9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL 4.1.1. Difraksi Sinar-X Sampel Analisis XRD dilakukan untuk mengetahui fasa apa saja yang terkandung di dalam sampel, menghitung derajat kristalinitas sampel, parameter kisi kristal dan ukuran kristal sampel. Pola yang didapat dibandingkan dengan data JCPDS 9-432 (HAp), JCPDS 35-180 (AKA), JCPDS 19272 (AKB) dan JCPDS 44-0778 (OKF). Berikut adalah pola hasil analisa XRD masing-masing sampel
Gambar 9 Pola XRD Kitosan Murni
Gambar 10 Pola XRD Kontrol 1 (A1)
Gambar 12 Pola XRD Insitu 1 (B1)
Gambar 13 Pola XRD Insitu 2 (B2)
Gambar 14 Pola XRD Eksitu 1 (C1)
Gambar 15 Pola XRD Eksitu 2 (C2) Gambar 11 Pola XRD Kontrol 2 (A2)
10
Gambar 9 memperlihatkan pola XRD kitosan murni yang menunjukkan adanya beberapa sudut dengan intensitas cukup tinggi yaitu pada 2θ = 19.840 dan 20.060. Gambar 10 memperlihatkan pola XRD dari kontrol ulangan pertama (A1), puncak tertinggi dimiliki oleh HAp yakni pada sudut 2θ = 31.840 . Sampel A2 pada sudut 2θ = 31.880 (Gambar 11), B1 pada sudut 2θ = 31.940 (Gambar 12), B2 pada sudut 2θ = 31.760 (Gambar 13), C1 pada sudut 2θ = 31.960 (Gambar 14) dan sampel C2 pada sudut 2θ = 31.90 (Gambar 15). Mayoritas puncak yang teridentifikasi dari keenam sampel adalah milik HAp, meskipun mineral apatit masih muncul pada puncak-puncak tertentu, seperti pada sampel C1 puncak tertinggi tidak hanya dimiliki oleh HAp tapi juga milik AKB (Gambar 14). Sampel apatit-kitosan yang diperoleh dengan metode insitu dan eksitu, pola XRD yang dihasilkan memperlihatkan bahwa telah muncul puncak milik kitosan di beberapa sudut, namun intensitasnya lebih rendah dibandingkan pada kitosan murni. Sampel B1 pada sudut 2θ = 19.620 dan 22.12 0, B2 pada sudut 2θ = 19.680, C1 pada sudut 2θ = 20.020 yang merupakan puncak bersama dengan OKF dan pada 21.90 merupakan puncak bersama dengan HAp. Sampel C2 pada sudut 2θ = 19.90 merupakan puncak bersama dengan OKF dan pada sudut 20.160 Tabel 3 memperlihatkan derajat kristalinitas sampel yang diperoleh langsung dengan program dari alat karakterisasi XRD. Derajat kristalinitas kontrol dengan 2 kali ulangan (A1 dan A2) memiliki nilai 85.20% dan 80.15%. Kedua sampel ini memiliki derajat krisatinitas yang paling tinggi dibandingkan dengan sampel lainnya. Sampel insitu memiliki derajat kritalinitas sebesar B1 = 55.28% dan B2 = 56.87%. Sedangkan untuk sampel eksitu memiliki derajat krisalinitas sebesar C1 = 75.49% dan C2 = 77.58%. Sampel B1 dan B2 memiliki derajat yang paling rendah dibandingkan sampel kontrol dan eksitu. Tabel 4 memperlihatkan hasil perhitungan ukuran kristal. Ukuran kristal dihitung dengan menggunakan persamaan Scherrer pada bidang 002 k D Cos dengan β merupakan FWHM (Full width at half maximum) dari garis difraksi skala 2θ pada bidang 002, λ merupakan panjang gelombang yang digunakan pada alat XRD
(nilainya adalah 0.15406 nm) dan k adalah konstanta untuk material biologi (nilainya sebesar 0.94)[23]. Ukuran kristal sampel dengan dua kali pengulangan berkisar sekitar 25-29 nm. Perhitungan ukuran kristal dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 5 memperlihatkan hasil perhitungan parameter kisi. Perhitungan parameter kisi dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai parameter kisi keenam sampel menunjukkan bahwa keenam sampel tersebut adalah HAp dengan tingkat akurasi nilai a dan c rata -rata mencapai 99 %. Tabel 3 Derajat kristalinitas sampel Kode Sampel A1 A2 B1 B2 C1 C2
Kristalinitas (%) 85.20 80.15 55.28 56.87 75.49 77.58
Tabel 4 Ukuran kristal sampel Kode Sampel A1 A2 B1 B2 C1 C2
β/2 (deg) 0.28665 0.32835 0.305 0.29165 0.31 0.32
