29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini berasal dari keluarga prasejahtera yang berada di Desa Dramaga dan Babakan, Kecamatan Dramaga. Berdasarkan data Potensi Desa (2005) dalam Rachmawati (2010), Kecamatan Dramaga termasuk lima besar daerah yang memiliki penduduk miskin terbanyak di Kabupaten Bogor, yaitu mencapai 11.354 jiwa. Menurut Siswanto (2007), masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan mengalami kekurangan vitamin A dengan resiko mengkhawatirkan. Data keluarga prasejahtera diperoleh dari catatan di Kantor Desa kemudian dilakukan pemilihan responden secara acak dan berdasarkan kesediaan responden untuk mengikuti masa intervensi dengan mengonsumsi MSMn selama 2 bulan. Karakteristik responden dianalisis berdasarkan data hasil wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Wawancara dilakukan dengan pendekatan personal dan didampingi oleh kader yang bertugas di daerah setempat. Responden berasal dari 34 keluarga dengan jumlah anggota keluarga antara 3-6 orang. Berikut merupakan karakteristik responden yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan pendapatan perkapita/bulan. 4.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Responden dalam penelitian ini terdiri dari pria sebanyak 22 orang (31%) dan wanita sebanyak 48 orang (69%). Pada acara pertemuan massal yang dilakukan sebanyak 3 kali, kegiatannya lebih banyak difokuskan pada kegiatan rumah tangga seperti demo dan lomba memasak, sehingga dengan jumlah responden wanita yang lebih banyak dapat membantu menyukseskan kegiatan program. Selain itu, alasan pengambilan jumlah responden wanita lebih banyak berkaitan dengan penentu menu makananan di rumah masih didominasi oleh ibu/wanita. Nutritional gate-keeper menggambarkan seseorang di dalam rumah tangga sebagai pembuat keputusan membeli hingga menyiapkan makanan untuk keluarga. Sebagaimana hasil penelitian Birch (2006) yang menunjukkan bahwa para ibu adalah gate-keepers bagi lingkungan makan anak-anaknya.
30
4.1.22. Karakterristik Respoonden Berd dasarkan Usia U Klasifikaasi respondden berdasarrkan usia meliputi m balita (0-5 tahhun), anakanakk (5-12 tahuun), remaja (13-17 tahuun), dewasaa (18-55 tahhun) dan maanula (>55 tahunn) (Zakaria et al. 2011)).
Manula 6%
Balita 11%
Anak‐ Anak 3% maja Rem 3% %
Dewasa 77%
Gam mbar 10 Klasifikasi respponden (n = 70) berdassarkan usia Dari Gaambar 10 daapat diketahhui bahwa responden yang berussia dewasa meruupakan yang paling baanyak (77% %). Hal ini menunjukkkan bahwa responden yangg terpilih suudah dapat berpikir secara matan ng dan dapaat menerimaa masukan tentaang pentingnnya kesehattan. Menuruut Sastri (20 003), pada usia u dewasa konsumen secarra individu dapat mem mberikan pennilaian secaara benar daan logis sertta mengerti produuk yang akan a dikonnsumsi seccara baik. Oleh kareena itu, peelaksanaan sosiaalisasi dan pemberian p e edukasi selama masa intervensi i d dapat diterim ma dengan baik oleh responnden. 4.1.33. Karakterristik Respoonden Berd dasarkan Tingkat T Pen ndidikan Tingkat pendidikann seseorangg dapat mem mpengaruhii tingkat keepemilikan dan keluasan k peengetahuan untuk penyyelenggaraaan kehidupaannya. Semaakin tinggi tingkkat pendidikkan maka respon pennerimaan teerhadap infformasi baruu semakin mudaah. Tingkat pendidikaan orang tuua merupak kan faktor yang mem mpengaruhi pemiilihan pangaan keluargaa seperti yanng dikemuk kakan oleh Schaffner S ett al. (1998) dan Madanijah M (2003), yaitu tingginya tingkat peendidikan orang o tua m memberikan peluaang lebih besar b untukk memperooleh pengettahuan tentaang gizi daan tentang
31
makanan sehat bagi keluarga, dimana d atrib but gizi suaatu produk pangan meenjadi penting baagi mereka. Belum Sekolah 14%
PT 0% SMA 33%
Tidak Sekolah 0%
SD 40% SMP 13%
Gambbar 11 Klasiifikasi respoonden (n = 70) 7 berdasarrkan tingkaat pendidikaan Daari Gambar 11 dapat diketahui bah hwa tingkat pendidikann responden n yang paling bannyak adalahh Sekolah Dasar D (40% %), kemudiaan Sekolah Menengah Atas (33%) daan Sekolahh Menengaah Pertamaa (13%). Bila dilihhat dari tin ngkat pendidikannnya, menuunjukkan bahwa b responden term masuk ke ddalam kelom mpok yang masiih dapat meenerima infformasi baru u. Dengan tingkat t penddidikan terssebut, respondenn mempunyyai kemam mpuan dasar untuk menerima dan meny yerap informasi yang diberrikan. Selaiin itu, resp ponden mem miliki rasa ingin tahu yang cukup bessar. Penyam mpaian infoormasi dilak kukan denggan diskusii dan pemb berian materi padda saat perteemuan masssal dan mon nitoring. 4.1.4. Karrakteristik Responden n Berdasarrkan Jenis Pekerjaan P Jennis pekerjaaan respondden mempeerlihatkan produktivita p asnya seharri-hari dan menenntukan jum mlah penghaasilan untuk k memenuhii kebutuhann hidupnya. Pada penelitian ini, sebagian responden mengelo ompok padaa jenis pekeerjaan ibu ru umah tangga (IR RT) sebesarr 47,14% daan tidak bek kerja sebesaar 21,43%. Kelompok tidak bekerja teerdiri atas kelompok k b belum bekerrja, yaitu anak-anak a sebesar 10 orang o dan tidak bekerja sebbanyak 5 oraang dewasaa. Klasifikassi jenis pekeerjaan respo onden dapat dilihhat pada Gaambar 12.
