IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Observasi Kondisi Terkini Pada tahun 2008 tercatat sebanyak 73 sumber benih bersertifikat di Kalimantan (Lampiran 1). Jumlah tersebut menjadi 42 sumber benih pada bulan Mei 2009 (Lampiran 2). Penurunan tersebut disebabkan habisnya masa berlalu 35 sertifikat yang terbit antara tahun 2003 dan awal 2004. Hanya 4 sertifikat yang diperpanjang, yang kesemuanya dikelola PT Inhutani III Sebuhur. Mengenai pemberian wewenang sertifikasi kepada Pemerintah Propinsi atau Kabupaten/Kota (Dinas), menurut BPTH Banjarbaru hingga bulan Juni 2009 belum ada Dinas yang siap dipandang dari segi ketersediaan tenaga penilai, sarana, dan anggaran, sehingga tahun ini sertifikasi masih akan dilakukan BPTH. Namun hingga bulan Juni 2009 belum ada Dinas yang mengajukan permohonan bantuan sertifikasi bagi pengelola sumber benih di wilayahnya. Hal ini antara lain disebabkan ketidaktahuan Dinas mengenai pelimpahan wewenang sertifikasi, sebab
BPTH belum menyelenggarakan sosialisasi mengenai
isi Permenhut
P.1/2009. Dari 5 Dinas Kabupaten/Kota dan 2 Dinas Propinsi yang menjadi subyek penelitian, hanya Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara yang sudah mengetahui adanya pelimpahan wewenang sertifikasi, namun masih menunggu terbitnya petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengenai pelaksanaan sertifikasi (rekap hasil wawancara dengan Dinas-dinas yang menjadi subyek penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4). Sosialisasi Permenhut P.1/2009 baru dilaksanakan di Banjarmasin pada bulan Juli 2009. B.
Efektivitas Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih Menurut Barnard dalam Mahoney (2002), suatu kegiatan disebut efektif
apabila suatu tujuan dilakukannya kegiatan dapat dicapai. Efektivitas dari kelompok (kumpulan individu) dicapai apabila tujuan kelompok tersebut dapat diwujudkan sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Dalam sertifikasi sumber benih, efektivitas dicapai apabila tujuan sertifikasi sumber benih dapat terwujud, yaitu terjaminnya kebenaran klasifikasi sumber benih (Permenhut No P.1/2009 pasal 44). Kebenaran klasifikasi sumber benih dapat terjamin apabila : 1) mekanisme sertifikasi
yang diatur dalam kebijakan benar-benar sesuai kebutuhan, artinya benar-benar terarah untuk menjamin kebenaran klasifikasi sumber benih; 2) implementasi kebijakan benar-benar sesuai kebijakan yang berlaku. Oleh karena itu, penilaian
efektivitas kelembagaan sertifikasi sumber benih dalam penelitian ini dilakukan berdasar analisis kebijakan dan implementasinya. Analisis kebijakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis isi, analisis terhadap implementasi kebijakan dan analisis kesenjangan. Sedangkan analisis terhadap implementasi kebijakan terdiri dari analisis peran, analisis terhadap hasil penilaian sertifikasi, dan analisis terhadap implementasi mekanisme sertifikasi. Penilaian efektivitas kelembagaan sertifikasi sumber benih dilakukan secara kualitatif. 1.
Analisis isi terhadap kebijakan sertifikasi sumber benih Analisis isi kebijakan dalam penelitian ini dilakukan berdasar aspek-aspek
standar dan kriteria penilaian sumber benih, mekanisme sertifikasi, serta pemantauan dan evaluasi dalam kegiatan pengadaan serta pengedaran benih dan/atau bibit. Masing-masing aspek di atas saling terkait, sehingga apabila terdapat kelemahan pada salah satu aspek akan mempengaruhi efektivitas sertifikasi sumber benih, seperti ditunjukkan oleh Gambar 7. Standar dan kriteria penilaian SB
Mekanisme sertifikasi SB
Pemantauan, evaluasi, dan pengendalian
Hasil : SERTIFIKAT SB
Pengawasan pengadaan dan peredaran benih
Tata usaha pengadaan benih
Pembinaan
Gambar 7. Hubungan antar aspek kebijakan dalam sertifikasi sumber benih Ada tiga peraturan perundangan utama yang berlaku dalam sejarah dinamika perbenihan tanaman hutan Indonesia pada masa reformasi, yaitu SK Menhut No 085/Kpts-II/2001, Permenhut P.10/2007, dan Permenhut No 1/2009. a.
Standar khusus sumber benih Sumber benih diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) kelas dengan standar
umum yang telah diuraikan pada Bab II. Masing-masing kelas memiliki kriteria yang berbeda. Untuk kelas sumber benih TBT dan TBS, tidak ada perbedaan standar khusus dalam SK Menhut No 085/Kpts-II/2001, Permenhut P.10/2007 (dijabarkan dalam Peraturan Dirjen RLPS No P.03/V-PTH/2007), dan Permenhut
No P.1/2009. Perbedaan standar khusus sumber benih terdapat pada kelas sumber benih TBP, KBS, KBK, dan KP. Peraturan yang berlaku akan lebih efektif apabila memuat ketentuanketentuan yang dapat menjamin kebenaran kelas sumber benih, seperti jumlah pohon induk, prosedur uji keturunan, dan sebagainya. Ada tidaknya ketentuan yang menjamin kebenaran kelas sumber benih dianalisis dengan metode analisis biner, di mana apabila peraturan tersebut memuat satu pokok ketentuan maka mendapat nilai (skor) 1 (satu), dan apabila tidak memuat ketentuan tersebut maka mendapat skor 0 (nol). Tujuan dilakukannya analisis biner ini adalah menilai efektivitas kebijakan sertifikasi sumber benih berdasarkan kesesuaian isinya dengan tujuan sertifikasi, yaitu menjamin kebenaran kelas sumber benih. Hasil analisis biner tersebut disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis biner tersebut secara kuantitatif menunjukkan bahwa Permenhut No P.1/2009 memperoleh nilai tertinggi untuk kelengkapan ketentuan yang bertujuan menjamin kebenaran kelas sumber benih. Sedangkan secara kualitatif, Permenhut No P.1/2009 juga lebih ketat dalam menetapkan standar sumber benih, yaitu pada ketentuan-ketentuan berikut : 1. Jumlah minimal pohon induk setelah penjarangan pada kelas TBS, APB, TBP, KBS, dan KBK, di mana Permenhut P.1/2009 menetapkan minimal 25 pohon, sedang kebijakan-kebijakan sebelumnya menetapkan 20 pohon. 2. Ada rincian prosedur uji provenan, evaluasi fenotip, dan evaluasi genotip pada sumber benih TBP, KBS, dan KBK. 3. Untuk KBK harus dilakukan uji genotip. Ini berbeda dengan ketentuan SK Dirjen RLPS No 101/2002 yang memperbolehkan uji fenotip apabila uji genotip tidak bisa dilakukan. Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007 mendapat nilai terendah dalam analisis biner, sebab sebagai penjabaran Permenhut No P.10/2007, Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007 hanya menjabarkan ketentuan sertifikasi sumber benih TBT, TBS, dan APB. Menurut Permenhut No P.10/2007, yang berwenang menerbitkan pedoman sertifikasi sumber benih untuk TBP, KBS, KBK, dan KP adalah Balitbanghut. Namun hingga terbit Permenhut No P.1/2009, pedoman dari Balitbanghut belum terbit.
Tabel 3. Hasil analisis biner mengenai ada tidaknya ketentuan yang menjamin kebenaran kelas sumber benih dalam kebijakan yang berlaku No
1
2
3
Kelas Sumber Benih TBT
TBS
APB
Ketentuan
1 1
Ada tidaknya ketentuan dalam kebijakan Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007 Ada/ Skor Keterangan tidak HA atau HT ada 1 HA atau HT tidak diketahui ada 1 tidak diketahui
Ada/ tidak ada ada
SK Dirjen RLPS No 101/2002 Skor Keterangan
Permenhut No P.1/2009
a. Asal-usul tegakan b. Asal usul benih
Ada/ tidak ada ada
c. Jumlah minimal pohon induk d. Kualitas tegakan a. Asal-usul tegakan b. Asal usul benih
ada ada ada ada
1 1 1 1
25 sedang HA atau HT tidak diketahui
ada ada ada ada
1 1 1 1
25 rata-rata HA atau HT tidak diketahui
ada ada ada ada
1 1 1 1
c. Jumlah minimal pohon induk d. Kualitas tegakan
ada ada
1 1
25 di atas rata-rata
ada ada
1 1
25 di atas rata-rata
ada ada
1 1
e. Penjarangan terbatas
ada
1
Pada pohon jelek
ada
1
pada pohon jelek
ada
1
a. Asal-usul tegakan b. Asal usul benih
ada ada
1 1
ada ada
1 1
1 1
ada ada
1 1
ada ada
1 1
HA atau HT sebaiknya diketahui 25 20
ada ada
c. Jumlah minimal pohon induk d. Jumlah minimal pohon setelah penjarangan d. Kualitas tegakan e. Jalur isolasi f. Penjarangan untuk mempertahankan pohonpohon terbaik
HA atau HT sebaiknya diketahui 25 20
ada ada
1 1
ada ada ada
1 1 1
ada ada ada
1 1 1
di atas TBS perlu
ada ada ada
1 1 1
Di atas TBS perlu
Skor
Keterangan
1 1
HA atau HT tidak diketahui 25 Rata-rata HA atau HT tidak diketahui 25 di atas ratarata pada pohon jelek HA atau HT sebaiknya diketahui 25 25 di atas TBS perlu
No
4
Kelas Sumber Benih TBP
Ketentuan
a. Asal-usul tegakan b. Asal usul benih dari satu provenan terbaik hasil uji provenan c. Prosedur uji provenan dalam pembangunan sumber benih (Pembangunan uji provenan, penilaian dan analisis provenan, seleksi dan pengumpulan benih hasil uji provenan) d. Jumlah minimal pohon induk e.Jumlah minimal pohon setelah penjarangan f. Kualitas tegakan g. Jalur isolasi h. Sistem penjarangan
5
KBS
a. Asal-usul tegakan b. Asal-usul materi genetik c. Penggolongan KBS berdasar sistem evaluasi pohon induk
Ada/ tidak ada ada
SK Dirjen RLPS No 101/2002 Sk Keterangan or 1 HT 1
Tidak ada
0
ada ada ada
1 1 1
ada
1
Tidak ada ada
0 1
ada
1
Tidak ada
0
Ada tidaknya ketentuan dalam kebijakan Peraturan Dirjen RLPS No Permenhut No P.1/2009 P.3/2007 Ada/ tidak Skor Keterangan Ada/ Sko Keterangan ada Tidak ada r Tidak ada 0 ada 1 HT Tidak ada 0 ada 1 Tidak ada
0
ada
1
25 20 di atas APB
Tidak ada Tidak ada Tidak ada
0 0 0
ada ada ada
1 1 1
perlu
Tidak ada
0
ada
1
Tidak ada
0
ada
1
HT
Tidak ada
0
ada
1
Asal usul benih dari pohon plus
Tidak ada
0
ada
1
Tidak ada
0
ada
1
Tercantum dalam ilustrasi Gambar 4 Lampiran 1 25 25 di atas APB perlu Seleksi massa HA atau HT Asal usul famili dari pohon plus KBS Seleksi Massa, KBS Uji Keturunan
No
Kelas Sumber Benih
5
6
Ketentuan
d.Jumlah minimal pohon setelah penjarangan e. Kualitas genotip
KBK
Ada tidaknya ketentuan dalam kebijakan Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007 Ada/ Skor Keterangan Ada/ tidak Tidak Tidak 0 ada ada baik Tidak 0 ada ada perlu Tidak 0 ada ada Evaluasi genotip, Tidak 0 ada jika tidak bisa ada genotip dilakukan evaluasi fenotip HT Tidak 0 ada ada Asal usul benih Tidak 0 ada dari pohon plus ada Evaluasi genotip, Tidak 0 ada kadang fenotip ada
SK Dirjen RLPS No 101/2002 Ada/ tidak Skor Keterangan ada ada 1 20 famili ada
1
e. Jalur isolasi
ada
1
f. Dasar melakukan penjarangan /seleksi pohon induk
ada
1
a. Asal-usul tegakan
ada
1
b. Asal-usul materi genetik
ada
1
c. Dasar melakukan penjarangan/ seleksi pohon induk d. Prosedur seleksi pohon induk
ada
1
Tidak ada
0
Tidak ada
0
ada
Permenhut No P.1/2009 Skor
Keterangan
1
25 famili
1
baik
1
perlu
1
Evaluasi genotip, jika tidak bisa genotip dilakukan evaluasi fenotip per famili HA atau HT
1 1 1 1
Asal usul klon dari pohon plus Evaluasi genotip Penanaman uji keturunan, evaluasi genotip, analisis genotip, penebangan klon jelek
N o
Kelas Sumber Benih
6
7
KP
Ketentuan SK Dirjen RLPS No 101/2002 Ada/ tidak Skor Keterangan
Ada tidaknya ketentuan dalam kebijakan Peraturan Dirjen RLPS No Permenhut No P.1/2009 P.3/2007 Ada/ Skor Keterangan Ada/ Skor Keterangan tidak Tidak Tidak ada 0 ada 1 25 klon
e.Jumlah minimal pohon setelah penjarangan f. Kualitas genotip g. Jalur isolasi a. Asal-usul bahan tanaman/pohon induk b. asal-usul materi genetik
ada
1
20 klon
ada ada ada
1 1 1
baik perlu HT
Tidak ada Tidak ada Tidak ada
0 0 0
ada ada ada
1 1 1
baik perlu KBK atau KBS
ada
1
Tidak ada
0
ada
1
c.Jumlah minimal pohon setelah penjarangan d. Kualitas genotip e. Jalur isolasi f. Perlakuan (pemangkasan, pemupukan dan perlakuan lain untuk meningkatkan produksi, penggantian stek tua) Jumlah skor
ada
1
Asal usul benih dari pohon plus 20 klon
Tidak ada
0
ada
1
Asal usul klon dari pohon plus 25 klon atau famili
ada ada ada
1 1 1
Tidak ada Tidak ada Tidak ada
0 0 0
ada ada ada
1 1 1
Keterangan : HA : hutan alam, HT : hutan tanaman
38
baik Tidak perlu
15
42
baik Tidak perlu
