IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN FORMULA SARI TEMPE TERPILIH Penentuan formula sari tempe terpilih dilakukan berdasarkan hasil uji rating hedonik. Hasil uji rating hedonik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kesukaan yang nyata di antara keempat sampel yang diujikan. Formula yang memiliki tingkat kesukaan tertinggi dalam hal warna adalah sari tempe dengan pemanis madu dan sari kedelai dengan pemanis gula pasir. Keduanya tidak memiliki perbedaan yang nyata satu sama lain pada taraf signifikansi 5%. Formula yang memiliki tingkat kesukaan tertinggi dalam hal bau, rasa, dan keseluruhan adalah sari tempe dengan pemanis madu. Sari tempe dengan pemanis madu merupakan satu-satunya formula sari tempe yang memiliki tingkat kesukaan secara keseluruhan lebih tinggi daripada sari kedelai. Oleh karena itu, ditentukan formula terpilih adalah sari tempe dengan pemanis madu. Gambar keempat sampel yang disajikan pada uji rating hedonik dapat dilihat pada Gambar 7 sedangkan histogram tingkat kesukaan panelis terhadap keempat sampel dapat dilihat pada Gambar 8. Rekapitulasi data uji rating hedonik dan pengolahan datanya dapat dilihat pada Lampiran 1a, 1b, 1c, 1d, dan 1e.
Gambar 7. Formula sari tempe yang disajikan pada uji rating hedonik
Respon Panelis 7 6 5
Sari tempe (gula pasir)
4
Sari tempe (madu)
3
Sari tempe (gula merah)
2
Sari kedelai (gula pasir)
1 0
Atribut Warna 1
Bau 2
Rasa 3
Keseluruhan 4
Gambar 8. Histogram hasil uji rating hedonik
23
B. HASIL UJI DISTRIBUSI PANAS Uji distribusi panas dilakukan dengan menempatkan sepuluh buah termokopel pada sepuluh titik berbeda di dalam retort yang diduga lambat menerima panas. Parameter-parameter yang dapat diamati dari hasil uji distribusi panas adalah titik terdingin dalam retort, waktu venting, dan come-up time (CUT). Berdasarkan data hasil uji distribusi panas yang dilakukan, dapat diplotkan kurva hubungan antara waktu pemanasan dan suhu termokopel. Rekapitulasi data hasil uji distribusi panas dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 9 menunjukkan kurva distribusi panas di dalam retort selama proses pemanasan berlangsung. 140,0
Suhu Termokopel (oC)
TC 1 (oC) 120,0
TC 2 (oC)
100,0
TC 3 (oC) TC 4 (oC)
80,0
TC5 (oC) TC 6 (oC)
60,0
TC 7 (oC)
40,0
TC 8 (oC)
20,0
Venting
TC 9 (oC)
CUT
0,0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 Waktu (menit)
TC 10 (oC) TC 1 (oC)
Gambar 9. Kurva distribusi panas dalam retort Kurva distribusi panas menunjukkan bahwa titik 7 merupakan titik dalam retort yang paling lambat menerima panas (titik terdingin/coldest point). Posisi titik 7 dalam retort dapat dilihat kembali pada Gambar 4. Selanjutnya, titik 7 dijadikan sebagai titik acuan bagi perhitungan proses kecukupan panas pada uji penetrasi panas. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jika titik terdingin dalam retort telah mencapai kecukupan panas, titik-titik lain dalam retort juga telah mencapai kecukupan panas. Kurva distribusi panas juga menunjukkan bahwa waktu venting retort adalah 15 menit dan CUT retort adalah 22 menit. Berdasarkan kurva tersebut, tampak bahwa sebelum menit ke-15, suhu retort meningkat secara tajam dan distribusi panas di dalam retort tidak merata. Hal ini ditunjukkan dengan adanya variasi suhu yang beragam pada setiap termokopel yang terpasang dalam retort. Namun, setelah proses pemanasan berlangsung selama 15 menit dan retort telah mencapai suhu sekitar 108oC, peningkatan suhu dalam retort relatif lambat dan suhu termokopel yang terbaca oleh termorekorder relatif seragam. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi panas dalam retort telah seragam sehingga waktu venting retort adalah 15 menit. CUT merupakan waktu yang dibutuhkan oleh retort sejak dinyalakan hingga mencapai suhu yang diinginkan (121oC). Berdasarkan kurva distribusi panas, dapat dilihat bahwa seluruh termokopel telah mencapai suhu 121oC setelah pemanasan selama 22 menit sehingga nilai CUT retort adalah 22 menit.
