IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pembuatan Film Film yang dibuat pada riset ini dibuat dari kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih sebagai bahan aktif. Kitosan dilarutkan dengan menggunakan asam asetat 1% sedangkan sebagai plasticizer digunakan gliserol. Proses pembuatan film dilakukan sesuai dengan prosedur menurut Wardhani (2008) dan Zainab (2009). Kitosan dilarutkan pada larutan asam asetat 1% pada suhu 50°C selama 60 menit sambil dilakukan pengadukan sehingga larutan menjadi homogen dan kental. Lembaran film didapatkan setelah larutan film dituangkan ke plat kaca berukuran 20 × 28 cm dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 40°C selama 24 jam. Hasil film yang didapatkan untuk film tanpa penambahan ekstrak bawang putih berwarna lebih terang. Hal ini terjadi karena ekstrak bawang putih berwarna coklat gelap sehingga mempengaruhi warna film yang dibentuk. Penampakan dari kedua jenis film tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
A
B
Gambar 2. Penampakan dari kedua jenis film : (A) film tanpa penambahan ekstrak bawang putih; (B) film dengan penambahan ekstrak bawang putih Fessenden dan Fessenden (1995) menyatakan bahwa kitosan lebih mudah larut dalam asam asetat 1-2%. Selama pencampuran akan reaksi antara kitosan dan asam asetat berupa ikatan hidrogen dan gaya Van der Walls. Peter (2005) juga menyatakan bahwa kitosan membentuk film apabila kitosan yang dilarutkan pada larutan asam laktat atau asam asetat ≤ 2% (contohnya 1%) dikeringkan. Kekuatan tarik dari film kitosan berkisar antara 38 sampai 66 MPa, kurang lebih dua kali lipat dari kekuatan tarik dari plastik polyethylene. Muzzarelli dan Muzzarelli (2007) menyatakan bahwa hasil dari sejumlah penelitian sampai saat ini menunjukkan bahwa kitosan dapat bersifat pembunuh bakteri atau penghambat bakteri, atau bahkan dapat membantu pertumbuhan bakteri sesuai dengan jenis bakterinya. Sejumlah hasil menunjukkan bahwa kitosan bersifat mencegah terhadap pertumbuhan sebagian besar bakteri patogen pada manusia dan bakteri perusak bahan pangan. Alexander dan Rhee (2005) juga menyatakan bahwa oligomer dari gugus glukosamin pada kitosan dengan derajat polimerisasi (DP) ≥ 30 memiliki sifat antimikroba terhadap beberapa bakteri Gram-negatif, bakteri Gram-positif dan bakteri asam laktat, dimana oligomer dengan DP yang rendah tidak memiliki sifat antimikroba. Oligomer kitosan dengan
13
nilai DP yang rendah merupakan nutrien bagi bakteri, sementara oligomer dengan nilai yang lebih tinggi mempunyai sifat racun sebagai akibat dari sifat adhesi kitosan pada membran sel sehingga proses penyerapan nutrien melalui membran sel mikroba menjadi terhambat. Kitosan juga mengandung antioksidan yang dapat membantu menambah umur simpan kerupuk. Kitosan ini dapat mengikat radikal bebas antara lain hidrogen peroksida, anion superoksida dan ion Cu2+. Karena itu film kitosan cocok digunakan untuk mengemas produk yang mengandung minyak atau lemak (Lin dan Chuo, 2004; Kim dan Thomas, 2007). Plasticizer yang digunakan dalam pembuatan film ini adalah gliserol. Menurut Noureddini et al. (1998), gliserol mempunyai keunggulan sebagai plasticizer karena titik didih yang tinggi sehingga tidak ada gliserol yang menguap dalam proses dibandingkan dengan dietilena glikol monometil eter (DEGMENT), etilena glikol (ET), dietilena glikol (DEG), trietilena glikol (TEG) dan tetraetilena glikol. Hal ini didukung dengan tidak adanya interaksi gliserol dan molekul protein di dalam bahan baku plastik. Gontard et al. (1993) juga menyatakan bahwa gliserol sangat kompatibel dengan film hidrofilik seperti kitosan dan akan menghasilkan film yang lebih fleksibel, halus, dan tidak rapuh. Bahan aktif, dalam hal ini ekstrak bawang putih, ditambahkan setelah larutan homogen dengan tetap dilakukan pengadukan sampai ekstrak bawang putih tercampur secara merata. Pencampuran ekstrak bawang putih dilakukan paling akhir karena dikhawatirkan bahan aktif yang terdapat pada ekstrak bawang putih akan rusak apabila mengalami pemanasan dalam waktu lama karena pada umumnya rempah-rempah sensitif terhadap pemanasan (Chen et al., 1985). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Dewick (2003) yang menyatakan bahwa alisin yang terdapat pada bawang putih tidak tahan terhadap pemanasan. Ekstrak bawang putih yang digunakan dihasilkan dari proses ekstraksi menggunakan pelarut metanol. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi. Hasil ekstraksi yang diperoleh berupa ekstrak kental. Bawang putih juga diketahui mempunyai sifat antioksidan. Vaidya et al. (2008) menyatakan bahwa alisin yang berpengaruh terhadap rasa dan bau dari bawang putih juga dinyatakan mempunyai sifat antioksidan. Aktivitas ini berupa pengikatan terhadap ion radikal bebas dari peroksida. Sifat anti mikroba ini diperoleh dari asam sulfenik yang terbentuk dari dekomposisi alisin pada bawang putih. Sifat antioksidan ini diharapkan dapat meningkatkan umur simpan dengan cara mengurangi oksidasi yang terjadi pada kerupuk. Zainab (2009) menyatakan bahwa film yang ditambah ekstrak bawang putih mempunyai aktivitas penghambatan terhadap Salmonella dengan konsentrasi ekstrak bawang putih 0,4% dan 0,6%. Ketika film tersebut diaplikasikan untuk mengemas produk pangan, yaitu bakso ikan, hasil penelitian menunjukkan bahwa film yang ditambah ekstrak bawang putih 6% dapat memperpanjang umur simpan bakso sampai dua hari pada penyimpanan suhu ruang, sebanding dengan bakso yang diberi bahan tambahan Sodium Tripolifosfat (STTP) 0,25%. Pada permukaan film yang ditambah ekstrak bawang putih dapat terlihat adanya serat-serat halus yang berasal dari ekstrak bawang putih. Hal ini diduga dapat mempengaruhi nilai kekuatan tarik atau elongasi dari film tersebut. Film yang diperoleh juga mempunyai aroma yang khas sesuai dengan bahan pembuatnya. Film tanpa penambahan ekstrak bawang putih berbau agak asam sebagai akibat dari penggunaan asam asetat dan juga masih ada bau amis udang sebagai akibat dari penggunaan kitosan sementara film dengan penambahan ekstrak bawang putih mempunyai bau agak asam dan juga berbau bawang putih. Aroma dari ekstrak bawang putih akan mempengaruhi aroma dari bahan kemasan yang dikemas sehingga dapat mempengaruhi penerimaan dari konsumen. Proses pembuatan film ini tidak membutuhkan teknologi tinggi sehingga mudah diterapkan dalam skala kecil tetapi diperlukan pengembangan atau desain alat produksi agar proses produksi film ini dapat diterapkan dalam skala industri.
14
4.2. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Gliserol terhadap Kekuatan Sealing Plastik Gliserol yang dicampurkan ke larutan bervariasi yaitu 0,5%, 0,8% dan 1% (v/v). Perbandingan karakteristik dari ketiga jenis film tersebut secara kualitatif disajikan pada Tabel 2. Perbedaan dari ketiga jenis film tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 sementara penampakan dari hasil seal dari film tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
(a)
(b)
(c) Gambar 3. Film dengan konsentrasi gliserol : (a) 0,5%; (b) 0,8%; dan (c) 1%
15
Hasil seal
(a)
Hasil seal
(b)
Hasil seal
(c) Gambar 4. Hasil seal film dengan konsentrasi gliserol : (a) 0,5%; (b) 0,8%; dan (c) 1%
16