Meski hasil analisis membuktikan bahwa Permenhut P.1/2009 lebih tinggi nilainya daripada SK Menhut No 085/2001 dalam menjamin efektivitas sertifikasi sumber benih, menurut Balitbanghut masih terdapat kesenjangan antara kebijakan dalam Permenhut P.1/2009 dengan standar kondisi ideal sumber benih yang benar-benar mampu menjamin mutu produk agar sesuai dengan klasifikasinya. Usulan Balitbanghut selengkapnya mengenai revisi Permenhut No P.1/2009 mengenai standar khusus sumber benih dapat dilihat pada Lampiran 8. Revisi Balitbanghut ini terutama menekankan pada : 1. Keharusan menggunakan informasi hasil uji keturunan sebagai dasar dalam menentukan metode seleksi dalam penjarangan pada kelas sumber benih KBS. Sementara pada Permenhut No P.1/2009 penjarangan tidak harus didasarkan pada hasil uji keturunan, namun bisa berdasarkan hasil penampakan famili. 2. Materi vegetatif (klon) pada KBK idealnya berasal dari pohon plus hasil uji keturunan. Sementara Permenhut No P.1/2009 hanya mensyaratkan asal-usul klon dari pohon plus di hutan alam maupun hutan tanaman. 3. KP harus dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari klon unggul hasil uji klon, sebab apabila KP dibangun dari materi generatif, keturunannya tidak akan menurunkan seluruh keunggulan karakter induknya karena masih merupakan hasil persilangan. Dari hasil analisis isi dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang berlaku saat ini (Permenhut No P.1/2009) masih perlu disempurnakan agar dapat benarbenar menjamin kebenaran kelas sumber benih dan mutu produknya, namun ketentuan yang ada sudah terarah pada upaya menjamin kebenaran kelas sumber benih. b. Mekanisme penerbitan sertifikasi sumber benih Sejak munculnya kebijakan mengenai sertifikasi sumber benih tanaman hutan, yaitu SK Menhut No 085/KPTS-II/2001 hingga Permenhut No P.1/2009, ada 3 (tiga) macam prosedur penerbitan sertifikasi yang diberlakukan, yaitu : 1)
Tahun 2002-2007 Berdasar Keputusan Dirjen RLPS No 101/Kpts/V/2002 tentang Pedoman Sertifikasi Sumber Benih, prosedur penerbitan sertifikasi sumber benih adalah sebagai berikut :
Pengelola SB
1) permohonan
rekomendasi (1 hari)
Dinas
7) Pengelola menyetujui hasil deskripsi (1 hari)
Pemberitahuan penolakan
2) penerbitan rekomendasi (1 hari)
ditolak 5) identifikasi SB ( 1 hari)
4) Pembentukan tim ( 1 hari)
3) permohonan sertifikasi (1 hari)
Tim penilai sertifikasi SB
BPTH Banjarbaru
diterima 6) deskripsi SB (1-2 hari)
Pemberitahuan penolakan
ditolak
(1 hari) 9) Penerbitan sertifikat SB (1 hari)
diterima
8) Penyampaian laporan deskripsi dan rekomendasi (1 hari)
10) Pemberitahuan (1 hari)
Gambar 8. Skema- prosedur sertifikasi sumber benih tahun 2002 – 2007 (sumber : Lampiran 2 SK Dirjen RLPS No 101/Kpts/V/2002) Dalam gambar di atas, nampak bahwa ada 10 tahapan yang harus dilakukan dalam sertifikasi sumber benih, dan diperkirakan memerlukan waktu 10-11 hari. Dalam kenyataan, karena tim penilai sertifikasi merupakan staf BPTH, hanya 2 (dua) instansi yang terlibat dalam sertifikasi (selain pengelola sumber benih). Sedangkan realisasi waktu yang diperlukan sejak permohonan rekomendasi ke
Dinas hingga pemberitahuan penerbitan
sertifikat umumnya lebih dari satu bulan (Falah, et al., 2007). Lamanya waktu ini dipengaruhi oleh kecepatan pengelolaan administrasi di BPTH dalam perijinan dan pembiayaan perjalanan, serta jarak antara lokasi sumber benih dengan Banjarbarubirokrasi dalam pencairan anggaran BPTH untuk merealisasikan kegiatan setifikasi. Mekanisme di atas disusun dengan asumsi pengelola sumber benih memiliki informasi mengenai manfaat dan prosedur sertifikasi, sehingga memiliki motivasi untuk mengajukan permohonan sertifikasi. Dalam
kenyataannya, sebelum tahun 2007, BPTH Banjarbaru yang berprakarsa melakukan pendekatan, memberi informasi, dan meminta pengelola sumber benih agar mengajukan permohonan sertifikasi. Sebelum menghubungi pengelola sumber benih, BPTH Banjarbaru sudah melakukan semacam survei terlebih dahulu mengenai kelayakan sumber benih tersebut, sehingga hasilnya adalah tidak ada permohonan sertifikasi SB yang ditolak (hasil wawancara dengan BPTH mengenai pelaksanaan sertifikasi dapat dilihat pada Lampiran 3). 2) Tahun 2007 -2009 Permenhut No P.10/2007 diterbitkan berdasar pertimbangan bahwa SK Menhut No 085/Kpts-II/2001 belum mampu menampung perkembangan perbenihan tanaman hutan (Permenhut No P.10/2007). Kebijakan prioritas Departemen Kehutanan sejak tahun 2003 yang meliputi revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan serta rehabilitasi sumberdaya hutan, menimbulkan peningkatan dinamika pembuatan hutan tanaman baik untuk tujuan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) maupun untuk tujuan industri (Ditjen RLPS, 2007). Berdasar Peraturan Dirjen RLPS No 3/PTH-V/2007 sebagai penjabaran dari Permenhut No P.10/2007 mengenai Sertifikasi Sumber Benih, ada dua macam prosedur sertifikasi, yaitu untuk sumber benih kelas rendah (TBT, TBS, dan APB), dan untuk sumber benih kelas tinggi (TBP, KBS, KBK, dan KP). Perbedaan utamanya adalah pada komposisi anggota tim penilai. Untuk sumber benih kelas rendah, tim penilai dibentuk oleh Kepala BPTH dan terdiri dari staf BPTH, UPT Balitbanghut, dan/atau tenaga pakar di bidang sertifikasi sumber benih. Sedangkan untuk SB kelas tinggi, tim penilai dibentuk oleh Kepala Puslitbang Hutan Tanaman dan melibatkan BPTH dan/atau tenaga pakar di bidangnya. Prosedur sertifikasi SB kelas rendah berdasar Peraturan Dirjen RLPS No P.3/PTH-V/2007 sama dengan prosedur sertifikasi SB menurut SK Dirjen RLPS No 101/Kpts-V/2002. Sedangkan prosedur sertifikasi untuk SB kelas tinggi menurut Peraturan Dirjen RLPS No P.3/PTH-V/2007 adalah sebagai berikut :
Pengelola SB
Dinas
ditolak 1) permohonan
2) penerbitan rekomendasi (1 hari)
rekomendasi (1 hari)
Balitbanghut
BPTH Banjarbaru
4) Permintaan bantuan tim penilai (1 hari)
5) Pembentukan tim penilai SB (1 hari) 6) identifikasi SB ( 1 hari)
3) permohonan sertifikasi (1 hari)
diterima
8) Pengelola menyetujui hasil deskripsi (1 hari)
Pemberitahuan penolakan
10) Penerbitan sertifikat SB (1 hari)
11) Pemberitahuan (1 hari)
ditolak
7) deskripsi SB (1-2 hari)
9) Penyampaian laporan deskripsi dan diterima rekomendasi (1 hari)
Gambar 9. Prosedur sertifikasi sumber benih kelas TBP, KBS, KBK, dan KP menurut Peraturan Dirjen RLPS No P.3/ 2007 Berdasarkan Peraturan Dirjen RLPS No P.3/ 2007, standar operasional prosedur (SOP) sertifikasi untuk TBT, TBS dan APB terdiri dari 10 tahapan, memerlukan waktu 10-11 hari operasional, dan melibatkan 2 instansi (sama dengan SK Dirjen RLPS No 101/2002). Sedangkan untuk TBP, KBS, KBK, dan KP terdiri dari 11 tahapan, melibatkan 3 instansi, dan memerlukan waktu 11-12 hari operasional sejak permohonan rekomendasi ke Dinas hingga terbitnya sertifikat. Dalam kenyataan, waktunya bisa mencapai sebulan atau lebih tergantung pada kecepatan pengelolaan administrasi di BPTH dalam perijinan dan pembiayaan perjalanan, serta jarak antara lokasi sumber benih dengan Banjarbaru. Dalam kenyataannya pula, tim penilai sertifikasi dari BPTH Banjarbaru hanya terdiri dari staf BPTH dan Dinas setempat, tanpa melibatkan unsur pakar (perguruan tinggi atau litbang), sebab permohonan sertifikasi yang diterima setelah 2007 hanya untuk SB kelas rendah. Hanya PT Inhutani III yang mengajukan permohonan perpanjangan sertifikasi SB kelas
tinggi, dan sudah memiliki hasil penilaian uji keturunan yang dilakukan Balitbanghut, sehingga BPTH tidak perlu melakukan uji keturunan lagi. 3)
Tahun 2009 Permenhut P.1/2009 diterbitkan sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah (PP) No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota, di mana sub bidang perbenihan tanaman hutan merupakan salah satu dari urusan pilihan yang diserahkan kewenangannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Oleh karena itu dpandang perlu dilakukan pengaturan kembali Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan dengan menetapkan Permenhut P.1/2009. Semangat desentralisasi terlihat dalam prosedur sertifikasi sumber benih yang tercantum dalam Lampiran 7 Permenhut P.1/2009 (Gambar 11), di mana instansi utama yang memiliki wewenang untuk melakukan sertifikasi adalah Dinas Kabupaten/Kota. Berikut adalah pemegang kewenangan melakukan sertifikasi sumber benih berdasar Permenhut No P.01/2009 pasal 45 dan 51 : 1. Dinas Kabupaten/Kota melakukan sertifikasi terhadap sumber benih di wilayahnya: 2. Dinas Propinsi melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas Kehutanan atau tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan. 3. BPTH melakukan sertifikasi di wilayah Propinsi terhadap Propinsi dan Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas atau Kabupaten/Kota tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan.
Pengelola SB
Dinas Kabupaten /Kota
Dinas Kab./Kota, Dinas Propinsi atau BPTH Banjarbaru
Tim penilai (Dinas, BPTH, pakar) ditolak
1) permohonan sertifikasi (1 hari)
2) permohonan bantuan sertifikasi (1 hari)
3)
4) identifikasi SB ( 1 hari)
Pembentukan tim penilai SB (1 hari)
diterima 6) Pengelola menyetujui hasil deskripsi (1 hari)
5) deskripsi SB (1-2 hari)
Pemberitahuan penolakan
8) Penerbitan sertifikat SB (1 hari)
ditolak diterima
7) Penyampaian laporan deskripsi dan rekomendasi (1 hari)
9) Pemberitahuan (1 hari)
Gambar 10. Prosedur sertifikasi sumber benih menurut Permenhut No P.1/ 2009 Berdasar Gambar 10, nampak bahwa ada 9 tahapan yang harus dilakukan dalam sertifikasi sumber benih, melibatkan 1hingga 3 instansi, dan diperkirakan memerlukan waktu 9-10 hari. Sertifikasi sumber benih berdasar Permenhut No P.1/ 2009 hingga tahun 2010 ini belum direalisasikan di Kalimantan. Dinamika mekanisme sertifikasi dalam kebijakan pemerintah antara tahun 2002 hingga 2009 disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan mekanisme sertifikasi berdasar Keputusan Dirjen RLPS No 101/Kpts/V/2002, Peraturan Dirjen RLPS No 3/PTHV/2007, dan Permenhut No 01/2009 Aspek
Jumlah instansi yang terkait dalam prosedur Jumlah tahapan prosedur Lamanya waktu sertifikasi
Peraturan Dirjen RLPS No 101//2002 2
10 10-11 hari
Peraturan Dirjen RLPS No 3/PTH-V/2007 2 (TBT, TBS, APB) 3 (TBP, KBS, KBK, KP) 10 (TBT, TBS, APB) 11 (TBP, KBS, KBK, KP) 10 -11 hari (TBT, TBS, APB) 11-12 hari (TBP, KBS, KBK, KP)
Instansi yang BPTH berhak melakukan sertifikasi
BPTH atau lembaga terakreditasi
Instansi pengakreditasi lembaga sertifikasi
-
BPTH
Tim Penilai
BPTH
BPTH dan Litbang
Distribusi biaya
BPTH
BPTH
Sarana penilaian
BPTH
BPTH
Permenhut No P.01/2009
Implikasi Permenhut P.1/2009
• Posisi Dinas yang lebih dekat dengan pengelola SB dan rantai prosedur yang lebih pendek akan lebih hemat dari segi waktu, tenaga, dan biaya bagi pengelola sumber benih 9 • Keterbatasan anggaran BPTH dalam menjangkau perjalanan sertifikasi ke seluruh wilayah Kalimantan 9-10 hari tidak lagi menjadi hambatan dalam melakukan sertifikasi Dinas atau BPTH Agar dapat melaksanakan sertifikasi secara efektif, Dinas harus memiliki sumber daya manusia dan sarana penilai sesuai standar khusus yang ditetapkan dalam Permenhut P.1/2009 Belum ada Menurut PP 38/2007, akreditasi lembaga sertifikasi ketentuan teknis merupakan wewenang Pemerintah Pusat (Dephut), sehingga perlu ada ketentuan mengenai instansi pengakreditasi yang dapat menilai kelayakan Dinas dalam melakukan sertifikasi Dinas, BPTH, Pelibatan Litbang atau pakar yang kompeten akan lebih dan pakar menjamin efektivitas sertifikasi sumber benih BPTH/Dinas, Beban biaya yang terdistribusi seimbang akan pemohon memperlancar birokrasi pengajuan anggaran sertifikasi Dinas, pemohon Mengurangi beban instansi penerbit sertifikat sehingga diharapkan memperlacar birokrasi 1 sampai 3
49
2. Analisis implementasi kebijakan sertifikasi sumber benih Dalam penelitian ini, analisis terhadap implementasi kebijakan terdiri dari analisis terhadap hasil penilaian sertifikasi, dan analisis terhadap implementasi mekanisme sertifikasi, dan analisis peran para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait. Hasil dan pembahasan masing-masing analisis disajikan dalam uraian berikut ini. a.
