19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Metil bromida pertama kali terdaftar di Indonesia pada tahun 1973 dengan nama dagang Metabrom 980 atas nama PT Asomindo Raya (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 280/Kpts/Um/6/1973). Perkembangan pendaftaran metil bromida berikutnya relatif lamban dibanding pestisida lainnya yaitu: a. Methyl Bromida atas nama PT Lindoteves Indonesia (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 437/Kpts/Um/11/75). b. Brom-O-Gas atas nama NV Pancaratna (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 321/Kpts/UM/5/1978). c. Methybrom atas nama Perwakilan Sumitomo Corporation (Keputusan Menteri Pertanian 85/Kpts/UM/2/1980). Pada tahun 1994, Menteri Pertanian menetapkan pembatasan penggunaan dan izin metil bromida. Berdasarkan pertimbangan Komisi Pestisida (surat Ketua Komisi Pestisida Nomor 3/Kompes/94), Menteri Pertanian memutuskan untuk tidak menerima lagi permohonan pendaftaran, mengurangi penggunaan secara bertahap, dan menghentikan penggunaan metil bromida pada tahun 1997 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 322/Kpts/TP.270/4/94). Dampak dari kebijakan tersebut, selama 8 tahun tidak ada permohonan pendaftaran metil bromida. Sesuai kebijakan Menteri Pertanian yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida, suatu pestisida yang telah memenuhi semua persyaratan teknis dan/atau administrasi akan mendapat ijin tetap (berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang kembali). Kebijakan ini berlaku pada permohonan pendaftaran metil bromida tahun 1973-2002, semua permohonan pendafttaran metil bromida yang telah memenuhi semua persyaratan teknis dan/atau administrasi, mendapat ijin tetap. Menteri Pertanian melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 507/Kpts/SR.140/9/2006 menetapkan bahwa seluruh permohonan pendaftaran metil bromida, baik pendaftaran baru maupun pendaftaran ulang, mendapat ijin sementara (berlaku selama 1 tahun dan dapat diperpanjang kembali). Keputusan Menteri Pertanian ini merupakan cikal bakal
20
pemberian izin sementara bagi semua permohonan metil bromida. Pemberian izin sementara untuk metil bromida (Pasal 49) bertentangan dengan Pasal 13 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 24/Permentan/SR.140/4/2011 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida. Kebijakan ”setengah hati” seperti ini, dimana terdapat perbedaan kebijakan antara satu pestisida dengan pestisida lain, merugikan importir, karena izin sementara hanya berlaku selama 1 tahun dan importir mempunyai kewajiban untuk melakukan pendaftaran ulang paling lambat 90 hari kerja sebelum masa izin berakhir. Hasil wawancara dengan responden importir, 100% responden menyatakan keberatan dengan sistem perizinan yang membedakan status izin metil bromida dengan pestisida berbahan aktif lain, terlebih waktu yang diperlukan importir untuk proses perizinan/rekomendasi impor metil bromida sekitar 4 - 6 bulan, sehingga waktu efektif untuk impor metil bromida hanya 6 - 8 bulan. Metil bromida yang terdaftar tahun 1975-2004 adalah untuk mengendalikan hama gudang/penyimpanan hasil pertanian, tetapi sejak tahun 2005, pemegang nomor pendaftaran metil bromida, mendaftarkan produknya untuk mengendalikan serangga Tribolium castaneum pada karantina dan pra pengapalan. Pestisida Mebrom 98 LG (RI.1505/11-2002/S) yang terdaftar tahun 1978 untuk penggunaan pada penyimpanan hasil pertanian, organisme sasaran dan bidang penggunaannya berubah menjadi serangga Tribolium castaneum pada karantina dan pra pengapalan, walaupun belum melampirkan hasil pengujian (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 518/Kpts/SR.140/9/2007).
4.1. Stakeholders terkait Kebijakan Pengaturan Metil bromida Menurut Danim (2005) stakeholders adalah pribadi atau kelompok yang turut memberikan masukan dalam proses pembuatan kebijakan atau yang menjadi sasaran keputusan suatu kebijakan. Danim (2005) juga membagi stakeholders menjadi stakeholders aktif (stakeholders terlibat dalam proses pembuatan kebijakan) dan pasif (stakeholders menjadi sasaran kebijakan). Dalam penelitian ini yang merupakan stakeholders aktif stakeholders aktif yaitu: Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian (Komisi Pestisida, Badan Karantina Pertanian dan Sub Direktorat Pengawasan Pupuk dan
21
Pestisida, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian/petugas pengawas pestisida), serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sedangkan stakeholders pasif adalah pemegang nomor pendaftaran/importir terbatas dan perusahaan fumigasi yang terdaftar di Badan Karantina Pertanian. 4.1.1. Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup merupakan instansi pemerintah yang bertugas untuk mengkoordinasi dan memfasilitasi kebijakan dan implementasi program perlindungan lapisan ozon termasuk kebijakan dan implementasi pengaturan impor dan penggunaan Metil bromida. Kementerian Lingkungan Hidup mengawasi impor metil bromida dengan cara menerbitkan surat rekomendasi impor kepada pemegang nomor pendaftaran, yang mengajukan permohonan sebagai importir. 4.1.2.
Kementerian Perdagangan Kementerian Perdagangan mempunyai kewenangan mengatur ekspor
dan/atau impor komoditi. Kementerian Perdagangan berperanan penting dalam menetapkan kebijakan impor BPO khususnya metil bromida, termasuk melakukan pengawasan terhadap impor dan penyaluran metil bromida. Setiap pemegang nomor pendaftaran yang akan melakukan impor metil bromida, harus mendapat persetujuan dari Kementerian Perdagangan untuk menjadi importir. Jumlah impor metil bromida yang diijinkan tidak melebihi kuota yang diijinkan oleh Menteri Pertanian dan diawasi dalam bentuk kartu kendali impor. 4.1.3. Kementerian Pertanian 4.1.3.1. Komisi Pestisida Komisi Pestisida merupakan lembaga non struktural yang beranggotakan 28 orang wakil dari instansi terkait baik di dalam maupun di luar Kementerian, komisi ini antar lain bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri
Pertanian
mengkoordinasi
dalam
pengawas
pengambilan
kebijakan
pestisida pusat
serta
di
bidang
menyampaikan
pestisida, laporan
pengawasan pestisida oleh pengawas pestisida pusat kepada Menteri Pertanian
22
(Keputusan Menteri Pertanian Nomor 847/Kpts/OT.160/2/2011 tentang Komisi Pestisida). 4.1.3.2. Sub Direktorat Pengawasan Pupuk dan Pestisida, Direktorat Prasarana dan Sarana Pertanian (petugas pengawas pestisida) Petugas pengawas pestisida yang selanjutnya disebut pengawas pestisida adalah pegawai negeri sipil baik di pusat maupun daerah yang memenuhi syarat untuk melakukan pengawasan pestisida. Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/SR.140/5/2007 jo to Keputusan Menteri Pertanian Nomor 517/Kpts/TP.270/9/2002 tentang Pengawasan Pestisida, pengawas pestisida mempunyai tugas: a. Melakukan pengawasan mutu bahan teknis dan formulasi pestisida dengan memperhatikan batas toleransi yang diperbolehkan untuk kadar bahan aktif di tingkat produksi, peredaran dan penggunaan. b. Melakukan pengawasan terhadap jenis dan jumlah pestisida, wadah, pembungkus, label serta publikasi pestisida. c. Melakukan pengawasan dokumen perizinan usaha, nomor pendaftaran dan dokumen administrasi lainnya di tingkat produksi dan peredaran. d. Melakukan pengawasan terhadap ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja. e. Melakukan pengawasan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, akibat pengelolaan pestisida. f. Melakukan pengawasan terhadap jenis dan dosis pestisida serta sasaran komoditas dan organisme sasaran yang diizinkan. g. Melakukan pengawasan efikasi dan resurjensi pestisida, akibat penggunaan pestisida. h. Melakukan pengawasan terhadap penerapan ketentuan sarana, peralatan yang digunakan untuk pengelolaan pestisida. i. Melakukan pengawasan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, akibat pengelolaan pestisida. j. Melakukan pengawasan terhadap residu pestisida pada produk pertanian dan media lingkungan. k. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemusnahan pestisida.
23
4.1.3.3. Badan Karantina Pertanian Badan Karantina Pertanian dalam penyelenggaraan perkarantinaan selalu berorientasi pada keselamatan lingkungan. Tugas dan fungsi Badan Karantina Pertanian adalah melindungi keselamatan sumberdaya alam hayati dari ancaman organisme pengganggu dan keselamatan manusia dari ancaman cemaran pangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37/Permentan/OT.140/7/2009 tentang Penggunaan Pestisida Berbahan Aktif Metil Bromida untuk Tindakan Perlakuan Karantina Tumbuhan dan Perlakuan Pra Pengapalan, Badan Karantina Pertanian sebagai instansi pembina perusahaan fumigasi mendukung kebijakan pengurangan
penggunaan
metil
bromida.
Badan
Karantina
Pertanian
mengembangkan metode praktik fumigasi yang baik dan benar kepada perusahaan fumigasi dengan melakukan program kerja sama dengan pemerintah Australia melalui Australian Fumigation Accreditation Scheme in Indonesia (AFASID). 4.1.4.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sesuai kebijakan pemerintah untuk melarang impor metil bromida selain
untuk keperluan karantina dan pra pengapalan dan menurunkan kuota impor metil bromida secara bertahap, maka instansi yang paling berperan dalam pengawasan impor metil bromida adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Data impor metil bromida dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai merupakan data yang paling mencerminkan jumlah metil bromida yang beredar di wilayah Republik Indonesia.
