menurut Jungermann (1979), terdapat tiga lokasi terjadinya reaksi sulfonasi molekul ester dengan basis asam lemak yaitu (1) gugus 27
(V)
karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap). Kemungkinan terikatnya pereaksi SO3 dalam proses sulfonasi dapat dilihat pada Gambar 9.
O CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)6‐CH‐C‐OCH3 SO3H O
Terikat pada bagian α atom C
CH3‐(CH2)7‐CH2‐CH‐(CH2)6‐CH‐C‐OCH3 Terikat pada ikatan rangkap
SO3H
O CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐C
Terikat pada gugus karboksil
OC(SO3H)H2 Gambar 9. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Adaptasi dari Jungermann, 1979) Penambahan gugus SO3 pada ikatan alfa terjadi lebih dahulu karena karbokation gugus alfa lebih stabil dibandingkan dengan karbokation dengan ikatan rangkap dan karbokation pada gugus karboksil. Setelah penambahan gugus SO3 pada ikatan alfa, baru terjadi penambahan gugus SO3 yang memecah ikatan rangkap, kemudian dilanjutkan dengan penambahan gugus SO3 pada gugus karboksil seperti pada senyawa (IV). Hal ini sesuai dengan aturan Markonikov (Hart et al., 2003), yaitu reaksi adisi terjadi lebih dahulu pada karbokation yang stabil karena reaksi pada karbokation stabil membutuhkan energi yang lebih rendah sehingga lebih mudah terjadi dibandingkan dengan yang tidak stabil seperti pada ikatan rangkap. Penampakan visual secara fisik, MESA yang terbentuk berwarna hitam dengan viskositas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan metil ester. Berikut disajikan Gambar 10, Metil Ester Sulfonat Acid (MESA) yang dihasilkan dari proses sulfonasi dengan gas SO3.
28
Gambar 10. Metil Ester Sulfonat Acid (MESA) hasil sulfonasi Selanjutnya MESA hasil proses sulfonasi dibleaching dan netralisasi. Kondisi proses ini masih merujuk pada Sheats dan Foster (2003) serta penelitian tentang MES oleh Chemiton Amerika Serikat. Proses pemucatan (bleaching) dilakukan dengan mencampurkan MESA dengan pelarut metanol 31% (v/v, MESA basis) dan H2O2 50% sekitar 4% (v/v, MESA basis) pada suhu 95 - 100 0C selama 1-1,5 jam. Selanjutnya secara kontinyu dinetralisasi hingga mencapai nilai pH 6,5 – 7,5. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan bleached MES dengan pelarut NaOH 50% pada suhu 55 0C. Penampakan visual secara fisik, MES yang telah melalui proses pemucatan dan netralisasi memiliki warna yang lebih cerah dengan viskositas yang lebih tinggi dari metil ester dan MESA. Gambar MES yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. MES hasil netralisasi (kiri) dan hasil bleaching-netralisasi (kanan)
1. Tegangan Antarmuka/IFT (Inter Facial Tension) Dua cairan yang tidak saling mencampur cenderung bergabung dengan fasa yang sama, bagian yang hidrofilik akan bergabung dengan bagian
29
hidrofilik dan bagian hidrofobik akan bergabung dengan hidrofobik. Batasan antara dua fasa yang tidak saling bercampur itu disebut antarmuka (Rosen, 1999). Tegangan antar muka didefinisikan sebagai tegangan yang terbentuk pada lapisan antarmuka dalam campuran dua zat yang tidak saling bercampur (immiscible). Lapisan antarmuka terbentuk karena gaya antarmolekul dalam satu fasa berusaha untuk saling berikatan secara lebih kuat (gaya kohesi) daripada gaya adhesi. Pada Gambar 12 berikut dapat dilihat ilustrasi yang menggambarkan fenomena tersebut. Akibat tidak bercampurnya dua macam zat (cairan) maka terbentuklah sudut kontak. Surfaktan bekerja dengan cara menurunkan gaya kohesi tersebut sehingga sudut kontak menjadi lebih kecil. Pada Gambar 13 berikut diperlihatkan ilustrasi yang menggambarkan kinerja surfaktan dengan memperkecil sudut kontak antara dua macam zat yang tidak saling bercampur.
