IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
D. KARAKTERISTIK BIJI KOPI Karakteristik awal biji kopi diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar lemak, kadar serat, kadar protein, dan kadar abu terhadap biji kopi arabika dan robusta. Hasil dari pengujian tersebut selanjutnya akan dibandingkan dengan komposisi biji kopi berdasarkan SNI biji kopi 01-2907-1999 yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Pengujian Analisis Proksimat dan Pembandingannya dengan Komposisi Biji Kopi Menurut Komposisi Kimia Biji Kopi berdasarkan SNI biji kopi 01-2907-1999. Karakteristik Biji Berbau Busuk dan Berbau Kapang Serangga Hidup Kadar Kotoran (b/b) Kadar Lemak Kadar Air Kadar Serat Kadar Protein Kadar Abu Karbohidrat (by difference)
Hasil Pengujian
Satuan
SNI Biji Kopi 01-2907-1999
Robusta
Arabika
-
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
%
maks. 0,5
-
-
% % % % %
maks. 13 -
1.17 10.25 68.31 13.47 4.57
2.15 14.71 67.20 11.08 3.90
%
-
2.23
0.96
Komposisi kimia yang terdapat pada biji kopi yang digunakan dalam pembuatan kopi bubuk berbeda-beda, tergantung jenis kopi, tanah tempat tumbuh, dan cara pengolahannya sehingga perlu diketahui besarnya sebelum diolah menjadi kopi bubuk karena akan mempengaruhi aroma dan citarasa yang akan dihasilkan pada seduhannya. Analisis yang dilakukan berupa analisis proksimat, antara lain: kadar air, kadar lemak, kadar serat, kadar protein, dan kadar abu. Prosedur analisis pada penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
21
Menurut Hardjosuwito (1983), kadar air suatu bahan berkaitan dengan faktor pengeringan dan faktor bahan itu sendiri. Buah kopi yang muda mempunyai kadar air yang relatif tinggi, ditandai dengan biji kopi yang dihasilkan keriput dan lunak. Hal ini dapat dilihat pada biji kopi arabika yang digunakan sebagai bahan baku yang memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan SNI, hal ini dapat disebabkan karena bij kopi masih tergolong muda, selain itu penyimpanan biji kopi sebelum diproduksi juga mempengaruhi kandungan kadar air bahan. Kadar air pada biji kopi yang tinggi dapat mengakibatkan mudahnya terjadi kontaminasi mikroflora. Mikroflora tersebut dapat mempercepat proses perombakan zat-zat yang terkandung dalam biji kopi. Oleh karena itu, sebelum diproduksi lebih lanjut, biji kopi pada penelitian ini, baik arabika maupun robusta dilakukan penjemuran atau pengeringan terlebih dahulu agar kadar airnya lebih seragam sehingga tidak menghambat proses selanjutnya. Selama proses penyangraian biji kopi, terjadi perubahan-perubahan fisik dan kimia seperti swelling penguapan air, terbentuknya senyawa volatil, karamelisasi karbohidrat, pengurangan serat kasar, denaturasi protein, terbentuknya gas CO2 sebagai hasil oksidasi dan terbentunya aroma yang khas pada kopi yang dihasilkan pada tahap pirolisis. Senyawa volatil dibentuk dari degradasi asam amino bebas, asam trigonellin, degradasi gula, dan degradasi asam phenolik. Dengan tingkat keasamaan yang tinggi, kualitas aroma lebih baik karena terdapat senyawa asam yang bersifat volatil seperti asam format, asam asetat, asam propanoat, dan asam hexanoat. Sedangkan rasa pada seduhan kopi berhubungan dengan senyawa non volatil yang terlarut. Kandungan mineral serta pemecahan serat kasar, asam khlorogenat, kafein, tannin, dan beberapa senyawa organik dan anorganik menyebabkan rasa pahit pada seduhan kopi. Pada kopi robusta memiliki kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kopi arabika. Abu yang dihasilkan dari pengabuan kopi bersifat alkalis, antara lain terdiri dari magnesium, kalium, dan natrium. Tingginya nilai kealkalian abu menunjukkan tingginya komponen mineral di dalam biji kopi. Begitu pula dengan kandungan kafeinnya, kopi robusta memiliki kandungan kafein yang lebih tinggi dibandingkan dengan kopi arabika. Berdasarkan penelitian Ling et al. (2000) menyatakan bahwa kopi robusta memiliki konsentrasi kafein lebih tinggi,
22
yaitu sebesar 2.26 g/100 g dibandingkan kopi arabika, yaitu sebesar 1.61 g/100 g. Konsentrasi kafein yang tinggi menyebabkan rasa seduhan kopi yang lebih pahit.
