IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Rekonstruksi Gelugu Kayu kelapa merupakan salah satu bahan struktur yang sangat potensial karena ketersediaannya cukup besar dan mudah ditemukan di halaman rumah, perkebunan rakyat maupun perkebunan besar.
Balok kayu kelapa secara
tradisional telah dimanfaatkan untuk kuda-kuda, gording, usuk, dan reng rangka atap rumah-rumah di pesisir pantai selatan Jawa. Selain dalam bentuk balok atau papan, beberapa struktur khusus seperti tiang pancang dan tumpukan gelugupenyangga terowongan pertambangan tidak memerlukan batang berbentuk geometri balok tetapi cukup dalam bentuk gelondongan (gelugu) sebagai komponen strukturnya. Pemanfaatan kayu kelapa dalam bentuk gelugu memiliki keistimewaan daripada dalam bentuk balok, karena proses penggergajian dari gelugu menjadi balok menghilangkan bagian terluar kayu kelapa padahal bagian ini memiliki sifat fisis mekanis terbaik. Evaluasi sifat fisis mekanis gelugu sampai saat ini belum pernah dilakukan, tetapi evaluasi contoh kecil bebas cacat (ckbc)-nya telah dilakukan secara intensif. Kayu kelapa ckbc sangat bervariasi, sehingga dapat diperoleh potongan kayu kelas kuat V hingga I karena berat jenisnya berkisar 0,3 – 1,2. Sifat fisis mekanis kayu kelapa ckbc sangat heterogen, namun memiliki keteraturan yang lebih baik daripada kayu konvensional.
Rahayu (2006)
menyampaikan bahwa semakin ke arah tepi, nilai berat jenis kayu kelapa meningkat, demikian pula dengan MOE, MOR, dan kekerasannya. Wardhani (2005) melaporkan hal serupa yaitu kerapatan tertinggi terdapat pada pangkal, sedangkan terendah terdapat pada empulur, demikian pula dengan MOE dan MOR-nya. Disebutkan pula bahwa kerapatan, MOE, dan MOR kayu kelapa mengikuti persamaan linier negatif dari pangkal ke ujung sehingga bagian ujung lebih rendah daripada bagian pangkal. Pengujian ckbc sebagaimana dilaporkan Wardhani (2005) dilakukan pada kadar air kesetimbangan (12%-18%) sehingga variasi kadar air maupun kelembaban (RH) diabaikan pula.
Sifat fisis mekanis gelugu yang meliputi kerapatan, sifat elastis (3 Modulus Elastisitas, 3 Modulus Geser, dan 6 Poisson’s rasio), serta kekuatan (MOR, kekuatan tekan sejajar serat, kekuatan tekan tegak lurus serat, kekuatan geser sejajar serat, kekuatan geser tegak lurus serat, dan kekuatan tarik sejajar serat) sangat penting diketahui agar dapat mendesain dengan baik.
Kerapatan Gelugu Kerapatan kayu kelapa ckbc berkisar 0,3 – 1,2 kg/cm3.
Kerapatan
tertinggi terletak pada bagian tepi pangkal batang, sedangkan terendah terletak pada bagian pusat ujung batang.
Analisis data dengan menggunakan regresi
bertatar menghasilkan persamaan terbaik sebagai berikut : =0,722-0,312z+0,00333r2-0,0258t+0,0198zt+0,00047tr2 (n=140; R2(adj)=74,61%; Sd=0,123).
Persamaan tersebut disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 14. Gambar 14(a) dan 14(b) memperlihatkan kerapatan kayu kelapa ckbc secara kuadratik berbeda berdasarkan posisi horisontalnya. Untuk setiap lempengan kayu kelapa, titik pusat batang merupakan titik balik fungsi kuadratik sehingga kerapatan terendah tepat berada di pusat batang. Keberadaan titik balik di pusat batang juga menunjukkan bahwa sumbu ordinat (x=0) membelah potongan tepat menjadi dua bagian yang simetris. Hal ini menunjukkan bahwa posisi arah mata angin pada saat pohon kelapa tumbuh berdiri tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan kayunya. Kerapatan kayu belahan sebelah Timur sama dengan kerapatan kayu belahan sebelah Barat.
Kondisi ini terjadi karena pada kedua pohon kelapa
sampel, sinar matahari bukan merupakan faktor pembatas penting yang mempengaruhi pertumbuhannya. Kedua pohon kelapa tersebut hidup di tanah datar tanpa naungan sehingga mendapatkan cukup sinar matahari, baik pada pagi ataupun sore hari. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui pengaruh arah mata angin pada kayu dari pohon kelapa yang tumbuh di lereng gunung atau tepi pantai yang mendapatkan intensitas cahaya matahari yang berbeda ekstrim pada pagi dan sore hari sepanjang pertumbuhannya. Pada pohon
35
konifer dan daun lebar yang mengalami perbedaan intensitas cahaya ekstrim, sifat fisis mekanis kayu pada tiap sisinya berbeda karena pertumbuhan sekunder terjadi dengan kecepatan berbeda sehingga empulur tidak berada tepat di pusat batang. b)
1.4
Pohon I kerapatan (kg/cm3)
1 0.8 0.6 0.4 0.2
-13
-11
-9
-7
tinggi=0,5 m tinggi=8,5 m
c)
0 -5 -3 -1 1 3 5 jarak dari titik pusat (cm) tinggi=2,5 m tinggi=4,5 m tinggi=10,5 m tinggi=12,5 m
9
11
0
d)
kerapatan (kg/cm3)
kerapatan (kg/cm3)
tinggi=0,5 m tinggi=8,5 m
2
3
4
5
1.2
6 7 8 9 10 11 posisi ketinggian (m) r=2 cm r=4 cm r=10 cm r= 12 cm
12
6 7 8 9 10 11 posisi ketinggian (m) r=2 cm r=4 cm r=10 cm r= 12 cm
12
13
14
15
r=6 cm
Pohon II
1
0.4
-7
1
r=0 cm r=8 cm
0.6
-9
0.4
tinggi=6,5 m tinggi=14,5 m
0.8
-11
0.6
13
0.2
-13
1 0.8
0
7
1
0 -5 -3 -1 1 3 5 jarak dari titik pusat (cm) tinggi=2,5 m tinggi=4,5 m tinggi=10,5 m tinggi=12,5 m
Pohon I
0.2
1.2
Pohon II
1.4 1.2
1.2
kerapatan (kg/cm3)
a)
0.8 0.6 0.4 0.2 0
7
9
11
tinggi=6,5 m tinggi=14,5 m
13
0
1
2
3
r=0 cm r=8 cm
4
5
13
14
15
r=6 cm
Gambar 14. Kerapatan kayu kelapa ckbc pohon 1 berdasarkan posisi (a) horisontal (b) vertikal; dan pohon 2 berdasarkan posisi (c) horisontal (d) vertikal; Gambar 14(a) dan 14(c) menunjukkan pula bahwa kayu kelapa ckbc memiliki kerapatan lebih tinggi bila semakin jauh posisinya dari pusat batang. Pola sebaran kerapatan kayu kelapa secara horisontal dari tepi-pusat-tepi mengikuti persamaan kuadratik. Kurva kuadratik semakin terjal dengan semakin tinggi posisi lempengan dari atas tanah. Kemiringan (slope) kurva kuadratik mengikuti persamaan d/dr=0,00666r+0,000984tr, sehingga semakin terjal dengan semakin tinggi posisi vertikalnya. Pada lempengan pangkal batang, kurva kuadratik lebih mendatar daripada lempengan ujung batang. Hal ini menunjukkan bahwa selisih kerapatan pada jarak tertentu dari pusat ke tepi batang pada lempengan pangkal lebih rendah dibanding lempengan ujung. Kerapatan kayu lempengan ujung lebih heterogen dibanding lepengan pangkal. Heterogenitas yang tinggi pada lempengan ujung daripada lempengan pangkal ini terlihat dengan lebih ekstrimnya perbedaan antar dua potongan pada jarak yang sama dari
36
pusat batang. Namun karena diameter batang bagian ujung lebih kecil daripada pangkal, selang kerapatan lebih sempit pada bagian ujung daripada bagian pangkal. Pada pohon 1 selang kerapatan lempengan ujung berkisar 0,3-0,6 kg/cm3, dan lempengan pangkal berkisar 0,7-1,2 kg/cm3. Pada pohon 2 selang kerapatan lempengan ujung berkisar 0,3-0,6 kg/cm3, dan lempengan pangkal berkisar 0,4-1 kg/cm3.
Seandainya taper pohon kelapa bernilai 1 sehingga
diameter ujung sama dengan diameter pangkal, maka selang kerapatan bagian ujung akan lebih lebar daripada pangkal. Penyebaran kerapatan kayu kelapa secara vertikal (pangkal-tengah-ujung) mengikuti pola linier. Wardhani (2005) menyatakan bahwa semakin ke ujung kerapatan kayu kelapa semakin berkurang.
Gambar 14(b) dan 14(c)
memperlihatkan bahwa pola tersebut berlaku untuk potongan pusat (core) kayu kelapa.
Pada pusat kayu kelapa, kerapatan menurun dengan semakin tinggi
posisinya di dalam batang. Pola ini terjadi pada potongan pusat batang hingga jarak sejauh ±7 cm ke tepi pada pohon 1, dan ±4 cm pada pohon 2. Pola sebaliknya terjadi pada potongan selebihnya hingga tepi batang. Pada potongan tepi ini kerapatan semakin tinggi dengan semakin tinggi posisi vertikalnya di dalam batang; dari pangkal ke ujung kerapatan kayu kelapa tepi semakin naik. Pola penyebaran kerapatan kayu kelapa pada posisi horisontal dan vertikal tersebut selanjutnya dipergunakan untuk menduga kerapatan gelugu rekonstruksi. Kerapatan gelugu rekonstruksi merupakan berat gelugu hasil rekonstruksi dibagi dengan volumenya, sehingga perhitungan teoritis dilakukan secara bertahap melalui estimasi berat, volume, dan selanjutnya kerapatan. Perhitungan teoritis ini menggunakan prinsip-prinsip kalkulus dan geometri analitis. Model kerucut terpancung merupakan model ideal untuk rekonstruksi gelugu yang lebih mendekati kenyataan.
Gelugu memiliki taper, sehingga
diameter ujung lebih kecil daripada diameter pangkalnya.
