37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Perusahaan PT Indonesia Trading Company (Persero) dikenal diluar negeri sebagai “ITC” yang menjadi singkatan dari “Indonesia Trading Company”, yang satusatunya BUMN “Trading House” di Indonesia yang dibekali pengalamanpengalaman cukup lama di bidang ekspor, impor dan distribusi. PT ITC adalah hasil merger dari 3 BUMN Niaga PT Tjipta Niaga (Persero), PT Dharma Niaga (Persero) dan PT Pantja Niaga (Persero) berlaku efektif sejak tanggal 31 Maret tahun 2003 berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.22 tahun 2003. PT ITC (Persero) berdiri dengan mengemban visi dan misi sebagai berikut: Visi: Menjadi perusahaan dagang (Trading Company) yang kompetitif, berkualitas, berkompetensi serta menguasai sumber dan jaringan pemasaran di dalam dan luar negeri. Misi: 1. Melakukan perdagangan umum yang menangani beraneka ragam produk dengan kualitas yang baik. 2. Melaksanakan transaksi perdagangan lokal maupun lintas negara. 3. Memberikan layanan yang lengkap dan kompetitif kepada pelanggan. 4. Memenuhi harapan seluruh stakeholder. PT ITC memiliki 33 cabang diseluruh Indonesia dan menggunakan prosedur berupa sistem pembukuan yang bersifat sentralisasi, dimana pembukuan atas transaksi di setiap cabang, dilakukan di kantor pusat. Salah satu cabang PT ITC terdapat di Medan. PT ITC cabang Medan terletak di Jl. Badur No.3, Medan dan memiliki 31 orang karyawan. Susunan kepala cabang, supervisor dan karyawan PT ITC cabang Medan dapat dilihat pada lampiran 1. Kegiatan utama PT ITC cabang Medan ini sama dengan kegiatan yang dilakukan oleh cabang-cabang lainnya, yaitu melakukan perdagangan umum yang terdiri dari ekspor, impor dan distribusi. Produk dan komoditi yang
38
diperdagangkan oleh PT ITC cabang Medan termasuk produk industri dan produk konsumer. Produk industri termasuk material konstruksi (semen, aspal, produk baja/produk besi lainnya), produk agro (bahan kebutuhan pokok, rempah-rempah, hasil hutan dan produk perikanan), bahan kimia (pupuk, pestisida, bahan kimia berbahaya dan obat-obatan), mesin dan peralatan (alat kesehatan, alat pertanian, mesin berat dan kendaraan bermotor), dan berbagai jenis kerajinan tangan (rattan basket dan wooden furniture). Produk konsumer terdiri dari beberapa brand terkenal seperti Unilever juga untuk produk makanan dan minuman khususnya Duty Paid minuman beralkohol (sebagai importer resmi yang ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia). Perdagangan ekspor yang dilakukan PT ITC cabang Medan berfokus pada komoditi kerajinan tangan, yaitu rattan basket dan wooden furniture. PT ITC cabang Medan melakukan ekspor untuk komoditi rattan basket ke Jepang, dengan pembeli dari Murataya Sangyo Co. Ltd, sedangkan untuk komoditi wooden furniture, PT ITC cabang Medan mengekspor ke Amerika Serikat dengan pembeli USA Furniture Design. Menteri perdagangan dengan persetujuan dari Menteri BUMN menunjuk PT ITC, dalam hal ini termasuk cabang Medan untuk melakukan penjualan atas komoditi impor, yaitu borax, sodium, aspal dan gula. Borax merupakan komoditi yang memiliki nilai penjualan tertinggi diantara keempat komoditi impor tersebut. PT ITC menjalin kerjasama dengan Borochemie International PT LTD di Singapura untuk komoditi borax, dan menjual komoditi tersebut di Indonesia kepada pengecer terdaftar, misalnya PT Pertani dan end user seperti PT Perkebunan Nusantara dan Best Agro Group. Dalam melakukan perdagangan dalam negeri, PT ITC cabang Medan bekerjasama dengan perusahaan besar, menengah, dan pengecer yang terdaftar. 4.2. Perkembangan dan Peramalan Laporan Keuangan Perkembangan keuangan suatu perusahaan dari tahun ke tahun dapat diketahui dengan melakukan analisis laporan keuangan perusahaan tersebut. Menganalisis laporan keuangan suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis trend atau analisis horizontal. Metode ini digunakan untuk melihat pergerakan komponen-komponen dalam laporan
39
keuangan tersebut dari tahun ke tahun. Melalui metode analisis trend ini, dapat dilihat perkembangan keuangan serta hasil atau keuntungan yang diperoleh perusahaan, baik naik, tetap atau bahkan cenderung menurun. Setelah dilakukan analisis trend dari tahun yang ada, maka dapat dilakukan peramalan untuk tahun kedepannya. Analisis trend juga berfungsi sebagai analisis pendukung dalam menginterpretasikan hasil dari metode analisis rasio, oleh karena itu komponen yang terdapat di analisis trend merupakan komponen yang digunakan dalam analisis rasio (Munawir, 2002). Dalam penelitian ini, tahun yang dijadikan sebagai tahun dasar atau patokan adalah tahun 2007, dikarenakan tahun 2007 merupakan tahun awal dalam penelitian yang dilakukan. Tabel hasil analisis trend terhadap laporan keuangan PT Indonesia Trading Company cabang Medan dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. 4.2.1 Perkembangan dan Peramalan Neraca Komponen neraca yang digunakan untuk dianalisis dengan analisis trend adalah komponen-komponen yang dapat menggambarkan kondisi keuangan perusahaan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Komponen yang digunakan untuk melihat kondisi keuangan jangka pendek, adalah komponen yang dapat menggambarkan nilai likuiditas perusahaan, yaitu aktiva lancar dan hutang lancar. Sedangkan untuk melihat kondisi keuangan jangka panjang, dapat dilihat dari komponen yang menggambarkan nilai solvabilitas perusahaan, yaitu total aktiva, total hutang dan ekuitas (modal). Hasil analisis trend terhadap
aktiva
lancar
dalam
neraca
menunjukan
bahwa
perkembangannya berfluktuasi. Perkembangan trend untuk aktiva lancar PT ITC dapat dilihat pada Tabel 3.
40
Tabel 3. Perkembangan laporan neraca periode 2007-2010 (%) Uraian
2007
2008
2009
2010
Aset lancar Aset tidak lancar Jumlah Aset Jumlah kewajiban Ekuitas
100 100
323,79 98,81
109,44 87,26
122,35 84,91
100
249,48
139,23
147,81
100
200,11
6,49
11,92
100
324,70
341,53
336,73
Jumlah kewajiban dan ekuitas
100
249,48
139,23
147,81
Sumber: Laporan Keuangan PT. Indonesia Trading Company cabang Medan periode 2007-2010
Trend Analysis Plot for aset lancar Linear Trend Model Yt = 200,72 - 14,73*t
350
Variable Actual Fits Forecasts
Aset lancar (% )
300
Accuracy Measures MAPE 48,01 MAD 76,27 MSD 8313,86
250 200 150 100 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 3. Grafik Trend Aset Lancar 2007-2010 Perkembangan trend aset lancar PT ITC cabang Medan mengalami perkembangan yang berfluktuasi seperti yang terlihat pada Gambar 3. Terlihat pada tahun 2008 terjadi peningkatan yang sangat besar yaitu sebesar 223,79 persen dari tahun sebelumnya, hal ini disebabkan oleh persediaan pada tahun tersebut yang memiliki proporsi yang sangat besar, meningkat sebesar 611,09 persen dari tahun sebelumnya, yang disebabkan besarnya persediaan barang untuk
41
penjualan diawal tahun 2009 dan persediaan untuk komoditi pupuk subsidi. Kenaikan aktiva lancar juga disebabkan karena uang muka pembelian untuk beberapa komoditi seperti borax dan semen yang meningkat. Pada tahun 2009, sempat terjadi penurunan yang sangat signifikan, hal ini disebabkan oleh turunnya proporsi persediaan sebesar 475,08 persen, karena persediaan perusahaan kehilangan komoditi pupuk subsidi, dimana komoditi ini memiliki proporsi persediaan barang yang besar pada tahun sebelumnya. Trend Analysis Plot for aset tidak lancar Linear Trend Model Yt = 106,95 - 5,682*t
105
Variable Actual Fits Forecasts
Aset tidak lancar (% )
100 95
Accuracy Measures MAPE 2,09278 MAD 1,95600 MSD 4,86652
90 85 80 75 70 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 4. Grafik Trend Aset Tidak Lancar 2007-2010 Perkembangan trend aset tidak lancar PT ITC cabang Medan mengalami perkembangan yang cenderung menurun dari tahun ke tahunnya seperti yang terlihat pada Gambar 4. Penurunan pada aktiva tidak lancar ini disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah akumulasi penyusutan pada aktiva tetap yang dimiliki oleh PT ITC cabang Medan, seperti akumulasi penyusutan pada gedung kantor, villa atau bungalow, gudang, kendaraan roda empat dan inventaris kantor. Penurunan yang paling besar proporsinya terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 11,55 persen dari tahun sebelumnya.
