IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi susu dipengaruhi beberapa faktor utama yang salah satunya adalah penyakit. Penyakit pada sapi perah yang masih menjadi ancaman para peternak adalah penyakit mastitis yang disebabkan oleh bakteri yang menyerang sel sekretori ambing. Supar dan Ariyanti (2008) melaporkan bahwa bakteribakteri yang dominan menyebabkan mastitis adalah Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis. Bakteri-bakteri tersebut masuk ke dalam sel sekretori ambing dan menginfeksi kelenjar susu sehingga menyebabkan peradangan. Ternak yang terinfeksi menjadi tidak nyaman dan mengakibatkan penurunan produksi susu (Fajrin et al., 2013). Keberadaan bakteri penyebab mastitis pada susu juga dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan susu yang ditandai oleh perubahan penampilan kualitas fisik. Cemaran bakteri patogenik mengakibatkan kerusakan yang tidak diinginkan sehingga susu menjadi tidak layak untuk dikonsumsi (Balia et al., 2008 cit Kusumaningsih dan Ariyanti, 2013). Pengamatan mengenai peningkatan produksi susu serta perubahan kualitas fisik susu sebelum dan sesudah pengobatan antibiotik penicillin-streptomycin menjadi indikator yang perlu diperhatikan karena dapat memberikan informasi keberhasilan pengobatan terhadap sapi perah yang terinfeksi mastitis. Hasil analisis paired sample t-test dari perbandingan ratarata produksi dan nilai kualitas fisik susu sebelum dan sesudah pengobatan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Produksi dan kualitas fisik susu sapi perah mastitis sebelum dan sesudah diobati Peubah N P1 (Mean±SD) P2 (Mean±SD) Nilai P a b Produksi susu (liter) 15 9,310±5,332 10,187±5,117 0,001 Nilai pH 15 6,679±0,103a 6,596±0,117b 0,020 Berat jenis (gr/ml) 15 1,026±0,002 1,027±0,002 0,299 Nilai CMT 15 2,083±1,263a 0,550±0,502b 0,001 Keterangan : CMT = californian mastitis test; N = Jumlah sampel; P1 = Sebelum diobati antibiotik; P2 = Sesudah diobati antibiotik; SD = standar deviasi; a-b Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan 15
16
A. Produksi susu Perbandingan hasil rata-rata produksi susu sapi perah sebelum dan sesudah pengobatan antibiotik penicillin-streptomycin berdasarkan analisis uji paired sample t-test menunjukkan peningkatan. Rata-rata produksi susu sapi perah peternak sebelum dan sesudah diobati dengan antibiotik penicillin-streptomycin adalah 9,31 liter/ekor/hari dan 10,19 liter/ekor/hari (Tabel 1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan pengobatan memberikan pengaruh yang baik karena rata-rata produksi susu mengalami peningkatan setelah diobati dengan penicillin-streptomycin. Menurut Rismardiati (1985) antibiotik penicillinstreptomycin bekerja dengan menghasilkan efek bakterisida pada mikrobia yang sedang aktif membelah sehingga aktivitas bakteri dapat terganggu bahkan mati. Berkurangnya bakteri akan menyebabkan perbaikan sel epitel pada alveoli kelenjar susu serta kuartir ambing membaik sehingga produksi susu menjadi normal kembali. Hasil yang didapat diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Poutrel and Ducelliez (1978) bahwa penggunaan antibiotik penicillin-streptomycin dapat menyembuhkan 23 kuartir dari 46 kuartir ambing sapi perah yang menderita mastitis. Kesembuhan kuartir pada sapi perah yang mengalami mastitis otomatis akan meningkatkan jumlah produksi susu yang dihasilkan. Pengobatan antibiotik akan efektif jika diberikan pada sapi perah penderita mastitis yang berada pada masa laktasi akhir. Nurhayati dan Martindah (2015) juga menjelaskan bahwa pengendalian mastitis secara dry cow terapi (pengobatan saat periode kering) dan disertai dengan manajemen pemerahan yang baik dapat menekan kejadian mastitis subklinis dan menaikkan produksi susu. B. Nilai pH Perbandingan rata-rata nilai pH sebelum dan sesudah diobati menunjukkan peningkatan (Tabel 1). Data nilai pH susu sebelum diobati menunjukkan terdapat 5 (33%) sampel susu yang memiliki pH di atas 6,7 dan setelah diobati menjadi hanya 2 (13%) sampel susu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengobatan antibiotik penicillin-streptomycin memberikan perbaikan terhadap nilai pH susu
