IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Karakteristik Geografi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur secara geografis terletak diantara 106o25’00” BT – 107o 14’30” BT dan 06 o45’35” LS – 06o50’40” LS (Gambar 12), letaknya berbatasan dengan puncak dan punggungan Gunung Gede Pangrango di bagian barat, Waduk Cirata di bagian timur, perbukitan Gunung Geulis dibagian utara, Gunung Puntang di bagian selatan. DAS Cianjur terdiri dari sungai utama (Sungai Cianjur) dengan beberapa anak sungai (Cigadog, Cianjur Leutik, Cibeureum, dan Cikukulu) yang bermuara pada sungai utama. Wilayah DAS Cianjur memiliki luas sebesar 7 467.2 ha yang meliputi 6 kecamatan, yang terdiri dari 27 desa dan 6 kelurahan termasuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur dengan deliniasi wilayah seperti tercantum pada Tabel 22. Secara administratif Kabupaten Cianjur memiliki luas sebesar 350 148.8 ha yang terbagi dalam 30 kecamatan, yang terdiri dari 342 desa dan 6 kelurahan. Luas Tabel 22 Persentase luas wilayah DAS Cianjur terhadap luas administratif Zona DAS
Desa Pacet Cugenang
Hulu Cianjur
Tengah
Hilir Total
Karang Tengah
Cilaku Sukaluyu
Kecamatan Ciputri, Ciherang Galudra,Sukamulya, Nyalindung, Cibeureum, Gasol, Mangunkerta, Cijendil, Sukamanah Mekarsari, Limbangansari, Sukamaju, Sawahgede, Muka, Solok Pandan, Sayang, Bojong Herang, Pamoyanan Sabandar, Sukamanah, Sindangasih, Langensari, Sukasari, Maleber,Bojong, Babakan Caringin, Hegarmanah Munjul Salajambe, Tanjungsari, Sukasirna, Babakansari
Luas Administratif (Ha)
Luas Wilayah DAS (Ha)
4 760.0
1 029.6
Persentase Luas DAS terhadap Administratif (%) 21.6
7 819.0
2 318.1
29.6
3 177.5
1 085.5
34.2
4 914.0
1 876.0
38.2
5 367.5
356.9
6.6
4 772.5
801.1
16.8
30 810.5
7 467.2
24.2
72
Gambar 12 Peta batas kecamatan dalam wilayah DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006)
wilayah DAS Cianjur sebesar
24.2 % dari luas wilayah adminitratif tingkat
kecamatan (30 810.5 ha) dan hanya 2.1% dari luas total wilayah administrasi Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur merupakan DAS lokal yang berada di wilayah Kabupaten Cianjur, sehingga lebih mudahkan bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pelestarian fungsi-fungsi DAS.
4.1.2
Karakteristik Topografi Kawasan hulu DAS Cianjur meliputi areal seluas 3 111.8 ha yang
merupakan daerah pegunungan dan perbukitan terletak pada ketinggian antara 750 m sampai 2 950 m (Gambar 13). Bagian tengah DAS Cianjur meliputi areal seluas 3 245.9 ha dengan variasi ketinggian antara 340 m sampai 750 m dpl. Bagian hilir DAS Cianjur memiliki areal seluas 1 109.9 ha dengan variasi ketinggian antara 265 m sampai 340 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan ketinggian wilayah DAS Cianjur sebagian besar (58.3%) memiliki potensi sebagai areal permukiman. Kemiringan lereng pada DAS Cianjur secara umum didominasi dengan kemiringan lereng 0 – 3% yang mencakup luasan sebesar 4 192.1 ha atau 56.1% dari luas total DAS (Gambar 14). Kemiringan lereng > 45% atau curam sekali hanya memiliki areal seluas 133 ha atau 1.8% yang terletak pada lereng volkan atau perbukitan.
Kemiringan lereng 3 – 8% atau agak landai seluas 1 176.4 ha
(15.7%), 8 – 15% atau landai 677.7 ha (9.1%), 15 – 24% agak curam 380 ha (5.1%) dan 24 – 45% atau curam 907.9 ha (12.2%). Kondisi ini menunjukkan bahwa berdasarkan kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur sebagian besar (71.8%) memiliki potensi untuk pembangunan permukiman karena memiliki kemiringan lereng potensial 3 - 8 % (Masykur 2006).
4.1.3
Karakteristik Iklim Secara umum berdasarkan klasifikasi iklim Koppen DAS Cianjur termasuk
ke dalam tipe iklim Af, yaitu merupakan daerah iklim hujan tropis, selalu basah, hujan setiap bulan lebih dari 60 mm (Gambar 15). Kondisi iklim DAS Cianjur selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini (2005 s/d 2007) secara umum adalah: 1) kelembaban udara rata-rata berkisar antara 84% sampai 87 %; 2) rata - rata
suhu bulanan terdingin adalah 170C, sedangkan rata-rata suhu bulanan terpanas adalah 25.70C, 3) rata-rata curah hujan bulan berkisar antara 193 mm sampai 275.9 mm, dan 4) hari hujan berkisar antara 164.2 hari/tahun sampai 205 hari/tahun (Tabel 23). Kondisi iklim ini menunjukkan bahwa wilayah DAS Cianjur memiliki daya tarik sebagai wilayah pembangunan permukiman karena memiliki tingkat kenyamanan. Tabel 23 Data iklim DAS Cianjur Tahun 2005 - 2007 Tahun 2005 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rata-rata
Suhu (0C)
Kelembaban Udara (%)
20.2 20.2 20.3 20.3 20.8 20.4 19.9 20.1 19.9 21.1 21.5 20.5 20.4 (Sumber: BMG, 2007)
4.1.4
89 90 89 86 85 87 85 84 85 85 85 91 87
Tahun 2006 Curah Hujan (mm)
377.8 583.2 410.2 225.9 231.0 195.7 147.3 113.3 131.7 219.4 365.9 308.8 275.9
Tahun 2007
Suhu (0C)
Kelembaban Udara (%)
Curah Hujan (mm)
Suhu (0C)
Kelembaban Udara (%)
Curah Hujan (mm)
20.0 20.1 20.3 20.4 20.7 20.0 19.6 19.4 21.1 21.8 22.2 21.2 20.6
92 92 92 92 91 92 92 89 78 78 83 88 88
414 412 105 319 139 106 44 30 9 109 220 403 193
24.0 20.0 20.1 28.0 20.9 20.4 20.3 20.4 21.0 21.3 21.6 20.8 19.2
86 91 89 88 86 86 81 78 76 81 82 87 84
196 330 338 320 217 145 12 70 108 337 438 417 244
Karakteristik Hidrogeologi Wilayah DAS Cianjur secara umum didominasi oleh produk-produk bahan
vulkanik muda yaitu formasi qyg, qyl, dan qyc (Tabel 24). Formasi qyg yang terbentuk dari breksi dan lahar dari Gunung Gede Pangarango menyebar luas mulai dari puncak gunung sampai ke dataran DAS. Formasi qyl yang dibentuk oleh lava dijumpai pada sebagian kecil puncak Gunung Gede. Sementara, formasi qyc yang ditemukan sebagai bukit-bukit kecil di dataran bagian tengah sampai hilir DAS atau di sekitar daerah Kecamatan Cianjur sampai Sukaluyu, terbentuk dari batuan aluvial andesit bercampur pasir vulkanik dan tufa. Formasi qot yang merupakan produk vulkanik tertua mencakup breksi dan lava hanya dijumpai di bagian utara DAS Cianjur yaitu Pegunungan Geulis. Hal ini menunjukkan bahwa
secara geologi wilayah DAS Cianjur merupakan wilayah rawan bencana letusan gunung. Pada bagian
hulu
DAS Cianjur terdapat empat sungai, yaitu
Ciherang, Cianjur leutik, Cigadog, dan Cianjur. Keempat sungai tersebut bergabung menjadi satu (Sungai Cianjur) di Kampung Babakan Pos Kuta wetan Desa Mangunkerta Kecamatan Cugenang. Di wilayah zona DAS tengah terdapat Sungai Cikululu yang bergabung dengan sungai Cianjur di Desa Pamoyanan Kecamatan Cianjur, namun kembali bercabang dua di Kampung Deungkeng Desa Langensari Kecamatan Karang Tengah menjadi Sungai Cianjur dan Ciheulang. Selanjutnya pada zona DAS hilir Sungai Cianjur bermuara ke Sungai Cilaku, sementara Sungai Ciheulang bermuara ke Sungai Cisokan. Tabel 24 Hidrogeologi DAS Cianjur Kode
Deskripsi Geologi
Air Permukaan
Air Tanah
Mata Air
Qyg
Breksi dan lahar dari G. Gede Pangrango. Tersebar dari puncak sampai kaki gunung dan daerah dataran.
Air permukaan pada badan gunung sulit dijangkau, terdapat pada lembah sungai yang dalam. Pada kaki gunung, anak-anak sungai agak mudah dijangkau. Di bagian dataran, air sungai sangat mudah diakses dan digunakan
Pada badan gunung, air tanah sangat dalam. Pada kaki gunung, muka air tanah bebas 3-4 m, air tanah dalam tidak diketahui. Pada bagian dataran, air tanah bebas bervariasi dari 0.5-5 m, air tanah tak bebas > 30 m
Pada badan gunung, mata air dijumpai di lereng-lereng. Di kaki gunung, beberapa mata air ditemui di lembah sungai. Di bagian dataran, mata air sangat jarang, kecuali pada beberapa lembah sungai
Qyl
Lava muda dari G. Gede Pangrango. Terdapat di bagian atas gunung.
Air permukaan pada kawasan gunung sulit dijangkau, berada pada lembah-lembah sungai yang dalam
Air tanah dalam.
Mata air-mata air pada lereng gunung
Qyc
Bongkahan batuan aluvial andesit bercampur dengan pasir vulkanik dan tufa.
-
Air tanah dalam jarang ditemui.
-
Qot
Breksi dan lava dari produk-produk vulkanik tertua.
Dalam lembah-lembah sungai kecil yang dalam
Jarang (sangat dalam)
Tidak teramati
sangat
Sumber: Peta Geologi Lembar Cianjur, Jawa Barat 1972. Peta Geologi Lingkungan Lembar Cianjur, Jawa Barat 1993.
Kondisi air permukaan terkait erat dengan keberadaan sungai-sungai yang mengalir dan kondisi curah hujan sepanjang tahun. Air sungai dimanfaatkan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar DAS untuk keperluan pertanian, mandi,
Gambar 13 Peta kelas elevasi DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006) 76
Gambar 14 Peta kelas kemiringan lereng DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006) 77
Gambar 15 Peta curah hujan DAS Cianjur (Sumber: Dinas Cipta Karya Kabupaten Cianjur 2005) 78
cuci, dan kakus. Mata air umumnya berada pada ketinggian 400 – 1 000 m dpl,yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat di zona hulu. Masyarakat di zona tengah dan hilir DAS biasanya memperoleh air bersih dengan memanfaatkan air tanah dengan kedalaman antara 4 sampai 8 m. 4.1.5
Karakteristik Tanah Secara umum DAS Cianjur terdiri dari 5 jenis tanah dengan luasan
bervariasi (Gambar 16). Tanah latosol coklat mendominasi luasan yaitu sebesar 3 617.5 ha atau 48.4% dari luas total DAS yang membentang dari hulu hingga tengah. Bagian tengah dan hilir DAS berturut-turut didominasi oleh tanah latosol coklat dan aluvial coklat kekelabuan (ACK). Asosiasi aluvial kelabu dan aluvial coklat kekelabuan (AK-ACK) dan asosiasi andosol coklat dan regosol coklat (ACRC) berturut-turut masing-masing hanya terdapat di hilir (1.9%) dan hulu (22.2%) DAS Cianjur. Berdasarkan jenis tanah yang ada diwilayah DAS Cianjur yaitu latosol (memiliki kepekaan erosi agak peka), aluvial (memiliki kepekaan erosi tidak peka), dan regosol (memiliki kepekaan erosi sangat peka) maka hanya sebagian kecil wilayah DAS Cianjur potensial untuk pengembangan permukiman. 4.1.6 Karakteristik Daerah Rawan Bencana Sesuai dengan kondisi geografis, wilayah DAS Cianjur sangat berpotensi terjadinya bencana alam yang berkaitan dengan kegeologian seperti bahaya letusan gunung api yang berasal dari Gunung Gede (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006). Berdasarkan hal tersebut, dapat diidentifikasi wilayah-wilayah di DAS Cianjur yang rawan terhadap bencana letusan gunung api yaitu untuk wilayah yang termasuk kelompok daerah bahaya meliputi Kecamatan Pacet dan Cugenang dan Cianjur, sedangkan kelompok daerah waspada meliputi Kecamatan Cianjur, Karang Tengah, Cilaku dan Sukaluyu (Gambar 17). Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah DAS Cianjur terutama sub DAS hulu merupakan wilayah yang kurang aman untuk pengembangan permukiman.
Gambar 16 Peta jenis tanah DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006) 80
PETA RAWAN LETUSAN GUNUNG Daerah Aliran Sungai Cianjur KABUPATEN CIANJUR
Gambar 17 Peta rawan letusan gunung di DAS Cianjur (Sumber: Bappeda Kabupaten Cianjur 2006)
81
4.1.7
Penggunaan Lahan Aktual Penggunaan lahan di DAS Cianjur hasil interprestasi citra landsat tahun
2006, secara umum terdiri dari hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman industri, perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering bercampur semak, sawah, semak atau belukar, dan tanah terbuka (Gambar 18). Penggunaan lahan yang mendominasi adalah sawah seluas 2 729.8 ha atau 36.6%, permukiman seluas 2 058 ha atau 27.6%, dan pertanian lahan kering seluas 1 211.7 ha atau 16.2% sementara itu luas hutan lahan kering hanya 539.5 ha atau 7.2%. Rendahnya persentase hutan lindung di bagian hulu DAS Cianjur disebabkan telah terjadi alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian dan permukiman. Pertumbuhan permukiman di wilayah ini bersifat skipping, yaitu memanfaatkan lahan yang masih baru (dari hutan, pertanian lahan basah dan kering) dengan bertitik tolak pada pemandangan indah. Hal ini dapat merusak stuktur tata ruang yang direncanakan dengan menggunakan lahan yang bukan diperuntukan bagi pengembangan perumahan dan permukiman.
4.1.8 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kependudukan Secara administratif penduduk Kabupaten Cianjur pada akhir tahun 2005 adalah 2 098 644 jiwa (570 047 KK) yang terdiri dari 1 069 408 jiwa laki-laki dan 1 029 236 jiwa perempuan dengan laju pertumbuhan sebesar 1.96% dari tahun sebelumnya (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006). Berdasarkan tingkat penyebarannya, penduduk terkosentrasi di wilayah Cianjur utara sebesar 65% dengan kepadatan antara 594.20 jiwa/km2 sampai 3 073 68 jiwa/km2, Cianjur tengah 19.62% dengan kepadatan antara 253.90 jiwa/km2 sampai 628.95 jiwa/km2 dan Cianjur selatan 15.38% dengan kepadatan antara 180.75 jiwa/km2 sampai 253.95 jiwa/km2. Wilayah Cianjur utara yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi merupakan wilayah DAS Cianjur, oleh karena itu kebutuhan terhadap permukiman akan tinggi. Sehubungan dengan program pemerintah Kabupaten Cianjur yang terus melakukan pengembangan ke wilayah utara Cianjur karena dinilai memiliki berbagai potensi wisata maka kecenderungan DAS Cianjur bagian hulu akan
10 7°3 '
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 '
10 7°0 0 '
10 7°3 '
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 '
6°51'
6°51'
6°48'
6°48'
6°45'
6°45'
10 7°0 0 '
P E TA P E N G G U N A AN L A H A N T AH U N 20 06 D AS C IA N JU R K A B U P AT E N C IAN JU R N
2
0
2
4 Kilo m e te rs
B ata s D A S Tu tu p a n L a h an : H u tan L a ha n K e rin g S ek u n de r H u tan T a n am a n Ind u s tri (H T I) P er ke b u na n P er m u k im an P er tan ia n la h a n k e rin g b e rc a m p u r d g n s e m a k S aw ah S em a k /B e lu k a r Ta n a h Te rb u k a
Lo k a s i P e n elitian
Gambar 18 Peta penggunaan lahan DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006) 83
menerima tekanan berupa kebutuhan ruang hunian, villa, sarana prasaran wisata. Oleh karena itu potensi alih fungsi lahan dari lahan pertanian lahan kering, semak belukar, dan lahan terbuka menjadi pemukiman, villa, sarana prasaran wisata akan terjadi. Hal ini sejalan dengan pendapat Silas (2007) bahwa pertumbuhan permukiman
tersebut dipicu oleh suatu proses pergeseran permukiman yang
disebabkan oleh mekanisme pasar, sehingga akan terjadi perpindahan orang yang semula tinggal dalam kota ke rumahnya di pinggiran atau luar kota.