β/2 (rad) 0.00500 0.00573 0.00532 0.00509 0.00541 0.00558
D002 (nm) 29.717 25.943 27.935 29.208 27.485 26.622
Tabel 5 Parameter kisi sampel Kode Parameter Kisi Sampel a (Å) Akurasi % c (Å) A1 9.358 99.2204 6.8913 A2 9.481 99.4835 6.8751 B1 9.460 99.6998 6.9204 B2 9.499 99.2727 6.9426 C1 9.349 99.2175 6.8091 C2 9.519 99.0744 6.914
Akurasi % 99.851 99.915 99.428 99.105 98.955 99.526
11
4.1.2. FTIR (Fourier Transform Infrared ) Sampel Analisis FTIR untuk mengetahui gugus fungsi yang terkandung dalam sampel. Spektrum transmitansi IR keenam sampel diperlihatkan pada Gambar 16-22. Tabel 6 memperlihatkan bilangan gelombang gugusgugus fungsi yang dimiliki oleh keenam sampel. Sampel A1 memiliki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3434 cm-1 dan 1641 cm-1, gugus PO4 stretching pada bilangan gelombang sekitar 1098-963 cm-1 dan PO4 bending pada 604-471 cm-1, gugus CO3(ν2) pada bilangan gelombang 874 cm-1 dan CO3(ν3) pada 1567-1418 cm-1. Sampel A2 memiliki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3431 cm-1 dan 1637 cm-1. gugus PO4 stretching pada bilangan gelombang sekitar 1035 cm-1 , 962 cm-1 dan PO4 bending pada 604-471cm1, gugus CO3(ν 2) pada bilangan gelombang 875 cm-1 dan CO3(ν3) pada 1574-1404 cm-1. Sampel B1memilki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3420 cm-1 dan 3171 cm-1 yang bertumpukan dengan gugus fungsi NH milik kitosan sehingga nilai transmitansinya terlihat lebih lebar dan pada bilangan gelombang 1648 cm-1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida I milik kitosan, gugus PO4 stretching pada bilangan gelombang sekitar 1097cm-1 dan 1031 cm-1 dan PO4 bending pada 603-475 cm-1, gugus C-OH pada bilangan gelombang 896 cm-1 dan CO3(ν3) pada 1564 cm-1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida II milik kitosan, 1403 dan 1343 cm-1. Sampel B2 memilki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3419-3231 cm-1 yang bertumpukan dengan gugus fungsi NH milik
kitosan sehingga nilai transmitansinya terlihat lebih lebar, gugus PO4 stretching pada bilangan gelombang sekitar 1033 cm-1 dan PO4 bending pada 604-471cm-1, gugus C-OH pada bilangan gelombang 894 cm-1 dan CO3(ν3) pada 1574 cm-1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida II milik kitosan, pada 1424 cm-1, selain itu pada bilangan gelombang 1300 cm-1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi miliki C-O, gugus fungsi C-H muncul pada bilangan gelombang 2930 cm-1. Sampel C1 memilki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3415-3176 cm-1 yang bertumpukan dengan gugus fungsi NH milik kitosan sehingga nilai transmitansinya terlihat lebih lebar dan pada bilangan gelombang 1640 cm-1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida I milik kitosan, gugus PO4 stretching pada bilangan gelombang 1031 cm-1 dan PO4 bending pada 604-475 cm-1, gugus C-OH pada bilangan gelombang 897 cm-1 dan CO3(ν3) pada 1567 cm-1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida II milik kitosan, dan pada 1403-1311 cm-1. Sampel C2 memilki gugus fungsi OH pada bilangan gelombang 3431-3176 cm-1 yang bertumpukan dengan gugus fungsi NH milik kitosan sehingga nilai transmitansinya terlihat lebih lebar PO4 stretching pada bilangan gelombang sekitar 1033 cm-1 dan PO4 bending pada 604-470cm-1, gugus C-OH pada bilangan gelombang 894 cm-1 dan CO3(ν3) pada 1574 cm-1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi amida II milik kitosan, 1403 cm-1 selain itu pada bilangan gelombang 1300 cm-1 yang bertumpukkan dengan gugus fungsi miliki C-O, gugus fungsi C-H muncul pada bilangan gelombang 2929 cm-1.