42
Trend Analysis Plot for jumlah aset Linear Trend Model Yt = 150,835 + 3,318*t
260
Variable Actual Fits Forecasts
240
Jumlah aset (% )
220
Accuracy Measures MAPE 29,39 MAD 46,00 MSD 3032,15
200 180 160 140 120 100 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 5. Grafik Trend Total Aset 2007-2010 Hasil analisis trend untuk total aktiva dalam neraca menunjukkan bahwa
perkembangannya
berfluktuasi
dengan
kecenderungan
meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 5. Kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2008, dengan kenaikan sebesar 149,48 persen. Kenaikan ini disebabkan oleh total aktiva lancar pada tahun tersebut yang meningkat dengan proporsi yang besar, yang disebabkan meningkatnya persediaan perusahaan untuk komoditi pupuk subsidi dan persediaan untuk penjualan pada awal tahun mendatang, selain itu diikuti oleh peningkatan pada uang muka pembelian untuk komoditi borax dan semen. Penurunan yang paling besar terjadi pada tahun 2009, dimana terjadi penurunan sebesar 110,25 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan karena terjadi penurunan total aset lancar yang disebabkan persediaan dan uang muka pembelian yang menurun sangat besar, dimana untuk persediaan mengalami penurunan yang dikarenakan PT ITC cabang Medan kehilangan komoditi pupuk subsidi yang pada tahun sebelumnya memiliki proporsi yang besar dalam persediaan perusahaan.
43
Trend Analysis Plot for jumlah kewajiban Linear Trend Model Yt = 194,095 - 45,786*t
Variable Actual Fits Forecasts
200
Jumlah kewajiban (% )
150
Accuracy Measures MAPE 219,86 MAD 49,28 MSD 3595,67
100 50 0 -50 -100 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 6. Grafik Trend Jumlah Kewajiban 2007-2010 Hasil analisis trend untuk jumlah kewajiban dalam neraca menunjukkan
bahwa
perkembangannya
berfluktuasi
dengan
kecenderungan menurun seperti yang terlihat pada Gambar 6. Pada tahun 2008 terjadi kenaikan yang sangat besar, yaitu sebesar 100,11 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah kewajiban ini disebabkan oleh banyaknya uang muka yang diterima untuk transaksi yang akan datang, misalnya Best Agro Group yang memberikan uang muka sebesar Rp. 6.500.000.000 untuk transaksi pembelian borax di tahun 2009, dan adanya harga pokok pembelian taksiran dalam jumlah besar serta adanya pajak-pajak (PPN penjualan) yang belum dibayar oleh pembeli atau disetor ke kantor pusat, sehingga menjadi hutang pajak bagi cabang Medan. Penurunan jumlah kewajiban yang paling besar terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 193,62 persen dari tahun sebelumnya, yang dikarenakan perusahaan tidak mendapatkan uang muka untuk transaksi suatu komoditi untuk transaksi mendatang, dan setiap pembelian yang dilakukan perusahaan langsung mendapatkan faktur pembelian, sehingga tidak adanya harga pokok pembelian tafsiran yang dilakukan perusahaan.
44
Trend Analysis Plot for ekuitas Linear Trend Model Yt = 93,985 + 72,702*t
Variable Actual Fits Forecasts
500
Accuracy Measures MAPE 28,96 MAD 57,38 MSD 3725,46
Ekuitas (% )
400
300
200
100 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 7. Grafik Trend Jumlah Ekuitas 2007-2010 Hasil analisis trend terhadap jumlah ekuitas dalam neraca menunjukan bahwa perkembangannya cenderung meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 7. Ekuitas mengalami peningkatan terbesar pada tahun 2008, yaitu sebesar 224,70 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan ini disebabkan oleh adanya peningkatan proporsi hubungan rekening koran kantor pusat atau transaksi antar kantor pusat dengan kantor cabang Medan sebagai modal sebesar 192,08 persen dari tahun sebelumnya dan diikuti oleh kenaikan dengan proporsi yang sangat besar dari saldo laba tahun berjalan sebesar 397,60 persen dari tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis trend dapat dilihat selama periode 2007-2010 terlihat bahwa total aktiva dan ekuitas cenderung meningkat,
sedangkan
untuk
jumlah
kewajiban
mengalami
pertumbuhan yang cenderung menurun. Hal ini mengindikasikan perusahaan selalu melakukan perbaikan dalam posisi keuangannya. Setelah dilakukan analisis trend terhadap pos neraca maka dilakukan peramalan pos-pos neraca untuk tahun-tahun berikutnya. Nilai peramalan yang diperoleh dengan menggunakan software Minitab14.
45
Tabel 4. Perkembangan dan Peramalan Neraca (%) Keterangan
2007
2008
2009
2010
2011*
Jumlah Aset lancar Jumlah Aset tidak lancar Jumlah Aset Jumlah Kewajiban Jumlah Ekuitas
100
323,79
109,44
122,35
127,07 112,34
100
98,81
87,26
84,91
100 100
249,48 200,11
139,23 6,49
147,81 11,92
167,43 170,74 -34,83 -80.62
100
324,70
341,53
336,73
457,49 530,20
78,54
2012*
72,86
*Prediksi Sumber : Laporan Keuangan PT Indonesia Trading Company cabang Medan periode 2007-2010
Hasil pada peramalan neraca menunjukkan bahwa proyeksi pada sisi aktiva cenderung mengalami peningkatan untuk dua periode mendatang seperti yang terlihat pada Tabel 4. Hal ini memberikan gambaran memperluas
bahwa skala
perusahaan usaha
dan
memiliki ruang
kecenderungan lingkupnya.
untuk
Penurunan
diperkirakan terjadi pada jumlah kewajiban, yang disebabkan karena menurunnya nilai hutang dagang, uang muka yang diterima, harga pokok taksiran dan hutang lancar lainnya. ,hal ini juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah ekuitas perusahaan. Dalam peramalan jumlah kewajiban dengan menggunakan software Minitab14 diperoleh hasil minus, sehingga hasil dapat dikatakan kurang tepat, karena tidak mungkin kewajiban suatu perusahaan bernilai minus, walaupun perkembangan kewajiban yang cenderung menurun kemungkinan besar terjadi. Hasil ini dikarenakan data perkembangan jumlah kewajiban PT ITC cabang Medan yang sangat berfluktuasi dan data yang diambil hanya dalam kurun yang sangat singkat, yaitu hanya pada empat tahun terakhir, sehingga hasil peramalan untuk dua tahun kedepannya memiliki ketepatan yang kurang. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah ekuitas mengalami peningkatan, hal ini mungkin terjadi karena adanya kenaikan pada modal dari hubungan rekening koran kantor pusat dan saldo laba-rugi tahun berjalan yang meningkat.
46
4.2.2 Perkembangan Laba Rugi Analisis trend terhadap laporan laba rugi perusahaan dilakukan pada
komponen-komponen
yang
digunakan
untuk
melihat
kemampuan perusahaan didalam menghasilkan keuntungan (laba) dalam kegiatan penjualannya. Komponen yang dimaksud antara lain jumlah penjualan, harga pokok penjualan, biaya usaha dan laba bersih. Hasil trend perkembangan laporan laba rugi PT ITC cabang Medan memperlihatkan adanya peningkatan pada pendapatan usaha, harga pokok penjualan dan biaya usaha, namun diikuti oleh penurunan pada laba kotor penjualan dan laba bersih perusahaan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Laporan laba rugi 2007-2010 (%) 2007 2008 2009 2010 Uraian Pendapatan usaha 100 176,11 105,16 197,30 Harga pokok penjualan 100 156,80 92,80 196,26 Laba kotor penjualan 100 402,27 249,94 209,53 Total biaya usaha 100 152,32 161,61 201,82 Laba usaha 100 498,15 283,82 212,49 Pendapatan (biaya)lainlain 100 449,26 4062,36 258,31 Laba bersih 100 497.60 326.28 213.01 Sumber : Laporan Keuangan PT Indonesia Trading Company cabang Medan periode 2007-2010
47
Trend Analysis Plot for pendapatan usaha Linear Trend Model Yt = 89,405 + 22,095*t
Variable Actual Fits Forecasts
220
Pendapatan usaha (% )
200
Accuracy Measures MAPE 23,40 MAD 31,02 MSD 1218,47
180 160 140 120 100 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 8. Grafik Trend Pendapatan Usaha 2007-2010 Hasil analisis trend untuk total pendapatan usaha mengalami fluktuasi dengan kecenderungan meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pada tahun 2009, terjadi penurunan total pendapatan sebesar 70,95 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan karena pada tahun 2009, PT ITC cabang Medan tidak ditunjuk kembali oleh Menteri Perdagangan untuk menjual komoditi pupuk subsidi, yang pada tahun 2008 memiliki nilai penjualan cukup besar. Kenaikan yang paling besar terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar 92,14 persen dari tahun sebelumnya, atau meningkat sebesar Rp.64.491.466.581,85 dari total pendapatan tahun 2009. Peningkatan ini disebabkan karena PT ITC ditunjuk oleh Kementerian Perdagangan Negara sebagai salah satu pihak yang dapat melakukan penjualan atas barang impor, seperti gula, sodium, borax, dan aspal.