TANPA SURFAKTAN
PENAMBAHAN SURFAKTAN
Cairan ketika diletakkan pada suatu permukaan/fasa (gaya kohesi pada cairan kuat)
Penambahan surfaktan akan menurunkan tegangan antarmuka
Gambar 12. Ilustrasi penambahan surfaktan yang mengurangi tegangan antarmuka dan permukaan
θ
θ θ
Gambar 13. Efek penambahan surfaktan dalam sistem (memperkecil sudut kontak) dari gambar A ke B dan C pada permukaan S
30
Analisis tegangan antarmuka dilakukan dengan menggunakan alat spinning drop tensiometer. Penggunaan spinning drop tensiometer ini dilakukan karena tesiometer ini mampu mengukur tegangan antarmuka yang rendah (µN/m). Prinsip pengukuran tegangan antarmuka dengan metode spinning drop adalah dengan menginjeksikan tetes cairan sampel dalam tabung yang berisi cairan yang tidak bercampur dengan cairan sampel dengan densitas yang lebih tinggi. Ketika tabung diputar pada bagian panjangnya, tetes sampel terdorong ke tengah akibat gaya sentrifugal sehingga bentuknya menjadi memanjang. Tegangan antarmuka diukur dari kecepatan angular tabung dan bentuk (panjang dan diameter) dari tetes sampel yang ada dalam tabung (Farn, 2006). Pengukuran
tegangan
antarmuka
(IFT)
pada
penelitian
ini
menggunakan surfaktan dengan dua konsentrasi (0,3% dan 1%) yang dilarutkan ke dalam air formasi dengan salinitas 30.000 ppm. Salinitas adalah konsentrasi total ion-ion (Na+, K+, Ca2+, Mg2+, NO3-, Cl-, HCO3-, SO42-) yang ada di air (Boyd, 1982). Penggunaan salinitas 30.000 ppm dikarenakan sebagian reservoir mengandung salinitas 20.000 ppm dan bahkan bisa mencapai sekitar 65.000 ppm (SPE, 2004). Dari hasil analisa statistik diperoleh gambaran bahwa sampel yang diuji memiliki nilai IFT terendah 0,0145 mN/m dan IFT tertinggi adalah 0,1438 mN/m. Nilai terendah tersebut diperoleh pada perlakuan tahapan proses Netralisasi dengan konsentrasi sebesar 0,3%, sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan tahapan
proses Bleaching-Netralisasi dengan
konsentrasi sebesar 1%. Semakin kecil nilai IFT maka kinerja surfaktan semakin baik. Pada tahapan proses netralisasi, nilai IFT yang dihasilkan cenderung lebih kecil dibandingkan tahapan proses MESA dan Beaching-Netralisasi. Hal ini disebabkan karena proses netralisasi dapat menstabilkan senyawa surfaktan yang terbentuk. Sedangkan pada proses sampai tahapan MESA, jika reaksi sulfonasi tidak sempurna maka senyawa intermediet yang terbentuk dapat bereaksi secara reversible sehingga gugus sulfonat tidak terbentuk. Dari hasil analisa keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
31
diketahui bahwa faktor tahapan proses berpengaruh nyata terhadap nilai tegangan antarmuka/IFT sedangkan konsentrasi surfaktan dan interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai IFT. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat apakah setiap taraf dari faktor tahapan proses berbeda secara signifikan atau tidak. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor tahapan proses netralisasi berbeda nyata dengan faktor yang lain (MESA dan bleaching-netralisasi) sementara tahapan proses MESA tidak berbeda nyata dengan bleaching-netralisasi. Data hasil pengukuran dan analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil pengukuran tegangan antarmuka disajikan dalam bentuk histogram seperti yang ditampilkan pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa hanya perlakuan MESA yang mengalami penurunan nilai tegangan antarmuka. Penurunan dari konsentrasi 0,3% ke 1% pada MESA sebesar 54,5%. Namun pada perlakuan Netralisasi dan Bleaching-Netralisasi terjadi kenaikan nilai tegangan antarmuka, padahal menurut Farn (2006), kenaikan konsentrasi akan meningkatkan jumlah molekul surfaktan dan menurunkan tegangan permukaan.