Analisis terhadap hasil penilaian sertifikasi Analisis terhadap hasil penilaian sertifikasi dilakukan untuk mengetahui
efektivitas penilaian sertifikasi sumber benih yang dilakukan oleh BPTH Banjarbaru. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan mutu tanaman yang benihnya berasal dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat. Sertifikasi sumber benih dilakukan untuk menjamin kebenaran klasifikasi sumber benih berdasarkan kualitas genetik. Mutu genetis benih berkaitan dengan kegiatan pemuliaan pohon dan menunjukkan tingkat kemurnian varietas benih atau tingkat keterwakilan keragaman genetik suatu sumber benih (Leksono, et al, 2007). Oleh karena itu analisis perbandingan mutu sumber benih dilakukan dengan membandingkan hasil-hasil pengujian mutu genetis benih dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat. Data diperoleh dari hasil uji perolehan genetik riil (realized genetic gain) pada benih Acacia mangium yang dilakukan oleh peneliti dari Badan Litbang Kehutanan (Leksono, et al., 2007) di Wonogiri (Jawa Tengah), Benakat (Sumatera Selatan), dan Riam Kiwa (Kalimantan Selatan). Pada ketiga lokasi tersebut diperbandingkan perolehan genetik antara lain dari Kebun Benih Semai (KBS) Pelaihari yang dikelola PT Inhutani III (bersertifikat Tegakan Benih Provenans atau TBP), dengan Areal Produksi Benih (APB) Riam Kiwa yang belum disertifikasi BPTH. Perolehan genetik (genetic gains) merupakan respon dari adanya seleksi, sedangkan seleksi didasarkan pada prinsip bahwa nilai genetik rata-rata dari individu yang terseleksi akan lebih baik dibandingkan dengan nilai rata-rata seluruh individu dalam populasi. Uji perolehan genetik (genetic gain trial) diperlukan agar dapat diketahui perbaikan produktivitas yang dihasilkan dari benih unggul dibandingkan dengan benih yang berasal dari sumber benih yang belum termuliakan (unimproved seed). Pada uji tersebut, tanaman diukur pada
50 umur dua tahun, yang meliputi sifat pertumbuhan pohon (tinggi pohon, diameter batang, dan bentuk batang). Data hasil pengujian perolehan genetik dalam penelitian Leksono et l (2007) tersebut disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata pertumbuhan dan bentuk batang, serta tingkat perolehan perbaikan genetik berdasarkan kelompok sumber benih pada uji genetik A.mangium umur 2 tahun di tiga lokasi No
Kelompok sumber benih
Rata-rata pertumbuhan dan tingkat perolehan perbaikan genetik Jawa Tengah
1.
5,1 (22,5%) 4,2
6,2 (21,8%) 5,1
7,7 (14,7%) 6,7
5,1 (19,6%) 4,2
5,6 (23,9%) 4,5
6,6 (10,4%) 6,0
2,9 (21,9%) 2,4
3,2 (18,7%) 2,7
2,4 (21,0%) 2,0
Diameter batang (cm) KBS APB
3.
Kalimantan Selatan
Tinggi pohon (m) : KBS APB
2.
Sumatera Selatan
Bentuk batang KBS APB
(sumber : Leksono, et al., 2007). Keterangan : nilai dalam kurung pada Tabel 5 adalah tingkat perolehan perbaikan genetik.
Tabel 5 menunjukkan bahwa pertumbuhan pohon dan bentuk batang tanaman yang berasal dari KBS lebih baik daripada APB, dengan tingkat perolehan genetik berkisar antara 14% – 22% untuk tinggi tanaman, 10%-24% untuk diameter batang, dan 18%-22% untuk bentuk batang. Kualitas benih yang dihasilkan oleh KBS bergantung pada basis genetik dari materi yang digunakan dan ketepatan sistem seleksi yang diterapkan pada kebun benih tersebut. Hasil penelitian Leksono et al. (2007) tersebut menunjukkan bahwa KBS yang telah disertifikasi sudah berada pada jalur strategi pengelolaan yang tepat sehingga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi daripada APB non sertifikat. Selain itu KBS tersebut juga dibangun menggunakan materi genetik yang berasal dari dua provenans (Papua Nugini dan Queensland Utara), dibanding APB Riam Kiwa yang dibangun menggunakan materi genetik dari APB Subanjeriji (Sumatera Selatan), yang provenansinya hanya berasal dari Queensland Selatan (basis genetik lebih sempit).
51 Hasil pengujian mutu genetis benih Acacia mangium di atas memperlihatkan dua hal : 1) tanaman yang benihnya berasal dari sumber benih bersertifikat lebih tinggi mutu genetisnya dibanding sumber benih non sertifikat; 2) bahwa secara umum tanaman yang menggunakan benih unggul dari KBS mempunyai pertumbuhan pohon yang jauh lebih baik dibanding APB. Data hasil pengujian mutu sumber benih TBT, TBS, dan APB belum berhasil diperoleh, baik di BPTH Banjarbaru, Balitbanghut, internet, Universitas Mulawarman, maupun HTI. Pengujian mutu benih produk sumber benih bersertifikat tidak dapat dilakukan karena pada waktu pengambilan data, benih tidak berhasil diperoleh (bukan musim panen benih). Di sisi lain, belum tentu benih yang berasal dari sumber benih bersertifikat TBT lebih baik mutunya daripada sumber benih non sertifikat yang berasal dari hutan alam. Beberapa areal hutan alam yang berpotensi sebagai sumber benih namun belum diajukan permohonan sertifikasi karena pengelola sumber benih : a). belum pernah melakukan inventarisasi potensi sumber benih; b) belum mengetahui manfaat sertifikasi;
dan c) belum mengetahui mekanisme dan biaya sertifikasi. Hasil
wawancara dengan Dinas Kehutanan Kutai Kartanegara yang mempunyai potensi sumber benih nyamplung (Calophylum inophylum) yang belum disertifikasi, serta staf PT Inhutani I yang memiliki sumber benih Acacia mangium dan Shorea laevis (keduanya belum disertifikasi) dapat dilihat pada Lampiran 5. b.
Analisis terhadap implementasi mekanisme sertifikasi sumber benih Meskipun dari hasil analisis isi dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang
berlaku maish perlu disempurnakan agar dapat benar-benar menjamin kebenaran kelas sumber benih dan mutu produknya, namun ketentuan yang ada sudah terarah pada upaya menjamin kebenaran kelas sumber benih. Namun apakah kebijakan tersebut dapat mencapai tujuan atau tidak tergantung pada implementasinya. Untuk mengetahui implementasi kebijakan dalam mekanisme penilaian sertifikasi oleh BPTH Banjarbaru,
dilakukan telaah pangkalan data (database) hasil
penilaian sertifikasi sumber benih. Hasil analisis dibagi menjadi dua kategori, yaitu untuk kategori sumber benih TBP, KBS, KBK, dan KP, dan untuk kategori sumber benih kelas TBT, TBS, dan APB.
52
1). Sumber benih kelas TBP, KBS, KBK, dan KP Di wilayah Kalimantan terdapat 5 TB Provenans, 5 Kebun Benih (dalam pangkalan data BPTH disebutkan 1 KB Provenans, sedang empat yang lain tidak menyebutkan Kebun Benih Klon atau Kebun Benih Semai), dan 1 Kebun Pangkas (KP). Penulis melakukan telaah pada. Hasil telaah disajikan pada Tabel 6. Sementara jenis uji yang dilakukan BPTH pada sumber benih dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 6. Hasil telaah pangkalan data penilaian sertifikasi sumber benih kelas TBP, KB, dan KP yang dilakukan oleh BPTH Banjarbaru No
Aspek
Uraian TB Provenans
1.
Pengelola
2.
Tim penilai sertifikasi
3.
Tahun terbit sertifikasi Uji yang dilakukan dalam penilaian sertifikasi Dasar penilaian sertifikasi Status sertifikat pada tahun 2009
4.
5. 9.
Kebun Pangkas PT Inhutani III PT Inhutani II dan PT ITCI PT Inhutani III Kartika Utama BPTH BPTH Banjarbaru BPTH Banjarbaru dan Banjarbaru Balitbanghut 2003 2003 2005 Uji provenans
Kebun Benih
Tanpa uji
Tanpa uji
SK Menhut No 085/Kpts-II/2001 Diperpanjang pada tahun 2008
Tidak diperpanjang
Masih berlaku hingga 2010
Karena sertifikasi sumber benih TBP, KB, dan KP di atas dilakukan berdasar SK Menhut No 085/Kpts-II/2001 yang tidak menjelaskan secara rinci prosedur seleksi materi genetik/vegetatif dalam pembangunan sumber benih, sehingga dapat disimpulkan bahwa BPTH Banjarbaru tidak melakukan penyimpangan kelemahan
prosedur.
peraturan
Kelemahan
perundangan
penilaian yang
sertifikasi
berlaku.
terjadi
Permenhut
karena
P.10/2007
dimaksudkan sebagai perbaikan dari SK Menhut No 085/Kpts-II/2001, namun ternyata pedoman teknis penilaian SB TBP, KBS, KBK, dan KP sebagai penjabaran Permenhut P.10/2007 belum diterbitkan hingga muncul Permenhut P.1/2009.
53
2). Sumber benih kelas TBT, TBS, dan APB Telaah terhadap hasil penilaian BPTH Banjarbaru untuk sertifikasi TB Teridentifikasi TB Terseleksi, dan APB menunjukkan bahwa BPTH Banjarbaru melakukan penilaian sesuai standar dan kriteria yang ditetapkan dalam SK Menhut No 085/Kpts-II/2001 maupun Peraturan Dirjen RLPS No P.03/PTH/2007 mengenai Sertifikasi Sumber Benih. Meskipun jumlah pohon induk tidak dicantumkan dalam database hasil penilaian, tersedia peta pohon induk dan hasil observasi di lapangan juga menemukan pohon induk yang telah ditandai BPTH. Namun khusus untuk TB Teridentifikasi meranti, meskipun memenuhi kriteria jumlah 25 pohon induk meranti namun jenis meranti yang dijumpai berbeda-beda (Atmoko et al., 2008). Padahal dalam sertifikat disebutkan sumber benih meranti secara umum (Shorea spp), bukan salah satu jenis. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan pengenalan jenis tenaga penilai dari BPTH. Hasil telaah pangkalan data sertifikasi sumber benih di atas menunjukkan adanya kelemahan BPTH Banjarbaru dalam hal penilaian sertifikasi sumber benih kelas TBP, KBS, KBK, dan KP. Kelemahan tersebut antara lain disebabkan ketiadaan tenaga penilai serta sarana penilai yang mampu/layak untuk melakukan uji genetis. Di BPTH Banjarbaru, hingga tahun 2008 terdapat 19 tenaga fungsional yang bertugas melakukan sertifikasi sumber benih. Tenaga fungsional tersebut berstatus Pengelola Ekosistem Hutan (PEH), bukan tenaga fungsional perbenihan secara khusus (BPTH Banjarbaru, 2008). Hingga tahun 2008 belum ada staf yang memiliki kemampuan untuk melakukan uji genetis atau pelacakan dokumen asal usul benih. BPTH Banjarbaru memiliki sarana penilaian sertifikasi sumber benih dan mutu benih sesuai standar yang ditetapkan dalam Permenhut P.1/2009, namun belum memiliki sumber daya manusia dan sarana untuk melakukan uji genetis. Uji genetis diperlukan apabila asal usul benih atau pohon plus tidak dapat terlacak dari dokumen yang ada. Standar sarana penilaian menurut Permenhut P.1/2009 dapat dilihat pada Lampiran 6. Faktor lain penyebab kelemahan penilaian sertifikasi adalah kelemahan kriteria dan juknis penilaian pada kebijakan yang berlaku, seperti pada SK Menhut No 085/Kpts-II/2001 yang tidak merinci prosedur uji keturunan, serta Permenhut P.10/2007 yang belum memiliki penjabaran teknis sertifikasi sumber benih TBP, KBS, KBK, dan KP.
54
c.