Tabel 6. Pola pita absorbsi sample hasil FTIR Kode sampel A1
PO4
PO4
stretching
bending
CO3 (υ2)
Pola absorbsi (cm-1) CO3 (υ3) OH
C-OH
A2
1098;1087; 1075;1051; 1023;963 1035;962
B1
1097;1031
B2
1033
C1
1031
604;563; 475
-
1567;1403; 1342;1311
3415;3165;1 640
897
C2
1033
604;564; 470
-
1574;1403; 1300
3431;3308;3 176
894
N-H
C-H
Amida I
Amida II
604;566; 471
874
1567;1453; 1418
3434;1641
-
-
-
-
-
604;565; 471 603;564; 475 604;564; 471
875
1574;1454;1 404 1564;1403;1 343 1574;1424; 1300
3431;1637
-
-
-
-
-
3420;3171;1 648 3419;3182;3 268;3231
896
3420; 3171 3419; 3182; 3268; 3231 3415; 3165
-
1648
1564
2930
-
1574
-
1640
1567
3431; 3308; 3176
2929
-
1574
-
894
12
Gambar 16 Pola FTIR Kitosan Murni
Gambar 17 Pola FTIR Kontrol 1 (A1)
Gambar 19 Pola FTIR Insitu 1 (B1)
Gambar 20 Pola FTIR Insitu 2 (B2)
Gambar 21 Pola FTIR Eksitu 1 (C1) Gambar 18 Pola FTIR Kontrol 2 (A2)
13
Gambar 24 Morfologi kitosan murni Gambar 22 Pola FTIR Eksitu 2 (C2) Tabel 7 Derajat Belah Spektra FTIR pada pita vibrasi PO4(ν4) Sampel Sampel
Derajat belah
A1
1.067729
B1
1.056865
C1
1.066406
A2
1.174699
B2
1.095164
C2
1.112745
4.1.3.
Morfologi dan EDXA (EnergyDispersive X-Ray Analysis ) Sampel Analisis morfologi dilakukan dengan karakterisasi SEM dan untuk melihat kandungan Ca dan P pada sampel dilakukan analisis EDXA. Berikut hasil dari karakterisasi SEM pada sampel (Gambar 23.26) dengan perbesaran 10000x. Tabel 7 memperlihatkan rasio Ca/P dari sampel dengan melihat kandungan Ca dan P dari hasil EDXA. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 10.
Gambar 25 Morfologi Sampel Insitu (B)
Gambar 26 Morfologi Sampel Eksitu (C)
Gambar 23 Morfologi Sampel Kontrol (A)
14
Tabel 8 Rasio Molaritas Ca/P Sampel Kode Sampel Kontrol Insitu Eksitu
Ca/P 1.817 1.733 1.934
4.1.4. Kekerasan Sampel Analisis tingkat kekerasan sampel dilakukan dengan uji Vickers. Berikut hasil dari uji tingkat kekerasan sampel. Tabel 8 memperlihatkan hasil dari uji kekerasan sampel. Sampel memiliki tingkat kekerasan masing-masing untuk A1= 2.761 HV, A2 = 2.815 HV, B1 = 3.312 HV, B2 = 3.098 HV, C1 = 4.489 HV dan sampel C2 sebesar 3.473 HV. Hasilnya menunjukkan sampel biokomposit apatit kitosan dengan metode eksitu memilki tingkat kekerasan yang paling besar dibandingkan dengan metode insitu. Secara umum sampel apatit yang telah dikompositkan dengan kitosan memiliki tingkat kekerasasan yang lebih besar dibandingkan dengan sampel tanpa penambahan kitosan (kontrol) Tabel 9 Nilai kekerasan sampel. Kode Jarak VHN VHN rataSampel rata-rata (HV) rata (HV) A1 180.0 2.862 188.0 2.623 2.761 182.0 2.799 A2 131 2.701 119 3.274 2.815 137 2.470 B1 170.0 3.208 167.0 3.325 3.312 180.0 2.862 B2 123.5 3.0396 128.5 2.808 3.098 116 3.445 C1 120.0 6.439 160.0 3.622 4.489 165.0 3.406 C2 120 3.219 115 3.505 3.473 112 3.696
4.1.5. Massa Biokomposit Lampiran 2 memperlihatkan massa biokomposit apatit-kitosan merupakan massa gabungan bahan yakni CaO, (NH4)2HPO4 dan kitosan. Hasilnya memperlihatkan bahwa massa gabungan yang diperoleh dari hasil perhitungan lebih besar dibandingkan massa hasil eksperimennya. Begitupun pada sampel kontrol massa eksperimen lebih kecil hingga separuhnya dibandingkan massa gabungan antara CaO dan (NH4)2HPO4. 