48
Trend Analysis Plot for harga pokok penjualan Linear Trend Model Yt = 80,27 + 22,478*t
220
Variable Actual Fits Forecasts
Harga pokok penjualan (% )
200
Accuracy Measures MAPE 23,83 MAD 28,83 MSD 1174,75
180 160 140 120 100 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 9. Grafik Trend Harga Pokok Penjualan 2007-2010 Hasil analisis trend untuk harga pokok penjualan menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi seperti yang terlihat pada Gambar 9. Peningkatan yang terjadi pada total pendapatan usaha atau total penjualan, juga diikuti oleh peningkatan pada harga pokok produksi. Hasil analisis trend terhadap harga pokok produksi perkembangannya berfluktuasi
dengan
kecenderungan
meningkat
dengan
pola
perkembangan yang sama dengan pola perkembangan penjualan atau pendapatan usaha. Pada tahun 2009 sempat terjadi penurunan sebesar 64 persen dari tahun sebelumnya, karena sebagian besar transaksi pembelian komoditi dibayar tunai dan melakukan kerjasama dengan perusahaan lain yang berupa barang konsinyasi, sehingga perusahaan mampu menekan proporsi harga pokok penjualan. Kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar 103,46 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini berarti peningkatan keuntungan yang diperoleh melalui setiap penjualan komoditi yang dilakukan, mendapatkan
peningkatan
yang
sebanding
dengan
faktor
pengurangnya, yaitu harga pokok penjualan. Hal ini menyebabkan laba kotor penjualan yang diterima tidak terlalu dipengaruhi oleh tingkat penjualan yang meningkat. Peningkatan harga pokok penjualan ini
49
disebabkan oleh tingginya biaya input produksi seperti biaya bahan baku, adanya biaya pengiriman yang ikut naik, meningkatnya pembayaran karyawan teknis, serta juga pajak bea cukai yang diterima perusahaan atas komoditi impornya. Trend Analysis Plot for total biaya usaha Linear Trend Model Yt = 75,25 + 31,475*t
280
Variable Actual Fits Forecasts
260 Total biaya usaha (% )
240
Accuracy Measures MAPE 5,3293 MAD 7,3950 MSD 77,5233
220 200 180 160 140 120 100 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 10. Grafik Trend Jumlah Biaya Usaha 2007-2010 Hasil analisis trend untuk jumlah biaya usaha menunjukkan perkembangan yang meningkat dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada Gambar 10. Secara garis besar, baik biaya penjualan, maupun biaya umum dan administrasi memiliki pertumbuhan yang cenderung meningkat di setiap tahunnya. Peningkatan pada biaya operasional perusahaan disebabkan karena terjadi peningkatan pada biaya gudang, biaya promosi dan biaya-biaya lain yang timbul dalam penjualan langsung, sedangkan peningkatan pada biaya umum dan administrasi disebabkan karena meningkatnya biaya kantor, biaya pegawai dan biaya penyusutan aktiva tetap.
50
Trend Analysis Plot for laba bersih Linear Trend Model Yt = 242,295 + 16,771*t
500
Variable Actual Fits Forecasts
Laba bersih (% )
400
Accuracy Measures MAPE 64,8 MAD 127,7 MSD 21225,4
300
200
100 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 11. Grafik Trend Laba Bersih 2007-2010 Hasil analisis trend untuk laba bersih menunjukan bahwa perkembangannya berfluktuasi dengan kecenderungan menurun pada dua tahun terakhir seperti yang terlihat pada Gambar 11. Pada tahun 2008 sempat terjadi peningkatan proporsi laba bersih yang sangat besar, yaitu sebesar 397,60 persen dari tahun. Hal ini disebabkan karena besarnya total penjualan pada tahun tersebut, yaitu meningkat sebesar 76,11 persen yang disebabkan oleh penjualan pupuk subsidi yang besar, dan harga pokok penjualan yang cenderung kecil pada tahun tersebut. Selain itu diikuti biaya penjualan atau biaya operasional yang lebih kecil dibandingkan tahun-tahun lainnya. Pada tahun 2009 laba bersih mengalami penurunan yang disebabkan pendapatan atas penjualan perusahaan mengalami penurunan yang disebabkan karena pada tahun tersebut PT ITC cabang Medan tidak ditunjuk kembali untuk menjual komoditi pupuk subsidi, selain itu harga pokok penjualan yang meningkat yang disebabkan karena meningkatnya biaya bahan baku, biaya pengiriman, biaya karyawan teknis.
51
Setelah dilakukan analisis trend terhadap pos laba rugi maka dilakukan peramalan pos-pos neraca untuk tahun berikutnya. Nilai peramalan trend diperoleh dengan menggunakan software Minitab14. Tabel 6. Perkembangan dan Peramalan Laba Rugi (%) 2011* Uraian 2007 2008 2009 2010 Pendapatan usaha Harga pokok penjualan Total biaya usaha
2012*
100
176,11
105,16
197,30
199,88
221,97
100
156,80
92,80
196,26
192,66
215,14
100
152,32
161,61
201,82
232,62
264,10
Laba bersih 100 497.60 326.28 213.01 326,15 342,92 *Prediksi Sumber : Laporan Keuangan PT. Indonesia Trading Company cabang Medan periode 2007-2010
Hasil peramalan pada komponen laba rugi seperti yang terlihat pada Tabel 6, menunjukkan bahwa proyeksi pada sisi pendapatan usaha mengalami kenaikan untuk periode dua tahun mendatang. Hal ini didasarkan karena PT ITC cabang Medan terhitung tahun 2010 sudah melakukan penambahan penjualannya, dengan melakukan penjualan untuk komoditi impor. Harga pokok penjualan juga mengalami peningkatan, mengikuti kenaikan pada pendapatan usaha atau penjualan. Keadaan dimana penjualan yang meningkat, juga akan diikuti oleh kenaikan pada harga pokok penjualan. Kenaikan juga terjadi pada total biaya usaha, yang kemungkinan disebabkan karena meningkatnya nilai biaya operasional dan biaya umum dan administrasi. Hasil peramalan laba bersih untuk periode dua tahun kedepannya akan mengalami kenaikan, walaupun dilihat dari perkembangan dari harga pokok penjualan dan biaya usaha yang cenderung meningkat, namun diramalkan akan diikuti oleh perkembangan yang cenderungan naik pada pendapatan usaha, dimana setiap tahunnya proporsi total penjualan lebih besar, maka menghasilkan laba bersih dengan kecenderungan meningkat. Kecenderungan yang meningkat pada laba bersih dinilai cukup baik bagi perusahaan, namun disayangkan untuk dua tahun terakhir (2009-2010) laba bersih perusahaan mengalami
52
penurunan. Oleh karena itu, perlu mendapatkan perhatian dari perusahaan dalam hal peningkatan penjualan untuk mendorong naik nilai laba bersih. Hal ini dapat dilakukan perusahaan dengan mengupayakan untuk mencari komoditi baru yang memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga dapat mendorong penjualan perusahaan. 4.3. Analisis Rasio Analisis rasio adalah suatu metode perhitungan dan interpretasi rasio keuangan untuk menentukan kesehatan atau kinerja suatu perusahaan baik pada saat sekarang maupun masa mendatang. Rasio-rasio yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 4.3.1 Rasio Likuiditas Analisis likuiditas merupakan analisis rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajian financial jangka pendek yang berupa hutang–hutang jangka pendeknya, ataupun yang sudah akan jatuh tempo. Analisis mampu menunjukkan performa keuangan dalam jangka pendek, dimana nilainya dipengaruhi oleh aktiva lancar dan kewajiban lancar. Analisis tingkat rasio likuiditas PT ITC cabang Medan dapat dilihat pada Gambar 12. Rasio Likuiditas
Persentase (%)
3000.00% 2500.00% 2000.00% 1500.00% 1000.00% 500.00% 0.00%
2007
2008
2009
2010
Rasio lancar
111.12%
179.80%
1874.89%
1140.47%
Rasio cepat
80.01%
69.23%
742.71%
841.80%
Rasio kas
15.90%
0.58%
46.12%
5.86%
Gambar 12. Trend perkembangan nilai rasio likuiditas 2007-2011
53
1. Rasio Lancar Rasio lancar merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Nilai rasio lancar perusahaan mengalami perkembangan berfluktuasi seperti yang terlihat pada Gambar 12. Hasil perhitungan menunjukan bahwa nilai rataan rasio ini adalah 826,57 persen yang berarti setiap Rp. 100,- hutang lancar dijamin dengan aktiva lancar sebesar Rp. 826,57,-. Dibandingkan dengan standar rasio lancar menurut Munawir (2002), yaitu 200 persen, perusahaan memiliki nilai rata-rata yang berada jauh diatas standar rasio lancar, namun nilai yang sangat besar dari nilai rata-rata rasio ini menunjukkan banyaknya dana yang menggangur, dan dapat mengurangi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, sehingga untuk penilaian rasio lancar perusahaan dapat disimpulkan masih kurang baik. Peningkatan nilai rasio lancar yang terbesar terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 1.695 persen dari tahun sebelumnya. hal ini disebabkan oleh penurunan pada hutang lancar perusahaan. Menurunnya hutang lancar perusahaan disebabkan tidak terdapatnya uang muka yang diterima perusahaan untuk transaksi pada tahun berikutnya, dan harga pokok pembelian tafsiran yang disebabkan pembelian yang dilakukan perusahaan langsung mendapatkan faktur pembelian. Pada tahun 2010 terjadi penurunan nilai rasio lancar, yaitu sebesar 734,42 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan terjadinya kenaikan pada hutang dagang perusahaan untuk beberapa komoditi, seperti semen dan borax. 2. Rasio Cepat Rasio ini digunakan untuk melihat kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan tanpa memperhitungkan nilai persediaan. Dalam rasio ini, persediaan tidak diperhitungkan karena dianggap merupakan aktiva lancar yang paling tidak liquid, atau lambat untuk dicairkan menjadi uang kas.