E. PENGOLAHAN KOPI BUBUK Pembuatan kopi bubuk yang dilakukan adalah dengan proses pencampuran (blending) kopi arabika dan robusta yang berbeda. Perlakuan perbandingan pencampuran kopi arabika (A) dan robusta (R) pada blending yang digunakan antara lain: 100%A, 10A:90R, 20A:80R, 30A:70R, dan 100%R. Selanjutnya, masingmasing hasil blending kopi tersebut disangrai (roasting) pada media yang berbeda, yaitu wajan stainless steel dan wajan tanah liat. Pada saat penyangraian terjadi perubahan sifat fisik dan kimia pada biji kopi. Penggunaan media penyangraian juga dapat mempengaruhi cita rasa dari kopi bubuk yang dihasilkan karena suhu pada saat penyangraian akan mempengaruhi keasaman dari seduhan kopi. Waktu yang diperlukan pada proses penyangraian adalah 19 menit untuk wajan stainless steel dan 22 menit untuk wajan tanah liat. Perbedaan lama penyangraian yang diperlukan untuk kedua media penyangraian tersebut dapat disebabkan karena pada wajan stainless steel, suhu penyangraian lebih cepat mengalami kenaikan atau kurang stabil dibandingkan dengan wajan tanah liat, sehingga kopi lebih cepat menghitam (gosong). Karena selama proses penyangraian terjadi difusi udara panas ke dalam biji dan air mengalir (menguap) dengan arah berlawanan sehingga proses difusi tersebut sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga tujuan untuk menguapkan air dari dalam biji tercapai tetapi tidak menyebabkan kerusakan biji. Kerusakan yang mungkin terjadi diantaranya adalah pengerasan bagian luar biji (case hardening) dan biji terbakar (gosong). Banyaknya air yang diuapkan per satuan waktu dapat dinyatakan dengan laju rata-rata pengeringan (Lampiran 2). Selanjutnya, biji kopi hasil penyangraian dilakukan penggilingan dengan ukuran saringan sebesar 40 mesh. Pada penggilingan, kopi bubuk yang dihasilkan berbeda-beda. Ukuran butir-butir (partikel-partikel) kopi bubuk tersebut akan berpengaruh terhadap rasa dan aroma kopi. Hal ini disebabkan karena semakin kecil ukuran maka semakin baik rasa dan aromanya sehingga sebagian besar bahan-bahan yang terdapat dalam kopi dapat larut dalam air ketika diseduh. Berdasarkan
23
Ridwansyah (2003), kopi bubuk yang dihasilkan tersebut merupakan hasil penggilingan coarse (bubuk kasar). Penggilingan kopi melepaskan sejumlah kandungan CO2 dari kopi, sedangkan pada kopi giling kasar sejumlah besar CO2 tersebut masih tertahan. Kopi bubuk yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kopi bubuk hasil perlakuan.
1. Rendemen Tinggi rendahnya rendemen kopi bubuk yang dihasilkan ini dapat disebabkan oleh penguapan zat-zat yang terkandung di dalam bahan pada saat proses penyangraian (roasting) yang berbeda-beda. Grafik perbandingan rendemen yang dihasilkan pada setiap perlakuan dengan media penyangraian wajan stainless steel dan wajan tanah liat dapat dilihat pada Gambar 4. Kopi bubuk yang dihasilkan melalui penyangraian dengan menggunakan media penyangraian wajan stainless steel sebagian besar menghasilkan rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan wajan tanah liat. Hal ini dapat disebabkan penyangraian dengan menggunakan wajan tanah liat lebih banyak menguapkan kandungan air yang terdapat dalam biji kopi dibandingkan dengan wajan stainless steel sehingga rendemen yang dihasilkan pun lebih rendah. Selain itu, rendahnya rendemen yang dihasilkan dapat disebabkan pula oleh faktor kehilangan (loss) pada saat penggilingan (grinding).
24
Gambar 4. Grafik rendemen kopi bubuk untuk setiap perlakuan perbandingan kopi (arabika : robusta). Berdasarkan analisis ragam, rendemen kopi yang dihasilkan tidak berbeda nyata pada taraf signifikasi α = 0.05 untuk perlakuan blending kopi arabika dan robusta, perbedaan media penyangraian wajan stainless steel dan wajan tanah liat serta interaksi antara keduanya. Rekapitulasi analisis ragam serta uji Duncan terhadap rendemen kopi yang dihasilkan pada setiap perlakuan disajikan pada Lampiran 3.