Analisis Peran Parapihak yang berperan dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman
hutan di Kalimantan adalah : a) Departemen Kehutanan (Dephut) dan instansiinstansi dalam lingkup Dephut, yaitu Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (Dit. PTH), BPTH Banjarbaru dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, serta Balitbanghut; b) para pengelola sumber benih, pengada dan pengedar benih dan/atau bibit, serta c) Dinas dalam Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupten/Kota yang terkait dengan perbenihan tanaman hutan (Dinas). Masyarakat umum sebenarnya merupakan salah satu pihak yang terkait, namun perannya lebih sebagai konsumen yang berhak menikmati hasil penanaman bibit dalam rehabilitasi lahan di Indonesia. Hasil analisis peran para pemangku kepentingan (stakeholders’ roles analysis) dengan terbitnya Pemenhut P.1/2009 disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Matrik analisis peran parapihak dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan No 1
Kelompok Aktor Departemen Kehutanan : a. Menhut
Legitimasi (terbaru) Permenhut No P.1 Tahun 2009
b. Ditjen RLPS
Permenhut No P.1 Tahun 2009
c. BPTH Banjarbaru
Permenhut No P.1 Tahun 2009
Fungsi Penetapan kebijakan nasional perbenihan Pedoman teknis perbenihan, peningkatan kualitas SDM, pemantauan, evaluasi Sertifikasi, pengelolaan informasi perbenihan
Kepentingan (interest)
Keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia
Keberhasilan pengelolaan perbenihan di wilayah Kalimantan
Realisasi • Belum ada penjabaran Permenhut P.1/2009 • Belum ada diklat sertifikasi • Pemantauan dan evaluasi perbenihan belum optimal (Falah, 2009) • Sertifikasi sejak 2003 • Distribusi informasi belum menjangkau seluruh pihak terkait
55
Tabel 7 (lanjutan) Kelompok Aktor
Legitimasi (terbaru)
d. BPDAS MahakamBerau dan BPDAS Barito
Permenhut No.P.22 Tahun 2007
2
Pemerintah Daerah : - Pemerintah Propinsi - Pemerintah Kabupaten/ Kota
Permenhut • Pembina, No pengawas, P.1/2009, penerbit Permenhut sertifikasi No perbenihan P.22/2007 • Konsumen bibit RHL
3
Swasta : Pengada dan pengedar benih dan/atau bibit
Permenhut No P.1/2009
No
Fungsi Koordinator RHL di wilayahnya (sebagai konsumen bibit)
Produksi, distribusi benih /bibit, tata usaha dan pelaporannya
Kepentingan (interest)
Realisasi
Keberhasilan • Muncul rehabilitasi ketidakpuasan hutan dan lahan konsumen di wilayahnya terhadap hasil pengadaan bibit Gerhan Keberhasilan • Pembinaan rehabilitasi dan hutan dan lahan pengawasan di wilayahnya belum optimal • Belum ada anggaran, SDM, dan sarana sertifikasi Mendapat Belum keuntungan melakukan ekonomi pelaporan produksi dan distribusi benih dan bibit
Skema hubungan antar aktor dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan disajikan dalam Gambar 11. Menhut
Konsumen benih/bibit non pemerintah (HTI/tambang/swasta)
Ditjen RLPS
Dinas
BPTH Banjarbaru
pengada dan pengedar benih dan atau bibit
BPDAS
Keterangan : garis komando, pemantauan, dan evaluasi garis penyediaan informasi hubungan pembinaan dan pengawasan Hubungan pemasaran Garis pemantauan dan evaluasi Gambar 11. Hubungan/relasi antar aktor dalam kegiatan sertifikasi sumber benih
56 Bila menilik distribusi peran pada Tabel 7, serta hubungan antar aktor pada Gambar 11, nampak bahwa semua aktor memegang peranan yang penting dan saling terkait. Karena pihak Ditjen RLPS belum menetapkan kebijakan nasional mengenai mengenai pedoman teknis sertifikasi sumber benih, pelaksana kebijakan
di
daerah
(BPTH
Banjarbaru
dan
Dinas)
belum
bisa
mengimplementasikan kebijakan nasional perbenihan di daerah. Demikian pula peran BPTH Banjarbaru sebagai pengelola informasi menjadi penting agar pihak Dinas dan swasta mengetahui mekanisme sertifikasi, peran/kewajiban masingmasing pihak, serta teknologi dan informasi pemasaran yang diperlukan untuk mengembangkan kegiatan perbenihan di daerah. Dinas sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan perbenihan di daerah memegang peran penting dalam perijinan, pembinaan, dan pengawasan operasional perbenihan di daerah. Tugas Dinas dalam pembinaan dan pengawasan memerlukan kerja sama dan komitmen dari pihak swasta (praktisi perbenihan) untuk memberikan pelaporan hasil produksi dan distribusi benih dan atau bibit, sehingga kuantitas dan kualitas benih/bibit yang beredar di pasaran dapat diketahui. Secara fisik, benih atau bibit dari SB bersertifikat dan non sertifikat sulit dibedakan. Tanda bukti sertifikasi sumber benih hanya berupa selembar sertifikat, sehingga cara untuk mengetahui apakah benih benar-benar berasal dari sumber benih bersertifikat adalah dengan melakukan uji genetis (yang memerlukan SDM dan sarana tertentu), atau dengan melakukan pemantauan produksi dan distribusi benih dan atau bibit. Karena itu komitmen pengada dan pengedar benih/bibit untuk melaporkan produksi dan distribusinya menjadi penting. Produksi dan distribusi yang tidak terpantau menyebabkan keaslian asal benih/bibit
sukar
dibuktikan. Pihak yang berwenang belum pernah menerapkan sanksi bagi pengada dan pengedar benih/bibit yang tidak melaporkan produksi dan distribusi benih/bibitnya. d. Prospek implementasi Permenhut No P.1/2009 Menurut Edward III (1980), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1) komunikasi; 2) sumber daya; 3) sikap; dan 4) struktur birokrasi. Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-
57 tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat kepada para pelaksana kebijakan. Hasil wawancara dengan responden dari Dinas dan BPDAS di daerah memperlihatkan bahwa hingga bulan Juni 2009 belum ada komunikasi atau sosialisasi kepada pelaksana kebijakan di daerah mengenai isi Permenhut No P.1/2009, terutama yang berkaitan dengan pelimpahan wewenang sertifikasi sumber benih kepada Dinas. Pihak Dinas menyatakan belum mengetahui secara tepat manfaat bagi Dinas untuk melakukan sertifikasi. Juga masih diperlukan pedoman teknis penjabaran dari Permenhut P.1/2009 mengenai sertifikasi sumber benih, mutu benih, dan mutu bibit, serta penetapan besaran pungutan jasa penerbitan sertifikasi yang diperkenankan Sedangkan faktor komponen sumberdaya meliputi jumlah staf, keahlian dari
para
pelaksana,
informasi
yang
relevan
dan
cukup
untuk
mengimplementasikan kebijakan, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan (termasuk kewenangan pembelanjaan anggaran), serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana. Dalam hal sertifikasi sumber benih, kompetensi staf penilai mempengaruhi jaminan kebenaran klasifikasi sumber benih. Pihak Dinas sebagai penerima wewenang sertifikasi menurut Permenhut P.1/2009 belum memiliki sumberdaya manusia, sarana, dan anggaran yang memenuhi standar Permenhut P.1/2009. Secara umum Dinas Kehutanan di tingkat propinsi Kaltim dan Kalsel, serta Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota menyatakan belum siap dari segi anggaran, kualitas tenaga penilai, dan sarana penilaian perbenihan yang diperlukan. Berdasarkan ketersediaan anggaran, sumberdaya manusia (SDM), dan sarana, diperkirakan Dinas paling cepat baru dapat melakukan sertifikasi pada tahun 2011, itupun dengan syarat tersedia dana dari APBD untuk pelaksanaan sertifikasi, peningkatan kualitas SDM, dan penyediaan sarana yang diperlukan. Sehingga sampai tahun 2011 diperkirakan sertifikasi tetap akan dilakukan oleh BPTH (hasil wawancara dengan Dinas bisa dilihat pada Lampiran 4). Faktor ketiga yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan adalah sikap pelaksana kebijakan. Jika pelaksana kebijakan setuju dengan bagian-
58 bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon pelaksana terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program ke arah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Dari hasil wawancara terhadap Dinas mengenai persepsi Dinas terhadap desentralisasi wewenang sertifikasi, dapat diketahui bahwa Dinas masih belum mengambil sikap menerima atau menolak wewenang desentralisasi tersebut karena belum jelasnya informasi mengenai manfaat, pedoman teknis sertifikasi, proporsi pembagian anggaran sertifikasi, besarnya pungutan jasa sertifikasi, serta belum tersedianya sumber daya yang layak untuk sertifikasi. Faktor keempat adalah struktur birokrasi yang meliputi karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan pelaksanaan kebijakan. Merujuk pada Tabel 7 mengenai dinamika mekanisme sertifikasi, nampak bahwa implementasi Permenhut P.1/2009 akan lebih menyingkat tahapan prosedur dan mengurangi jumlah instansi yang terlibat. Sehingga apabila diimplementasikan secara benar, Permenhut P.1/2009 mungkin akan lebih menghemat waktu dan biaya bagi pengada benih/bibit. Sementara menurut persepsi para pengada benih dan atau bibit terhadap desentralisasi wewenang penerbitan sertifikas ke Dinas, dari segi biaya dan prosedur akan lebih efisien, namun dari segi efektivitas atau mutu penilaian, Dinas dianggap belum mampu dari segi kualitas SDM dan sarana. Di sisi lain yang patut menjadi perhatian adalah belum adanya ketentuan mengenai akreditasi terhadap Dinas yang dianggap kompeten melakukan penilaian sertifikasi sumber benih (hasil wawancara dengan pengada benih/bibit dapat dilihat pada Lampiran 9). 3. Analisis kesenjangan Terdapat perbedaan antara aturan yang berlaku dengan realisasi kegiatan sertifikasi sumber benih, sebagaimana disajikan dalam Tabel 8.
59 Tabel 8. Kesenjangan antara aturan yang berlaku dengan realisasi kegiatan sertifikasi sumber benih Aspek A. Aturan main 1. Kewenangan melakukan sertifikasi
2. Batas jurisdiksi
3. Aturan representasi
Peraturan yang berlaku
Realisasi
• Sertifikasi dilaksanakan Dinas, bila tidak mampu baru dilakukan BPTH • Pelaksana sertifikasi berhak memungut jasa penerbitan sertifikasi
BPTH tetap menjadi pelaksana sampai Dinas memiliki anggaran, SDM, dan sarana yang memadai
• BPTH hanya melaksanakan sertifikasi apabila Dinas tidak mampu • Tim penilai sertifikasi harus melibatkan BPTH, Dinas dan pakar • Pendanaan dibagi antara pelaksana sertifikasi dan pemohon Pedoman pelaksanaan sertifikasi ditetapkan oleh Dirjen RLPS, BPTH dan Dinas hanya sebagai pelaksana
Keterangan
Merupakan amanat perundangan desentralisasi kehutanan, BPTH merasa alokasi kerja dan anggarannya akan tereduksi, sementara Dinas merasa belum mampu melaksanakan sertifikasi dan belum tahu seberapa besar manfaat yang diperoleh Untuk melaksanakan Selama ini sertifikasi, Dinas BPTH Banjarbaru tidak memerlukan anggaran khusus (apalagi pernah melibatkan pakar melibatkan instansi lain) dalam APBD sebagai tim sehingga harus dapat penilai (di Inhutani Sebuhur meyakinkan Kepala Daerah dan DPRD hanya meminta mengenai manfaat hasil uji melakukan sertifikasi keturunan yang sudah ada) Pedoman pelaksanaan belum terbit, kegiatan sertifikasi belum dapat terlaksana
Kondisi tiap daerah berbeda, sehingga pedoman pelaksanaan dari pusat sering tidak bisa diimplementasikan optimal di daerah
60 Tabel 8 (lanjutan) Aspek
Peraturan yang berlaku
Realisasi
mempunyai struktur organisasi, tugas dan fungsi berkaitan dengan perbenihan dan pembibitan; memiliki prosedur mengelola dokumen dan rekaman data; memilikisistem mutu da
Perbenihan hanya aspek kecil dari ruang lingkup tugas Dinas, belum ada Dinas yang memiliki sistem pengoperasian dan pengendalian mutu sertifikasi
Dinas akan mengusahakan sistem sertifikasi apabila dirasa manfaat melakukan sertifikasi cukup besar, sebab ruang lingkup tugas Dinas sendiri cukup luas
2. SDM
Memiliki SDM yang bersertifikat 80 JPL diklat sertifikasi sumber benih
Minimal satu SDM Dinas yang memiliki sertifikat, tim penilai bisa melibatkan BPTH dan pakar
3.
Memiliki GPS, kompas, peralatan pembuat peta, altimeter, pengukur tinggi dan diameter pohon, pH meter
Belum ada diklat, SDM di Dinas umumnya tidak ada yang khusus mengurus perbenihan Tidak semua Dinas memiliki peralatan tersebut secara lengkap
B. Organisasi 1. Standar pelaksana sertifikasi
Teknologi dan sarana penilaian sertifikasi
Keterangan
Pengadaan sarana perbenihan harus melalui APBD
4. Penilaian Efektivitas Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih Hasil penilaian efektivitas sertifikasi sumber benih disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil penilaian efektivitas sertifikasi sumber benih Aspek penilaian Isi kebijakan
Dasar kebijakan
Standar khusus SK Dirjen RLPS No sumber benih 101/2002 Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007
Mekanisme
Penilaian Efektif untuk TBT, TBS, dan APB Kurang efektif untuk TBP, KBS, KBK, dan KP
Permenhut No P.1/2009
Efektif meski perlu disempurnakan
SK Dirjen RLPS No 101/2002 Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007
Kurang efektif
Permenhut No P.1/2009
Lebih efektif
61
Tabel 9 (lanjutan) Aspek penilaian Implementasi kebijakan
Dasar kebijakan
Penilaian
Mekanisme
SK Dirjen RLPS No 101/2002 Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007
Efektif untuk TBT, TBS, dan APB Kurang efektif untuk TBP, KBS, KBK, dan KP
Hasil penilaian
SK Dirjen RLPS No 101/2002 Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007
Efektif untuk TBT, TBS, dan APB Kurang efektif untuk TBP, KBS, KBK, dan KP
Peran pelaku
SK Dirjen RLPS No 101/2002 Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007
Belum efektif
Prospek Permenhut No P.1/2009 implementasi Permenhut No P.1/2009
Bisa lebih menghemat waktu dan tenaga, dan bisa efektif dengan beberapa syarat
C. Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih 1. Analisis kelayakan finansial dan biaya transaksi sertifikasi sumber benih Komponen analisis kelayakan finansial dalam usaha pengelolaan sumber benih bersertifikat adalah sebagai berikut : a. Pengeluaran : 1) Biaya investasi, meliputi biaya izin usaha, retribusi, sewa lahan, biaya pembangunan sumber benih, pendirian bangunan dan gedung, pengadaan peralatan, dan biaya sertifikasi. 2) Biaya operasional : a. Bila produk berupa benih : biaya produksi benih (meliputi biaya pengunduhan, sortasi, penjemuran, dan penyimpanan benih) dan biaya pemeliharaan pohon induk. b. Bila produk berupa bibit : biaya produksi bibit (meliputi biaya penyiapan media dan polibag, pengunduhan dan sortasi benih, biaya pembibitan dan pemeliharaan di persemaian) dan biaya pemeliharaan pohon induk.
62 3) Biaya pemasaran, meliputi biaya transportasi dan biaya transaksi pemasaran. Biaya transaksi pemasaran ini meliputi biaya komunikasi dan biaya negosiasi untuk mewujudkan kontrak. b. Pemasukan, meliputi pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan benih atau bibit. Pada analisis kelayakan finansial ini diasumsikan pengeluaran dan pemasukan setiap tahun selama 5 (lima) tahun adalah tetap. Nilai interest rate ditentukan sebesar 13.52%, sesuai tingkat suku bunga rata-rata bank umum pada bulan Juni 2009 (saat dilakukan pengambilan data) menurut Bank Indonesia (Bank Indonesia, 2009). Perlu diketahui bahwa produk dari sumber benih dapat berupa benih atau bibit. Dari 6 (enam) pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian, ada 5 (lima) pengelola sumber benih yang sekaligus berperan sebagai penangkar bibit. Dalam kasus di PT GKS, pengelola sumber benih sekaligus berperan sebagai penangkar bibit serta pengumpul. Karakteristik pengelola sumber benih disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian Nama pengelola sumber benih
Jenis produk
Kelas sumber benih
Asal Harga jual pohon mempertimbangkan induk sertifikat atau tidak
Komponen biaya investasi
PT INH 3
benih
TBP
HT
ya
LSM GP
bibit
TBT
HA
ya
Kelompok Tani (KT) MS
bibit
TBT
HA
tidak
izin usaha, retribusi, sewa lahan, pembangunan sumber benih, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi izin usaha, sewa lahan, pembangunan sumber benih, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi sewa lahan, bangunan dan gedung, peralatan,
63 Tabel 10 (lanjutan) Nama Jenis pengelola produk sumber benih PT IKU bibit
Kelas sumber benih
Asal Harga jual pohon mempertimbangkan induk sertifikat atau tidak
TBT HA, (meranti), HT APB (mahoni)
Ya (TBT meranti), tidak (APB mahoni)
PT GKS
bibit
TBT
HA
ya
CV GL
bibit
TBT
HA
tidak
Komponen biaya investasi izin usaha, retribusi, sewa lahan, pembangunan sumber benih, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi izin usaha, retribusi, sewa lahan, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi izin usaha, retribusi, sewa lahan, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi
Biaya pembangunan sumber benih pada hutan alam meliputi biaya survei, penataan area, dan inventarisasi tegakan. Sedang biaya pembangunan sumber benih pada hutan tanaman meliputi biaya pembelian materi genetik, survei area, persiapan lahan, penanaman, penataan area, dan inventarisasi tegakan. Dalam penelitian ini ada satu pengelola sumber benih yang tidak mengeluarkan biaya pembangunan sumber benih, yaitu KT MS yang biaya pembangunan sumber benihnya berasal dari Ditjen RLPS (sumber benih berada di hutan lindung). Hasil analisis kelayakan finansial usaha pengelolaan sumber benih bersertifikat disajikan pada Tabel 11.