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi gliserol terhadap karakteristik film Konsentrasi gliserol (v/v) Tekstur kemasan Kelenturan kemasan Kekuatan seal 0,5% kasar kaku agak kuat 0,8% agak kasar agak kaku lemah 1,0% halus lentur lemah Gambar 3 menunjukkan film yang dibuat dengan konsentrasi gliserol yang berbeda. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa film yang dihasilkan dengan konsentrasi gliserol 0,5% lebih kasar dan kaku. Film yang dihasilkan dari larutan dengan konsentrasi gliserol 0,8 % lebih plastis dan lentur tetapi teksturnya masih agak kasar sementara film yng dihasilkan dari larutan yang menggunakan konsentrasi gliserol 1% teksturnya lebih halus dan lentur. Film yang telah diperoleh lalu dikelim untuk melihat pengaruh gliserol terhadap kekuatan sealing film tersebut. Pada Gambar 4 terlihat bahwa kekuatan seal setiap film berbeda. Pada film dengan konsentrasi gliserol 0,5% terlihat bahwa jika kedua ujung film tersebut ditarik untuk membuka hasil seal-nya maka film tersebut menjadi robek di bagian seal-nya. Sementara pada film dengan gliserol 0,8% dan 1% terlihat bahwa apabila kedua ujung film ditarik maka hasil seal-nya akan terlepas. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil seal dari film dengan gliserol 0,5% lebih kuat dibandingkan dengan hasil seal dari film dengan gliserol 0,8% dan 1%. Hal ini terbukti dari hasil seal film yang tidak terlepas walaupun ditarik. Apabila ditarik lebih kuat maka film tersebut akan robek pada bagian seal-nya yang berarti bahwa nilai kekuatan seal-nya lebih besar dari nilai ketahanan sobeknya. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi gliserol berpengaruh positif terhadap sifat plastis dari film yang dihasilkan tetapi tidak berpengaruh positif terhadap kekuatan seal dari film tersebut. Semakin besar konsentrasi gliserol yang digunakan maka film yang diperoleh semakin plastis sementara kekuatan seal yang diperoleh semakin lemah. Atas kesimpulan ini maka diputuskan untuk menggunakan film dengan konsentrasi gliserol 0,5% dalam penelitian selanjutnya.
4.3. Karakteristik Fisis dan Mekanis Kemasan Salah satu fungsi utama kemasan yaitu melindungi produk dari kerusakan terutama kerusakan karena faktor mekanis dan kerusakan yang disebabkan karena perpindahan uap air dan gas serta mikroba. Karena itu maka pemilihan bahan yang digunakan sangat mempengaruhi fungsi kemasan yang dihasilkan karena setiap bahan mempunyai karakteristik tertentu. Akan tetapi penambahan agen antimikroba ke dalam kemasan dapat berakibat sebaliknya yaitu penurunan nilai fisik dan mekanis dan perubahan sifat optis dari kemasan tersebut sehingga perlu diperhatikan kecocokan dari agen antimikroba yang digunakan dan bahan utama pembuat kemasan tersebut (Ahvenainen, 2003).
4.3.1. Ketebalan Ketebalan merupakan indikator kekuatan suatu bahan dimana bahan yang mempunyai ketebalan lebih tinggi pada umumnya lebih kuat dan lebih tahan terhadap kerusakan akibat benturan secara mekanis. Ketebalan film akan berpengaruh terhadap kuat tarik, persen pemanjangan, dan laju transmisi gas (Park et al., 1993). Hasil pengukuran dari ketebalan kemasan disajikan pada Gambar 5.
17
Nilai ketebalan (mm)
0.250
0.200
0.202 0.182 0.150
0.100
0.050
0.043 0.000 Film kitosan
Film kitosan + EBP
PP
Jenis Kemasan Gambar 5. Nilai ketebalan kemasan yang digunakan Gambar 5 menunjukkan bahwa film yang ditambah ekstrak bawang putih mempunyai ketebalan yang lebih besar daripada film kitosan. Volume larutan yang dipakai untuk membuat kedua jenis film dan luas cetakan sama yaitu 100 ml dan 20 × 28 cm2. Perbedaan ketebalan ini diduga karena ekstrak bawang putih mengandung sejumlah senyawa seperti dialil disulfida, dialil trisulfida, alil propil disulfida, sejumlah kecil disulfida dan dialil polisulfida yang dinamakan alisin (Seydim dan Sarikus, 2006). Adanya senyawa-senyawa ini mengakibatkan total padatan yang terdapat pada film yang ditambah ekstrak bawang putih menjadi lebih banyak daripada total padatan pada film. Ketebalan PP yang digunakan jauh lebih kecil daripada ketebalan film kitosan. Hal ini terjadi karena film yang diproduksi getas dan kekuatan tariknya kecil sehingga harus diproduksi lebih tebal agar film tersebut tidak sobek.