4.2 Pola Sebaran Permukiman Pola penyebaran pembangunan permukiman tertata dan permukiman tidak tertata di wilayah desa dan kota pembentukkannya berakar dari pola campuran antara ciri perkotaan dan perdesaan. Kawasan permukiman perkotaan di wilayah DAS Cianjur sebagian besar berada di wilayah bagian tengah DAS Cianjur. Kawasan permukiman perkotaan merupakan Kecamatan-kecamatan yang pada saat ini merupakan konsentrasi kegiatan penduduk dengan indikasi jumlah penduduk yang besar (Bappeda Kabupaten Cianjur, 2005) seperti Kecamatan Pacet (Zona DAS hulu), Cianjur, dan Karang Tengah (Zona DAS tengah). Pola permukiman tertata wilayah DAS Cianjur memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Hal ini sejalan dengan pendapat Koestoer (1995) yang menyatakan bahwa bangunan rumah di lingkungan permukiman tertata secara teratur menghadap jalan dengan kerangka jalan tertata secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal. Pola permukiman tidak tertata di wilayah DAS Cianjur cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air seperti sungai dan jalan. 4.2.1 Ukuran Permukiman Tabel 25
menunjukkan bahwa ukuran permukiman yang berada di
wilayah DAS Cianjur sebagian besar tergolong ke dalam permukiman sedang dengan jumlah penduduk antara 500 sampai dengan 2000 jiwa. Selebihnya tergolong dalam permukiman kecil-sedang dengan jumlah penduduk kurang dari
500 jiwa dan jumlah rumah lebih dari 20 unit (Van der Zee 1986). Ukuran permukiman di bagian hulu didominasi oleh permukiman sedang dengan jumlah rumah rata-rata 196 unit, sedangkan di bagian tengah dan hilir komposisi ukuran permukiman kecil-sedang dan sedang berimbang dengan jumlah rumah rata-rata untuk permukiman kecil-sedang 49 unit di bagian tengah dan 53 unit di bagian hilir, sementara permukiman sedang di bagian tengah dan hilir masing-masing dengan jumlah rumah rata-rata sebanyak 416 unit dan 193 unit. Tabel 25 Ukuran permukiman Zona DAS
Kampung
Hulu
Tengah
Hilir
Sarongge girang Cibeureum Kidul Galudra Tengah Burangkeng Perum Buniwangi Sayang Perum Maleber Golebag Dua Pasir Peucang Pasir Goong Kamiran Cibakung
Kriteria Ukuran Permukiman Jumlah Jumlah Penduduk Rumah 922 190 928 152 865 245 465 102 260 50 1210 464 1105 368 216 49 142 32 312 74 826 198 600 188
Golongan ukuran Permukiman Sedang Sedang Sedang Kecil-Sedang Kecil-Sedang Sedang Sedang Kecil-Sedang Kecil-Sedang Kecil-Sedang Sedang Sedang Total
Persentase Sedang
Kecil-Sedang
25
8.32
16.67
16.67
16.67
16.67
58.34
41.66
Tabel 25 menjelaskan bahwa jumlah penduduk rata-rata yang mendiami permukiman setingkat kampung yang berada di wilayah hulu DAS Cianjur (795 jiwa) lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk rata-rata yang di wilayah tengah (741 jiwa) maupun hilir (470 jiwa). Hal ini disebabkan zona DAS hulu memiliki: (1) potensi wisata menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang berada di bagian tengah dan hilir maupun warga yang berasal dari luar kawasan DAS untuk pindah ke zona DAS hulu, (2) kondisi iklim (suhu) yang memberikan tingkat kenyamanan yang lebih, (3) kemudahan memperoleh air bersih dan (4) fasilitas infrastruktur berupa jalan yang menghubungkan antar kampung, desa, kecamatan hingga ke ibukota kabupaten.
4.2.2 Kepadatan Bangunan Bangunan rumah di wilayah DAS Cianjur sebagian besar (50%) memiliki tipe kepadatan bangunan yang padat (Tabel 26). Kepadatan bangunan dicirikan
salah satunya oleh jarak antara bangunan rumah yang kecil yaitu berkisar antara setengah sampai satu meter. Permukiman di zona DAS hulu didominasi oleh permukiman dengan tipe kepadatan bangunan yang padat, di zona DAS tengah didominasi oleh permukiman dengan tipe kepadatan bangunan jarang, dan di zona DAS hilir terdapat dua tipe kepadatan bangunan yaitu jarang dan padat. Tabel 26 Tipe kepadatan bangunan Zona DAS Hulu
Tengah
Hilir
Unit Permukiman (Kampung) Sarongge Girang Cibeureum Kidul Galudra Tengah Burangkeng Perum Buniwangi Sayang Perum Maleber Golebag Dua Pasir Peucang Pasir Goong Kamiran Cibakung
Tipe kepadatan Bangunan Padat Sangat padat Padat Padat Jarang Sangat Padat Jarang Padat Jarang Jarang Padat Padat Total
Persentase Sangat Padat
Padat
Jarang
8.3
25
-
8.3
8.3
16.7
-
16.7
16.7
16.6
50
33.4
Dominasi tipe bangunan padat di zona DAS hulu Cianjur disebabkan karena kepemilikan lahan untuk bangunan rumah diperoleh secara turun-terumun (warisan) pada satu lokasi lahan dengan luasan terbatas, yang mengakibatkan lahan warisan seluruhnya digunakan untuk membangun rumah. Faktor lain yang menyebabkan kepadatan bangunan adalah terjadinya fregmentasi seperti yang diungkapkan Kuswartojo (2005) bahwa pemilikan lahan karena pewarisan atau pelepasan hak sedikit demi sedikit untuk keperluan konsumsi atau maksimalisasi penggunaan lahan dengan konstruksi kualitas rendah membuat persil permukiman terus mengecil dan permukiman pun menjadi padat, sehingga jarak antar bangunan rumah sangat kecil atau bahkan jarak atap hanya setengah meter. Kondisi ini mengakibatkan terbatasnya sarana infrastruktur sebagaimana yang diungkapkan oleh Sastra (2006) bahwa tingginya kepadatan bangunan mengakibatkan minimnya lahan yang tersedia bagi sarana infrastuktur, yang menyebabkan rendahnya kualitas suatu lingkungan permukiman.
4.2.3 Tipe Permukiman Permukiman secara umum memiliki tiga tipe yaitu linier, plaza, dan streetplan (Van der Zee 1986). Permukiman di wilayah DAS Cianjur memiliki dua tipe yaitu tipe linier dan streetplan. Tipe permukiman linier dibagi dalam dua kategori yaitu linier-1 dan linier-2 (Gambar 19). Permukiman tipe linier-1 adalah permukiman yang memiliki beberapa kelompok rumah dengan posisi rumah berjajar linier sepanjang jalan setapak dengan lebar setengah sampai satu meter dan jalan desa dengan lebar tiga sampai empat meter. Permukiman tipe linier-2 adalah permukiman yang memiliki beberapa kelompok rumah dengan posisi rumah berjajar linier sepanjang jalan lingkungan atau gang dengan lebar satu meter dan jalan desa dengan lebar lima meter. Tipe permukiman linier memiliki kecenderungan bentuk susunan rumah yang tidak teratur, jarak antar rumah yang kecil, dan pekarangan rumah yang terbatas. Permukiman streetplan memiliki kecenderungan bentuk susunan rumah yang teratur menghadap jalan dengan kerangka jalan tertata secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal (Koestoer
Persentase (%)
1995). 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Hulu
Tengah Linier-1
Linier-2
Hilir Streetplan
Gambar 19 Persentase tipe permukiman di wilayah DAS Cianjur Sebagian besar tipe permukiman di zona DAS bagian hulu adalah tipe linier-1, zona tengah DAS terdiri dua tipe permukiman yaitu tipe streetplan dan linier-2. Permukiman di zona DAS hilir seluruhnya memiliki tipe permukiman
linier-1. Antar unit permukiman (Kampung) dihubungkan dengan jalan desa, sedangkan dalam lingkungan kampung itu sendiri mobilitas penghuni hanya melalui jalan selebar setengah sampai satu meter yang dibangun dengan swadaya masyarakat. Posisi bangunan rumah yang tidak teratur secara berkelompok menghadap kearah jalan baik jalan desa maupun jalan lingkungan. 4.2.4 Karakteristik Permukiman Tidak Tertata Kampung merupakan unit terkecil dari suatu permukiman. Luas kampung yang menjadi sampel berkisar antara 1.6 ha sampai dengan 20.8 ha dengan luas rata-rata sebesar sembilan ha. Rata-rata luas kampung di zona DAS hulu lebih kecil jika dibandingkan dengan luas kampung di tengah dan hilir. Hal ini disebabkan oleh kondisi topografi wilayah hulu yang berbukit dengan tingkat kemiringan yang cukup bervariasi, sehingga luasan wilayah kampung terbatas dan cenderung posisi kampung menyebar dengan luasan kecil. Komposisi jenis konstruksi rumah responden di lingkungan permukiman tidak tertata di DAS Cianjur terdiri dari rumah permanen, rumah panggung, dan rumah semi permanen (Tabel 27). Jenis konstruksi rumah yang banyak digunakan oleh sebagian besar masyarakat di zona hulu (51.7%) dan hilir (53.3%) adalah rumah panggung. Persentase jenis konstruksi rumah yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Cianjur adalah : rumah permanen 66.3%; semi permanen 25.4%; dan rumah panggung 8.3% (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah DAS Cianjur sebagian besar masih menggunakan Arsitektur Tradisional Sunda dalam membangun rumah dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Cianjur. Tabel 27 Jenis konstruksi rumah responden Jenis Konstruksi (%) Zona DAS
Hulu Tengah Hilir
Permanen 38.3 93.3 43.3
Semi Permanen 10.0 5.0 3.3
Keterangan: n=60 pada masing-masing lokasi
Panggung 51.7 1.7 53.3
Rumah panggung dengan arsitektur tradisional Sunda banyak ditemui di DAS bagian hulu dan hilir. Secara umum konsep dasar rancangan arsitektur tradisional masyarakat Sunda adalah menyatu dengan alam. Menurut budaya masyarakat Sunda, alam merupakan sebuah potensi atau kekuatan yang mesti dihormati serta dimanfaatkan secara tepat di dalam kehidupan sehari-hari (Loupias 2005). Dominasi keberadaan rumah panggung di wilayah DAS Cianjur merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat Sunda dalam melestarikan budaya. Rumah panggung dirancang dengan konsep menyatu dengan alam sehingga dalam penggunaan bahan bangunan menggunakan bahan lokal. Perilaku masyarakat ini mencerminkan budaya masyarakat yang tidak bergantung pada sumberdaya berasal dari luar dan kesadaran akan penggunaan energi untuk transportasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kobayashi (2006) bahwa penggunaan bahan bangunan lokal akan memperpanjang jangka waktu pemakaian bangunan dan menguntungkan dari segi kalkulasi energi. Di DAS bagian hulu keberadaan rumah panggung dikarenakan ketersediaan bahan bangunan untuk konstruksi rumah tersebut cukup banyak, terutama kayu dan bambu. Rumah panggung dengan arsitektur tradisional Sunda memiliki keunggulan yaitu: 1) rumah panggung memiliki koefisien dasar bangunan yang rendah, artinya bahwa lahan dibawah rumah panggung dapat berfungsi sebagai areal untuk meresapkan air; 2) rumah panggung terhindar dari udara lembab dari tanah maupun debu; dan 3) rumah panggung lebih tahan terhadap bencana alam terutama gempa bumi. Bangunan rumah panggung di Jawa Barat dibedakan menurut bentuk atap dan pintu masuk (Depdikbud 1984). Konstruksi rumah panggung berdasarkan bentuk atap terdiri dari enam tipe yaitu: suhunan jolopong, tagog anjing, badak heuay, parahu kumureb, jubleg nangkub, dan julang ngapak. Konstruksi rumah panggung berdasarkan pintu masuk terdiri dari dua tipe yaitu: rumah buka palayu dan buka pongpok. Rumah panggung pada zona hulu dan hilir DAS Cianjur banyak mempergunakan tipe suhunan jolopong, parahu kumureb, dan julang ngapak. Rumah panggung pada umumnya memiliki susunan ruangan yaitu: tepas (teras), pangkeng (kamar), tengah imah (ruang tengah), goah (ruang tempat
menyimpan padi), dan pawon (dapur). Sistem pembagian ruangan didasarkan pada pandangan masyarakat tentang kedudukan dan fungsi masing-masing anggota keluarga penghuni. Pembagian didasarkan pada tiga daerah yang terpisah (daerah wanita, daerah laki-laki, dan daerah netral). Dapur dan goah merupakan ruangan untuk wanita. Ruangan depan adalah ruangan untuk laki-laki. Tengah imah merupakan ruangan netral yang digunakan untuk wanita dan laki-laki baik orang tua maupun anak-anak. Konstruksi rumah panggung memiliki bagian-bagian menurut fungsinya. Bagian-bagian rumah terdiri dari: golodog, kolong, tatapakan, tihang, palupuh, dinding, pintu, jendela jalosi, ampig, lalangit, suhunan, pananggeuy, lincar, darurung, paneer, saroja, balandar, kuda-kuda, usuk, ereng, pamikul, pangheret. Golodog merupakan tangga rumah yang terbuat dari kayu atau bambu. Fungsinya sebagai penghubung lantai dengan tanah. Kolong merupakan ruangan yang terdapat di bawah lantai rumah, tingginya 0.5 – 0,8 m di atas permukaan tanah. Konstruksi rumah panggung dengan arsitektur tradisional Sunda berdiri di atas batu penyangga atau disebut tatapakan (tempat bertumpu atau penyangga) yang diletakan pada setiap pojok serta bagian konstruksi yang menahan beban cukup besar. Di atas tatapakan diletakkan tihang yang berfungsi sebagai penyangga atap bangunan. Tihang dibuat dari kayu ukuran 15 x 15 cm untuk tihang-tihang utama, sedangkan untuk tihang-tihang tambahan dibuat dengan ukuran yang lebih kecil. Bagian lantai dibuat dari papan atau palupuh
(lembaran bambu hasil
cercahan atau tumbukan yang menyatu saling mengikat). Hasil cercahan tersebut membentuk celah-celah memanjang tidak beraturan yang berfungsi sebagai ventilasi udara dari bawah serta dapat digunakan untuk membuang debu di atas lantai. Konstruksi lantai yang tidak langsung bersentuhan dengan permukaan tanah memberikan fungsi kenyamanan huni yaitu rumah akan terhindar dari udara lembab yang berasal dari tanah maupun debu. Dinding sebagian besar terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik berfungsi sebagai penutup bangunan maupun penyekat ruangan. Bilik tersebut memiliki lubang-lubang kecil seperti "pori-pori" yang berfungsi sebagai ventilasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Loupias (2005) bahwa lubang-lubang kecil pada
bilik berfungsi untuk menyalurkan udara maupun cahaya dari luar ruangan atau sebaliknya, sehingga suhu di dalam ruangan selalu terjaga secara alami sesuai dengan kondisi cuaca alam di luar. Kondisi ini tidak perlu mengandalkan cahaya yang masuk sepenuhnya melalui jendela. Lalangit merupakan bagian konstruksi yang menempel pada dasar rangka atap. Lalangit terbuat dari bambu yang dianyam atau papan kayu. Selanjutnya bagian bangunan yang paling atas yaitu atap. Konstruksi atap rumah panggung terdiri dari: suhunan, balandar, kuda-kuda, usuk, ereng, pamikul, pangheret, dan sisiku. Pembuatan rumah panggung biasanya dilakukan dengan tradisi gotong royong oleh masyarakat dilingkungan kampung. Rata-rata luas rumah di hulu, tengah dan hilir DAS Cianjur masing-masing berturut-turut adalah 47.1 m2, 69.4 m2 dan 40.8 m2 (Tabel 28). Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) rata-rata luas rumah antara hulu, tengah dan di hilir. Tabel 28 Rata-rata luas per-orang penghuni rumah di DAS Cianjur Zona DAS Hulu Tengah Hilir
Rata-rata Luas Rumah (m2 ) 47.1 69.4 40.8
Rata-rata jumlah penghuni 4.6 4.7 4.9
Rata-rata luas perjiwa 10.2 14.8 8.3
Berdasarkan tingkat kebutuhan ruang minimum per-orang sesuai dengan standar ukuran kebutuhan ruang minimum yang dikeluarkan oleh Menteri Kimpraswil tahun 2002, maka ukuran kebutuhan ruang minimum untuk rumah yang berada di wilayah hilir (luas rata-rata 40.8 m2) dengan rata-rata jumlah penghuni sebesar 4.9 jiwa dapat dikategorikan tidak memenuhi standar minimum ukuran kebutuhan ruang per-orang sebesar 9 m2. Hal tersebut akan mempengaruhi tingkat kenyamanan dan keleluasan bergerak dari penghuni sebagaimana diungkapkan oleh Sarwono (1992) bahwa keluasan ruang yang ada akan mempengaruhi tingkat kemudahan tingkah laku dari para penghuninya. Kelengkapan elemen ruang yang dimiliki rumah responden di hulu, tengah maupun hilir DAS sebagian besar memiliki kelengkapan ruang yang standar yaitu ruang tamu, kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan WC (Tabel 29). Kelengkapan
