34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penapisan fitokimia merupakan suatu metode kimia untuk mengetahui kandungan kimia suatu simplisia, ekstrak ataupun fraksi senyawa metabolit suatu tanaman herbal. Hasil penapisan fitokimia fraksi daun alpukat disajikan pada pada Tabel 2 Tabel 2. Hasil uji penapisan fitokimia fraksi daun alpukat Metabolit Sekunder
Hasil
Flavonoid
Positif
Tanin
Positif
Kuinon
Negatif
Saponin
Negatif
Alkaloid
Negatif
Triterperten
Negatif
Hasil penelitian ini memberikan informasi data kadar kreatinin dan ureum di dalam plasma darah tikus jantan kelompok normal, induksi etilen glikol, fraksi n-heksan ekstrak daun alpukat 100 mg/kg BB, dan kelompok fraksi n-heksan ekstrak etanol daun alpukat 300 mg/kg BB.
4.1 Ureum Ureum sebagai hasil metabolisme protein di hati sangat dipengaruhi oleh intake protein dan fungsi hati. Perubahan kadar ureum dalam darah dapat menggambarkan gangguan fungsi ginjal. Kelainan fungsi ginjal tersebut dapat terlihat dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus yang mengakibatkan peningkatan kadar ureum dalam darah (Lorraine dan Sylvia 2002). Rataan kadar ureum dalam darah tikus sebelum dan sesudah diberi perlakuan, disajikan pada Tabel 3
35
Tabel 3. Rataan ureum sabelum dan sesudah perlakuan Kelompok
Sebelum (mg/dl)
Sesudah (mg/dl)
Normal (A)
52.465 ± 3.390
60.528 ± 3.916a
Induksi (B)
56.930 ± 8.256
61.393 ± 5.903a
Heksan(hx)-100 (C)
56. 250 ± 13.075
69.176 ± 17. 989a
Heksan(hx)-300 (D)
57.530 ± 4.740
73.374 ± 20.533a
Keterangan : Nilai pada kolom yang sama diikuti huruf superskrip yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05)
Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan kadar ureum semua perlakuan tidak ada yang berbeda nyata. Semua perlakuan mengalami kenaikan kadar ureum setelah perlakuan. Rataan ureum kelompok normal (A) sebelum perlakuan 52.465 mg/dl naik menjadi 60.528 mg/dl setelah perlakuan. Kadar ureum kelompok induksi etilen glikol (B) sebelum perlakuan 56.930 mg/dl meningkat menjadi 61.393 mg/dl. Pada kelompok C (fraksi n-heksan dosis 100 mg/Kg BB) dan D (fraksi n-heksan dosis 300 mg/Kg BB) juga terjadi kenaikan kadar ureum, masing- masing 56.250 mg/dl menjadi 69.176 mg/dl dan 57.530 mg/dl menjadi 73.374 mg/dl. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan dengan P >0,05 didapatkan bahwa kelompok C tidak berbeda nyata dengan semua kelompok lainnya. Hal yang sama terjadi juga antara kelompok A, B dan D. Kadar ureum normal pada tikus Sprague Dawley menurut Dhawan dan Srimal (2000) yaitu 25.94 -77.78 mg/dl. Dilihat dari keempat kelompok perlakuan, semuanya menunjukan angka yang besar. Hal ini mungkin disebabkan karena pemberian pakan dengan kadar protein yang tinggi. Guyton dan Hall (2007) menyebutkan bahwa distribusi dari asam amino dalam darah sampai batas tertentu bergantung pada tipe protein yang dimakan. BUN meningkat biasanya menunjukan kerusakan glomerulus. Kadar BUN juga dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan dan hepatotoksisitas yang merupakan efek umum beberapa toksikan (Lu 2006). Menurut Charbonneau M et al.(1986) hasil metabolit n-heksan berupa γvaleroaseton bersifat hepatotoksik. Kenaikan kadar ureum yang paling tinggi terjadi pada kelompok D dibandingkan kelompok yang lain setelah perlakuan, hal
36
ini menggambarkan bahwa kelompok D dengan fraksi n-heksan dosis 300 mg/Kg BB memberikan pengaruh yang tidak baik terhadap fungsi ginjal. Secara tidak langsung menunjukan bahwa jumlah flavonoid yang dapat ditarik dari daun alpukat juga sedikit, sehingga kandungan flavonoid dalam sediaan sedikit. Menurut Mermaridou et al (2006) salah satu derivat flavonoid yaitu quersetin memiliki aktivitas renoprotective dengan mekanisme radikal bebas. Paparan oksalat