54
Dari hasil analisis, rata-rata dari rasio cepat PT ITC cabang Medan adalah 433,44 persen yang berarti bahwa Rp.100,- utang lancar dijamin dengan Rp 433,44,- aktiva lancar setelah dikurangi persediaan. Nilai rasio cepat mengalami perkembangan yang berfluktuasi, dengan kecenderungan meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 12. Penurunan hanya terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 10,78 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya peningkatan pada hutang jangka pendek, dan terjadi peningkatan
yang
sangat
besar
pada
proporsi
persediaan.
Peningkatan pada hutang jangka pendek disebabkan oleh jumlah yang besar pada uang muka yang diterima perusahaan untuk transaksi borax dan semen di tahun mendatang. Kenaikan yang paling besar pada rasio cepat terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 673,48 persen dari tahun sebelumnya, yang disebabkan terjadinya penurunan
pada
hutang
lancar,
karena
perusahaan
tidak
mendapatkan kerjasama dengan perusahaan lain untuk transaksi suatu komoditi di tahun mendatang dan diikuti menurunnya persediaan, sebagai akibat menurunnya persediaan pupuk subsidi yang memiliki proporsi yang besar ditahun yang lalu. 3. Rasio Kas Rasio kas merupakan aktiva perusahaan yang paling likuid, yang digunakan untuk mengukur kemampuan dari perusahaan dalam memenuhi kewajiban lancarnya. Hasil analisis berdasarkan rasio kas ini, didapatkan rataan rasio ini sebesar 17,11 persen yang berarti bahwa setiap Rp.100,- utang lancar dijamin dengan Rp.17,11,- uang kas dan setara kas. Hal ini berarti perusahaan belum mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan kas dan setara kas, karena berada dibawah standar minimal, yaitu sebesar 40 persen. Hal ini disebabkan oleh sistem keuangan yang diberlaku untuk setiap cabang PT ITC termasuk cabang Medan, adalah sistem sentralisasi. Dalam sistem ini, dimana
55
setiap kebutuhan biaya cabang, dialokasikan oleh kantor pusat, dan setiap cabang harus melakukan over booking (pemindah bukuan) ke rekening bank penampungan kantor pusat. Saldo yang tertinggal di bank cabang adalah saldo minimal yang ditetapkan ditambah dengan klering cek yang belum bisa diover booking. Saldo pada kas adalah sisa alokasi kantor pusat yang belum dibiayakan atau tagihan uang tunai yang tidak dapat disetor pada akhir tahun. Perkembangan rasio ini menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi dengan kecenderungan yang menurun seperti yang terlihat pada Gambar 12. Pada tahun 2008 dan 2010 terjadi penurunan dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2009 terjadi kenaikan sebesar 45,54 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh terjadinya penurunan yang sangat besar pada hutang lancar, yaitu sebesar 193,63 persen dari tahun sebelumnya karena tidak terdapatnya uang muka yang diterima dan harga pokok pembelian tafsiran, diikuti oleh kenaikan pada kas dan setara kas sebesar 11,51 persen. Penurunan yang terbesar terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar 40,26 persen dari tahun sebelumnya yang dikarenakan kenaikan hutang lancar, yaitu pada hutang dagang perusahaan serta diikuti penurunan saldo pada kas dan setara kas. 4.3.2 Rasio Solvabilitas Rasio ini merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar hutang-hutangnya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kondisi keuangan jangka pendek yang baik, belum tentu menjamin kondisi keuangan jangka panjang yang baik juga. Rasio ini juga menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi segala kewajiban finansialnya, jika seandainya perusahaan terkena likuidasi. Analisis tingkat rasio solvabilitas PT ITC cabang Medan dapat dilihat pada Gambar 13.
56
Rasio Solvabilitas 600.00%
Persentase (%)
500.00% 400.00% 300.00% 200.00% 100.00% 0.00%
2007
2008
2009
2010
60.38%
48.43%
2.81%
4.87%
Rasio hutang 152.39% terhadap total ekuitas
93.92%
2.89%
5.40%
Rasio hutang terhadap total aktiva
Rasio laba terhadap beban bunga
0
0
0
0
Rasio ekuitas terhadap total aktiva
39.62%
51.57%
97.19%
90.26%
Rasio ekuitas terhadap aktiva tetap
121.51%
399.31%
475.58%
481.90%
Gambar 13. Trend perkembangan nilai rasio solvabilitas 2007-2010 1.
Rasio Total Hutang terhadap Total Aktiva Rasio ini digunakan untuk mengukur besarnya total aktiva yang dibiayai dari pinjaman. Berdasarkan hasil perhitungan selama empat tahun (2007-2010), nilai rataan rasio ini adalah 29,12 persen. Hal ini berarti perusahaan mampu menjamin hutang sebesar Rp. 29,12,- dengan aktiva sebesar Rp. 100,- artinya perusahaan telah mampu menjamin kewajibannya dengan aktiva yang dimiliki. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 45,62 persen dari tahun sebelumnya seperti yang terlihat pada Gambar 13. Penurunan ini disebabkan oleh adanya penurunan total hutang pada tahun tersebut yang sangat besar, mencapai 193,63 persen sebagai efek dari menurunnya hutang dagang perusahaan, uang muka yang diterima perusahaan untuk transaksi yang akan datang, serta harga pokok penjualan tafsiran yang menurun karena setiap pembelian yang dilakukan perusahaan langsung menerima faktur pembelian.
57
2.
Rasio Total Hutang terhadap Ekuitas Rasio ini dapat menunjukkan seberapa besar ekuitas yang dimiliki dapat menjamin hutang yang dimiliki perusahaan, dimana semakin kecil angka rasio ini menunjukkan kondisi yang semakin baik.
Perkembangan
rasio
ini
pada
perusahaan
memiliki
kecenderungan menurun seperti yang terlihat pada Gambar 13. Nilai rata-rata dari rasio ini adalah 63,65 persen, hal ini dapat dikatakan cukup baik, karena perusahaan mampu menjamin hutang Rp. 63,65,- dengan Rp. 100,- modal , yang berarti perusahaan telah mampu menjamin semua kewajibannya dengan modal sendiri. Standar maksimum untuk rasio ini adalah 100 persen, maka besar rasio ini dibawah dari batas maksimum dan tergolong cukup baik, karena semakin kecil rasio ini, menunjukkan kondisi yang semakin baik. Proporsi yang cukup besar terjadi pada tahun 2007 dan 2008, namun mengalami penurunan yang sangat besar pada tahun 2009, yaitu sebesar 91,03 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan ini dikarenakan jumlah ekuitas perusahaan yang mengalami kenaikan sebesar 16,83 persen dari tahun sebelumnya yang disebabkan meningkatnya modal dari kantor pusat, sedangkan hutang mengalami penurunan yang sangat besar yang dikarenakan perusahaan tidak mendapatkan perjanjian transaksi suatu komoditi di tahun mendatang dengan perusahaan lain, dan setiap pembelian yang
dilakukan
perusahaan
langsung
mendapatkan
faktur
pembelian, sehingga tidak adanya harga pokok pembelian tafsiran yang dilakukan perusahaan. Hal ini cukup baik mengingat kemampuan solvabilitas perusahaan merupakan ukuran tingkat keamanan para kreditur untuk memberikan pinjaman. 3.
Rasio Ekuitas terhadap Total Aktiva Rasio ini menunjukkan besarnya proporsi jumlah aktiva yang dibiayai dari modal sendiri yaitu dengan membandingkan modal sendiri dengan total aktiva. Perkembangan nilai rasio ini
58
berfluktuasi dengan kecenderungan yang meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 13. Nilai rata-rata rasio ini adalah 69,66 persen yang berarti bahwa aktiva perusahaan yang didanai oleh modal sendiri sebesar 69,66 persen, proporsi yang besar ini disebabkan karena modal perusahaan dari alokasi dana kantor pusat memiliki proporsi yang sangat besar karena merupakan salah satu sumber terbesar dalam pembiayaan cabang Medan, selain saldo laba-rugi tahun lalu dan tahun berjalan. Semakin kecil rasio ini, semakin besar aktiva perusahaan yang dibiayai dengan hutang. Kenaikan yang terbesar terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 45,62 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan pada ekuitas sebesar 16,83 persen sebagai dampak dari meningkatnya modal dari kantor pusat dan diikuti oleh penurunan pada total aktiva sebesar 110,25 persen dari tahun sebelumnya yang diakibatkan penurunan yang besar pada aktiva tetap maupun pada aktiva lancar
yaitu
pada persediaan karena berkurangnya
persediaan pupuk subsidi yang pada tahun sebelumnya memiliki proporsi sangat besar. Pada tahun 2010 terjadi penurunan, yaitu sebesar 6,93 persen dari tahun sebelumnya, dikarenakan terjadi penurunan pada ekuitas sebesar 4,8 persen sedangkan pada total aktiva
terjadi
peningkatan
sebesar
8,58
persen
karena
meningkatnya total aset lancar, yaitu pada piutang usaha untuk komoditi borax, aspal dan semen. 4.