elemen ruang dalam rumah akan berpengaruh pada tingkat kenyamanan, kesehatan dan tingkah laku penghuni yang disebabkan tidak terpenuhinya fungsifungsi ruangan. Hal ini diungkapkan oleh Sastra (2006) bahwa sebuah rumah harus dapat memungkinkan orang beristirahat, memasak, makan, berkumpul dengan keluarga dan sebagainya. Tabel 29 Kelengkapan elemen ruang Zona DAS
Kelengkapan Ruang Sangat Lengkap
Standar
Kurang dari standar
% 8.3 16.7 13.3
% 55 61.7 46.7
% 36.7 21.7 40
Hulu Tengah Hilir
Hasil uji beda menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) kepemilikan ruang tidur, dapur, kamar mandi, dan WC di hulu, tengah dan hilir. Elemen ruang yang cukup banyak tidak dimiliki baik di hulu maupun hilir DAS adalah kamar mandi dan WC. Perbedaan tersebut disebabkan oleh status sosial ekonomi masyarakat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Jiaming (2005) di Shangai bahwa tipe tempat tinggal termasuk kelengkapan elemen ruang berhubungan dengan tingkat pendapatan perkapita. Luas lantai rumah di wilayah DAS Cianjur bervariasi dari luasan < 20 m2 sampai > 150 m2. Di bagian hulu, tengah dan hilir didominasi oleh rumah dengan luas lantai antara 20 – 49 m2 (Tabel 30). Rumah dengan luas lantai > 150 m2 hanya dijumpai di bagian tengah DAS yaitu di lingkungan permukiman tertata. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di hulu dan hilir lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang berada di sub DAS tengah. Tabel 30 Jumlah rumah menurut luas lantai Zona DAS Hulu Tengah Hilir Total
< 20 % 3.3 1.7 1.7
20-49 % 58.3 60 83.3 67.2
Luas Lantai (m2) 50-99 100-149 % % 33.3 5.0 23.3 6.7 11.7 3.3 22.8 5.0
>150 % 10.0 3.3
Secara umum occupancy rate (tingkat penghunian) rumah di wilayah DAS Cianjur sebesar 121.1%. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan rumah yang ada belum bisa menampung kebutuhan masyarakat akan rumah (Dinas Cipta Karya 2005). Tingkat penghunian yang paling besar terdapat di zona DAS tengah mencapai 126.7% (Tabel 31). Hal ini disebabkan wilayah zona DAS tengah merupakan wilayah perkotaan dengan tingkat ketersediaan rumah lebih kecil dari jumlah kepala keluarga yang ada sehingga berdampak pada tingkat hunian yang melebihi 100%. Tingkat hunian yang melebihi 100% berdampak pada tingkat kenyamanan, hubungan sosial dan kecenderungan memicu terjadinya konflik keluarga sebagaimana diungkapkan Sarwono (1992) bahwa keluasan ruang akan mempengaruhi tingkat kenyamanan dan perilaku penghuninya. Tabel 31 Tingkat penghunian rumah di DAS Cianjur Zona DAS Hulu Tengah Hilir
Jumlah KK dalam Satu Rumah 1 51 49 52
2 12 14 14
3 9 9
4 4 4
Tingkat Penghunian % 120 126.7 120
Rumah di wilayah DAS Cianjur separuhnya memiliki RTH berupa taman di halaman rumah. Luas rata-rata RTH di bagian hulu, tengah dan hilir masingmasing berturut-turut sebesar 32.8 m2, 21.5 m2, dan 19.9 m2. Kecilnya luasan RTH di bagian hilir disebabkan: (1) lahan untuk rumah rata-rata diperoleh dari warisan orang tua, sehingga luas areal lahan yang dibagikan terbatas hanya untuk bangunan rumah, dan (2) jumlah anggota rumah tangga yang cukup besar yaitu rata-rata 4.9 jiwa/rumah, sehingga diperlukan penambahan ruang. Hal ini sejalan dengan pendapat Kuswartojo (2005) bahwa pemilikan lahan karena pewarisan akan terjadi pelepasan hak sedikit demi sedikit untuk keperluan konsumsi atau maksimalisasi penggunaan lahan dengan konstruksi bangunan rumah. Kondisi pekarangan yang sempit akan memicu terjadinya ”heat island” (titik-titik panas) pada kawasan permukiman. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kobayashi (2006) yang melakukan pengukuran gas emisi CO2 di sektor permukiman
perkotaan di kota Nihonmatsu Jepang dengan melakukan pengukuran emisi CO2 dari bahan bangunan, aktivitas keluarga, dan transportasi. Berdasarkan jenis bahan bangunan yang digunakan pada bangunan rumah di wilayah DAS Cianjur, sebagian besar telah memiliki komponen rumah sehat (Ditjen Ciptakarya 1997). Komponen rumah sehat tersebut seperti pondasi, dinding, lantai, plapond dan atap. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05) dalam penggunaan bahan dinding, lantai, plapond di hulu, tengah dan hilir DAS Cianjur. Bahan dinding yang banyak digunakan oleh sebagian besar masyarakat di zona hulu (46.7%) dan tengah (93.3%) adalah tembok , sedangkan
5 0
50 40 30 20 10 0 Tengah
Hulu T embok Papan-bilik Papan
Bilik T embok-bilik
Persentase Penggunaan
100 90 80 70 60
50 45 40 35 30 25 20 15 10
Persentase Penggunaan
Persentase Penggunaan
di zona hilir sebagian besar (45%) menggunakan bilik. (Gambar 20).
T embok Papan-bilik
Bilik T embok-bilik
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Hilir
T embok Papan-bilik
Bilik T embok-bilik
Gambar 20 Persentase penggunaan bahan dinding Penggunaan bahan lantai di zona hulu, tengah, dan hilir masing-masing secara berturut-turut didominasi oleh adalah papan 28.8%, keramik 73.3% dan bilik 33.3% (Gambar 21). Sementara itu untuk bahan plapond di zona DAS hulu, tengah dan hilir masing-masing sebagian besar secara berturut-turut menggunakan bilik 51.7%, triplek 51.7% dan bilik 55% (Gambar 22). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di zona DAS hulu dan hilir masih melestarikan tradisi penggunaan bahan bangunan lokal dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di zona DAS tengah. Bahan untuk penutup atap untuk seluruh wilayah DAS dari hulu hingga hilir sebagian besar (100%) menggunakan genteng. Dominasi penggunaan bahan genteng sebagai bahan penutup atap tersebut disebabkan oleh ketersediaan
genteng mudah didapat, harga yang relatif lebih murah dan memberikan
80
25
70
20 15 10 5 0
35 Persentase Penggunaan
30
Persentase Penggunaan
Persentase Penggunaan
kenyamanan bagi penghuninya. Hal ini sejalan dengan pendapat Frick (1996)
60 50 40 30 20 10 0
25 20 15 10 5 0
Hulu Keramik Papan Bambu dibelah
30
Tengah
Semen Bilik
Keramik Papan
Hilir
Semen Bilik
Keramik Papan Bambu dibelah
Semen Bilik
Gambar 21 Persentase penggunaan bahan lantai
60
50 40 30 20 10
60
50
Persentase Penggunaan
Persentase Penggunaan
Persentase Penggunaan
60
40 30 20 10 0
0 T riplek Bambu
40 30 20 10 0
Tengah
Hulu Enternit Bilik
50
Enternit
T riplek
Hilir Bilik
Enternit
T riplek
Bilik
Gambar 22 Persentase penggunaan bahan plapond bahwa dari segi kenyamanan, atap genteng dapat membuat suhu udara ruangan lebih sejuk dan tidak menimbulkan kebisinginan di waktu hujan. Berdasarkan dominasi jenis bahan bangunan yang digunakan pada masingmasing konstruksi bangunan yaitu bahan bangunan dari sumber bahan mentah lokal, maka hal ini mencerminkan bahwa masyarakat di wilayah DAS Cianjur masih memelihara tradisi lokal dalam pembangunan rumah. Hal ini sejalan dengan pendapat Frick (1996) bahwa penggunaan bahan bangunan dari sumber
bahan mentah lokal menunjukkan identitas penghuni yang tidak tergantung dari luar dan kesadaran akan penggunaan energi transportasi yang menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Kobayashi (2006) tentang emisi CO2 dari bahan bangunan yaitu jika bahan bangunan yang digunakan sesuai dengan kondisi sumber daya setempat, maka bangunan akan terpakai dalam jangka waktu yang panjang dan menguntungkan dari segi kalkulasi energi, karena meminimalkan jarak transportasi dan ketergantungan atas teknologi tinggi. 4.2.5 Karakteristik Permukiman Tertata Permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur keberadaannya menyebar mulai dari wilayah hulu sampai hilir. Di wilayah hulu lebih didominasi oleh permukiman tertata berkelas mewah berupa villa-villa. Permukiman tertata di wilayah tengah dan hilir terdiri dari permukiman berkelas menengah ke bawah mulai dari tipe 22/60 hingga 100/120. Secara umum permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur tidak berada pada : 1) kawasan lindung dengan kemiringan > 40 %, 2) daerah rawan banjir namun berada pada : 1) bantaran sungai atau sempadan sungai terutama di Kelurahan Sayang, 2) daerah rawan bencana letusan Gunung Gede meliputi permukiman tertata
di kiri kanan jalan nasional Cianjur-Pacet mulai dari
Kecamatan Cugenang sampai Kecamatan Pacet., dan 3) daerah waspada letusan gunung api, aliran lava, awan panas dan lahar terutama di sekitar permukiman tertata yang berada di sekitar alur sungai dan anak sungai mulai dari Kecamatan Cugenang dan Pacet. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan lokasi permukiman tertata yang memerlukan pemandangan indah dan nuansa dekat dengan alam sebagai daya tarik. Luas lahan yang sudah dikeluarkan izinnya untuk permukiman tertata selama periode tahun 1988 sampai dengan 2002 di wilayah Kabupaten Cianjur sebesar 2 653.40 ha atau 62.4 % dari luas lahan total yang dizinkan sebesar 4 249.35 ha (Dinas Cipta Karya 2005). Luas lahan untuk permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur yang sudah dikeluarkan izinnya terbesar terdapat di bagian hulu yaitu di Kecamatan Pacet sebesar 1 675.84 ha atau 39.4 %.
Luas permukiman tertata di Kabupaten Cianjur yang termasuk dalam kawasan budidaya adalah 925.65 ha atau 0.9% (BPN Kabupaten Cianjur 2007). Berdasarkan arahan tata ruang kabupaten Cianjur tahun 2005 - 2015, luas peruntukan lahan permukiman tertata untuk masing-masing kecamatan yang termasuk wilayah DAS Cianjur adalah Pacet (2 043 ha), Cugenang (1 703 ha), Cianjur (2 150 ha), Cilaku (1 693 ha), Karang tengah (1 993 ha), dan Sukaluyu (1 373 ha). Sehubungan dengan itu diperlukan konversi lahan guna mencukupi kebutuhan masyarakat akan permukiman tertata. Persediaan lahan untuk wilayah Pacet adalah tegalan dan kebun campuran, wilayah Cugenang, Cianjur, Cilaku, Karang Tengah adalah lahan sawah dan kebun campuran, sedangkan untuk wilayah Sukaluyu tersedia lahan sawah, kebun campuran dan tegalan (BPN Kabupaten Cianjur 2007). Hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi pengurangan lahan pertanian yang mengancam ketersediaan pangan di wilayah Kabupaten Cianjur.
4.3 Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya Hidup Masyarakat Terhadap Permukiman 4.3.1 Karakteristik Gaya Hidup Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Permukiman Gaya hidup merupakan cara hidup atau gaya kehidupan yang direfleksikan dengan tingkah laku dan nilai-nilai dari individu atau kelompok (Garman 1991). Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari serentetan interaksi sosial, budaya dan lingkungan. Beberapa hal yang termasuk gaya hidup diantaranya adalah mengelola rumah beserta lingkungannya. Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Karena setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material konsumsi. Pengelolaan sampah tidak bisa lepas dari gaya hidup masyarakat. Jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Secara umum di lingkungan permukiman DAS Cianjur tidak memiliki fasilitas tempat pembuangan sampah, sehingga pola pengelolaan sampah yang dilakukan masyarakat sebagian besar masih bersifat individual dengan cara penanganan dibakar di pekarangan rumah dan dibuang ke
selokan atau sungai (Tabel 32). Penanganan semacam ini, dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan tingkat pencemaran udara dan air permukaan akan semakin tinggi. Sejalan dengan hal tersebut Soma (2007) merekomendasikan model pengelolaan sampah secara mandiri untuk skala lingkungan terutama di lingkungan permukiman tidak tertata. Model ini terdesentralisasi
di setiap
lingkungan permukiman (satu RW) dengan jumlah rumah antara 300 – 500. Unit sampah dari masing-masing rumah terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik. Hal ini didukung pendapat Pahlano (2005) bahwa sistem pengelolaan sampah ini berhasil membuat lingkungan bersih dan nyaman, disamping itu sampah baik organik maupun non-organik dapat bernilai ekonomi, namun dalam hal ini memang gaya hidup seperti disiplin dan keteraturan masyarakat sangat diperlukan. Sistem pengelolaan dan penanganan sampah dengan cara dikumpulkan dan diangkut oleh petugas kebersihan hanya terjadi pada dua kawasan permukiman tertata dan satu permukiman tidak tertata di zona DAS tengah yang berada di kawasan perkotaan. Petugas kebersihan dari Dinas Ciptakarya mengangkut sampah ke TPS atau TPA. TPA berlokasi di Kecamatan Cibeber, yaitu TPA Pasir Bungur dengan luas areal sebesar 12 Ha dengan sistem open dumping. Tabel 32 Sistem pengelolaan dan penanganan sampah Zona DAS Hulu Tengah Hilir
Pengelolaan Sampah Individual Petugas (%) Kebersihan (%) 100 25 75 100 -
Penanganan Sampah Dibakar Dibuang ke Diangkut ke (%) selokan (%) TPS/TPA (%) 50 50 25 75 100 -
Keterangan: Total sampel 12 kampung
Sumber air bersih untuk keperluan minum dan Mandi Cuci Kakus (MCK) diperoleh masyarakat di wilayah DAS Cianjur sebagian besar dari sumur gali dengan kedalaman bervariasi antara tiga sampai delapan meter, sedangkan sumber air untuk MCK umum diperoleh sebagian besar dari mata air (Tabel 33). MCK umum di lingkungan permukiman tidak tertata yang memanfaatkan air selokan atau sungai sebagai sumber air untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus tidak memenuhi syarat dari segi kesehatan dan mengurangi tingkat pemanfaatan air di
bagian hilir. Hal ini sejalan dengan pendapat Soemirat (1996) jika sungai digunakan untuk mengalirkan air buangan, maka akan terjadi pengurangan manfaat air untuk di daerah hilirnya. Masyarakat di hilir terkena dampak berupa keterbatasan dalam memanfaatkan air karena kondisi air sudah tercemar. Permukiman tidak tertata yang berada di zona hulu DAS sebagian besar memperoleh air bersih untuk keperluan minum dan MCK dari mata air. Sistem pengambilan dan pendistribusian air menggunakan bak-bak penampung, antar bak penampung dihubungkan dengan pipa pvc, sedangkan pendistribusian air dari bak penampungan ke rumah-rumah menggunakan selang plastik. Sumber air minum dan MCK pribadi di zona DAS tengah sebagian besar diperoleh dari PDAM sedangkan untuk MCK umum diperoleh dari mata air dan selokan atau sungai. Sumber air minum dan MCK pribadi di zona DAS hilir diperoleh dari sumur gali sedangkan untuk MCK diperoleh dari mata air dan selokan atau sungai. Tabel 33 Sumber air minum, kamar mandi pribadi, dan MCK umum
Zona DAS Hulu Tengah Hilir
Sumber Air Minum dan MCK Pribadi Mata Sumur PDAM Air Gali (%) (%) (%) 75 25 25 75 100 -
Sumber Air MCK Umum Mata Air (%) 75 50 50
Sumur Gali (%) 25 -
Sungai (%) 50 50
Tabel 34 menunjukkan sebagian besar permukiman di wilayah DAS Cianjur membuang limbah padat dan cair yang berasal dari kamar mandi ke septiktank. Namun sebaliknya untuk limbah yang berasal dari MCK umum dan dapur sebagian besar dibuang ke selokan. Hasil wawancara lebih lanjut terungkap bahwa pembuangan limbah padat maupun cair baik yang berasal dari kamar mandi pribadi, MCK umum maupun dapur ke selokan disebabkan oleh akses selokan lebih mudah dan dari segi biaya lebih murah. Perilaku masyarakat membuang limbah padat dan cair ke selokan atau sungai akan mengakibatkan terjadinya pencemaran air permukaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Reksohadiprodjo (1992) bahwa dengan semakin padatnya penduduk di suatu daerah, maka pencemaran air permukaan tidak bisa dihindari.