2. Kadar Air Kadar air suatu bahan perlu diketahui, karena air dapat mempengaruhi cita rasa. Di samping itu, kadar air juga mempengaruhi kesegarandan daya tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroorganisme selama penanganannya (Winarno, 1984). Kadar air yang diharapkan dari produk yang akan dihasilkan dari perlakuan adalah kadar air yang terendah. Semakin rendah kadar air maka penyerapan uap air dari udara akan semakin lama. Hal ini akan menjaga ketahanan bahan dari kerusakan oleh mikroorganisme selama penyimpanan. Kadar air yang terus bertambah juga dapat menyebabkan kerusakan pada produk yang ditandai dengan penggumpalan produk. Berdasarkan analisis ragam, kadar air berbeda nyata pada taraf signifikasi α = 0.05 untuk perlakuan blending kopi arabika dan robusta, perbedaan media penyangraian wajan stainless steel dan wajan tanah liat serta interaksi antara keduanya. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa produk kopi dengan perbandingan
25
10% arabika dan 90% robusta serta 20% arabika dan 80% robusta dengan media penyangaraian wajan tanah liat memiliki rata-rata kadar air terendah dan saling tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dari perlakuan kopi lainnya. Sedangkan untuk perlakuan blending kopi 20% arabika dan 80% dengan media penyangraian wajan stainless steel robusta memiliki rata-rata kadar air yang tertinggi. Rekapitulasi analisis ragam terhadap kadar air serta uji lanjut Duncan terhadap setiap perlakuan disajikan pada Lampiran 3. Selain itu, perbandingan nilai kadar air pada setiap perlakuan dengan media penyangraian wajan stainless steel lebih besar dibandingkan dengan wajan tanah liat. Hal ini dapat disebabkan karena pada proses penyangraian (roasting) dengan menggunakan wajan tanah liat, suhu penyangraian relatif lebih stabil dibandingkan dengan wajan stainless steel sehingga waktu yang diperlukan untuk tahap penyangraian lebih lama dan menguapkan air lebih banyak dibandingkan dengan wajan stailess steel, sedangkan pada proses roasting dengan menggunakan wajan stainless steel suhu penyangraian relatif lebih cepat tinggi dan kopi lebih cepat hitam atau matang sehingga air yang diuapkan lebih sedikit. Grafik perbandingan nilai kadar air pada setiap perlakuan dengan media penyangraian wajan stainless steel dan wajan tanah liat dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik kadar air kopi bubuk untuk setiap perlakuan perbandingan kopi (arabika : robusta). 3. Volatile Reducing Substance (VRS) Menurut Sivetz (1963), aroma dan bau disebabkan oleh adanya senyawasenyawa yang mudah menguap. Senyawa-senyawa yang mudah menguap tersebut,
26
pada biji kopi timbul setelah biji kopi disangrai. Penentuan jumlah bahan yang mudah menguap dapat ditentukan dengan menghitung nilai Volatile Reducing Substance (VRS). Senyawa-senyawa mudah menguap tersebut dihasilkan setelah biji kopi disangrai, yaitu hasil pyrolisis dari senyawa karbohidrat, protein, dan lemak. Selain itu, Clifford dan Willson (1985) menyatakan bahwa uji VRS adalah uji untuk mentukan bahan mudah menguap yang dapat direduksi. Bahan-bahan ini terdiri dari komponen-komponen yang disukai atau komponen yang tidak disukai, tergantug pada komponen yang dominan. Menurut Woodroof dan Philips di dalam Ciptadi dan Nasution (1981), pembentukan senyawa mudah menguap (zat volatil) terjadi pada menit-menit terakhir proses penyangraian yaitu terjadinya pyrolisis gula, karbohidrat, dan protein di dalam struktur sel biji. Tingginya nilai VRS pada perlakuan dipengaruhi oleh proses pengolahan pada saat penyangraian, karena pembentukan senyawa volatil terjadi pada proses penyangraian yaitu hasil pyrolisis dari senyawa karbohidrat, protein, dan lemak. Berdasarkan analisis ragam terhadap kadar VRS pada taraf signifikasi α=0.05 menunjukkan bahwa kadar VRS berbeda nyata untuk setiap perlakuan dan interaksi antara keduanya. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa produk kopi dengan perbandingan 10% arabika dan 90% robusta dengan media penyangaraian wajan tanah liat memiliki rata-rata kadar VRS tertinggi dan berbeda nyata dari perlakuan kopi lainnya. Rekapitulasi analisis ragam terhadap kadar VRS dan hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 6. Grafik kadar VRS kopi bubuk untuk setiap perlakuan perbandingan kopi (arabika : robusta).
27
Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa kopi bubuk yang dihasilkan melalui penyangraian dengan menggunakan media penyangraian wajan tanah liat sebagian besar menghasilkan nilai VRS yang lebih besar dibandingkan dengan wajan stainless steel. Hal ini dapat disebabkan karena suhu penyangraian pada wajan stainless steel lebih cepat mengalami peningkatan dibandingkan wajan tanah liat sehingga suhu pada wajan stainless steel pada waktu tertentu lebih tinggi daripada wajan tanah liat dan lebih banyak menguapkan senyawa volatil pada kopi selama penyangraian.
4. Sari Kopi Kadar sari kopi bubuk menunjukkan jumlah zat yang terlarut dalam air selama penyeduhan. Hasil pengujian kadar sari kopi bubuk yang dihasilkan dari setiap perlakuan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Grafik kadar sari kopi bubuk untuk setiap perlakuan perbandingan kopi (arabika : robusta). Berdasarkan SNI 01-3542-1994, syarat mutu kopi bubuk untuk parameter kadar sari kopi adalah 20-36% untuk mutu kopi bubuk I dan maksimal 60% untuk mutu kopi bubuk II. Hasil pengujian kadar sari kopi bubuk yang didapat dari setiap perlakuan yang memenuhi syarat mutu kopi bubuk I, antara lain: blending kopi 100% arabika dengan media penyangraian wajan stainless steel, 10% robusta : 90% arabika dengan media penyangraian wajan stainless steel dan wajan tanah liat, 20% robusta : 80% arabika dengan media penyangraian wajan tanah liat, 30% robusta : 70%
28
arabika dengan media penyangraian wajan stainless steel, dan blending kopi 100% robusta dengan media penyangraian wajan stainless steel. Berdasarkan analisis ragam, kadar sari kopi yang dihasilkan tidak berbeda nyata pada taraf signifikasi α = 0.05 untuk perlakuan blending kopi arabika dan robusta dan perbedaan media penyangraian wajan stainless steel dan wajan tanah liat tetapi berbeda nyata terhadap interaksi antara keduanya. Rekapitulasi analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar sari yang dihasilkan pada setiap perlakuan disajikan pada lampiran 3.
5. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap rasa dan aroma kopi. Menurut Kustiyah (1985), secara umum pada selang pH antara 4.9-5.2 akan memberikan aroma (coffee beverage) yang lebih disukai. Hal ini didukung oleh Sivetz di dalam Clifford dan Willson (1985) yang menyebutkan bahwa pada selang pH tersebut di atas, komponen aroma sudah muncul dari penyangraian medium kopi arabika dan hal ini sekaligus menunjukkan penyangraian yang optimum untuk kopi arabika. Akan tetapi, pH tersebut akan meningkat menjadi lebih besar dari 6.0 jika penyangraiannya kurang sempurna (lightly roasted). pH optimum kopi robusta adalah antara 5.0-5.8,sedangkan kopi bubuk yang di Amerika dihasilkan pada selang pH antara 4.7-5.2. Hasil pengujian pH pada seduhan kopi bubuk yang dihasilkan dari setiap perlakuan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Grafik nilai pH kopi bubuk untuk setiap perlakuan perbandingan kopi (arabika : robusta).
29
Berdasarkan analisis ragam terhadap nilai pH pada taraf signifikasi α=0.05 menunjukkan bahwa nilai pH berbeda nyata untuk setiap perlakuan dan interaksi antara keduanya. Rekapitulasi analisis ragam terhadap kadar VRS dan hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 3. Menurut
Ciptadi dan Nsution (1978),
semakin tinggi suhu dan semakin lama penyangraian, maka akan meningkatkan pH seduhan kopi, sedangkan kopi yang disangarai di silinder tertutup menyebabkan kopi yang dihasilkan terasa asam karena terhambatnya penguapan air dan asam-asam mudah menguap lainnya. Keasaman kopi juga dipengaruhi oleh cara pengolahan, derajat penyangraian, suhu ekstraksi, tinggi tempat dari permukaan laut dan jenis kopi. Pengolahan kopi secara basah menyebabkan keasamannya tinggi terutama pada kopi arabika, sedangkan pengolahan cara kering untuk kopi robusta menyebabkan keasaman terendah, sedangkan untuk kopi arabika keasamannya sedang (Sivetz di dalam Clifford dan Willson (1985)).
6. Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan terhadap warna, aroma, rasa, dan penerimaan umum seduhan kopi yang dihasilkan. Menurut Meilgaard (1999), evaluasi sensori dilakukan terhadap beberapa atribut pada produk pangan, yaitu penampakan, aroma, konsistensi, dan tekstur serta rasa. Selanjutnya, evaluasi sensori dapat digunakan untuk berbagai tujuan, seperti pemeliharaan mutu produk, optimasi, dan peningkatan mutu produk, pengembangan produk baru, dan pendugaan pasar yang potensial, bergantung dari jenis pengujian yang digunakan. a. Warna Berdasarkan analisis ragam uji hedonik untuk warna menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar sampel pada taraf signifikasi α=0.05 sehingga selanjutnya dilakukan uji Duncan. Terdapat tujuh sampel yang memiliki rataan tertinggi tetapi saling tidak berbeda nyata antara satu sampel dengan sampel lainnya, antara lain sampel dengan perlakuan 100% robusta dengan media penyangraian kuali, 10% arabika : 90% robusta dengan media penyangraian wajan tanah liat dan stainless steel, 20% arabika : 80% robusta dengan media penyangraian wajan tanah liat dan stainless steel, dan 30% arabika : 70% robusta
30
dengan media penyangraian wajan tanah liat dan stainless steel. Hal ini dapat disebabkan karena seduhan kopi yang dihasilkan memiliki warna yang hampir sama, yaitu coklat hingga hitam. Rekapitulasi analisis ragam dan uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 4. Adanya perbedaan warna seduhan kopi ini adalah karena pengaruh pengolahan terhadap sifat fisik dan kimia pigmen alami tanaman yang mudah mengalami perubahan kimia sangat peka terhadap panas. Selain itu, menurut Sari (2001), faktor lain yang mempengaruhi warna seduhan kopi yang dihasilkan, yaitu karena adanya proses karamelisasi gula yang menyebabkan timbulnya warna coklat tua. b. Aroma Berdasarkan analisis ragam uji hedonik untuk aroma menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar sampel pada taraf signifikasi α=0.05 sehingga selanjutnya dilakukan uji Duncan. Perlakuan 10% arabika : 90% robusta dengan media penyangraian wajan tanah liat memiliki rata-rata nilai tertinggi dan berbeda nyata terhadap seluruh perlakuan. Rekapitulasi analisis ragam dan uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 4. Sivetz (1972) menyatakan bahwa terbentuknya aroma yang khas pada kopi disebabkan oleh kafeol dan senyawa-senyawa komponen pembentuk aroma kopi lainnya. Jika selain proses penyangraian, sebagian kecil kandungan kafein menguap dn pembentukan berbagai komponen lain seperti aseton, furfural, trimetilamina, asam formiat, dan asam asetat. Pembentukan aroma juga tergantung dari terbentuknya senyawa yang mudah menguap dan tidak menguap. Asam-asam mudah menguap terbentuk karena terjadinya degradasi senyawa karbohidrat, protein, dan lemak pada tahap akhir proses pyrolisis. Senyawa mudah menguap diukur dari analisa VRS (Volatile Reducing Substances). Berdasarkan analisis VRS yang dilakukan, kopi bubuk dengan perlakuan 10% arabika : 90% robusta dengan media penyangraian wajan tanah liat memiliki nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan sampel lainnya. c. Rasa Hasil pengamatan berdasarkan analisis ragam uji hedonik untuk rasa menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar sampel pada taraf