Rasio Ekuitas terhadap Aktiva Tetap Rasio ini menunjukkan besarnya proporsi aktiva tetap yang dibiayai dari modal perusahaan itu sendiri. Nilai rata-rata rasio ini adalah sebesar 369,57 persen. Angka yang sangat besar ini menunjukkan bahwa aktiva tetap perusahaan sepenuhnya dibiayai oleh modal sendiri yang berasal dari kantor pusat dan saldo labarugi perusahaan, karena setiap cabang PT ITC tidak melakukan pinjaman ke pihak luar, karena mendapatkan alokasi dana langsung dari kantor pusat. Terlihat bahwa nilai dari rasio ini mengalami
59
peningkatan dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada Gambar 13, karena pertumbuhan ekuitas yang cenderung meningkat yang disebabkan meningkatnya modal dari kantor pusat, sedangkan pertumbuhan aktiva tetap yang menurun dari tahun ke tahun, yang diakibatkan adanya akumulasi penyusutan pada aktiva tetap perusahaan. 5.
Rasio Laba terhadap Beban Bunga Rasio ini menunjukkan berapa besar jaminan keuntungan yang diberikan perusahaan dari hasil usahanya untuk menutupi beban bunga. Setiap cabang PT ITC tidak melakukan peminjaman ke bank atau peminjaman ke badan penyedia pinjaman lainnya maupun investor, karena kebutuhan dana setiap cabang langsung disediakan atau diperoleh dari kantor pusat, baik untuk kebutuhan jual-beli barang, modal maupun untuk membayar hutang dagang yang dimiliki perusahaan. Oleh karena itu tidak terdapat pinjaman dan beban bunga, sehingga tidak dapat dilakukan perhitungan mengenai rasio laba terhadap beban bunga ini.
4.3.3 Rasio Aktivitas Rasio digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi perusahaan dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki untuk melaksanakan kegiatan operasional perusahaan. Rasio ini membandingkan antara tingkat penjualan dengan investasi pada berbagai jenis aktiva. Analisis tingkat rasio aktivitas PT ITC cabang Medan untuk periode 2007-2010 dapat dilihat pada Gambar 14.
60
Rasio Aktivitas 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
2007
2008
2009
2010
Rasio perputaran total aktiva
3.02
2.13
2.28
4.03
Rasio perputaran aktiva tetap
9.27
16.51
11.17
21.53
Periode perputaran piutang
8.59
30.39
17.74
9.95
Perputaran persediaan
22.70
91.66
50.95
13.16
Collecting period
42.49
12.01
20.57
36.70
Gambar.14 Trend perkembangan nilai rasio aktivitas 2007-2010 1.
Rasio Perputaran Total Aktiva Rasio ini menunjukkan efektivitas perusahaan dalam menggunakan seluruh aktivanya untuk melakukan penjualan dan memperoleh keuntungan. Jika perputarannya lambat, berarti aktiva yang dimiliki terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan menjualnya. Nilai rasio ini menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat, seperti yang terlihat pada Gambar 14. Nilai rata-rata dari rasio ini adalah 2,87. Angka ini menunjukkan bahwa dalam satu periode proses produksi, aktiva yang digunakan untuk melakukan penjualan adalah sebanyak 2,87 kali. Nilai rata-rata rasio ini juga menunjukkan bahwa setiap Rp.100,- aktiva dapat menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 287,-. Tingginya nilai dari rasio ini menunjukkan bahwa sudah sangat baiknya tingkat efisiensi perusahaan dalam pemanfaatan aktivanya dan menghasilkan keuntungan.
61
2.
Rasio Perputaran Aktiva Tetap Rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan aktiva tetap dalam usaha memperoleh pendapatan. Nilai rasio yang semakin besar menunjukkan semakin efisiensinya pemanfaatan aktiva tetap. Nilai rata-rata dari rasio ini pada PT ITC cabang Medan adalah 14,62 kali dengan menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi dengan kecenderungan yang meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 14. Hal ini berarti setiap Rp.100,- aktiva tetap akan menghasilkan penjualan sebesar Rp.1.462,-. Nilai ini menunjukkan bahwa perusahaan telah mampu menggunakan aktiva tetapnya secara efisien dan efektif untuk menghasilkan penjualan.
3.
Rasio Perputaran Piutang Rasio ini mengukur perbandingan antara penjualan suatu perusahaan dengan besarnya piutang yang belum ditagih. Jika perusahaan mengalami kesulitan dalam penagihan piutangnya, berarti perusahaan mempunyai saldo piutang besar dan rasio rendah, begitu pula sebaliknya, jika perusahaan mempunyai kebijakan kredit dan prosedur penagihan baik, maka saldo piutang rendah dan rasio akan tinggi. Rasio ini juga menunjukkan berapa kali perusahaan melakukan penagihan terhadap piutang dalam satu periode. Nilai rata-rata dari rasio ini pada PT ITC cabang Medan adalah 16,67 kali. atau 21,60 hari (360 hari/16,67), berarti dalam satu periode, perusahaan mampu melakukan kegiatan penagihan piutang sebanyak kurang lebih 16 kali. Dilihat dari perkembangan nilai rasio ini pada Gambar 14, rasio perputaran piutang PT ITC cabang Medan cukup berfluktuasi dengan kecenderungan yang meningkat, dimana kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2008 karena terjadi kenaikan dalam jumlah besar atas penjualan atau pendapatan usaha, karena meningkatnya penjualan semen, borax dan pupuk subsidi. Oleh sebab itu, perusahaan dapat dikatakan berhasil dalam melakukan penagihan piutang.
62
4.
Collecting Period Indikator ini mengukur kemampuan suatu perusahaan untuk menagih atau mengumpulkan piutangnya. Semakin lama waktu penagihan, maka semakin besar juga resiko piutang tersebut menjadi tak tertagih. Nilai rata-rata dari collecting period pada PT ITC cabang Medan adalah 27,94 hari. Standar maksimal dari collecting period adalah 60 hari, hal ini berarti, cabang Medan sangat baik dalam menagih dan mengumpulkan piutangnya karena berada
dibawah
standar
maksimal,
walaupun
memiliki
perkembangan yang cenderung meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 14. 5.
Perputaran Persediaan Rasio ini mengukur tingkat efisiensi pengelolaan persediaan barang dagangnya serta mencerminkan besarnya nilai penjualan yang dilakukan untuk setiap persediaan. Nilai rata-rata dari rasio ini untuk PT ITC cabang Medan adalah sebesar 44,62 hari, berarti perusahaan membutuhkan waktu 44,62 hari untuk mengubah persediaannya menjadi penjualan. Nilai ini menunjukkan bahwa perusahaan masih tidak efektif dalam mengelola persediaannya, hal ini disebabkan karena nilai persediaan pada setiap tahun yang cukup besar, bahkan persediaan mengalami peningkatan yang sangat besar pada tahun 2008, yaitu sebesar 611,09 persen dari tahun sebelumnya yang disebabkan karena banyaknya barang yang belum terjual, yaitu untuk komoditi pupuk subsidi dan persediaan untuk awal tahun depan (Gambar 14). Pada tahun berikutnya terlihat terjadi kecenderungan nilai perputaran persediaan yang semakin menurun untuk periode dua tahun terakhir (2009-2010), hal ini menunjukkan perusahaan berusaha untuk memperbaiki efektifitas pengelolaan persediaan barang dagangnya.
63
4.3.4 Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba selama periode tertentu. Rasio ini juga merupakan jawaban akhir tentang efektivitas manajemen dalam pengelolaan perusahaannya, juga dapat diketahui mengenai efisiensi perusahaan dalam pengelolaan modal yang dimiliki. Profitabilitas yang baik dapat meningkatkan posisi perusahaan dan memperkecil kemungkinan bangkrutnya perusahaan. Tidak terdapat standar umum dalam mengukur rasio ini, namun jika semakin tinggi nilai rasio pada perusahaan, maka dapat dikatakan semakin baik kondisi perusahaan. Analisis tingkat rasio profitabilitas PT ITC cabang Medan dapat dilihat pada Gambar 15.
Persentase (%)
Rasio Profitabilitas 100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
2007
2008
2009
2010
Rasio margin laba kotor
7.86%
17.96%
18.69%
8.35%
Rasio margin laba bersih
4.31%
12.18%
13.38%
4.65%
Rasio operasi
92.34%
82.14%
81.90%
92.19%
ROE
32.87%
50.38%
31.41%
20.80%
ROA
13.03%
25.98%
30.52%
18.77%
Gambar 15. Trend perkembangan nilai rasio profitabilitas 2007-2010 1.
Margin Laba Kotor Rasio margin laba kotor ini memberikan informasi mengenai laba kotor yang dicapai dari setiap penjualan. Rasio ini menggambarkan setiap hasil sisa penjualan sesudah perusahaan membayar harga pokok penjualan. Nilai rata-rata dari rasio ini pada
64
PT ITC cabang Medan selama periode 2007-2010 adalah 13,22 persen yang berarti bahwa setiap Rp.100,- penjualan yang dilakukan, akan
memperoleh keuntungan usaha (laba kotor)
sebesar Rp.13,22,-. Terlihat pada Gambar 15, kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 10,10 persen dari tahun sebelumnya, hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan laba kotor, karena terjadi kenaikan yang sangat tinggi pada penjualan, yang lebih besar daripada kenaikan yang terjadi pada harga pokok penjualan sebagai harga pembebanan harga perolehan atas barang dagangan yang dijual. Penurunan terjadi pada tahun 2010, dimana mengalami penurunan sebesar 10,34 persen, hal ini dikarenakan kenaikan pada harga pokok penjualan, yang disebabkan karena adanya kenaikan dari beban personil produksi, biaya pengiriman dan pajak bea cukai atas komoditi impornya. Rendahnya rasio ini berarti harga pokok barang yang dijual sangat tinggi.