Perilaku
masyarakat tersebut akan dapat membahayakan kesehatan
seperti timbulnya
penyakit disentri, tipus, dan kolera. Tabel 34 Tempat pembuangan limbah padat dan cair Zona DAS Hulu Tengah Hilir
Sumber Limbah MCK Umum
KM Pribadi
Dapur
Septiktank %
Selokan /Sungai %
Septiktank %
Selokan/ Sungai %
Kolam %
Selokan/ Sungai %
Saluran Drainase Terbuka %
100 50 100
50 -
25 -
75 100 75
25
100 50 100
50 -
Fasilitas umum yang dimiliki permukiman di wilayah DAS Cianjur berturut-turut sebagai berikut : mesjid dan poskamling, MCK, TPU, posyandu dan kantor RW. Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH), balai pertemuan, dan tempat rekreasi hanya terdapat pada satu permukiman di zona DAS tengah (Tabel 35).Hal ini menunjukkan bahwa hanya permukiman di zona DAS tengah yang memiliki fasilitas umum yang memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 bahwa permukiman sehat harus memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang lengkap seperti taman bermain, tempat rekreasi, pengelolaan sampah, dan penghijauan. Tabel 35 Fasilitas umum di permukiman Fasilitas Umum Zona DAS
Ruang terbuka hijau
Balai pertemuan
Hulu Tengah Hilir
% 25 -
% 25 -
Mesjid
Sarana olahraga
Tempat pemakam an umum
Posyandu
MCK umum
Pos kamling
Kantor RW
Tempat rekreasi
% 100 100 100
% 75 25
% 50 50 50
% 50 -
% 100 50 100
% 100 100 100
% 50 -
% 25 -
Pertemuan warga masyarakat di lingkungan permukiman mencerminkan budaya kebersamaan dalam membangun fasilitas umum dan fasilitas sosial. Masyarakat yang bermukim di wilayah DAS Cianjur sebagian besar melakukan pertemuan warga secara tidak rutin yaitu jika akan ada kegiatan seperti kegiatan keagaman dan peringatan hari kemerdekaan. Namun demikian di zona tengah dan hilir DAS Cianjur terjadi variasi waktu pertemuan warga yaitu : sebulan sekali, tiga bulan sekali dan enam bulan sekali (Tabel 36). Pertemuan warga di dilakukan
dengan tujuan untuk menjalin silahturahmi dan membangun fasum dan fasos yang dibutuhkan oleh warga. Kegiatan pertemuan yang dilakukan di mesjid, madrasah, sekolah, dan balai pertemuan akan membahas prioritas pembangunan fasum atau fasos dan sistem pendanaannya. Kelembagaan yang ada di lingkungan permukiman setingkat kampung tidak terbatas hanya rukun tetangga (RT) dan rukun kampung (RK) atau rukun warga (RW) akan tetapi ada kelembagaan bersifat non formal yang dibentuk berdasarkan kebutuhan dan kesepakatan warga masyarakat. Keberadaan lembaga non formal tersebut didasari dengan tujuan awal untuk pengadaan fasilitas dan pembangunan dilingkungan perkampungan seperti : mesjid, mushala, TPU, jalan lingkungan, sarana olahraga, MCK umum dan pengadaan air bersih. Tabel 36 Kegiatan pertemuan warga permukiman
Zona DAS Hulu Tengah Hilir
Sebulan sekali % 25
Waktu Pertemuan Rutin Tiga Bulan Enam Bulan sekali Sekali % % 50 25 25 -
Tidak Rutin Bila ada kegiatan % 100 25 50
Jenis lembaga non formal yang dibentuk berupa panitia pembangunan. Masing-masing panitia pembangunan memiliki cara-cara tertentu dalam menggalang dana diantaranya melalui pembayaran listrik secara kolektif, zakat qorim dari hasil pertanian, sumbangan sukarela, dan gotong royong pengadaan bahan bangunan. Melalui cara-cara tersebut ternyata cukup efektif sehingga kesinambungan pembangunan fasilitas dilingkungan permukiman terutama permukiman tidak tertata dapat berjalan. 4.3.2 Gaya Hidup Konsumen Dalam Memilih Permukiman 4.3.2.1 Kebutuhan Konsumen Permukiman Gaya hidup, rumah, dan lingkungan merupakan tiga kata serangkai yang saling berkaitan erat dan sangat menentukan dalam pemilihan, penampilan, dan penataan rumah (Yoga 2007). Penawaran berbagai gaya rumah sering kali dipengaruhi trend baik rumah bergaya alami, modern, kontemporer, mediterania,
futuristik, maupun country, yang akan mempengaruhi tampilan suasana perumahan, bentuk rumah, jenis bahan bangunan, cat, keramik, perabotan, dan bentuk taman. Kebutuhan masyarakat sebagai konsumen permukiman meliputi bentuk secara fisik yang terdiri dari: 1) bangunan rumah (konstruksi,luas, bahan bangunan, desain), 2) pekarangan, 3) keamanan, dan 4) kebersihan. Sehubungan dengan kebutuhan tersebut, masyarakat sebagai konsumen akan memiliki kecenderungan untuk mendapatkan yang lebih baik menurut standar yang dipahaminya. Bentuk konstruksi rumah yang diinginkan oleh semua responden adalah bangunan permanen dengan gaya arsitektur modern. Luas tanah atau lahan yang dianggap ideal untuk rumah oleh sebagian besar responden baik di hulu (73.3%), tengah (60%), maupun hilir (66.7%) adalah 120 m2 (Tabel 37). Luas tanah tersebut dianggap cukup ideal dikarenakan: 1) harga jual tanah di lingkungan permukiman tertata jauh lebih tinggi dibandingkan harga di sekitarnya, 2) sebahagian besar konsumen permukiman tertata memiliki jumlah anggota rumah tangga yang kecil yaitu tiga sampai empat orang dengan status ekonomi yang berada pada level menengah ke bawah. Pada luas tanah 120 m2 sebagian besar responden
menginginkan luas bangunan minimal 36 m2 dan sisanya untuk
pekarangan. Pekarangan tersebut dibutuhkan untuk difungsikan sebagai ruang bermain anak, taman, dan jemur pakaian. Tabel 37 Jenis kebutuhan konsumen permukiman Zona Das
Hulu Tengah Hilir
Kebutuhan Konsumen (%) Jenis Konst. Permanen
Luas Tanah 120m2
Luas Bgn 36m2
Pondasi
Dinding
Lantai
Batukali
Batubata
Keramik
Triplek
Gipsum
Genteng
Tembok
Besi
100 100 100
73.3 60 66.7
86.7 73.3 60
100 100 100
100 100 100
93.3 86.7 100
86.7 53.3
66.7 -
100 60 66.7
80 46.7
46.7 -
Plapond
Atap
Pagar
Penggunaan bahan bangunan yang sesuai dengan lokasi hunian dan tepat sesuai dengan fungsinya, maka akan dapat memberikan tingkat kenyamanan yang lebih. Jenis bahan bangunan yang diinginkan responden di wilayah DAS Cianjur sesuai dengan elemen konstruksi bangunan rumah dapat dilihat pada Tabel 43 Pondasi sebagai salah satu elemen konstruksi bangunan yang berfungsi untuk
menahan
beban
di
atasnya
(lantai,
dinding,
plapond
dan
atap)
dan
menyalurkannya secara merata ke tanah keras di bawahnya. Untuk elemen ini, seluruh responden menginginkan batu kali sebagai bahannya. Demikian juga dengan dinding, seluruh responden menginginkan penggunaan batu bata sebagai bahan pembuat dinding, karena batu bata dinilai lebih kuat dari bahan pembuat dinding lainnya seperti batako. Bahan untuk lantai yang diinginkan oleh sebagian besar responden di hulu (93.3%), tengah (86.7%) dan hilir (100%) adalah keramik. Pemilihan keramik ini didasarkan pada pertimbangan yaitu : 1) mudah pemeliharaan, 2) banyak pilihan warna dan motif, dan 3) lebih tahan lama. Bahan plapond yang diinginkan oleh sebagian besar responden di hulu (86.7%) dan hilir (53.3%) adalah triplek, dengan alasan harga lebih murah dan pemasangan lebih mudah. Bahan penutup atap yang diinginkan oleh sebagian besar responden di hulu (100%), tengah (60%) dan hilir (66.7%) adalah
genteng. Dominasi penggunaan genteng disebabkan oleh
kemudahan untuk mendapatkanya dan memberikan kenyamanan karena dapat menyerap panas. Pagar merupakan aksesoris rumah yang berfungsi selain sebagai pembatas juga untuk keamanan. Sebagian besar responden menyatakan memerlukan pagar untuk alasan keamanan. Jenis bahan untuk pagar yang diinginkan oleh sebagian besar konsumen adalah tembok (Tabel 37). Lebih lanjut dengan alasan keamanan, sebagian besar responden memerlukan pemasangan teralis untuk rumahnya. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian yang dilakukan Astuti (2005) tentang perencanaan dan perancangan untuk pengamanan kawasan perumahan kota dari tindak kriminal di empat kawasan perumahan di Bandung yang menemukan bahwa kondisi lingkungan menuntut untuk menciptakan batas-batas kepemilikan yang jelas dengan cara pembuatan pagar, sehingga orang asing merasa tidak nyaman berada di lingkungan tersebut, yang dapat mengurangi dan mencegah terjadinya kegiatan kejahatan. Seluruh responden menginginkan pihak pengembang untuk melengkapi sumur resapan air (SRA) pada setiap rumah yang dipasarkan sesuai dengan tipenya. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Mulyana (1998) di kawasan Puncak tentang penentuan tipe konstruksi sumur resapan air yang menemukan
konstruksi SRA akan efektif berfungsi apabila sesuai dengan tipe rumah, karakteristik fisik dan sosial ekonomi masyarakat. SRA sangat diperlukan pada kawasan permukiman tertata sebagai kompensasi alih fungsi lahan, yang berfungsi untuk menyeimbangkan kembali sistem tata air. SRA dapat ditempatkan di pekarangan rumah (Gambar 23).