64 Tabel 11. Hasil analisis kelayakan finansial pengusahaan sumber benih bersertifikat Nama pengelola sumber benih
NPV (Rp)
Kalimantan Selatan PT INH 3 (HPHTI) (produk : akasia) LSM GP (gaharu) Kelompok Tani (KT) MS (meranti) Kalimantan Timur PT IKU(HPHTI), fokus meranti dan gaharu PT GKS (meranti) CV GL (gaharu)
BCR
IRR (%)
Biaya transaksi per sertifikat (Rp)
112,793,535
1.088
78.49%
5,000,000
202,036,364
1.288
110.14%
3,500,000
Rasio biaya transaks i dengan NPV 0.089
0.017 -
11,543,436
1.075
29.32%
tanpa biaya sertifikasi1)
180,229,622
1.309
173.70%
1,000,000
0.040
107,640,702 62,866,731
1.144 1.119
189,82% 37.79%
6,000,000 10,000,000
0.060 0.160
Sumber : data primer, diolah Keterangan : 1)
Sumber benih (SB) meranti yang dikelola Kelompok Tani (KT) MS disertifikasi atas prakarsa BPTH Banjarbaru, bukan atas permintaaan masyarakat ataupun Dinas. Pemegang sertifikat yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Hulu Sungai Tengah (karena berada di kawasan hutan lindung) serta KT MS sebagai pengelola harian tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkan sertifikat. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari hasil
analisis finansial pada Tabel 11, nampak bahwa usaha pengelolaan sumber benih layak secara finansial, baik untuk yang berskala kecil, menengah, maupun besar. Besaran BCR ternyata tidak jauh berbeda untuk pengusahaan sumber benih skala besar, skala menengah, maupun kecil. Nilai BCR terbesar didapat oleh LSM GP (skala kecil) dan PT IKU (skala besar) di Kaltim. Sedang nilai BCR dan IRR terkecil didapat oleh KT MS. IRR terbesar diperoleh PT GKS dan PT IKU, yang artinya nilai tambah (laba) kedua perusahaan tersebut baru mencapai nol apabila tingkat suku bunga mencapai 189.82% (PT GKS) dan 173.70% (PT IKU). Besarnya nilai BCR dan IRR ini dipengaruhi antara lain oleh : 1. Besarnya permintaan akan hasil produksi. LSM GP dan PT IKU lebih besar BCRnya dibanding PT INH 3 karena permintaan akan hasil produksinya yang
65 lebih banyak. Sedang PT INH 3 hanya 32% hasil produksinya yang diserap pasar. 2. Kelas sumber benih yang menentukan harga produk. Kelas SB untuk LSM GP dan PT IKU adalah TB Teridentifikasi yang selisih harganya dengan bibit non sertifikat tidak besar (harga non sertifikat = 0.5 s.d 0.62% dari harga bibit SB bersertifikat). Kelas sumber benih PT INH 3 adalah TB Provenans yang harga benihnya 4 (empat) kali harga benih non sertifikat. 3. Ketegasan pengelola sumber benih menetapkan harga produk bersertifikat lebih tinggi daripada non sertifikat, yaitu di PT INH 3, LSM GP, dan PT GKS. Sebagai contoh, di LSM GP dan PT GL yang sama-sama memproduksi bibit gaharu (Aquilaria malaccensis), ternyata BCR dan IRR LSM GP lebih tinggi karena harga jual bibitnya (Rp 1300,00) mempertimbangkan adanya sertifikat. Sedang di CV GL, harga jual bibit gaharu dari sumber benih bersertifikat sama dengan non sertifikat, yaitu sebesar Rp 800,00 – Rp 850,00. Demikian pula BCR dan IRR PT GKS dan PT IKU lebih tinggi daripada KT MP yang sama-sama memproduksi bibit meranti (Shorea sp.), sebab harga jual bibit di KT MP tidak memperhitungkan adanya sertifikat (Rp 700,00 – Rp 900,00) dibanding harga jual bibit di PT GKS (Rp 1200,00) dan PT IKU (Rp 1600,00). Di PT IKU pertimbangan sertifikat hanya berlaku pada tanaman lokal seperti meranti dan kapur, sedang untuk tanaman mahoni, jati, dan sengon yang bersertifikat APB ternyata harga bibitnya sama dengan non sertifikat (Rp 800,00). Hal ini mungkin disebabkan kondisi pasar yang kesulitan mencari sumber benih tanaman lokal bersertifikat, namun untuk tanaman mahoni, jati, dan sengon bisa didatangkan dari Jawa. IRR terbesar yang diperoleh PT GKS juga disebabkan adanya sistem penjualan dalam grup, di mana PT GKS merupakan anggota dari sebuah grup pengada bibit yang menjadi peserta tender pengadaan bibit di Kaltim. Dalam grup tersebut, sesama anggota grup menjadi pemasok bibit bagi anggota grup yang menjadi pemenang tender (subsidi silang). Harga bibit yang dijual padaanggota sesama grup ini lebih tinggi dari harga bibit di pasaran, namun karena fungsinya hanya sebagai pemasok/pengumpul, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya transaksi pengadaan bibit. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi besar.
66 Nilai biaya transaksi didapatkan dari besarnya biaya yang dikeluarkan pengusaha sumber benih dalam kegiatan sertifikasi. Biaya transaksi ini merupakan biaya tidak resmi
yang dikeluarkan pemohon sertifikat untuk keperluan
komunikasi, biaya negosiasi yang meliputi akomodasi, konsumsi, transport lokal di lapangan, dan biaya lain-lain bagi anggota tim penilai sertifikasi. Sementara dari BPTH tidak dikeluarkan biaya untuk kunjungan monitoring karena pembinaan dan monitoring dilakukan sekaligus saat kunjungan untuk sertifikasi bibit. Dalam Tabel 11 nampak bahwa besaran biaya transaksi sertifikasi ternyata tidak signifikan dibanding besarnya keuntungan yang didapatkan pada usaha yang layak secara finansial, kecuali di CV GL. Besaran biaya transaksi yang dikeluarkan CV GL per sertifikat jauh Meski demikian akan lebih baik apabila biaya tidak resmi ini dapat diminimalkan. Dalam Permenhut P.1/2009, secara resmi ditetapkan bahwa biaya lapangan selama penilai sertifikasi menjadi kewajiban pemohon sertifikat, dan bahwa penerbit sertifikat berhak memungut jasa penerbitan sertifikasi, sehingga diharapkan dapat meminimalkan biaya transaksi di masa mendatang. Berdasar hasil wawancara dengan informan pengada benih/bibit, ternyata mereka tidak berkeberatan bila harus menanggung biaya penilaian lapangan serta membayar jasa penerbitan sertifikat, asalkan benarbenar merupakan tarif resmi, dan besarnya pungutan proporsional dengan keuntungan yang didapat pengusaha dengan adanya sertifikat (hasil wawancara dapat dibaca pada Lampiran 9). Biaya transaksi yang tidak signifikan dibanding keuntungan mendorong PT Inhutani III mengajukan perpanjangan sertifikasi pada tahun 2008. Namun tidak atau belum mendorong pengelola sumber benih lain untuk mengajukan perpanjangan. Ada 31 pengelola sumber benih lainnya di wilayah Kalimantan yang habis masa sertifikatnya pada tahun 2008 atau 2009, dan belum mengajukan perpanjangan. Enam di antaranya dikelola kelompok tani atau Dinas yang tidak berhak menjadi pengelola sumber benih bersertifikat menurut Permenhut No P.10/2007 maupun Permenhut No P.1/2009. Lainnya dikelola oleh pemegang hak pengusahaan hutan alam produksi ataupun pemegang hak pengusahaan HTI. Hal ini mengindikasikan bahwa keuntungan dari sertifikasi tidak signifikan bagi mereka, mungkin karena kesulitan pemasaran, lebih banyak dipakai untuk
67 konsumsi sendiri, atau karena harga produk sama dengan harga produk dari sumber benih non sertifikat. 2. Analisis sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk menguji kepekaan suatu kegiatan terhadap berbagai faktor yang mungkin terjadi. Setiap asumsi yang diberikan bersifat ceteris paribus, yang berarti hal-hal selain yang diasumsikan tidak berubah (tetap). Dalam penelitian ini, asumsi yang digunakan dalam analisis sensitivitas ini adalah apabila terjadi penurunan penjualan sebesar 20%, dan adanya kenaikan harga pokok produksi (HPP) sebesar 10%, serta apabila terjadi interaksi antara penurunan penjualan dengan kenaikan HPP. Angka penurunan penjualan diasumsikan dari menurunnya anggaran rehabilitasi hutan dan lahan tahun 2010 yang hanya cukup untuk membiayai penanaman 100,000 hektar lahan kritis, turun 20% dari target penanaman tahun 2009 sebesar 500.000 hektar (Antaranews, 17 November 2009; Harian Terbit, 24 Desember 2009). Angka HPP sebesar 10% didapat dari data prediksi kenaikan harga barang kebutuhan pokok untuk tahun 2010 (www.kabarbisnis.com), yang biasanya diikuti kenaikan harga barang lainya. Hasil analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis sensitivitas kelayakan finansial pengusahan sumber benih Sumber benih PT INH 3
Penjualan
HPP
NPV (Rp)
IRR (%)
BCR
Normal -20%%
Normal Normal
112,793,535 133,099,145
78.49% Tidak bisa dihitung
1.088 0.893
Keteran gan Layak Tidak layak
Normal
+10%
75,284,482
53.54%
1.057
Layak
-20%
+10%
-175,383,656
0.863
LSM GP
Normal -20% Normal -20%
Normal Normal +10% +10%
202,036,364 22,516,192 151,746,448 -28,852,895
Tidak bisa dihitung 110.14% 21.79% 78.96% 3.29%
1.288 1.032 1.202 0.961
KT MS
Normal -20%
Normal Normal
11,543,436 -21,450,638
29.32% -14.50%
1.075 0.860
Normal -20%
+10% +10%
1,104,284 -31,889,789
14,99% -29.37%
1,007 0.805
Tidak layak Layak Layak Layak Tidak layak Layak Tidak layak Layak Tidak layak
68 Tabel 12 (lanjutan) Sumber benih PT IKU
PT GKS
CV GL
Penjuala n Normal
HPP
NPV (Rp)
Normal
180,229,622
173.70%
1.309
-20% Normal -20% Normal -20%
Normal +10% +10% Normal Normal
46,607,328 160,514,485 27,027,208 107,640,702 -43,254,557
40.67% 143.74% 28.78% 189,82% -28.36%
1.083 1.266 1.046 1.144 0.940
Normal -20%
+10% +10%
1.080 0.886
Normal -20%
Normal Normal
63,333,133 89.17%% -88,314,913 Tidak bisa dihitung 62,866,731 37.79% -41,637,658 -1.45%
Normal -20%
+10% +10%
34,665,480 69,838,909
IRR (%)
26.53% -11.60%
BCR
1.119 0.919 1.062 0.871
Ketera ngan Layak Layak Layak Layak Layak Tidak layak Layak Tidak layak Layak Tidak layak Layak Tidak layak
Pada analisis sensitivitas ini, kenaikan HPP dikenakan pada biaya operasional dan biaya pemasaran per tahun selama 5 tahun. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa hanya PT IKU yang kondisi finansialnya tetap layak pada kondisi angka penjualan turun 20%, kenaikan biaya produksi 10%, dan kombinasi keduanya. Pengelola sumber benih berskala menengah dan besar (PT INH 3, PT GKS, dan CV GL) ternyata sensitif pada penurunan volume penjualan sebesar 20%, namun dapat bertahan pada kenaikan biaya produksi. Karena keuntungan yang didapat PT INH3 dan PT GKS terutama dari harga jual yang tinggi sementara biaya produksinya pun besar, sehingga tidak dapat bertahan bila terjadi penurunan permintaan. Pengelola sumber benih skala kecil yang harga jualnya mempertimbangkan adanya sertifikat (LSM GP) ternyata dapat bertahan pada kenaikan biaya produksi atau penurunan volume penjualan, namun tidak bisa bertahan pada kombinasi keduanya. Sementara pengelola sumber benih skala kecil yang harga jualnya tidak mempertimbangkan adanya sertifikat (KT MS), dapat bertahan pada kenaikan biaya produksi, namun tidak bisa bertahan pada penurunan angka penjualan. Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar pengelola sumber benih ternyata tidak bisa bertahan apabila terjadi penurunan permintaan bibit untuk proyek rehabilitasi lahan pemerintah yang dikombinasikan dengan
69 kenaikan biaya produksi. Khusus untuk PT INH 3 yang konsumennya adalah pengelola HTI dan tidak bergantung pada proyek pemerintah mungkin dapat bertahan, namun harus diingat bahwa frekuensi pembelian oleh HTI tidak tinggi (berbeda dengan proyek pemerintah yang setiap tahun melakukan pembelian bibit), sehingga juga rentan terhadap penurunan permintaan benih. 3. Jalur tataniaga benih dan distribusi manfaat Dalam jalur tataniaga benih di Kalsel dan Kaltim, pengelola sumber benih (SB) bertindak sebagai produsen. Hasil produksi umumnya dalam bentuk bibit, kecuali di PT INH 3 yang produknya berupa benih. Jadi produsen di sini sekaligus berperan sebagai penangkar bibit. Dalam kasus di PT GKS, pengelola sumber benih sekaligus berperan sebagai penangkar bibit serta pengumpul. Terdapat beberapa tipe jalur tata niaga benih di Kalsel dan Kaltim : a. Saluran langsung Saluran langsung ini terjadi bila konsumen akhir langsung membeli benih dari pengelola sumber benih, yang terjadi di PT INH III. Pada tipe saluran langsung ini harga jual produsen sama dengan harga beli konsumen, sehingga FS = 1. Pengelola SB (pemegang HPHTI)
Konsumen (sesama pemegang HPHHTI)
Gambar 12. Jalur tataniaga tipe saluran langsung b. Saluran satu tingkat Dalam penelitian ini PT IKU yang menjadi contoh kasus dalam tataniaga bibit meranti dan mahoni. Untuk tataniaga gaharu tidak tersedia data karena konsumen dari LSM GP berada di propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Pengelola SB / penangkar
Pemborong
Konsumen
Gambar 13. Jalur tataniaga tipe saluran satu tingkat Distribusi manfaat pada tipe saluran satu tingkat untuk bibit meranti dan mahoni disajikan dalam Tabel 13.