31
signifikasi α=0.05 sehingga selanjutnya dilakukan uji Duncan. Perlakuan 10% arabika : 90% robusta dengan media penyangraian wajan tanah liat memiliki ratarata nilai tertinggi dan berbeda nyata terhadap seluruh perlakuan. Rekapitulasi analisis ragam dan uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 4. Sari (2001) menyatakan bahwa rasa pada kopi dipengaruhi oleh hasil degradasi beberapa senyawa seperti karbohidrat, alkaloid, asam klorogenat, senyawa volatile, dan trigonellin. Pada penyangraian terjadi banyak kehilangan (loss) akibat terdegradasi. Karbohidrat terdegradasi membentuk sukrosa dan gula-gula sederhana yang menghasilkan rasa manis. Alkaloid yaitu kafein mengalami sublimasi membentuk kafeol. Kafein memiliki rasa pahit yang kuat selain asam klorogenat dan trigonellin. Kafein memberikan kontribusi sebanyak 10% dalam pembentukan rasa pahit. Asam klorogenat terdekomposisi sebanyak 50% selama penyangraian dan akan hilang pada derajat penyangraian „heavy roast‟. Sedangkan trigonellin hanya 15% terdekomposisi untuk setiap derajat penyangraian. Pembentukan senyawa volatile terjadi pada menit-menit terakhir penyangraian. Peristiwa dekomposisi ini terjadi pada tahap pyrolisis. Pyrolisis terjadi pada saat suhu mencapi 200oC. Menurut Jacob dalam Kustiyah (1985), rasa pahit pada ekstrak kopi disebabkan oleh kandungan mineral-mineral bersama dengan pemecahan serat kasar, asam khlorogenat, kafein, tannin, dan beberapa senyawa organik dan anorganik lainnya. Jadi rasa pada kopi dipengaruhi oleh derajat penyangraian dan jenis kopi serta cara pengolahannya. d. Penerimaan Umum Bila dilihat dari penerimaan umum panelis, hasil pengamatan berdasarkan analisis ragam terhadap penerimaan umum panelis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antar sampel pada taraf signifikasi α=0.05 sehingga selanjutnya dilakukan uji Duncan. Perlakuan 10% arabika : 90% robusta dengan media penyangraian wajan tanah liat memiliki rata-rata nilai tertinggi dan berbeda nyata terhadap seluruh perlakuan. Rekapitulasi analisis ragam dan uji Duncan dapat dilihat pada Lampiran 4.
32
F. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN Berdasarkan hasil uji organoleptik serta didukung oleh hasil uji kadar air, rendemen dan VRS maka dipilih kopi bubuk terbaik, yaitu perlakuan 10% arabika : 90% robusta dengan media penyangraian wajan tanah liat. Selanjutnya dilakukan penyimpanan kopi bubuk pilihan tersebut dengan menggunakan kemasan PP (polipropilen) dan kertas kraft pada suhu 30oC, 35oC, dan 45oC (Gambar 9). Penyimpanan dilakukan selama satu setengah bulan dengan 10 titik pengamatan. Pengamatan yang dilakukan yaitu terhadap perubahan nilai kadar air, VRS (Volatile Reducing Substances), dan derajat keasamaan (pH). Data hasil analisis selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5. Akan tetapi, sebelum disimpan perlu dilakukan analisis proksimat terhadap produk untuk mengetahui karakteristik produk tersebut sebelum disimpan untuk selanjutnya dibandingkan dengan SNI. Hasil pengamatan analisis proksimat awal produk dan pembandingannya dengan SNI disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil Pengujian Analisis Proksimat Awal Produk Kopi Bubuk Pilihan dan Pembandingannya dengan SNI Kopi Bubuk 01-3542-1994. Kriteria Uji Kadar Air Kadar Lemak Kadar Serat Kadar Protein Kadar Abu Karbohidrat (by difference) Kadar Kafein secara kualitatif dalam 20 g
Satuan % % % % % %
SNI 01-3542-1994 Maks. 7 Maks. 5 -
Hasil Pengujian 3.54 4.77 58.63 12.92 5.76 14.38
%
-
2.95
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa analisis proksimat hasil pengujian, yang terdiri dari kadar air, kadar lemak, kadar serat, kadar protein, serta kadar abu masih termasuk ke dalam standar SNI kopi bubuk. Kadar air suatu produk perlu diketahui karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta citarasa bahan tersebut. Selain itu, kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan. Degradasi senyawa karbohidrat, protein, dan lemak pada tahap akhir proses pyrolisis membentuk asam-asam mudah menguap yang akan mempengaruhi pembentukan aroma dari kopi bubuk yang dihasilkan. Rasa pahit pada kopi disebabkan oleh 33
kandungan mineral-mineral bersama dengan pemecahan serat kasar, asam khlorogenat, kafein, tannin, dan beberapa senyawa organik dan anorganik lainnya.