32 47,14%
35 Jumlah Responden
30 25 20
21,43%
15 10
12,86%
8,57%
5
1,43%
5,71%
2,86%
0 Buruh
Guru
Pelajar
IRT
Supir
Pedagang
Tidak Bekerja
Gambar 12 Klasifikasi responden (n = 70) berdasarkan jenis pekerjaan Kaum ibu di Indonesia, apapun statusnya, baik bekerja maupun tidak bekerja, dapat dikatakan sebagai “gate keeper” untuk segala urusan rumah tangga, termasuk penyediaan bahan pangan untuk keluarga (Waysima 2011). Sebagian besar responden merupakan ibu rumah tangga, yang bertugas untuk menjaga dan mengurus rumah dan anak. Introduksi minyak sawit mentah sebagai produk pangan baru yang sasarannya untuk penggunaan memasak di rumah, yang paling tepat adalah melalui ibu sebagai ibu rumah tangga. 4.1.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan per Keluarga/ Bulan Pendapatan keluarga merupakan penentu penting dalam perilaku pola makan keluarga. Harga bahan pangan sangat berpengaruh dalam penentuan pilihan pangan. Menurut Soedikarijati (2001), pendapatan keluarga berhubungan secara nyata dan positif dengan perilaku konsumsi pangan anggota keluarga. Dari Gambar 13 dapat diketahui bahwa pendapatan per keluarga responden setiap bulannya berkisar antara Rp 100.000,- sampai Rp 300.000,- dan Rp 300.000,- sampai Rp 600.000,-. Jumlah pendapatan ini masih tergolong rendah, karena tidak sesuai dengan penetapan penerimaan gaji/bulan atau lebih dikenal dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan di Kabupaten Bogor, yaitu sebesar Rp 800.000,-. Responden tergolong ke dalam kelompok masyarakat prasejahtera, sesuai dengan alasan pemilihan responden yang diprioritaskan berasal dari keluarga prasejahtera. Rendahnya pendapatan keluarga
33
responden ini membuat mereka tidak mampu membeli sumber vitamin A yang beranekaragam selain buah-buahan dan sayuran yang harganya relatif murah seperti wortel, pepaya dan tomat. 14
12 (50%)
Jumlah Keluarga
12 10
9 (37,5%)
8 6 4 2
2 (8,33%)
1 (4,17%)
0%
0 <100rb
100‐300rb
300‐600rb
600‐900rb
>900rb
Gambar 13 Klasifikasi responden (n = 34) berdasarkan pendapatan per keluarga/ bulan 4.1.6. Pengetahuan Responden tentang Sumber Vitamin A dan Minyak Sawit Mentah (MSMn) Pengetahuan mengenai sumber dan penggunaan vitamin A perlu diketahui untuk dapat memperlihatkan bagaimana perilaku konsumsi responden terhadap sumber vitamin A sebelum program berjalan. Informasi mengenai hal tersebut dapat diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang ada pada kuesioner 1 (Lampiran 6). Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa sebanyak 54 responden (77,1%) mengetahui tentang sumber vitamin A. Secara umum sumber vitamin A yang responden ketahui adalah wortel. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang sumber vitamin A hanya berasal dari wortel saja, oleh karena itu perlu dilakukan pemberian informasi mengenai sumber-sumber vitamin A alami lainnya, yaitu minyak sawit mentah, melalui sosialisasi dan diskusi pada saat monitoring dan pertemuan massal. Pengenalan dan pengetahuan responden tentang minyak sawit ditanyakan sebanyak 2 kali, yaitu sebelum dan sesudah masa intervensi selama 2 bulan. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui peningkatan pengetahuan responden mengenai minyak sawit dan produk-produknya.