70 Tabel 13. Distribusi manfaat pada tipe saluran satu tingkat bibit meranti dan mahoni N o
1
2
3
Lembaga
Pengelola SB/penangkar Biaya-biaya (C): • Retribusi • Sewa lahan • Bangunan dan peralatan • Pembangunan SB • Sertifikasi SB • Penyiapan media • Pengunduhan dan sortasi benih • Pembibitan/pemelih araan di persemaian • Pengemasan • Pemeliharaan pohon induk • Biaya transportasi • Harga jual Marjin keuntungan (π) Rasio keuntungan dan biaya (π /C) Pemborong Biaya-biaya : • Biaya transportasi • Biaya negosiasi tender Marjin pemasaran Marjin keuntungan Harga jual Rasio keuntungan dan biaya Konsumen akhir Harga beli
Meranti Distribusi manfaat Harga Share (Rp/ batang) (%)
Rasio π /C
Mahoni Distribusi manfaat Harga (Rp/ batang)
Share (%)
1102.67
55.13
503.31
0.39
184 624
9.20 31.20
92.00 12.95
7.08 1.00
13.8 2.5 19.98 110.77
0.69 0.13 1.00 5.54
223.10 14.00 23.58 76.41
17.16 1.08 1.08 5.88
10.16
0.51
7.19
0.55
20.31 1.58
1.02 0.08
5.09 1.20
0.39 0.09
36.75 18.98 1600.00 497.33
1.84 0.95 80.00 24.87
23.53 24.27 800.00 296.69
1.81 1.87 61.54 22.82
0.451
0.59
260.00 50.00
0.13 2.50
210 30
16.15 2.31
210.00 400.00 140.00 2000.00
10.50 20.00 7.00 100.00
200 500.00 290 1300
15.38 38.46 22.31 100
0.5 2000
Rasio π/C
1.38
100
Harga bibit meranti (Shorea sp.) dari TBT PT IKU (sebesar Rp 1750,00) jauh lebih tinggi dari harga bibit meranti di pasaran (sebesar Rp 900,00 – Rp 1200,00). Hal ini disebabkan pengelola sumber benih memperhitungkan adanya
71 sertifikat sumber benih dalam penentuan harga meranti. Hal ini menyebabkan marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU dari penjualan bibit meranti lebih besar dari marjin keuntungan pemborong. Dari Tabel 13 nampak bahwa PT IKU mendapat marjin keuntungan sebsar 24,87% dari penjualan bibit meranti. Ini disebabkan harga bibit meranti PT IKU memperhitungkan adanya sertifikat. Harga bibit meranti dari TB Teridentifikasi PT IKU (sebesar Rp 1600,00), lebih tinggi dari harga bibit meranti di pasaran (sebesar Rp 900,00 – Rp 1200,00). Oleh sebab itu marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU dari penjualan bibit meranti lebih besar dari marjin keuntungan pemborong, sebagaimana disajikan dalam Tabel 13. Namun biaya investasi yang dikeluarkan juga cukup besar, terutama untuk sewa lahan karena luas TB Teridentifikasi meranti sebesar 100 ha. Berdasar Tabel 13, nampaknya pemborong bibit meranti mendapat marjin keuntungan yang jauh lebih kecil dari pengelola sumber benih, namun harus diingat bahwa pemborong mengumpulkan bibit dari berbagai sumber benih dan penangkar kemudian dipasarkan sebagai bibit dari sumber benih bersertifikat. PT IKU sendiri mengakui bahwa dalam penjualan bibit, jumlah bibit hanya ditulis dalam kontrak penjualan, namun tidak disertakan surat keterangan mengenai jumlah bibit yang dibeli oleh pemborong. Oleh karena itu dalam pengadaan bibit, kuantitas bibit yang benar-benar berasal dari sumber benih bersertifikat tidak diketahui, karena secara fisik sukar dibedakan antara bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat. Sedangkan rasio keuntungan dan biayatidak berbeda jauh antara pengelola sumber benih dengan pemborong. Satu-satunya sumber benih mahoni bersertifikat di Kalimantan terdapat di PT IKU, dengan kelas sumber benih APB. Menurut Permenhut No 83 / MenhutV/2006 tentang Daftar Harga Bibit Gerhan, semestinya harga bibit mahoni dari APB lebih tinggi dari harga bibit dari SB non sertifikat ( Rp 2250 untuk bibit dari APB, dan Rp 1125 untuk bibit dari SB non sertifikat). Harga bibit mahoni yang ditetapkan PT IKU adalah Rp 800, sama dengan harga bibit mahoni dari sumber benih non sertifikat. Marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU sebesar 22,82%, hanya berselisih sedikit dengan marjin keuntungan pemborong (22,31%). Namun rasio keuntungan dan biaya pemborong (π/C) jauh lebih besar daripada π /C pengelola sumber benih mahoni. π /C pemborong sebesar 1,38, yang berarti untuk
72 setiap rupiah yang dikeluarkan, pemborong mendapat keuntungan sebesar Rp 1,38, lebih besar daripada keuntungan pengelola sumber benih (Rp 0,5). b. Saluran dua tingkat Dalam saluran dua tingkat ini, pengelola SB sekaligus bertindak sebagai penangkar, sehingga produknya berbentuk bibit, bukan benih. Jalur tataniaga bibit untuk tipe saluran dua tingkat tersaji dalam Gambar 14. Pengelola SB / penangkar
Pengumpul
Pemborong
Konsumen
Gambar 14. Jalur tataniaga saluran dua tingkat Dalam saluran dua tingkat ini yang menjadi contoh kasus adalah tataniaga bibit gaharu dari sumber benih PT GL di Kaltim. Distribusi manfaat dalam tipe saluran dua tingkat tersaji dalam Tabel 14. Tabel 14. Distribusi manfaat dalam tipe saluran dua tingkat No
Lembaga
Distribusi manfaat Harga (Rp/batang)
1
2
Pengelola SB/penangkar Biaya-biaya (C): • Izin usaha • Retribusi • Sewa lahan (rata-rata) • Bangunan dan peralatan • Biaya sertifikasi sumber benih • Pengunduhan benih, pembibitan, dan pengemasan • Pemeliharaan pohon induk • Biaya komunikasi negosiasi Harga jual Marjin keuntungan (π) Rasio keuntungan dan biaya Pengumpul Biaya biaya • Biaya transportasi • Biaya transaksi Harga jual Marjin pemasaran Marjin keuntungan (π) Rasio keuntungan dan biaya
Share (%)
657.50 9.5 12.00 80 140 10
41.09 0.59 0.75 5.00 8.75 0.63
255.00 150.00 1.00 900.00 242.50
15.94 9.38 0.06 56.25 15.16
Rasio keuntungan dan biaya (π/C)
0.37 11.00 10.00 1.00 1000.00 100.00 89.00
0.69 0.63 0.06 62.50 6.25 5.56 8.09
73
Tabel 14 (lanjutan) No
Lembaga
Distribusi manfaat Harga (Rp/batang)
3
Pemborong Biaya-biaya • Biaya transportasi • Biaya transaksi Harga jual Marjin pemasaran Marjin keuntungan (π) Rasio keuntungan dan biaya Konsumen akhir Harga beli
4
Share (%)
220.00 10.00 210.00 1600 600.00 380.00
Rasio keuntungan dan biaya (π/C)
13.75 0.63 13.13 100.00 37.50 23.75 1.72
1600
100.00
Pada tipe saluran dua tingkat ini yang mendapat rasio keuntungan dan biaya
terbesar
adalah
pengumpul.
Ini
disebabkan
pengumpul
hannya
mengeluarkan biaya transportasi dan komunikasi. Bibit dari SB ini digunakan untuk melengkapi jumlah bibit yang telah ditangkarkan oleh pengumpul, dan selanjutnya
dijual
kepada
pemborong.
Pemborong
mendapatkan
marjin
keuntungan terbesar karena tingginya harga jual bibit, namun rasio keuntungan dan biaya pemborong lebih kecil dari pengumpul karena selain biaya transportasi, pemborong juga mengeluaakan biaya pemasaran untuk memenangkan tender pengadaan bibit, yang berupa biaya biaya komunikasi dan biaya negosiasi dengan pihak konsumen. Saluran dua tingkat ini juga memungkinkan terjadinya pencampuran antara bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat, karena adanya pengumpul dan pemborong yang mengumpulkan bibit dari berbagai penangkar, sehingga mutu bibit tidak terjamin. d. Saluran tiga tingkat Jalur tataniaga saluran tiga tingkat disajikan pada gambar 15. Pengelola SB/ penangkar
Pengumpul 1
Pengumpul 2
Pemborong
Gambar 15. Jalur tataniaga saluran tiga tingkat
Konsumen
74 Distribusi manfaat dalam tipe saluran tiga tingkat tersaji dalam Tabel 15. Tabel 15. Distribusi manfaat dalam tipe saluran tiga tingkat No
Lembaga
Distribusi manfaat Harga (Rp/batang)
1
2
3
4
5
Pengelola SB/penangkar Biaya-biaya (C): Bangunan dan peralatan Biaya promosi Pengunduhan, pembibitan, dan pengemasan Biaya komunikasi negosiasi Harga jual Marjin keuntungan (π) Rasio keuntungan dan biaya Pengumpul 1 Biaya- biaya • Biaya transportasi • Biaya transaksi Harga jual Marjin pemasaran Marjin keuntungan (π) Rasio keuntungan dan biaya Pengumpul 2 Biaya-biaya • Biaya transportasi • Biaya transaksi Harga jual Marjin pemasaran Marjin keuntungan (π) Rasio keuntungan dan biaya Pemborong Biaya-biaya • Biaya transportasi • Biaya transaksi Harga jual Marjin pemasaran Marjin keuntungan (π) Rasio keuntungan dan biaya Konsumen akhir Harga beli
Share (%)
172.69 5.44
33.36 9.59 0.30
415 7.4 800.00 199.47
23.06 0.41 44.44 11.08
Rasio keuntungan dan biaya (π/C)
0.33 51.00 50.00 1.00 900.00 100.00 49.00
2.83 2.78 0.06 50.00 5.56 2.72 0.96
31.00 30.00 1.00 1200.00 300.00 269.00
1.72 1.67 0.06 66.67 16.67 14.94 8.68
260.00 50.00 210.00 1800 600.00 340.00
14.44 2.78 11.67 100.00 33.33 18.89 1.31
1800
100
75 Saluran tiga tingkat ini terjadi karena adanya grup dalam tataniaga bibit tanaman hutan di Kaltim. Grup tersebut terdiri dari beberapa perusahaan yang berstatus PT dan CV. Semua perusahaan anak grup tersebut dapat mengikuti tender pengadaan bibit. Anak grup pemenang tender bertindak sebagai pemborong, sementara anak grup lain menjadi pengumpul ke-2, sehingga stok bibit disubsidi silang antar perusahaan dalam grup. Pada saluran tiga tingkat, yang mendapat rasio keuntungan dan biaya terbesar adalah pengumpul 2, yaitu anak grup yang bertindak sebagai pengumpul. Sementara marjin keuntungan terbesar diperoleh oleh pemborong. Pemborong mendapatkan marjin keuntungan terbesar karena tingginya harga jual bibit, namun rasio keuntungan dan biaya pemborong lebih kecil dari pengumpul 2 karena selain biaya transportasi, pemborong juga mengeluarkan biaya transaksi untuk memenangkan tender pengadaan bibit. Saluran tiga tingkat ini juga memungkinkan terjadinya pencampuran antara bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat, karena adanya pengumpul dan pemborong yang mengumpulkan bibit dari berbagai penangkar, sehingga mutu bibit tidak terjamin. Dari hasil analisis distribusi manfaat diketahui bahwa makin panjang saluran, makin kecil Farmer’s Share (FS) yang diperoleh pengelola sumber benih. FS tersebut diperoleh dari rasio harga jual pengelola sumber benih dengan harga beli konsumen akhir. Demikian pula dengan persentase marjin keuntungan, makin panjang saluran, makin kecil marjin keuntungan yang diperoleh pengelola sumber benih. Mubyarto (1982) menyatakan bahwa efisiensi saluran pemasaran atau tataiaga terfokus pada efisiensi kerja suatu sistem pemasaran yang digunakan petani, yang menentukan bagian harga yang diterima petani (Farmer’s Share) dalam menerima bagian harga dari pembayaran harga terakhir. Apabila petani salah dalam memilih rantai tataniaga dalam memasarkan produknya, maka petani akan mengalami kerugian karena bagian yang diterima petani lebih rendah dari yang diharapkan. Menurut Soekartawi (1989), dalam hal ini konsumen juga akan dirugikan karena saluran pemasaran yang tidak efisien. Pada saluran satu tingkat untuk jenis meranti, marjin keuntungan pengelola sumber benih lebih besar atau seimbang dengan pemborong. Ini disebabkan pengelola sumber benih mempunyai posisi tawar dan informasi pasar yang lebih baik daripada pengelola sumber benih di saluran dua dan tiga tingkat,
76 sehingga tidak terjadi buyer driven (harga ditentukan pembeli). Berbeda dengan distribusi manfaat saluran satu tingkat untuk bibit mahoni, serta saluran dua dan tiga tingkat, di mana pengelola sumber benih menyesuaikan dengan harga pasar yang menyamakan antara bibit dari SB bersertiifikat dengan non sertifikat. Ini terjadi karena ketidakseimbangan informasi (assymetric information) yang dimiliki pengelola sumber benih dengan pengumpul atau pemborong. Ketidakseimbangan informasi ini meliputi jenis, harga, kuantitas, dan kualitas bibit yang dikehendaki pasar, serta waktu tender pengadaan bibit. Faktor waktu memegang peranan penting karena bibit memiliki masa kadaluarsa. Bibit yang terlalu tua biasanya tidak laku terjual sehingga penangkar bibit merugi. Aspek infomasi pasar sangat penting agar dapat mendekati kondisi pasar sempurna (Kotler, 2002), yang dapat menghasilkan kepuasan bagi semua pelaku tataniaga, baik pengelola sumber benih, penangkar, pedagang pengumpul, dan pemborong. 4. Analisis distribusi informasi Distribusi informasi memegang peranan penting dalam kegiatan sertifikasi sumber benih. Dalam penelitian ini informasi yang dikomunikasikan antar pelaku perbenihan dikategorikan menjadi tiga, yaitu : a) informasi mekanisme sertifikasi yang berlaku; b) informasi mengenai teknologi perbenihan; dan c) informasi pemasaran benih/bibit. Distribusi informasi antar pelaku perbenihan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Distribusi informasi antar pelaku dalam sertifikasi sumber benih No Tipe informasi