4.3.2. Kekuatan Tarik dan Elongasi Kekuatan tarik menunjukkan ukuran ketahanan film, yaitu regangan maksimal yang dapat diterima sampel sebelum putus, sedangkan persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum yang dialami film pada saat sampel sobek. Nilai kekuatan tarik sangat berpengaruh pada kekuatan mekanis film. Semakin tinggi kekuatan tarik suatu kemasan maka semakin kuat pula kemasan tersebut dalam menahan benturan dan semakin besar pula bobot yang dapat dibawa dalam kemasan tersebut. Sementara nilai elongasi menentukan elastisitas dari kemasan tersebut. Semakin besar nilai elongasi suatu kemasan maka semakin tinggi elastisitasnya. Nilai kekuatan tarik dan nilai elongasi bersifat spesifik sesuai dengan jenis bahan yang digunakan. Nilai kekuatan tarik dan nilai elongasi dari kemasan yang diuji disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7.
18
20
Nilai Kekuatan tarik (N)
18 16
17.237 × 10¹
14 12 10 8 6 4
4.569 3.409
2 0 Film kitosan
Film kitosan + EBP
PP●)
Jenis Kemasan Gambar 6. Nilai kekuatan tarik kemasan yang digunakan ●) Sumber : Benning (1983) 250
Nilai Elongasi (%)
200
176.530
150
100
107.897
50
60
0 Film kitosan
Film kitosan + EBP
PP●)
Jenis Kemasan Gambar 7. Nilai elongasi kemasan yang digunakan ●) Sumber : Benning (1983) Film kitosan tanpa ekstrak bawang putih memiliki nilai kekuatan tarik lebih tinggi dari film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih. Hal ini diduga terjadi karena penambahan ekstrak bawang putih menyebabkan film menjadi bersifat lebih liat tetapi mengurangi sifat kaku yang tadinya terdapat pada film kitosan. Akibatnya yaitu film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih menjadi lebih plastis tetapi lebih mudah putus. Film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih memiliki nilai elongasi yang lebih besar dari film kitosan tanpa penambahan ekstrak bawang putih. Hal ini diduga terjadi karena ekstrak bawang putih yang ditambahkan yang berupa oleoresin akan mengisi ruang antar molekul daerah yang tidak berbentuk pada struktur polimer dan akan meningkatkan kerapatan ruang antar molekul (Ahvenainen, 2003). Hal ini menyebabkan struktur yang terbentuk lebih padat sehingga film yang dihasilkan lebih plastis. Kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih dapat membentuk tekstur film yang baik karena
19
mempunyai kemampuan mengikat komponen air dan minyak (mengandung gugus OH dan atau gugus NH₂) yang terdapat di dalam ekstrak bawang putih (Brzeski, 1987). Benning (1983) menyatakan bahwa kekuatan tarik PP sebesar 172,368 N/mm2. Hal ini sangat besar apabila dibandingkan dengan kekuatan tarik film kitosan dan film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih yaitu sebesar 4,569 N/mm2 dan 3,409 N/mm2. Akibat dari nilai kekuatan tarik yang rendah ini yaitu film kitosan yang diproduksi tidak dapat digunakan untuk mengemas produk yang berbobot besar.
4.3.3. Laju Transmisi Uap Air (Water Vapor Transmission Rate) Laju transmisi uap air merepresentasikan kemampuan suatu kemasan untuk menahan uap air untuk masuk ke dalam kemasan. Nilai laju transmisi uap air (WVTR) disajikan pada Gambar 8. 160
Nilai WVTR (gr/m2/hari)
140 120
132.29
126.55
100 80 60 40 20
12 0 Film kitosan
Film kitosan + EBP
PP●)
Jenis Kemasan Gambar 8. Nilai WVTR kemasan yang digunakan ●) Sumber : Benning (1983) Laju transmisi uap air dipengaruhi oleh aw, RH, suhu, ketebalan, jenis dan konsentrasi plasticizer, dan sifat bahan pembentuk film. Semakin rendah nilai laju transmisi uap air maka film tersebut semakin baik. Film yang terbuat dari bahan polisakarida merupakan polimer polar dan mempunyai tingkat ikatan hidrogen tinggi karena mengandung gugus hidroksil, sehingga memiliki laju transmisi uap air yang tinggi (Krochta et al., 1994). Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai laju transmisi uap air pada film kitosan tanpa ekstrak bawang putih lebih besar. Hal ini terjadi diduga karena ketebalan film yang lebih kecil dan kerapatan molekul pada film yang ditambah ekstrak bawang putih lebih besar. Film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih memiliki ketebalan yang lebih besar sehingga menyebabkan uap air lebih lama untuk melewati kemasan karena jarak yang ditempuh menjadi lebih jauh. Selain itu menurut Ahvenainen (2003) ekstrak bawang putih yang ditambahkan ke dalam film kitosan akan mengisi ruang antar molekul daerah yang tidak berbentuk pada struktur polimer dan akan meningkatkan kerapatan ruang antar molekul. Hal ini menyebabkan uap air menjadi lebih susah untuk melewati kemasan. Menurut Krochta et al., (1994) ekstrak bawang putih mengandung minyak dan air. Komponen minyak dan lemak mempunyai sifat perlindungan yang tinggi terhadap uap air sehingga akan mengurangi sifat hidrofilik film kitosan. Karena itu uap air akan lebih susah untuk melewati kemasan tersebut.