34
Pernah mencoba MSM
0%
Mengetahui manfaat MSM
0%
Mengetahui Minyak Sawit Merah (MSM)
0%
100 % 98,57 % 98,57 % 40 %
Mengenal produk minyak sawit
94,29 % 62,86 %
Melihat & mengetahui pohon kelapa sawit 0 Sebelum penyuluhan Program SawitA
100 %
0%
Mengenal CPO
20
40
60
80
100 % 100
120
Sesudah penyuluhan Program SawitA
Gambar 14 Pengetahuan responden tentang minyak sawit sebelum dan sesudah penyuluhan pada masa intervensi Dari Gambar 14 dapat diketahui bahwa jumlah responden yang mengetahui tentang minyak sawit dan produknya semakin meningkat setelah dilakukan penyuluhan selama masa intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua responden mampu menyerap pengetahuan atau informasi yang diberikan tentang produk minyak sawit yang berupa MSMn dan MSM serta manfaat kesehatan yang dimiliki oleh produk tersebut. Penyuluhan yang dilakukan berhasil memperkenalkan minyak sawit mentah yang merupakan sumber provitamin A alami sehingga informasi tersebut dapat semakin dikenal oleh masyarakat. 4.1.7. Kondisi Kesehatan Responden Kondisi kesehatan responden ditanyakan sebanyak 2 kali, yaitu sebelum dan sesudah masa intervensi. Informasi mengenai kesehatan responden didapatkan berdasarkan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang ada di kuesioner 1 (Lampiran 6) dan kuesioner 5 (Lampiran 10). Berdasarkan hasil pengamatan secara subjektif di lapangan, tempat tinggal responden dekat dengan tempat pembuangan sampah serta kondisi sarana MCK (mandi, cuci dan kakus) yang mereka miliki masih memprihatinkan sehingga kemungkinan besar responden terpapar oleh cemaran yang dapat mengganggu kesehatan mereka. Namun berdasarkan hasil wawancara, responden mengakui bahwa kondisi kesehatan mereka cukup baik. Seluruh responden tidak ada yang menderita penyakit menahun dan penyakit berat lainnya. Penyakit yang paling
35
sering dialami oleh responden adalah gangguan ISPA (batuk, pilek dan asma), yang diderita oleh 15 orang responden. Setelah masa intervensi dengan minyak sawit mentah selama 2 bulan, responden mengakui bahwa kondisi kesehatan yang mereka rasakan meningkat menjadi baik. Ada beberapa responden yang mengatakan pada awalnya mereka sering mengalami gangguan ISPA, dan setelah mengonsumsi minyak sawit mentah, responden merasakan frekuensi gangguan ISPAnya menjadi berkurang. Perbaikan kesehatan secara umum dapat dilihat dari perubahan nafsu makan, kesehatan tubuh dan penglihatan yang dirasakan oleh responden sesudah konsumsi minyak sawit mentah.
Jumlah Responden
70
90%
88,6%
60
67,1%
50 40 30 20 10
32,9% 10%
11,4%
0 Nafsu makan Terasa lebih baik
Kesehatan tubuh
Penglihatan
Tidak ada perubahan
Gambar 15 Perubahan status kesehatan responden (n = 70) sesudah konsumsi minyak sawit mentah Sebanyak 90% responden menyatakan bahwa nafsu makan yang mereka rasakan meningkat, 88,6% responden menyatakan kesehatan tubuh terasa lebih baik dan 67,1% responden menyatakan penglihatan terasa lebih baik (Gambar 15). Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan kesehatan responden meningkat menjadi lebih baik seiring dengan waktu pengkonsumsian minyak sawit mentah. 4.2. Kadar β-karoten dalam Minyak Sawit Mentah Analisis kadar β-karoten minyak sawit mentah dilakukan dengan menggunakan metode HPLC (High Performace Liquid Chromatography). Teknik HPLC merupakan suatu teknik kromatografi cair-cair yang dapat digunakan untuk keperluan pemisahan dan analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif dengan teknik
36
HPLC didasarkan kepada pengukuran luas atau area puncak analit dalam kromatogram, dibandingkan dengan luas atau area larutan standar. Kromatogram β–karoten standar hasil pembacaan dengan HPLC dapat dilihat pada Lampiran 15. Dari kurva standar β-karoten pada Lampiran 16 diperoleh persamaan y = 6144x + 19859 dengan koefisien korelasi (R2) = 0,9999. Koefisien korelasi yang diperoleh menunjukkan hasil yang mendekati nilai 1. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang proporsional antara luas area dengan konsentrasi larutan standar yang diukur. Nilai koefisien korelasi merupakan indikator kualitas dari parameter linieritas yang menggambarkan proporsionalitas respon analitik (luas area) terhadap konsentrasi yang diukur. Tabel 6 Perhitungan kadar β–karoten pada minyak sawit mentah Ulangan
Berat Faktor Luas area ppm dari Sampel (g) Pengenceran (MAU*S) kurva
[β-karoten] µg/g sampel
1
1,0837
1
4444373
720,10
664,4828
2
1,1089
1
4409536
714,46
644,2961
3
1,0465
1
4416018
715,51
683,7171
Rata-Rata
664,1653
