11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan superovulasi, baik yang tidak diberi dan diberi ekstrak temulawak plus disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan superovulasi, baik yang tidak diberi dan diberi ekstrak temulawak plus. Parameter
Kontrol Kontrol SO
Tp Kontrol
Jumlah anak 6 10 7 (ekor) Rataan 3,17±0,12 3,65±0,14 3,19±0,16 bobot lahir (kg) Total bobot 19,04 36,53 22,31 lahir per induk (kg) Rasio anak 1,5±0,58 2,5±0,58 1,75±0,96 per induk Tingkat 12,5±25 8,25±16,5 16,75±33,5 kematian prasapih (%) Jumlah 5 9 5 bakalan sapih (ekor) Rataan 15,41±0,65 17,34±0,50 16,38±0,71 bobot badan sapih (kg) Total bobot 77,05 156,08 81,91 badan sapih (kg) Rasio anak 1,25±0,5 2,25±0,5 1,25±0,58 yang disapih per induk Ket: SO: Superovulasi, Tp: Temulawak, *: Signifikan (p<0,05)
SO
Tp
SO*Tp
*
-
-
2,75±0,5
*
-
-
8,25±16,5
-
-
-
*
*
-
*
-
-
SO 11 3,57±0,19
39,34
10
18,78±0,52
187,76
2,5±0,58
Superovulasi induk sebelum perkawinan mampu meningkatkan jumlah anak hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Walaupun superovulasi sebelum perkawinan meningkatkan jumlah anak, bobot badan lahir anak tidak turun, tetapi sebaliknya malah meningkat. Peningkatan jumlah anak dikarenakan jumlah sel telur yang dihasilkan lebih dari satu. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa induk kambing yang disuperovulasi sebelum perkawinan melahirkan anak yang lebih banyak 32% dibandingkan dengan induk kambing yang tidak disuperovulasi (Adriani et al. 2007). Peningkatan jumlah anak ini
12
dikarenakan superovulasi mampu meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan (Manalu et al. 1996) sehingga jumlah sel telur yang diovulasikan lebih banyak (Hafez 1980; Guiltbault et al. 1992; Bo et al. 1998). Sementara itu, peningkatan bobot lahir dikarenakan terjadinya peningkatan hormon estrogen dan progesteron selama kebuntingan (Asworth 1991). Tingginya bobot lahir anak domba sejalan dengan besarnya badan anak domba saat lahir. Besarnya badan anak domba diduga pada masa kebuntingan hormon estrogen berfugsi dalam metabolisme kalsium sehingga perkembangan kerangka fetus menjadi lebih baik. Superovulasi sebelum perkawinan pada kambing meningkatkan panjang badan, tinggi gumba, dan lingkar dada pada saat lahir (Andriani et al. 2004). Dengan menjumlahkan seluruh rataan bobot lahir anak per induk, per perlakuan, superovulasi induk sebelum perkawinan meningkatkan total bobot lahir anak per induk hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Superovulasi induk sebelum perkawinan meningkatkan jumlah anak sekelahiran hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Pemberian temulawak plus pada induk setelah umur kebuntingan 1 bulan selama periode kebuntingan tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan bobot lahir anak domba tetapi pengaruh pemberian ekstrak temulawak plus pada induk pada anak domba terlihat secara signifikan pada peningkatan bobot badan anak domba pada periode berikutnya dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan bobot badan anak domba yang berasal dari induk yang diberi ekstrak temulawak plus pada periode berikutnya diduga dikarenakan asupan susu yang baik. Devendra dan Burn (1994) menyatakan bahwa anak kambing bergantung sepenuhnya pada susu induk sampai kurang lebih 7-8 minggu setelah lahir, ketika rumen mulai berfungsi dan pengambilan makanan hijauan dan bahan makanan lainnya bertambah nyata. Pertambahan ukuran dan perkembangan organ-organ tubuh anak selama periode menyusu sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas susu yang diproduksi induk (Acker dan Cunningham 1991). Asupan susu yang baik ini diduga berasal dari khasiat temulawak, yaitu meningkatkan produktivitas air susu. Diduga pengaruh pemberian ekstak temulawak plus berlanjut sampai periode laktasi. Pemberian pasta tape-temulawak pada sapi madura dan sapi bali meningkatkan produksi susu