20
Uap air di dalam kemasan tidak disukai karena akan meningkatkan aw di dalam produk dan memicu tumbuhnya mikroba yang pada akhirnya akan menurunkan umur simpan produk. Karena itu kemasan yang baik adalah kemasan yang mempunyai nilai laju transmisi uap air rendah. Katz dan Labuza (1981) menyatakan bahwa laju penyerapan air dipengaruhi oleh kemampuan air menembus kemasan kemasan. Makin besar pori-pori kemasan maka laju penyerapan air akan makin cepat. Perpindahan uap air dari lingkungan ke dalam kemasan dapat terjadi apabila nilai aw di dalam kemasan lebih rendah daripada nilai aw lingkungan. Akan tetapi nilai perpindahan ini akan semakin kecil apabila nilai aw produk sudah hampir sama dengan nilai aw lingkungan sehingga nilai transmisi ini akan semakin kecil setiap hari. Nilai laju transmisi uap air dari PP menurut Benning (1983) berkisar antara 10-12 g/m2/24 jam. Nilai ini jauh lebih kecil daripada nilai transmisi uap air dari kedua film yang diproduksi. Perbedaan ini terjadi karena permeabilitas film kitosan yang diproduksi tersebut yang sangat tinggi sehingga mudah dilewati oleh uap air.
4.3.4. Transparansi Transparansi adalah kemampuan suatu bahan untuk meneruskan cahaya. Parameter ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kualitas kemasan tetapi lebih berpengaruh kepada penampilannya dan preferensi konsumen. Kemasan yang lebih transparan umumnya lebih disukai konsumen. Selain itu kemasan yang lebih transparan juga lebih baik untuk menampilkan produk di dalam kemasan kepada konsumen sehingga lebih berguna sebagai media promosi. Nilai transparansi kemasan disajikan pada Gambar 9. 90.0
Nilai Transparansi (% T)
80.0
81.6 70.0
73.4
60.0
62.9
50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 Film kitosan
Film kitosan + EBP
PP
Jenis Kemasan Gambar 9. Nilai transparansi kemasan yang digunakan Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai transparansi dari film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih bernilai lebih besar. Hal ini terjadi karena ekstrak bawang putih yang ditambahkan berwarna coklat. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan warna larutan menjadi lebih gelap sehingga film yang dihasilkan juga lebih gelap. Warna coklat ini didapatkan sewaktu pengeringan bawang putih dimana warna bawang putih yang semula putih berubah menjadi coklat. Nilai transparansi dari PP bernilai paling tinggi. Hal ini terjadi karena plastik PP yang digunakan merupakan plastik bening sehingga lebih mudah untuk mengantarkan cahaya. Selain itu plastik PP yang digunakan juga lebih tipis sehingga mempermudah cahaya untuk menembus kemasan
21
tersebut. Perbandingan nilai sifat fisis dan mekanis dari film kitosan tanpa penambahan ekstrak bawang putih, film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih dan plastik PP disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan nilai sifat fisis dan mekanis ketiga jenis kemasan yang digunakan Satuan
Film kitosan
Film kitosan + EBP
PP
Ketebalan
mm
0,182
0,202
0,043
Kuat tarik
N/mm²
4,569
3,409
172,368a
Elongasi
%
107,9
176,53
40-60a
g/m²/hari
132,29
126,55
10-12a
%
73,4
62,9
81,6
Karakteristik kemasan
Laju transmisi uap air Transparansi Sumber : a : Benning (1983)
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa film kitosan tanpa penambahan ekstrak bawang putih dan film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih memiliki sifat fisis dan mekanis yang lebih jelek dari plastik PP kecuali pada nilai elongasi. Hal ini menunjukkan bahwa film AM dan film AM yang ditambah ekstrak bawang putih belum cukup baik untuk digunakan sebagai kemasan komersial karena selain biaya produksinya lebih besar, film ini juga masih mempunyai karakteristik yang lebih jelek daripada PP, terutama parameter nilai laju transmisi uap air. Karakterisitik yang lebih jelek ini mengakibatkan proses perlindungan yang diberikan kemasan kepada produk lebih lemah sehingga produk lebih mudah rusak.