4.1.5.
Perusahaan Fumigasi Perusahaan fumigasi yang merupakan stakeholders pada penelitian ini hanya
perusahan fumigasi yang terdaftar di Badan Karantina Pertanian untuk melakukan tindakan perlakuan fumigasi dengan metil bromida (Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009). Perusahaan fumigasi yang menjadi responden dalam penelitian ini, 20% yang memiliki karyawan > 21 orang, 50% memiliki karyawan 11-20 orang, sementara 30% memiliki karyawan < 10 orang (Lampiran 3). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, 100% responden menyatakan telah mengetahui bahwa metil bromida menyebabkan kerusakan lapisan ozon dan kerusakan lapisan ozon dapat mengganggu kesehatan manusia. Sebanyak 100% responden juga menyatakan telah mengetahui bahwa Indonesia telah meratifikasi
24
Protokol Montreal dan metil bromida tidak boleh digunakan selain untuk karantina dan pra pengapalan (Lampiran 3). Namun rata-rata responden menggunakan pestisida fumigasi dengan perbandingan 90% metil bromida, 10% fosfin, dan tidak ada responden yang telah menggunakan sulfuril fluorida. 0% 10% Fosfin Metil bromida 90%
Sulfuril fluorida
Gambar 2 Rata-rata penggunaan pestisida fumigasi oleh responden. Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata responden menyatakan bahwa faktor kendala internal untuk beralih ke pestisida pengganti adalah peralatan personal safety yang langka dan mahal (38%), biaya fumigasi dengan pestisida pengganti yang lebih tinggi (35%) dan 27% disebabkan oleh perlunya pelatihan baru untuk pestisida pengganti, sedangkan kekuatan internal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti 45% dipengaruhi oleh perusahaan telah memiliki karyawan/operator yang handal (Gambar 3). Kekuatan internal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida Kesadaran pengganti menggunakan 45% 20% pestisida yang tidak merusak ozon. Perusahaan memiliki dana yang cukup (peralatan detektor, safety 35% dan pelatihan).
Kendala internal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti 35%
27%
Bahan pendeteksi kebocoran (bahan pembau) tidak ada dalam formulasi sulfuril fluorida.
38%
Gambar 3 Kekuatan dan kendala internal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti.
25
Seperti disajikan pada Gambar 4, rata-rata responden menyatakan bahwa kendala eksternal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti adalah permintaan dari negara tujuan ekspor untuk melakukan fumigasi dengan metil bromida dan belum adanya kebijakan pemerintah yang tegas. Sebanyak 100% responden menyatakan bahwa pemerintah menetapkan standar ganda dalam mengawasi dan menindak perusahaan fumigasi. Perusahaan fumigasi yang terdaftar, diaudit sewaktu-waktu (audit investigasi) dan diaudit secara rutin setiap enam bulan (audit surveilen). Sementara pengawasan dan penindakan terhadap perusahaan fumigasi yang tidak terdaftar justru lebih longgar. Peluang perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti semakin besar apabila pemerintah membebaskan bea masuk pestisida pengganti dan perlengkapan fumigasi sehingga biaya fumigasi dengan pestisida pengganti lebih rendah serta apabila perusahaan eksportir dan/atau negara tujuan ekspor tidak mewajibkan fumigasi dengan metil bromida. Kendala eksternal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti Belum ada 23% kebijakan dan 23% strategi pemerintah yang tegas. 20%
Permintaan negara tujuan 18% 16% ekspor.
Peluang eksternal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida Bebas bea masuk pengganti bagi bahan dan 21% 36%perlengkapan fumigasi non MeBr. 14% 29%
Kesadaran klien tidak fumigasi dengan MeBr.
Gambar 4 Kendala dan peluang eksternal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti. 4.1.6. Pemegang Nomor Pendaftaran/Importir Terdaftar Importir terdaftar metil bromida, selanjutnya disebut importir adalah perusahaan perdagangan yang mendapat penunjukan dari pemerintah untuk mengimpor dan mendistribusikan metil bromida (Peraturan Menteri Perdagangan No. 24 Tahun 2006). Pada Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009,
26
importir terdaftar merupakan pemegang nomor pendaftaran metil bromida yang diberikan oleh Menteri Pertanian dan ditunjuk sebagai importir oleh Menteri Perdagangan. 4.2. Ratifikasi Kesepakatan Internasional untuk Mengurangi Kerusakan Lapisan Ozon Kebijakan
pertama
yang
ditetapkan
oleh
pemerintah
untuk
ikut
berpartisipasi dengan negara-negara di dunia dalam mengurangi kerusakan lapisan ozon adalah Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer dan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. Ratifikasi kedua kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah menyetujui untuk mengurangi kerusakan lapisan ozon dengan mengganti BPO dengan bahan lain yang tidak merusak lingkungan. Pada tahun 1992, negara-negara pihak sepakat untuk mengamandemen Protokol Montreal, namun Indonesia meratifikasi amandemen tersebut pada tahun 1998 melalui Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1998 tentang Pengesahan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, Copenhagen 1992. Adapun Amandemen Kopenhagen menetapkan metil bromida, HBFC, dan HCFC sebagai BPO dan metil bromida hanya dapat diimpor dari negara pihak Protokol Montreal, serta konsumsi metil bromida sejak tahun 1995 tidak melebihi konsumsi tahun 1991 (tidak termasuk metil bromida yang digunakan untuk keperluan karantina dan pra pengapalan). Presiden Republik Indonesia pada tahun 2005 meratifikasi Amandemen Montreal melalui Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2005 tentang Pengesahan Amendemen Montreal. Dalam peraturan presiden ini, pemerintah kembali menegaskan bahwa Indonesia masih memerlukan metil bromida untuk keperluan karantina, pra pengapalan, dan di gudang serta Indonesia perlu mengembangkan sistem perizinan dalam rangka pengawasan dan pengendalian impor/perdagangan untuk mencegah perdagangan ilegal BPO. Ratifikasi Amandemen Montreal menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk mematuhi hak dan kewajiban yang timbul sebagai negara pihak untuk mengurangi konsumsi BPO khususnya metil bromida.
27
4.3. Kebijakan Nasional Pengaturan Metil Bromida Sebagai konsekuensi dari ratifikasi Protokol Montreal, Indonesia sebagai negara pihak telah menyetujui untuk mengganti BPO dengan bahan lain yang tidak merusak ozon atau dengan kata lain menghapus penggunaan BPO sampai batas waktu tertentu (Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1992). Untuk menghindari ketidaksiapan sektor industri pengguna BPO beralih ke bahan lain yang diketahui lebih aman, penghapusan penggunaan BPO dilakukan secara bertahap. Dalam kaitannya dengan metil bromida, sejak ratifikasi Protokol Montreal, pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan dalam rangka mendukung
penghapusan
penggunaan
metil
bromida.
Berbeda
dengan
penghapusan penggunaan BPO lain seperti CFC dan HCFC dimana pemerintah telah berhasil menetapkan phase out secara total, penghapusan penggunaan metil bromida di Indonesia masih terlihat seperti kebijakan “setengah hati”. Kebijakan pemerintah menghapus penggunaan metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan serta menurunkan konsumsi untuk keperluan karantina dan pra pengapalan, diuraikan seperti berikut ini.