4.2. PEMBAHASAN 4.2.1. Analisis XRD Hasil dari pola XRD sampel dengan dua kali pengulangan tidak berbeda nyata, peak tertinggi dari semua sampel merupakan milik HAp, walaupun masih muncul peak – peak milik mineral apatit yang lainnya namun mayoritas peak sampel merupakan milik dari HAp. Artinya dalam semua sampel telah terbentuk apatit. Peak kitosan yang muncul pada sampel biokomposit apatit-kitosan intensitasnya sangat rendah. Intensitas peak kitosan yang rendah pada sampel setelah dikompositkan dengan apatiti disebabkan struktur kitosan yang lebih amorf dibandingkan kristal apatit. Apatit telah mengisi matrik kitosan, apatitkitosan telah menyebar seragam pada sampel sehingga intensitas kitosan yang terdeteksi menjadi lebih rendah. Munclnya puncak kitosan menunjukan bahwa penambahan kitosan sebagai matrik untuk kalsium fosfat telah berhasil Derajat kristalinitas adalah besaran yang menyatakan banyaknya kandungan kristal dalam suatu material dengan membandingkan luasan kurva kristal dengan penjumlahan luasan kristal dan amorf . Pola XRD yang terbentuk pada sampel B dan C memperlihatkan intensitas sampel secara keseluruhan naik dibandingkan sampel A, yang menunjukan sampel semakin amorf, hal ini dikarenakan kitosan menyebar seragam di dalam biokomposit. Tingkat kristalinitas yang diperoleh dari pola XRD tersebut pun menunjukan bahwa penambahan kitosan sebagai matriks mengakibatkan tingkat kristalinitas biokomposit apatit-kitosan menurun dibandingkan dengan dalam bentuk apatit saja. Sampel insitu memiliki tingkat kristalinitas yang lebih rendah dibandingkan dengan metode eksitu. Hal ini bisa terjadi karena kitosan yang menyebar pada
15
permukaan biokomposit lebih banyak jadi sampel bersifat lebih amorf. Penurunan tingkat kristalinitas biokomposit dibandingkan tingkat kristalinitas apatitnya mengindikasikan bahwa penambahan kitosan pada apatit sudah membentuk ikatan antara apatit dengan kitosan sebagai matriknya Ukuran kristal dihitung dengan menggunakan persamaan Scherrer (Lampiran 9). Ukuran kristal berbanding terbalik dengan harga FWHM. Semakin kecil nilai FWHM menunjukkan ukuran kristal yang semakin besar. Ukuran kristal dihitung pada bidang 002 karena karakteristik kehadiran HAp pada sampel ditandai dengan munculnya bidang 002 [24] Tabel 4 memperlihatkan bahwa ukuran kristal pada sampel ukuran kristalnya tidak berbeda secara signifikan ketika kitosan dikompositkan dengan apatit. Karena kitosan tidak mempengaruhi ukuran sampel apatit, kitosan berguna untuk mengikat apatit terlihat dari karakterisasi SEM biokomposit telah berbentuk granula. Parameter kisi dapat dihitung dengan menggunakan jarak antar bidang pada geometri kristal heksagonal. Perhitungan parameter kisi dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil perhitungan parameter kisi a dan c dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa parameter kisi berada pada kisaran nilai parameter HAp, sehingga dapat dikatakan bahwa fasa yang terbentuk adalah hidroksiapatit. Penambahan kitosan mempengaruhi nilai a dan c dari sampel. Hal ini akibat pengaruh gugus CO milik kitosan yang akan mengubah posisi HAp karena menggantikan gugus CO3 dan atau OH, sehingga nilai c maupun a bisa bertambah atau berkurang. 4.2.2. Analisis FTIR Data hasil XRD didukung oleh data spektroskopi FTIR. Spektroskopi FTIR mengidentifikasikan gugus fungsi dalam sampel. Gugus- gugus fungsi yang teridentifikasi dari sampel dapat dilihat pada Tabel 6. Analisis hasil FTIR memperlihatkan telah terbentuknya apatit pada sampel A,B dan C dengan munculnya gugus fungsi PO4, OH dan CO3. Gugus fungsi N-H, C-H dan amida I dan amida II yang merupakan karakteritik dari kitosan, ternyata muncul pada sampel B dan C, artinya pada sampel B dan C telah terbentuk biokomposit apatitkitosan.