Gambar 14. Histogram pengaruh konsentrasi surfaktan dan tahapan proses terhadap nilai tegangan antarmuka (MESA= Tanpa bleaching dan netralisasi, N= Netralisasi, BN= Bleaching-Netralisasi)
32
2. Tegangan Permukaan Tegangan permukaan merupakan batas antara dua fasa yang berbeda antara air dan udara. Gaya tarik menarik antara molekul cairan adalah sama ke segala arah. Hal ini tidak berlaku bagi molekul cairan yang berada di permukaan. Molekul yang berada di permukaan mempunyai energi potensial lebih besar dibanding molekul yang berada di dalam karena molekul-molekul tersebut berikatan lebih erat. Hal ini membuat bagian atas membutuhkan kerja yang lebih besar untuk menarik ke dalam cairan (Rosen, 1999). Molekul air yang cenderung untuk tertarik pada sesama molekul air disebut gaya kohesi. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya tegangan permukaan (Suryani et al., 2003 dan Farn, 2006). Tegangan permukaan, disebut juga energi bebas permukaan, didefinisikan sebagai usaha minimum yang dibutuhkan utuk memperluas permukaan cairan per satuan luas (Rosen, 1999 dan Shaw, 1980). Bird (1993) menyatakan Satuan tegangan permukaan sama dengan tegangan antarmuka yaitu dinyatakan dalam dyne/cm atau erg/m2. Dalam satuan SI dinyatakan dalam N/m. kedua besaran tersebut saling berhubungan dengan 1 dyne/cm = 1 mN/m. Tegangan
permukaan
ini
diukur
dengan
menggunakan
alat
tensiometer Du Noy seperti yang disarankan oleh Parkinson (1985). Metode tensiometer cincin
Du Noy dilakukan dengan merendam cincin platina
dengan diameter kawat 0,3 mm dan berdiameter cincin 2,4 atau 6 sentimeter pada cairan. Cincin tersebut kemudian diangkat melewati permukaan cairan yang diukur. Tegangan permukaan memberikan gaya pada cincin sehingga berat cincin meningkat. Gaya vertikal maksimum yang diberikan untuk mengangkat cincin hingga terlepas dari permukaan cairan itulah yang diukur sebagai nilai tegangan permukaan (Farn, 2006). Pengukuran tegangan permukaan pada penelitian ini menggunakan faktor tiga tahapan proses dan konsentrasi dengan empat taraf yaitu 0,1%; 0,3%; 0,5% dan 1%. Dari hasil analisa statistik diperoleh gambaran bahwa sampel yang diuji memiliki nilai tegangan permukaan terendah sebesar 35,33 dyne/cm dan tegangan permukaan tertinggi adalah 47,17 dyne/cm. Nilai
33
terendah tersebut diperoleh pada perlakuan tahapan proses BleachingNetralisasi dengan konsentrasi sebesar 1%, sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan tahapan proses MESA (tanpa bleaching-netralisasi) dengan konsentrasi sebesar 0,1%. Dari hasil analisa keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) diketahui bahwa faktor tahapan proses dan konsentrasi surfaktan berpengaruh nyata terhadap nilai tegangan permukaan sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai tegangan permukaan. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat apakah setiap taraf dari faktor tahapan proses dan konsentrasi surfaktan berbeda secara signifikan atau tidak. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor tahapan proses bleaching-netralisasi berbeda nyata dengan MESA tetapi tidak berbeda nyata dengan tahapan proses netralisasi. Hasil uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi surfaktan menunjukkan konsentrasi 1% berbeda secara nyata dengan konsentrasi 0,1% namun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 0,3% dan 0,5 %. Analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil disajikan dalam bentuk histogram seperti yang ditampilkan pada Gambar 15 berikut.