4.3.1. Kebijakan Pengadaan (Impor) Metil Bromida Metil bromida yang beredar di Indonesia tidak diproduksi di dalam negeri, tetapi diimpor sebagai produk siap pakai (metil bromida 98% dan kloropikrin 2%) dari China, Inggris, dan Belgia (Kementerian Pertanian 2011). Kebijakan pertama yang ditetapkan pemerintah dalam pengaturan metil bromida adalah pembatasan waktu perdagangan dan penggunaan metil bromida sampai 25 Januari 2005 (Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 110/MPP/Kep/1/ 1998). Kebijakan lain sejalan dengan keputusan menteri tersebut adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 111/MPP/Kep/1/1998 yang menetapkan pelarangan impor metil bromida sejak 27 Januari 1998 dan impor metil bromida yang L/C nya diterbitkan sebelum tanggal 31 Desember 1997, harus sudah tiba di Indonesia selambat-lambatnya tanggal 30 Juni 1998. Kedua kebijakan tersebut menggambarkan bahwa Kementerian Perindustrian dan Perdagangan sangat progresif dalam menyikapi Protokol Montreal dan amandemennya, namun kedua keputusan menteri tersebut di atas tidak
28
memperhatikan kebutuhan karantina dan pra pengapalan. Kedua keputusan menteri tersebut juga menunjukkan ketidakkonsistenan dengan Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1998 yang mengesahkan Amandemen Kopenhagen. Sebagaimana pemerintah telah meratifikasi Amandemen Kopenhagen, seharusnya Menteri Perindustrian dan Perdagangan tidak melarang impor, perdagangan dan penggunaan metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan. Pada tahun yang sama, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menetapkan kebijakan baru yang terkait dengan BPO, metil bromida diizinkan untuk diimpor tetapi hanya untuk keperluan karantina, gudang dan pra pengapalan (Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 410/MPP/Kep/9/1998 dan 411/MPP/Kep/9/1998). Untuk mencegah penggunaan metil bromida selain untuk keperluan karantina, gudang dan pra pengapalan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menetapkan pada kemasan tabung metil bromida harus disertai label dengan kalimat peringatan “digunakan hanya untuk karantina, di gudang dan pra pengapalan.” Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 410 Tahun 1998 juga inkonsisten dengan Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1998, karena Amandemen
Kopenhagen
melarang
penggunaan
metil
bromida
di
gudang/penyimpanan hasil pertanian. Menindaklanjuti Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2005 tentang Amandemen Montreal, Menteri Perdagangan menetapkan kebijakan terkait metil bromida yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No. 24 Tahun 2006. Peraturan tersebut inkonsisten dengan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2005, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 410 Tahun 1998 serta No. 411 Tahun 1998 yang memperkenankan impor metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan (Permendag No. 24 Tahun 2006 Pasal 2 Ayat 5: impor metil bromida diperkenankan sampai 31 Desember 2007). Kebijakan pemerintah yang melarang impor metil bromida setelah 1 Januari 2008 kembali menimbulkan keresahan di kalangan importir, perusahaan fumigasi dan Badan Karantina Pertanian sebagai instansi yang bertanggung jawab mencegah masuk dan menyebarnya organisme pengganggu di wilayah Republik Indonesia. Dengan pertimbangan bahwa Amandemen Montreal masih memperkenankan konsumsi metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan serta alternatif
29
pengganti metil bromida belum tersedia, dan memperhatikan Surat Kepala Badan Karantina Pertanian 3415/88.540.420/L/11/07 dan Surat Deputi III, Kementerian Lingkungan Hidup No. B-103/Dep.III/KLH/12/2007, Menteri Perdagangan menetapkan kebijakan baru yang khusus mengatur impor metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-Dag/Per/12/2007). Adapun kebijakan yang ditetapkan sebagai berikut: 1. Metil bromida diimpor hanya untuk keperluan karantina dan pra pengapalan, sedangkan impor untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan dilarang sejak 1 Januari 2008 (Pasal 2). Peraturan Menteri Perdagangan No. 51 Tahun 2007 merupakan tonggak pelarangan impor dan penggunaan metil bromida di gudang/penyimpanan hasil pertanian. 2. Kemasan tabung silinder metil bromida harus disertai label yang
mudah
dibaca dan tidak mudah pudar atau rusak dengan kalimat peringatan “hanya untuk karantina dan pra pengapalan” atau “for quarantine and pre-shipment only” dari negara produsen (Pasal 4 Ayat 1). Pasal ini bertujuan untuk mencegah
penyalahgunaan metil bromida selain untuk karantina dan pra
pengapalan. 3. Penggunaan metil bromida pada produk yang diekspor hanya atas pemintaan resmi dari negara tujuan ekspor dan dilaksanakan paling lama 21 hari sebelum ekspor (Pasal 1). Apabila tidak ada permintaan dari negara tujuan ekspor, maka produk yang akan diekspor dapat difumigasi dengan pestisida lain atau menggunakan metode lain seperti heat treatment atau CO2. Pasal ini dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan metil bromida di Indonesia. Walaupun lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan No. 51 Tahun 2007 dilatarbelakangi oleh adanya ”protes” Badan Karantina Pertanian, tetapi Peraturan Menteri Perdagangan No. 51 Tahun 2007 tidak mengatur/merubah semua kebijakan yang tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 24 Tahun 2006. Perubahan Peraturan Menteri Perdagangan No. 24 Tahun 2006 secara yuridis formal ditetapkan pada tahun 2010 melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
38/M-DAG/PER/10/2010
tentang
Perubahan
Peraturan
Menteri
Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/6/2006, yang antara lain menetapkan:
30
1. Metil bromida hanya dapat diimpor dari negara-negara yang termasuk dalam daftar yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup (Pasal 2 Ayat 3). 2. Metil bromida hanya dapat diimpor melalui 7 pelabuhan laut, yaitu: a. Pelabuhan Belawan, Medan b. Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta c. Pelabuhan Merak, Cilegon d. Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang e. Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya f. Pelabuhan Sukarno Hatta, Makassar g. Pelabuhan Batu Ampar, Batam (Pasal 2 Ayat 4). 3. Metil bromida hanya dapat dimpor untuk keperluan karantina dan pengapalan (Pasal 2 Ayat 5).
4.3.2.
Kebijakan Penyaluran (Distribusi) Metil Bromida Penyaluran metil bromida didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan dalam
mengedarkan metil bromida untuk penggunaan karantina dan pra pengapalan (Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009 Pasal 1 butir 12). Kebijakan pemerintah yang mengatur penyaluran (distribusi) metil bromida sangat sedikit dibanding kebijakan pemerintah yang mengatur impor dan penggunaan. Adapun kebijakan pemerintah yang mengatur penyaluran metil bromida, sebagai berikut: 1. Metil bromida hanya boleh didistribusikan sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Peraturan Menteri Perdagangan No. 24 Tahun 2006 Pasal 10). 2. Penyaluran pestisida terbatas harus diatur sedemikian rupa dengan tujuan untuk mencegah penyimpangan penggunaan (Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian 2003). 3. Badan hukum (perusahaan) dapat menggunakan pestisida terbatas apabila diaplikasikan oleh karyawan yang telah memiliki sertifikat penggunaan pestisida terbatas (Peraturan Menteri Pertanian No. 24 Tahun 2011). 4. Badan hukum (perusahaan) dapat melakukan fumigasi dengan metil bromida apabila telah terdaftar di Badan Karantina Pertanian (Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009).
31
5. Kepala Badan Karantina Pertanian mengusulkan pencabutan izin kepada Menteri Pertanian, apabila importir terbukti menyalurkan metil bromida selain kepada UPT Badan Karantina Pertanian dan/atau perusahaan yang telah terdaftar di Badan Karantina Pertanian (Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009 Pasal 12). Kebijakan pemerintah yang mengatur impor dan penyaluran (distribusi) serta stakeholders yang terkait sejak ditetapkannya keputusan Menteri Pertanian tentang pemberian izin sampai penyaluran (distribusi) pada tingkat pengguna (UPT Badan Karantina Pertanian dan/atau perusahaan fumigasi) diilustrasikan seperti pada Gambar 5.
32
Metil bromida hanya boleh didistribusikan sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Permendag 24 Tahun 2006 Pasal 10).
Kementerian Pertanian Keputusan tentang Pendaftaran dan Izin Sementara
Kementerian Lingkungan Hidup Rekomendasi impor
- KLH memberikan persetujuan kepada Kemendag untuk penerbitan atau penolakan izin impor (PP 74 Tahun 2001 Pasal 9) - Jumlah metil bromida yang dapat diimpor ditetapkan oleh KLH (Permendag 24 Tahun 2006).
Kementerian Perindustrian
Permohonan menjadi importir terbatas harus disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Permendag 24 Tahun 2006 Pasal 8). (Pasal 8)
Persetujuan rekomendasi impor
Kementerian Perdagangan Rekomendasi impor dan persetujuan importir terbatas
DitJen Bea dan Cukai Izin masuk
Persetujuan sebagai importir terbatas ditetapkan Direktur Jenderal ( Permendag 24 Tahun 2006 Pasal 8). Persetujuan jumlah, jenis, dan nomor HS, negara muat, pelabuhan tujuan dan waktu pengapalan. Permendag 24 Tahun 2006 Pasal 10). -
IMPORTIR
DISTRIBUTOR
UPT BADAN KARANTINA PERTANIAN
- Karyawan telah mendapat sertifikat penggunaan pestisida terbatas (Permentan No. 24 Tahun 2011) - Perusahaan telah terdaftar di Badan Karantina Pertanian (Permentan No. 37 Tahun 2009).
PERUSAHAAN FUMIGASI
Gambar 5 Impor dan distribusi metil bromida.
4.3.3.
Kebijakan Penggunaan Metil Bromida Kebijakan yang mengatur penggunaan metil bromida dapat dikatakan selalu
terkait dengan kebijakan impor, sehingga setiap perubahan kebijakan impor dapat dipastikan akan berdampak terhadap perubahan kebijakan penggunaan metil bromida. Sejak tahun 2008, pemerintah hanya mengijinkan penggunaan metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan dan melarang penggunaan pada bangunan/gedung arsip, gudang/penyimpanan hasil pertanian, lahan pertanian dan lain-lain (Peraturan Menteri Perdagangan No. 51 Tahun 2007).
33
Kebijakan pemerintah ini, merupakan kebijakan yang sangat berani karena negara anggota ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Vietnam dan Thailand bahkan Amerika Serikat masih mengizinkan penggunaan metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan (Tabel 3). Tabel 3 Konsumsi metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan negara ASEAN dan Amerika Serikat No
Negara Singapura Filipina
2005 (MT) 4 13,67
2006 (MT) 2 7,17
2007 (MT) 2 4
2008 (MT) 2,67 3
2009 (MT) 1,5 0
2010 (MT) 1,3 0
1 2 3 4
Malaysia Indonesia
18 53
18,83 38
17,5 16
13,67 0
5,67 0
8,83 0
5 6
Thailand Vietnam
243,33 156
235,17 160
203,33 154
177,83 139
73,83 123
100,50 128
7 8
Brunei Darusalam Laos
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
9 10
Myanmar Kamboja
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
11
Amerika Serikat
7255,00 6475,00 4302,33
3027,83
2272,17
2722,33
Sumber: United Nations Environment Programme 2011 MT: metrik ton Kebijakan pemerintah mengenai penggunaan metil bromida diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37 Tahun 2009, antara lain menetapkan: 1. Metil bromida digunakan oleh petugas karantina tumbuhan atau oleh fumigator yang memiliki sertifikat penggunaan pestisida terbatas, hanya untuk keperluan karantina dan pra pengapalan (Pasal 4). 2. Metil bromida digunakan untuk keperluan karantina dan pra pengapalan, apabila merupakan persyaratan negara tujuan atau tidak dapat diberi perlakuan dengan metode atau bahan lain (Pasal 5). 3. Penggunaan metil bromida selain untuk keperluan karantina dan pra pengapalan, dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 7). 4. Penggunaan metil bromida harus dengan dosis yang tepat (Pasal 8).