4.4. Aplikasi Kemasan pada Kerupuk Udang Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat diawali oleh hentakan mekanis. Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan (Arpah, 2001). Produk yang digunakan sebagai bahan yang dikemas yaitu kerupuk udang. Kerupuk udang dipilih karena mudah diuji, cepat rusak, dan berkadar air rendah karena film ini sangat mudah rusak apabila terkena air. Kerupuk udang juga cocok digunakan sebagai bahan uji karena cocok untuk menguji sifat permeabilitas film yang diproduksi. Parameter yang diuji yaitu kadar air, kekerasan bahan, dan kadar asam lemak bebas. Parameter kadar air dan kekerasan dapat dibandingkan dengan nilai permeabilitas film yang digunakan. Kerupuk udang yang telah digoreng dikemas dalam film yang telah dikelim lalu disimpan pada suhu ruang dan suhu 45°C. Pengujian dilakukan setiap hari selama tiga hari penyimpanan. Hasil yang diperoleh akan dibandingkan dengan hasil yang didapat dengan kerupuk udang yang dikemas dengan plastik PP karena kemasan inilah yang umumnya digunakan sebagai kemasan untuk kerupuk di pasaran.
22
4.4.1. Kadar Air Pengaruh kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari makanan. Hal ini karena faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat fisiko kimia, perubahan kimia (browning non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis (Winarno dan Jennie, 1984). Hasil pengujian dari kadar air kerupuk udang disajikan pada Gambar 10. A
B 10.0
10.0
Kadar Air (%)
8.0 7.0 6.0
Kerupuk tanpa kemasan Kemasan PP
5.0 4.0
Film Kitosan
3.0 2.0 1.0 0.0
Film Kitosan + EBP
9.0 8.0
Kadar Air (%)
9.0
7.0 6.0
Kerupuk tanpa kemasan Kemasan PP
5.0 4.0
Film Kitosan
3.0 2.0 1.0
Film Kitosan + EBP
0.0
0 1 2 3 0 1 2 3 Lama Penyimpanan (Hari) Lama Penyimpanan (Hari) Gambar 10. Kadar air kerupuk udang selama penyimpanan : (A) pada suhu kamar; (B) pada suhu 45°C
Kerupuk merupakan bahan kering yang bersifat higroskopis, yaitu mampu menyerap molekul air dari lingkungannya dengan baik. Hal ini menyebabkan penurunan mutu kerupuk sangat dipengaruhi oleh permeabilitas kemasannya karena permeabilitas kemasan akan sangat mempengaruhi jumlah uap air yang dapat masuk ke dalam kemasan. Gambar 10 menunjukkan bahwa kadar air dari kerupuk yang disimpan pada suhu kamar meningkat setiap harinya, bahkan kerupuk yang dikemas dengan film kitosan dan film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih memiliki nilai kadar air berturut-turut 8,69% dan 8,68% pada hari ke-3. Nilai ini hampir sama dengan kadar air kerupuk yang disimpan tanpa melalui pengemasan yaitu sebesar 8,99%. Hal ini dapat terjadi karena film tersebut memiliki nilai permeabilitas yang tinggi, nilai transmisi uap air dari film kitosan dan film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih berturut-turut adalah 132,29 g/m2/hari dan 126,55 g/m2/hari. Sementara kerupuk yang dikemas dengan plastik PP memiliki nilai kadar air yang paling rendah. Hal ini terjadi karena plastik PP mempunyai nilai permeabilitas yang rendah. Menurut Syarief dan Halid (1993), sifat PP yang lebih kaku dan tidak mudah sobek dibandingkan plastik PE (LDPE dan HDPE) menjadikan plastik PP cocok digunakan sebagai bahan pengemas produk makanan kering khususnya kerupuk yang mudah rusak. Gambar 10 juga menunjukkan bahwa kadar air kerupuk udang yang disimpan pada suhu kamar cenderung lebih tinggi daripada kadar air kerupuk udang yang disimpan pada suhu 45°C. Hal ini diduga terjadi karena kelembaban relatif dari tempat penyimpanan pada suhu 45°C cukup rendah sehingga tidak terjadi perpindahan uap air dari lingkungan ke kerupuk. Hal ini menyebabkan kadar air kerupuk tidak meningkat bahkan menurun karena kandungan air dari kerupuk justru berpindah ke lingkungan. Karakteristik film kitosan yang memiliki permeabilitas tinggi menyebabkan film ini sangat lemah dalam melindungi produk terhadap penurunan kualitas akibat pengaruh kadar air. Untuk mengurangi kemungkinan masuknya uap air dar lingkungan ke produk dapat dilakukan beberapa cara.