Pengukuran sampel diulang sebanyak 3 kali, dan didapatkan hasil analisis kadar β-karoten minyak sawit mentah sebesar 664,17 ppm (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan Stuijvenberg dan Benade (2000) yang menyatakan bahwa kandungan karotenoid minyak sawit mentah (CPO) antara 500-700 ppm, dimana kandungan terbesarnya merupakan β-karoten yang berperan sebagai provitamin A. Karoten dalam minyak sawit mentah terdapat dalam bentuk bebas, sedangkan di dalam sayuran dan buah-buahan, karoten biasanya membentuk kompleks dengan protein atau teresterifikasi dengan asam lemak sehingga karoten di dalam minyak sawit mentah lebih mudah diserap oleh tubuh (Combs 1992). 4.3. Intervensi Responden dengan Minyak Sawit Mentah Intervensi responden dilakukan selama 2 bulan (60 hari) dengan membagikan minyak sawit mentah setiap seminggu satu kali. Untuk mendukung kegiatan program, dilakukan pertemuan massal sebanyak 3 kali, yaitu di awal program, setelah 1 bulan program berjalan dan di akhir program. Pertemuan
37
massal pertama bertujuan untuk pengenalan dan sosialisasi program, pengetahuan umum tentang vitamin A dan minyak sawit mentah, pengenalan produk dan cara penggunaan produk. Pertemuan massal kedua bertujuan untuk mengetahui progress penggunaan produk oleh responden, pemberian materi yang lebih mendalam tentang vitamin A dan minyak sawit mentah. Pertemuan massal ketiga dilakukan untuk evaluasi program dan mengajak responden untuk terus mengonsumsi minyak sawit mentah serta diadakan lomba memasak dan pemberian kuis seputar pengetahuan vitamin A dan minyak sawit mentah sebagai apresiasi keikutsertaan responden selama masa intervensi. Pemakaian minyak sawit mentah oleh responden dikontrol dengan cara melakukan monitoring, yaitu mengunjungi rumah-rumah responden secara langsung setiap seminggu sekali dan melakukan pengecekan isi volume botol minyak sawit mentah. Peranan kader desa sangat penting terutama dalam membantu fasilitator untuk melakukan monitoring responden sehari-hari, karena tempat tinggal kader yang berdekatan dengan tempat tinggal responden sehingga kader dapat berinteraksi dan mengingatkan responden untuk terus mengonsumsi minyak sawit mentah setiap hari. Dari hasil monitoring selama masa intervensi, diperolah hasil bahwa 78,6% responden selalu mengonsumsi MSMn secara rutin, 20% responden pernah tidak mengonsumsi MSMn karena lupa dan 1,4% responden kadang-kadang tidak mengonsumsi MSMn. Responden yang kadangkadang tidak mengonsumsi MSMn beralasan bahwa terkadang mereka tidak memasak sehingga tidak menggunakan MSMn. Frekuensi konsumsi MSMn oleh responden yang lupa lebih banyak bila dibandingkan dengan frekuensi konsumsi MSMn oleh responden yang kadang-kadang tidak mengonsumsi karena tidak memasak. Selama masa intervensi 2 bulan, jumlah total MSMn yang dibagikan kepada 70 orang responden adalah sebanyak 85 botol (@140 ml). Jika dirata-rata maka masing-masing responden mendapatkan 1,21 botol MSMn, sehingga diperkirakan responden mengonsumsi MSMn sebanyak 2,83 ml/ hari atau setara dengan 1879,6 µg ekuivalen vitamin A per hari. Jumlah MSMn yang dikonsumsi tersebut dapat memenuhi kebutuhan vitamin A responden per harinya. Menurut Choo (1997), kandungan β-karoten di dalam minyak sawit mentah adalah 400 –
38
700 ppm. Jika diambil batas minimumnya, maka kandungan β-karoten dalam minyak sawit sebesar 400 ppm. Kebutuhan vitamin A orang dewasa/hari adalah sebesar 900 μg, sedangkan balita dan anak-anak sekitar 400 μg. Jadi kebutuhan vitamin A harian dapat dipenuhi dengan mengonsumsi 2,5 g/ hari atau setara dengan 2,5 ml minyak sawit mentah untuk orang dewasa dan 1 g/ hari atau setara dengan 1 ml minyak sawit mentah untuk balita dan anak-anak. Minyak sawit mentah merupakan jenis produk pangan baru yang berbasis minyak makan. Oleh karena itu, perlu diketahui respon awal responden terhadap minyak sawit mentah. Respon awal responden dianalisis berdasarkan hasil wawancara pada hari ke 2-4 setelah konsumsi, dengan menggunakan pertanyaan yang ada di dalam kuesioner 2 (Lampiran 7). Tabel 7 Respon awal responden (n = 70) terhadap minyak sawit mentah Atribut
Biasa Saja (∑ Responden)
Terganggu (∑ Responden)
Rasa
69
1
Aroma
70
0
Warna
68
2
Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa respon awal responden terhadap minyak sawit mentah dapat diterima dengan baik. Karena hampir seluruh responden menyatakan tidak terganggu (biasa saja) dengan atribut produk secara keseluruhan. Menurut responden yang merasa terganggu dengan atribut rasa menyatakan bahwa minyak sawit mentah memiliki rasa getir dan agak lengket. Menurut Budhikarjono (2007), komponen nontrigliserida pada minyak sawit mentah menimbulkan rasa dan aroma yang khas. Komponen nontrigilerida tersebut diantaranya monogliserida, digliserida, fosfatida, karbohidrat, turunan karbohidrat, protein dan bahan-bahan berlendir atau getah (gum). Pada atribut warna, ada 2 orang responden yang merasa terganggu dengan warna minyak sawit mentah, karena terlalu mencolok (merah cerah). Sedangkan untuk atribut aroma, tidak ada responden yang merasa terganggu. Warna merah pada minyak sawit mentah disebabkabn karena kandungan karotenoid yang sangat tinggi. Semua senyawa yang menimbulkan flavor yang tidak enak pada minyak