Sebenarnya
perusahaan
memiliki potensi untuk meningkatkan margin laba kotor seiring dengan meningkatnya nilai penjualan, namun kenaikan pada nilai penjualan juga diikuti oleh meningkatnya harga pokok penjualan (HPP), sehingga mengurangi margin laba kotor yang diperoleh perusahaan. 2.
Margin Laba Bersih Rasio ini menggambarkan persentase dari setiap hasil sisa penjualan setelah dikurangi semua biaya dari pengeluaran, termasuk pajak. Rasio ini mengukur laba bersih setelah pajak terhadap penjualan, yang menunjukkan tingkat keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan dalam penjualannya. Perkembangan mengalami
rasio
perkembangan
margin yang
laba
bersih
berfluktuasi
perusahaan dengan
kecenderungan meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 15. Nilai rata-rata rasio ini adalah sebesar 8,63 persen, yang berarti setiap Rp.100,- penjualan, perusahaan mampu menghasilkan
65
Rp.8,63,-. Terjadi kenaikan pada tahun 2008 dan 2009, hal ini disebabkan oleh penjualan yang tinggi dan perusahaan dapat menekan kenaikan pada harga pokok penjualan, sehingga nilai laba kotor juga ikut meningkat, dan diikuti oleh rendahnya beban usaha. Penurunan yang terbesar terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar 8,73 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan walaupun pada tahun 2010 merupakan tingkat penjualan yang terbesar, namun diikuti juga oleh meningkatnya harga pokok penjualan dan biaya usaha baik pada biaya penjualan langsung seperti biaya promosi dan biaya gudang, serta biaya umum dan administrasi, sehingga terjadi penurunan pada laba bersih. 3.
Tingkat Pengembalian Aset (ROA) Rasio ini digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan atas aset yang dimiliki perusahaan. ROA juga digunakan untuk melihat efektivitas keseluruhan operasi perusahaan. Perkembangan nilai rasio ini untuk empat tahun terakhir (2007-2010), mengalami perkembangan yang berfluktuasi seperti yang terlihat pada Gambar 15. Nilai rata-rata dari rasio ini adalah sebesar 22,07 persen yang berarti setiap Rp.100,- aktiva yang diinvestasikan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp.22,07,-. Nilai rata-rata dari rasio ini yang berada diatas standar yang digunakan yaitu jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga umum yang berlaku, yaitu sekitar 6-8 persen yang berarti perusahaan
mampu
menghasilkan
laba
dari
dana
yang
diinvestasikan. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 12,95 persen dari tahun sebelumnya, yang dikarenakan terjadi kenaikan dalam jumlah besar pada laba bersih, yaitu sebesar 397,60 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini sebagai pengaruh besarnya penjualan karena adanya penjualan komoditi impor yang mendorong pendapatan
penjualan,
sedangkan
penjualan serta biaya usaha yang cukup kecil.
harga pokok
66
4.
Tingkat Pengembalian Modal (ROE) Rasio ini digunakan untuk mengukur besarnya laba bersih yang dapat dihasilkan perusahaan atas modalnya sendiri yang ditanamkan untuk pembiayaan perusahaan. Nilai rata-rata dari rasio ini adalah sebesar 33,86 persen, yang berarti setiap Rp.100,- modal sendiri perusahaan mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp.33,86,-.Jika menggunakan standar yang ada, yaitu mengacu pada hal tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu (6-8 persen), mengindikasikan bahwa perusahaan telah mampu dalam menghasilkan laba yang tinggi. Kenaikan yang paling besar terjadi pada tahun 2008 (Gambar 15). Kenaikan ini disebabkan oleh meningkatnya laba bersih perusahaan sebagai dampak dari peningkatan total penjualan, yang didorong oleh penjualan pupuk subsidi yang besar jumlahnya dan total pendapatan lain yang mengalami kenaikan, sehingga laba bersih tahun tersebut meningkat. Penurunan pada dua tahun terakhir terjadi karena harga pokok penjualan dan biaya usaha yang mengalami perkembangan yang cenderung meningkat. Biaya usaha yang mengalami peningkatan pada dua tahun terakhir disebabkan meningkatnya biaya penjualan langsung, seperti biaya gudang dan promosi serta biaya umum dan administrasi perusahaan, yaitu pada biaya pegawai, biaya kantor dan biaya penyusutan aktiva tetap.
5.
Rasio Operasi Rasio ini menunjukkan besarnya bagian penjualan yang digunakan untuk beban pokok penjualan dan operasi serta menunjukkan tingkat efisiensi perusahaan dalam operasi guna menghasilkan laba dari setiap penjualannya. Nilai rataan dari rasio ini pada PT ITC cabang Medan adalah sebesar 87,14 persen, berarti sebagian besar nilai pendapatan terserap
ke
komponen
biaya
operasional.
Kondisi
mengindikasikan rendahnya efisiensi kegiatan perusahaan.
ini
67
Perkembangan rasio ini pada PT ITC cabang Medan mengalami keadaan yang berfluktuasi dengan kecenderungan yang menurun pada tahun 2008 dan 2009, lalu meningkat di tahun 2010 (Gambar 15). Penurunan terjadi karena meningkatnya penjualan, sehingga jumlahnya mempunyai selisih yang cukup besar dibandingkan dengan harga pokok penjualan ditambah biaya operasi. Pada tahun 2010, rasio ini mengalami kenaikan kembali, yaitu sebesar 10,29 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini dikarenakan terjadi pada harga pokok penjualan yang disebabkan oleh meningkatnya biaya pengiriman, biaya pegawai teknis dan biaya pajak bea cukai. Kenaikan juga terjadi pada biaya operasi, walaupun
diikuti
oleh
kenaikan
pada
penjualan,
namun
peningkatannya lebih kecil dibandingkan kenaikan pada harga pokok penjualan dan biaya operasi. Kondisi ini mengindikasikan rendahnya efisiensi kegiatan operasi perusahaan. 4.4 Analisis Du Pont Analisis Du Pont digunakan untuk mencari tingkat pengembalian ekuitas atau Return On Equity (ROE) suatu perusahaan. ROE digunakan untuk mengukur peningkatan prestasi perusahaan dan untuk melihat efektivitas pengelolaan sumberdaya dalam rangka untuk memaksimalkan pengembalian bagi pemegang saham. Perkembangan ROE dan komponen yang mempengaruhinya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan nilai ROE serta komponennya periode 2007-2010 Penggandaan Tingkat ROE Tahun ROA (%) Keuangan (kali) (%) 2007
13,03
2,523910
32,87
2008
25,98
1,939184
50,38
2009
30,52
1,028942
31,41
2010
18,77
1,107904
20,80
Rata-rata
22,07
1,649985
33,86
Sumber : Laporan Keuangan PT.Indonesia Trading Company Cabang Medan periode 20072010
68
Berdasarkan hasil analisis Du Pont, perkembangan tingkat pengembalian ekuitas (ROE) pada PT ITC cabang Medan selama periode 2007-2010 mengalami perkembangan yang berfluktuasi dengan kecenderungan yang menurun. Kenaikan hanya terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 17,51 persen dari tahun sebelumnya. Perkembangan ROE yang cenderung menurun ini disebabkan oleh penjualan yang cenderung meningkat, namun juga diikuti oleh peningkatan pada harga pokok penjualan, biaya operasional dan biaya umum administrasi sehingga berakibat pada berkurangnya laba bersih perusahaan. Berkurangnya laba yang disertai oleh proporsi ekuitas yang mengalami pertumbuhan yang meningkat, karena meningkatnya modal dari kantor pusat. Perkembangan ROE yang cenderung menurun mencerminkan kurangnya
efektivitas
pengelolaan
sumberdaya
perusahaan
untuk
memaksimalkan keuntungan perusahaan. Kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2008 yang juga dikarenakan kenaikan pada nilai tingkat pengembalian asset (ROA) sebesar 12,95 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan ROA terjadi pada tahun 2010 yang disebabkan perusahaan mengalami penurunan pertumbuhan laba bersih yang diakibatkan meningkatnya harga pokok penjualan dan beban usaha. Penurunan ROA juga disebabkan oleh proporsi total aktiva yang besar, walaupun jika dilihat dari tingkat perputaran aktiva perusahaan sudah cukup baik, namun diharapkan perusahaan dapat lebih meningkatkan efisiensi dalam penggunaan aktiva perusahaan untuk menghasilkan penjualan. Pada dua tahun terakhir terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada total aset lainlain perusahaan, yang disebabkan meningkatnya piutang jangka panjang, persediaan barang rusak, dan aktiva tetap yang tidak digunakan. Kenaikan atau penurunan nilai ROA akan berpengaruh lurus dengan nilai ROE, namun diharapkan agar nilai ROA terus meningkat agar nilai ROE juga akan meningkat. Hal tersebut dapat terealisasikan jika perusahaan dapat meningkatkan penjualannya secara relatif terhadap aktiva. Perkembangan ROA PT ITC cabang Medan periode 2007-2010 dapat dilihat pada Tabel 8.