Namun demikian
perubahan diameter tersebut tidak terlalu besar dibandingkan pohon konifer maupun daun lebar. Model kerucut terpancung yang dipergunakan disajikan pada Gambar 15. Pada penelitian ini, bentuk geometri ideal gelugu diasumsikan
37
sebagai sebuah lingkaran yang terbentuk dari komponen-komponen berukuran sangat kecil berbentuk mirip persegi panjang. T
T1
T0 dr rd r
T R1 R0
R0
Gambar 15. Model rekonstruksi gelugu berbentuk kerucut terpancung (silindris bertaper) (penampang lingkaran ujung berjari-jari R1 dan pangkal R0, serta tinggi T1-T0) Gambar 15 memperlihatkan bahwa penampang lingkaran pada gelugu, dibentuk oleh komponen-komponen sangat kecil yang mirip persegi panjang. Untuk sudut d sangat kecil, maka rumus-rumus persegi panjang cukup memadai untuk menghitung luas area tiap komponen sehingga balok kecil dengan ukuran penampang rd dr dan tinggi dt dapat dihitung volumenya (dv) dengan rumus : dv=rd dr dt. Setiap potong komponen ini memiliki kerapatan yang mengikuti persamaan:
= f(r,t), sehingga berat setiap komponen (dw) adalah: dw=dv= f(r,t)rd dr dt. Dengan demikian berat seluruh balok kayu kelapa (W) sepanjang T1-T0 adalah: T1 R 2π
T1 R
T0 0 0
T0 0
W fρ (r, t)rddrdt 2π fρ (r, t)rdrdt
Seperti disampaikan sebelumnya, sebaran kerapatan (=f(r,t)) kayu kelapa ckbc pada setiap posisi vertikal dan horisontalnya dapat didekati dengan persamaan : =0,722-0,312z+0,00333r2-0,0258t+0,0198zt+0,00047tr2 (n=140; R2(adj)=74,61%; Sd=0,123). Dengan demikian berat gelugu untuk pohon 1 dan 2 dapat dinyatakan dengan persamaan :
38
T1 R
W 2 0,722 - 0,312z 0,00333r 2 0,0258t 0,0198zt 0,00047tr 2 rdrdt T0 0
R
T1
0,00333 2 0,00047 2 2 W 0,722 - 0,312z r 0,0258t 0,0198zt tr r dt 2 2 0 T0 T1
0,00333 2 0,00047 2 2 W 0,722 - 0,312z R 0,0258t 0,0198zt tR R dt 2 2 T0
Namun jari-jari maksimum gelugu semakin ke ujung semakin kecil, sehingga jarijari maksimum setiap ketinggian tertentu perlu dihitung pula. Jari-jari pohon 1 pada ketinggian 0,5 m adalah 13 cm, dan pada ketinggian 14,5 m adalah 5,5 cm. Sehingga lebar jari-jari batang kelapa pohon 1 pada tiap ketinggian dapat dinyatakan dengan: RI 14,5 t
7,5 5,5 13,267 - 0,536t (Catatan: R dalam cm dan t dalam m) 14
Sedangkan jari-jari pohon 2 pada ketinggian 0,5 m adalah 14,5 cm, dan pada ketinggian 14,5 m adalah 6 cm sehingga lebar jari-jari pohon 2 pada setiap ketinggian adalah: RII 14,5 t
9 6 15,321 - 0,643t (Catatan: R dalam cm dan t dalam m) 14
Oleh karena itu untuk pohon 1, berat setiap sortimen gelugu sepanjang T0-T1 adalah: T1
0,00333 13,267 - 0,536t 2 0,0258t 0,00047 t 13,267 - 0,536t 2 13,267 - 0,536t 2 dt W 0,722 2 2 T0
Persamaan di atas dapat dipecah menjadi 4 suku, yaitu: T a. 0,72213,267 - 0,536t 2 dt = 0,722 13,267 - 0,536t 3 1
- 0,536 * 3
T0
T1
T1
T0
b. 0,00333 13,267 - 0,536t 4 dt = 0,00333 13,267 - 0,536t 5 T0
- 0,536 * 10
2
T1
T0
T1
T1
c. 0,0258t 13,267 - 0,536t 2 dt = 0,0258 13,267 2 t - 2 * 13,267 * 0,536t 2 0,536 2 t 3 dt T0
T0
= 0,0258 13,267 t 2 - 2 * 13,267 * 0,536 t 3 0,536 t 4 2 3 4 2
2
T1
T0
39
T d. 0,00047 t 13,267 - 0,536t 4 dt = 1
2
T0
T1
0,00047 13,267 4 2 4 * 13,267 3 * 0,536 3 6 * 13,267 2 * 0,536 2 4 4 * 13,267 * 0,536 3 5 0,536 4 6 t t t t t 2 3 4 5 6 2 T
0
Berat sortimen gelugu sepanjang T0-T1 merupakan jumlah keempat suku tersebut. Oleh karena itu apabila pembagian batang pohon kelapa 1 dilakukan untuk setiap potongan sepanjang 2 meter dari pangkal ke ujung maka diperoleh sortimen dengan berat seperti disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Berat sortimen gelugu dari pohon 1 Sortimen ke1 2 3 4 5 6 7
Tinggi (m) Pangkal (To) Ujung (T1) 0 2 2 4 4 6 6 8 8 10 10 12 12 14
Berat (x100g) 326 263 205 153 109 73 46
Sortimen gelugu yang diperoleh dari pohon 2 dapat direkonstruksi dengan cara serupa. Berat setiap potongan gelugu dari pohon kedua dapat dinyatakan dengan: T1
0,00333 2 0,00047 2 2 W 0,41 R 0,006t tR R dt 2 2 T0 T1
0,00333 15,321 - 0,643t 2 0,006t 0,00047 t 15,321 - 0,643t 2 15,321 - 0,643t 2 dt W 0,41 2 2 T0
Untuk kemudahan perhitungan persamaan di atas dipecah menjadi 4 suku yaitu: T1
T
1 0,41 a. 0,4115,321 - 0,643t dt = 15,321 - 0,643t 3 - 0,643 * 3 T0 T0
2
T
T1
1 0,00333 b. 15,321 - 0,643t 4 dt = 0,00333 15,321 - 0,643t 5 2 - 0,643 * 10 T0 T0
T1
T1
2 2 c. 0,006t 15,321 - 0,643t dt = 0,006 15,321 t 2 - 2 * 15,321 * 0,643 t 3 0,643 t 4 3 4 2 T0 T0 2
40
T1
d. 0,00047 t 15,321 - 0,643t 4 dt T0
2
T1
0,00047 15,3214 2 4 * 15,3213 * 0,643 3 6 * 15,3212 * 0,643 2 4 4 * 15,321 * 0,643 3 5 0,643 4 6 t t t t t 2 3 4 5 6 2 T0
Dengan demikian berat setiap sortimen gelugu yang diperoleh dari pohon kedua dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Berat sortimen gelugu dari pohon 2 Sortimen ke1 2 3 4 5 6 7
Tinggi (m) Pangkal (To) Ujung (T1) 0 2 2 4 4 6 6 8 8 10 10 12 12 14
Berat (x100g) 350 293 234 177 128 87 55
Volume kayu gelondongan (log) pada umumnya dihitung sebagai volume benda silindris. Besarnya jari-jari yang dipergunakan pada rumus volume adalah jari-jari rataan pangkal dan ujung sehingga volume gelugu dinyatakan pula dengan : R R1 v1 0 T1 T0 2 2
Rumus volume (v1) tersebut merupakan pendekatan berbias dari volume benda sebenarnya, karena pendekatan volume silindris tidak sesuai dengan bentuk geometris gelugu yang lebih mendekati bentuk kerucut terpancung. Berdasarkan Gambar 15, volume gelugu dapat dinyatakan dengan : v2
R 3
0
2
T T0 R12 T T1 ,
dan disederhanakan menjadi: R 2 R0 R1 R12 T1 T0 v2 0 3
Selain kedua rumus di atas, pendekatan volume benda putar yang diperoleh melalui metode integrasi dapat pula digunakan untuk menghitung volume gelugu.
41
Volume benda berbentuk kerucut terpancung dapat dihitung dengan mengikuti rumus volume benda putar (Purcell 1981) yaitu: T1
v 3 h(t ) dt . 2
T0
Sesuai dengan rumus tersebut setiap sortimen gelugu sepanjang (T1-T0) yang diperoleh dari pohon ke-1 adalah: T1
v 3 13,267 0,536t dt = 2
T0
0,536 * 3
T1
13,267 0,536t 3 T
0
dan dari pohon ke-2 adalah: T1
v3 15,321 0,643t dt = 2
T0
0,643 * 3
15,321 0,643t 3
T1
T0
Berdasarkan ketiga rumus volume tersebut di atas, volume sortimen gelugu yang diperoleh dari pohon 1 disajikan pada Tabel 20, sedangkan yang diperoleh dari pohon 2 disajikan pada Tabel 21. Pendekatan volume silindris menderita bias sistematik, sehingga volume hasil perhitungan selalu lebih kecil daripada kenyataan. Hasil perhitungan dengan rumus volume silindris lebih kecil dari dua pendekatan lainnya dengan selisih sebesar R1 R0 2 T1 T0 . 12
Sedangkan pendekatan dengan rumus volume
kerucut terpancung identik dengan pendekatan volume benda putar. Selisih yang terjadi pada kedua pendekatan tersebut hanya disebabkan pembulatan desimal dalam proses pengerjaan. Namun untuk keperluan praktis, perbedaan pendekatan silindris dengan dua lainnya masih sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Oleh karena itu pendekatan silindris masih cukup baik untuk menghitung volume sortimen gelugu meskipun menderita bias sistematik. Sementara itu pendekatan kerucut terpancung dan volume benda putar adalah pendekatan ideal yang lebih mendekati kenyataan. Tabel 20 dan 21 memperlihatkan pohon 2 memiliki dimensi batang lebih besar daripada pohon 1 sehingga volumenya pun lebih besar. Meskipun ditebang pada umur sama, faktor genetik dan lingkungan pertumbuhan dapat menghasilkan
42
perbedaan kecepatan pertumbuhan. Kedua faktor tersebut menyebabkan pohon 2 memiliki riap volume lebih tinggi daripada pohon 1. Tabel 20. Volume sortimen gelugu dari pohon 1 berdasarkan rumus silindris (v1), kerucut terpancung (v2), dan benda putar (v3). Sort. ke1 2 3 4 5 6 7
Tinggi (m)
Volume (x100cm3) Ujung (R1) v1 v2 v3 12 324,2 324,4 324,3 11 271,9 272,1 272,1 10 224,3 224,5 224,4 9 181,2 181,4 181,3 8 142,7 142,9 142,8 7 108,8 109,0 108,9 6 79,5 79,7 79,5 Rataan 190,4 190,6 190,5
Jari-jari (cm)
Pangkal (T0)
Ujung (T1)
Pangkal (R0)
0 2 4 6 8 10 12
2 4 6 8 10 12 14
13 12 11 10 9 8 7
Tabel 21. Volume sortimen gelugu dari pohon 2 berdasarkan rumus silindris (v1), kerucut terpancung (v2), dan benda putar (v3). Sort. ke1 2 3 4 5 6 7
Tinggi (m) Pangkal (T0)
0 2 4 6 8 10 12
Ujung (T1)
2 4 6 8 10 12 14
Volume (x100cm3) Ujung (T1) v1 v2 v3 14 430,9 431,2 431,2 13 358,7 359,0 359,0 11 293,2 293,4 293,4 10 234,2 234,5 234,4 9 181,9 182,1 182,1 8 136,1 136,4 136,3 6 97,0 97,3 97,2 Rataan 247,4 247,7 247,7
Jari-jari (cm) Pangkal (T0)
15 14 13 11 10 9 8
Kerapatan benda merupakan besaran sifat fisis yang telah sangat dikenal. Kerapatan menunjukkan berat benda per unit volumenya. Kerapatan berkaitan erat dengan sifat fisis dan mekanis material sehingga menjadi salah satu besaran penting yang perlu diketahui untuk berbagai aplikasi. Kerapatan kayu berkaitan erat dengan sifat mekanis kayu seperti modulus elastisitas (MOE), keteguhan lentur patah (MOR), kekerasan, keteguhan tekan, keteguhan tarik, dll. Kerapatan juga berkaitan dengan beban mati yang diterima struktur akibat berat sendiri. Oleh karena itu kerapatan setiap sortimen gelugu yang akan dipergunakan sebagai material struktur perlu diketahui. Kerapatan sortimen gelugu yang diperoleh dari pohon kelapa 1 dan 2, disajikan pada Tabel 22. Kerapatan sortimen gelugu dipilih
43
dengan volume silinder sebagai penyebutnya karena untuk batang pendek (2 m) dan taper kecil, bias sistematik yang terjadi dapat diabaikan. Tabel 22. Kerapatan sortimen gelugu dari pohon 1 dan 2 Tinggi (m) Pohon 1 Pohon 2 SortiBerat Berat men Pangkal Ujung Volume Kerapatan Volume Kerapatan ke(T0) (T1) (x100 gr) (x100 cm3) (gr/cm3) (x100 gr) (x100 cm3) (gr/cm3)
1 2 3 4 5 6 7
0 2 4 6 8 10 12
2 4 6 8 10 12 14 Rataan
326 263 205 153 109 73 46 168
324,2 271,9 224,3 181,2 142,7 108,8 79,5 190.4
1,01 0,97 0,91 0,84 0,76 0,67 0,58 0.82
350 293 234 177 128 87 55 189
430,9 358,7 293,2 234,2 181,9 136,1 97,0 247,4
0,81 0,82 0,80 0,76 0,70 0,64 0,57 0,73
Seperti terlihat pada Tabel 22, kerapatan gelugu yang diperoleh dari pohon 1 memiliki pola serupa dengan pohon 2. Secara umum kerapatan gelugu bagian pangkal lebih tinggi daripada bagian ujung. Namun kerapatan gelugu pohon 2 lebih rendah daripada pohon 1. Pohon 2 berdiameter lebih besar daripada pohon 1. Pohon kelapa tidak mengalami pertumbuhan sekunder, namun diperkirakan pohon 2 tumbuh di tempat yang lebih subur atau memiliki genetik yang lebih baik sehingga tumbuh dengan riap volume lebih besar. Mirip seperti pohon konifer maupun daun lebar, pohon sejenis yang tumbuh pada kondisi fisik lingkungan yang lebih subur berdiameter lebih besar namun berkerapatan rendah. Kejadian yang mirip terjadi pada pohon kelapa 2 yang berdiameter besar namun berkerapatan rendah dibanding pohon kelapa 1. Secara teoritis, model matematis berbentuk geometri kerucut terpancung lebih mendekati kenyataan. Namun demikian sebagian besar persamaan struktur, terutama lenturan, mengasumsikan keseragaman luas penampang sepanjang bentang.