24
C. HASIL UJI PENETRASI PANAS Uji penetrasi panas dilakukan pada lima sampel sari tempe dalam kaleng yang diletakkan di sekitar titik 7 (titik terdingin dalam retort). Sampel sari tempe yang tercatat paling lambat menerima panas akan dijadikan sebagai acuan bagi perancangan proses sterilisasi sari tempe dalam kaleng. Rekapitulasi hasil uji penetrasi panas dan pengolahannya datanya dapat dilihat pada Lampiran 3a, 3b, 3c, 3d, 3e, dan 3f. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ditentukan bahwa data uji penetrasi panas yang akan diolah selanjutnya adalah data yang ditunjukkan oleh Tc2 (Lampiran 3b) karena paling lambat menerima panas. Nilai Fo yang ditargetkan dalam uji penetrasi panas ini adalah 0,24 menit. Nilai Do Clostridium botulinum adalah 0,2 menit (Hariyadi, Kusnandar 2000). Dalam penelitian ini, diharapkan terjadi penurunan jumlah C. botulinum sebanyak 12 siklus logaritma (proses 12-D). Oleh karena itu, nilai Fo yang ditargetkan dalam proses sterilisasi sari tempe dalam kaleng adalah 12x0,2=2,4 menit. Hasil pengolahan data uji penetrasi panas dengan metode umum (metode trapesium) menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan dalam proses sterilisasi sari tempe dalam kaleng hingga mencapai tingkat sterilitas yang diinginkan adalah 25 menit. Nilai Fo yang diperoleh selama pemanasan 25 menit adalah 2.6201 menit. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan menggunakan retort selama 25 menit sejak retort dinyalakan memiliki tingkat sterilitas yang sama dengan aplikasi panas pada suhu 121,1oC selama 2,6201 menit. Hal ini telah melebihi nilai Fo yang ditargetkan (2,4 menit) sehingga proses pemanasan telah dianggap cukup untuk mereduksi jumlah C. botulinum sebanyak 12 siklus logaritma. Kurva penetrasi panas sari tempe dalam kaleng dapat dilihat pada Gambar 10. Kurva hubungan antara t (waktu) dan Lr (lethal rate) untuk pengolahan data penetrasi panas dengan metode umum dapat dilihat pada Gambar 11. 140 120
Suhu (oC)
100 80 60 40 20 0 1
6
11 Waktu (menit)
16
21
Gambar 10. Kurva penetrasi panas sari tempe dalam kaleng (metode umum) Hasil pengolahan data uji penetrasi panas dengan metode formula (metode Ball) menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan dalam proses sterilisasi sari tempe dalam kaleng hingga mencapai tingkat sterilitas yang diinginkan adalah 22.22 menit sejak retort dinyalakan. Kurva hubungan antara (Tr-T) dan waktu (metode formula) dapat dilihat pada Gambar 12
25
sedangkan parameter-parameter yang dapat diketahui melalui kurva tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Luasan di bawah kurva = 2.6201 menit
Gambar 11. Kurva hubungan t dan Lr (metode umum) 1000,0
100,0 (Tr‐T) (oC)
y=log(230.8873)‐0.0708x
10,0
1,0 0
5
10
15
20
25
30
Waktu (menit)
Gambar 12. Kurva hubungan t dan (Tr-T) (metode formula)
26
Tabel 4. Parameter analisis kecukupan panas sterilisasi sari tempe dalam kaleng (metode formula) Parameter
Satuan
Nilai
Fo fh Lr fh/U log g (dari tabel) Tr Ti Jh=(Tr-Tpih)/(Tr-Ti) Ih=(Tr-Ti) Jh.Ih=(Tr-Tpih) log (Jh.Ih) tB=fh{log (Jh.Ih)-log g) tp=tB-0.42CUT Waktu sterilisasi=CUT+tp
menit menit o C o C o C o C menit menit menit
2.4 14.1243 0.9772 5.7509 0.7905 121.0 32.4 0.3255 88.6 28.8 1.4600 9.4562 0.2162 22.2162~22.22
Hasil pengolahan data menggunakan metode umum dan metode formula menunjukkan hasil yang berbeda, namun perbedaannya tidak jauh. Waktu yang ditetapkan akan diaplikasikan pada sterilisasi sari tempe dalam kaleng adalah 25 menit (metode umum) karena memiliki nilai yang lebih besar daripada 22.22 menit (metode formula). Hal ini bertujuan memberikan keyakinan bahwa panas yang diaplikasikan telah cukup untuk mereduksi jumlah C. botulinum sebanyak 12 siklus logaritma.