Gambar 9. Penyimpanan kopi bubuk pilihan.
1. Kadar Air Kadar air adalah presentase kandungan air dari suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis) (Syarief dan Halid, 1993). Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Aktivitas air (aw) berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis, serta pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroba lainnya. Semakin tinggi aw pada umumnya makin banyak bakteri yang dapat tumbuh, sementara jamur tidak menyukai aw yang tinggi. Mikroorganisme menghendaki aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu untuk bakteri 0,90, khamir 0,80-0,90, dan kapang 0,60-0,70 (Winarno 1992). Kadar air kopi bubuk mengalami peningkatan pada setiap perlakuan kemasan dan suhu selama penyimpanan. Peningkatan kadar air selama penyimpanan masingmasing dapat dilihat pada Gambar 10.
34
(a)
(b) Gambar 10. Grafik perubahan kadar air selama penyimpanan dengan (a) kemasan kertas kraft dan (b) plastik PP. Berdasarkan hasil regresi linier, diketahui bahwa nilai kadar air mengalami peningkatan. Dari kemiringan (slope) masing-masing persamaan regresi linier tersebut juga dapat diketahui
bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan, maka
semakin tinggi pula peningkatan nilai kadar air. Peningkatan kadar air kopi bubuk tersebut terjadi karena adanya penyerapan uap air dari udara sehingga kadar air kopi bubuk menjadi lebih tinggi. Penyerapan uap air ini dapat terjadi karena sifat produk kopi bubuk yang higroskopis sehingga cenderung mengadsorpsi uap air dari udara. Selain itu dapat dilihat pula bahwa pada penyimpanan kopi bubuk dengan menggunakan kemasan kertas kraft mengalami peningkatan kadar air yang lebih
35
tinggi dibandingkan dengan menggunakan plastik PP. Hal ini dapat disebabkan karena cara penutupan kemasan yang dilakukan secara manual sehingga kurang rapat dimana memungkinkan udara dan uap air bisa masuk. Selain itu, densitas kertas kraft lebih kecil dibandingkan dengan plastik PP sehingga memungkinkan terjadinya transfer uap air dari lingkungan ke dalam kemasan.
2. Volatile Reducing Substance (VRS) Uji VRS dilakukan untuk menentukan bahan mudah menguap yang dapat direduksi pada produk yang dapat mempengaruhi aroma produk kopi bubuk selama penyimpanan. Nilai VRS kopi bubuk mengalami penurunan pada setiap perlakuan kemasan dan suhu selama penyimpanan. Penurunan kadar VRS selama penyimpanan masing-masing dapat dilihat pada Gambar 11.
(a)
(b) Gambar 11. Grafik perubahan kadar VRS selama penyimpanan dengan (a) kemasan kertas kraft dan (b) plastik PP. 36
Berdasarkan hasil regresi linier, diketahui kadar VRS selama penyimpanan yang menunjukkan bahwa produk kopi bubuk yang disimpan pada suhu 45oC, 35oC, dan 30oC mengalami kecenderungan penurunan kadar VRS baik pada kopi bubuk yang dikemas dengan menggunakan kertas kraft maupun plastik PP yang dapat diketahui dari kemiringan (slope) masing-masing persamaan regresi linieryang bernilai negatif. Semakin tinggi suhu penyimpanan yang digunakan, maka penurunan kadar VRS juga akan semakin tinggi. Penurunan kadar VRS kopi bubuk tersebut terjadi karena adanya penguapan senyawa volatil dari produk kopi bubuk tersebut sehingga menyebabkan penurunan aroma pada produk. Oleh karena itu, semakin lama dilakukan penyimpanan maka semakin banyak senyawa volatil yang menguap sehingga akan mempengaruhi aroma kopi bubuk. Kadar VRS pada produk disimpan dengan menggunakan kemasan kertas kraft mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan kemasan PP. Hal ini dapat disebabkan karena cara penutupan kemasan yang dilakukan secara manual sehingga kurang rapat dimana memungkinkan senyawa volatil lebih banyak yang menguap ke lingkungan serta perbedaan densitas antara keduanya.
3.
Derajat Keasaman (pH) Pengukuran
derajat
keasaman
(pH)
dilakukan
untuk
mengetahui
kecenderungan perubahan nilai pH selama penyimpanan kopi bubuk. Perubahan nilai pH kopi bubuk selama penyimpanan masing-masing dapat dilihat pada Gambar 12.