39
berasal dari senyawa minor yang mempunyai nilai fungsional bagi tubuh dan senyawa ini harus dipertahankan. Minyak sawit mentah dikemas dalam botol plastik transparan dengan volume sebanyak 140 ml. Sebesar 100% responden menyatakan bahwa mereka menyukai jenis kemasan yang dipakai karena penggunaannya mudah dan praktis. Evaluasi penerimaan responden terhadap minyak sawit mentah dilakukan setelah responden mengonsumsi produk selama 2 minggu, 1 bulan dan 2 bulan. Menurut Pilgrim (1956), penerimaan pangan (food acceptability) menunjukkan perilaku makan yang disertai dengan kesenangan. Oleh karena itu, penerimaan konsumen terhadap suatu produk pangan menjadi suatu faktor penting untuk menentukan apakah produk pangan tersebut disukai atau tidak. Penerimaan responden terhadap minyak sawit mentah dianalisis berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner 3 - 5 (Lampiran 8 - 10). Tabel 8 Penerimaan responden (n = 70) terhadap minyak sawit mentah Penerimaan
2 minggu
1 bulan
2 bulan
Rasa Aroma Warna Rasa Aroma Warna Rasa Aroma Warna
Mau
70
70
69
68
68
68
70
70
70
Agak mau
0
0
0
2
2
2
0
0
0
Agak menolak
0
0
1
0
0
0
0
0
0
Menolak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa secara umum responden dapat menerima produk dengan baik. Setelah mengonsumsi minyak sawit mentah selama 2 bulan, responden dapat menerima dengan baik seluruh atribut produk, baik rasa, aroma maupun warna. Hal ini dikarenakan dalam masa 2 bulan tersebut telah terjadi proses adaptasi terhadap atribut produk, karena responden mengonsumsi produk setiap hari sehingga pada akhirnya mereka menjadi terbiasa dan dapat menerima produk dengan baik. Menurut Sulivan dan Birch 1994), penerimaan terhadap suatu produk pangan baru tidak terjadi begitu saja, namun membutuhkan pengulangan berkali-kali untuk mengonsumsi produk pangan tersebut, sehingga akan terjadi peningkatan kesukaan.
40
Setelah 2 bulan masa intervensi, diketahui bahwa sebanyak 22,86% responden menyatakan tetap mau melanjutkan konsumsi minyak sawit mentah, 74,28% responden mau melanjutkan konsumsi asalkan harga jual minyak sawit mentah terjangkau, dan 2,86% responden ragu-ragu untuk terus mengonsumsi minyak sawit mentah. Responden yang menyatakan mau untuk melanjutkan konsumsi beranggapan bahwa mereka dapat merasakan manfaat setelah mengonsumsi minyak sawit mentah, yaitu berupa perbaikan status kesehatan yang mereka rasakan serta adanya peningkatan nafsu makan. Tabel 9 Kelanjutan konsumsi minyak sawit mentah oleh responden (n = 70) Sikap
∑ Responden
Persentase (%)
16 52 2 0
22,86 74,28 2,86 0
Mau Mau asal harga terjangkau Ragu-ragu Tidak mau 4.4. Kondisi Sel Limfosit
Dari total 70 responden, dilakukan pengambilan darah pada 16 responden ibu usia produktif. Pemilihan responden ibu usia produktif untuk diambil darahnya dikarenakan kelompok responden ini dinilai lebih mudah diawasi dan dikontrol. Kelompok responden ini merupakan ibu rumah tangga yang setiap hari memasak dan memakan masakannya di rumah sehingga kemungkinan mereka mengonsumsi minyak sawit mentah setiap harinya lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok responden yang lainnya. Pengambilan darah dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu sebelum intervensi dan setelah intervensi selama 2 bulan. Pengambilan darah dilakukan oleh tenaga medis di Puskesmas setempat. Sebelum dilakukan pengambilan darah, responden terpilih diperiksa berat badan dan tekanan darahnya. Darah sebanyak 20 ml diambil dengan menggunakan venoject dan vacutainer yang berisi EDTA. EDTA merupakan antikoagulan yang akan mencegah terjadinya pembekuan darah, sehingga akan diperoleh bagian darah berupa plasma. Fibrinogen yang merupakan penyebab terjadinya pembekuan darah akan mengendap sehingga sel-sel limfosit tidak akan terperangkap pada fibrinogen dan dapat diisolasi dengan mudah.
41
Tahapan isolasi limfosit dilakukan secara aseptis. Limfosit yang sudah berhasil diisolasi (Gambar 16) selanjutnya disimpan pada freezer yang bersuhu sekitar -20°C. Penyimpanan pada suhu rendah bertujuan untuk melisiskan sel limfosit. Flowers et al. (1977) dan Kim et al. (2009) menyatakan bahwa sel dapat mengalami lisis jika diberi perlakuan suhu rendah, karena suhu rendah dapat merusak struktur dari membran sel sehingga unsur-unsur di dalam sel seperti DNA, RNA dan protein akan keluar dari sel. Oleh karena itu, pengukuran kadar protein limfosit dari sel limfosit yang telah lisis pada analisis selanjutnya dapat diukur dengan mudah. Pada penelitian Garcia et al. (2003) juga dilakukan penyimpanan limfosit pada suhu -20°C.