D. HASIL UJI SEGITIGA Berdasarkan hasil uji segitiga, diketahui bahwa jumlah panelis yang dapat menjawab dengan benar adalah 9 orang. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan jumlah minimum panelis pada tabel peluang binomial uji segitiga (n=30;α=0.05), yaitu sebanyak 15 panelis. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa proses sterilisasi tidak menyebabkan perubahan karakteristik sensori sari tempe secara keseluruhan pada taraf signifikansi 5%. Rekapitulasi data hasil uji segitiga dapat dilihat pada Lampiran 4a. Tabel peluang binomial untuk uji segitiga dapat dilihat pada Lampiran 4b.
E. HASIL PENGUKURAN PH Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan pH-meter, dapat diketahui bahwa pH sari tempe dalam kaleng adalah 7.48. Rekapitulasi data hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Lampiran 5. Hal ini menunjukkan bahwa sari tempe dalam kaleng tergolong bahan pangan berasam rendah. Menurut Kusnandar et al. (2009), bahan pangan berasam rendah adalah bahan pangan yang memiliki nilai pH≥4.60. Proses termal yang harus diaplikasikan pada bahan pangan berasam rendah adalah sterilisasi karena mikroba targetnya adalah C. botulinum yang tahan panas dan dapat membentuk spora. Dengan demikian, proses termal yang dilakukan dalam penelitian ini (sterilisasi) tepat diaplikasikan pada sari tempe dalam kaleng.
F. HASIL ANALISIS PROKSIMAT Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar lemak. Rekapitulasi dan pengolahan data analisis proksimat sari tempe dalam kaleng dapat dilihat pada Lampiran 6a, 6b, 6c, 6d, dan 6e. Tabel hasil analisis proksimat sari
27
tempe dalam kaleng dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel perbandingan hasil analisis proksimat kacang kedelai, tempe, dan sari tempe dalam kaleng dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 5. Hasil analisis proksimat sari tempe dalam kaleng Basis basah (%(b/b)) Basis kering (%(b/b)) Kadar air 90.27 Kadar abu 0.06 0.62 Kadar protein 3.66 37.62 Kadar lemak 0.98 10.07 Kadar karbohidrat 5.03 51.69 Tabel 6. Perbandingan hasil analisis proksimat kacang kedelai, tempe, dan sari tempe dalam kaleng (basis kering) Kacang kedelaia)
Tempea)
Sari tempe
46.2 19.1 28.2
3.6 46.5 19.7 30.2
0.62 37.62 10.07 51.69
Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat Sumber: a)Hermana et al. 1996
Berdasarkan hasil yang diperoleh, sari tempe dalam kaleng memiliki kadar air yang sangat tinggi, yaitu sebesar 90.27%. Hal ini disebabkan oleh adanya pengenceran yang dilakukan ketika ekstraksi tempe menggunakan air dengan perbandingan 8:1 (8 liter air untuk 1 kg tempe). Kadar karbohidrat sari tempe dalam kaleng juga tergolong tinggi, yaitu sebesar 5.03%. Hal ini disebabkan oleh penambahan madu sebagai pemanis yang terutama tersusun atas glukosa dan fruktosa. Adanya penambahan madu ini juga menyebabkan kandungan karbohidrat dalam sari tempe dalam kaleng lebih besar daripada kandungan karbohidrat pada kacang kedelai dan tempe. Pengenceran dan peningkatan kadar karbohidrat menyebabkan penurunan kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak sari tempe dalam kaleng sehingga nilainya lebih rendah daripada kacang kedelai dan tempe.