Pelanggaran asumsi ini menimbulkan perhitungan yang sangat
kompleks meskipun pada struktur sederhana.
Pada kolom tekan dan tarik
ketidakseragaman luas penampang dapat diatasi dengan modifikasi sederhana, tetapi tidak demikian pada kasus balok lentur. Oleh karena itu keputusan memilih model geometris silindris atau kerucut terpancung perlu pertimbangan lebih lanjut pada kondisi penggunaannya.
Meskipun model kerucut terpancung lebih
44
mendekati kenyataan namun aplikasinya kurang disukai, sehingga model silindris lebih disarankan.
Terlebih lagi untuk taper yang sangat kecil atau bentang
pendek, seperti pada penelitian ini, hasil perhitungan dengan kedua model memberikan nilai yang sama. Sifat Elastis Gelugu Sifat elastis benda merupakan kemampuan benda untuk menahan perubahan bentuk (deformasi) di bawah batas tertentu sehingga benda masih dapat kembali ke bentuk semula setelah beban dilepaskan. elastis.
Batas ini disebut batas
Apabila benda mendapatkan beban di atas batas elastis, deformasi
permanen atau bahkan kerusakan akan terjadi. Elastisitas berimplikasi terhadap deformasi yang terjadi akibat tegangan rendah sehingga benda dapat kembali ke bentuk semula setelah beban dilepaskan. Untuk mendekripsikan perilaku elastis kayu diperlukan 12 konstanta elastisitas (9 di antaranya saling bebas), yaitu 3 modulus elastisitas (E), 3 modulus geser (G), dan 6 Poisson’s rasio (). Modulus elastisitas dan Poisson’s rasio mempunyai hubungan matematis sebagai berikut:
ij
ji
; i ≠ j; i, j = L, R, T Ei E j Sebagai benda orthotropis, kayu memiliki tiga buah modulus elastisitas, yang dilambangkan dengan EL, ER, dan ET, yang berturut-turut merupakan modulus elastisitas sepanjang arah longitudinal, radial, dan tangensial kayu. Ketiga modulus elastisitas ini normalnya diperoleh dari pengujian tekan, namun khusus EL dapat diperoleh dari pengujian lentur. Bahkan EL yang diperoleh dari pengujian lentur seringkali merupakan satu-satunya data modulus elastisitas yang tersedia untuk kayu dari suatu species. Namun EL yang diperoleh dari pengujian lentur masih mengandung defleksi akibat gaya geser sehingga hasilnya perlu dikoreksi dengan meningkatkannya sebesar ±10% untuk menghilangkan pengaruh gaya geser. EL lentur yang telah dikoreksi ini selanjutnya dapat digunakan untuk menduga sifat elastis lainnya yaitu ER, ET, dan modulus geser (G) berdasarkan
45
rasio masing-masing konstanta setiap species. Bodig dan Jayne (1982) menyatakan bahwa rasio konstanta elastis kayu rataan adalah sebagai berikut: EL ; ER : ET 20 : 1,6 : 1 GLR : GLT : GRT 10 : 9,4 : 1 EL : GLR 14 : 1 Modulus elastisitas merupakan salah satu besaran sifat elastis yang telah dikenal luas selain modulus geser dan Poisson’s rasio.
Modulus elastisitas
menunjukkan perbandingan antara tegangan dan regangan di bawah batas elastis sehingga benda akan kembali ke bentuk semula apabila beban dilepaskan. Kayu merupakan benda orthotropis yang memiliki tiga buah modulus elastisitas, yang dilambangkan dengan EL, ER, dan ET. Lambang EL, ER, dan ET berturut-turut merupakan modulus elastisitas sepanjang arah longitudinal, radial, dan tangensial kayu. Ketiga konstanta modulus elastisitas ini diperoleh melalui pengujian tekan, namun khusus EL dapat diperoleh dari pengujian lentur.
EL yang diperoleh
melalui pengujian lentur sederhana dengan beban tunggal di tengah bentang masih mengandung defleksi akibat gaya geser, sehingga hasilnya dapat ditingkatkan sebesar ±10% untuk memperoleh EL murni (FPL 1999). Berdasarkan
pengujian
103
contoh
uji,
analisis
regresi
bertatar
menghasilkan persamaan terbaik untuk menduga modulus elastisitas setiap potong kayu kelapa menurut posisi horisontal dan vertikalnya adalah: E=4423-848z+89,5r2-188t
(n=103; R2(adj)=72,58%; Sd=1479).
Grafik persamaan tersebut disajikan pada Gambar 16. Seperti halnya dengan kerapatan, pola penyebaran modulus elastisitas (E) kayu kelapa pada posisi horisontal mengikuti persamaan kuadratik dengan titik balik tepat di sumbu ordinat (x=0) (Gambar 16(a) dan 16(c)). Sumbu ordinat menjadi sumbu simetri yang membelah kurva tepat menjadi dua bagian yang simetris, sehingga tidak cukup alasan untuk menolak bahwa E kayu kelapa belahan timur sama dengan belahan baratnya. Arah mata angin tidak berpengaruh nyata terhadap E. Berkaitan dengan penampangnya yang berbentuk lingkaran sempurna, potongan kayu kelapa dari sisi manapun pada jarak dari pusat batang dan ketinggian yang sama memiliki E yang sama pula. Masih menjadi tanda
46
tanya apakah lingkaran sempurna masih dapat terbentuk pada pohon kelapa yang mendapatkan perbedaan intensitas cahaya matahari yang ekstrim pada pagi dan sore hari.
16000
c) 16000
14000
14000
Pohon I
2
2
Modulus Elastisitas (N/mm )
Pohon I
Modulus Elastisitas (N/mm )
a)
12000 10000 8000 6000 4000
0 -10
-8
-6
-4
tinggi=0,5 m tinggi=8,5 m
b)
4
6
tinggi=4,5 m tinggi=12,5 m
8
10
16000
d) 16000
14000
14000
6000 4000 2000
tinggi=0,5 m tinggi=8,5 m
-4
6 8 Posisi ketinggian (m) r=2 cm
r=4 cm
10
12
r=6 cm
14 r=8 cm
Pohon II
12000 10000 8000 6000 4000
0
-2 0 2 jarak dari titik pusat (cm) tinggi=2,5 m tinggi=10,5 m
4
2000
0 -6
2
2
Modulus Elastisitas (N/mm )
8000
-8
0
r=0 cm
10000
-10
4000
tinggi=6,5 m
12000
-12
6000
12
2
Modulus Elastisitas (N/mm )
Pohon II
8000
0
-2 0 2 jarak dari titik pusat (cm) tinggi=2,5 m tinggi=10,5 m
10000
2000
2000
-12
12000
4
tinggi=4,5 m tinggi=12,5 m
6
8
10
tinggi=6,5 m
12
0
2 r=0 cm
4 r=2 cm
6 8 Posisi ketinggian (m) r=4 cm
r=6 cm
10
12 r=8 cm
14 r=10 cm
Gambar 16. Modulus Elastisitas kayu kelapa ckbc pohon 1 berdasarkan posisi (a) horisontal (b) vertikal; dan pohon 2 berdasarkan posisi (c) horisontal (d) vertikal; Gambar 16(a) dan 16(c) juga memperlihatkan bahwa E dipengaruhi oleh posisi horisontalnya secara kuadratik. Modulus Elastisitas (E) terendah terdapat tepat di tengah batang dan tertinggi berada di tepi batang. E pada pohon 1 berkisar 2.000 -11.600 N/mm2, dan pada pohon 2 berkisar 1.200 – 14.300 N/mm2. Seluruh kurva kuadratik pada Gambar 16(a) dan 16(c) memiliki kemiringan yang sama (d/dr bernilai tetap sebesar 179r) untuk setiap lempengan pada berbagai ketinggian, sehingga kurva saling sejajar satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa E kayu kelapa bagian ujung, tengah, dan pangkal memiliki variasi yang sama. Namun karena diameter ujung lebih kecil daripada pangkal, selang E bagian ujung lebih kecil daripada bagian pangkal.
E pohon 1 bagian ujung
berkisar 2.000 – 4.300 N/mm2, dan bagian pangkal berkisar 4.300 – 11.600 N/mm2. E pohon 2 bagian ujung berkisar 1.200 – 4.500 N/mm2 sedangkan bagian pangkal berkisar 3.400 – 14.400 N/mm2. Perbedaan lebar selang E antara bagian
47
pangkal dan ujung ini murni hanya disebabkan taper pohon kelapa, dan bukan pengaruh ketinggian lempengan batang dari atas tanah ataupun jarak potongan dari pusat batang. Gambar 16(b) dan 16(d) memperlihatkan bahwa E kayu kelapa menurun secara linier berdasarkan posisi vertikalnya. E kayu kelapa bagian pangkal lebih tinggi dibanding ujung. Besarnya penurunan ini konsisten pada setiap potongan yang berjarak sama dari pusat batang, sehingga kurva linier pada Gambar 16(b) dan 16(d) sejajar seluruhnya. Dengan memperhatikan Gambar 16 tersebut, terlihat bahwa E pohon 1 selalu lebih tinggi dibanding E pohon 2 dengan selisih yang konstan sebesar 878 N/mm2. Variasi E kayu kelapa ckbc pada berbagai posisi ini berkaitan erat dengan sifat anatomi/mikroskopis kayu kelapa, yaitu dari tengah ke tepi batang jumlah vascular bundle semakin banyak dengan diameter makin besar sehingga persentase luas dibanding penampangnya semakin besar. E dipengaruhi luasan vascular bundle. Makin tinggi luasan vascular bundle, E makin tinggi pula. Demikian pula dari pangkal ke ujung persentase luasan vascular bundle makin rendah, meskipun jumlahnya makin banyak. Vascular bundle bagian ujung belum mature (matang) sehingga diameternya kecil.
Hal ini konsisten dengan
menurunnya E ckbc yang diperoleh dari bagian ujung daripada bagian pangkal. Seperti disampaikan sebelumnya bahwa modulus elastisitas (E) yang diperoleh dari pengujian lentur perlu ditingkatkan 10%-nya untuk mendapatkan modulus elastisitas arah longitudinal (EL). Oleh karena itu persamaan modulus elastisitas setiap potong kayu kelapa ckbc berdasarkan posisi vertikal dan horisontalnya yang diperoleh yaitu: E=4423-848z+89,5r2-188t
(n=103; R2(adj)=72,58%; Sd=1479);
perlu ditingkatkan menjadi : EL=4865-933z+98,5r2-207t
(n=103; R2(adj)=72,58%; Sd=1627);
Untuk mendapatkan modulus elastisitas gelugu, teori dasar yang disusun disajikan seperti pada Gambar 17.