13
0,42 kg/ekor atau 9.5% lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang tidak diberi pasta tape-temulawak (Sulistyowati 1999). Bioaktif temulawak berfungsi menyerupai hormon prolaktin yang memelihara proses laktasi dan oksitosin yang merangsang keluarnya air susu (milk let down) (Sulistyowati dan Erwanto 2009). Peningkatan produksi susu didukung oleh asupan makanan yang baik. Diduga temulawak mempengaruhi nafsu makan induk dan meningkatkan aktivitas pencernaan sehingga efisiensi pencernaan lebih baik. Minyak atsiri yang terkandung dalam temulawak bersifat antioksidan alami yang dapat menjaga dan memelihara membran sel mikroba dari kerusakan akibat radikal bebas. Dengan sifat tersebut memungkinkan sel mikroba menjadi lebih aktif dalam mencerna ransum. Menurut Wahjoedi et al. (1985), temulawak mengandung kamfor pada jumlah relatif sedikit dapat menyebabkan perasaan nyaman pada alat pencernaan dan menyebabkan rasa enak makan. Kandungan zat kimia dalam temulawak dapat merangsang fungsi pergerakan pada dinding lambung dan usus yang berperan sebagai digestivum. Hal ini memungkinkan kapasitas pencernaan menampung pakan lebih baik (Salim 1985). Pemberian tepung temulawak berpengaruh besar pada pankreas, di antaranya dapat mempengaruhi dan merangsang sekresi dan berfungsi sebagai penambah nafsu makan, mempengaruhi kontraksi dan tonus otot usus halus, bersifat bakterisida dan bakteriostastik, membantu kerja sistem hormonal, metabolisme, dan fisiologi organ tubuh (Widodo 2002). Sementara itu, kandungan vitamin yang terkandung dalam ekstrak temulawak plus seperti vitamin A, D, dan B kompleks diduga bermanfaat dalam meningkatkan fisiologis dan metabolisme induk. Vitamin A berperan dalam diferensiasi sel-sel epitel khusus seperti sel goblet, bila terjadi infeksi, sel-sel goblet akan mengeluarkan mukus yang akan mempercepat pengeluaran mikroorganisme yang menginfeksi (Azrimaidaliza 2007). Pemberian vitamin D dan K secara sinergis memberikan manfaat pada tulang dan sistem kardiovaskular (Kidd dan Parris 2010). Superovulasi sebelum perkawinan, pemberian ekstrak temulawak plus, dan kombinasi superovulasi dengan pemberian ekstrak temulawak plus tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap penurunan tingkat kematian anak domba. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa superovulasi mampu menurunkan tingkat mortalitas sebesar 79% (Adriani et al. 2004). Rendahnya
14
bobot lahir merupakan salah satu faktor penyebab tingginya tingkat kematian, semakin banyak jumlah anak per kelahiran semakin tinggi pula tingkat kematiannya (Sutama et al. 1993). Namun, superovulasi induk sebelum perkawinan
mampu
meningkatkan
rataan
bobot
sapih
sebesar
12,5%
dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan ini dikarenakan peningkatan hormon estrogen dan progesteron selama kebuntingan dan berlanjut hingga postnatal (Asworth 1991). Superovulasi sebelum perkawinan mampu meningkatkan total bobot sapih hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang tidak disuperovulasi. Selanjutnya rataan bobot badan anak (kg) pada awal kelahiran sampai bulan ke-4 pada kelompok induk domba kontrol dan superovulasi, baik yang tidak diberi dan yang diberi ekstrak temulawak plus disajikan pada Grafik 1.