23
Cara yang pertama yaitu dengan menggunakan kemasan sekunder yang memiliki nilai permeabilitas yang rendah untuk mencegah masuknya uap air ke produk. Cara yang kedua yaitu dengan menambahkan gas yang bersifat inert, contohnya N2, ke dalam kemasan. Cara yang ketiga yaitu mengemas kerupuk tersebut dalam kemasan vakum.
4.4.2. Kerenyahan Kerenyahan merupakan parameter penting dalam menentukan mutu suatu bahan terutama bahan kering atau yang mengalami proses penggorengan. Kerenyahan juga merupakan ciri khas dari produk makanan ringan, contohnya kerupuk (Katz dan Labuza, 1981). Arpah (2001) menyatakan bahwa kerenyahan merupakan suatu perubahan sifat fisik pada bahan pangan akibat dari reaksi deteriorasi selama penyimpanan yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu. Tergantung pada tingkat deteriorasi yang berlangsung, perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan tidak dapat digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya atau bahkan tidak dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluarsa. Hasil pengujian nilai kerenyahan disajikan pada Gambar 11. A
B Kerupuk tanpa kemasan
Nilai kerenyahan (N)
3.5 3
Kemasan PP
2.5 2
Film Kitosan
1.5 1
Film Kitosan + EBP
0.5
4 Kerupuk tanpa kemasan
3.5
Nilai Kerenyahan (N)
4
3 Kemasan PP
2.5 2
Film Kitosan
1.5 1
Film Kitosan + EBP
0.5 0
0 0
1
2
3
0
1
2
3
Lama Penyimpanan (hari) Lama Penyimpanan (hari) Gambar 11. Nilai kerenyahan kerupuk udang selama penyimpanan : (A) pada suhu kamar; (B) pada suhu 45°C Parameter ini berhubungan erat dengan kadar air bahan. Semakin tinggi kadar air suatu bahan maka bahan tersebut semakin tidak renyah. Perubahan nilai kerenyahan terjadi karena adanya perpindahan uap air dari lingkungan ke dalam kemasan sehingga parameter ini juga bergantung pada nilai transmisi uap air kemasan yang dipakai. Nilai kerenyahan yang semakin tinggi mengakibatkan diperlukan tenaga yang lebih besar untuk mematahkan bahan tersebut. Katz dan Labuza (1981) menduga bahwa air melarutkan dan melunakkan matriks pati atau protein yang ada pada sebagian besar bahan pangan yang mengakibatkan perubahan kekuatan mekanik termasuk kerenyahan. Nilai pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin besar nilai yang diperoleh maka semakin besar gaya yang diperlukan untuk mematahkan kerupuk tersebut. Dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai yang diperoleh pada pengujian tersebut maka kerupuk tersebut semakin tidak renyah. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai kerenyahan kerupuk cenderung meningkat artinya yaitu kerupuk semakin tidak renyah selama penyimpanan. Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai kerenyahan kerupuk udang semakin menurun selama penyimpanan tetapi besar penurunan tersebut lebih besar pada kerupuk udang yang
24
disimpan pada suhu kamar. Hal ini dapat dipahami karena penurunan kadar air pada suhu kamar juga lebih kecil daripada penurunan kadar air pada suhu 45°C. Gambar 11 menunjukkan bahwa pada suhu kamar, penurunan nilai kerenyahan paling besar terdapat pada kerupuk yang tidak dikemas. Hal ini terjadi karena memang penurunan kadar air yang terbesar terdapat pada kerupuk yang tidak dikemas sebab udara tidak mendapat halangan untuk kontak dengan produk. Sementara nilai kerenyahan yang paling kecil terdapat pada kerupuk yang dikemas dengan plastik PP. Hal ini terjadi karena plastik PP merupakan kemasan yang paling rendah nilai permeabilitasnya dibandingkan dengan film kitosan yang digunakan. Gambar 11 menunjukkan bahwa penurunan nilai kerenyahan pada kerupuk yang disimpan pada suhu 45°C lebih kecil daripada kerupuk yang disimpan pada suhu kamar. Hal ini terjadi karena kadar air kerupuk terjaga pada suhu tersebut sehingga penurunan kerenyahannya juga kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang positif pada kerenyahan bahan.