Gambar 23 Sumur resapan air pada pekarangan rumah (Sumber: PU Cipta Karya 2003) 4.3.2.2 Tingkat Kepuasan Konsumen Permukiman Tertata Bentuk arsitektur rumah yang ditawarkan atau dipasarkan oleh pengembang berskala menengah kebawah di wilayah DAS Cianjur bernuansa modern. Tabel 44 menunjukkan bahwa konsumen di wilayah sub DAS hulu, tengah dan hilir sebagian besar menyatakan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan pihak pengembang masing-masing 46.7%, 60%, dan 100%. Ketidakpuasan disebabkan oleh dua hal yaitu: 1) pihak pengembang tidak memberikan respon yang baik apabila proses akad kredit telah disetujui antara konsumen, pihak pengembang dan bank pemberi kredit. Artinya bahwa setelah proses akad kredit, terdapat tenggang waktu 100 hari yang diberikan oleh pengembang kepada konsumen untuk mengajukan keberatan terhadap kualitas bangunan seperti kerusakan komponen bangunan dan fasilitas lain. Ketika keberatan diajukan oleh konsumen, pihak pengembang lambat dalam merespon, sehingga bagi konsumen yang memerlukan rumahnya untuk cepat dihuni harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperbaiki kerusakan; dan 2) pihak pengembang menaikkan uang muka secara sepihak. Dalam hal ini konsumen
perumahan dirugikan karena ketika konsumen akan membatalkan pembelian rumah dengan alasan tersebut, konsumen merasa kesulitan untuk menarik kembali angsuran uang muka pertama sehingga dengan pertimbangan tersebut konsumen akhirnya menyetujui kenaikkan yang diajukan pihak pengembang. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Yoeti (2000) bahwa ketidakpuasaan konsumen disebabkan oleh: 1) performance lebih kecil expectation, yang berarti bentuk pelayanan yang diterima kurang baik karena harapan konsumen tidak terpenuhi, dan 2) performance sama dengan expectation, yang berarti pelayanan yang diterima biasa saja. Berdasarkan kedua kategori tersebut, maka ketidakpuasan konsumen dapat disebabkan oleh tingkat pelayanan yang diberikan oleh pihak pengembang tidak bisa memenuhi keinginan dan harapan konsumen. Tabel 38 Persentase tingkat kepuasan terhadap bentuk permukiman tertata Zona DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Atribut Kepuasan Permukiman tertata Gaya Arsitektur Tata ruang Site plan Fasilitas Keamanan Pelayanan Gaya Arsitektur Tata ruang Site plan Fasilitas Keamanan Pelayanan Gaya Arsitektur Tata ruang Site plan Fasilitas Keamanan Pelayanan
Setuju
Kurang Setuju
Tidak Setuju
Ragu-ragu
(%)
(%)
(%)
(%)
66.7 100 100 100 100 20 73.3 46.7 66.7 -
100 33.3 100 20 6.7 26.7 53.3 33.3 80 -
100 46.7 93.3 13.3 60 20 100 100
33.3 66.7 40 -
Keterangan: n = 45
Terdapat beberapa faktor yang dianggap sangat penting bagi konsumen permukiman tertata dalam memilih dan memutuskan untuk membeli rumah, yaitu: 1) lokasi, 2) fasilitas air, listrik, dan telepon, 3) harga terjangkau dan 4) sistem keamanan (Tabel 39). Sebagian besar responden di zona hulu (73.3%), zona tengah (86.7%), dan zona hilir (73.3%) menyatakan bahwa lokasi merupakan indikator yang sangat penting dalam memilih permukiman tertata. Lokasi rumah
yang strategis, kemudahan aksesibilitas dan transportasi dari dan ke tempat tujuan akan sangat membantu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Demikian juga dengan faktor harga sebagian besar responden di hulu (73.3%), tengah (86.7%), dan hilir (73.3%) menyatakan sangat penting sebagai faktor yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih dan memutuskan untuk membeli rumah. Keamanan merupakan faktor yang dianggap sangat penting oleh sebagian besar responden di hulu (60%), tengah (73.3%), dan hilir (60%) dalam memilih suatu kawasan permukiman. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Paccione (1999) bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dalam suatu kawasan permukiman. Pendapat Paccione (1999) tersebut lebih dispesifikkan lagi oleh Sastra (2006) bahwa faktor keamanan meliputi rancangan rumah yang harus memenuhi persyaratan keamanan yaitu kokoh, kuat ,dan mampu melindungi aktivitas penghuni didalamnya. Tabel 39 Persentase faktor terpenting dalam memilih rumah Zona DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Tingkat Kepentingan (%) Sangat tidak penting Tidak penting Penting Sangat penting Sangat tidak penting Tidak penting Penting Sangat penting Sangat tidak penting Tidak penting Penting Sangat penting
Lokasi
Desain
Ruang Terbuka Hijau
Balai pertemuan
Fasilitas air dan listrik
Pengelolaan lingkungan
Sistem keamanan
Tempat rekreasi
Harga Terjangkau
26.7
6.7 26.7 66.7
13.3 86.7
20.0 26.7 53.3
13.3
93.3
40.0
26.7 40.0 33.3
26.7
73.3
-
-
-
86.7
6.7
60.0
-
73.3
13.3
6.7 33.3 60.0
20.0 80.0
6.7 66.7 26.7
26.7
73.3
26.7
13.3 46.7 40.0
13.3
86.7
-
-
-
73.3
26.7
73.3
26.7
26.7 26.7 46.7
6.7 93.3
26.7 66.7 6.7
26.7
93.3
40.0
26.7 40.0 33.3
26.7
73.3
-
-
-
73.3
6.7
60.0
-
73.3
86.7
Faktor yang dianggap penting oleh responden dalam pemilihan rumah diantaranya adalah ruang terbuka hijau (RTH) dan pengelolaan lingkungan. RTH dan ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP) merupakan bagian penting yang menjadi bahan pertimbangan bagi sebagian besar konsumen di hulu (86.7%), tengah (80%), dan hilir (93.3%) dalam memilih dan membeli rumah dalam suatu
kawasan permukiman tertata. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Aurelia (2002) yang meneliti tentang hubungan antara harga penjualan dengan karakteristik perumahan dengan responden konsumen real estate sebanyak 810, yang menemukan bahwa faktor lingkungan yaitu kedekatan ke daerah hijau, ukuran dan keberadaan atau ketidakadaan pemandangan kebun atau taman publik mempengaruhi minat konsumen walaupun berbanding lurus dengan harga. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Bolitzer et al. (2000) di Portland yang menemukan bahwa keberadaan ruang terbuka hijau dilingkungan perumahan akan berpengaruh terhadap nilai jual perumahan. Sebagian besar responden di hulu (93.3%), tengah (73.3%) maupun hilir (93.3%) menganggap penting terhadap pengelolaan lingkungan yaitu pengelolaan air limbah dan sampah. Sistem saluran air di lingkungan permukiman tertata telah direncanakan sejak dari awal sebelum pengerjaan konstruksi bangunan rumah. Namun tidak memperhatikan aspek lingkungan, karena air limbah bekas mandi dan cuci dibuang langsung ke saluran air, sehingga saluran air akan tercemar yang dapat membahayakan penghuni. Hal ini sejalan dengan pendapat Esti (1991) bahwa air bekas limbah dari kamar mandi dan tempat cuci seharusnya tidak langsung dibuang ke saluran air tetapi terlebih dahulu disalurkan ke bak penampung untuk proses pengolahan. 4.3.3 Penilaian Kinerja Kualitas Produk Permukiman Tertata Green consumer pada akhir-akhir ini muncul sebagai upaya perlindungan terhadap kondisi lingkungan yang semakin lama semakin menurun kualitasnya. Hal tersebut mendorong pihak industri untuk mempertimbangkan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh setiap aktifitasnya (Puji dkk. 2004). Produk yang sukses adalah produk yang mampu memberi manfaat sesuai dengan yang dipersepsikan oleh konsumen, sehingga perlu untuk mempertimbangkan kualitas produk berdasarkan kebutuhan dan keinginan konsumen yang sekarang mulai mengarah pada produk yang ramah lingkungan. 4.3.3.1 Kebutuhan Konsumen dan Prioritas Kebutuhan Kebutuhan dan harapan konsumen dijabarkan melalui atribut-atribut kualitas berdasarkan
tiga parameter utama sebagaimana yang dikembangkan
Dammann (2004) dalam enviromental indicator for building (EIFOB) yaitu: konstruksi, fungsi dan estetika. Berdasarkan hasil brainstorming dengan salespeople dan konsumen ahli telah diidentifikasi sebanyak 11 atribut harapan konsumen sebagai atribut primer terhadap produk permukiman tertata yaitu : 1) konstruksi bangunan, 2) bahan bangunan, 3) luas lahan, 4) terjangkau, 5) kesehatan, 6) keamanan, 7) fasum-fasos, 8) ekologis, 9) gaya arsitektur, 10) desain siteplan, dan 11) desain ruang terbuka hijau pekarangan. Selanjutnya dari 11 atribut primer, dalam focus group discussion (FGD) berkembang sehingga diperoleh 21 atribut sekunder (Tabel 40) yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen permukiman tertata dalam memilih produk permukiman tertata yang sehat dan berwawasan lingkungan (Kimseberling). Tabel 40 Atribut kebutuhan konsumen permukiman tertata Primer Konstruksi bangunan Bahan bangunan Luas lahan Terjangkau Kesehatan Keamanan Fasum-fasos
Ekologis Gaya arsitektur Desain siteplan Desan RTHP
Sekunder Kokoh dan kuat Sesuai SNI Sesuai standar min untuk setiap tipe > Standar min untuk setiap tipe Harga kredit atau tunai Aksesibilitas (Angkutan umum) Air bersih Ventilasi udara dan cahaya Sistem keamanan bersama Sistem cluster + satpam Taman dan tempat bermain anak Sarana olahraga Sarana beribadah Bale pertemuan Jalan Pengelolaan sampah Pengelolaan limbah KM/dapur Sumur resapan air Gaya arsitektur Siteplan kawasan Desain RTHP
Selanjutnya fokus grup di wawancarai setelah mendapat informasi tentang kondisi proyek permukiman tertata yang meliputi: spesifikasi bahan bangunan, siteplan, desain arsitektur, harga, sistem kepemilikan, fasum-fasos, dan bank pemberi kredit. Setelah benchmarking antara proyek saat ini dan proyek pesaing, memungkinkan untuk membuat penilaian tingkat kepentingan dari masing-masing atribut (Gambar 24). Fokus grup dapat mengevaluasi perbedaan aspek dari desain saat ini dan membandingkannya dengan proyek-proyek pesaing atau berdasarkan
pengalaman sebelumnya. Untuk tujuan ini, nilai yang digunakan antara 1 sampai 5 (terburuk – terbaik). Gambar 24 merupakan bagian dari matriks rumah kualitas yang memberikan kejelasan mengenai hubungan antara persyaratan konsumen, penilaian konsumen, dan tingkat kepuasaan konsumen. Consumen Rating
Perumahan Mekarsari Regency Perumahan Panorama Cianjur
Perumahan Gading Asri
Tingkat Kepentingan
Atribut Persyaratan Konsumen
Perbandingan antar Pesaing
1
2
Kons.Bgn
Kokoh dan kuat
5
3
4
3
●
Bhn. Bgn
Sesuai SNI
4
3
3
3
●
Luas Lahan
Sesuai std.min untuk setiap tipe
2
3
3
3
> std.min untuk setiap tipe
4
0
0
0
Terjangkau
Kesehatan
Keamanan
Fasumfasos
Ekologis
Estetika
Harga kredit atau tunai
5
3
3
2
Aksesibilitas (Angkutan umum)
4
3
3
3
Air bersih
5
4
3
2
● ● ●
4
2
2
2
2
2
2
2
Sistem cluster + satpam
5
2
4
3
Taman dan tempat bermain anak
4
1
3
2
●
Sarana olahraga
4
3
3
4
●
Sarana beribadah
4
2
3
2
Bale pertemuan
3
0
0
0
5
3
3
3
4
1
2
2
Pengelolaan limbah KM/dapur
3
1
1
1
Sumur resapan air
2
0
0
0
Gaya arsitektur
4
4
4
4
Siteplan kawasan
3
4
3
4
Desain RTH
3
2
3
2
5
●
Ventilasi udara dan cahaya
Jalan
4
●
Sistem keamanan bersama
Pengelolaan sampah
3
● ●
● ● ● ●
● ● ●
Gambar 24 Kebutuhan konsumen dan analisis competitive benchmarking 4.3.3.2 Persyaratan Konsumen (Customer Requirement) Berdasarkan rumah kualitas (Gambar 25) diketahui bahwa dari beberapa atribut harapan pelanggan yakni kekokohan konstruksi bangunan, sistem keamanan, taman bermain, sarana ibadah, dan desain RTH ternyata nilai atribut Permukiman Mekarsari Regensi selalu lebih tinggi dibandingkan dengan Permukiman Gading Asri dan Graha Panorama Cianjur. Hal ini menunjukkan
bahwa
permukiman
tertata
Mekarsari
Regensi
kualitasnya
lebih
baik
dibandingkan dengan dua permukiman tertata pesaingnya. Walaupun demikian, dari atribut kualitas bahan bangunan, luas lahan, keterjangkauan angkutan umum, ventilasi udara dan cahaya, jalan, dan gaya arsitektur, ketiga kawasan permukiman tertata tersebut memiliki kualitas yang sudah sama. Selanjutnya berdasarkan atribut-atribut yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi yaitu: kekokohan konstruksi bangunan, harga jual, ketersediaan air bersih, dan sistem keamanan, ternyata harga jual rumah di permukiman tertata Graha Panorama jauh lebih tinggi dibandingkan harga jual rumah di dua permukiman tertata lainnya untuk tipe 30/72 (luas bangunan 30 m2 dengan luas tanah sebesar 72 m2). Tingginya harga jual rumah di Graha Panorama Cianjur disebabkan harga lahan di lokasi Graha Panorama Cianjur lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga lahan di kedua lokasi pesaingnya. Atribut dengan tingkat kepentingan yang menempati urutan kedua adalah terdiri dari: bahan bangunan, keterjangkauan angkutan umum, ventilasi udara dan cahaya, taman dan tempat bermain, sarana olahraga, sarana ibadah, pengelolaan sampah, dan gaya arsitektur. Berdasarkan bobot terpenting urutan kedua ini, permukiman tertata Mekarsari Regensi memiliki keunggulan dari segi kelengkapan fasilitas umum dan fasilitas sosial yaitu berupa taman bermain dan sarana ibadah dibandingkan dengan produk yang dihasilkan oleh dua permukiman tertata lainnya. Namun dari segi fasilitas olahraga sedikit lebih rendah dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Graha Panorama Cianjur. Pada bobot atribut terpenting urutan kedua yang memiliki kualitas yang sama antara ketiga kawasan permukiman tertata tersebut adalah: kualitas bahan bangunan, ventilasi udara dan cahaya, dan aksesibilitas angkutan umum. Kualitas ventilasi udara dan cahaya mencerminkan tingkat kesehatan dan kenyamanan rumah sebagai tempat tinggal. Oleh karena itu ventilasi udara dan cahaya harus memenuhi syarat minimum sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006. Udara akan sangat berpengaruh dalam menentukan kenyamanan pada bangunan rumah. Kenyamanan akan memberikan kesegaran terhadap penghuni dan terciptanya rumah yang sehat,
++ +
Sesuai SNI Sesuai std.min untuk setiap tipe >std.min untuk setiap tipe
4
LLN
TJK
KES KEA
EKO
EST
2
Harga kredit atau tunai Aksesibilitas (Angkutan umum) Air bersih
4
Ventilasi udara dan cahaya Sistem keamanan bersama
4 2
Sistem cluster + satpam
5
Taman dan tempat bermain anak Sarana olahraga FNF
2
4 4
Sarana beribadah
4
Bale pertemuan
4
Jalan
3
Pengelolaan sampah
4
Pengelolaan limbah KM/dapur
3
Sumur resapan air
2
Gaya arsitektur
4
Siteplan kawasan
3
Pengerjaan infrastuktur, fasum
Pengadaan bahan
³ ³ ³
³ ³
5
5
Pematangan lahan
³
³ ³
³ ³ ³ ³ ³ ³
³ ³ ³
³ ³ ³ ³
³ ³ ³
³ ³
Rasio
BBG
+
Target
5
+
Perum Panorama C.
Kokoh dan kuat
+
+
Perum Mekarsari R.
KBG
Desain Site plan & Konstruksi
Tingkat Kepentingan
+
++
Perum Gading Asri
++
Kegiatan Pemasaran
++
+
Pengerjaan Konstruksi
++
+
3
4
3
5
1.2
3
3
3
4
1.3
3
3
3
5
1.7
0
0
0
4
0
3
3
2
4
1.3
3
3
3
5
1.7
4
3
2
5
1.2
3 1
3 1
3 2
4 3
1.3 1.5
2
4
3
5
1.2
1
3
2
4
1.3
3
3
4
4
1.3
2
3
2
4
1.3
0
0
0
3
0 1.7
3
3
3
5
1
2
2
4
2
2
2
1
4
2
0
0
0
3
0
4
4
4
5
1.2
4
3
4
4
Desain RTH 3 2 3 2 4 Kawasan Permukiman Gading Asri 5 4 4 3 4 4 Kawasan Permukiman Mekarsari Regency 5 4 4 3 4 4 Kawasan Permukiman Panorama Cianjur 5 4 4 4 4 3 Nilai (Tingkat Kepentingan) 496 55 129 101 151 114 Nilai Relatif 0.47 0.05 0.12 0.10 0.15 0.11 Keterangan : KBG=Konstruksi bangunan; BBG=Bahan bangunan; LLN=Luas lahan; TJK=Terjangkau; KES=Kesehatan; KEA=Keamanan; FNF=Fasum dan Fasos; EKO=Ekologis; EST=Estetika
= Kuat (10); ³ = Sedang (5);
= Lemah (1); ++ = Kuat positip; + = Positip
Gambar 25 Rumah kualitas permukiman tertata di DAS Cianjur
1 1.3
apabila terjadi pengaliran atau penggantian udara secara kontinyu melalui ruangan dan lubang-lubang pada bidang pembatas dinding atau partisi sebagai ventilasi. Guna memperoleh kesegaran udara dalam ruangan dengan cara penghawaan alami, maka dapat dilakukan dengan memberikan atau membuat ventilasi silang dengan ketentuan yaitu: 1) lubang penghawaan minimal 5% dari luas lantai ruangan, 2) udara yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar mandi/WC. Ventilasi cahaya juga harus memenuhi persyaratan minimum diantaranya yaitu: 1) lubang cahaya minimum sepersepuluh dari luas lantai ruangan, dan 2) sinar matahari langsung dapat masuk dalam ruangan minimum 1 jam setiap hari. 4.3.3.3 Persyaratan Teknik Beberapa aspek teknik produksi permukiman tertata yang perlu disempurnakan dalam rangka meningkatkan kepuasan pembeli rumah berturutturut mulai dari prioritas pertama adalah: (1) desain konstruksi rumah dan siteplan; (2) pengerjaan konstruksi; (3) pengadaan bahan bangunan; (4) sistem kegiatan pemasaran; (5) pengerjaan infrastruktur dan fasum-fasos; (6) proses pematangan lahan. Peningkatan kualitas menurut Gasperz (1997) akan memberikan dampak positif kepada perusahaan yaitu: (1) dampak terhadap biaya produksi; dan (2) dampak terhadap pendapatan. Dampak terhadap biaya produksi terjadi melalui proses pembuatan produk yang memiliki derajat kesesuaian yang tinggi terhadap standar-standar sehingga bebas dari kemungkinan kerusakan atau cacat. Dengan demikian proses produksi yang memperhatikan kualitas akan menghasilkan produk berkualitas yang bebas dari kerusakan. Hal ini akan menghindarkan terjadinya pemborosan
dan
inefisiensi sehingga ongkos produksi per unit akan menjadi rendah yang pada gilirannya akan membuat harga produk menjadi lebih kompetitif. Dampak terhadap peningkatan pendapatan terjadi melalui peningkatan penjualan atas produk berkualitas yang berharga kompetitif. Produk-produk permukiman tertata berkualitas yang dibuat melalui suatu proses yang berkualitas akan memiliki sejumlah keistimewaan yang mampu meningkatkan kepuasan konsumen
atas
penggunaan
produk tersebut.