Gambar 16 Isolat limfosit darah manusia 4.5. Kadar Protein Limfosit Analisis kadar protein limfosit dilakukan dengan menggunakan metode Bradford (1976). Tujuan dilakukannya analisis ini adalah untuk mengetahui kadar protein limfosit masing-masing responden, sehingga pada analisis selanjutnya, yaitu analisis CD4 dan CD8 dengan ELISA, dapat digunakan limfosit dengan jumlah kadar protein yang sama. Dari beberapa seri pengenceran protein standar (bovine serum albumine) diperoleh kurva standar yang memiliki persamaan garis y = 0,0007x + 0,0002 dengan R2 = 0,9919 (Gambar 17). Dari persamaan garis tersebut dapat diperoleh kadar protein limfosit. Contoh perhitungan kadar protein limfosit dapat dilihat pada Lampiran 12. Kadar protein limfosit yang digunakan untuk analisis CD4 dan CD8 adalah sebesar 50 µg. Volume maksimal lubang sumur mikroplate adalah 300-350
42
µl, oleh karena itu volume suspensi limfosit yang digunakan disesuaikan dengan volume lubang sumur mikroplate. Dari hasil percobaan diperoleh bahwa kadar protein limfosit sebesar 50 µg merupakan yang paling sesuai. Sampel limfosit yang memiliki konsentrasi protein sangat rendah membutuhkan volume pengambilan yang lebih banyak sehingga untuk menyiasatinya dilakukan penempelan sampel (coating) pada mikroplate sebanyak 2 kali. Perhitungan volume suspensi yang harus diambil pada saat coating dapat dilihat pada
Absorban
Lampiran 13. 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = 0,0007x + 0,0002 R² = 0,9919
0
200
400
600
800
1000
1200
Konsentrasi (ppm)
Gambar 17 Kurva standar protein BSA 4.6. Analisis Perubahan Kadar Protein CD4 dan CD8 pada Limfosit Analisis kadar protein CD4 dan CD8 dilakukan dengan menggunakan teknik ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Limfosit dengan volume tertentu pada konsentrasi protein yang sama dimasukkan ke dalam mikroplate. Protein CD4 dan CD8 pada limfosit akan berikatan secara spesifik dengan antibodi primer yaitu antibodi anti-CD4 manusia atau anti-CD8 manusia. Kompleks antigen-antibodi tersebut dapat dideteksi dengan terbentuknya intensitas warna sebagai akibat dari penambahan antibodi sekunder yang berlabel enzim HRP (Horse Radish Peroxidase) yang kemudian akan berinteraksi dengan substrat ABTS. Intensitas warna yang terbentuk dapat dibaca dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Semakin besar nilai OD (optical density) atau absorban yang terbaca oleh ELISA reader, maka semakin banyak kadar protein CD4 dan CD8 di dalam limfosit. Dari Gambar 18 dapat diketahui bahwa rata-rata kadar protein CD4 pada limfosit responden lebih tinggi pada perlakuan setelah mengonsumsi minyak
43
sawit menntah walauupun ada 3 responden n yang meengalami ppenurunan kadar k protein CD D4 setelah mengonsum m msi minyak sawit menttah, yaitu reesponden kee-2, 4 dan 10. 0.25 5
OD Protein
0.2 2 5 0.15
Sebelum m konsum msi
0.1
Sesudah h konsum msi
0.05 5
Turun n
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 11 12 13 3 14 15 16 R Responden n ke-
Gambar 18 Kadar prootein CD4 responden r (n n = 16) sebeelum dan seesudah konssumsi m minyak sawitt mentah Daari Tabel 10 dapatt diketahui bahwa analisis sstatistik deengan menggunaakan uji t berpasangaan menunju ukkan hasill yang berbbeda nyata atau bermakna, sehinggaa dapat memperkuat m hipotesis dan hasill analisis yang menyatakaan bahwa dengan mengonsumsi
minyak sawit
mentah dapat
meningkattkan kadar protein p CD44 dalam lim mfosit responnden. Tabel 10 Analisis A stattistik kadar protein CD D4 Kelompook Respond den Respondenn total (n=116)
Rerata ± Sd (seebelum kon nsumsi)
Rerata ± Sd S (sesudah h konsumssi)
bel T tab
T hitun ng
0,0955 ± 0,012 0,117 ± 0,0037 2,131((5%) 2,521* *
Respondenn yang CD4C 0,0933 ± 0,012 0,124 ± 0,0037 2,179((5%) 3,582* ** nya naik (n=13) 3,055((1%) Keterangaan: * signifi fikan pada taaraf 5% ** signiffikan pada taraf 1% dan n 5% D4 merupakkan molekuul yang terrdapat padaa permukaaan sel T helper h CD limfosit seerta pada monosit m dann makrofag (Cruse dann Lewis 20004; Ajani et al. 1998). Paada pengukuuran kadar CD4 deng gan mengguunakan EL LISA, CD4 yang
44
terukur benar-benar hanya berasal dari sel Th saja, bukan berasal dari monosit maupun makrofag atau dengan kata lain tidak ada kesalahan positif. Makrofag merupakan sel fagosit yang berada di jaringan bukan di sirkulasi darah, sehingga pada saat proses pengambilan darah, makrofag tidak akan ikut terambil. Sedangkan monosit sudah hilang akibat proses pencucian dengan media RPMI yang dilakukan sebanyak 2 kali, sehingga yang terisolasi adalah benar-benar isolat limfosit saja. Sel Th berperan untuk mengaktivasi makrofag dan produksi antibodi (Cruse dan Lewis 2004). Aktivasi makrofag akan menstimulasi makrofag untuk menghancurkan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Antibodi merupakan sistem pertahanan tubuh yang dapat melawan infeksi ektraseluler virus dan bakteri serta menetralisir toksinnya (Baratawidjaja 2000). Mekanisme kerja antibodi adalah dengan cara mempercepat penghancuran dan penyingkiran antigen dengan netralisasi, presipitasi, aglutinasi, serta lisis (Guyton dan Hall 2007). Garcia et al. (2003) telah melakukan penelitian pemberian β-karoten dengan dosis 300 mg/berat badan pada mencit selama 21 hari, hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah CD4 bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Murata et al. (1994) melakukan penelitian pada 10 responden yang diberikan suplemen β-karoten 60 mg/hari selama 44 minggu, hasilnya dapat meningkatkan persentase CD4 sebanyak 27%. Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Alexander et al. (1985) dengan memberikan suplemen β-karoten (180 mg/hari) selama 2 minggu, hasilnya dapat meningkatkan jumlah CD4. Minyak sawit mentah mengandung kadar β-karoten yang tinggi dan bila dikonsumsi dapat diserap oleh tubuh dengan mudah, sehingga dengan mengonsumsi minyak sawit mentah dapat meningkatkan kadar protein CD4. Peningkatan kadar protein CD4 diduga karena jumlah sel Th juga meningkat. CD4 merupakan molekul yang juga berperan sebagai reseptor protein gp120 yang dihasilkan oleh virus HIV sehingga invasi virus ini pada manusia menyebabkan penyakit AIDS. Penderita HIV-AIDS memiliki protein CD4 dengan jumlah yang sangat rendah, karena virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh melalui invasinya pada pelekatan dengan protein CD4 (Patrick 1999). Omen et al.