48
P
r -R
-R o
o
R
L L
R
r
Gambar 17. Gelugu yang menerima beban tekan Gambar 17 memperlihatkan sebuah gelugu berjari-jari R dan panjang L yang diberi beban terpusat sebesar P. Beban terpusat tersebut disebarkan dahulu melewati sebuah pelat baja yang sangat kaku sehingga diasumsikan tidak terjadi deformasi pada pelat baja. Deformasi yang terjadi pada gelugu akibat beban P adalah sebesar L, dan berlaku sama untuk seluruh penampang, sehingga regangan () yang terjadi untuk setiap cincin kecil setebal r adalah:
L L
sedangkan tegangan () yang terjadi pada setiap potongan kecil berbentuk cincin setebal dr adalah :
dP . 2rdr
Lebih lanjut modulus elastisitas longitudinal (EL) dapat dinyatakan dengan: dP L EL 2rdr L sehingga setiap potongan akan mendapatkan beban sebesar dP, yaitu: dP EL 2rdr L L dP f E L (r , t )2rdr L L Persamaan di atas memperlihatkan kondisi yang berbeda dengan pandangan konvensional. Persamaan tersebut berimplikasi bahwa beban tidak didistribusikan merata pada seluruh penampang meskipun disalurkan melalui pelat baja kaku
49
tanpa deformasi. Beban terdistribusi sesuai dengan daya dukung setiap elemen dalam menahan perubahan bentuk.
Elemen yang memiliki E L tinggi akan
menyerap gaya yang lebih besar dan selanjutnya memberikan reaksi yang lebih besar daripada elemen yang memiliki EL rendah. Jumlah gaya yang diterima seluruh elemen merupakan P total pada batang, dan dinyatakan dengan:
P 2
L L
R
f
EL
(r , t )rdr ;
0
Dan modulus elastisitas gelugu hasil rekonstruksi adalah: R P L 2 EL 2 f E (r , t )rdr R L R 2 0 L Selanjutnya dengan memasukkan persamaan modulus elastisitas longitudinal potongan kayu kelapa ckbc menurut posisi vertikal dan horisontalnya, diperoleh: 2 EL 2 R
4865 - 933z 98,5r
1 R2
4865 - 933z 98,5r
EL
R
2
- 207t rdr
0 R
2
- 207t dr 2
0 R
2 1 98,5 4 EL 2 4865r2 - 933zr r - 207tr2 R 2 0
EL 4865 - 933z
98,5 2 R - 207t 2
Sementara itu kayu kelapa memiliki taper. Hubungan tinggi (t) dengan jari-jari maksimum (R) pohon kelapa 1 dinyatakan dengan: RI 13,267 - 0,536t (Catatan: R dalam cm dan t dalam m)
dan taper pohon kelapa 2 dinyatakan dengan : RII 15,321 - 0,643t (Catatan: R dalam cm dan t dalam m)
Dengan demikian modulus elastisitas gelugu pada ketinggian tertentu dapat dinyatakan dengan: a. untuk pohon 1: EL 4865
98,5 13,267 - 0,536t 2 - 207t 2
50
b. untuk pohon 2: EL 3932 98,5 15,321 - 0,643t 2 - 207t 2
Nilai numerik modulus elastisitas longitudinal setiap sortimen gelugu disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Modulus Elastisitas Longitudinal (EL) Gelugu Pohon 1 Tinggi (m) Jari-jari (cm) Sortimen kePangkal Ujung Pangkal Ujung 1 0 2 13,27 12,20 2 2 4 12,20 11,13 3 4 6 11,13 10,05 4 6 8 10,05 8,98 5 8 10 8,98 7,91 6 10 12 7,91 6,84 7 12 14 6,84 5,77 Rataan Pohon 2 Tinggi (m) Jari-jari (cm) Sortimen kePangkal Ujung Pangkal Ujung 1 0 2 15,32 14,04 2 2 4 14,04 12,75 3 4 6 12,75 11,46 4 6 8 11,46 10,18 5 8 10 10,18 8,89 6 10 12 8,89 7,61 7 12 14 7,61 6,32 Rataan
Rataan 12,73 11,66 10,59 9,52 8,45 7,38 6,30
Modulus Elastisitas (EL) (N/mm2) Pangkal Ujung Rataan 13535 11777 12656 11777 10132 10955 10132 8601 9367 8601 7182 7892 7182 5877 6530 5877 4685 5281 4685 3605 4145 8827 7408 8118
Rataan 14,68 13,39 12,11 10,82 9,54 8,25 6,96
Modulus Elastisitas (EL) (N/mm2) Pangkal Ujung Rataan 15493 13220 14357 13220 11110 12165 11110 9163 10137 9163 7378 8271 7378 5757 6568 5757 4298 5027 4298 3002 3650 9488 7704 8596
Struktur anatomis kayu kelapa sangat berbeda dengan kayu konvensional. Kayu kelapa tidak memiliki jari-jari, sehingga tidak memiliki arah radial dan tangensial.
Ketiadaan arah tangensial dan radial juga disebabkan bentuk
geometris penampang sortimen gelugu berupa lingkaran penuh. Dengan demikian perbandingan modulus elastisitas yang disampaikan Bodig dan Jayne (1982) perlu dimodifikasi dari EL : ER : ET 20 : 1,6 : 1 menjadi EL : E : 20 : 1,3. E adalah modulus elastisitas arah tranversal (tegak lurus serat) yang merupakan rataan modulus elastisitas arah radial dan arah tangensial. Melalui perbandingan tersebut diperoleh modulus elastisitas transversal setiap sortimen gelugu (Tabel 24).
51
Tabel 24. Modulus Elastisitas Arah Tranversal (E) Gelugu Pohon 1 Modulus Elastisitas // Serat (EL) (N/mm2) No Pangkal Ujung Rataan 1 13535 11777 12656 2 11777 10132 10955 3 10132 8601 9367 4 8601 7182 7892 5 7182 5877 6530 6 5877 4685 5281 7 4685 3605 4145 Rataan 8827 7408 8118 Pohon 2 Modulus Elastisitas // Serat (EL) (N/mm2) No Pangkal Ujung Rataan 1 15493 13220 14357 2 13220 11110 12165 3 11110 9163 10137 4 9163 7378 8271 5 7378 5757 6568 6 5757 4298 5027 7 4298 3002 3650 Rataan 9488 7704 8596
Modulus Elastisitas Serat (E) (N/mm2) Pangkal Ujung Rataan 880 766 823 766 659 712 659 559 609 559 467 513 467 382 424 382 305 343 305 234 269 574 482 528 Modulus Elastisitas Serat (E) (N/mm2) Pangkal Ujung Rataan 1007 859 933 859 722 791 722 596 659 596 480 538 480 374 427 374 279 327 279 195 237 617 501 559
Modulus of rigidity (disebut juga modulus geser) merupakan besaran yang menunjukkan ketahanan komponen dalam menahan defleksi yang disebabkan oleh gaya geser. Sebagai benda orthotropis, kayu memiliki tiga modulus geser yaitu GLR, GLT, dan GRT yang berturut-turut merupakan konstanta elastis pada bidang LR, LT, dan RT.
GLR adalah notasi untuk modulus geser berdasarkan
regangan geser bidang LR akibat tegangan geser pada bidang LT dan RT. Modulus geser bervariasi dalam satu species ataupun antar species, serta dipengaruhi kadar air dan berat jenis kayu. Bodig dan Jayne (1982) menyatakan bahwa perbandingan EL dengan GLR adalah : EL : GLR 14 : 1 dan perbandingan modulus geser tiap penampang adalah: GLR : GLT : GRT 10 : 9,4 : 1 Oleh karena bentuk geometri penampang gelugu berupa lingkaran, serta struktur anatominya tidak memiliki sel jari-jari, maka GLR dan GLT pada sortimen gelugu diasumsikan sama. Dengan demikian perbandingan GLR dan GLT cukup diambil rataannya. Untuk memudahkan, notasi modulus geser rataan bidang longitudinal
52
tangensial-radial dilambangkan dengan GL, sehingga perbandingan modulus geser setiap penampang menjadi: EL : GL 14 : 1; dan GL : GRT 9,7 : 1 GRT merupakan modulus geser bidang tegak lurus serat, dan GL merupakan modulus geser bidang sejajar serat. Dengan memanfaatkan perbandingan tersebut diperoleh modulus geser setiap penampang pada setiap potong sortimen gelugu sebagaimana disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Modulus Geser Sortimen Gelugu Pohon 1 Sortke1 2 3 4 5 6 7 Rataan Sortke1 2 3 4 5 6 7 Rataan
EL (N/mm2) Pangkal 13535 11777 10132 8601 7182 5877 4685 8827
Ujung 11777 10132 8601 7182 5877 4685 3605 7408
G// serat (GL (N/mm2) Rataan 12656 10955 9367 7892 6530 5281 4145 8118
EL (N/mm2) Pangkal 15493 13220 11110 9163 7378 5757 4298 9488
Ujung 13220 11110 9163 7378 5757 4298 3002 7704
Pangkal Ujung 967 841 841 724 724 614 614 513 513 420 420 335 335 258 631 529 Pohon 2
Rataan 904 782 669 564 466 377 296 580
G// serat (GL (N/mm2) Rataan 14357 12165 10137 8271 6568 5027 3650 8596
Pangkal 1107 944 794 655 527 411 307 678
Ujung 944 794 655 527 411 307 214 550
Rataan 1025 869 724 591 469 359 261 614
G ┴ serat (GRT) (N/mm2) Pangkal 100 87 75 63 53 43 34 65
Ujung 87 75 63 53 43 34 27 55
Rataan 93 81 69 58 48 39 31 60
G ┴ serat (GRT) (N/mm2) Pangkal 114 97 82 67 54 42 32 70
Ujung 97 82 67 54 42 32 22 57
Rataan 106 90 75 61 48 37 27 63
Nilai sifat elastis gelugu yang meliputi modulus elastisitas dan modulus geser hasil penelitian ini merupakan penyederhanaan dari kondisi nyata di lapangan. Dengan keterbatasan akibat asumsi bentuk silindris maka pengguna diharuskan memilih nilai yang paling rasional karena setiap bagian sortimen memiliki nilai elastisitas yang berbeda.
Pada kondisi ini justifikasi desain
memegang peranan yang lebih penting.
Sifat elastis pada umumnya tidak
berkaitan dengan kondisi keamanan struktur, tetapi lebih pada fungsi layan dan arsitektur bangunan.
Struktur yang mengalami deformasi lebih besar dari
deformasi maksimum rencana tampak kurang indah dan kehilangan fungsi
53
layannya, meskipun struktur tersebut masih aman dan terhindar dari kerusakan. Pendekatan serviceability limit state berlaku pada sifat elastis ini sehingga pada umumnya dipilih nilai sifat elastis rataan. Setiap benda yang menerima beban aksial, memberikan reaksi berupa deformasi tegak lurus arah beban dan deformasi sejajar arah beban. Apabila beban aksial tekan sebesar P diberikan pada sebuah benda dengan panjang L dan lebar T, benda tersebut akan mengalami deformasi berupa pertambahan lebar sebesar (T’-T) dan pemendekan sebesar (L-L’). (Gambar 18a).
Sebaliknya
apabila benda mengalami beban aksial tarik sebesar P, benda tersebut akan mengalami deformasi berupa berkurangnya lebar sebesar (T-T’) dan pemanjangan sebesar (L’-L). (Gambar 18b). Pertambahan dimensi diberi tanda positif (+), sedangkan berkurangnya dimensi diberi tanda negatif (-). Besarnya deformasi pasif tegak lurus arah aksial proporsional dengan deformasi aktif sejajar arah aksial, sehingga rasio antara regangan () pasif dan regangan () aktif adalah konstan.