Sampel dengan dua kali ulangan ternyata menghasilkan perbedaan gugus fungsi karakteristik kitosan yang muncul, pada sampel B1 dan C1 (ulangan pertama) muncul gugus fungsi amida II tapi tidak muncul gugus fungsi C-H, sedangkan pada sampel B2 dan C2 muncul gugus fungsi C-H namun gugus fungsi amida I tidak lagi muncul. Pada sampel ini pun terlihat terjadi tumpang tindih (overlapping) dibeberapa panjang gelombang seperti gugus fungsi NH yang tumpang tindih dengan gugus fungsi OH. Terjadi overlapping pada beberapa bilangan panjang gelombang yang dimiliki kitosan dan apatit menunjukkan telah terjadi ikatan antara biopolimer kitosan dengan keramiknya yakni HAp. Teridentifikasinya gugus fungsi N-H dan C-H, amida I dan amida II pada sampel B1, B2, C1 dan C2, membuktikan bahwa telah berikatannya kitosan dengan kalsium fosfat. Artinya biokomposit apatit-kitosan telah berhasil terbentuk. Metode insitu dan eksitu yang dilakukan tidak memperlihatkan hasil yang berbeda secara signifikan, gugus fungsi yang muncul di kedua metode yang digunakan sama, hanya yang berbeda nilai transmitansi dan bilangan gelombangnya. Penurunan derajat kristalinitas pada spektra FTIR dapat diidentifikasi dari derajat belah pada pita vibrasi ν4 PO4 (Tabel 7). Semakin tinggi derajat belah pada pita tersebut menunjukkan bahwa kristalinitas meningkat. Derajat belah sampel mengalami penurunan setelah dilakukan penambahan kitosan yang paling banyak penurunnya pada sampel insitu (B1 dan B2). Hal ini menguatkan hasil derajat kristalinitas yang ditunjukkan dari karakterisasi XRD. Sampel biokomposit apatit-kitosan dengan menggunakan metode insitu memiliki nilai derajat kristalinitas yang paling rendah. Faktanya menunjukkkan bahwa penambahan kitosan menurunkan derajat kristalinitas biokomposit. 4.2.3. Analisis SEM dan EDXA Permukaan halus pada kitosan murni berangsur-angsur mulai terganggu dengan bergabungnya apatit (HAp) sehingga menghasilkan permukaan yang lebih kasar dari sebelumnya. Partikel HAp telah tumbuh dengan baik dalam matriks kitosan [9]. Partikel HAp dalam komposit menyebar seragam, dapat terlihat melalui matriks kitosan yang telah saling berhubungan antar sel. Bentuk pori-pori terlihat berubah dibandingkan sampel HAp sendiri, dalam
16
sampel kitosan murni pori-pori lebih datar dan ketika HAp bergabung pori-pori terlihat lebih banyak membulat dibanding datar [9] . Analisis dari hasil SEM dengan perbesaran 10.000x dalam sampel kitosan murni memperlihatkan (Gambar 24) poriporinya tampak lebih kecil.dan datar serta pemukaannya terlihat halus. Sedangkan pada sampel A1 yang merupakan sampel apatit tanpa penambahan kitosan (Gambar 23) morfologi permukaan sampelnya terlihat teratur, berbentuk butiran-butiran halus, butiran pada sampel yang paling besar sekitar 0.74 μm. Setelah terbentuk komposit aptit-kitosan (Gambar 25 dan 26) morfologi sampel terlihat membentuk bongkahan atau granula- granula, pori-pori menjadi lebih besar dan permukaan terlihat kasar. Sampel B1 yakni sampel apatit-kitosan dengan penambahan kitosan sebelum proses presipitasi (insitu), bongkahan yang terbentuk memiliki diameter sekitar 2.14 μm dan untuk sampel C1 yakni sampel apatitkitosan dengan penambahan kitosan setelah proses presipitasi (eksitu), bongkahan yang terbentuk berdiameter sekitar 2.154 μm. Bongkahan pada sampel B1 terlihat lebih kecil dibandingkan pada