20 18
Rataan Bobot Anak
16 14 12
10 8
6 4
2 0
0
1
2
3
4
Bulan
Grafik 1. Rataan bobot lahir dan bobot badan anak pada bulan ke-1 sampai ke-4 pada kelompok kontrol ( ), pemberian ekstrak temulawak plus ( ), superovulasi ( temulawak ( X )
), dan kombinasi superovulasi dengan pemberian ekstrak
15
Superovulasi sebelum perkawinan meningkatkan bobot lahir anak domba sebesar 15% dibandingkan dengan kontrol. Superovulasi sebelum perkawinan pada induk yang beranak tunggal mampu meningkatkan bobot lahir anak sebesar 21% dibandingkan induk yang tidak disuperovulasi (Adriani et al. 2007). Tingginya bobot lahir anak pada perlakuan superovulasi dikarenakan terjadi peningkatan sekresi hormon kebuntingan dan hormon mamogenik, seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan. Meningkatnya jumlah korpus luteum karena superovulasi merupakan faktor yang menyebabkan peningkatan sekresi
hormon
kebuntingan
dan
hormon
mamogenik.
Selain
untuk
mempertahankan kebuntingan dan memelihara kebuntingan, estrogen dan progesteron juga berfungsi untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus, plasenta, serta kelenjar ambing (Anderson et al. 1981; Manalu dan Sumaryadi 1998). Pertumbuhan embrional sangat dipengaruhi oleh kesiapan endometrium uterus untuk menyediakan makanan dan senyawa kimia lain yang dibutuhkan selama perkembangan embrional (Ashworth 1991; Gandalfif et al. 1992). Peningkatan hormon progesteron dan estrogen selama kebuntingan berkolerasi positif dengan pertumbuhan uterus, embrio, fetus, dan bobot lahir anak (Manalu dan Sumaryadi 1999; Mege et al. 2007). Pertumbuhan dan perkembangan embrio yang baik selama kebuntingan akan menghasilkan dampak yang lebih luas, yaitu dapat meningkatkan bobot lahir, bobot prasapih, dan bobot akhir walaupun dengan jumlah anak sekelahiran yang lebih besar (Vallet et al. 2004). Peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan seperti estrogen dan progesteron mendukung proses fisiologis selama periode kebuntingan. Selain itu, peningkatan hormon estrogen dan progesteron menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta yang ditunjukkan oleh pertambahan masa uterus dan plasenta. Pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta yang baik berdampak positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan fetus selama kebuntingan (Wilson et al. 1999; Vallet et al. 2002; Mege et al. 2007). Hasil penelitian ini menguatkan penelitian sebelumnya bahwa superovulasi mampu meningkatkan sekresi hormon endogen hormon-hormon kebuntingan terutama estrogen dan progesteron disertai peningkatan jumlah anak dan ekspresi genotipe pertumbuhan yang digambarkan
16
oleh fenotipe bobot lahir, panjang badan, dan tinggi badan saat lahir (Manalu et al. 1996; Manalu dan Sumaryadi 1998; Adriani et al. 2004b; Mege et al. 2007) Superovulasi induk sebelum perkawinan, pemberian ekstrak temulawak plus pada induk setelah umur kebuntingan 1 bulan selama periode kebuntingan, dan kombinasi superovulasi induk sebelum perkawinan dengan pencekokan ekstrak temulawak plus setelah umur kebuntingan 1 bulan selama periode kebuntingan mampu meningkatkan pertambahan bobot anak domba pada bulan ke-1 dan ke-3. Superovulasi sebelum perkawinan mampu meningkatkan bobot anak domba dari bulan ke-1 sampai bulan ke-3 sebesar 18% dibandingkan dengan kontrol. Pemberian ekstrak temulawak plus pada induk setelah umur kebuntingan 1 bulan selama periode kebuntingan mampu meningkatkan bobot badan anak domba dari bulan ke-1 sampai bulan ke-3 sebesar 12% dibandingkan dengan kontrol. Sementara itu, superovulasi sebelum perkawinan yang dikombinasikan dengan pemberian ekstrak temulawak plus setelah umur kebuntingan 1 bulan selama