Setiap
konsumen akan
memaksimumkan kepuasan dalam betuk pembeliaan produk, sehingga hanya produk-produk yang berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif yang akan dipilih oleh konsumen. Keadaan tersebut mampu meningkatkan penjualan dari produk-produk, yang akan meningkatkan pangsa pasar, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan perusahaan. Pembahasan selanjutnya difokuskan pada upaya peningkatan desain konstruksi rumah dan siteplan, pengerjaan konstruksi, dan pengadaan bahan bangunan sebagai program penyempurnaan proses produksi yang menempati prioritas pertama hingga ketiga berdasarkan nilai tingkat kepentingan. Desain konstruksi rumah dan siteplan memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi dengan nilai 496 dan nilai relatif 0.47 (Gambar 25). Dalam kaitannya dengan perbaikan mutu desain konstruksi rumah dan siteplan tidak terlepas target pasar atau konsumen yang menjadi sasaran pasar, karena berhubungan dengan harga jual. Pengerjaan konstruksi memiliki nilai tingkat kepentingan sebesar 151 dan nilai relatif 0.15 menempati prioritas kedua dalam upaya penyempurnaan teknis produksi permukiman tertata. Pengerjaan permukiman tertata mulai dari tahapan pematangan lahan (cut and fill), pengerjaan sarana dan prasarana lingkungan (jalan, saluran drainase, RTH dan lainnya), sampai tahap pengerjaan konstruksi rumah dilakukan melalui proses tender atau penunjukkan langsung oleh developer terhadap kontraktor sebagai rekanan kerja. Masing-masing sub pekerjaan dikerjakan oleh satu kontraktor. Jadi kualitas rumah beserta sarana dan prasarananya sangat tergantung pada kualitas kontraktor, namun tidak terlepas dari peran developer sebagai pemberi proyek dan sekaligus dalam hal ini sebagai konsultan. Sehubungan dengan itu, yang perlu diperbaiki adalah manajemen pengawasan yang dilakukan pihak pengembang dalam hal ini devisi teknik terhadap kualitas pekerjaan kontraktor. Pengadaan bahan merupakan prioritas ketiga untuk disempurnakan dalam proses produksi permukiman tertata dengan nilai tingkat kepentingan sebesar 129 dan nilai relatif sebesar 0.12. Pengadaan bahan menyangkut jenis bahan, kualitas bahan, dan transportasi pengangkutan. Bahan bangunan sebagai material
sebaiknya mempergunakan bahan bangunan lokal yang terdapat disekitar proyek permukiman tertata.
4.3.3.4 Prioritas Teknik, Benchmarks dan Target Di antara berbagai atribut harapan pelanggan, angka rasio antara target dengan kinerja permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur yang tertinggi mencapai angka rasio 2 (Gambar 25) yaitu terdapat pada atribut pengelolaan sampah
dan pengelola limbah kamar mandi dan dapur. Guna memenuhi
kebutuhan pasar maka diperlukan upaya perbaikan dengan skala prioritas utama terhadap kualitas pengelolaan sampah dan pengelola limbah kamar mandi dan dapur yang dilakukan oleh masing-masing pengembang di wilayah DAS Cianjur yaitu melalui pengadaan dan pembangunan fasilitas pengelolaan sampah sejalan dan unit pengolahan limbah dari kakus berupa septiktank dan bidang resapannya. Ukuran septiktank dapat dibuat sesuai dengan jumlah penghuni dan frekuensi pengurasan (Tabel 41). Tabel 41 Ukuran tangki septiktank dan frekuensi pengurasan
No
1 2 3 4 5
Jumlah pemakai (orang) 5 10 15 20 25
Ukuran Septiktank dan Frekuensi Pengurasan 2 tahun
3 tahun
Panjang (m)
Lebar (m)
Tinggi (m)
Panjang (m)
Lebar (m)
Tinggi (m)
1.6 2.2 2.6 3 3.25
0.8 1.1 1.3 1.5 1.65
1.3 1.4 1.5 1.5 1.6
1.7 2.3 2.75 3.25 3.50
0.85 1.15 1.35 1.60 1.75
1.3 1.4 1.4 1.5 1.6
Sumber: Sukamto 2004 4.3.3.5 Matrik Teknik Korelasi Matrik teknik korelasi digunakan untuk mengidentifikasi dimana technical requirement saling mendukung atau saling mengganggu satu dengan yang lainnya (Marimin 2004). Matrik ini merupakan atap dari rumah kualitas yang menggambarkan keterkaitan antara karakteristik proses produksi yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan itu dapat berupa hubungan kuat positip (++) dan kuat (+).
Atribut-atribut technical requirement yang memiliki hubungan kuat positif adalah : 1) desain konstruksi rumah dan siteplan dengan pengadaan bahan, 2) desain konstruksi rumah dan siteplan dengan pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos, 3) desain konstruksi rumah dan rencana tapak siteplan dengan kegiatan pemasaran, 4) pematangan lahan dengan pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos, 5) pengadaan bahan bangunan dengan pengerjaan konstruksi (Gambar 25). Hubungan tersebut menunjukkan bahwa apabila salah satu atribut mengalami perubahan (naik atau turun) maka akan berdampak kuat pada proses perubahan (kenaikan atau penurunan) yang berkaitan tersebut. Selanjutnya
atribut-atribut
technical
requirement
yang
mempunyai
hubungan positif yaitu : 1) desain konstruksi dan siteplan dengan pematangan lahan, 2) desain konstruksi dan siteplan dengan
pengerjaan konstruksi, 3)
pematangan lahan pengerjaan konstruksi, 4) pematangan lahan dengan kegiatan pemasaran, 5) pengadaan bahan dengan pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos, 6) pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos, dengan pengerjaan konstruksi, 7) pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos dengan kegiatan pemasaran, 8) pengerjaan konstruksi dengan kegiatan pemasaran. Hal ini menunjukkan bahwa antara proses atribut satu dengan proses lain yang berkaitan memiliki keterkaitan yang saling berpengaruh kuat.
4.4 Kesesuaian Lahan Permukiman 4.4.1 Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim-1) Wilayah DAS Cianjur yang dievaluasi seluas 7 476. 2 ha. Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman menunjukkan bahwa kesesuaian lahan untuk permukiman (KLKim-1) penduduk di wilayah DAS Cianjur didominasi oleh kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) seluas 4 406.1 ha atau 59% selebihnya adalah kelas kesesuaian S3 (sesuai marginal) 2 217.7 ha atau 29.7%, kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai) seluas 813 ha atau 10.9%, dan kelas kesesuaian N1 (tidak sesuai) seluas 30.4 ha atau 0.4% (Tabel 42). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian kecil (10.9%) wilayah DAS Cianjur berpotensi untuk pengembangan permukiman.
Tabel 42 Luas lahan berdasarkan kelas kesesuaian lahan permukiman di wilayah DAS Cianjur Zona DAS
Kecamatan Pacet
Hulu (3111.1 ha)
Cugenang
Sub Total Cugenang
Cianjur Tengah (3219 ha) Karang tengah Cilaku Karang tengah Karang tengah
Sub Total Sukaluyu Hilir (1137.1 ha)
Karang tengah
Sukaluyu Sub Total
Total
Nama Desa Ciputri Ciherang Galudra Sukamulya Nyalindung Cibeureum Mangunkerta Cijendil Sukamanah Gasol Mekarsari Limbangansari Sawah Gede Bojong Herang Pamoyanan Solok Pandan Sayang Sukamaju Muka Sabandar Munjul Sukamanah Bojong Sindang Asih Maleber Langen Sari Sukasari Babakan Sari Babakan Caringin Tanjung Sari Selajambe Sukasirna Hegarmanah
Kesesuaian Lahan Permukiman (Ha) Sangat Cukup Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Marginal Sesuai 95.5 625.6 10.5 44.6 253.1 0.5 223.6 163.3 0.2 46.3 386.5 6.2 15.5 402.2 13.0 257.0 123.3 2.0 269.7 53.5 0.5 16.1 0.0 20.2 82.2 22.7 1050.6 2007.4 30.4 140.2 96.3 87.0 34.1 27.7 122.9 31.5 21.7 138.2 118.7 28.1 82.7 73.6 282.7 31.8 4.8 3.3 21.4 335.5 431.4 0.0 33.1 198.4 58.9 693.4 -
279.7 13.6 280.3 225.8 2510.0 8.1
15.1 0.4 15.6 189.3
96.9 96.9 813.0
211.1 329.4 266.1 3.4 27.3 845.5 4406.1
0.7 1.1 3.6 194.7 2217.7
30.4
Kesesuaian lahan permukiman di zona DAS hulu, tengah dan hilir masingmasing secara berturut-turut didominasi oleh kelas sesuai marginal seluas 2 007.4 ha, cukup sesuai seluas 2 510 ha, dan cukup sesuai seluas 845.5 ha. Adapun
penyebaran kelas kesesuaian lahan untuk permukiman disajikan pada Gambar 26. Lahan yang tidak sesuai untuk permukiman secara administratif berada di lima desa di wilayah Kecamatan Pacet dan Cugenang dan secara ekologis berada di wilayah DAS Cianjur bagian hulu. Dominasi kelas tidak sesuai pada sebagian besar desa di zona DAS hulu disebabkan kondisi topografi wilayah yang berada pada kemiringan lereng > 20%, ketinggian > 1000 m dpl dan curah hujan > 2000 mm/tahun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sekeon (2005) tentang kesesuaian lahan bangunan dengan pendekatan geo-environmental evaluation di Kabupaten Bogor, bahwa kesesuaian lahan bangunan berada di daerah-daerah yang memiliki kemiringan lahan relatif datar. Kondisi lahan tersebut termasuk lahan yang kritis untuk permukiman sebagaimana yang diungkapkan oleh Sani (2006) bahwa salah satu ciri-ciri lahan kritis untuk permukiman adalah memiliki kemiringan lereng curam sehingga tidak layak dari segi kenyamanan hunian dan keamanan penghuni permukiman, karena akan rentan terhadap gerakan longsor. Hal ini sejalan dengan pendapat Edi (2007) bahwa telah terjadi degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam yang digunakan untuk permukiman. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Esmali (2003) dan Kelarestaghi (2003) di Iran bahwa faktorfaktor yang memicu gerakan longsor adalah faktor litologi, kelerengan, penggunaan lahan, faktor jalan, presipitasi, ketinggian di atas permukaan laut, arah lereng (aspect), presipitasi, jarak dari jalan, dan jarak dari patahan atau sesar.
4.4.2
Kesesuaian Lahan Permukiman dengan Constrain (KLKim-bwl) Permukiman merupakan area tanah yang digunakan sebagai lingkungan
tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan, sehingga kondisi permukiman tidak hanya dapat memberikan nuasa kenyamanan penghuni tetapi juga keamanan penghuni dari bahaya atau ancaman bencana alam sesuai dengan pendapat Sani (2006). Oleh karena itu kesesuaian lahan untuk permukiman perlu mempertimbangkan faktor-faktor fisik yang lebih spesifik dan dominan berpengaruh pada kestabilan dan keberlanjutan lahan permukiman. Sehubungan dengan itu, diperlukan parameter-parameter constrain sebagai pembatas utama dalam menentukan kesesuaian lahan permukiman.
10 7°0 0 '
10 7°3 '
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 '
6°45'
6°45'
C ih e ra ng C ip utri
N ya lin du ng
Ga lud ra
C ib e ur eu m
Suk a m uly a M a ng un ke r ta
6°48'
Suk a sir na
6°48'
C ije dil
B ab ak a n C a rin gin H eg ar m a na h Sela ja m be
Ga s ol M e k ar sa ri Lim b ar
Mu ka B uh er an g Sab a nd ar S olo k P a n da n
B ojon g Ma leb e r Suk a sa ri
Pam oy an a n Saw ah ge de
Ta njun g S a r i Say a ng
Suk a m a na h S ind an ga s ih B ab ak a n S a r i La ng en Sa ri Mu njul
6°51'
6°51'
S uk a m a ju
10 7°0 0 '
10 7°3 '
P E TA K E S E S U AIAN L AH AN P E R M U K IM AN D AS C IAN JU R K AB U P AT E N C IAN JU R N
10 7°6 '
0
2
4 Kilo m e te rs
10 7°1 2 '
K ete ra n g an : S un g a i
K es e s u aia n La h a n P er m u k im a n :
Ja la n
S an g a t S e su a i
B ata s D e s a
C u ku p S e s ua i
B ata s D A S 2
10 7°9 '
S es u a i M a rg ina l Tid a k S e su a i
Lo k a s i P e n elitian
Gambar 26 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-1) 118
Parameter constrain yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kemiringan lereng > 15% (Esmali 2003; Hadiwigeno 2007; Kelarestaghi 2003; Sani 2006; dan Van der Zee 1990), elevasi > 1000 (Esmali 2003 dan Kelarestaghi 2003), kepekaaan tanah terhadap erosi sangat peka (Hadiwigeno 2007 dan Sani 2006) dan bahaya terhadap letusan Gunung Gede. Melalui parameter constrain ini, akan terwujud kesesuaian lahan permukiman yang berwawasan lingkungan (KLKim-bwl). Hasil analisis kesesuaian lahan untuk permukiman setelah dilakukan tumpang susun antara peta kesesuaian lahan untuk permukiman (KLKim-1) dengan peta-peta yang menjadi constrain (peta kemiringan lereng, elevasi, kepekaan tanah terhadap erosi dan bahaya letusan gunung) menunjukkan bahwa terjadi pergeseran kelas kesesuaian lahan di zona DAS hulu yaitu kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) menjadi kelas N1 (tidak sesuai) sebesar 1 033.1 ha sehingga total luas lahan permukiman yang tidak sesuai sebesar 1 063.5 ha (Tabel 43). Lahan yang tidak sesuai untuk permukiman seluas 1 063.5 ha berada di wilayah Desa Ciputri, Ciherang, Galudra, Sukamulya, Nyalindung, Cibeureum, dan Mangunkerta (Gambar 27). Posisi wilayah tersebut berada pada elevasi lebih dari 1000 m dpl dengan kemiringan lereng > 15%, dan curah hujan yang tinggi > 2500 – 3000 mm/tahun, maka seharusnya lahan tersebut diperuntukan untuk fungsi konservasi yaitu
sebagai
kawasan
lindung. Hal ini sejalan dengan konsep Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) bahwa daerah pegunungan yang curam dan memiliki curah hujan yang tinggi dijadikan kawasan dengan fungsi lindung. Hal tersebut didukung Keputusan Presiden No. 54 tahun 2008 yang menyatakan bahwa zona hulu DAS Cianjur terutama wilayah Kecamatan Pacet dan Cugenang merupakan kawasan kritis lingkungan, sehingga diperlukan upaya konservasi.
4.4.3 Penyediaan Lahan dan Kesesuaian Lahan Permukiman Kebutuhan lahan untuk permukiman sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga konversi lahan untuk permukiman akan terus terjadi.