akan menghasilkan radikal
bebas dan mengakibatkan
terbentuknya lipid peroksidasi. Dengan sedikitnya kandungan flavonoid ini, maka flavonoid tidak mampu untuk mengikat radikal bebas dan mengikat ion logam transisi. Hal ini menyebabkan jumlah proton yang didonorkan terhadap radikal bebas yang terbentuk tidak mecukupi sehingga tidak bisa menetralkan efek dari oksalat (Mermaridou et al 2006) Pengaruh selanjutnya adalah kerusakan ginjal akut yang menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerolus sehingga kadar ureum dalam plasma meningkat karena kerusakan sel epitel tubulus ginjal. Rataan kenaikan kadar ureum selama perlakuan yang disebabkan kerusakan sel epitel ginjal dan nefron cukup tinggi untuk semua perlakuan. Nilai rataan tersebut dapat disajikan pada Gambar 8 80
73.374 69.176
70 60.5275
Kadar Ureum mg/dl
60
61.3925 56.93
52.465
56.25
57.53
50 40
sebelum 30
sesudah
20
10 0 normal
induksi
hx-100
Kelompok Perlakuan
Gambar 8. Grafik rataan ureum tikus selama perlakuan
hx-300
37
Efek fisiologis yang utama dari gagal ginjal akut adalah retensi air, produk buangan dari metabolisme, dan elektrolit di darah dan cairan ekstrasel. Hal ini dapat menyebabkan penumpukan air dan garam yang berlebihan, yang kemudian dapat mengakibatkan edema dan hipertensi (Guyton dan Hall 2007). Menurut Madyastuti (2010) lesio yang ditemukan pada pengamatan preparat histopatologi organ ginjal tikus yang diinduksikan etilen glikol.pada ginjal tikus ditemukan molekul-molekul pro inflamasi yang banyak memenuhi mesangium hingga ke ruang Bowman. Lesio yang ditemukan berupa edema glomerolus, dilatasi tubulus, inti piknotis dan hyaline droplet. Penumpukan kalium yang berlebihan dapat menyebabkan ancaman yang serius karena peningkatan konsentrasi kalium plasma. Ion hidrogen juga tidak bisa diekresikan secara cukup sehingga akan mengalami metabolik asidosis (Guyton dan Hall 2007). Metabolik asidosis ini akan terlihat dengan penurunan berat badan pada tikus kelompok B, C, dan D. Tikus pada kelompok ini terlihat kurus dan tidak mau makan. Penurunan berat badan tikus terus berlanjut hingga hari terakhir perlakuan.
4.2 Kreatinin Rataan kadar kreatinin plasma darah tikus sebelum dan sesudah diberi perlakuan, disajikan pada Tabel 4 Tabel 4. Rataan kreatinin sebelum dan sesudah perlakuan Kelompok
Sebelum (mg/dl)
Sesudah (mg/dl)
Normal (A)
1.110 ± 0.304
0.900 ± 1.199a
Induksi (B)
0.895 ± 0.445
1.138 ± 0.306a
Heksan(hx)-100 (C)
0.998 ± 0.382
1.238 ± 0.465a
Heksan(hx)-300 (D)
0.756 ± 0.549
1.378 ± 0.355a
Keterangan : Nilai pada kolom yang sama diikuti huruf superskrip yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05)
Tabel 4 menunjukan bahwa rataan kadar kreatinin semua perlakuan tidak ada yang berbeda nyata (P>0.05) Rataan kreatinin sebelum perlakuan pada kelompok A (normal) adalah 1.110 mg/dl, kemudian kadar keratinin menurun menjadi 0.900 mg/dl setelah perlakuan. Sebelum perlakuan, rataan kadar kreatinin
38
pada kelompok induksi B (induksi) adalah 0.895 mg/dl dan mengalami peningkatan setelah perlakuan menjadi 1.378 mg/dl. Rataan kadar kreatinin pada kelompok C (fraksi n-heksan dosis 100 mg/kg BB) meningkat dari 0.998 mg/dl menjadi 1.238 mg/dl setelah perlakuan. Peningkatan kadar kreatinin juga terjadi pada kelompok D (fraksi n-heksan dosis 300 mg/dl) dari 0.756 mg/dl menjadi 1.378 mg/dl setelah diberi perlakuan. Rataan kadar kreatinin semua perlakuan berada di atas kadar kreatinin normal tikus. Menurut