45
(1996) menyatakan m bahwa β-kkaroten dallam darah dapat mennjaga CD4 pada limfosit daari kerusakaan akibat peeroksidasi pada p membrran sel. Pennelitian men ngenai pemberiann suplemen β-karoten kepada k pen nderita HIV--AIDS untuuk meningk katkan dan memppertahankann jumlah CD D4 sudah baanyak dilakuukan. Cooodley et all. (1993) tellah memberrikan β-karroten dengann dosis 60 mg 3 kali/hari kepada k 21 responden r p penderita HIV-AIDS, H s setelah 4m minggu konssumsi terjadi penningkatan CD4 C sebanyyak 17%. Frryburg et all. (1995) meelaporkan bahwa b β-karoten dapat menningkatkan CD4 sebessar 43% settelah melakkukan peneelitian H yang diberiikan β-karotten (60 mg// hari) terhadap 7 respondenn penderita HIV-AIDS selama 4 minggu. Peenelitian yaang lain jug ga telah dillakukan oleeh Bianchi et al. (1992) terrhadap 9 penderita HIIV-AIDS yang y diberikkan β-karotten selama 6-21 bulan, hasilnya dapaat meningkkatkan CD4 4 sebesar 11,5%. 1 Waalaupun hassilnya secara staatistik tidakk signifikann, namun secara s kliniis dapat meengurangi diare, d keringat berlebih b dann demam padda penderitaa HIV-AIDS. Ogguntibeju et al. (20100) merekom mendasikan pemanfataan minyak sawit merah unttuk penderiita AIDS setelah s melaakukan pennelusuran bberbagai liteeratur mengenai manfaat miinyak sawitt merah yan ng menganddung antiokssidan tinggii serta komponenn bioktif lainnnya. 0.120 0
OD Protein
0.100 0 Sebelum m konsum msi Sesudah h konsum msi
0.080 0 0.060 0 0.040 0
Turun n
0.020 0
0.000 0
Tetap p
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 11 12 13 14 15 16 Re esponden kek
Gambar 19 Kadar prootein CD8 responden r (n n = 16) sebeelum dan seesudah konssumsi m minyak sawitt mentah Daari Gambar 19 dapat diketahui d baahwa rata-raata kadar prrotein CD8 pada limfosit reesponden memiliki m selisih yang rendah antaara perlakuuan sebelum m dan
46
sesudah konsumsi minyak sawit mentah. Sebanyak 3 orang responden yang mengalami penurunan kadar protein CD8 setelah konsumsi minyak sawit mentah, yaitu responden ke-2, 4 dan 15, serta ada 4 responden yang kadar protein CD8nya tetap, yaitu responden ke-1, 5, 9 dan 10. Tabel 11 Analisis statistik kadar protein CD8 Kelompok Responden Responden total (n=16)
Rerata ± Sd (sebelum konsumsi)
Rerata ± Sd (sesudah konsumsi)
T tabel
T hitung
0,078 ± 0,008 0,079 ± 0,007 2,131(5%) 0,963
Responden yang CD8- 0,077 ± 0,008 0,083 ± 0,008 2,306(5%) 13,880** nya naik (n=9) 3,355(1%) Keterangan: ** signifikan pada taraf 1% dan 5% Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa peningkatan rerata kadar protein CD8 pada 16 responden antara sebelum dan sesudah konsumsi MSMn hanya sebesar 0,001 dan tidak signifikan secara statistik. Namun jika responden yang mengalami kenaikan kadar protein CD8 dikelompokkan kembali (9 responden) dan dihitung secara statistik, maka peningkatan kadar protein CD8 yang terjadi signifikan baik pada taraf 5% maupun 1%. Setiawati (1982) menyatakan bahwa semua hasil analisis yang dinyatakan tidak bermakna bukan berarti bahwa hasilnya tidak ada atau tidak bermanfaat, karena hasil yang tidak bermakna hanya berarti bahwa hasilnya tidak cukup kuat untuk menolak hipotesis nol. Oleh karena itu, hasil yang tidak bermakna tersebut sebaiknya dianggap tidak konklusif dan diperlukan pengumpulan data lebih lanjut. Selain itu, kemaknaan statistik tidak identik dengan kemaknaan klinik, karena seringkali pada perhitungan menunjukkan hasil yang tidak bermakna (tidak berbeda nyata), namun secara klinis justru berdampak nyata yaitu manfaatnya dapat dirasakan oleh responden. Responden yang mengalami penurunan kadar protein CD8 adalah responden ke-2, 4 dan 15. Responden ke-2 dan 4 juga mengalami penurunan kadar protein CD4. Setelah dilakukan kroscek data hasil wawancara didapatkan bahwa responden ke-2 dan 4 kadang-kadang tidak mengonsumsi minyak sawit mentah dengan alasan bahwa mereka tidak memasak pada hari-hari tertentu. Sedangkan responden ke-15 pernah tidak mengonsumsi karena lupa. Berdasarkan