34
5. Unit pelaksana teknis (UPT) Badan Karantina Pertanian dan perusahaan fumigasi harus mencatat dan melaporkan setiap penerimaan dan penggunaan metil bromida kepada Kepala Badan Karantina Pertanian (Pasal 10). 4.3.4. Kebijakan Pengawasan Metil Bromida Secara umum, Menteri Pertanian menetapkan pengawasan yang dilakukan terhadap pestisida harus meliputi pengawasan terhadap (1) Dokumen perizinan usaha, nomor pendaftaran dan dokumen administrasi lainnya di tingkat produksi dan distribusi; (2) Mutu formulasi pestisida di tingkat produksi, peredaran dan penggunaan; (3) Wadah, pembungkus, label serta publikasi pestisida; (4) Dosis pestisida serta sasaran komoditas dan organisme sasaran yang diizinkan (Peraturan Menteri Pertanian No. 42/Permentan/SR.140/5/2007). Pengawasan yang dilakukan terhadap metil bromida meliputi pengawasan impor, distribusi dan penggunaan di lapangan: 1. Pengawasan terhadap jumlah metil bromida yang diimpor, dilakukan melalui mekanisme kartu kendali dan pelaporan secara berkala oleh importir. Mekanisme kartu kendali yang dimaksudkan adalah pencatatan jumlah metil bromida yang diimpor sehingga tidak melebihi kuota yang ditetapkan untuk masing-masing importir. Dengan demikian setiap kali akan melakukan impor, importir wajib menyertakan kartu kendali/persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan kepada petugas Bea dan Cukai. Pelaporan yang dimaksudkan dalam kaitannya dengan pengawasan impor adalah importir melaporkan realisasi impor secara tertulis setiap 3 bulan kepada Kementerian Perdagangan dengan tembusan Deputi IV Kementerian Lingkungan Hidup serta Kepala Pusat Perizinan dan Investasi, Departemen Pertanian (sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/710/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, berubah nama menjadi Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian). 2. Mekanisme pengawasan terhadap distribusi metil bromida dilakukan dengan mekanisme pelaporan. Setiap importir wajib untuk membuat laporan rencana distribusi selama 1 tahun dan laporan realisasi distribusi setiap 3 bulan (Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009 Pasal 10 dan Peraturan Menteri Pertanian No. 24 Tahun 2011 Pasal 44 Ayat 2).
35
3. Mekanisme pengawasan penggunaan metil bromida dilakukan secara tertulis oleh setiap UPT Badan Karantina Pertanian dan perusahaan fumigasi dengan membuat laporan rencana penggunaan dan realisasi penggunaan secara tertulis kepada Kepala Badan Karantina Pertanian (Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009 Pasal 13). 4. Pengawasan penyaluran dan penggunaan dilakukan oleh Petugas Penyidik Pengawai Negeri Sipil pupuk dan pestisida (PPNS) dan/atau Subdit Pengawasan Pupuk dan Pestisida serta Badan Karantina Pertanian. Badan Karantina Tumbuhan membatasi tugas dan fungsi pengawasan hanya terhadap perusahaan fumigasi yang telah terdaftar dan metil bromida yang digunakan untuk keperluan karantina dan pra pengapalan (Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009 Pasal 9).
Kebijakan pengawasan impor, distribusi dan penggunaan metil bromida yang telah ditetapkan oleh pemerintah seperti tersebut di atas, masih lemah karena kendala sumber daya manusia yang terbatas dan kurangnya koordinasi antar instansi terkait (Noerachman, T. 2011. Komunikasi pribadi. Kementerian Pertanian, Badan Karantina Pertanian. Jakarta). Kebijakan dan mekanisme pengawasan impor, distribusi, dan penggunaan metil bromida seperti disajikan pada Gambar 6.
36
- Impor MeBr hanya untuk keperluan karantina dan pra pengapalan (Permendag No. 38 Tahun 2010 Pasal 2 Ayat 5) - Melaporkan realisasi impor dan penyaluran MeBr kepada Ditjen Perdagangan Luar Negeri (Permendag 24 Tahun 2006). - Melaporkan rencana penyaluran setiap awal tahun dan realisasi penyaluran setiap 3 bulan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian (Permentan 37 Tahun 2009 Pasal 10), laporan kepada Mentan (Permentan 24 Tahun 2011 Pasal 44 Ayat 2). - Melaporkan perubahan asal bahan aktif ( Permentan 24 Tahun 2011 Pasal 48).
IMPORTIR
DISTRIBUTOR
UPT Badan Karantina Pertanian
Distributor MeBr mengikuti pelatihan dan mendapat sertifikat (Permentan 42/2007 Pasal 31).
PERUSAHAAN FUMIGASI
- MeBr hanya digunakan untuk keperluan karantina dan pra pengapalan (Permentan 37/2009 Pasal 7). - Melaporkan rencana dan realisasi penggunaan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian (Permentan 37/2009 Pasal 13). - Pengguna MeBr mengikuti pelatihan dan mendapat sertifikat (Permentan 42/2007 Pasal 31 dan Permentan No. 24/2011 Pasal 9). - Perusahaan dapat menggunakan MeBr jika sudah ada karyawan yang telah mendapat sertifikat (Permentan No. 24/2011 Pasal 10).
Gambar 6 Mekanisme pengawasan impor, distribusi, dan penggunaan metil bromida. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengaturan metil bromida termasuk kebijakan pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Wina dan Protokol Montreal, pengaturan tatacara impor, distribusi, dan pembatasan penggunaan metil bromida disajikan pada Lampiran 4.
37
4.3.5. Kebijakan Penurunan Kuota Impor Metil Bromida Amandemen Montreal mewajibkan negara berkembang untuk mengurangi konsumsi metil bromida tahun 2005 sebesar 20% dari rata-rata konsumsi tahun 1995-1998 dan 100% pada tahun 2015, sedangkan tahun 2002 ditetapkan sebagai base line penurunan konsumsi. Perhitungan penurunan konsumsi ini tidak termasuk konsumsi untuk keperluan karantina dan pra pengapalan. Konsumsi Indonesia tahun 1995-1998 berturut-turut sebesar 254 MT, 198 MT, 242 MT, dan 210 MT (SMERI 2000). Berdasarkan data tersebut konsumsi metil bromida tahun 2002 seharusnya dibekukan sebesar 226 MT dan konsumsi tahun 2005 sebesar 180,8 MT. UNEP (2011) melaporkan konsumsi Indonesia sebesar 390 MT. Data ini menggambarkan pemerintah tidak berhasil menurunkan konsumsi metil bromida bahkan pemerintah tidak berhasil mengendalikan konsumsi tetap konstan sesuai jumlah konsumsi yang ditetapkan sebagai base line. Sehingga dapat dikatakan selama kurun waktu tahun 1992-2005 belum ada kemauan politik pemerintah yang sungguh-sungguh (political will) untuk menurunkan konsumsi nasional. Kondisi ini merupakan implikasi dari rencana aksi phase out BPO yang diajukan oleh pemerintah kepada UNEP yaitu pembangunan Bank Halon, Pengelolaan CFC, dan Penggunaan Hidrokarbon sebagai alternatif pengganti BPO. Dari ketiga rencana aksi yang diajukan, tidak satupun terkait dengan metil bromida (SMERI 2000). Amandemen Kopenhagen (Artikel 1 Butir 6) mendefinisikan konsumsi sebagai produksi ditambah impor dikurangi ekspor dari zat yang dikendalikan (konsumsi= (produksi + impor) - ekspor). Oleh karena Indonesia tidak memproduksi (sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No. 33 Tahun 2007, pemerintah melarang produksi BPO) dan mengekspor metil bromida, maka dapat didefinisikan jumlah konsumsi sama dengan jumlah impor. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 24 Tahun 2006 Pasal 4, jumlah metil bromida yang dapat diimpor ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Fakta yang ditemukan tentang jumlah metil bromida yang dapat diimpor (kuota nasional): ”Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan kuota hanya satu kali yaitu tahun 2008 sebesar 1320 MT” (surat Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan kepada Direktur Jenderal
38
Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan No. B-3021/Dep.III/LH/ 4/2008 tanggal 24 April 2008). Kebijakan penetapan kuota sebesar 1320 MT tersebut, menunjukkan bahwa pemerintah tidak konsisten dalam menetapkan kebijakan penurunan konsumsi. Hal ini disebabkan jumlah kuota impor yang ditetapkan, tujuh kali lebih besar dibanding kebutuhan konsumsi tahun 2005. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup juga tidak aware melaksanakan tugas dan fungsi koordinasinya dalam menetapkan kuota impor nasional setiap tahun. Kuota impor metil bromida yang selama ini dipublish merupakan kuota metil bromida yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian berdasar pada jumlah kuota masing-masing importir. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa sejak tahun 2002, semua permohonan metil bromida mendapat izin sementara. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah jumlah metil bromida yang dapat diedarkan importir adalah terbatas sesuai dengan jumlah komoditas, dosis atau konsentrasi dan aplikasi yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri (Peraturan Menteri Pertanian No. 24 Tahun 2011 Pasal 14). Namun pada kenyataannya, mengingat Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan kuota impor hanya pada tahun 2008, maka sejak tahun 2009 Kementerian Pertanian menetapkan kebijakan bahwa jumlah kuota metil bromida yang diberikan tidak melebihi 1320 MT, kuota menurun secara bertahap dan jumlah kuota metil bromida yang diberikan kepada masing-masing importir berdasarkan realisasi impor tahun (Purwanti, Y. 2011. Komunikasi pribadi. Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Jakarta). Gambar 7 menunjukan perbandingan total kuota yang diberikan Menteri Pertanian kepada semua importir dengan konsumsi metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan. Total kuota yang diberikan menunjukkan kecenderungan menurun dan lebih kecil dibandingkan kuota yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup, namun terlihat juga bahwa total kuota yang diberikan tahun 2007 lebih tinggi dari kuota tahun sebelum/sesudahnya (kebijakan larangan penggunaan metil bromida untuk non karantina dan pra pengapalan tahun 2008, akan berdampak pada menurunnya kebutuhan, tetapi Kementerian Pertanian justru memberikan kuota yang lebih besar). Berdasarkan Gambar 7,
39
dapat dilihat bahwa total kuota yang diberikan oleh Kementerian Pertanian tahun 2005-2010 lebih besar dari kebutuhan/konsumsi metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa kebijakan penurunan kuota nasional tidak berhasil mengurangi konsumsi metil bromida. 1200
Kuota KLH = 1320 MT (MT)
1000 1)
800 600
2)
400
3)
200 0 2005
2006
2007
Konsumsi
2008
2009
Kuota Kementan
2010 Impor
Gambar 7 Kuota, realisasi impor, dan konsumsi metil bromida. Sumber: 1) Kementerian Pertanian 2011 2) United Nations Environment Programme 2011 3) Biro Pusat Statistik 2011 Kebijakan penurunan kuota metil bromida dan penghapusan penggunaan metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan, memberikan dampak yang cukup menarik: 1. Jumlah merek metil bromida yang terdaftar mengalami peningkatan setelah pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengurangi impor dan menghapus penggunaan metil bromida selain untuk keperluan karantina dan pra pengapalan
(Peraturan
Menteri
Perdagangan
No.