1
2
Mekanisme sertifikasi (Permenhut No P.1/2009) Teknologi : a. Pengelolaan SB b. Pembibitan / persemaian
Distribusi informasi
Sumber informasi
BPTH Banjarbaru
Dinas
Pengada benih/bibit
Tahu
Belum tahu
Belum tahu
Ditjen RLPS
Ada pengetahuan dan keterampilan
Ada pengetahuan, kurang dalam praktek
Ada pengetahuan dan keterampilan, merasa masih kurang
BPTH, buku, pendidikan formal, pelatihan
77 Tabel 16 (lanjutan) No Tipe informasi
3
Informasi pasar : a. Stok dan lokasi bibit b. Waktu dan jenis bibit yang diperlukan pasar c. Harga benih/bibit
Distribusi informasi BPTH Banjarbaru
Dinas
Pengada benih/bibit
Ada informasi stok meskipun tidak lengkap, kurang info waktu, jenis, dan harga bibit yang diperlukan pasar
Tidak ada informasi selain tender yang diadakan oleh Dinas sendiri
Ada yang punya informasi, ada yang tidak
Sumber informasi BPTH, BPDAS, sesama pengada bibit
Berdasarkan Tabel 16 dapat disimpulkan bahwa distribusi informasi antar pelaku perbenihan masih belum merata. BPTH yang bertugas medistribusikan informasi kebijakan belum menyampaikannya kepada pihak lain. Untuk informasi teknologi BPTH telah berfungsi sebagai pemberi informasi, namun Dinas belum melakukan fungsinya sebagai pembina. Sementara untuk informasi pemasaran, tidak ada pihak tertentu yang berfungsi sebagai pengumpul data/informasi pemasaran dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak lain. Kasim (1993) menyatakan bahwa efektivitas komunikasi (tukar menukar informasi) dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu dari : 1) relevansi infomasi yang disampaikan; 2) efisiensi jaringan komunikasi yang dipakai; dan 3) tingkat kepuasan penerima informasi. Mengenai relevansi informasi yang disampaikan dalam bidang perbenihan, semua informan pengada benih/bibit yang ditemui menyatakan masih memerlukan informasi mengenai kebijakan perbenihan, teknologi perbenihan, serta informasi pasar. Informasi pasar yang dimaksudkan di sini berupa informasi mengenai waktu tender pengadaan bibit, jenis bibit, harga, kuantitas permintaan, serta keterangan mengenai jumlah dan jenis bibit yang tersedia di pasaran. Karena semua informan menyatakan masih memerlukan informasi, bisa disimpulkan bahwa informasi yang didapat selama ini masih belum cukup atau belum memuaskan. Peran Dinas Kabupaten/Kota dalam pembinaan dan fasilitasi belum dirasakan di daerah. Dinas sendiri masih kekurangan informasi mengenai kebijakan dan teknologi perbenihan. Dalam Permenhut No P.1/2009, pengelola
78 informasi perbenihan adalah BPTH. Karena itu peran BPTH Banjarbaru sebagai pengelola informasi menjadi penting agar pihak Dinas dan swasta mengetahui mekanisme sertifikasi, peran/kewajiban masing-masing pihak, serta teknologi dan informasi pemasaran yang diperlukan untuk mengembangkan kegiatan perbenihan di daerah. Hal ini mengurangi kemungkinan terjadinya assymetric information seperti kasus dalam distribusi manfaat tataniaga bibit saluran dua dan tiga. Karena tugas penerbitan sertifikasi, pembinaan dan pengawasan didesentralisasikan, BPTH lebih memfokuskan diri pada pengelolaan informasi perbenihan melalui penerbitan dan distribusi berbagai media, seperti liflet, buletin, petunjuk teknis teknologi perbenihan, buku statistik perbenihan (mencantumkan daftar pengada benih/bibit, kuantitas produksi, kisaran harga benih dan bibit), mengaktifkan website, melakukan pameran dan sosialisasi kebijakan (termasuk ketentuan mengenai harga benih/bibit bersertifikat yang dtetapkan pemerintah) ke daerah secara tertulis maupun dengan kunjungan, dan sebagainya. Untuk memudahkan pengelolaan perbenihan, BPTH dapat bekerja sama dengan asosiasi atau forum komunikasi perbenihan di daerah. Mengenai jaringan komunikasi, semua informan pengusaha perbenihan yang ditemui sepakat tentang perlunya dibentuk suatu forum komunikasi perbenihan. Di Kaltim dan Kalsel sebelumnya sudah ada asosiasi pengusaha benih/bibit, namun tidak aktif karena berbagai sebab seperti ketidaksepakatan masalah harga dan akses pasar. Karena itu perlu dibentuk forum baru sebagai wahana pertukaran informasi teknologi perbenihan, informasi pasar dan ketersediaan bibit, penetapan etika/peraturan tata niaga bibit agar tidak terjadi monopoli, dan menetapkan harga kesepakatan. Agar kelembagaan forum komunikasi baru tersebut dapat efektif, maka perlu dirumuskan dan disepakati peraturan yang dapat melindungi kepentingan bersama, lengkap dengan sanksinya. Dengan berdirinya forum komunikasi perbenihan, informasi perbenihan dapat dipertukarkan antar pihak seperti tersaji dalam Gambar 16.
79
Konsumen bibit Penangkar bibit Pengelola SB Pengada bibit terdaftar
Forum komunikasi perbenihan
BPTH Banjarbaru
Dinas
Keterangan : garis pelaporan produksi dan distribusi garis pertukaran informasi kebijakan, teknologi, dan informasi pasar Pertukaran informasi penawaran dan permintaan Gambar 16. Pertukaran informasi antar pelaku perbenihan
4. Penilaian Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih Kegiatan suatu individu/institusi dikatakan efisien apabila sumberdaya yang dikeluarkan seimbang dengan hasil yang didapatkan. Kelembagaan pengusahaan sumber benih bersertifikat bisa dinilai efisien karena layak dari segi finansial dengan kisaran BCR antara 1.075 – 1.402, dan IRR antara 29.32 – 261.77 (pada tingkat suku bunga 13.52%). Biaya transaksi sertifikasi sebesar 0.017 – 0.16 dari keuntungan (NPV), sehingga tidak signifikan. Meski demikian hasil analisis sensitivitas menyatakan bahwa sebagian besar (0.83%) pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian ternyata akan mengalami kerugian (tidak efisien lagi) apabila terjadi penurunan volume penjualan sebesar 20%, atau terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10%, atau kombinasi keduanya. Efisiensi kelembagaan pengelola sumber benih bersertifikat akan dapat ditingkatkan apabila distribusi informasi dan distribusi manfaat antar pemangku kepentingan seimbang. Namun hasil analisis aspek informasi menyimpulkan bahwa distribusi informasi perbenihan dirasakan belum merata di daerah, terbukti para pengada dan pengedar benih/bibit serta Dinas Kehutanan di daerah masih kekurangan infomasi mengenai kebijakan perbenihan, teknologi perbenihan, serta informasi pasar. Ketidakmerataan informasi pasar ini juga dirasakan oleh
80 beberapa pengusaha sumber benih yang tidak mempunyai informasi mengenai harga benih bersertifikat serta informasi proyek pengadaan bibit, stok bibit, serta keberadaan pengusaha bibit, sehingga menjual bibit dari sumber benih bersertifikat dengan harga yang sama dengan non sertifikat. Distribusi manfaat antar pelaku tataniaga ternyata belum seimbang. Farmer’s Share (FS) terbesar dan distribusi marjin keuntungan paling seimbang ternyata diperoleh pada saluran langsung dan saluran tingkat satu, dengan syarat harga bibit mempertimbangkan adanya sertifikasi sumber benih. Harga bibit yang tidak mempertimbangkan adanya sertifikat ternyata membuat nilai FS dan distribusi manfaat yang diperoleh pengusaha sumber benih paling kecil dibanding pelaku tataniaga lain. D. Sintesis Penilaian Efektivitas Dan Efisiensi Sertifikasi Sumber Benih Sintesis penilaian efektivitas dan efisiensi kelembagaan disajikan dalam Gambar 17.
81
Isi kebijakan yang berlaku
Implementasi kebijakan
sebelum Permenhut No P.1/2009
Permenhut No P.1/2009 lembaga (pengelola sumber benih bersertifikat)
sumberdaya (manusia, keuangan,
Efektif untuk TBT, TBS, APB, tidak efektif untuk TBP dan KB
Komunikasi, sumberdaya (manusia, keuangan, sarana), sikap struktur birokrasi
Kelayakan finansial
Distribusi manfaat
tidak efektif
Bisa efektif apabila diterbitkan pedoman pelaksanaan
efisien
Distribusi informasi Relasi antar pelaku
efektif
TBP, KBS, KBK, KP
Permenhut No P.1/2009
Efektivitas
Efisiensi
TBT, TBS, APB
sebelum Permenhut No P.1/2009
Bisa efektif apabila sudah diterbitkan pedoman pelaksanaan, ada diklat, dan ada dukungan Pemda
Tidak efisien
Efisien untuk saluran tingkat satu, tidak efisien untuk saluran tingkat dua dan tiga
Gambar 17. Sintesis penilaian efektivitas dan efisiensi kelembagaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan
82
E. Pembelajaran dari Sistem Sertifikasi Sumber Benih Departemen Pertanian Sistem sertifikasi produk sebenarnya merupakan amanat Undang-undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang di dalamnya mensyaratkan pencantuman label pada kemasan produk yang dipasarkan oleh produsen dan pelaku usaha. Ini menjadi dasar hukum untuk melindungi hak-hak konsumen dan mengharuskan pelaku usaha untuk lebih bertanggung jawab. Mutu dan kondisi produk yang tidak sesuai dengan penjelasan pada label kemasan dapat mengakibatkan tuntutan konsumen yang merasa dirugikan dan berdampak pada kerugian pihak perusahaan. Demikian pula dalam sistem sertifikasi sumber benih tanaman hutan yang konsumen akhirnya adalah masyarakat umum yang perlu mendapatkan jaminan mengenai mutu bahan tanaman yang mendukung keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan. Departemen Pertanian (Deptan) sudah lebih dulu menerapkan sistem sertifikasi dalam upaya melindungi konsumen produk pertanian. Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 38 Tahun 2006 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih, terdapat beberapa ketentuan mengenai pengawasan mutu benih yang dapat menjadi bahan pembelajaran bagi sistem sertifikasi perrbenihan tanaman hutan.
Tujuan utama dari pengawasan mutu benih di Departemen
Pertanian adalah mencegah beredarnya benih yang berkualitas rendah di pasaran. Sistem pengawasan benih menyangkut kegiatan yaitu : a) sertifikasi yang meliputi kegiatan pemeriksaan di lapangan, di tenpat pengolahan, di tempat penyimpanan sampai ke pasar, dan pelabelan; b) pengujian benih. Beberapa ketentuan yang dapat menjadi bahan pembelajaran dari Deptan antara lain : 1.
Untuk sumber benih yang disertifikasi adalah sistem manajemen mutu sumber benih, sedang untuk produk dari sumber benih tersebut dilakukan pelabelan. Menurut Kotler (1997), label merupakan bagian dari kemasan, yang memiliki beberapa fungsi, yaitu mengidentifikasikan produk atau merek, menentukan kelas produk, menjelaskan tentang produk yang meliputi identitas produsen, lokasi dan waktu produksi, komposisi, penggunaan, tanggal kadaluarsa, dan menyatakan mutu produk. Untuk produk berupa benih, label
83
diberikan per kemasan benih dengan warna yang berbeda menurut kelas sumber benih. Sedangkan untuk produk berupa bibit, label diberikan per batang bibit. Adanya label akan memperkecil kemungkinan pencampuran produk dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat. Dalam Permenhut No P.1/2009, pelabelan bibit hanya diberikan apabila penjualan bibit dalam jumlah kecil. Sedang apabila penjualan bibit berjumlah besar hanya diberikan surat keterangan mutu bibit, yang rawan terhadap kemungkinan pencampuran bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat. Di Deptan, sertifikasi diberikan per batang bibit dengan memungut biaya pelabelan. Besarnya biaya pelabelan tergantung pada harga produk. 2. Adanya petugas fungsional pengawas perbenihan yang dapat mengawasi produksi dan peredaran benih/bibit sehingga keaslian mutu produk sumber benih lebih terjamin. Ketentuan tertinggi mengenai pengawas perbenihan tercantum dalam PP NO 44 Tahun 1995 mengenai Perbenihan Tanaman. Dalam kebijakan tersebut, Menteri berwenang menetapkan persyaratan pengawas benih (pasal 46 ayat 2). Pengawas benih berwenang untuk melakukan
pemeriksaan
terhadap
proses
produksi,
sarana,
tempat
penyimpanan dan cara pengemasan benih, memeriksa dokumen dan catatan produsen, pemasok, dan pengedar benih, pemeriksaan terhadap kegiatan sertifikasi serta mengambil contoh benih guna pemeriksaan mutu. F. Prospek Pengusahaan Sumber benih Bersertifikat di Masa Mendatang Prospek sumber benih bersertifikat dikaji berdasar faktor karakter konsumen. Pembeli produk sumber benih bersertifikat bisa digolongkan menjadi empat, yaitu : a.