Malole dan Pramono (1989) kadar kreatinin normal tikus
berkisar antara 0.2 mg/dl – 0.8 mg/dl. Nilai rataan kreatinin yang menurun pada kelompok A (normal) terjadi karena kelompok A tidak diberi perlakuan etilen glikol, sedangkan kelompok B, kelompok C dan kelompok D masing-masing diberi perlakuan etilen glikol yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Penurunan rataan kreatinin kelompok A (normal) juga diikuti peningkatan berat badan, sebaliknya kenaikan rataan kreatinin kelompok B, C, dan D diikuti penurunan berat badan. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 9
Grafik Berat Badan Tikus
300
Barat badan (g)
250 200 induksi
150
normal 100
hx-100 hx-300
50 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14
Hari Gambar 9. Grafik berat badan tikus selama perlakuan
Kreatinin merupakan hasil metabolisme kreatin dan fosfokreatin, disintesis terutama dalam otot bergaris, hati, pankreas dan ginjal. Umumnya
39
kecepatan
sintesis
kreatinin
relatif
konstan dan
kadar
dalam
serum
menggambarkan kecepatan eliminasi ginjal (Noer 1992). Menurut Lorraine dan Sylvia (2002) kecepatan produksi kreatinin merupakan fungsi dari massa otot yang relatif konstan. Jika terjadi kenaikan berat badan maka pemecahan ATP sebagai sumber energi kurang dibutuhkan maka kreatininphospat yang berubah menjadi kreatin menurun, begitu pula kreatinin plasma (Poedjiadi dan Supriyanti 2006). Kelompok B, C, dan D terjadi kenaikan rataan kadar kreatinin setelah perlakuan, masing-masing perlakuan tersebut diberi induksi etilen glikol. Menurut Eder et al (1998) keracunan etilen glikol dapat mengakibatkan insufficienci ginjal dan batu pada ginjal, terutama oxalat. Kenaikan kadar kreatinin ini terjadi karena penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) sebagai akibat adanya obstruksi pada saluran urinari akibat akumulasi batu pada saluran tersebut. Penurunan GFR berlanjut pada peningkatan nitrogenous partikular seperti urea, kreatinin dan asam urat yang terakumulasi dalam darah (Ghodkhar 1994). Kenaikan kadar kreatinin yang cukup tinggi terjadi pada kelompok D dibandingkan kelompok B (induksi) dan kelompok C. Kenaikan kadar kreatinin kelompok D diikuti dengan penurunan berat badan tikus yang cukup signifikan. Menurut Daughtrey et al.(1999) secara statistik ada penurunan berat badan secara signifikan pada tikus yang terpapar n-heksan dibanding dengan kelompok tikus yang tidak terpapar n-heksan (kelompok kontrol). Menurut Tensiska et al. (2007) dalam pengujian efektivitas palarut untuk mengekstrak komponen flovonoid (Randemen), n-heksan mempunyai randeman yang terendah dibandingkan dengan etil-asetat dan etanol sehingga n-heksan hanya dapat mengekstrak komponen aglikon yang sifatnya non-polar. Peningkatan kadar kreatinin pada kelompok D dan C
diduga sebagai akibat rendahnya
komponen flavonoid yang dapat ditarik oleh n-heksan, sehingga tidak cukup untuk mencegah terbentuknya kristal oksalat yang diinduksi oleh etilen glikol. Menurut Waji dan Sugani (2009) flavonoid dapat bekerja sebagai antioksidan yang dapat menghambat oksidasi dengan cara bereaksi terhadap radikal bebas reaktif sehingga radikal bebas ini menjadi stabil. Meningkatnya aktivitas ion bebas dapat menginduksi pembentukan batu (Bushinsky 1998).
40
Terjadinya obstruksi pada saluran urinari yang disebabkan oleh batu akan menurunkan GFR berlanjut pada peningkatan nitrogenous partikular kreatinin yang terakumulasi dalam darah (Ghodkhar 1994).