51
Tahun
2007).
Meningkatnya jumlah metil bromida yang terdaftar, menunjukkan indikasi bahwa minat pengusaha untuk melakukan investasi pada bisnis impor metil bromida juga meningkat (Gambar 8).
40
Gambar 8 Jumlah metil bromida yang terdaftar. Sumber: Kementerian Pertanian 2011 2. Metil bromida China masuk ke Indonesia sejak tahun 2008, sebelumnya metil bromida hanya berasal dari Belgia dan Inggris. Jumlah merek metil bromida China meningkat pada tahun 2010 yaitu 80% dari keseluruhan metil bromida yang terdaftar di Indonesia.
3. Data impor metil bromida tahun 2006-2008 menunjukkan bahwa dua metil bromida yang tidak terdaftar, masuk ke Indonesia melalui Pelabuhan Sukarno Hatta dan Tanjung Priok. Kedua metil bromida tersebut berasal dari Jerman dan Hongkong serta diimpor oleh importir yang tidak terdaftar. Sementara itu, satu importir terdaftar (PT Asomindo Raya) mengimpor metil bromida dari Amerika Serikat tahun 2008 (Lampiran 5). Fakta ini menggambarkan bahwa kebijakan pemerintah untuk menurunkan kuota metil bromida dan menghapus penggunaan metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan justru merangsang minat importir untuk mengimpor metil bromida.
4. Volume ekspor metil bromida China meningkat setiap tahun, bahkan hingga bulan September 2011, volume ekspor China (138 MT) telah melewati volume ekspor Belgia tahun 2011 (74 MT), hampir mendekati volume ekspor Belgia tahun 2010 (163 MT). Sementara volume ekspor Inggris menurun seiring dengan meningkatnya volume ekspor China (Gambar 9). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan perjanjian free trade China-ASEAN tahun 2008 yang menetapkan tarif bea masuk komoditas dari China sebesar 0% (Peraturan
41
Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN-China Free Trade Area (AC-FTA)).
Volume (MT)
300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 0,00 2006
2007
Belgia
2008
2009
Inggris
2010
2011
China
Gambar 9 Volume impor metil bromida dari beberapa negara. Sumber: Biro Pusat Statistik 2011 5. Kebijakan penurunan kuota impor ternyata tidak mempengaruhi harga metil bromida. Penurunan kuota impor secara langsung akan mempengaruhi jumlah metil bromida yang beredar di pasaran. Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, harga metil bromida akan naik jika metil bromida yang beredar lebih sedikit. Harga metil bromida (CIF/kg) di Indonesia berfluktuasi, namun
Jun-11
Feb-11
Sep-10
Mei-10
Des-09
Agst-09
Jul-08
Feb-09
Mar-08
Jul-07
Nop-07
Mar-07
Mar-06
7000,00 6000,00 5000,00 4000,00 3000,00 2000,00 1000,00 0,00 Agust-06
Harga CIF/Kg (US $)
tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan harga (Gambar 10).
Gambar 10 Fluktuasi harga metil bromida. Sumber: Biro Pusat Statistik 2011 Berdasarkan data impor metil bromida dari BPS (2011), diketahui bahwa harga metil bromida yang berasal dari China sangat berfluktuasi yaitu berkisar 3,2-6,5 US$, sementara harga metil bromida yang berasal dari Inggris relatif stabil berkisar 5,14-5,37 US$. Harga metil bromida yang berasal Belgia pada tahun
42
2009-2010 relatif stabil antara 4,2-5,5 US$, namun mengalami peningkatan pada tahun 2011, yaitu 5,5 - 6,3 US$. 7,000
Harga CIF/Kg (US $)
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0,000 2006
2007
Belgia
2008
Inggris
2009
2010
2011
China
Gambar 11 Harga metil bromida dari beberapa negara. Sumber: Biro Pusat Statistik 2011 Harga metil bromida (CIF/kg) dari negara asal yang sama, tidak memperlihatkan peningkatan harga yang signifikan, sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa peningkatan harga metil bromida merupakan dampak kebijakan penurunan kuota (Gambar 11). 4.4. Analisis Kebutuhan Metil Bromida Berdasarkan fakta yang ditemukan di atas, bahwa sampai saat ini Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan kuota nasional hanya satu kali dan kuota yang ditetapkan lebih besar dari rata-rata konsumsi, dapat dikatakan bahwa penetapan kuota tidak berdasar pada data kebutuhan/konsumsi metil bromida untuk karantina dan pra pengapalan yang sesungguhnya di lapangan. Hal yang sama terjadi pada kebijakan yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian, jumlah total kuota masing-masing pemegang nomor pendaftaran/importir lebih besar dari kebutuhan/konsumsi metil bromida untuk karantina dan pra pengapalan yang sesungguhnya di lapangan. Kedua fakta ini, mengakibatkan kuota yang ditetapkan oleh kedua kementerian tersebut tidak berdampak terhadap pengendalian konsumsi metil bromida seperti yang diamanatkan Protokol Montreal bahkan jumlah pestisida yang tersedia, baik yang disimpan maupun yang beredar di pasaran lebih besar dari kebutuhan metil bromida untuk karantina dan pra pengapalan dan ini dapat menjadi faktor pemicu penggunaan metil bromida di luar
43
karantina dan pra pengapalan. Nugroho (2009) mengatakan bahwa kebijakan yang baik adalah kebijakan yang dibuat berdasarkan informasi/data yang sebenarnya di lapangan, kebijakan tidak bersifat terlalu akademis atau teknis, tetap kebijakan yang berdasar fakta di lapangan. Kebutuhan metil bromida untuk karantina dan pra pengapalan di lapangan dapat diprediksi dari data konsumsi metil bromida. Konsumsi Indonesia untuk keperluan karantina dan pra pengapalan seperti disajikan pada Tabel 5, berfluktuasi/tidak menunjukkan penurunan yang nyata, bahkan konsumsi justru meningkat 75,6% ketika pemerintah menetapkan kebijakan penghapusan pengunaan non karantina dan pra pengapalan (tahun 2008). Hal ini menggambarkan bahwa upaya pemerintah untuk mengurangi penggunaan metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan kurang sungguh-sungguh (political will). Tabel 5 Konsumsi metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan negara ASEAN dan Amerika Serikat No Negara 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (MT) (MT) (MT) (MT) (MT) (MT) 1 Singapura 85 97,7 152,6 107,2 165,5 52,3 2 Filipina 73,13 90,82 91,83 71,7 48,04 72,22 3 Malaysia 252,29 284,45 300,19 222,36 4 Indonesia 337 211 250,2 439,2 288 313,3 5 Thailand 454,7 538,84 558,4 545,7 465,25 466,79 6 Vietnam 598,47 656 677 696 739 761 7 Brunei Darusalam 0 0 0 0 0 0 8 Laos 0 0 0 0 0,1 9 Myanmar 0 0 0 16 32 10 Kamboja 0 0 0 0 0 11 Amerika Serikat 2931,00 5088,94 2929,80 1212,10 2099,40 Sumber: United Nations Environment Programme 2011 MT: metrik ton
0 0 0 3843
Tabel 5 menunjukkan konsumsi metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan tidak menunjukkan kecenderungan menurun secara nyata. Setelah pemerintah menetapkan kebijakan larangan penggunaan metil bromida selain untuk karantina dan pra pengapalan, konsumsi metil bromida tahun 2008 justru meningkat 43,03% dibanding tahun 2007 dan konsumsi tahun 2010
44
meningkat 8,8% dari tahun 2009. Konsumsi Indonesia untuk karantina dan pra pengapalan menduduki peringkat tiga besar setelah Vietnam dan Thailand, tetapi jauh lebih rendah dibanding konsumsi Amerika Serikat. Hasil analisis trend menggunakan perangkat lunak Minitab 14.12 (Lampiran 6), untuk memprediksi konsumsi metil bromida pada tahun ke-t didapatkan persamaan matematika: Yt = 133,59 + 11,26t + 0,099t2 di mana: Y = konsumsi metil bromida (MT) t = waktu (tahun) Prediksi konsumsi metil bromida tahun 2012-2015 adalah sebagai berikut: 353,6 MT (2011), 368,32 MT (2012), 383,24 MT (2013), 398,35 MT (2014), dan 413,66 MT (2015). 450
Konsumsi (MT)
400 350 300
Variable Actual Fits Forecasts Accuracy Measures MAPE 13,90 MAD 34,85 MSD 2178,42
250 200 150 100 95 96 97 98 99 00 0 1 02 03 04 05 0 6 07 0 8 09 10 11 12 1 3 14 1 5 1 9 19 19 19 19 2 0 20 2 0 20 20 20 20 2 0 20 20 20 20 20 20 2 0 20
Tahun
Gambar 12 Analisis trend konsumsi metil bromida untuk karantina dan pra pengapalan tahun 2012 - 2015. Sumber: United Nations Environment Programme 2011 Untuk mengantisipasi prediksi kebutuhan pestisida fumigasi yang terus meningkat tersebut di atas, seyogyanya pemerintah menetapkan kebijakan yang tegas untuk mengendalikan konsumsi metil bromida. Hal ini terkait dengan amanat UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28H bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara. Konsumsi metil bromida yang terus meningkat menunjukkan bahwa Indonesia tidak turut aktif melindungi lapisan ozon dan akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan hidup.