4.4.3. Kadar Asam Lemak Bebas Kadar asam lemak bebas adalah nilai asam lemak bebas yang terdapat di dalam bahan. Parameter ini digunakan untuk menguji bahan yang digoreng karena bahan yang digoreng mengandung asam lemak yang berasal dari minyak goreng yang digunakan. Hasil pengujian kadar asam lemak bebas disajikan pada Gambar 12. A
B
9.0
9.0
Kerupuk tanpa kemasan
8.0 7.0
7.0 Kemasan PP
6.0 5.0 4.0
Film Kitosan
3.0 2.0
Kadar ALB (%)
Kadar ALB (%)
Kerupuk tanpa kemasan
8.0
Kemasan PP
6.0 5.0 4.0
Film Kitosan
3.0 2.0
Film Kitosan + EBP
1.0 0.0
Film Kitosan + EBP
1.0 0.0
0
1
2
3
0
1
2
3
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (hari) Gambar 12. Kadar asam lemak bebas kerupuk udang selama penyimpanan : (A) pada suhu kamar; (B) pada suhu 45°C Gambar 12 menunjukkan bahwa kadar asam lemak bebas mengalami peningkatan selama penyimpanan. Kerupuk yang dikemas pada film kitosan mengalami peningkatan kadar asam lemak bebas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk yang dikemas dengan PP. Hal ini terjadi karena permeabilitas film kitosan yang lebih besar daripada PP. Kerupuk yang dikemas di dalam PP mempunyai kadar asam lemak yang paling kecil dibandingkan dengan kerupuk yang dikemas dengan kemasan lain. Hal ini terjadi karena plastik PP mempunyai permeabilitas gas yang paling kecil dibandingkan dengan film kitosan sehingga proses oksidasi terjadi lebih lambat. Oksigen yang akan masuk ke dalam kemasan lebih mudah untuk masuk apabila permeabilitas gasnya besar sehingga peluang untuk terjadinya proses oksidasi juga lebih besar. Asam lemak bebas berasal dari asam lemak tidak jenuh pada bahan yang mengalami proses oksidasi oleh oksigen. Asam lemak bebas ini tidak disukai pada bahan karena selain mengakibatkan
25
rasa dan bau tidak enak, proses oksidasi ini juga dapat menurunkan nilai gizi karena kerusakan asam lemak esensial dalam lemak. Berbagai jenis minyak atau lemak akan mengalami perubahan flavor dan bau sebelum terjadi proses ketengikan. Hal ini dikenal sebagai reversion. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan dari reversion ini adalah suhu, cahaya atau penyinaran, tersedianya oksigen, dan adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi (Ketaren, 1989). Secara umum proses ketengikan lebih mempengaruhi penerimaan konsumen. Bau tengik yang dihasilkan oleh proses oksidasi ini dapat menyebabkan konsumen tidak menyukai produk tersebut. Selain itu juga ada kemungkinan terjadinya perubahan rasa produk akibat proses oksidasi yang juga mempengaruhi penerimaan konsumen. Kitosan dan bawang putih diketahui mempunyai antioksidan yang dapat mengikat radikal bebas. Antioksidan ini diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dengan mencegah terjadinya proses ketengikan. Kadar asam lemak bebas dari kerupuk yang dikemas dengan film kitosan lebih rendah dari kerupuk yang tidak dikemas tetapi masih lebih tinggi dari kadar asam lemak bebas dari kerupuk yang dikemas dengan PP. Hal ini diduga karena permeabilitas dari film kitosan yang besar sehingga walaupun film tersebut menghasilkan antioksidan tetapi proses oksidasi masih dapat terjadi. Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya proses ketengikan adalah dengan mencegah masuknya oksigen ke dalam kemasan sehingga proses oksidasi tidak terjadi. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan kemasan sekunder yang bersifat kedap, menambahkan gas inert ke dalam kemasan, atau mengemas produk dalam kondisi vakum.
26