Wilayah DAS Cianjur sebagian besar berpotensi untuk dikonversi menjadi lahan permukiman sesuai dengan kelas kesesuaian lahan untuk permukiman yaitu sangat sesuai seluas 813 ha dan cukup sesuai seluas 4 406.1 ha. Tabel 43 Luas lahan pada kelas kesesuaian lahan permukiman (KLKim- bwl) Zona DAS
Kecamatan Pacet
Hulu (3111.1 ha)
Cugenang
Sub Total Cugenang
Cianjur Tengah (3219 ha) Karang Tengah Cilaku Karang tengah
Sub Total Sukaluyu Karang tengah Hilir (1137.1 ha)
Sukaluyu
Sub Total Total
Nama Desa Ciputri Ciherang Galudra Sukamulya Nyalindung Cibeureum Mangunkerta Cijendil Sukamanah Gasol Mekarsari Limbangansari Sawah Gede Bojong Herang Pamoyanan Solok Pandan Sayang Sukamaju Muka Sabandar Munjul Sukamanah Bojong Sindang Asih Maleber Langen Sari Sukasari Babakan Sari Babakan Caringin Tanjung Sari Selajambe Sukasirna Hegarmanah
Kesesuaian Lahan Permukiman (Ha) Sangat Cukup Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Marginal Sesuai 95.5 474.6 161.4 44.6 228.9 24.7 223.6 45.1 118.4 46.3 20.4 372.3 15.5 39.6 375.6 257.0 123.1 0.1 2.0 269.7 42.6 11.0 0.5 16.1 0.0 20.2 82.2 22.7 1050.6 974.3 1063.5 140.2 96.3 87.0 34.1 27.7 122.9 31.5 21.7 28.1 73.6
3.3 21.4 0.0 33.1 198.4 58.9 693.4
96.9
96.9 813.0
138.2 118.7 82.7 282.7 31.8 4.8 335.5 431.4 279.7 13.6 280.3 225.8 2510.0 8.1 211.1 329.4 266.1 3.4 27.3 845.5 4406.1
15.1 0.4 15.6 189.3 0.7 1.1 3.6
194.7 1184.6
1063.5
10 7°3 '
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 ' 6°45'
6°45'
10 7°0 0 '
C ih e ra ng C ip ut ri
N ya lin du ng
Ga lud ra
C ib e ur eu m
S uk a m uly a M a ng un ke r ta
6°48'
S uk a sir na
6°48'
C ije dil
B ab ak a n C a rin gin H eg ar m a na h Sela ja m be
Ga s ol M e k ar sa ri Lim b ar
M u ka B uh er an g S ab a nd ar S olo k P a n da n
B ojon g M a leb e r S uk a sa ri
Pam oy an a n S aw ah ge de
Ta njun g S a r i S ay a ng
Suk a m a na h S ind an ga s ih B ab ak a n Sa r i La ng en S a ri M u njul
6°51'
6°51'
S uk a m a ju
10 7°0 0 '
10 7°3 '
P E TA K E S E S U AIAN L AH AN P E R M U K IM AN D AS C IAN JU R K AB U P AT E N C IAN JU R N
10 7°6 '
0
2
4 Kilo m e te rs
10 7°1 2 '
K ete ra n g an : S un g a i
K es e s u aia n La h a n P er m u k im a n :
Ja la n
S an g a t S e su a i
B ata s D e s a
C u ku p S e s ua i
B ata s D A S 2
10 7°9 '
S es u a i M a rg ina l Tid a k S e su a i
Lo k a s i P e n elitian
Gambar 27 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) 121
Konversi lahan untuk permukiman perlu mempertimbangkan aspek luas hutan dan ketersediaan ruang terbuka hijau. Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mensyaratkan bahwa dalam satu wilayah minimal 30 persen dialokasikan untuk hutan, selanjutnya dalam Undang-undang Penataan Ruang No 26 tahun 2007 pasal 29 mensyaratkan ketersediaan RTH minimal 30 persen. Berdasarkan pertimbangan kedua aspek diatas, maka lahan-lahan yang dapat dikonversi menjadi lahan permukiman di wilayah DAS Cianjur adalah lahan semak belukar, tanah terbuka, pertanian lahan kering bercampur semak dan sebagian kecil sawah. Luas lahan yang dapat dikonversi berjumlah 916.3 ha (Lampiran 2). Lahan yang dapat dikonversi menjadi permukiman sebagian besar (92.6%) berada di zona DAS tengah, selebihnya berturut-turut di zona hilir dan zona hulu sebesar 7.3% dan 0.1%. Berdasarkan luas lahan yang dapat dikonversi tersebut, wilayah DAS Cianjur akan tetap memiliki hutan seluas 842.2 ha dan sawah seluas 2 318 ha. 4.4.4
Penyebaran Permukiman Existing pada Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim-bwl) Wilayah DAS Cianjur yang memiliki luas sebesar 7 476. 2 ha. Berdasarkan
Peta penggunaan lahan hasil interprestasi citra landsat tahun 2006 menunjukkan bahwa lahan yang dipergunakan untuk permukiman memiliki luasan pada urutan kedua yaitu sebesar 2 058.1 ha setelah lahan sawah seluas 2 729.6 ha. Hal ini akan mengakibatkan kecilnya tingkat resapan air hujan dan memperbesar aliran permukaan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sinukaban (2001) bahwa luasan permukiman berkontribusi besar terhadap kemungkinan timbulnya bahaya banjir, seperti yang terjadi di wilayah DAS Ciliwung yang mana berdasarkan luas permukiman dan nilai koefisien limpasan daerah permukiman adalah yang terbesar memberikan kontribusi terhadap banjir Ciliwung. Hasil tumpangsusun penyebaran permukiman eksisting dengan kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) menunjukkan bahwa penyebaran lokasi permukiman eksisting mendominasi kesesuaian lahan permukiman kelas S2 (cukup sesuai) seluas 1 644 ha atau 79.9 % yaitu berada hampir di seluruh desa di wilayah DAS Cianjur (Tabel 44). Lokasi permukiman eksisting yang berada
pada lahan dengan kelas kesesuaian lahan N1 (tidak sesuai) seluas 8.3 ha atau 0.4% dari luas total permukiman yang berada di wilayah DAS Cianjur. Permukiman tersebut berada pada zona DAS hulu
yaitu di Desa Ciputri dan
Ciherang Kecamatan Pacet serta Desa Galudra dan Nyalindung Kecamatan Cugenang (Gambar 28). Tabel 44 Luas permukiman eksisting pada kesesuaian lahan permukiman Zona DAS
Kecamatan Pacet
Hulu Cugenang
Sub Total Cugenang
Cianjur
Tengah Karang Tengah Cilaku
Karang tengah Karang tengah Sub Total Sukaluyu Karang tengah Hilir Sukaluyu Sub Total Total
Nama Desa Ciputri Ciherang Galudra Sukamulya Nyalindung Cibeureum Mangunkerta Cijendil Sukamanah Gasol Mekarsari Limbangansari Sawah Gede Bojong Herang Pamoyanan Solok Pandan Sayang Sukamaju Muka Sabandar Munjul Sukamanah Bojong Sindang Asih Maleber Langen Sari Sukasari
Kesesuaian Lahan Permukiman (Ha) Sangat Cukup Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Marginal Sesuai 32.8 41.1 4.1 10.0 58.0 2.0 19.0 0.3 0.9 1.3 1.1 0.8 2.0 51.3 0.3 0.2 18.3 0.2 0.2 0.4 5.1 5.9 13.9 18.1 28.1 40.6
2.6 5.6 0.0 22.0 48.9 34.1 225.1
Babakan Sari Babakan Caringin 48.7 Tanjung Sari Selajambe Sukasirna Hegarmanah 48.7 274.2
16.8 150.2 2.7 3.2 31.7 30.8 99.3 70.5 82.7 210.9 7.3 4.4
101.8
8.3
122.3 139.1 101.0 3.2 70.9 59.8 1039.9 1.4 77.6 156.8 203.0 1.1 13.9 453.9 1644.0
2.4 0.2 2.7 24.0 0.0 0.1 3.0
27.1 131.6
8.3
10 7°3 '
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 ' 6°45'
6°45'
10 7°0 0 '
C ih e ra ng C ip utri
N ya lin du ng
Ga lud ra
C ib e ur eu m
S uk a m uly a Ma ng un ke r ta
6°48'
Suk a sir na
6°48'
C ije dil
B ab ak a n C a rin gin H eg ar m a na h Sela ja m be
Ga s ol Me k ar sa ri Lim b ar
Mu ka B uh er an g Sab a nd ar S olo k Pa n da n
B ojon g M a leb e r Suk a sa ri
Pam oy an a n S aw ah ge de
Ta njun g S a r i Say a ng
Suk a m a na h Sind an ga s ih B ab ak a n Sa r i La ng en Sa ri Mu njul
6°51'
6°51'
Suk a m a ju
10 7°0 0 '
10 7°3 '
P E TA K E S E S U AIAN L AH AN P E R M U K IM AN D AN P E R M U K IM AN E X IS T IN G D AS C IAN JU R K AB UP AT E N C IAN JU R N
2
0
2
4 Kilo m e te rs
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 '
Ke te ra n ga n : Su n g a i J ala n Ba ta s D e s a Ba ta s D A S
Tu tu p a n L a h a n: H u ta n L ah a n K erin g S e k un d e r H u ta n T an a m a n In d u s tri (H TI) Pe rk e b u na n Pe rm u k im an Ke s e s u a ian L a h an P e rm uk im a n : Pe rta n ia n la h a n k erin g b e rc am p u r d gn s e m a k Sa n g a t Se s u a i Sa w a h Cu k u p S es u a i Se m a k /B elu k a r Se s u a i M a rg in a l Ta n a h Te rb u k a Tid a k S e s ua i
Lo k a s i P e n elitian
Gambar 28 Peta penyebaran permukiman existing pada kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) 124
Keempat
lokasi
permukiman
tersebut
berada
pada
lahan dengan
kemiringan lereng > 15%, elevasi antara 1000 – 1200 m dpl dengan sifat tanah yang sangat peka terhadap erosi dan berada pada ring I bahaya letusan Gunung Gede, sehingga permukiman tersebut sangat rentan terhadap bahaya longsor dan bencana alam. Oleh karena itu keberadaan permukiman tersebut tidak memenuhi persyaratan kesehatan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/ Menkes/ SK /VII /1999 bahwa salah satu syarat kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman adalah lokasinya tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, dan daerah gempa. Sehubungan dengan penggunaan lahan untuk permukiman, sebenarnya masyarakat Sunda memiliki kearifan lokal berupa larangan membangun pada lahan-lahan tertentu (Tabel 45). Menurut budaya Masyarakat Sunda terdapat sepuluh jenis lahan yang dilarang untuk dijadikan tempat permukiman. Lahanlahan tersebut dilarang untuk dibangun diantaranya dengan alasan teknologi konstruksi dan sanitasi. Lahan yang dilarang dibangun dengan alasan teknologi konstruksi adalah: 1) catang nonggeng; 2) garenggengan; 3) dangdang wariyan; dan 4) lemah laki. Selanjutnya karena alasan sanitasi adalah: 1)hunyur; dan 2) jaryan. Tabel 45 Lahan-lahan yang dilarang dibangun menurut Masyarakat Sunda
1
Lahan Larangan (tidak layak huni) Lebak atau lurah
2 3
Rancak Catang nunggang
4 5 6 7 8 9 10
Catang nonggeng Garunggungan Garengggengan Dangdang wariyan Hunyur Lemah laki Jaryan
No
Karakteristik Lahan Lantai jurang atau tanah rendah, terlindung dari pandangan dan sinar matahari. Lahan yang dikurung oleh batu-batu besar sehingga sulit dihampiri Sepetak lahan yang di tengahnya dipisahkan oleh suatu selokan atau ngarai namun dihubungkan melalui suatu jembatan alami dari cadas atau karang Lahan yang keletakannya pada lereng yang curam Lahan membukit kecil Lahan yang kering permukaannya tetapi dibawahnya berlumpur Lahan yang legok di tengah dan kedap air sehingga menggenang Bukit kecil Lahan berbentuk dinding curam Lahan tempat pembuangan sampah
Sumber: Atja dan Danasasmita 1981 Sejalan dengan larangan tersebut, menurut Atja dan Danasasmita (1981) terdapat
beberapa
alasan
berkenan
secara
teknologi
konstruksi
tidak
memungkinkan dibangun yaitu: 1) masyarakat Sunda sebagai masyarakat agraris dan demokratis, lahan-lahan sempit semacam itu tidak memungkinkan adanya keadilan dalam pengkaplingannya. Sebagian akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar daripada sebagian besar kelompoknya. Sehingga mengakibatkan pertikaian yang sangat dihindari oleh masyarakat agaris dan menimbulkan kecemburuan sosial; 2) memerlukan tenaga, bahan dan waktu jauh lebih besar untuk dapat membangun pada lahan-lahan semacam itu, sehingga akan terjadi pemborosan. Pemborosan untuk satu pribadi atau kelompok atas tanggungan banyak pribadi lain dalam suatu masyarakat yang demokratis adalah dosa; dan 3) tidak mungkin diperoleh dalam luasan yang cukup untuk permukiman atau kampung pada lahan berbukit. Keberadaan permukiman penduduk pada saat ini di lahan yang tidak sesuai untuk permukiman terutama di wilayah zona DAS hulu memerlukan perhatian dan pengelolaan sesuai dengan fungsi zona DAS hulu sebagai fungsi konservasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sinukaban (2001) bahwa di kawasan permukiman perlu ditekan nilai koefisien limpasan menjadi serendah mungkin. Penurunan koefisien limpasan dapat dilakukan dengan membuat pedoman dalam menerapkan agar air hujan di setiap rumah atau bangunan tidak dialirkan ke selokan, tetapi diresap ke dalam tanah atau ke dalam sumur resapan. Masyarakat penghuni permukiman secara khusus perlu didorong untuk menerapan sistem insentif rehabilitasi lahan dalam melakukan upaya memperbaiki atau mengembalikan fungsi lahan sesuai peruntukkannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Putro et al. (2003) bahwa insentif rehabilitasi lahan diperlukan untuk memotivasi masyarakat untuk melakukan tindakan yang bertujuan memperbaiki pengelolaan DAS melalui rehabilitasi lahan. Sistem insentif rehabilitasi lahan harus didukung dengan upaya pembatasan pertumbuhan permukiman diwilayah yang tidak sesuai peruntukannya melalui pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana pemanfaatan ruang untuk permukiman menurut RTRW Kabupaten Cianjur tahun 2005 -2015 adalah seluas 48 437 ha yang dikembangkan pada kawasan dengan kriteria sebagai berikut: 1) kemiringan lahan < 15%; 2) ketersediaan air terjamin; 3) aksesibilitas baik; 4) tidak berada pada wilayah rawan bencana; 5) dekat dengan pusat kegiatan. Wilayah DAS
Cianjur yang memiliki kriteria seperti disebutkan dalam RTRW berada diwilayah sub DAS tengah dan hilir. Sehubungan dengan itu, Jika Pemda Kabupaten Cianjur konsisten terhadap arahan pengembangan permukiman sesuai dengan RTRW, maka tidak akan terjadi konversi lahan pada zona DAS hulu. Karena wilayah DAS Cianjur menurut hasil pemetaaan kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) sebagian besar atau seluas 1 899.1 ha (61%) tidak direkomendasikan sebagai lahan untuk pengembangan permukiman. Undang-undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui pemberian insentif dan disinsentif.
Bentuk
pemberian
insentif
perlu
mempertimbangkan
aspek
kepemilikan lahan dan bangunan, karena permukiman eksisting yang berada pada lahan tidak sesuai terdiri dari bangunan rumah penduduk asli dan bangunan villa yang dimiliki oleh bukan penduduk asli. Sehubungan dengan itu, terdapat dua langkah dapat ditempuh yaitu : 1. Bagi masyarakat pemilik bangunan dan lahan yang merupakan penduduk asli dapat diberikan insentif berbasis pemberdayaan untuk mengadopsi teknikteknik pengelolaan permukiman ramah lingkungan. 2. Bagi pemilik bangunan dan lahan yang bukan penduduk asli perlu ditegakkan peraturan tentang: 1) pajak lingkungan atas manfaat yang diperolehnya, dan 2) keharusan untuk melakukan upaya rehabilitasi sebagai mengkompensasi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam penggunaan lahan. Beberapa bentuk insentif dan disinsentif yang diusulkan untuk diterapkan sebagai usaha untuk meminimalkan dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan lahan tidak sesuai untuk permukiman, yang sudah terlanjur digunakan dapat direhabilitasi. Bentuk insentif yang diberikan berupa penyuluhan berbasis pemberdayaan masyarakat sebagai penghuni permukiman. Melalui jalur ini penghuni permukiman diberikan pengetahuan tentang-teknik konservasi tanah dan air dengan skala pengelolaan pada unit permukiman yaitu berupa pemanfaatan ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim), ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP), dan pengelolaan limbah (Tabel 46).