45
Kebijakan yang dapat ditetapkan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi metil bromida adalah dengan mengatur jumlah metil bromida yang beredar maksimal sama dengan jumlah yang dibutuhkan untuk keperluan karantina dan pra pengapalan melalui penetapan kuota nasional yang menurun secara bertahap, penetapan waktu dan kuota base line, serta jumlah metil bromida untuk keperluan yang tidak tergantikan. Berikut ini, disajikan beberapa skenario pengendalian konsumsi yang dapat dilakukan oleh pemerintah pada tahun 20122015. 1. Skenario Protokol Montreal Skenario penetapan kuota ini mengikuti skenario penurunan konsumsi yang ditetapkan oleh Protokol Montreal untuk negara berkembang pada tahun 2005. Apabila tahun 2012 diasumsikan sebagai base line penetapan kuota, maka perkiraan konsumsi tahun 2012 merupakan rata-rata konsumsi tahun 2005-2008. Dengan demikian kuota nasional tahun 2012 yang harus ditetapkan pemerintah sebesar 309,35 MT (kuota tahun 2013-2014 = kuota 2012) dan kuota tahun 2015 sebesar 247,48 MT.
(MT)
500 400 300 200 100 0 2012
2013
2014
Strategi penurunan kuota
2015
Gambar 13 Estimasi konsumsi dan strategi penurunan kuota Skenario Protokol Montreal. 2. Skenario Adaptasi Protokol Montreal Skenario penetapan kuota ini mengikuti skenario penurunan konsumsi yang ditetapkan oleh Protokol Montreal, namun setelah penetapan waktu dan kuota base line, kuota diturunkan secara bertahap setiap tahun. Berdasarkan kuota nasional tahun 2012 seperti pada skenario 1 di atas (= 309,35 MT), selanjutnya konsumsi dapat diturunkan dengan cara menurunkan kuota. Apabila diasumsikan penurunan kuota 30% setiap tahun (Badan Karantina Pertanian 2011), maka kuota
46
nasional tahun 2013-2015 berturut-turut sebagai berikut: 216,55 MT, 151,59 MT dan 106,05 MT. 500
(MT)
400 300 200 100 0 2012
2013 penurunan 2014 Strategi kuota Estimasi konsumsi MBr
2015
Gambar 14 Estimasi konsumsi dan strategi penurunan kuota Skenario Adaptasi Protokol Montreal. 3. Skenario Kebutuhan Minimum Skenario penetapan kuota ini dapat dilakukan dengan asumsi bahwa: a. Pestisida pengganti yang telah mendapat izin Menteri Pertanian (fosfin dan sulfuril fluorida) telah diuji efektif untuk mengendalikan organisme sasaran sesuai dengan izin yang diperoleh. b. Jumlah pestisida pengganti yang telah mendapat izin Menteri Pertanian mencukupi. Data BPS (2011) rata-rata ketersediaan fosfin sebesar 121.363 kg/tahun (Lampiran 7) dan ketersediaan sulfuril fluorida tahun 2010-2011 sebesar 15.406 MT (PT Johny Jaya Makmur). c. Kebutuhan minimum metil bromida yang tidak tergantikan adalah untuk komoditi ekspor yang harus difumigasi dengan metil bromida atas permintaan negara tujuan serta untuk keperluan penelitian yang diperkirakan sebesar 100 MT.
Apabila target waktu skenario kebutuhan minimum ditetapkan tahun 2015, maka kuota tahun 2012-2014 direncanakan menurun secara bertahap hingga tercapai kuota 100 MT yang merupakan asumsi kebutuhan minimum yang ingin di capai. Apabila diasumsikan konsumsi tahun 2011 merupakan rata-rata konsumsi enam tahun terakhir yaitu sebesar 306,45 MT (~300 MT)(UNEP 2011), maka skenario penurunan kuota secara bertahap sebagai berikut:
47
(300 MT – 100 MT) = 50 MT 4 Dengan demikian, kuota impor tahun 2012-2014 diturunkan 50 MT per tahun sehingga kuota impor metil bromida tahun 2015 sebesar 100 MT. 500
(MT)
400 300 200 100 0 2012
2013 2014 Strategi penurunan kuota Estimasi konsumsi MBr
2015
Gambar 15 Estimasi konsumsi dan strategi penurunan kuota skenario kebutuhan minimum. 4.5. Implementasi Kebijakan Pengaturan Metil Bromida Beberapa fakta di lapangan yang ditemukan terkait implementasi kebijakan pengaturan metil bromida diuraikan sebagai berikut: 1. Pelaksana pelatihan dan sertifikat penggunaan pestisida terbatas Dua peraturan tingkat menteri mengatur hal yang sama, yaitu Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Pertanian No. 24 Tahun 2011 mengatur pemberian sertifikat penggunaan pestisida terbatas kepada orang yang telah mengikuti dan lulus pelatihan pestisida terbatas. a. Peraturan Menteri Pertanian No. 24 Tahun 2011 Pasal 9 menyatakan bahwa pemegang nomor pendaftaran/importir wajib melaksanakan pelatihan pestisida terbatas dan setiap orang yang akan menggunakan pestisida terbatas, harus telah lulus pelatihan penggunaan pestisida terbatas serta memiliki sertifikat yang diterbitkan oleh Ketua Komisi Pengawasan Pestisida Provinsi. Sedangkan Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009 Pasal 4 menegaskan bahwa petugas karantina tumbuhan dan operator perusahaan fumigasi harus memiliki sertifikat penggunaan pestisida terbatas. Berdasarkan informasi dari responden perusahaan fumigasi, diketahui bahwa pelatihan pestisida terbatas dilaksanakan oleh asosiasi perusahaan fumigasi (Ikatan Perusahaan Pengendali Hama
48
Indonesia) dan setiap orang yang akan mengikuti pelatihan dibebani biaya pelatihan yang cukup mahal. Kondisi ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 24 Tahun 2011 yang menyatakan pemegang nomor pendaftaran/importir wajib melaksanakan pelatihan pestisida terbatas. b. Sertifikat penggunaan pestisida terbatas diterbitkan oleh
Kepala Badan
Karantina Pertanian dan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 9 Peraturan
Menteri Pertanian No. 24 Tahun 2011 menyatakan bahwa sertifikat penggunaan pestisida terbatas diterbitkan oleh
Ketua Komisi Pengawasan
Pestisida Provinsi.
2. Metil bromida masih digunakan untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan Hasil wawancara dengan narasumber diketahui bahwa metil bromida masih digunakan untuk fumigasi tanah, fumigasi gerbong kereta api dan fumigasi gedung arsip/perpustakaan serta fumigasi tidak sesuai dengan estándar Badan Karantina Pertanian (extra joss). a. Fumigasi menggunakan metil bromida pada gerbong kereta api Informasi dari pihak PT KAI (Nunik. 2011. Komunikasi pribadi. PT KAI, Stasiun Kota. Jakarta), organisme pengganggu yang sering ditemukan di gerbong kereta api seperti kecoa, kutu busuk dan tikus dikendalikan dengan cara penyemprotan, pengumpanan, dan fumigasi. Pengendalian hama tidak dilakukan oleh karyawan PT KAI, namun menunjuk pihak ketiga (perusahaan pest control yang tidak terdaftar di Badan Karantina Pertanian), sehingga pihak PT KAI tidak mengetahui pestisida yang digunakan.
Hasil investigasi
ditemukan bahwa: - Perusahaan pest control menggunakan metil bromida untuk “membasmi” kecoa, kutu busuk dan tikus di gerbong kereta api khususnya kereta api kelas eksekutif seperti kereta Bima, Argo Bromo dan kereta Nusantara. - Fumigasi biasanya dilakukan setiap ada keluhan dari penumpang dan/atau apabila gerbong kereta akan disewa oleh pejabat penting (Kereta Nusantara).