periode kebuntingan mampu meningkatkan bobot badan anak domba dari bulan ke-1 sampai bulan ke-3 sebesar 27,5% dibandingkan dengan kontrol. Superovulasi induk sebelum perkawinan yang dikombinasikan dengan pemberian ekstrak temulawak plus setelah umur kebuntingan 1 bulan selama periode kebuntingan memberikan persentase pertumbuhan bobot badan anak yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Peningkatan bobot badan anak ini diduga akibat efek antara zat aktif dalam temulawak dan peningkatan hormon estrogen dan progesteron akibat superovulasi. Salah satu zat aktif yang terkandung di dalam temulawak adalah minyak atsiri. Minyak atsiri banyak sekali mengandung manfaat antara lain berpotensi sebagai senyawa antioksidan, antihepatotoksik, meningkatkan sekresi empedu, antihipertensi, melarutkan kolesterol, merangsang air susu (laktogoga), tonik bagi ibu setelah melahirkan, dan antibakteri (Agusta dan Chairul 1994, Suksamrarn et al. 1994). Diduga efek superovulasi yang dikombinasikan dengan pemberian ekstrak temulawak plus saling menguatkan. Diduga pengaruh terbesar dari superovulasi yang dikombinasikan dengan pemberian ekstrak temulawak plus ialah pada peningkatan produksi susu induk. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, baik superovulasi maupun pemberian temulawak keduanya sama-sama
17
meningkatkan produktivitas air susu pada induk. Peningkatan produksi susu ini berdampak positif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak domba. Pertumbuahan periode menyusu antara lain dipengaruhi oleh faktor genotip, bobot lahir, jenis kelamin, litter size, dan produksi susu induk (Setiadi 1989). Sementara itu, superovulasi induk sebelum perkawinan meningkatkan bobot lahir anak dan pertumbuhan prasapih yang diduga merupakan respons peningkatan estrogen dan progesteron selama kebuntingan (Adriani et al. 2004a). Bobot lahir dan pertumbuhan anak kambing pada periode berikutnya sangat dipengaruhi oleh perkembangan periode prenatal (Dziuk et al.1992). Perkembangan prenatal tersebut di antaranya perubahan biokimia uterus yang terutama dipengaruhi oleh estrogen dan progesteron (Kleeman et al. 1994; Manalu et al. 2000). Superovulasi
induk
sebelum
perkawinan
dan pemberian
ekstrak
temulawak plus setelah umur kebuntingan 1 bulan selama periode kebuntingan memberikan pengaruh pada pertumbuhan anak domba pada bulan ke-4. Superovulasi induk sebelum perkawinan mampu meningkatkan bobot anak domba sebesar 12,5% dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pemberian ekstrak temulawak plus setelah umur kebuntingan 1 bulan selama periode kebuntingan mampu meningkatkan bobot anak domba sebesar 6% dibandingkan dengan kontrol. Jika dibandingkan, pertumbuhan bobot anak domba dari induk yang disuperovulasi memiliki pertumbuhan yang tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bobot anak domba dari perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus pada induk selama periode kebuntingan. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan hormon estradiol dan progesteron selama periode kebuntingan. Pada awal kebuntingan hormon-hormon ini merupakan sinyal bagi diferensiasi embrio dalam kandungan sehingga mampu memacu perkembangan prenatal, yang kemungkinan akan terbawa sampai pada periode postnatal (Ashworth 1991). Peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan tidak hanya penting dalam peningkatan laju pertumbuhan sejak diferensiasi sel jaringan embrio, memperbaiki bobot lahir, serta laju pertumbuhan prasapih, juga merupakan salah satu strategi yang potensial untuk memperbaiki kuantitas dan kualitas produksi daging dalam memenuhi kebutuhan konsumen (Wray-Canen et al. 1999; Mege et al. 2007).