Tabel 46 Bentuk rehabilitasi yang diusulkan Bentuk Rehabilitasi Berbasis Pemberdayaan Penghuni Permukiman Teknik Fungsi/Manfaat Pengelolaan/konservasi 1 Insentif Penyuluhan: RTHKim Konservasi dan sosial Pemanfaatan Konservasi dan ekonomi pekarangan (RTHP) Mengurangi bahaya erosi dengan tanaman Mengurangi aliran air permukaan multistrata Meresapkan air Pengolahan limbah Mengurangi dampak pencemaran lingkungan 2 Disinsentif Pajak lingkungan Kompensasi penyimpangan penggunaan lahan Sumber: Modifikasi dari Putro et al. 2003; dan UU RI No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang No
Jenis
Ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim) dalam wilayah DAS dirancang multifungsi untuk fungsi konservasi dan sosial. Keberadaan RTHKim pada setiap unit perkampungan di wilayah DAS akan sangat membantu fungsi konservasi terutama di zona DAS hulu sebagai daerah tangkapan air dan sebagai tempat bersosialisasi antara warga. Ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP) diarahkan untuk memiliki multifungsi yaitu fungsi konservasi dan ekonomi. Sesuai dengan hasil penelitian Arifin (1998), luas pekarangan minimum yang bisa ditanami berbagai serata tanaman adalah 100 m2. Pekarangan dengan luas 100 m2 akan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan konservasi dan memberikan kontribusi bagi pemilik atau masyarakat dari segi ekonomi.
4.5
Rumusan Kriteria Permukiman Sehat Berwawasan Lingkungan Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan dibangun berdasarkan
hasil tiga kajian dalam penelitian ini yaitu pola permukiman, spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan permukiman, serta kesesuaian lahan permukiman. Kriteria ini dibangun dengan mempertimbangkan aspek teknis meliputi kenyamanan, keamanan penghuni permukiman dan keselarasan antara permukiman dan fungsi dari masing-masing zona DAS. Permukiman yang berada di wilayah DAS harus mampu mengkompensasi fungsi-fungsi DAS dari hulu hingga hilir, sehingga keberadaan permukiman tidak mengganggu terhadap fungsi DAS. DAS bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS yaitu perlindungan dari segi fungsi tata
air. DAS bagian tengah dan hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi. Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan (SEBERLING) terdiri dari: 1) pola permukiman pada masing-masing kelas kesesuaian lahan permukiman yang meliputi ukuran, tingkat kepadatan dan tipe permukiman; dan 2) spesifikasi bangunan rumah sehat secara teknis, ekologis dan ekonomis pada masing-masing kelas kesesuaian lahan permukiman yang meliputi jenis konstruksi rumah, pengelolaan sampah, limbah cair dan padat, dan pemanfaatan pekarangan. Matrik hubungan antara kelas kesesuaian lahan permukiman (sangat sesuai, cukup sesuai dan sesuai marginal) dengan pola permukiman dan spesifikasi bangunan rumah yang selanjutnya menjadi kriteria permukiman SEBERLING untuk masing-masing zona DAS. 4.5.1 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sangat Sesuai Kriteria
permukiman
SEBERLING
pada
kelas
kesesuaian
lahan
permukiman sangat sesuai untuk masing-masing zona DAS dapat dilihat pada Tabel 47. Permukiman SEBERLING di zona DAS hulu memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil-sedang artinya bahwa dalam satu kampung jumlah penduduk maksimal 500 orang atau jumlah rumah tidak lebih dari 100 unit . 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan potensi lingkungan yang dapat dimanfaatkan berupa sinar matahari, vegetasi, aliran angin dengan baik sehingga bangunan memenuhi syarat kesehatan dan ekologis. 3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim). RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman. 4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung. Penggunaan konstruksi rumah panggung berdasarkan pertimbangan secara teknis dan ekologis bahwa
rumah panggung memiliki beberapa keunggulan seperti: building converage yang rendah, tahan terhadap gempa bumi, dan menggunakan bahan bangunan lokal, sehingga fungsi konservasi di wilayah hulu dapat terpenuhi. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi kesegaran udara dan kenyamanan bagi penghuni. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal seperti bambu, dan bilik. 8. Penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimal seluas 10% dan 90% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya. Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah hulu terpenuhi melalui mata air. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan.
Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman sedang artinya bahwa dalam satu kampung jumlah penduduk maksimal 2000 orang atau jumlah rumah tidak lebih dari 400 unit, yang dilengkapi dengan RTH Kim. 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. 3. Permukiman memiliki tipe plaza atau streetplan artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau posisi rumah ditata secara beraturan. 4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung, semi permanen atau permanen. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah sebagian besar menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 20% dan 80% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman cukup tersedia dan memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih berasal dari mata air atau sumur gali. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
Tabel 47 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman sangat sesuai Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas Zona Kesesuaian DAS Lahan Hulu
Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria
Kecil-sedang Jarang Linier & Plaza
Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur
Kriteria
Panggung Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 10% Mata air, sumur gali Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan)
Sangat Sesuai Tengah
1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman
Sedang Jarang Linier & Streetplan
1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur -Resapan
Panggung dan semi permanen Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 20% Mata air dan sumur gali Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan)
132
Lanjutan Tabel 47 Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas Zona Kesesuaian DAS Lahan
Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman
Sangat Sesuai
Hilir
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria
Sedang Jarang Linier & Streetplan
Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur -Resapan
Kriteria Panggung, semi permanen dan Permanen Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 30% Sumur gali Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan)
133
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman sedang artinya bahwa dalam satu kampung jumlah penduduk maksimal 2000 orang atau jumlah rumah tidak lebih dari 400 unit, yang dilengkapi dengan RTH Kim. 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. 3. Permukiman memiliki tipe plaza atau streetplan artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau posisi rumah ditata secara beraturan. 4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung, semi permanen atau permanen. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 30% dan 70% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman cukup tersedia dan memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih berasal dari sumur gali atau PDAM.
10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. 4.5.2 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Cukup Sesuai Tabel 48 menunjukkan kriteria permukiman SEBERLING yang menempati lahan pada kelas kesesuaian cukup sesuai. Permukiman SEBERLING di zona DAS hulu memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu kampung jumlah rumah tidak lebih dari 20 unit yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni dalam bekerja di lahan pertanian dengan tipe permukiman berkelompok membentuk plaza yang dilengkapi RTH kim di pusatnya. 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. 3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim). RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman. 4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung. Konstruksi rumah panggung digunakan pada lahan dengan kelas kesesuaian cukup sesuai dengan pertimbangan untuk keamanan penghuni dan memperbesar fungsi resapan air. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah.
6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah/permukiman menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal seperti bambu, dan bilik. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya. Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah hulu terpenuhi melalui mata air. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu kampung jumlah rumah tidak lebih dari 20 unit yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni dalam bekerja di lahan pertanian dengan tipe permukiman berkelompok membentuk plaza yang dilengkapi RTH kim di pusatnya. 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan.
3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim). RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman. 4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung atau semi permanen. Konstruksi rumah panggung dan semi permanen digunakan pada lahan dengan kelas kesesuaian cukup sesuai dengan pertimbangan untuk keamanan penghuni dan memperbesar fungsi resapan air. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal seperti bambu dan bilik. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya. Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah tengah terpenuhi melalui sumur gali atau mata air. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu kampung jumlah rumah tidak lebih dari 20 unit yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni dalam bekerja di lahan pertanian dengan tipe permukiman berkelompok membentuk plaza yang dilengkapi RTH kim di pusatnya. 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. 3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim). RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman. 4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung atau semi permanen. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya.
Tabel 48 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman cukup sesuai Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas Zona Kesesuaian DAS Lahan Hulu
Cukup Sesuai
Tengah
Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman
1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria
Kecil Jarang Streetplan & Plaza
Kecil - Sedang Jarang Streetplan & Plaza
Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur
Kriteria Panggung Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 10% Mata air, sumur gali Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) Panggung dan semi permanen Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 15% Mata air dan sumur gali Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan)
139
Lanjutan Tabel 48 Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas Kesesuaian Lahan
Zona DAS
Pola Permukiman
Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman
Cukup Sesuai
Hilir
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat
Kriteria Kecil - Sedang Jarang Streetplan & Plaza
Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur
Kriteria Panggung dan semi permanen Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 20% Sumur gali dan PDAM Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan)
140
Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah hilir terpenuhi melalui sumur gali atau PDAM. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan.
4.5.3
Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sesuai Marginal Tabel 49 menunjukkan beberapa kriteria permukiman SEBERLING yang
berada pada lahan dengan kelas kesesuaian sesuai marginal. Permukiman SEBERLING di zona DAS hulu memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu permukiman terdiri dari 20 unit rumah yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni dalam bekerja di lahan pertanian. 2. Kepadatan bangunan sangat jarang artinya letak bangunan rumah dan pekarangan satu dengan lainnya berjauhan. Diantara pekarangan rumah yang satu dengan lainnya terdapat kebun. 3. Permukiman memiliki tipe linier artinya posisi bangunan rumah berjajar linier. 4. Bangunan rumah dengan jenis konstruksi rumah panggung. Rumah panggung merupakan arsitektur tradisional sunda yang secara teknis dan ekologis memiliki beberapa keunggulan seperti: building converage yang rendah, tahan terhadap gempa bumi, dan menggunakan bahan bangunan lokal. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai
6. Bangunan rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal seperti bambu dan bilik guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 5% dan 95% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih di lingkungan permukiman berasal dari mata air. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan.
Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu permukiman terdiri dari 20 unit rumah. 2. Kepadatan bangunan sangat jarang artinya letak bangunan rumah dan pekarangan satu dengan lainnya berjauhan. 3. Permukiman memiliki tipe linier artinya posisi bangunan rumah berjajar linier. 4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai.
6. Bangunan rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 10% dan 90% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih di lingkungan permukiman berasal dari mata air atau sumur gali. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu permukiman terdiri dari 20 unit rumah. 2. Kepadatan bangunan sangat jarang artinya letak bangunan rumah dan pekarangan satu dengan lainnya berjauhan. 3. Permukiman memiliki tipe linier artinya posisi bangunan rumah berjajar linier. 4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai 6. Bangunan rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2.
7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal seperti bambu dan bilik guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih di lingkungan permukiman berasal dari sumur gali atau PDAM. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan.
4.6 Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan Konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan dibangun menggunakan pendekatan teori ilmu lingkungan (Soerjani 1987) dan permukiman berkelanjutan (Camant 2001; Silas 2001). Teori ilmu lingkungan memadukan tiga aspek
yaitu
ekologi,
ekonomi,
dan
sosial.
Pembangunan
permukiman
berkelanjutan merupakan penggabungan arsitektur fisik lingkungan, teknologi dan desain lanskap berkelanjutan berupa efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan lahan, efisisensi penggunaan material, penggunaan teknologi dan material baru, dan manajemen limbah.
Tabel 49 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman sesuai marginal Kelayakan Lahan Permukiman Kelas Zona Kesesuaian DAS Lahan Hulu
Sesuai Marginal
Tengah
Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman
1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria
Kecil Sangat Jarang Linier
Kecil Sangat Jarang Linier
Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur
Kriteria Panggung Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 5% Mata air Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) Panggung Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 10% Sumur gali dan PDAM Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan)
145
Lanjutan Tabel 49 Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas Zona Kesesuaian DAS Lahan
Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman
Sesuai Marginal
Hilir
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria
Kecil Sangat Jarang Linier
Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur
Kriteria Panggung Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 15% Sumur gali dan PDAM Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan)
146
Konsep permukiman SEBERLING merupakan perpaduan antara aspek ekologi, ekonomi, sosial dalam bidang permukiman (Gambar 29). Aspek ekologi dari permukiman SEBERLING merupakan perpaduan antara: (1) kesesuaian lahan permukiman berwawasan lingkungan yang dibangun berdasarkan parameter ekologi, ekonomi, dan sosial; (2) pola permukiman berwawasan lingkungan terdiri dari ukuran, tipe kepadatan bangunan, dan tipe permukiman; (3) elemen rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan dan lingkungan ; dan (4) sarana pengelolaan permukiman yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya aspek ekologi dalam konsep permukiman SEBERLING dijabarkan dalam bentuk kriteria pada masing-masing zona DAS, dengan demikian konsep permukiman SEBERLING ini merupakan satu kesatuan ekosistem yang memiliki keterkaitan secara biofisik. Konsep Permukiman SEBERLING Ekonomi
Ekologi Konsep
Sosial
Gambar 29 Skema konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan
Konsep Permukiman SEBERLING di zona DAS hulu yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Pola permukiman di zona DAS hulu harus memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Ukuran permukiman kecil-sedang; 2) Kepadatan bangunan jarang; 3) tipe permukiman plaza. 2. Bangunan rumah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) jenis konstruksi rumah panggung; 2) rumah memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar
0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai; 3) rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2; 4) rumah menggunakan bahan bangunan lokal; 5) penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimal seluas 15% dan 85% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan. 3. Permukiman harus memiliki sarana pengelolaan lingkungan yang meliputi: 1) ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman terpenuhi melalui mata air; 2) sarana pengelolaan sampah; 3) sarana MCK umum yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan; dan 4) saluran drainase tertutup untuk menyalurkan air buangan MCK umum dan rumah ke selokan atau sungai. Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Pola permukiman di zona DAS tengah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1)Ukuran permukiman sedang; 2) Kepadatan bangunan jarang; 3) tipe permukiman memiliki tipe plaza atau streetplan; 2. Bangunan rumah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) jenis konstruksi rumah panggung atau permanen; 2) rumah memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai; 3) rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2; 4) rumah menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal; 5) penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimal seluas 20% dan 80% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan; 3. Permukiman harus memiliki sarana pengelolaan lingkungan yang meliputi: 1) air bersih di lingkungan permukiman cukup tersedia dan memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih berasal dari mata air atau sumur gali; 2) pengelolaan sampah pada skala kampung; 3) sarana MCK yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan air; 4) saluran drainase tertutup. Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Pola permukiman di zona DAS hilir memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) ukuran permukiman sedang; 2) Kepadatan bangunan jarang; 3)
tipe
permukiman plaza atau streetplan. 2. Bangunan rumah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1)jenis konstruksi rumah panggung atau permanen; 2) rumah memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai; 3) luas rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2; 4) rumah menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal; 5) penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimum seluas 40% dan 60% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan. 3. Permukiman memiliki sarana pengelolaan lingkungan yang meliputi: 1) ketersediaan air bersih cukup tersedia dan memenuhi kebutuhan penghuni, sumber air bersih berasal dari sumur gali atau PDAM; 2) sarana pengelolaan sampah; 3) sarana MCK yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan air; 4) saluran drainase tertutup. Aspek sosial dari permukiman SEBERLING adalah berupa kelembagaan masyarakat dalam mengelola lingkungan di wilayah DAS Kelembagaan komunitas dibangun berdasarkan kondisi masyarakat yang tinggal di wilayah DAS. Kelembagaan bisa bersifat formal atau informal tergantung pada kebutuhan dan ruang lingkupnya. Kelembagaan ini berada pada setiap unit permukiman terkecil yaitu kampung untuk masing-masing zona DAS. Lembaga ini yang akan merencanakan pembangunan fasilitas umum dan sosial dilingkungan permukiman yang bertumpu pada karakter dari masing-masing wilayahnya, sehingga lembaga ini dapat menjadi sarana dalam mengimplementasikan aturan pembangunan yang berbasis DAS. Selain itu lembaga ini salah satu fungsinya adalah mengelola dana subsidi keberlanjutan (SKL). Aspek ekonomi dari permukiman SEBERLING adalah berupa subsidi keberlanjutan yaitu pemanfaatan dan pengelolaan dana kompensasi dalam penggunaan lahan. Subsidi Keberlanjutan (SKL) merupakan dana kompensasi pemanfaatan lahan untuk permukiman dari masyarakat yang berada pada satu DAS. Secara ekosistem zona DAS memiliki keterkaitan secara biofisik sehingga
segala bentuk pengelolaan permukiman pada satu zona akan berpengaruh pada zona lainnya. Perilaku pengelolaan dan pemanfaatan lahan untuk permukiman perlu diberikan kompensasi. Bentuk kompensasi pengelolaan dapat didasarkan pada prinsip user pays principle atau polluter pays principle. Melalui kedua prinsip tersebut diharapkan keterkaitan zona hulu, tengah, dan hilir menjadi satu kesatuan perilaku yang saling menjaga, memelihara, dan melestarikan fungsi DAS. Perilaku pengelolaan lingkungan permukiman yang positif di zona hulu akan didukung oleh zona tengah dan hilir, begitu juga sebaliknya.