69
Tabel 8. Komponen ROA PT Indonesia Trading Company Cabang Medan periode 2007-2010 Margin laba Perputaran total aktiva Tahun ROA (%) bersih (%) (kali) 2007 4.31 3,02 13,03 2008 12.18 2,13 25,98 2009 13.38 2,28 30,52 2010 4.65 4,03 18,77 Rata-rata
8.63
2,87
22,07
Sumber : Laporan Keuangan PT. Indonesia Trading Company cabang Medan periode 20072010
4.5. Evaluasi Kinerja Perusahaan Berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep. 100/M-BUMN/2002 Dalam mengevaluasi
kinerja perusahaan
yang menjadi acuan
perusahaan adalah Surat Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia No. Kep. 100/M-BUMN/2002 tanggal 4 Juli 2002 tentang penilaian kesehatan BUMN. Tingkat kesehatan BUMN ditetapkan berdasarkan penilaian terhadap kinerja perusahaan, yang meliputi penilaian terhadap aspek keuangan, operasional dan administrasi. Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah rasio keuangan, maka penelitian kinerja perusahaan hanya terbatas pada kinerja keuangan. Aspek operasional dan administrasi tidak dibahas dalam penelitian ini. Penilaian kinerja aspek keuangan meliputi penilaian terhadap indikator dalam aspek keuangan, dimana setiap indikator yang dinilai, akan diberi bobot atau skor yang sesuai dengan nilai indikator yang diperoleh. Hasil penilaian terhadap aspek keuangan pada PT ITC cabang Medan periode 2007-2010 dapat dilihat pada Tabel 9.
70
Tabel 9. Penilaian Indikator-Indikator Aspek Keuangan PT Indonesia Trading Company Cabang Medan Periode 2007-2010 Indikator
2007 32,87 13,03
2008 50,38 25,98
2009 31,41 30,52
2010 20,80 18,77
Ratarata (x)
Standar BUMN
Skor
ROE (%) 33,86 x>15 20 ROA (%) 22,07 x>18 15 Cash Ratio 15,90 0,58 46,12 5,86 17,11 x≥35 3 (%) 1140,4 Current 111,12 179,80 1874,89 826,57 x≥125 5 Ratio (%) 7 Collecting Period 42,49 12,01 20,57 36,7 27,94 x≤60 5 (hari) Inventory Turn Over 22,70 91,66 50,95 13,16 44,62 x≤60 5 (hari) Total Asset Turn Over 302 213 228 403 287 x>120 5 (%) Equity to Total Asset 39,62 51,57 97,19 90,26 69,66 30<x<40 8 (%) Total Skor 66 Sumber: Lap. Keuangan PT Indonesia Trading Company Cabang Medan Periode 2007-2010
1. Tingkat Pengembalian Ekuitas (Return On Equity)
Tingkat pengembalian ekuitas atau imbalan kepada pemegang saham merupakan indikator rasio yang mengukur tingkat imbalan yang diterima oleh pemegang saham atas modal yang ditanamkan dalam perusahaan. Nilai rata-rata rasio ini adalah 33,68 persen seperti yang terlihat pada Tabel 9. Hal ini berarti setiap Rp.100,- dari modal yang ditanamkan, akan menghasilkan laba bersih (imbalan) sebesar Rp. 33,68,-. Sesuai dengan standar Kementerian BUMN, nilai ini berada diatas nilai standar, yaitu 15 persen yang berarti kinerja perusahaan termasuk sudah sangat baik, namun perkembangan indikator ini mengalami penurunan pada dua tahun terakhir, yaitu pada tahun 2009-2010. Penurunan pada dua tahun terakhir terjadi karena modal mengalami peningkatan, yang disebabkan meningkatnya modal dari kantor pusat, namun tidak diikuti oleh peningkatan pada laba bersih. Peningkatan pada biaya pengiriman, biaya tenaga kerja teknis dan biaya pajak bea cukai yang menyebabkan laba kotor penjualan menjadi cenderung menurun, serta meningkatnya biaya usaha dari tahun ke tahun yang menyebabkan turunnya laba bersih yang diperoleh perusahaan. Peningkatan beban ini
71
juga dipengaruhi oleh meningkatnya total biaya operasional dalam dua tahun terakhir dan dan jumlah biaya umum dan administrasi yang cukup besar setiap tahunnya. 2. Tingkat Pengembalian Aset (Return On Asset)
Tingkat pengembalian aset atau suatu indikator rasio yang digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan atas aset yang dimiliki perusahaan dan juga untuk melihat keefektifan dari kegiatan operasi perusahaan. Nilai rata-rata rasio ini adalah 22,07 persen seperti yang terlihat pada Tabel 9. Hal ini berarti bahwa setiap Rp. 100,- aktiva yang diinvestasikan perusahaan mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 22,07,-. Sesuai dengan standar Kementerian BUMN, nilai yang diperoleh berada diatas standar yang ada, yaitu diatas 18 persen dengan perolehan skor sebesar 15, yang berarti perusahaan telah mampu menghasilkan laba atas aset yang mereka miliki. Perkembangan indikator ini pada PT ITC cabang Medan cenderung berfluktuasi. Penurunan hanya terjadi pada tahun 2010, yang disebabkan menurunnya laba bersih perusahaan. Laba bersih yang menurun disebabkan karena meningkatnya harga pokok penjualan yang dipengaruhi oleh meningkatnya biaya pengiriman barang, biaya tenaga kerja teknisi dan biaya pajak bea cukai, serta diikuti oleh peningkatan pada biaya usaha. 3. Rasio Kas (Cash Ratio)
Rasio kas merupakan rasio yang paling likuid dalam mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek tepat pada waktunya. Nilai rata-rata dari rasio ini pada PT ITC cabang Medan adalah sebesar 17,11 persen seperti yang terlihat pada Tabel 9. Hal ini menunjukkan setiap Rp. 100,- hutang lancar perusahaan dijamin dengan Rp. 17,11,- uang kas dan bank. Situasi ini menggambarkan bahwa perusahaan belum cukup baik dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan komponen aktiva yang sangat liquid karena nilainya yang masih jauh dibawah standar yang ditetapkan, yaitu 35 persan.
72
Sistem keuangan yang diberlaku untuk setiap cabang PT ITC termasuk cabang Medan, adalah sistem sentralisasi. Dalam sistem ini, saldo bank dan kas cabang setiap hari kerja harus di setor ke rekening bank penampungan kantor pusat untuk di over booking (pemindah bukuan). Saldo yang tertinggal di bank cabang adalah saldo minimal yang ditetapkan ditambah dengan klering cek yang belum bisa diover booking. Saldo pada kas adalah sisa alokasi kantor pusat yang belum dibiayakan atau tagihan uang tunai yang tidak dapat disetor pada akhir tahun. Perkembangan indikator rasio kas perusahaan pada periode 20072010 cukup berfluktuatif, dimana pada tahun 2008 dan 2010 terjadi penurunan yang cukup besar, hal ini dikarenakan terjadi kenaikan hutang lancar, serta diikuti oleh penurunan pada nilai kas dan setara kas karena adanya proses over booking dana ke kantor pusat. Kenaikan hutang lancar ini terutama berasal dari peningkatan uang muka yang diterima, harga pokok pembelian tafsiran, hutang pajak dan hutang lancar lainnya. Untuk tahun 2009, terjadi kenaikan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 45,54 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan karena terjadinya penurunan yang sangat besar pada hutang dagang perusahaan, uang muka yang diterima perusahaan untuk transaksi yang akan datang dan harga pokok pembelian tafsiran. 4. Rasio Lancar (Current Ratio)
Rasio lancar menunjukkan kemampuan perusahaan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Nilai dari rasio lancar sebaiknya tidak rendah dan tidak juga terlalu besar. Hal ini disebabkan karena nilai yang rendah menunjukkan adanya masalah dalam likuiditas perusahaan, sedangkan nilai yang terlalu besar menunjukkan banyaknya dana yang menganggur, yang akhirnya akan mengurangi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Nilai rata-rata dari rasio lancar untuk PT ITC cabang Medan kurun waktu 2007-2010 adalah sebesar 826,57 persen seperti yang terlihat pada Tabel 9. Hal ini berarti setiap Rp. 100,- hutang lancar dijamin dengan Rp. 826,57 persen aktiva lancar. Dengan ini berarti kemampuan perusahaan
73
dalam memenuhi kewajiban lancarnya sudah sangat baik, karena sudah berada diatas standar yang ditetapkan, yaitu 125 persen, namun nilai yang sangat besar dari nilai rata-rata rasio ini menunjukkan banyaknya dana yang menggangur, dan dapat mengurangi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Nilai rata-rata dari rasio ini yang sangat besar disebabkan oleh dua komponen
yaitu aktiva lancar dan hutang lancar. Peningkatan yang
terbesar pada rasio lancar terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 1.695,09 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh nilai aktiva lancar pada tahun itu proporsinya berbeda jauh dengan nilai hutang lancarnya. Hal ini disebabkan terjadi penurunan dalam jumlah cukup besar pada hutang lancar perusahaan, yaitu terjadi penurunan pada hutang dagang, tidak terdapatnya uang muka yang diterima perusahaan untuk transaksi yang akan datang, dan harga pokok pembelian tafsiran. 5. Periode Pengumpulan Piutang (Collecting Period)