Rasio antara regangan pasif dan regangan aktif ini disebut dengan
Poisson’s rasio. Umumnya pada benda normal, Poisson’s rasio selalu bernilai negatif, namun beberapa benda sintetis (antara lain: busa, plastik dan karton pengganjal barang dalam kemasan) telah didesain agar memiliki Poisson’s rasio positif.
a)
P
P
b)
L L’
T T’
L’ L
T T’
Gambar 18. Deformasi akibat beban aksial: a) tekan, b) tarik
Pada material orthotropik seperti halnya kayu, terdapat 6 (enam) buah nilai Poisson’s rasio yaitu LR, LT, RL, RT, TR, dan TL. Huruf pertama pada subskrip
54
merupakan arah regangan aksial, dan huruf kedua merupakan arah deformasi lateral. Notasi LR menunjukkan Poisson’s rasio untuk deformasi arah radial akibat tegangan arah longitudinal. Poisson’s rasio tidak hanya memberikan pengaruh pada benda yang mengalami beban aksial tarik atau tekan, tetapi juga pada balok lentur. Pada balok lentur sederhana dengan beban tunggal terpusat di tengah bentang (one point loading) (Gambar 19), terjadi momen lentur dan gaya geser. P h Momen Lentur
Gaya Geser (Gaya Lintang)
1 /4
PL
1 /2
P - 1 /2 P L
Gambar 19. Diagram momen lentur dan gaya lintang pada balok lentur sederhana dengan beban tunggal terpusat di tengah bentang Pada balok lentur sederhana dengan bentang L dan tinggi h seperti Gambar 19, benda yang menerima beban sebesar P akan mengalami deformasi berupa lendutan (defleksi) yang disebabkan oleh momen lentur (M) dan gaya geser (G). Besarnya defleksi akibat momen lentur adalah M, dan defleksi akibat gaya geser adalah ’, sehingga total defleksi adalah: M ' PL3 PL3 PL 48Ef I 48EI 4GKA
Di mana : Ef E I G K A
: modulus elastisitas tampak (apparent modulus of elasticity) : modulus elastisitas sebenarnya (true modulus of elasticity) : momen inersia : modulus geser (shear modulus) : koefisien geser (shear coefficient) : luas penampang
55
Pada ckbc, penampang balok berbentuk persegi panjang I 121 bh 3 ; A bh sehingga persamaan di atas dapat disesuaikan menjadi: L2 L2 1 2 2 Ef h Eh GK 1 1 1 h Ef E GK L
2
FPL (1999) menyatakan modulus elastisitas arah longitudinal (EL) ekuivalen dengan Etrue (E), dan nilainya 10% lebih tinggi daripada Eapparent (Ef), sehingga modulus elastisitas yang diperoleh dari pengujian lentur sederhana dengan beban terpusat dapat ditingkatkan 10%-nya untuk mendapatkan modulus elastisitas arah longitudinal. Hal itu terjadi pada specimen uji one point loading standar yaitu panjang bentang (L) 14 kali tinggi (h)-nya. Bodig dan Jayne (1982) melaporkan bahwa untuk kondisi pengujian berdasar ASTM D198 tersebut rasio Eapparent dan E Etrue adalah 0,911 f 0,911 , sehingga Eapparent hasil pengujian one point loading E
harus ditingkatkan sebesar 8,9%-nya untuk mendapatkan Etrue. Namun Bodig dan Jayne (1982) melakukan kesalahan perhitungan dengan menyatakan Eapparent harus ditingkatkan 8,9%-nya untuk mendapatkan Etrue.
Dengan nilai
Ef 0,911 , E
seharusnya Eapparent perlu ditingkatkan sebesar 9,8%-nya untuk mendapatkan Etrue. Dengan revisi tersebut, nilai yang dilaporkan FPL (1999) konsisten dengan yang dilaporkan Bodig dan Jayne (1982) hasil revisi. Perbedaan yang terjadi lebih disebabkan pembulatan angka penting.
FPL (1999) menggunakan 1 angka
penting, sedangkan Bodig dan Jayne (1982) menggunakan 2 angka penting. Oleh karena itu penulis lebih mengacu perbandingan yang dilaporkan Bodig dan Jayne (1982), sehingga persamaan di atas dimodifikasi menjadi: 1 1 1 1 0,911E E GK 14 0,911E K 17,444G
2
56
Bodig dan Jayne (1982) menyatakan bahwa perbandingan EL dengan GLR adalah : EL : GLR 14 : 1 Namun pada bab berikutnya Bodig dan Jayne (1982) menyatakan bahwa EL/GLR untuk kayu diasumsikan konstan sebesar 16. Dua nilai rasio yang berbeda ini agak membingungkan, namun demikian Sulistyowati (2004) telah melakukan percobaan untuk mencari nilai perbandingan tersebut dan memperoleh nilai EL/GLR adalah 16. Oleh karena itu nilai rasio sebesar 16 dipilih pada tulisan ini. Sementara itu Bodig dan Jayne (1982) menyatakan perbandingan modulus geser tiap penampang adalah: GLR : GLT : GRT 10 : 9,4 : 1. Oleh karena itu, EL : GLR : GLT : GRT 160 : 10 : 9,4 : 1. Kayu kelapa tidak memiliki sel jari-jari, sehingga GLR ekuivalen dengan GLT, dan diambil nilai rataannya sehingga perbandingan di atas diubah menjadi: EL : GLRLT : GRT 160 : 9,7: 1. Lebih lanjut koefisien geser dapat ditentukan dengan: K
0,911 160 * 0,861 17,444 9,7
Nilai koefisien geser (K) sebesar 0,86 hasil perhitungan berada tepat pada batas atas selang yang disarankan ASTM D198-99 yaitu untuk penampang persegi berkisar 0,84 – 0,86 dan untuk penampang lingkaran berkisar 0,86 – 0,90. Untuk penampang persegi, menurut ASTM D198-99 hubungan antara koefisien geser dengan Poisson’s rasio dapat dinyatakan dengan : K
101 12 11
Berdasarkan hubungan tersebut, Poisson’s rasio kayu kelapa ckbc dapat diperoleh, yaitu: 10 12K 11K 10 10 12 * 0,861 0,63 11 * 0,861 10
57
Nilai Poisson’s rasio hasil perhitungan tersebut adalah LR (khusus kayu kelapa diasumsikan sama dengan LT). Hasil perhitungan mendapatkan nilai sebesar 0,63, lebih tinggi daripada yang disarankan ASTM D198-99 yaitu berkisar 0,05 – 0,5. FPL (1999) telah melakukan penelitian empiris terhadap puluhan jenis kayu, baik softwood dan hardwood, dan seluruhnya memiliki Poisson’s rasio berkisar 0,05 – 0,5. Bodig dan Jayne (1982) membuat daftar Poisson’s rasio rataan kayu pada umumnya sebagaimana disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Poisson’s rasio kayu rataan (Bodig dan Jayne 1982) Rasio LR LT RT TR RL RT
Softwood Hardwood 0,37 0,37 0,42 0,50 0,47 0,67 0,35 0,33 0,041 0,044 0,033 0,027
Data-data empiris seperti tersaji pada Tabel 26 tidak mendukung hasil perhitungan teoritis.
Peristiwa ini terjadi akibat ditetapkannya asumsi-asumsi yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Asumsi yang dilanggar antara lain: a. Sumbu kartesian betul-betul saling tegak lurus, dan diasumsikan sebagai sumbu-sumbu longitudinal, radial, dan tangensial pada kayu. Pelanggaran asumsi ini bertambah besar dengan semakin dekat posisi kayu dengan pusat batang. b. Perbandingan modulus elastisitas arah longitudinal (EL) dengan modulus geser (GLR) adalah 16:1. Perbandingan ini bervariasi pada setiap potongan kayu baik dalam satu species maupun antar species.
Penetapan rasio E L/GLR
sebesar 16 memerlukan justifikasi empiris bagi setiap jenis kayu. Selain pelanggaran asumsi tersebut di atas, Poisson’s rasio bernilai kecil sehingga sangat peka terhadap penggunaan angka penting. Perubahan sampai desimal ketiga pada koefisien geser masih dapat mengubah Poisson’s rasio hingga desimal pertama. Sementara itu setiap literatur antara lain FPL (1999) dan Bodig dan Jayne (1982) hanya memberikan nilai sampai desimal pertama, sehingga hasil
58
perhitungan selanjutnya memberikan bias cukup besar.
Untuk menghindari
kesalahan tersebut, sebelum hasil penelitian empiris dapat diperoleh, Poisson’s rasio gelugu menggunakan data empiris hardwood yang dilaporkan Bodig dan Jayne (1982) sebagaimana disajikan pada Tabel 26.
Sifat Kekuatan Gelugu Keteguhan lentur patah merupakan terjemahan dari Modulus of Rupture (MOR) yaitu kemampuan maksimum kayu untuk menahan beban lentur yang nilainya proporsional dengan momen maksimum yang terjadi pada spesimen. MOR telah dikenal luas sebagai salah satu sifat kekuatan kayu, meskipun besaran tersebut tidak memperlihatkan tegangan yang sebenarnya karena rumus yang digunakan hanya valid untuk tegangan di bawah batas elastis (FPL 1999). Sementara itu kekuatan kayu selalu terjadi di atas batas elastis. Pada ASTM, MOR dinotasikan dengan SR. Sementara itu analisis regresi bertatar terhadap 103 contoh uji hasil pengujian keteguhan lentur patah (SR) ckbc menghasilkan persamaan regresi terbaik sebagai berikut: SR=32,74+1,298r2-1,564zt
(n=103; R2(adj)=72,79%; Sd=17,7).
dimana: SR r t z
: : : :
keteguhan lentur patah (MPa) jarak contoh uji dari pusat batang (cm) posisi ketinggian contoh uji pada pohon kelapa asal (m) peubah boneka yang mewakili pohon 1 dan pohon 2
Grafik persamaan tersebut disajikan pada Gambar 20. Gambar 20(a) dan 20(c) memperlihatkan bahwa MOR kayu kelapa ckbc dipengaruhi posisi horisontalnya menurut fungsi kuadratik. Pola ini konsisten dengan pola penyebaran kerapatan dan modulus elastisitas. Seperti dua besaran sebelumnya, kurva kuadratik MOR berdasar posisi horisontalnya memiliki titik balik tepat di pusat batang dan sumbu ordinat (x=0) menjadi sumbu simetrinya. Dengan demikian MOR kayu kelapa belahan bagian Timur dapat dinyatakan sama dengan belahan bagian Barat. Selanjutnya semakin jauh jaraknya dari titik pusat, MOR kayu kelapa ckbc
59
meningkat secara kuadratik. Kemiringan (slope) kurva kuadratik tersebut bernilai sama yaitu sebesar 2,596r untuk setiap lempengan pada seluruh ketinggian sehingga kurvanya saling sejajar satu sama lain. Bahkan pada pohon 1 kurva kuadratik saling berimpit, sehingga heterogenitas MOR setiap potongan kayu kelapa ckbc pada satu lempengan baik pada posisi pangkal, tengah, dan ujung batang adalah sama.
Perbedaan selang MOR terjadi hanya disebabkan lebih
kecilnya diameter lempengan batang ujung dan bukan oleh posisi potongan kayu kelapa di dalam batang.