(a)
37
(b) Gambar 12. Grafik perubahan nilai pH selama penyimpanan dengan (a) kemasan kertas kraft dan (b) plastik PP. Berdasarkan hasil regresi linier, diketahui perubahan derajat keasaman (pH) pada penyimpanan kopi bubuk dengan suhu 45oC, 35oC, dan 30oC baik menggunakan kemasan kertas kraft maupun PP mengalami peningkatan nilai pH. Hal ini disebabkan karena adanya aktifitas mikroba yang mengurai asam amino yang menghasilkan senyawa-senyawa yang lebih sederhana, seperti NH3 yang bersifat basa sehingga, nilai pH meningkat. Menurut Winarno (1980), beberapa mikroorganisme seperti kapang dan khamir dapat memecah asam sehingga akan meningkatkan pH. Kapang akan mengisolasi asam dan menghasilkan produk akhir yang bersifat basa karena reaksi proteolisis. Selain itu, kenaikan pH terjadi karena terbentuknya senyawa-senyawa hasil peruraian protein oleh mikroorganisme yang bersifat basa seperti amoniak. Ihwani (2008) juga menyatakan bahwa, peningkatan atau penurunan nilai pH sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil degradasi yang terbentuk dan keseimbangan ionik dari larutan protein. Selain itu, dari kemiringan (slope) masing-masing persamaan regresi linier juga dapat diketahui bahwa produk kopi bubuk yang disimpan pada suhu 35oC baik dengan menggunakan kemasan kertas kraft maupun PP mengalami peningkatan nilai pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan suhu lainnya. Hal ini dapat disebabkan
karena
pada
suhu
tersebut
merupakan
suhu
optimum
bagi
38
mikroorganisme
penyebab
kenaikan
pH
seperti
kapang
dapat
tumbuh.
Mikroorganisme ini bersifat psikrotrofik sehingga dapat bertahan hidup pada suhu rendah dan didukung oleh Ismayadi (1986) yang menyatakan bahwa pertumbuhan kapang lebih cepat bla suhu udara lebih tinggi sampai 35oC.
G. PENDUGAAN UMUR SIMPAN Penentuan parameter kritis didasarkan pada penurunan mutu produk selama penyimpanan. Beberapa parameter yang diamati, yaitu kadar air, kadar VRS, dan nilai pH. Pemilihan parameter kritis produk ditentukan atas perubahan mutu selama penyimpanan yang paling cepat menyebabkan kerusakan produk. Kadar air merupakan parameter mutu yang digunakan sebagai parameter kritis produk. Hal ini didasarkan pada nilai kadar air yang selalu mengalami peningkatan selama penyimpanan, sedangkan nilai pada parameter lainnya tidak seragam. Selanjutnya adalah menentukan titik kritis mutu produk. Penggunaan kadar air sebagai parameter mutu kritis, akan memberikan kadar air kritis sebagai titik kritis mutu produk. Penentuan kadar air kritis dilakukan pada saat penampakan dari produk kopi bubuk sudah tidak menarik, yaitu dengan adanya penggumpalan pada bubuk kopi sehingga tidak disukai konsumen dan pada umumnya sulit larut dalam air. Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa kadar air kritis kopi bubuk dari perlakuan terbaik sebesar 19.22%. Dalam pendugaan umur simpan, langkah pertama yang dilakukan adalah membuat analisis regresi linier dari masing-masing suhu penyimpanan pada masingmasing kemasan yang digunakan. Hasil regresi linier pada produk kopi bubuk yang disimpan disajikan pada Gambar 13.
39
Gambar 13. Grafik perubahan kadar air selama penyimpanan. Berdasarkan gambar di atas , diperoleh persamaan garis lurus dari masingmasing suhu penyimpanan, yaitu: 1. Penyimpanan pada Kemasan Kertas Kraft Suhu 30oC
y = 0.133x + 0.696
R2 = 0.907
Suhu 35oC
y = 0.370x + 2.439
R2 = 0.906
Suhu 45oC
y = 0.424x + 2.940
R2 = 0.895
2. Penyimpanan pada Kemasan Plastik PP Suhu 30oC
y = 0.044x + 0.895
R2 = 0.904
Suhu 35oC
y = 0.054x + 1.033
R2 = 0.911
Suhu 45oC
y = 0.072x + 1.035
R2 = 0.909
Nilai slope dari ketiga persamaan dari masing-masing kemasan tersebut merupakan nilai K pada masing-masing suhu penyimpanan. Setelah didapatkan nilai K pada masing-masing suhu penyimpanan, dibuat plot Arrhenius dengan nilai ln K sebagai ordinat dan nilai 1/T sebagai absis. Plot Arrhenius dari produk kopi bubuk yang diamati dapat dilihat pada Gambar 14.