Pembeli untuk keperluan proyek pemerintah, baik yang bersumber dari dana pemerintah pusat seperti proyek GNRHL, One Man One Tree atau HTR, maupun yang bersumber dari dana pemerintah daerah seperti DAK/DR. Pembeli untuk keperluan proyek pemerintah biasanya memesan bibit dalam jumlah yang besar dan frekuensi pembelian
tinggi (tiap tahun selama
beberapa tahun). Meskipun proyek GNRHL sudah berakhir, namun karena RHL merupakan salah satu program prioritas Dephut, sehingga kegiatan RHL tetap dilakukan
84
dengan nama dan tujuan lain seperti proyek pembangunan HTR maupun One Man One Tree. Anggaran Dephut untuk RHL menyusut pada tahun 2010 sehingga hanya cukup untuk membiayai RHL seluas 100,000 hektar. Namun ada harapan untuk penambahan anggaran RHL di tahun-tahun mendatang dengan adanya target Indonesia mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. Untuk memenuhi target tersebut Indonesia harus melaksanakan kegiatan RHL baik pada kawasan DAS, HTI, restorasi HPH, Hutan Kemasyarakatan (HKm), HTR, Hutan Desa (HD), dan HTR Kemitraan dengan target penanaman untuk tahun 2010-2020 seluas 21.150.000 hektar. Dengan demikian kegiatan RHL yang bersumber dari APBN, dan APBD tetap berprospek sebagai pasar bagi pengada bibit atau benih. Hingga tahun 2010 tidak ada ketentuan yang mewajibkan proyek pemerintah menggunakan bibit dari sumber benih bersertifikat. Penggunaan bibit bersertifikat pada proyek pemerintah tergantung pada ketersediaan anggaran instansi yang bersangkutan (karena bibit bersertifikat harganya lebih mahal) dan permintaan masyarakat pelaksana penanaman. Diperlukan kebijakan insentif agar proyek pemerintah cenderung memilih bibit bersertifikat. Karena proyek pemerintah dalam RHL bersumber dari dana publik (public procurement), disarankan agar pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan instansi pelaksana RHL mengacu pada standar mutu bibit di Permenhut No P.1/2009
dalam penentuan spesifikasi bibit untuk RHL. Dengan demikian
instansi yang besangkutan akan cenderung memilih bibit yang bersal dari sumber benih bersertifikat yang terjamin mutunya. Namun sebelumnya ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu sertifikasi produk sumber benih bersertifikat benar-benar menjamin kebenaran kelas dan mutu produk sumber benih. b. Pembeli untuk keperluan penanaman HTI. Pembeli yang berasal dari HTI biasanya membeli bibit dalam jumlah yang tidak terlalu besar dan frekuensi pembelian rendah. Dalam hal ini kekuatan pembeli perseorangan tidak sekuat kekuatan pembeli dari pemerintah. Namun pembeli untuk keperluan komersial seperti HTI akan cenderung memilih produk sumber benih bersertifikat. Konsumen untuk sumber benih kelas TBP, KBS, KBK, dan KP umumnya
85
berasal dari pengusaha HTI, sehingga sertifikasi TBP, KBS, KBK, dan KP harus benar-benar efektif untuk menunjang mutu produk HTI. c. Pembeli yang memenuhi kewajiban rehabilitasi atau reklamasi lahan, berasal dari pemegang HPHA atau pengusaha tambang. Pembelian bibit untuk kategori ini jumlahnya tidak terlalu besar dan frekuensi pembelian rendah. Biasanya hanya perusahaan berskala besar yang mengutamakan produk sumber benih bersertifikat, seperti pengelola hutan alam produksi yang menerapkan sistem silvikultur intensif, atau pengusaha tambang batubara berskala
besar
yang
periode
usahanya
berjangka
panjang.
Mereka
melaksanakan rehabilitasi hutan atau reklamasi lahan dengan lebih sungguhsungguh karena mengharapkan perpanjangan hak pengusahaan hutan atau hak pengusahaan tambang. Sementara pengusaha berskala kecil umumnya tidak memprioritaskan produk sumber benih bersertifikat, karena keterbatasan anggaran atau sekedar memenuhi kewajiban agar tidak dicabut hak pengusahaannya. Kebijakan insentif dari pemerintah dapat diterapkan (misalnya perpanjangan hak pengusahaan kepada mereka yang berhasil melaksanakan rehabilitasi atau reklamasi lahan) namun harus ada jaminan efektivitas sertifikasi produk sumber benih bersertifikat. d. Pembeli perorangan, biasanya membeli dalam kuantitas dan frekuensi kecil. Pembelian ini dilakukan untuk konsumsi sendiri, misalnya untuk HTR swadaya, ataupun untuk memenuhi persyaratan
sebagai pengada bibit
terdaftar (harus ada bibit yang berasal dari sumber benih bersertifikat). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengusahaan sumber benih bersertifikat masih berprospek menghasilkan keuntungan di masa mendatang, dengan syarat sistem sertifikasi tersebut disempurnakan agar efektif, dan perlu didukung kebijakan insentif dari pemerintah. Sertifikasi bertujuan memberikan perlindungan mutu produk kepada konsumen. Meskipun mekanisme penilaian sertifikasi untuk TBT, TBS, dan APB cukup efektif, namun terdapat masalah dalam sistem pengawasan dan peredarannya. Apabila sistem sertifikasi tidak disempurnakan, maka manfaat dari sertifikasi tidak dapat diwujudkan karena kurangnya jaminan mutu produk yang benar-benar dapat melindungi konsumen, sehingga posisi tawar pengelola sumber benih dalam menentukan harga produk
86
menjadi lemah. Apabila hal itu terjadi, maka secara ekologis maupun secara finansial, sertifikasi sumber benih tidak dapat membawa manfaat bagi produsen maupun konsumen. G. Permenhut No P.72/2009 sebagai revisi dari Permenhut No P.1/2009 Pada tanggal 11 Desember 2009, Menteri Kehutanan mengeluarkan Permenhut No P. 72/2009 sebagai revisi dari Permenhut No P.1/2009. Dalam Permenhut No P.72/2009 ini, disebutkan bahwa peraturan ini diterbitkan dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum dan birokrasi dalam bidang perbenihan tanaman hutan. Terkait dengan sertifikasi sumber benih, beberapa butir revisi dari Permenhut No P.1/2009 yang dicantumkan dalam Permenhut No P.72/2009 adalah sebagai berikut : 1.
Dihapuskannya pasal 34 dalam Permenhut No P.1/2009 yang menyebutkan bahwa biaya kegiatan lapangan yang dilakukan dalam rangka penetapan pengada benih dan pengedar benih dan/atau bibit terdaftar ditanggung oleh pemohon.
Dihapuskannya ketentuan ini
mungkin karena dianggap
memberatkan pemohon sertifikat. Dengan demikian biaya kegiatan lapangan ini kembali menjadi tanggungan instansi penerbit/pelaksana sertifikasi. Padahal hasil wawancara dengan para pengelola sumber benih serta pengada bibit di Kaltim dan Kalsel menyatakan bahwa mereka tidak berkeberatan bila harus menanggung biaya lapangan asalkan merupakan tarif resmi, sebab selama ini para pemohon tetap mengeluarkan biaya untuk akomodasi, konsumsi, dan tranmsportasi lapangan penilaian sertifikasi. Implikasi dari dihapuskannya ketentuan ini, sebagaimana dibahas dalam sub bab analisis mekanisme sertifikasi serta analisis biaya transaksi sertifikasi antara lain adalah : a. Instansi pelaksana sertifikasi kembali terbebani anggaran yang lebih besar untuk operasional sertifikasi sehingga birokrasi pencairan anggaran untuk memenuhi permohonan sertifikasi lebih berat dan lambat. Besarnya anggaran ini
juga mengurangi minat atau motivasi Dinas untuk
melaksanakan sertifikasi. b. Dikhawatirkan mempertahankan adanya biaya transaksi tak resmi yang dikatakan sebagai biaya yang dikeluarkan pemohon untuk membantu
87
kelancaran operasional penilaian sertifikasi di lapangan. Oleh karena itu akan lebih baik apabila ketentuan pasal 34 tidak dihapus, hanya saja komponen biaya lapangan dan besarannya harus ditentukan dalam peraturan teknis tersendiri sehingga merupakan tarif resmi. 2.
Adanya ketentuan dalam Lampiran 7 Permenhut No P.72/2009 yang menyebutkan bahwa : a) Tim Penilai untuk TBT, TBS, dan APB harus melibatkan tenaga terampil atau ahli dari BPTH dan UPT Balitbanghut; b) Tim Penilai untuk TBP, KBS, KBK, dan KP dibentuk oleh BPTH dengan melibatkan tenaga terampil atau ahli dari BPTH dan Balitbanghut. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan dari Permenhut No P.1/2009, sebab pelibatan tenaga terampil dan ahli ini akan lebih menjamin efektivitas sertifikasi sumber benih.
3.
Penyempurnaan standar khusus sumber benih kelas KBS, KBK, dan KP sebagaimana yang diusulkan oleh Balitbanghut (revisi dari Balitbanghut mengenai standar khusus sertifikasi sumber benih dapat dilihat pada Lampiran 7 tesis ini). Adanya penyempurnaan standar khusus KBS, KBK, dan KP ini akan lebih menjamin efektivitas sertifikasi sumber benih.
H. Permasalahan dan Alternatif Solusi dalam Sertifikasi Sumber Benih Permasalahan yang membuat kelembagan sertifikasi sumber benih tanaman hutan menjadi tidak efektif dan tidak efisien, serta alternatif solusinya disampaikan dalam Tabel 17.
Tabel 17. Problema dan rekomendasi solusi dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kaltim dan Kalsel Uraian Permasalahan A. Efektivitas 1. Mengenai isi kebijakan terkait mekanisme sertifikasi a. Belum ada ketentuan teknis mengenai besaran pungutan jasa penerbitan sertifikasi perbenihan b. Biaya penilaian sertifikasi di lapangan ditanggung penerbit sertifikasi, sedang realisasi di lapangan pemohon sertifikat tetap mengeluarkan biaya penilaian lapangan yang menjadi biaya transaksi sertifikasi
c. Belum ada ketentuan teknis mengenai lembaga yang berwenang melakukan akreditasi kepada Dinas serta mekanisme akreditasinya d. Belum ada pedoman teknis mengenai jabatan fungsional pengawas perbenihan bagi staf Dinas/BPTH e. Peraturan yang ada belum menjamin keaslian produk dalam peredaran benih dan bibit dari sumber bersertifikat
Usulan Rekomendasi
a. Ditjen RLPS menerbitkan petunjuk teknis mengenai besaran pungutan jasa penerbitan sertifikasi perbenihan yang tidak memberatkan pengusaaha perbenihan namun dapat mengurangi beban anggaran dan menghasilkan manfaat bagi penerbit sertifikasi, serta tarif resmi untuk biaya penilaian lapangan (revisi lagi dari Permenhut No P.72/2009) b. Ditjen RLPS segera menerbitkan ketentuan mengenai wewenang lembaga dan mekanisme akreditasi. Wewenang akreditasi sebaiknya diberikan kepada Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (instansi pemerintah pusat, bukan unit pelaksana teknis di daerah) c. Ditjen RLPS menerbitkan pedoman mengenai jabatan fungsional pengawas perbenihan bagi staf Dinas/BPTH d. Ditjen RLPS agar segera menerbitkan pedoman teknis perbenihan yang memuat ketentuan berikut : i) Penerbit sertifikasi benih dan bibit agar melakukan pelabelan per batang bibit, bukan hanya surat keterangan mutu bibit ii) Penerapan sanksi yang tegas, yaitu pencabutan sertifikat bagi pengusaha benih/bibit bersertiifikat yang tidak melaporkan produksi dan distribusi benih/bibitnya
89
Tabel 17 (lanjutan) Uraian Permasalahan 2
Implementasi kebijakan : a. Komunikasi : Dinas belum mengetahui prosedur dan manfaat melakukan sertifikasi bagi daerah
b. Sumberdaya : Dinas belum memiliki sumberdaya manusia yang kompeten, sarana yang memenuhi syarat, dan anggaran untuk melakukan sertifikasi, serta melakukan pembinaan dan pengawasan perbenihan c. Mekanisme/struktur birokrasi : Dinas perlu dukungan Kepala Daerah dan DPRD untuk mendapatkan anggaran pengadaan sarana, pelatihan SDM, dan operasional sertifikasi B 1
Usulan Rekomendasi 1. a. i) Ditjen RLPS memprakarsai penelitian kebijakan mengenai prospek dan manfaat penerbitan sertifikasi bagi daerah yang berpotensi sebagai penerbit sertifikasi ii) BPTH Banjarbaru menyelenggarakan sosialisasi/roadshow ke daerah apabila hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa penerbitan sertifikasi bermanfaat bagi daerah b. Ditjen RLPS menyelenggarakan diklat perbenihan, terutama bagi penilai sertifikasi dan pengawas perbenihan c. sama dengan poin 1.a.
Efisiensi Distribusi informasi kebijakan, teknologi perbenihan, dan 1. a) Dibentuk forum komunikasi perbenihan daerah yang difasilitasi Dinas informasi pasar tidak merata dan atau BPTH Banjarbaru b) Karena tugas penerbitan sertifikasi, pembinaan dan pengawasan didesentralisasikan, BPTH lebih memfokuskan diri pada pengelolaan informasi perbenihan melalui penerbitan dan distribusi berbagai media, dan sosialisasi kebijakan ke daerah secara tertulis maupun dengan kunjungan, dan sebagainya.
90
Tabel 17 (lanjutan) Uraian Permasalahan
Usulan Rekomendasi
2. Distribusi manfaat antar pelaku tataniaga benih/bibit dari sumber bersertifikat tidak seimbang
2. Solusinya sangat dipengaruhi oleh efektivitas distribusi infomasi pasar pada poin 1. Apabila distribusi informasi lebih merata, dan assymetric information berkurang, sehingga posisi tawar produsen benih/bibit dari sumber benih bersertifikat dapat lebih baik dalam menetapkan harga jual benih/bibit.
3. Pengusahaan sumber benih bersertifikat sensitif terhadap penurunan pendapatan yang bersumber dari turunnya angka penjualan produk
3.
kebijakan insentif pemerintah yang mewajibkan instansi pelaksana RHL mengacu pada standar mutu bibit di Permenhut No P.1/2009 dalam penentuan spesifikasi bibit untuk RHL, sehingga dapat meningkatkan penggunaan produk dari sumber benih bersertifikat. Perlu