Gambar 15. Histogram pengaruh konsentrasi surfaktan dan tahapan proses terhadap nilai tegangan permukaan (MESA= Tanpa bleaching dan netralisasi, N= Netralisasi, BN= Bleaching-Netralisasi)
34
Dari grafik histogram terlihat bahwa dengan semakin bertambah konsentrasi surfaktan maka nilai tegangan permukaan juga semakin menurun. Menurunnya tegangan permukaan ini diakibatkan oleh semakin banyaknya molekul surfaktan. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan maka semakin banyak molekul surfaktan yang terbentuk. Semakin banyak molekul surfaktan yang terbentuk dapat membuat tegangan permukaan semakin menurun. Semakin banyaknya molekul surfaktan, maka gaya kohesi air akan menurun. Molekul-molekul surfaktan mempunyai kecenderungan untuk berada pada permukaan sebuah cairan. Akibat dari adanya surfaktan adalah secara signifikan menurunkan jumlah total kerja untuk memperluas permukaan karena molekulnya mengikat fasa polar, yaitu air, dan non-polar, yaitu udara (Farn, 2006). Gugus hidrofilik MES adalah gugus sulfonat. Menurut Myers (2006) gugus ini merupakan gugus anionik. Gugus sulfonat yang berikatan dengan metil ester inilah yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Semakin banyak gugus sulfonat yang bereaksi dengan metil ester, maka semakin banyak molekul surfaktan yang terbentuk dan semakin tinggi kemampuannya untuk menurunkan tegangan permukaan.
3. Nilai CMC Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah menentukan critical micelle concentration (CMC) dari MES yang dihasilkan. Pada konsentrasi yang cukup tinggi, molekul-molekul surfaktan akan beragregat membentuk sebuah struktur melingkar yang disebut micelle, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi keluar micelle. Agregasi molekul surfaktan didorong oleh adanya gaya Van der Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik dan gaya tolak ionik dari gugus hidrofilik. Ilustrasi pembentukan micelle dapat dilihat pada Gambar 16. Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan critical micelle concentration (CMC). Pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi
35
penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah (Schueller dan Romanousky, 1998). Grafik hubungan antara konsentrasi surfaktan dengan tegangan permukaan dan antar muka cairan disajikan pada Gambar 17. micelle Gaya Van der Waals
Gaya tolak ionik
Gambar 16. Ilustrasi Pembentukan Micelle (Hargreaves, 2003) CMC Tegangan Permukaan Dan Antar muka
Tegangan Permukaan Tegangan Antar muka Konsentrasi Surfaktan
Gambar 17. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Surfaktan dengan Tegangan Permukaan dan Antarmuka Cairan (Tadros, 1992) Pengukuran nilai CMC diperoleh dengan mengukur tegangan permukaan. Surfaktan MES yang ditambahkan dengan berbagai konsentrasi hingga tegangan permukaan tidak lagi mengalami penurunan dan stabil. Hasil pengukuran tegangan permukaan pada surfaktan MESA memiliki nilai CMC yaitu 2,75%, surfaktan MES (Netralisasi) yaitu 3,5% dan surfaktan MES (Bleaching-Netralisasi) yaitu 2,6%. Hasil pengukuran CMC untuk surfaktan MESA, Netralisasi dan Bleaching-Netralisasi dapat dilihat pada Gambar 18. Data hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 7.