sampel C1 Bentuk bongkahan atau granula pada sampel B1 dan C1 menunjukan bahwa sudah terbentuk suatu komposit yakni ikatan antara kalsium fosfat dengan kitosan sebagai matriknya. Sehingga morfologi yang terlihat jauh berbeda dengan sampel A1 maupun sampel kitosan murni. Komposit apatit kitosan secara insitu dan eksitu tidak berbeda secara signifikan pada bentuk morfologinya, namun hasil analisis SEM ini menunjukkan bahwa komposit apatit-kitosan terbentuk dari jaringan atau ikatan berongga kecil yang dibentuk oleh matriks kitosan yang tertanam partikel apatit didalamnya Pengukuran EDXA dilakukan bersamaan dengan observasi SEM. Rasio molaritas Ca/P dapat dilihat pada Tabel 8. Rasio Ca/P pada Hap murni adalah 1.67[8]. Rasio pada sampel relatif lebih besar daripada rasio HAp. Hal ini dikarenakan starting material yang digunakan sebagai sumber CaO adalah cangkang telur yang masih mengandung CaCO3, sehinggga setelah terjadi reaksi antara CaO dan (NH4)2HPO4 masih ada CaCO3 yang tidak ikut berreaksi sehingga mempengaruhi jumlah Ca pada sampel. Selain itu kehadiran ion-ion tubuh akan memperbesar nilai rasio Ca/P terlihat dari hasil analisis FTIR munculnya gugus karbonat dan pada hasil analisis XRD pun
muncul fasa milik AKA dan AKB maupun OKF, artinya ada ion-ion lain yang masuk ke dalam sampel pada saat proses presipitasi sehinggga nilai Ca/P jadi lebih besar dari 1.67 Nilai Ca/P didapatkan dengan menghitung mol Ca dan P dari persentase massa hasil EDXA dibagi dengan bobot atom Ca dan P, kemudian mol Ca dibagi mol P. Rasio molaritas Ca/P pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa molaritas sampel C1 memiliki nilai paling besar dibandingkan sampel lainnya. Hal ini dikarenakan pada saat melakukan penambahan kitosan presipitat dibiarkan terbuka sehinggga dimungkinkan terjadi reaksi dengan udara dari luar sehingga nilai rasio Ca/P sampel menjadi lebih besar. Namun secara keseluruhan nilai rasio Ca/P sampel memang tidak tepat 1.67 namun masih mendekati nilai tersebut. 4.2.4. Analisis Uji Kekerasan Vickers Senyawa apatit biologi membentuk material tulang dalam bentuk padatan. Sehingga padatan yang dihasilkan dapat diukur tingkat kekerasannya dengan menggunakan Micro Hardnes Tester , alat yang digunakan adalah perangkat uji Vickers. Nilai kekerasan pada sampel terdapat pada Tabel 9. Nilai kekerasan tulang dalam satuan HV (Hardness Vickers). Nilai kekerasan sampel diukur pada tiga titik yang berbeda pada permukaan sampel, setiap titik memiliki nilai kekerasan yang berbeda. Hasil uji kekerasan pada Tabel 9 memperlihatkan bahwa penambahan kitosan pada sampel mengakibatkan nilai kekerasan sampel meningkat. Sampel C1 dan C2 memiliki nilai kekerasan paling besar diikuti sampel B1 dan B2. Sampel yang tidak diberikan tambahan kitosan memiliki kekerasan yang paling kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan kitosan menjadikan biokomposit memiliki sifat ulet, tidak seperti apatit yang bersifat getas dan rapuh. 4.2.5. Analisis Massa Biokomposit Massa sampel setelah ditambahkan kitosan ternyata lebih besar jika dibandingkan dengan massa kontrol, walaupun lebih kecil daripada massa perhitungan gabungan dari bahan yang digunakan. Hal ini mengindikasikan bahwa pada massa biokomposit memang terdapat
17
massa kitosan yang menyebabkan massa biokomposit lebih besar dibandingkan massa pada apatit saja.