Periode pengumpulan piutang mengukur kemampuan perusahaan dalam menagih atau mengumpulkan piutangnya. Waktu pengumpulan piutang yang semakin lama, maka semakin besar juga resiko piutang tersebut tak tertagih. Nilai rata-rata dari indikator ini pada PT. Indonesia Trading Company cabang Medan adalah 27,94 hari sepeti yang terlihat pada Tabel 9. Hal ini berarti kemampuan perusahaan dalam menagih atau mengumpulkan piutangnya sudah sangat baik, karena berada dibawah batas standar yang ditetapkan, yaitu 60 hari. 6. Tingkat Perputaran Persediaan (Inventory Turn Over)
Tingkat
perputaran
persediaan
digunakan
untuk
mengukur
kemampuan perusahaan dalam memutarkan produknya dan juga untuk menunjukkan efisiensi pengelolaan persediaan produk yang dilakukan perusahaan. Nilai
dari
tingkat
perputaran
persediaan
mengalami
perkembangan yang berfluktuatif dengan kecenderungan menurun. Penurunan ini disebabkan oleh
menurunnya jumlah persediaan
perusahaan dan meningkatnya jumlah penjualan perusahaan. Penurunan ini menunjukkan bahwa pada perusahaan melakukan efisiensi dalam
74
mengelola persediaan, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya perputaran persediaan perusahaan. Nilai rata-rata dari indikator ini adalah 44,62 hari seperti yang terlihat pada Tabel 9. Nilai yang tinggi ini menunjukkan tingkat perputaran persediaan yang semakin lama menunjukkan kurang efisiennya kegiatan operasi perusahaan karena modal kerja yang tertanam dalam persediaan semakin banyak, namun pada tahun dua tahun terakhir (2009-2010) terjadi penurunan perputaran dari tahun 2008, hal ini berarti perusahaan berusaha untuk memperbaiki efisiensi perusahaan dalam pengelolaan persediaan. Skor yang didapatkan untuk rasio ini merupakan skor yang tertinggi karena berada pada kisaran < 60, dan mendapatkan nilai 5. 7. Rasio Perputaran Total Aktiva
Rasio perputaran total aktiva menunjukkan efektivitas perusahaan dalam menggunakan seluruh aktivanya untuk melakukan penjualan dan memperoleh keuntungan. Rasio ini menunjukkan perkembangan yang berfluktuatif dengan kecenderungan yang meningkat. Pada tahun 2008 terjadi penurunan
yang disebabkan karena terjadi kenaikan pada
pendapatan usaha dan total aktiva, namun kenaikan yang terjadi pada pendapatan usaha lebih kecil dibandingkan kenaikan yang terjadi pada total aktiva. Nilai rata-rata dari rasio ini adalah sebesar 287 persen (Tabel 9), hal ini menunjukkan bahwa dalam satu periode proses produksi, aktiva yang digunakan untuk melakukan penjualan sebanyak 2,87 kali atau setiap Rp. 100,- aktiva dapat menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 287,-. Berdasarkan standar dari SK. Menteri BUMN No. Kep 100/MBUMN/2002, nilai ini sudah sangat mampu untuk menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan harta perusahaan, karena berada diatas nilai standar, yaitu berada diatas 120 persen. Nilai rasio ini menunjukkan bahwa perusahaan sudah sangat baik dalam memanfaatkan aktivanya dalam rangka menghasilkan pendapatan.
75
8. Rasio Modal terhadap Total Aktiva
Rasio ini menunjukkan seberapa besar proporsi modal sendiri dan pinjaman terhadap pembiayaan aktivanya. Rasio ini juga menunjukkan besarnya tingkat keamanan bagi para kreditur yang memberikan pinjaman kepada perusahaan. Dalam kasus ini, setiap cabang dari PT. Indonesia Trading Company tidak mengadakan pinjaman dari para kreditur, bank atau dari peminjam dana lainnya, melainkan mendapatkan alokasi dana langsung dari kantor pusat untuk segala kebutuhan transaksi setiap cabang. Nilai rata-rata dari rasio ini adalah sebesar 69,99 persen (Tabel 9), yang berarti bahwa proporsi aktiva yang dibiayai dari modal sendiri adalah sebesar 69,99 persen. Nilai yang besar ini disebabkan oleh besarnya jumlah ekuitas perusahaan, yang dipengaruhi oleh adanya jumlah yang sangat besar dari hubungan rekening koran kantor pusat sebagai modal dan saldo rugi laba tahun berjalan. Perkembangan rasio ini menunjukkan perkembangan yang berfluktuatif dengan kecenderungan yang meningkat. Nilai yang diperoleh adalah 8. Hasil evaluasi diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pengembalian modal (ROE), tingkat pengembalian aset (ROA), collecting period, perputaran total aktiva, perputaran persediaan dan rasio modal terhadap total aktiva menunjukkan kondisi yang baik karena skor atau nilai yang diperoleh melebihi standar yang ditetapkan oleh SK. Menteri BUMN No. Kep-100/M-BUMN/2002. Untuk indikator rasio kas dan rasio lancar masih berada dibawah standar. Kedua rasio ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih lagi dan diperbaiki untuk tahun-tahun mendatang agar kinerja perusahaan dapat meningkat sesuai dengan standar indikator yang ditetapkan. Hasil evaluasi kinerja BUMN menunjukkan kondisi sudah sangat baik bagi perusahaan, dimana dengan total skor (TS) sebesar 66, maka penilaian tingkat kesehatan PT. Indonesia Trading Company cabang Medan adalah sehat dengan nilai A.
76
4.6. Implikasi Manajerial Berdasarkan hasil analisis trend dari sisi aktiva menunjukkan perkembangan komponen total aktiva yang meningkat. Pada sisi pasiva, terjadi penurunan pada kewajiban jangka pendek perusahaan, sedangkan pada ekuitas memiliki perkembangan yang cenderung meningkat. Peramalan dua tahun kedepan pada komponen neraca, dimana untuk aktiva dan ekuitas akan mengalami peningkatan, sedangkan untuk kewajiban diramalkan akan menurun. Hal ini sangat baik bagi perusahaan, dengan meningkatnya aktiva perusahaan
dan
menurunnya
kewajiban,
berarti
perusahaan
dapat
meningkatkan tingkat likuiditasnya. Trend pada laporan laba rugi menunjukkan kecenderungan penurunan pada dua tahun terakhir. Untuk peramalan nilai laba bersih untuk periode dua tahun kedepannya, diperoleh peramalan dengan kecenderungan yang meningkat. Hal ini diramalkan terjadi karena kenaikan pada pendapatan usaha dalam proporsi yang besar, melebihi harga pokok penjualan dan total biaya usaha. Hasil ini sudah baik bagi perusahaan, namun sebaiknya perusahaan lebih gencar lagi dalam meningkatkan penjualannya, salah satunya dengan mengupayakan untuk mendapatkan komoditi baru yang memiliki nilai jual yang besar, baik dengan ditunjuk oleh pemerintah ataupun dengan usaha sendiri. Usaha ini juga sebaiknya diiringi usaha perusahaan untuk menekan proporsi harga pokok penjualan dan biaya usaha. Usaha menekan harga pokok penjualan dapat dilakukan dengan melakukan pembayaran tunai dan melakukan kerjasama konsinyasi. Analisis pada tingkat likuiditas memiliki perkembangan yang berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat dan cukup likuid. Terdapat beberapa kekurangan, diperoleh nilai rasio lancar yang sangat tinggi, yang menggambarkan banyaknya banyaknya dana yang menggangur, dan dapat mengurangi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, selain itu juga terdapat perkembangan rasio kas yang menurun dan masih kurang baik. Disarankan
perusahaan
memperbaiki
kinerjanya
dengan
melakukan
pendekatan defensif, yaitu dengan menekan rasio hutangnya, sambil
77
melakukan peningkatan efektivitas dalam menggunakan aktivanya untuk melakukan penjualan dan memperoleh keuntungan. Analisis
pada
tingkat
profitabilitas,
perusahaan
telah
mampu
meningkatkan keuntungan yang tinggi dari hasil penjualannya. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengembalian modal yang berada diatas tingkat suku bunga umum. Namun selama periode 2007-2010, perkembangan kinerja perusahaan cenderung menurun yang terlihat pada tingkat pengembalian ekuitas (ROE) yang cenderung menurun pada dua tahun terakhir. Perusahaan diharakan dapat meningkatkan pendapatannya dengan cara selalu berusaha untuk mendapatkan komoditi baru yang memiliki nilai jual yang baik setiap tahunnya, dengan atau tanpa bantuan dari pemerintah. Dengan adanya penambahan komoditi diharapkan dapat mendorong tingkat pendapatan perusahaan. Perbaikan dan peningkatan kinerja juga dapat dilakukan dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan, baik biaya operasional, maupun biaya umum dan administrasi, dan menekan harga pokok penjualan sehingga laba usaha bisa semakin meningkat. Hal ini dapat berguna bagi perusahaan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan operasi perusahaan.