36
Gambar 18. Grafik tegangan permukaan surfaktan (MESA= Tanpa bleaching dan netralisasi, N= Netralisasi, BN= Bleaching-Netralisasi) 4. Bahan aktif Bahan aktif merupakan salah satu mutu yang dinilai dari banyak surfaktan. Kinerja surfaktan mempunyai korelasi yang nyata pada kadar bahan aktif. Semakin banyak bahan aktif sebuah surfaktan maka akan semakin baik kinerjanya. Menurut Cox dan Weerasooriya (1997), Industri surfaktan menjadikan pengujian bahan aktif sebagai salah satu standar kualitas untuk menilai surfaktan lolos uji kualitas atau tidak. Prosedur yang digunakan untuk menguji kadar bahan aktif yang diterima secara universal adalah metode titrasi dua fasa, atau sering dikenal dengan metode epton. Menurut Stache (1995) prinsip dasar dari uji ini adalah titrasi bahan aktif anionik menggunakan cetylpiridinium bromide, yang merupakan salah satu adalah
jenis surfaktan kationik. Indikator yang digunakan
methylen blue. Campuran surfaktan dengan indikator ditambahi
kloroform sehingga tercipta dua fasa yaitu fasa kloroform di bagian bawah dan fasa larutan surfaktan dan methylen blue yang berada di bagian atas. Bahan aktif yang larut pada methylen blue akan memberikan warna biru pekat pada larutan surfaktan. Langkah selanjutnya adalah dititrasi dengan surfaktan kationik. Dalam proses titrasi ini warna biru akan berpindah ke fasa kloroform hingga warna dua fasa tersebut seragam. Bila titrasi diteruskan maka fasa kloroform akan menjadi lebih pucat lalu lama-kelamaan akan menjadi bening. Dari hasil analisa keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) diketahui bahwa faktor tahapan proses berpengaruh nyata terhadap nilai bahan aktif. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat apakah setiap taraf dari faktor tahapan proses berbeda secara signifikan atau tidak. 37
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor tahapan proses Bleachingnetralisasi berbeda secara nyata dengan faktor yang lain (tahapan proses MESA tanpa bleaching-netralisasi dan netralisasi) sedangkan tahapan proses MESA tidak berbeda nyata dengan netralisasi. Histogram pengaruh tahapan proses terhadap bahan aktif dapat dilihat pada Gambar 19. Analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 8.
Gambar 19. Histogram pengaruh tahapan proses terhadap bahan aktif (MESA= Tanpa bleaching dan netralisasi, N= Netralisasi, BN= BleachingNetralisasi) Dari hasil analisa statistik deskriptif diperoleh gambaran bahwa sampel yang diuji memiliki nilai bahan aktif terendah sebesar 15,32 % dan bahan aktif tertinggi yaitu 19,10 %. Nilai terendah tersebut diperoleh pada perlakuan tahapan proses Bleaching-Netralisasi sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan tahapan proses Netralisasi.
5. pH / Derajat Keasaman Nilai pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu bahan. pH didefinisikan sebagai ko-logaritma aktivitas ion hidrogen (H+) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. pH bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional.
38
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter Schott Instruments handylab pH11/Set. Dari hasil analisa keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) diketahui bahwa faktor tahapan proses berpengaruh nyata terhadap nilai pH. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat apakah setiap taraf dari faktor tahapan proses berbeda secara signifikan atau tidak. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor tahapan proses Netralisasi berbeda secara nyata dengan faktor yang lain (tahapan proses MESA dan BleachingNetralisasi) sedangkan tahapan proses MESA tidak berbeda nyata dengan Bleaching-Netralisasi. Histogram pengaruh tahapan proses terhadap nilai pH dapat dilihat pada Gambar 20 sedangkan analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 9.