DAFTAR PUSTAKA V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Pembuatan biokomposit apatit kitosan telah dapat dilakukan baik dengan metode insitu maupun eksitu. Karakterisasi XRD menunjukkan adanya puncak kitosan yang muncul pada sampel dengan intensitas yang lebih rendah dibandingkan kitosan murni, derajat kristalinitas semakin rendah setelah kitosan dikompositkan dengan apatit, hal ini terjadi karena kitosan menyebar seragam dipermukaan pada biokomposit sehingga lebih bersifat amorf. Fourier Transform Infrared (FTIR) mengidentifikasi adanya gugus fungsi N-H, C-H, amida I dan amida II yang muncul pada sampel insitu dan eksitu memperlihatkan bahwa kitosan telah berikatan dengan apatit sebagai biokomposit. Hasil Scanning Electron Microscopy (SEM) pun memperlihatkan bahwa morfologi dari sampel insitu dan eksitu yang berbentuk bongkahan, menunjukkan bahwa partikel apatit telah tertanam dengan baik pada kitosan sebagai matriksnya, artinya apatitkitosan telah saling berikatan. Hasil uji Vickers menunjukkan bahwa setelah kitosan dikompositkan dengan apatit nilai kekerasan biokomposit menjadi lebih besar, artinya biokomposit apatit-kitosan ini tidak lagi memiliki sifat getas tapi lebih ulet. Karakter sampel yang dihasilkan dengan metode insitu dan eksitu tidak terlalu berbeda secara signifikan, karena dari hasil X-Ray Diffraction (XRD), Fourier Transform Infrared (FTIR) maupun Scanning Electron Microscopy (SEM) tidak terlalu jauh berbeda. Namun untuk tingkat kekerasan sampel diperoleh yang paling besar pada sampel eksitu. 5.2. Saran Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memvarisaikan konsentrasi kitosan maupun konsentrasi kalsium dan fosfat yang digunakan sehingga dapat diketahui pada konsentrasi berapa diperoleh biokomposit yang paling optimal.
1
Baht, Sujata V.2002. Biomaterials. Pangbone England: Alpha Science International Ltd. 2 Darwin. D. 2008. Aplikasi Teknik Isotop dan Radiasi pada Pembuatan Biomaterial untuk Keperluan Klinis.http://nhc.batan.go.id [3 April 2009: 09.20] 3 Ramakrishna, S., Mayer, J., Wintermantel, E., Leong, K.W., “Biomedical applications of polymercomposite materials:a review”, pp.11891224,Vol.61, Composites Science and Technology, 2001. 4 Riyani.E.2005.Karakterisasi Senyawa Kalsium fosfat Karbonat HAsil Presipitasi Menggunakan XRD,SEM,dan EDXA Pengaruh Perubahan Ion F- dan Mg+[Skripsi] Departemen Fisika.Fakultas Matematika dan IPA. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 5 Hincke.M.T, Tsang.C.P,Courtney. M, Hill.V, Narbaitz.R.Purification and Immunochenistry of a Soluble Matrix Protein of The Chicken Eggshell (Ovocleidin 17).Calsiff Tissue 1995;56(6):578-83.[Cited:1]. File://F:\ancs\meid54349.htm 6 Chang.R..Kimia Dasar Jilid 2 KonsepKonsep Inti. PT.Erlangga: Jakarta 7 [Anonim].2007.Sistem Reproduksi Betina.Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN: Suska Riau. 8 Aoki.H.1991. Science and Medical Applications of Hydroxyapatite. Tokyo: Institute for Medical and Dental Engineering. Medical and Dental University 9 Yildirim,Oktay.2004. Preparation and Characterization of Chitosan/Calsium Phosphate Based Composite Biomaterials.[disertasi]. Turki: Departement Materials Science and Engineering, Mayor Materials Science and Engineering. Izmir Institute of Technology. 10 Kumar.MN, Muzzarelli RA,Muzzareli C, Sashiwa H, Domb Aj.2004. Chitosan chemistry and Pharmacentical