17
menuju ke standar normal. Nilai pH susu segar normal yaitu berkisar antara 6,3 sampai 6,8 (Standar Nasional Indonesia, 2011). Menurut pendapat Herendra (2009), nilai pH susu lebih dari 6,7 biasanya dihasilkan oleh ternak menderita penyakit, terutama radang ambing (mastitis). Perbaikan tampilan nilai pH susu setelah diberi perlakuan pengobatan antibiotik penicillin-streptomycin menunjukkan penurunan jumlah sampel susu yang memiliki nilai pH diatas 6,7. Menurut Sudarwanto dan Sudarnika (2008), nilai pH susu mastitis subklinis berkisar antara 6,3 dan 7,2 (tes IPB-1). Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya hubungan antara kenaikan nilai pH susu yang berbanding lurus dengan kenaikan derajat mastitis. Perubahan yang terjadi berhubungan dengan peningkatan permeabilitas pada bahan sel epitel mammari yang mengakibatkan perpindahan komponen darah ke susu meliputi sitrat dan bikarbonat sehingga mengakibatkan abnormalitas nilai pH. Tingkat keberhasilan penyembuhan sapi perah yang terinfeksi mastitis juga diperkuat oleh pendapat Hassan (2013) yang menjelaskan bahwa perbedaan nilai pH pada ternak mastitis terbukti signifikan jika dibandingkan dengan pH ternak yang tidak terinfeksi mastitis. C. Berat jenis Rata-rata berat jenis susu sebelum maupun sesudah diobati tidak menunjukkan perbedaan (Tabel 1). Menurut Sudarman dan Diapari (2012), pengobatan pada mastitis subklinis tidak memengaruhi nilai berat jenis susu. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian Primadani et al. (2013) bahwa pencegahan dan penanganan terhadap pertumbuhan bakteri pada sapi perah tidak berpengaruh terhadap nilai berat jenis susu. Data rata-rata nilai berat jenis susu mastitis sesudah diobati menunjukkan kecenderungan perbaikan yaitu terjadi peningkatan dari 1,026 menjadi 1,027. Peningkatan nilai berat jenis sesudah diobati berada di angka normal sesuai Standar Nasional Indonesia (2011) yaitu minimal 1,027. Berat jenis digunakan untuk mengetahui grafitasi spesifik suatu larutan. Tinggi rendahnya berat jenis susu lebih banyak dipengaruhi oleh bahan pakan yang diberikan kepada sapi perah. Penelitian yang dilakukan oleh Amran (2013)
18
menunjukkan rata-rata berat jenis susu pada peternakan sapi perah rakyat dengan berbagai jenis pakan adalah 1,0276. Komposisi atau kandungan dari susu yang masih pekat (persentase bahan padat bukan lemak tinggi) akan menampilkan berat jenis yang tinggi sedangkan rendah berat jenis susu dikarenakan tingginya kandungan lemak. Adil (2006) juga menyebutkan bahwa berat jenis di bawah atau di atas batas normal mengindikasikan bahwa kandungan lemak dalam susu lebih besar atau lebih sedikit. Kasus mastitis subklinis belum menampilkan nilai berat jenis yang menyimpang. Hal ini dimungkinkan karena belum terjadi perubahan kandungan lemak dan atau bahan padat bukan lemak yang besar akibat aktivitas bakteri. Berat jenis susu lebih banyak dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat pada pakan ternak (Sudarman dan Diapari, 2012). Berdasarkan hasil observasi, diperoleh informasi bahwa secara umum pakan yang diberikan oleh peternak kepada sapi perahnya adalah rumput kalanjana, rumput gajah, rumput lapangan, jerami kacang dan ampas tahu. Faktor-faktor lain yang memengaruhi berat jenis susu adalah kadar air, jenis bangsa hewan, kelembaban dan suhu udara (Saragih et al., 2013). D. Nilai californian mastitis test (CMT) Perbandingan hasil rata-rata nilai CMT susu sapi perah sebelum dan setelah pengobatan antibiotik penicillin-streptomycin menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) (Tabel 1). Penurunan rata-rata nilai CMT didapat dari 38 puting yang terserang mastitis mengalami penurunan skor CMT bahkan 13 diantaranya sembuh total setelah pengobatan. Hasil tersebut membuktikan bahwa pengobatan menggunakan kombinasi antiobiotik penicillin-streptomycin dapat menurunkan bahkan menyembuhkan sapi perah yang terinfeksi mastitis. Menurut Poutrel dan Ducelliez (1978) nilai CMT berhubungan dengan total jumlah bakteri pada susu, sehingga dengan penurunan nilai CMT maka tingkat infeksi bakteri penyebab mastitis juga mengalami penurunan. Reaksi reagen CMT sensitif terhadap susu yang terinfeksi Staphylococcus aureus, Streptococcus sp., E. Coli dan bakteri lain penyebab mastitis (Reugg and Reinemann, 2002). Menurut Fajrin et al. (2013) dalam penelitiannya menunjukkan terjadi
19
hubungan negatif antara tingkat mastitis dengan produksi dan kualitas susu yang berarti semakin tinggi nilai skor CMT maka semakin rendah produksi dan kualitas susu pada sapi perah. Janosi and Huszenicza (2001) menambahkan bahwa CMT dapat digunakan untuk menentukan sapi perah yang positif terinfeksi mastitis sebelum dilakukan pengobatan atau treatment antibiotik. Adriani (2010) menjelaskan bahwa mekanisme kerja reagen arylsulfonate pada uji CMT akan memecah inti sel somatik yang terdapat pada susu sehingga mengakibatkan penggumpalan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Nurdin (2007) bahwa derajat mastitis yang ditampilkan pada uji CMT menunjukkan jumlah sel somatik yang terdapat pada susu yaitu semakin banyak jumlah sel somatik maka semakin tinggi nilai CMT. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pengobatan antibiotik penicillin-streptomycin dapat menurunkan jumlah sel somatik sehingga derajat mastitis pada sapi perah juga mengalami penurunan. E. Warna Perbaikan warna susu dari sapi perah penderita mastitis yang telah diobati dengan antibiotik penicillin-streptomycin disajikan pada gambar 2. Susu dengan warna putih kekuningan sebagai karaktekteristik warna normal menunjukkan peningkatan frekuensi warna sampel susu. Warna putih kemerahan dan putih pucat sebagai karakteristik warna abnormal mengalami penurunan setelah pengobatan antibiotik. Frekuensi sampel susu (%)
100
86,7
80 53,3
60 40 20
33,3
Sebelum diobati
6,7
13,3 6,7
Sesudah diobati
0 Putih kemerahan
Putih pucat
Putih kekuningan
Warna susu
Gambar 2. Histogram uji kualitas warna susu
20
Sharif et al. (2009) dan Rismardiati (1985) menjelaskan bahwa indikasi sapi perah terinfeksi mastitis dapat dilihat dari tanda-tanda warna susu menjadi putih kemerahan atau putih pucat. Menurut Akoso (1996), penyakit mastitis klinis akan menampilkan penyimpangan kualitas warna susu menjadi kemerahan karena adanya darah. Susu berwarna putih kemerahan karena bercampur dengan darah akibat dari pecahnya pembuluh darah dalam kelenjar susu. Faktor lain yang menyebabkan susu menjadi berwarna putih kemerahan dikarenakan produksi pigmen oranye dari bakteri Staphylococcus aureus (Purnomo et al., 2006). Subronto (1989) menambahkan bahwa penyakit mastitis akan menampilkan perubahan warna susu yang biasanya putih kekuningan menjadi putih pucat karena banyaknya leukosit di dalam susu. Penampilan warna susu hasil pengobatan mengalami perbaikan yaitu semula menampakkan warna yang menyimpang menjadi normal putih kekuningan setelah diobati. Perbaikan warna yang terjadi sesuai dengan pendapat Nirwal et al. (2013) bahwa warna susu normal adalah putih kekuningan. Warna putih normal pada susu disebabkan oleh penyebaran butiran-butiran koloid lemak dari bahan utama yang pemberi warna kekuning-kuningan yaitu karoten dan riboflavin yang berasal dari pakan ternak (Maitimu et al., 2012). Penelitian ini menunjukkan bahwa pengobatan antibiotik penicillin-streptomycin mampu memperbaiki warna susu kearah normal. F.