G. HASIL ANALISIS ISOFLAVON Berdasarkan hasil analisis menggunakan HPLC (High Performance Liquid Crhomatogram) terhadap beberapa variasi konsentrasi standar isoflavon, diperoleh kurva standar isoflavon untuk masing-masing jenis isoflavon. Kurva standar daidzein ditunjukan pada Gambar 13 dan kurva standar genistein ditunjukkan pada Gambar 14. Kurva standar ini memplotkan hubungan antara konsentrasi standar isoflavon dan luas area di bawah peak kromatogram yang terukur. Rekapitulasi data luas area kromatogram pada pengukuran kurva standar isoflavon (daidzein dan genistein) dapat dilihat pada Lampiran 7a dan Lampiran 7b. Pengolahan data uji isoflavon dapat dilihat pada Lampiran 7c, 7d, 7e, 7f, dan 7g. Kadar isoflavon sari tempe dalam kaleng dapat dilihat pada Tabel 7. Perbandingan kadar isoflavon kacang kedelai, tempe, dan sari tempe dalam kaleng dapat dilihat pada Tabel 8. Isoflavon merupakan senyawa flavonoid yang umum terdapat pada tanaman kacangkacangan dalam jumlah cukup tinggi, yaitu sekitar 0.25%. Kacang kedelai merupakan sumber isoflavon yang kaya. Isoflavon sering disebut sebagai fitoestrogen karena memiliki kemampuan menyubstitusi atau menutupi pengaruh estrogen pada tubuh. Isoflavon memiliki struktur kimia yang menyerupai estrogen sehingga dapat berikatan dengan beberapa reseptor estrogen dalam tubuh manusia (Winarti 2010). Menurut Tilaar et al. (2010), isoflavon juga dapat bertindak
28
Luas area
sebagai pengatur kadar hormon estrogen dalam tubuh manusia. Di satu sisi, isoflavon memiliki efek estrogenik saat estrogen alami berkurang jumlahnya sehingga menguntungkan dalam mencegah penyakit kardiovaskuler dan osteoporosis. Di sisi lain, isoflavon memiliki efek antiestrogenik saat hormon estrogen berlebihan sehingga dapat menurunkan risiko kanker payudara pada wanita saat masa premenopause. 900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0
y = 7789.2529x ‐ 91.9975 R² = 1.0000
0,0
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
120,0
Konsentrasi standar daidzein (x10‐3μg) Gambar 13. Kurva standar daidzein 60,0000
Luas area
50,0000 40,0000
y = 5368.6888x‐725.2669 R² = 1.0000
30,0000 20,0000 10,0000 0,0000 0,0
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
120,0
Konsentrasi standar daidzein (x10‐3μg)
Gambar 14. Kurva standar genistein
Tabel 7. Kadar isoflavon sari tempe dalam kaleng Jenis isoflavon
Kadar (mg/100g)
Daidzein Daidzin Genistein Genistin Total isoflavon
1.56 0.77 1.59 1.17 5.09
29
Tabel 8. Perbandingan kadar isoflavon kacang kedelai, tempe, dan sari tempe dalam kaleng (basis basah) Kadar (mg/100g) Daidzein Genistein Total isoflavon bebas (aglikon) Daidzin Genistin Total isoflavon terikat (glukosida) Total isoflavon Rasio (aglikon:glukosida)
Kacang kedelaib)
Tempe (inokulum R. oligosporus)b)
Sari tempe
1.80 1.60
12.90 13.80
1.56 1.59
3.40
26.70
3.15
74.60 52.55
8.06 10.00
0.77 1.17
127.15
18.06
1.94
130.55
44.76
5.09
0.0267
1.4784
1.6237
Sumber: b)Astawan 2008 Secara umum, isoflavon yang terkandung dalam kedelai terdiri atas dua bentuk, yaitu glukosida (terikat dengan molekul gula) dan aglikon (tidak terikat dengan molekul gula). Proses pencernaan, fermentasi, atau hidrolisis enzimatis dapat melepaskan molekul gula dari isoflavon glukosida menjadi isoflavon aglikon (Muchtadi 2010). Isoflavon dalam bentuk aglikon memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi dalam tubuh manusia dibandingkan dengan isoflavon dalam bentuk glukosida (Koswara 1992). Struktur kimia isoflavon aglikon dan glukosida serta jenis-jenis isoflavon kedelai dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan hasil analisis isoflavon, diketahui bahwa produk sari tempe dalam kaleng memiliki kandungan isoflavon sebesar 5.09 mg/100g. Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar isoflavon pada tempe (44.76 mg/100g). Hal ini disebabkan oleh adanya pengenceran dengan air saat ekstraksi tempe dalam pembuatan sari tempe.