Seandainya diameter ujung sama dengan diameter
pangkal, maka selang MOR kayu kelapa ckbc pun akan sama lebarnya.
b)
200
Pohon I
200
Modulus of Rupture (N/mm2)
160 140 120 100 80 60 40 20 -11
-9
-7
tinggi=0,5 m tinggi=8,5 m
Modulus of Rupture (N/mm2) -13
9
11
-9
-7
tinggi=0,5 m tinggi=8,5 m
-5
80 60 40
0
1
tinggi=6,5 m
2
3
4
r=0 cm
d)
200
5
6 7 8 9 posisi ketinggian (m)
r=2 cm
r=4 cm
10
11
12
r=6 cm
13
14
15
r=8 cm
Pohon II
180
40 20 0 -3 -1 1 3 jarak dari titik pusat (cm) tinggi=2,5 m tinggi=10,5 m
120 100
13
140 120 100 80 60
-11
140
0
7
200 180 160
Pohon II
c)
160
20
0 -5 -3 -1 1 3 5 jarak dari titik pusat (cm) tinggi=2,5 m tinggi=4,5 m tinggi=10,5 m tinggi=12,5 m
Modulus of Rupture (N/mm2)
-13
Pohon I
180
180 Modulus of Rupture (N/mm2)
a)
160 140 120 100 80 60 40 20
5
tinggi=4,5 m tinggi=12,5 m
7
9
11
tinggi=6,5 m
13
0 0
1
2 r=0 cm
3
4 r=2 cm
5
6 7 8 9 posisi ketinggian (m) r=4 cm
r=6 cm
10
11
12
r=8 cm
13
14
15
r=10 cm
Gambar 20. MOR kayu kelapa ckbc pohon 1 berdasarkan posisi (a) horisontal (b) vertikal; dan pohon 2 berdasarkan posisi (c) horisontal (d) vertikal; MOR kayu kelapa ckbc yang diperoleh dari pohon 1 bagian ujung berkisar 32 – 53 N/mm2 dan bagian pangkal berkisar 32 – 133 N/mm2. Sementara itu MOR kayu kelapa ckbc dari pohon 2 bagian ujung berkisar 13 – 58 N/mm2 dan bagian pangkal berkisar 32 – 182 N/mm2. Hasil ini memperlihatkan bahwa kayu kelapa ckbc dari pohon 2 secara total memiliki selang MOR yang lebih lebar daripada pohon 1. Hal ini terjadi karena pohon 2 tumbuh dengan lebih baik
60
sehingga berdiameter lebih besar dibanding pohon 1. Diameter pohon 1 berkisar 28 cm, sedangkan diameter pohon 2 berkisar 31 cm. Gambar 20(b) dan 20(d) memperlihatkan pengaruh ketinggian potongan contoh uji dari atas tanah terhadap MOR kayu kelapa ckbc. Pada Gambar 20(b) terlihat bahwa garis hubungan antara posisi ketinggian vs MOR ckbc betul-betul mendatar.
Hal itu memberikan makna bahwa MOR kayu kelapa ckbc yang
diperoleh dari pohon 1 tidak dipengaruhi oleh posisi vertikalnya. Pada jarak yang sama dari pusat batang, MOR ckbc pohon 1 bernilai sama baik pada pangkal, tengah maupun ujung.
Sementara itu pada pohon 2 posisi vertikal
memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap MOR ckbc-nya.
MOR kayu
kelapa ckbc semakin turun dengan semakin tinggi posisi vertikalnya di dalam batang. Gaya atau kopel yang bekerja pada balok lentur menimbulkan dua akibat yaitu: (a) perubahan bentuk (deformasi) berupa lendutan (defleksi) tegak lurus sumbu longitudinal, dan (b) tegangan normal dan tegangan geser pada penampang tegak lurus sumbu longitudinal. Balok lentur (Gambar 21) mengalami tegangan normal yang dapat dinyatakan dengan
Mr . Pada komponen batang di bawah I
garis netral terjadi tegangan tarik, sedangkan di atas garis netral terjadi tegangan tekan.
+r
MOR Garis netral
r -r
MOR
Gambar 21. Tegangan normal akibat beban lentur
MOR (SR) ckbc merupakan kapasitas maksimum setiap contoh uji dalam menerima beban lentur. Apabila batang rekonstruksi disusun, setiap ckbc akan
61
mengalami tegangan normal sebesar
Mr . I
Oleh karena itu kurva kuadratik
persamaan MOR ckbc hasil regresi bertatar tersebut dapat diplotkan bersamasama tegangan normal seperti tersaji pada Gambar 22. Benda akan tetap tegar apabila menerima beban di bawah kapasitasnya, sehingga gelugu akan tetap kuat apabila SR ckbc di setiap titik lebih besar daripada gaya normal yang diterima di titik tersebut. Gelugu akan mulai mengalami kerusakan tepat ketika SR ckbc sama dengan gaya normalnya. MOR gelugu Kurva SR ckbc
+r
Garis netral Titik kritis -r
MOR gelugu
Gambar 22. Kurva kuadratik SR ckbc diplotkan bersama-sama tegangan normal Untuk alasan kemudahan dan kelaziman Gambar 9 dirotasi 90o dan hanya diambil bagian atas saja, sehingga menjadi Gambar 23, yaitu:
Titik kritis
-r
SR ckbc
0
+r
Gambar 23. Kurva pola sebaran SR ckbc dan tegangan normal pada gelugu Selanjutnya untuk menggambarkan terjadinya peristiwa kerusakan akibat tegangan normal, sebuah fungsi kerusakan (F) diperkenalkan. Fungsi kerusakan dapat berupa salah satu dari dua fungsi yaitu: 1. F SR , atau 2. F
SR
lnF lnSR ln
62
Untuk alasan kemudahan, bentuk pertama dipilih sebagai fungsi kerusakan yang dipergunakan. Fungsi kerusakan tersebut, yang menggambarkan kerusakan akibat gaya normal dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 24. Kurva pada Gambar 24 merupakan selisih antara kurva SR dan kurva tegangan normal pada Gambar 23. F Daerah kuat
-r
Daerah rusak
Titik kritis
+r
Daerah rusak
Gambar 24. Fungsi Kerusakan akibat Tegangan Normal
Garis tepat ketika F = 0 merupakan garis batas di mana kerusakan mulai terjadi. Daerah di mana F < 0 merupakan daerah rusak, sedangkan daerah di mana F > 0 merupakan daerah kuat. Untuk menentukan bagian kayu yang kritis, yaitu bagian kayu yang menerima beban saat F=0, dilakukan prosedur sebagai berikut : F SR
F 32,74 1,298r 2 - 1,564zt
M r I
Titik awal kerusakan sekaligus merupakan titik singgung kurva SR ckbc dan tegangan normal (Gambar 23). Pada titik singgung, kemiringan kurva SR ckbc sama dengan kemiringan kurva tegangan normal, sehingga: dF M 2,596r 0 dr I M 2,596r I
Selanjutnya titik kritis posisi awal kerusakan, yaitu saat F=0, diperoleh melalui: F 32,74 1,298r 2 - 1,564zt 0 1,298r 2 32,74 - 1,564zt 0
Persamaan di atas merupakan persamaan kuadratik standar y=ax2+bx+c yang dapat diselesaikan dengan rumus: x 1,2
b b 2 4ac 2a
sehingga r1,2 dapat diperoleh, yaitu:
63
r1,2
4 1,29832,74 - 1,564zt 2 1,298
32,74 - 1,564zt 1,298
r1,2
Kerusakan akibat tegangan lentur pada pohon kelapa 1 selalu dimulai pada jarak sejauh : r1,2 32,74 5,02 cm dari pusat batang, sedangkan pada pohon 2
1,298
setiap sortimen yang diperoleh dari setiap ketinggian akan mulai mengalami kerusakan pada bagian batang sejauh r1,2 32,74 - 1,564t dari pusat batang.
1,298
Dalam bentuk grafik, posisi awal kerusakan gelugu dapat dilihat pada Gambar 25. Sesuai dengan Gambar 25, kerusakan tidak dimulai dari pusat batang meskipun kayu kelapa ckbc yang diperoleh dari pusat batang memiliki SR paling rendah. Kerusakan gelugu juga tidak diawali pada bagian tepi meskipun setiap serat bagian tepi menerima tegangan normal paling tinggi. Kerusakan gelugu dimulai pada bagian yang lebih dalam, yaitu bagian yang kapasitas seratnya sedikit lebih rendah daripada tegangan normal yang diterima.
a. Pohon I 15
b. Pohon II 15
tepi batang
10
titik kritis
5 0 0
1
2
3
titik kritis
-10 -15
4
5 6 7 8 9 posisi ketinggian (t) (m)
10
11
12
13
14
jarak dari titik pusat (r) (cm)
jarak dari titik pusat (r) (cm)
10
-5
tepi batang
titik kritis
5 0 0 -5
1
2
3
4
5 6 7 8 9 posisi ketinggian (t) (m)
10
11
12
13
14
titik kritis
-10
tepi batang
-15
tepi batang
Gambar 25. Posisi titik kritis awal kerusakan gelugu akibat tegangan normal Keteguhan lentur patah ditentukan oleh titik kritisnya, yaitu posisi awal mula kerusakan terjadi. Oleh karena itu keteguhan lentur patah gelugu berkaitan erat dengan SR ckbc di titik kritisnya. Perkiraan keteguhan lentur patah kayu kelapa ckbc dari pohon 1 dan 2 pada titik kritisnya disajikan pada Tabel 27. Mengacu kurva linier pada Gambar 23, tegangan normal pada sortimen gelugu yang mengalami beban maksimum (Pmax) senantiasa melalui titik
64
koordinat (r,) bernilai (0,0) dan (r’,SR’) di mana r’ adalah titik kritis dan SR’ adalah MOR ckbc pada titik kritisnya. Menurut definisi, tegangan normal dapat disajikan dalam bentuk :
M r, I
sehingga M/I merupakan kemiringan (slope) kurva linier pada Gambar 23, yang dapat diselesaikan dengan: M SR' 0 SR' ' ' . I r 0 r
Tabel 27. MOR Sortimen Kayu Kelapa ckbc pada Titik Kritisnya Sort. Tinggi (m) ke- Pangkal Ujung 1 2 3 4 5 6 7
0 2 4 6 8 10 12
2 4 6 8 10 12 14
Pohon 1 Titik Kritis SR (N/mm2) (cm) 5,02 63,99 5,02 63,99 5,02 63,99 5,02 63,99 5,02 63,99 5,02 63,99 5,02 63,99
Pohon 2 Titik Kritis SR (cm) (N/mm2) 5,58 63,63 5,30 59,76 4,99 55,88 4,67 52,01 4,32 48,13 3,94 44,25 3,52 40,38
Selanjutnya MOR sortimen gelugu merupakan tegangan normal maksimum pada batang. Tegangan normal maksimum pada batang terjadi pada serat yang berada pada jarak terjauh dari garis netral, yang dapat dinyatakan dengan:
SR
M R, I
di mana R adalah jari-jari gelugu di tengah batang. Kemiringan garis (M/I) dan MOR (SR) setiap sortimen gelugu yang diperoleh dari pohon 1 dan pohon 2, disajikan pada Tabel 28. Meskipun penelitian empiris untuk menentukan kerapatan dan sifat mekanis gelugu belum pernah dilakukan, model-model matematis dapat dibangun berdasarkan kerapatan dan sifat mekanis kayu kelapa ckbc pada berbagai posisi horisontal dan vertikal sehingga kerapatan dan sifat mekanis gelugu dapat diduga.
65
Tabel 28. MOR Sortimen Gelugu Sort. Tinggi (m) ke- Pangkal Ujung 1 0 2 2 2 4 3 4 6 4 6 8 5 8 10 6 10 12 7 12 14
Pohon 1
Pohon 2
M/I
R (cm)
SR (N/mm2)
M/I
R (cm)
SR (N/mm2)
12,74 12,74 12,74 12,74 12,74 12,74 12,74
12,73 11,66 10,59 9,52 8,44 7,37 6,30
162,21 148,55 134,89 121,24 107,58 93,92 80,26
11,40 11,28 11,19 11,14 11,14 11,23 11,46
14,68 13,39 12,11 10,82 9,53 8,25 6,96
167,28 151,12 135,53 120,56 106,24 92,63 79,83
Kerapatan, MOE, dan MOR gelugu menurun dengan semakin tinggi posisi asalnya dari batang pohon. Model silindris dan kerucut terpancung menghasilkan dugaan nilai kerapatan, MOE, dan MOR sortimen gelugu yang tidak jauh berbeda karena pohon kelapa memiliki taper kecil, dan pembagian batang menjadikannya sortimen berukuran pendek.
Oleh karena itu penyederhanaan perhitungan
mekanika struktur yang mengasumsikan keseragaman penampang sepanjang bentang masih dapat ditoleransi.