49
- Fumigasi metil bromida untuk Daerah Operasional I, dilakukan ketika kereta sedang dibersihkan di Depo Teknik Stasiun Kereta Api Manggarai, Jakarta. - Oknum fumigator tidak pernah mengikuti pelatihan pestisida terbatas (metil bromida). Gambar 16 dan 17 menunjukkan penyalahgunaan metil bromida pada gerbong kereta api. Fumigasi dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, oknum fumigator tidak menggunakan mask canister (alat pelindung diri), pakaian pelindung, alat pendeteksi kebocoran, alat pengukur waktu, dan alat pengukur kadar maksimum metil bromida.
Gambar 16 Tahapan persiapan fumigasi gerbong kereta Nusantara.
Gambar 17 Fumigasi gerbong kereta Nusantara tanpa alat pelindung diri. b. Fumigasi menggunakan metil bromida pada lahan pertanian Hasil wawancara dengan beberapa narasumber, disebutkan bahwa metil bromida masih digunakan untuk fumigasi lahan pertanian seperti lahan budi daya kentang dan stroberi serta lapangan golf. Wawancara secara terpisah dengan narasumber perusahaan fumigasi disebutkan bahwa metil bromida digunakan
50
untuk “membasmi” organisme pengganggu dalam tanah ketika pembukaan lapangan golf di Makassar (Nurdin, N. 2011. Komunikasi pribadi. PT PAN Asia Superintendence. Makassar) dan di Jakarta (Hamdan. 2011. Komunikasi pribadi. CV Anaya. Jakarta). Metil bromida disinyalir masih digunakan untuk fumigasi lahan budi daya kentang dan stroberi di Jawa Barat (Susanto, E.K. 2011. Komunikasi pribadi. Asesor metil bromida. Denpasar). c. Metil bromida masih digunakan pada gedung arsip Beberapa
perusahaan
fumigasi
disinyalir
pernah
dan/atau
masih
menggunakan metil bromida untuk fumigasi di gedung arsip/perpustakaan. Perusahaan fumigasi masih menggunakan metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan dengan pertimbangan waktu kerja, efektivitas dan biaya fumigasi dengan metil bromida yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan
pestisida
lain.
Disamping
itu
pengawasan
yang
longar
menyebabkan perusahaan fumigasi berani mengambil keuntungan dengan resiko yang minimal (Jono. 2011. Komunikasi pribadi. PT Metropest. Jakarta). 3. Penggunaan metil bromida tidak sesuai dengan standar Badan Karantina Pertanian Metil bromida masih banyak digunakan tidak sesuai dengan standar Badan Karantina Pertanian seperti fumigasi dengan dosis lebih tinggi/rendah, waktu pemaparan kurang, dan tidak dilakukannya aerasi (Susanto, E.K. 2011. Komunikasi pribadi. Asesor metil bromida. Denpasar). Extra joss merupakan istilah yang sudah sangat familiar diantara para fumigator yang berarti fumigasi dengan waktu pemaparan kurang dari 24 jam, dosis lebih rendah dari dosis anjuran, dan tanpa melakukan aerasi. Fumigasi extra joss dilakukan ketika truk dengan peti kemas berisi komoditi yang akan diekspor dalam perjalanan menuju kapal. Fumigasi extra joss sebenarnya cukup beresiko karena fumigasi tanpa aerasi menyebabkan komoditi yang diekspor masih mengandung metil bromida di atas batas maksimum residu, ketika tiba di negara tujuan dan fumigasi dengan dosis rendah memungkinkan hama sasaran masih ditemukan dalam keadaan hidup di negara tujuan. Permintaan fumigasi extra joss berawal dari permintaan eksportir yang tidak membutuhkan sertifikat fitosanitary dari Badan Karantina
51
Pertanian, namun importir di negara tujuan meminta dilakukan fumigasi dengan metil bromida. Adanya kemasan tabung kecil (ukuran 20 kg) disinyalir akan memudahkan penyalahgunaan di lapangan (praktek extra joss), karena oknum fumigator lebih mudah membawa tabung ukuran kecil bahkan hanya dengan menggunakan kendaraan roda dua. Kementerian Pertanian/Komisi Pestisida tidak mempunyai kebijakan yang mengatur ukuran minimal kemasan tabung metil bromida yang diizinkan (Purwanti, Y. 2011. Komunikasi pribadi. Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Jakarta).
4.6. Analisis Pemilihan Pestisida Fumigasi untuk Keperluan Karantina dan pra Pengapalan Berdasarkan hasil wawancara dengan responden perusahaan fumigasi, diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi perusahaan fumigasi (fumigator) dalam memilih pestisida fumigasi, yaitu waktu pemaparan, tingkat efektivitas, harga pestisida, komoditi yang akan difumigasi, keamanan pestisida fumigasi terhadap kesehatan fumigator dan lingkungan kerja, serta faktor tingkat kepraktisan dalam menggunakan pestisida fumigasi. Pemilihan pestisida fumigasi berdasarkan faktor-faktor tersebut, menurut responden lebih dipengaruhi oleh perhitungan bisnis dalam upaya menekan biaya fumigasi daripada keamanan lingkungan (ozon). Gambar 18 menggambarkan bahwa responden menilai lama waktu pemaparan sebagai faktor yang paling berperan mempengaruhi perusahaan fumigasi dalam memilih pestisida fumigasi (bobot 0,334), diikuti oleh faktor komoditi yang akan difumigasi (bobot 0,28), efektivitas pestisida fumigasi (spektrum pengendalian organisme pengganggu), dan harga pestisida fumigasi (bobot 0,11). Faktor lama waktu pemaparan berpengaruh secara langsung terhadap biaya sewa lahan/depo. Semakin lama waktu pemaparan, biaya sewa lahan/depo semakin tinggi, sehingga biaya fumigasi semakin mahal.
52
Faktor yang mempengaruhi pemilihan pestisida fumigasi Waktu Komoditi iii Efek Harga Keamanan Praktis
.344 .280 .139 .110 .080 .048 Inconsistency Ratio =0.04
Gambar 18 Faktor yang mempengaruhi perusahaan fumigasi dalam memilih pestisida fumigasi. Berdasarkan enam faktor yang mempengaruhi perusahaan fumigasi untuk memilih pestisida fumigasi, hasil AHP menunjukkan responden memilih pestisida sulfuril fluorida sebagai pilihan pertama (bobot 0,448), diikuti metil bromida (bobot 0,443), dan terakhir pestisida fosfin (bobot 0,108). Hasil AHP ini, berbeda dengan kenyataan di lapangan, permintaan perusahaan fumigasi terhadap metil bromida masih sangat tinggi, dibandingkan permintaan terhadap sulfuril fluorida. Permintaan terhadap sulfuril fluorida masih terbatas untuk fumigasi perawatan di pabrik tepung dan pakan ternak (Sholeh. 2011. Komunikasi pribadi. PT Johny Jaya Makmur. Jakarta). Hal tersebut kemungkinan terkait dengan belum adanya kebijakan Kepala Badan Karantina/Menteri Pertanian yang menetapkan sulfuril fluorida dapat digunakan sebagai pestisida pengganti metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan. Kebijakan yang ada saat ini hanya berupa surat edaran Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati yang menyatakan sulfuril fluorida dapat digunakan sebagai pestisida pengganti metil bromida untuk kayu log impor (surat edaran Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nomor 5510/KT.040/L.B/8/2011 tanggal 25 Agustus 2011).
SF
.448
MeBr
.443
Fosfin
.108
OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0.03
Gambar 19 Peringkat pestisida fumigasi yang dipilih perusahaan fumigasi berdasarkan wawancara/survey.
53
4.7. Prioritas Strategi yang Mempengaruhi Upaya Pengaturan Metil Bromida Hasil penggabungan pendapat responden terkait faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penghapusan penggunaan metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan dan penurunan kuota secara bertahap dengan menggunakan software Expert Choice menunjukkan rasio inkonsistensi sebesar 0,05 dengan urutan prioritas kepentingan: (1) Kepatuhan perusahaan fumigasi terhadap peraturan terkait pengaturan penggunaan metil bromida (bobot 0,292); (2) Pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas (bobot 0,249); (3) Penetapan batas waktu yang tegas (bobot 0,198); (4) Waktu pemaparan fumigasi pestisida pengganti (bobot 0,12); (5) Harga pestisida
pengganti (bobot 0,08), serta
(5) Tersedianya dana perusahaan fumigasi untuk untuk melatih operator dan membeli peralatan fumigasi pestisida pengganti (bobot 0,061). Hasil analisis pendapat beberapa responden untuk setiap faktor yang mempengaruhi upaya penghapusan penggunaan metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan dan penurunan kuota secara bertahap seperti diuraikan berikut ini. 1. Kepatuhan perusahaan fumigasi terhadap peraturan terkait pengaturan metil bromida Gambar 21 menunjukkan bahwa responden memandang Badan Karantina Pertanian sebagai stakeholder yang paling berperan dalam mengatasi faktor kepatuhan perusahaan fumigasi terhadap peraturan terkait pengaturan penggunaan metil bromida (bobot 0,196), selanjutnya petugas pengawas pestisida/Subdit Pengawasan Pestisida (bobot 0,176), dan Komisi Pestisida (bobot 0,164). Badan Karantina Pertanian memiliki peranan penting dalam melakukan pembinaan terhadap perusahaan fumigasi, agar perusahaan fumigasi taat/patuh (a) Menggunakan metil bromida hanya untuk keperluan
karantina dan pra
pengapalan sebagai alternatif terakhir apabila tidak dapat menggunakan metode/pestisida pengganti lain; (b) Menggunakan metil bromida sesuai standar Badan Karantina Pertanian (dosis, waktu pemaparan, dan waktu aerasi). Sesuai Peraturan Menteri Pertanian No. 42 Tahun 2007, petugas pengawas pestisida/Subdit Pengawasan Pupuk dan Pestisida mempunyai tugas dan fungsi mengawasi peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida serta memberikan bimbingan/pelatihan kepada pengguna pestisida terbatas. Fakta yang ditemukan di
54
lapangan, tugas dan fungsi pengawas pestisida/Subdit Pengawasan Pupuk dan Pestisida tidak terlihat nyata, hal ini terlihat dari tidak tersedianya data/laporan distribusi dan penggunaan metil bromida. Kepatuhan perusahaan fumigasi Barantan
.196
PSP/Pengawas.176 Kompes
.164
Bea & Cukai
.128
Kemendag
.108
Importir
.082
Fumigator
.082
KLH
.064 Inconsistency Ratio = 0.03
Gambar 20
Nilai bobot aktor yang mempengaruhi kepatuhan perusahaan fumigasi.