47
Zakaria et al. (2011) mengenai pengaruh konsumsi minyak sawit mentah terhadap kadar β-karoten pada plasma darah, diperoleh hasil bahwa responden ke-4 dan 15 mengalami penurunan kadar β-karoten setelah konsumsi minyak sawit mentah. Selain itu, responden ke-2, 4 dan 15 juga mengalami penurunan kadar retinol pada plasma setelah konsumsi minyak sawit mentah. Menurut Ullrich et al. (1994) jumlah CD4 dan CD8 berkorelasi dengan konsentrasi karoten dan retinol dalam plasma darah yang berperan sebagai antioksidan sehingga dapat melindungi permukaan sel limfosit dari kerusakan akibat peroksidasi. Jika konsentrasi karoten dan retinol pada plasma darah jumlahnya tinggi maka jumlah CD4 dan CD8 pun tinggi. Berdasarkan pengukuran kadar protein CD8 responden ke-2, 4 dan 15 walaupun mengalami penurunan setelah konsumsi minyak sawit mentah, namun berdasarkan hasil wawancara ketiga responden tersebut menyatakan bahwa mereka merasakan adanya perbaikan kesehatan. Pada Tabel 12 dapat dilihat hasil wawancara mengenai perbaikan kesehatan yang dirasakan responden. Tabel 12 Perbaikan kesehatan responden yang mengalami penurunan kadar protein CD8 setelah konsumsi minyak sawit mentah Responden ke2
Perbaikan Kesehatan Nafsu makan, kondisi kesehatan dan penglihatan responden terasa lebih baik
4
Responden pada awalnya mempunyai gangguan ISPA dengan frekuensi lebih dari 4 kali sebulan, namun setelah mengonsumsi minyak sawit mentah, gangguan ISPA menjadi berkurang frekuensinya
15
Nafsu makan, kondisi kesehatan dan penglihatan responden terasa lebih baik
Oleh karena itu, walaupun peningkatan kadar protein CD8 setelah mengonsumsi minyak sawit mentah cukup rendah dan tidak signifikan secara statistik, namun manfaat kesehatan yang dirasakan responden meningkat setelah mengonsumsi minyak sawit mentah. CD8 merupakan molekul glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel Tc dan Ts. Sel Tc berperan dalam membunuh sel-sel tubuh yang telah terinveksi virus dan sel-sel termutasi (sel tumor dan kanker) (Cruse dan Lewis 2004).
48
Sedangkan sel Ts (T-suppresor), yaitu sel penekan, berperan untuk mengakhiri tanggapan kekebalan atau proses inflamasi. Untuk membedakan pengukuran antara protein CD8 sel Tc dengan protein CD8 sel Ts sulit dilakukan karena protein CD8 merupakan marker spesifik untuk kedua jenis sel tersebut. Sistem imun yang berguna untuk melawan kanker adalah sistem imun seluler yaitu sel Tc (Abbas et al. 2000; Male et al. 1996; Baratawidjaja dan Rengganis 2009). Fungsi utama sel CD8+ adalah menyingkirkan sel terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas dan sel histoin kompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi. Sel CD8+ menimbulkan sitolisis melalui perforin/granzim, FasL/Fas (apoptosis), TNF-β dan memacu produksi sitokin. Produksi sel CD8+ ini dipengaruhi oleh pelepasan sitokin IL-2 dan IFN-γ yang dikeluarkan oleh sel CD4+ (sel Th-1) serta IL-12 yang dikeluarkan oleh sel makrofag dan sel dendritik (Baratawidjaja dan Rengganis 2009). Murata et al. (1994) menyatakan bahwa mekanisme β-karoten yang dapat meningkatkan protein imun belum diketahui secara pasti. Menurut Moriguchi et al. (1996), β-karoten dapat menstimulasi proliferasi sel limfosit dan menurut Garcia et al. (2003) vitamin A memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan diferensiasi sel. Dari pernyataan tersebut dapat dihubungkan bahwa dengan mengonsumsi MSMn yang mengandung β-karoten sebagai provitamin A, akan meningkatkan jumlah sel limfosit. Semakin meningkatnya jumlah sel limfosit, maka protein penanda pada sel limfosit pun akan meningkat. Oleh karena itu, dengan
mengonsumsi
CPO
yang
mengandung
β-karoten
meningkatkan kadar protein CD4 dan CD8 dalam limfosit.
tinggi
dapat