Diameter penampang setiap sortimen yang
dipergunakan untuk desain tumpukan gelugu pada penelitian ini adalah rata-rata diameter pangkal dan ujung setiap sortimen gelugu. Alternatif lain, yaitu model kerucut terpancung lebih mendekati kenyataan namun aplikasinya untuk keperluan desain struktur sangat rumit karena beberapa asumsi mekanika struktur akan dilanggar, sehingga model silindris lebih dipilih. Model silindris yang dipilih pada penelitian ini telah menghasilkan nilai bagi besaran-besaran sifat elastis gelugu yang dapat dipergunakan sebagai input sifat material pada analisis struktur yang menggunakan gelugu sebagai bahan bakunya. Model silindris tersebut menghasilkan nilai sifat elastis gelugu yang meliputi modulus elastisitas arah longitudinal (EL) dan tranversal (ET), serta modulus geser bidang radial-tangensial (GRT) dan bidang longitudinal transversal (GL), namun tidak berhasil mendapatkan nilai Poisson’s rasio yang konsisten. Lebih lanjut sifat elastis berkaitan dengan serviceability limit states sehingga desainer diharapkan mengambil nilai rata-ratanya ketimbang nilai bagian pangkal atau ujung.
66
MOR gelugu dapat direkonstruksi berdasarkan SR ckbc-nya yaitu dengan menentukan titik kritis awal mula terjadinya kerusakan akibat tegangan normal pada batang. MOR gelugu merupakan tegangan normal maksimum pada gelugu. Tegangan normal maksimum terjadi pada tepi batang dan dapat diperoleh melalui ekstrapolasi titik pusat diagram kartesian (0,0) dengan titik singgung SR ckbc dengan tegangan normal tersebut.
Nilai MOR gelugu tidak dapat langsung
dipergunakan untuk desain struktur tetapi merupakan langkah awal untuk mendapatkan kapasitas material. Beberapa tahapan proses untuk mendapatkan kapasitas material masih diperlukan, yaitu konversi menjadi tahanan referensi (tegangan ijin atau kuat acuan) kemudian mengoreksinya dengan faktor-faktor penyesuaian yang tepat. Kapasitas material ini selanjutnya dibandingkan dengan beban yang diterima struktur, sehingga kesetimbangan struktur dapat diperoleh melalui proses desain yang baik.
B. Desain Tumpukan Gelugu sebagai Penyangga Terowongan Tegangan-tegangan ijin (Allowable Stress=Fx) Tegangan ijin (Fx) merupakan nilai tegangan yang umum dipublikasikan untuk keperluan desain, yaitu gaya maksimum per unit area yang masih dapat diderita secara aman oleh komponen struktur.
Kayu merupakan benda
orthotropis, sehingga tegangan ijinnya berbeda untuk setiap sumbu terkait dengan struktur orthotropiknya.
Tegangan ijin dapat diidentifikasi berdasar deskripsi
mutu kayu sesuai standar yang digunakan serta ditetapkan bagi setiap sortimen atau kelompok sortimen dan disajikan berupa tabel tegangan ijin untuk mengantisipasi penggunaan akhir sortimen tersebut.
Tabel tegangan ijin (Fx)
disusun sedemikian rupa yang berisikan tegangan ijin lentur (Fb), tegangan ijin tekan sejajar serat (Fc//), tegangan ijin tekan tegak lurus serat (Fc), tegangan ijin tarik sejajar serat (Ft//), dan tegangan ijin geser sejajar serat (Fs//) sehingga dapat dipilih nilai yang sesuai dengan kondisi penggunaan akhirnya. Tegangan ijin diperoleh dengan mengambil 5% ekor bawah (5% lower exclution limit=R0,05) dari hasil pengujian kekuatan material kemudian dibagi dengan faktor penyesuaian (adjustment factor=AF). Pada penelitian ini, tegangan
67
ijin lentur (Fb) diperoleh dari estimasi MOR setiap sortimen gelugu (Tabel 28), yang selanjutnya dimodifikasi berdasarkan rumus berikut: Fb Fb
R0, 05 2,3 S R z0, 05 * Sd
2,3 S 1,645 *17,7 S R Fb R 12.66 2,3 2,3
Sehingga tegangan ijin lentur sortimen gelugu bernilai sebagaimana disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29. Tegangan Ijin Lentur (Fb) Sortimen Gelugu Sort. Tinggi (m) ke- Pangkal Ujung 1 2 3 4 5 6 7
0 2 4 6 8 10 12
2 4 6 8 10 12 14
Pohon 1
Pohon 2
SR (N/mm2)
Fb (N/mm2)
Kelas mutu
SR (N/mm2)
Fb (N/mm2)
Kelas mutu
162,21 148,55 134,89 121,24 107,58 93,92 80,26
57,87 51,93 45,99 40,05 34,11 28,18 22,24
TS35 TS35 TS35 TS35 TS32 TS25 TS20
167,28 151,12 135,53 120,56 106,24 92,63 79,83
60,07 53,05 46,27 39,76 33,53 27,61 22,05
TS35 TS35 TS35 TS35 TS32 TS25 TS20
Standar Kehutanan Indonesia (SKI) No. C-bo-010-1987 tentang Spesifikasi Kayu Bangunan untuk Perumahan mengklasifikasikan kelas mutu kayu kontruksi dengan kode TS diikuti angka 5 hingga 35. Kelas mutu TS5, TS7, TS10, TS12, ..., TS35 memberi makna bahwa tegangan ijin lentur kayu yang berada dalam kelas mutu tersebut berturut-turut adalah 50 kg/cm2, 75 kg/cm2, 100 kg/cm2, 125 kg/cm2, ..., 350 kg/cm2, sehingga kelas mutu sortimen gelugu dari potongan pangkal hingga potongan ke-7 dari pohon 1 dan 2 berkisar antara TS20 hingga TS35 (Tabel 29).
Nilai-nilai tegangan ijin untuk setiap kelas mutu telah
ditabelkan dalam SKI C-bo-010-1987, sehingga tegangan ijin setiap sortimen dapat disajikan pada Tabel 30.
68
Tabel 30. Tegangan ijin sortimen gelugu sesuai kelas mutu SKI C-bo-010-1987 Tegangan Ijin (N/mm2) Sortimen dari Pohon 1 pang- ujung Kelas Fb Ft// Fc// Fs kal mutu 0 2 TS35 35,0 21,0 27,1 2,6 2 4 TS35 35,0 21,0 27,1 2,6 4 6 TS35 35,0 21,0 27,1 2,6 6 8 TS35 35,0 21,0 27,1 2,6 8 10 TS32 32,5 19,5 25,2 2,4 10 12 TS25 25,0 15,0 19,3 1,8 12 14 TS20 20,0 12,0 15,5 1,5
Sort. Tinggi ke(m)
1 2 3 4 5 6 7
Fc 5,2 5,2 5,2 5,2 4,8 3,7 3,0
Tegangan Ijin (N/mm2) Sortimen dari Pohon 2 Kelas Fb Ft// Fc// Fs mutu TS35 35,0 21,0 27,1 2,6 TS35 35,0 21,0 27,1 2,6 TS35 35,0 21,0 27,1 2,6 TS35 35,0 21,0 27,1 2,6 TS32 32,5 19,5 25,2 2,4 TS25 25,0 15,0 19,3 1,8 TS20 20,0 12,0 15,5 1,5
Fc 5,2 5,2 5,2 5,2 4,8 3,7 3,0
Tumpukan Gelugu Tunggal Tumpukan gelugu Tunggal (Gambar 26) dibangun dengan cara menumpuk sortimen gelugu menjadi berbentuk cubical. Setiap lapisan terdiri atas dua batang yang diletakkan sejajar. Arah batang tegak lurus dengan arah batang lapisan sebelumnya.
Di antara lapisan diberikan tumpuan berupa potongan sortimen
gelugu sepanjang 30 cm yang ujung dan pangkalnya dicoak setengah lingkaran saling tegak lurus(Gambar 27).
Batang ini berfungsi sebagai tumpuan dan
sekaligus pengunci.
(a) atas
(b) muka (c) samping (d) 3D Gambar 26. Tumpukan gelugu tunggal
Struktur tumpukan gelugu tersebut disusun dengan material gelugu dari pohon 1 dan 2, seperti yang disketsakan pada Gambar 28a.
Kode Ki-j
menunjukkan bahwa sortimen berkode tersebut adalah sortimen dari pohon kelapa ke-i, potongan ke-j. Dengan asumsi penampang seragam sepanjang bentang, bentuk geometri silinder dipergunakan untuk analisis struktur.
Diameter
69
penampang pada setiap sortimen adalah diameter rata-rata pangkal dan ujung sortimen tersebut.
Sifat penampang dan sifat material setiap sortimen yang
dimasukkan sebagai input pada software SAP adalah nilai hasil rekonstruksi sortimen bersangkutan.
Gambar 27. Bentuk tumpuan antar lapisan
Gambar 28. Material yang digunakan (a) dan beban yang bekerja (b) pada tumpukan gelugu tunggal Apabila struktur tumpukan gelugu tunggal tersebut mendapat beban merata sebesar Q N/mm (Gambar 28b), maka timbul reaksi pada batang-batang berupa gaya aksial, momen lentur, dan gaya geser. Sketsa gaya aksial, momen lentur dan
70
gaya geser disajikan pada Gambar Lampiran 1. Tegangan aksial () merupakan gaya aksial (P) dibagi dengan luas penampang (A):
P P 2, A R
sehingga tegangan aksial setiap batang disajikan pada Tabel Lampiran 2. Gaya lintang (V) dikonversi menjadi tegangan geser horisontal () dengan rumus:
c
V yda Ib y0
(Nash, 1972).
Notasi b adalah lebar bidang geser. Lebar bidang geser maksimum terjadi di bidang netral sehingga nilai b adalah 2R.
c
yda adalah first moment of area (Qy) yang y0
untuk penampang berbentuk lingkaran (Gambar 29) diselesaikan menjadi: c
Q y yda y0
R
Q y 2 r sin rddr 0 0
Qy 2 0
R
r3 sin d 3 0
2R3 Qy sin d 3 0 2R 3 cos 0 3 2R3 . Qy 3
Qy
dr d
y = rsin
Gambar 29. First Moment of Area Lingkaran
I adalah momen inersia. Untuk penampang berbentuk lingkaran (Gambar 29), momen inersianya dapat dihitung sebagai berikut:
71
c
I y 2 da y0
2 R
I
r sin rddr 2
0 0 2 R
I
r
3
sin 2 ddr
0 0
2
I
R4 sin 2 d 4 0
Karena cos(2)=cos2- sin2, dan sin2 + cos2=1 maka: sin 2 1 cos 2 2
I
R4 4
I
R4 4
2
1 cos 2 d 2 0
2
1 cos 2 d 2 4 0
R4 2 2 sin 2 0 16 R 4 . I 4
I
Oleh karena itu tegangan geser horisontal dihitung dengan rumus :
c
V 4V yda Ib y0 3R 2
,
dan nilai numeriknya untuk tumpukan gelugu tunggal disajikan pada Tabel Lampiran 3. Gaya aksial, gaya geser, dan momen lentur merupakan sisi demand yang nilainya harus sama atau kurang dari kapasitas struktur. Demand (Q) untuk gaya aksial
adalah 4V
Q A 3R
2
bL
Q P A R 8VL , 3R
2
,
untuk
dan untuk momen lentur adalah
gaya
geser
adalah
Q M . Pada format
ASD, kesetimbangan struktur dirumuskan dengan (Q ≤ FxCDA), sehingga untuk gaya aksial menjadi (Q≤ Fc//FkA), gaya geser menjadi (Q ≤ Fs//FkA), dan momen lentur menjadi (Q≤FbFkI/R).
Faktor-faktor penyesuaian (Fk) yang digunakan
untuk gaya aksial adalah CD, CM, Ct, CF, Ci, dan CP, untuk gaya geser adalah CD, CM, Ct, dan Ci, dan untuk momen lentur adalah CD, CM, Ct, CL, CF, Cfu, Ci, Cr. Notasi di sebelah kanan pada persamaan kesetimbangan struktur (FxCDA), merupakan sisi kapasitas dari struktur yaitu beban kombinasi maksimum yang
72
masih dapat diterima dengan aman oleh struktur. Struktur paling efisien dapat diperoleh apabila nilai kapasitas sama dengan kombinasi beban yang diterimanya. Pada ASD setiap kombinasi beban dianggap tidak memiliki variasi sehingga kombinasi beban merupakan jumlah dari masing-masing beban (Q). Akibat kombinasi beban merata sebesar Q N/mm, komponen akan memberikan reaksi berupa gaya aksial sebesar P N , gaya lintang sebesar V N, dan momen lentur sebesar M Nmm (Gambar Lampiran 1).