Gambar 20. Histogram pengaruh tahapan proses terhadap nilai pH (MESA= Tanpa bleaching dan netralisasi, N= Netralisasi, BN= Bleaching-Netralisasi) Dari hasil analisa statistik deskriptif diperoleh gambaran bahwa sampel yang diuji memiliki nilai pH terendah 3,08 dan pH tertinggi adalah 6,84. Nilai terendah tersebut diperoleh pada perlakuan tahapan proses MESA (tanpa bleaching-netralisasi) sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan tahapan proses Netralisasi. Nilai pH yang mendekati netral pada proses netralisasi dikarenakan penambahan NaOH. MES yang dihasilkan diharapkan memiliki pH yan netral karena MES yang bersifat asam (MESA) bersifat reaktif dan tidak stabil sehingga lama kelamaan akan mengurangi kualitas surfaktan tersebut. Namun, proses netralisasi dapat menyebabkan
39
terbentuknya produk samping yang tidak diinginkan atau sering disebut disalt (garam). Produk samping ini terbentuk karena proses sulfonasi dari metal ester yang kurang sempurna sehingga tidak semua metil ester terkonversi menjadi metil ester sulfonat. Sebenarnya kehadiran garam tidak diinginkan pada pembentukan MES karena mampu menurunkan kelarutan MES dalam air dingin, lebih sensitif terhadap air sadah, memiliki deterjensi 50% lebih rendah dan menurunkan daya simpan produk. 6. Bilangan Iod Bilangan iod merupakan parameter yang dijadikan detektor adanya ikatan rangkap dalam suatu bahan. Adanya perubahan nilai bilangan iod mengindikasikan bahwa diduga telah terjadi reaksi pada ikatan rangkap tersebut. Terjadinya reaksi tersebut ditunjukkan dengan penurunan atau meningkatnya nilai bilangan iod. Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodin yang diserap oleh 100 gram minyak atau lemak. Bilangan iod bergantung kepada komposisi asam lemak penyusunan minyak/lemak ataupun produk turunannya. Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak atau lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau tidak jenuh (Ketaren,1986). Penetapan bilangan iod dilakukan untuk mengetahui keberhasilan adisi gugus sulfat ke dalam rantai lemak dan membentuk gugus sulfonat. Dari hasil analisa keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) diketahui bahwa faktor tahapan proses tidak berpengaruh nyata terhadap nilai bilangan iod. Data analisis keragaman dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari hasil analisa statistik deskriptif diperoleh gambaran bahwa sampel yang diuji memiliki nilai bilangan iod terendah sebesar 53,38 mg Iod/g MES dan bilangan iod tertinggi yaitu 55,44 mg Iod/g MES. Nilai terendah tersebut diperoleh pada perlakuan tahapan proses Bleaching-Netralisasi.
7. Analisa HLB Hydrophile-Lipophile Balance (HLB) adalah ukuran empiris untuk mengetahui hubungan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada suatu
40
surfaktan. Sistem HLB digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi minyak dan air oleh surfaktan (Suryani et al,. 2002). Surfaktan dengan nilai HLB rendah larut dalam minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (W/O). Sebaliknya surfaktan dengan nilai HLB tinggi larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak dalam air (O/W). Nilai HLB berkisar 1 hingga 20. Penentuan nilai HLB pada penelitian ini menggunakan metode bilangan air (water number methode) yaitu dengan cara membuat suatu kurva hubungan nilai HLB dari bermacam-macam surfaktan yang telah diketahui nilai HLB-nya dan air digunakan untuk titrasi. Surfaktan yang digunakan untuk membentuk kurva dalam metode ini adalah asam oleat, “cocoamide” DEA, dan polisorbat. Kurva yang diperoleh digunakan untuk interpolasi nilai HLB surfaktan yang belum diketahui nilai HLB-nya (Gambar 21).
MES
Polisorbat
DEA
Oleat
Gambar 21. Kurva standar HLB (Suparman, 2010) Fungsi surfaktan ditentukan dari nilai HLB dari surfaktan yang akan digunakan. HLB (hydrophilic-lipophilic balance) merupakan ukuran afinitas terhadap air dan minyak yang pertama kali dikemukakan oleh Griffin (Suryani et al., 2000). Dengan metode bilangan air, nilai HLB MES yang dihasilkan adalah sebesar 10,4. Menurut Tadros (1992), nilai HLB ini menunjukkan bahwa MES yang dihasilkan merupakan jenis pengemulsi O/W. Berdasarkan apliksinya, nilai HLB menunjukkan bahwa aplikasi MES salah satunya adalah cenderung mendekati aplikasi untuk deterjen.
41