Gambar 15. Struktur kimia isoflavon aglikon dan glukosida serta jenis-jenis isoflavon kedelai (Muchtadi 2010)
30
Kacang kedelai memiliki kadar isoflavon tertinggi, yaitu 130.55 mg/100g. Tempe memiliki kadar isoflavon yang lebih rendah daripada kacang kedelai karena proses pembuatan tempe melibatkan pemanasan dan pencucian kacang kedelai menggunakan air. Isoflavon merupakan senyawa flavonoid yang cenderung larut dalam air sehingga dapat terbuang saat proses pencucian kacang kedelai. Sebagian besar isoflavon yang terkandung dalam tempe terdapat dalam bentuk aglikon akibat adanya proses fermentasi oleh kapang R. oligosporus yang dapat menghidrolisis isoflavon glukosida menjadi isoflavon aglikon dan molekul gula. Hal ini berbeda dengan kandungan isoflavon kacang kedelai yang sebagian besar terdapat dalam bentuk glukosida. Sari tempe memiliki kadar isoflavon yang lebih rendah daripada kacang kedelai dan tempe akibat adanya proses pemanasan dan pengenceran dalam pembuatannya. Kandungan isoflavon aglikon pada sari tempe dalam kaleng lebih tinggi daripada kandungan isoflavon glukosida. Hal ini sesuai dengan karakteristik tempe sebagai bahan dasar pembuatan sari tempe. Namun, rasio isoflavon agikon:glukosida sari tempe dalam kaleng lebih tinggi daripada tempe. Hal ini disebabkan oleh adanya proses pemanasan (pengukusan, pendidihan, dan sterilisasi) dalam proses pembuatan sari tempe dalam kaleng. Proses pemanasan dapat menyebabkan pemecahan ikatan pada isoflavon glukosida menjadi isoflavon aglikon dan molekul gula sehingga jumlah isoflavon bebas (aglikon) akan meningkat (Ishihara et al. 2007).
HASIL ANALISIS KAPASITAS ANTIOKSIDAN Kapasitas antioksidan umum dinyatakan dalam satuan AEAC (Ascorbic acid equivalent capacity) (Prangdimurti et al. 2010). Nilai ini menyatakan perbandingan antara jumlah analat dan jumlah asam askorbat yang menghasilkan kapasitas antioksidan sama besar. Berdasarkan hasil analisis kapasitas antioksidan, diperoleh kapasitas antioksidan sari tempe dalam kaleng sebesar 7.13 mgAEq/150ml. Nilai ini menunjukkan bahwa 150 ml sari tempe dalam kaleng memiliki kapasitas antioksidan yang ekivalen dengan 7.13 mg asam askorbat. Rekapitulasi data kurva standar asam askorbat dapat dilihat pada Lampiran 8a. Kurva standar asam akorbat dapat dilihat pada Gambar 16. Rekapitulasi data analisis kapasitas antioksidan dapat dilihat pada Lampiran 8b. 0,5 0,45 A blanko ‐ A standar
H.
y = 0.9440x + 0.0029 R² = 0.9996
0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
0,60
Konsentrasi asam askorbat (mg) Gambar 16. Kurva standar asam askorbat untuk pengukuran kapasitas antioksidan
31