2. Pengawasan impor, distribusi, dan penggunaan metil bromida serta pemberian sanksi yang tegas. Gambar 21 menunjukkan bahwa responden memandang Badan Karantina Pertanian sebagai stakeholder yang paling berperan dalam melakukan pengawasan impor, distribusi dan penggunaan metil bromida (0,299), selanjutnya petugas pengawas pestisida/Subdit Pengawasan Pupuk dan Pestisida (bobot 0,209), dan Komisi Pestisida (bobot 0,172). Pengawasan dan sanksi yang tegas Barantan
.299
PSP/Pengawas .209 Bea & Cukai
.172
Kemendag
.140
Kompes
.083
KLH
.046
Fumigator
.028
Importir
.023 Inconsistency Ratio =0.05
Gambar 21 Nilai bobot aktor yang mempengaruhi pengawasan impor, distribusi, dan penggunaan dan pemberian sanksi yang tegas.
55
3. Kebijakan penetapan batas waktu penghapusan yang tegas Gambar 22 menunjukkan bahwa responden memandang Kementerian Lingkungan Hidup sebagai stakeholder yang paling berperan dalam menetapkan batas waktu penghapusan yang tegas (bobot 0,298), selanjutnya Badan Karantina Pertanian (bobot 0,219), dan Komisi Pestisida (bobot 0,139). Kementerian Lingkungan Hidup merupakan instansi pemerintah yang berfungsi melakukan koordinasi dan fasilitasi kebijakan program perlindungan lapisan ozon termasuk kebijakan dan implementasi pengaturan metil bromida serta juga merupakan Indonesia national focal point dalam hal kebijakan yang menyangkut lingkungan hidup di dunia internasional. Penetapan batas waktu yang tegas KLH
.298
Barantan
.219
Kompes
.139
PSP/Pengawas.112 Kemendag
.094
Bea & Cukai
.052
Fumigator rr Importir
.047 .039 Inconsistency Ratio =0.05
Gambar 22 Nilai bobot aktor yang mempengaruhi penetapan batas waktu penghapusan yang tegas. 4. Waktu pemaparan fumigasi pestisida pengganti Gambar 23 menunjukkan bahwa responden memandang perusahaan fumigasi sebagai stakeholder yang paling berperan dalam mengatasi kendala lamanya waktu pemaparan fumigasi dengan pestisida pengganti (bobot 0,37), selanjutnya Badan Karantina Pertanian (bobot 0,186) dan Komisi Pestisida (bobot 0,121). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden perusahaan fumigasi, pestisida pengganti yang paling banyak digunakan adalah alumunium/magnesium fosfin. Responden belum menggunakan sulfuril fluorida karena kekhawatiran tidak adanya bahan pendeteksi (pembau), dan harga peralatan pelindung diri serta alat deteksi kebocoran yang masih sulit didapatkan dan sangat mahal. Waktu pemaparan yang diperlukan dengan alumunium/magnesium fosfin sekitar 3 - 5
56
hari, sedangkan waktu pemaparan dengan metil bromida hanya 1 hari. Faktor waktu pemaparan ini jelas berpengaruh terhadap biaya fumigasi (sewa tempat dan upah tenaga kerja) yang harus dibebankan oleh perusahaan fumigasi kepada eksportir. Untuk mengatasi faktor ini, perusahaan fumigasi diharapkan tidak memandang dari segi keuntungan bisnis semata tetapi perusahaan fumigasi harus berupaya memberikan informasi/edukasi kepada eksportir. Waktu pemaparan pestisida pengganti MeBr Fumigator
.370
Barantan
.186
Kompes
.121
Importir
.091
Kemendag
.062
PSP/Pengawas .060
Bea & Cukai .057 KLH
.054 Inconsistency Ratio =0.04
Gambar 23 Nilai bobot aktor yang mempengaruhi waktu pemaparan pestisida pengganti. 5. Harga pestisida pengganti Gambar 24 menunjukkan responden memandang importir sebagai stakeholder yang paling berperan dalam mengatasi kendala harga pestisida pengganti (bobot 0,249), selanjutnya Kementerian Perdagangan (bobot 0,202) dan Ditjen Bea dan Cukai (bobot 0,148). Hasil wawancara dengan responden perusahaan fumigasi, apabila sewa lahan/depo, lama waktu pemaparan, dan upah tenaga kerja diasumsikan tidak memberikan pengaruh terhadap biaya fumigasi, maka biaya yang diperlukan untuk melakukan fumigasi seperti ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Biaya fumigasi berdasarkan pestisida fumigasi yang digunakan No
Pestisida fumigasi Harga (Rp/kg) Dosis (g/m³) Biaya fumigasi (Rp/m3)
1
Metil Bromida
80.000
48
3.840
2
Sulfuril fluorida
147.000
48
7.056
3
Fosfin
667.000
6
4.000
57
Berdasarkan asumsi harga tersebut di atas, maka faktor harga pestisida pengganti masih relatif lebih tinggi dibanding harga metil bromida, bahkan harga pestisida sulfuril flourida 83,75% lebih tinggi dari harga metil bromida. Harga pestisida pengganti Importir
.249
Kemendag
.202
Bea & Cukai
.148
Fumigator
.141
Barantan
.076
Kompes
.064
PSP/Pengawas.064 KLH
.056 Inconsistency Ratio =0.03
Gambar 24 Nilai bobot aktor yang mempengaruhi harga pestisida pengganti. 6. Ketersediaan dana perusahaan fumigasi. Gambar 25 menunjukkan responden memandang perusahaan fumigasi sebagai stakeholder yang paling berperan dalam mengatasi kendala dana yang diperlukan untuk melatih operator dan membeli peralatan fumigasi pestisida pengganti (bobot 0,445), selanjutnya importir (bobot 0,215) dan Badan Karantina Pertanian (bobot 0,115). Berdasarkan hasil wawancara, perusahaan fumigasi akan mengikuti kebijakan pemerintah untuk beralih ke pestisida pengganti dan sebagai konsekwensinya mempersiapkan dana untuk melatih operator dan membeli peralatan fumigasi pestisida pengganti.
58
Ketersediaan dana untuk beralih ke pestisida pengganti Fumigator
.445
Importir
.215
Barantan
.115
KLH
.045
Kemendag
.045
Bea & Cukai .045 Kompes
.045
PSP/Pengawas.045 Inconsistency Ratio =0.02
Gambar 25
Nilai bobot aktor yang mempengaruhi ketersediaan dana perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pengaturan metil bromida, stakeholders yang berperan serta prioritas strategi alternatif yang ditawarkan disajikan pada Gambar 26.
59
Goal
Faktor
Stakeholders
Batas waktu (0,198)
Importir (0,008) Fumigator (0,009) KLH (0,059) Kemendag (0,019) Bea & Cukai (0,001) Barantan (0,043) Kompes (0,027) PSP Kementan (0,022)
Pengawasan (0,249)
Importir (0,006) Fumigator (0,007) KLH (0,011) Kemendag (0,035) Bea & Cukai (0,043) Barantan (0,074) Kompes (0,021) PSP Kementan (0,052)
Kesiapan perusahaan (0,061) Pengaturan MeBr
Kepatuhan fumigator (0,292)
Importir (0,013) Fumigator (0,027) KLH (0,003) Kemendag (0,003) Bea & Cukai (0,003) Barantan (0,007) Kompes (0,003) PSP Kementan (0,003) Importir (0,024) Fumigator (0,024) KLH (0,019) Kemendag (0,031) Bea & Cukai (0,038) Barantan (0,057) Kompes (0,048) PSP Kementan (0,051)
Efektifitas pestisida pengganti (0,12)
Importir (0,017) Fumigator (0,044) KLH (0,007) Kemendag (0,007) Bea & Cukai (0,022) Barantan (0,014) Kompes (0,027) PSP Kementan (0,022)
Harga pest pengganti (0,08)
Importir (0,020) Fumigator (0,011) KLH (0,005) Kemendag (0,016) Bea & Cukai (0,012) Barantan (0,006) Kompes (0,005)
Prioritas strategi alternatif
1. Pengawasan (0,500) 2. Kerjasama stakeholders (0,244) 3. Informasi dan sosialisasi (0,131) 4,Kerja sama internasional (0,076) 5, Insentif (0,048)
Overall Inconsistency Index =0,05
Gambar 26 Bagan hasil AHP kebijakan pengaturan pestisida metil bromida.