40
Gambar 14. Grafik hubungan 1/T dengan nilai ln K produk kopi bubuk pada kemasan kertas kraft dan plastik PP. Berdasarkan analisis regresi linier terhadap grafik hubungan 1/T dengan ln K didapatkan persamaan garis 1. Penyimpanan pada Kemasan Kertas Kraft y = -5781.0818x + 17.2118
R2 = 0.9153
2. Penyimpanan pada Kemasan Plastik PP y = -2443.1151x + 4.9363
R2 = 0.9946
dimana nilai slope dari persamaan tersebut merupakan nilai –E/R dari persamaan Arrhenius, sehingga dapat diperoleh nilai energi aktivasi dari produk kopi bubuk sebagai berikut: 1. Penyimpanan pada Kemasan Kertas Kraft -E/R
= -5781.0818 K
R
= 1.986 kal/mol K
E
= 11481.2285 kal/mol
2. Penyimpanan pada Kemasan Plastik PP -E/R
= -2443.1151 K
R
= 1.986 kal/mol K
E
= 4852.0266 kal/mol
41
Nilai intersep merupakan nilai Ln K0 dari persamaan Arrhenius sehingga : 1. Penyimpanan pada Kemasan Kertas Kraft Ln K0 = 17.2118 K0 = 29852311.37 2. Penyimpanan pada Kemasan Plastik PP Ln K0 = 4.9363 K0 = 139.2568905 Berdasarkan nilai E/R dan K0 yang telah diperoleh, maka dapat disusun persamaan Arrhenius sebagai berikut: 1. Penyimpanan pada Kemasan Kertas Kraft K
= K0. e-E/RT
K
= 29852311.37 e-5781.0818(1/T)
2. Penyimpanan pada Kemasan Plastik PP K
= K0. e-E/RT
K
= 139.2568905 e-2443.1151(1/T)
Setelah persamaan Arrhenius untuk peningkatan kadar air pada produk kopi bubuk, maka dapat dihitung laju peningkatan kadar air pada produk kopi bubuk berdasarkan suhu sebagai berikut: 1. Penyimpanan pada Kemasan Kertas Kraft 30oC atau 303 K
K = 29852311.37 e-5781.0818(1/T) K = 29852311.37 e-5781.0818(1/303) K = 1.548 x 10-2
35oC atau 308 K
K = 29852311.37 e-5781.0818(1/T) K = 29852311.37 e-5781.0818(1/308) K = 2.759 x 10-2
45oC atau 318 K
K = 29852311.37 e-5781.0818(1/T) K = 29852311.37 e-5781.0818(1/318) K = 4.919 x 10-2
2. Penyimpanan pada Kemasan Plastik PP 30oC atau 303 K
K = 139.2568905 e-2443.1151(1/T) K = 139.2568905 e-2443.1151(1/303) K = 0.446 x 10-2
42
35oC atau 308 K
K = 139.2568905 e-2443.1151(1/T) K = 139.2568905 e-2443.1151 (1/308) K = 0.544 x 10-2
45oC atau 318 K
K = 139.2568905 e-2443.1151(1/T) K = 139.2568905 e-2443.1151 (1/318) K = 0.716 x 10-2
Setelah didapatkan nilai laju peningkatan kadar air dari produk kopi bubuk yang diamati, maka dapat dicari umur simpan produk kopi bubuk pada masingmasing suhu berdasarkan persamaan: Umur Simpan = Nilai titik air kritis – Nilai kadar air awal Laju peningkatan kadar air
Sehingga umur smpan produk kopi bubuk pada masing-masing suhu penyimpanan adalah : 1. Penyimpanan pada Kemasan Kertas Kraft Suhu 30oC atau 303 K = (19.22% - 0.87%) / 1.548 x 10-2 = 119 hari atau 3 bulan 27 hari Suhu 35oC atau 308 K = (19.22% - 0.87%) / 2.759 x 10-2 = 67 hari atau 2 bulan 6 hari Suhu 45oC atau 318 K = (19.22% - 0.87%) / 4.919 x 10-2 = 37 hari atau 1 bulan 9 hari 2. Penyimpanan pada Kemasan Plastik PP Suhu 30oC atau 303 K = (19.22% - 0.87%) / 0.446 x 10-2 = 418 hari atau 13 bulan 27 hari o
-2
Suhu 35 C atau 308 K = (19.22% - 0.87%) / 0.544 x 10 = 327 hari atau 10 bulan 27 hari Suhu 45oC atau 318 K = (19.22% - 0.87%) / 0.716 x 10-2 = 256 hari atau 8 bulan 15 hari
43
H. ANALISIS BIAYA Berdasarkan analisis biaya terhadap pembuatan kopi bubuk dari setiap perlakuan yang dihasilkan per 800 gram dengan jenis kemasan kertas kraft dan PP (Lampiran 6) maka jika dibandingkan dengan harga kopi bubuk yang terdapat di pasaran tidak jauh berbeda, yaitu sebesar Rp. 28.000,-/800 gram kecuali untuk kopi bubuk 100% arabika, sehingga semua perlakuan pembuatan kopi bubuk dapat dipilih. Akan tetapi, jika mempertimbangkan hasil uji kesukaan konsumen dengan organoleptik serta kemasan yang baik berdasarkan hasil dari penelitian ini serta umur simpan produk yang lebih lama maka produk yang dapat dipilih untuk dikembangkan adalah kopi bubuk dengan perlakuan perbandingan 10% arabika dan 90% robusta dengan media penyangraian tanah liat dengan penggunaan kemasan plastik PP.
44