Bau Perubahan tampilan bau susu hasil pengobatan antibiotik sapi perah
penderita mastitis dapat dilihat pada gambar 3. Hasil pengobatan antibiotik penicillin-streptomycin memperlihatkan terjadi perbaikan bau pada sampel susu dari sapi perah penderita mastitis. Perbaikan tersebut dapat dilihat dari meningkatnya frekuensi bau sampel susu dengan bau normal serta menurunnya bau abnormal maupun tidak berbau. Menurut Standar Nasional Indonesia (2011), susu normal memiliki bau yang tidak berubah ataupun menyimpang yaitu bau khas susu. Maitimu et al. (2012) menambahkan bahwa bau khas susu disebabkan oleh kandungan laktosa susu yang tinggi dan kandungan klorida yang relatif rendah.
Frekuensi sampel susu (%)
21
93,3
100 80
60
60 40
33,3
Sebelum diobati
6,7
20
Sesudah diobati
6,7 0
0 Bau abnormal
Tidak berbau Bau susu
Bau khas susu
Gambar 3. Histogram uji kualitas bau susu Menurut Kusmanto dan Hidayati (2011), bahan pangan akan berubah dari aroma normal apabila kandungan bakterinya melebihi batas maksimum yang menurut Standar Nasional Indonesia (2011) yaitu lebih dari 1x10 6 CFU/ml pada susu. Salah satu penyebab terjadinya penyimpangan bau pada susu adalah adanya dekomposisi komponen susu (laktosa) serta peningkatan klorida akibat pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Schroeder (2012) bahwa peningkatan jumlah sel somatik dan bakteri pada susu mengakibatkan penurunan laktosa dan peningkatan klorida. Subronto (1989) juga menambahkan bahwa susu yang dihasilkan dari sapi penderita mastitis akan menampilkan bau abnormal yaitu asam. Bakteri yang paling berpengaruh terhadap perubahan asam pada susu adalah Streptococcus agalactiae. Bau busuk juga terkadang muncul akibat penyakit mastitis sebagai produk dari bakteri Micrococcus indolicus. Perbaikan bau susu hasil pengobatan terjadi karena adanya penurunan jumlah sel somatik dan bakteri sehingga kandungan laktosa dan khlorida secara bertahap menjadi normal. G. Kekentalan Tampilan kekentalan susu sebelum dan sesudah pengobatan antibiotik disajikan pada gambar 4. Pengobatan antibiotik pada sapi mastitis menunjukkan perbaikan penampilan kekentalan susu ke arah normal. Perbaikan kekentalan susu ditunjukkan dengan peningkatan frekuensi susu yang memiliki kekentalan normal dan penurunan susu yang menampilkan tingkat kekentalan yang kental maupun
22
encer. Menurut Standar Nasional Indonesia (1998), susu normal memiliki
Frekuensi sampel susu (%)
konsistensi yang normal yaitu tidak kental dan encer. 100
80
80 53,3
60 40
20
Sebelum diobati
26,7
20 6,7
Sesudah diobati
6,7
0 Kental
Encer
Kekentalan Normal
Kekentalan susu
Gambar 4. Histogram uji kualitas kekentalan susu Gustiani (2009) juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa kerusakan fisik pada susu yang disebabkan oleh cemaran mikroorganisme. Menurut Akoso (1996),
kerusakan yang
terjadi karena
aktivitas
mikroorganisme
yang
menyebabkan fermentasi laktosa menjadi asam laktat dan penggumpalan kasein. Susu yang dihasilkan menjadi berlendir seperti tali karena terjadi pengentalan dan pembentukan lendir akibat pengeluaran bahan seperti kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri. Subronto (1989) menambahkan bahwa susu akan berubah menjadi lebih cair atau mengental jika sapi terserang mastitis. Pengentalan terjadi karena adanya jonjot atau endapan fibrin dan gumpalan protein yang lain. Nanah yang ditemukan pada susu sapi perah penderita mastitis disebabkan oleh bakteri Corynebacterium pyogenes dan Staphylococcus aureus. Sharif et al. (2009) juga menyatakan bahwa ciri-ciri yang mengindikasikan susu terinfeksi mastitis adalah susu terlalu encer. Hal ini disebabkan oleh peningkatan reaksi antar protein penyusun susu dengan enzim. Leandro (2009) menambahkan susu akan terlihat encer karena rusaknya fat globule membrane sebagai stabilisator butiran-butiran lemak susu dalam emulsi akibat aktivitas bakteri. Fat globule membrane tersusun atas protein dan fosfolipid. Kekentalan susu juga dipengaruhi oleh umur hewan, komposisi susu dan temperatur (Saragih et al., 2013).