Sebuah rasio (k)
dimunculkan untuk mendapatkan kombinasi beban maksimum (Qmax) yang masih dapat diterima dengan aman oleh struktur. perbandingan sisi kapasitas dengan
Rasio (k)
ini diperoleh melalui
reaksi struktur berupa gaya aksial, geser
horisontal, dan momen lentur batang (komponen) akibat beban merata sebesar Q N/mm sehingga diperoleh Qmax yang berturut-turut disajikan pada Tabel Lampiran 2, 3 dan 4. Qmax diperoleh melalui rumus: a. untuk gaya aksial :
Q
max
kQ
Fc // C D C M C t C F C i C P F C C CC CC A Q c // D M t F i P R 2 Q P P
b.untuk gaya geser :
Q
max
kQ
Fs // C D C M C t C F C i F C C CC C A Q s // D M t F i 3R 2 Q A 4V
c. untuk momen lentur :
Q
m ax
kQ
Fb C D C M C t C L C F C fu C i C r I Fb C D C M C t C L C F C fu C i C r R 3 Q M R M 4
Q
Qmax pada kasus ini adalah beban kombinasi maksimum yang dapat didistribusikan secara merata pada balok teratas struktur tumpukan gelugu. Apabila tumpukan gelugu menerima beban merata lebih besar dari Qmax maka struktur mengalami kerusakan. Batang-batang kritis, yaitu batang pertama yang mengalami kerusakan ketika beban melampaui kapasitasnya, ditetapkan sebagai batang yang memiliki |Qmax| terkecil dibanding batang-batang lain. Untuk tumpukan gelugu tunggal, batang-batang kritis akibat beban merata sebesar Q N/mm, disajikan pada Tabel 31.
73
Tabel 31. Batang-batang kritis dan kombinasi beban merata maksimum pada tumpukan gelugu tunggal (ASD) No batang kritis 10;20;30; 40 30;40 80 80 10;20;30;40
Aksial P Momen (M2) Momen (M3) Lintang (V2) Lintang (V3)
Qmax (N/mm) -216 (±)142 123 (±)99 (±)230
Sesuai dengan Tabel 31, kombinasi beban maksimum (Qmax) terkecil terjadi pada batang nomor 80 yang menerima gaya lintang (V2). Kombinasi beban merata maksimum yang dapat diterima oleh batang paling atas adalah 99 N/mm, sehingga kombinasi beban maksimum yang dapat diterima struktur tumpukan gelugu tunggal adalah 396 kN. Berbeda dengan ASD, pada LRFD diperkenalkan time effect factor () dan resistance factor (). Format conversion factor (KF) berfungsi untuk menkonversi tegangan ijin (F’) menjadi tahanan acuan (Rn). Beban kombinasi memiliki faktor pengali bagi setiap komponen beban, sehingga kesetimbangan struktur pada LRFD dinyatakan dengan: (Q)≤RnA. Persamaan kesetimbangan struktur untuk gaya aksial adalah (Q)≤KFFc//A, untuk gaya geser (Q)≤KFFs//A, dan untuk momen lentur adalah (Q)≤KFFbI/R. (Q)max yang terjadi pada setiap batang akibat kombinasi beban sebesar (Q) N/mm dalam format LRFD diperoleh melalui rumus: a. untuk gaya aksial :
Q
max
k Q
Fc // K F C M C t C F C i C P F K F C M C t C F C i C P A Q c // R 2 Q P P
b. untuk gaya geser :
Q
max
k Q
Fs // K F C M Ct C F C i F K F C M Ct C F C i A Q s // 3R 2 Q A 4V
c. untuk momen lentur :
Q
max
kQ
Fb K F C M C t C L C F C fu C i C r I Fb K F C M C t C L C F C fu C i C r R 3 Q M R M 4
Q
Proses selebihnya sama dengan ASD sehingga diperoleh batang-batang kritis dan kombinasi beban maksimumnya (Tabel 32).
74
Tabel 32.
Batang-batang kritis dan kombinasi beban merata maksimum pada tumpukan gelugu tunggal (LRFD)
Aksial P Momen (M2) Momen (M3) Lintang (V2) Lintang (V3)
No batang kritis 10;20;30; 40 30;40 80 80 10;20; 30;40
(Q)max (N/mm) -280 (±)184 159 (±)128 (±)298
Batang-batang kritis hasil analisis struktur dengan format LRFD sama dengan ASD.
Perbedaan hanya tampak pada besaran beban kombinasi
maksimumnya.
Kombinasi beban maksimum LRFD 1,296 kali lebih besar
daripada ASD.
Namun perbedaan ini terjadi karena perbedaan format saja,
sehingga dimensi material hasil analisa struktur LRFD sama dengan ASD. Analisa struktur format LRFD tidak menghasilkan struktur yang lebih hemat bahan ketimbang ASD pada faktor keamanan yang sama. Mengacu pada batang kritis no 80 (Tabel 32), apabila beban yang diterima struktur hanya beban mati, maka besarnya adalah 1,4 sehingga Qmax adalah (±)128/1,4=(±)91 N/mm. Nilai ini bahkan sedikit lebih kecil daripada hasil analisa struktur dengan ASD yang mendapatkan Qmax sebesar 99 N/mm (Tabel 31). Efektifitas dan efisiensi LRFD baru tampak ketika beban yang diterima struktur merupakan kombinasi dari beban mati, beban hidup, beban angin, beban salju, dll. Kombinasi beban dalam format LRFD tampak 1,296 lebih besar daripada ASD hanya disebabkan oleh perbedaan faktor-faktor penyesuaian, yaitu penambahan faktor , penggantian CD dengan , dan konversi Fx menjadi Rn dengan mengalikannya dengan KF. Nilai-nilai faktor koreksi ini bernilai sama untuk gaya aksial tekan sejajar serat, momen lentur, dan gaya geser horisontal sehingga nilai (Q)max (hasil LRFD) selalu 1,296 kali lebih besar daripada Qmax (hasil ASD).
Tumpukan Gelugu Berseling Tumpukan gelugu berseling dibangun dengan menumpuk gelugu secara berselang-seling, saling tegak lurus sehingga berbentuk cubical. Pada lapisan ganjil dipergunakan 3 batang dan pada lapisan genap dipergunakan 2 batang (Gambar 30).
75
Di setiap pertemuan antar lapisan, sebuah penumpu dipasangkan. Penumpu dibuat dari gelugu sepanjang 30 cm yang dicoak setengah lingkaran (Gambar 28).
(a) atas
(b) muka (c) samping (d) 3D Gambar 30. Tumpukan gelugu berseling
Sketsa tumpukan gelugu berseling yang diolah dengan software SAP disajikan pada Gambar 31a. Struktur tersebut menerima beban vertikal arah gravitasi yang didistribusikan merata
pada batang teratas sebesar Q N/mm (Gambar 31b),
sehingga timbul reaksi pada batang berupa tegangan aksial, tegangan geser, dan momen lentur (Gambar Lampiran 5). Nilai numerik gaya aksial, gaya geser, dan momen lentur disajikan pada Tabel Lampiran 6, 7, dan 8.
Kombinasi beban
maksimum pada setiap komponen tumpukan gelugu berseling dihitung dengan prosedur yang sama dengan tumpukan gelugu tunggal sehingga diperoleh batangbatang kritis seperti pada Tabel 33. Tabel 33.
Batang-batang Kritis dan Kombinasi Beban Maksimum pada Tumpukan gelugu Berseling (ASD dan LRFD)
Aksial P Momen (M2) Momen (M3) Lintang (V2) Lintang (V3)
No Batang Kritis 10;20;30;40;50;60 10;20;50;60 110;130 110;130 10;20; 50;60
ASD: Qmax (N/mm) -213 (±)137 122 (±)98 (±)363
LRFD: (Q) (N/mm) -276 (±)177 158 (±)127 (±)470
Seperti pada tumpukan gelugu tunggal, batang kritis tumpukan gelugu berseling terjadi pada batang yang menerima tegangan geser. Apabila format ASD yang digunakan, kombinasi beban maksimum yang dapat diterima oleh batang teratas adalah 98 N/mm, sehingga struktur dapat menerima kombinasi
76
beban maksimum sebesar 588 kN. Apabila format LRFD yang digunakan, maka kombinasi beban merata maksimum yang dapat diterima tampak 1,296 kali lebih besar yaitu 127 N/mm (508 kN).
Gambar 31. Material yang Digunakan (a) dan Beban yang Bekerja (b) pada Tumpukan gelugu Berseling Tumpukan Gelugu Berseling Ganda Tumpukan gelugu berseling ganda dibangun dengan cara menumpuk sortimen gelugu sehingga berbentuk cubical.
Setiap lapisan terdiri atas tiga
batang yang diletakkan sejajar. Arah batang tegak lurus dengan arah batang lapisan sebelumnya.
Di antara lapisan diberikan tumpuan berupa potongan
sortimen gelugu sepanjang 30 cm yang dicoak setengah lingkaran yang berfungsi sebagai tumpuan dan sekaligus pengunci (Gambar 28).
Gambar tumpukan
gelugu berseling ganda disajikan pada Gambar 32. Sketsa struktur dan material yang digunakan disajikan pada Gambar 33(a) dan beban yang diterima disajikan pada Gambar 33(b).
Akibat beban yang
diterimanya, setiap komponen memberikan reaksi berupa gaya aksial, gaya lintang, dan momen lentur yang sketsanya disajikan pada Gambar Lampiran 9. Analisis struktur (Tabel Lampiran 10, 11, dan 12) mendapatkan batang-batang
77
kritis dan kombinasi beban maksimum struktur sebagaimana disajikan pada Tabel 34.
a) atas
(b) muka (c) samping (d) 3D Gambar 32. Tumpukan Gelugu Berseling Ganda
Gambar 33. Material yang Digunakan (a) dan Beban yang Bekerja (b) pada Tumpukan Gelugu Berseling Ganda Tabel 34. Batang-batang kritis dan kombinasi beban merata maksimum pada tumpukan gelugu berseling ganda (ASD dan LRFD) Aksial P Momen (M2) Momen (M3) Lintang (V2) Lintang (V3)
No Batang Kritis 39;59 89 100;110;140;150 100;110;140;150 1;81
ASD: Qmax (N/mm) -612 -96928 675 (±)185 (±)60794
LRFD: (Q) (N/mm) -793 -125618 874 (±)239 (±)78789
78
Seperti halnya dua alternatif tumpukan gelugu sebelumnya, tumpukan gelugu berseling ganda memiliki komponen paling kritis pada batang yang menerima tegangan geser.
Kombinasi beban maksimum pada struktur tumpukan gelugu
berseling ganda berdasar format ASD adalah 185 N/mm (1110 kN), dan berdasar format LRFD adalah 239 N/mm (1434kN). Perencanaan struktur dilakukan untuk mendapatkan struktur yang efisien namun tetap kuat menahan beban yang akan diterimanya. Efisiensi penggunaan material pada struktur diukur melalui perbandingan beban yang diterima per satuan volume material. Pada struktur tumpukan gelugu ini efisiensi penggunaan material ditentukan sebagai besarnya beban yang dapat diterima dibagi total panjang seluruh material, sehingga efisiensi masing-masing struktur disajikan pada Tabel 35. Efisiensi juga dapat dinyatakan sebagai besarnya beban maksimum yang dapat diterima per batang pohon kelapa yang ditebang untuk membangun struktur tumpukan gelugu tersebut (Tabel 35).
Tabel 35. Efisiensi Struktur Tumpukan Gelugu Struktur Tumpukan gelugu tunggal Tumpukan gelugu berseling Tumpukan gelugu berseling ganda
Qmax (kN) 396 588 1110
Kebutuhan material (m) (pohon) 78 5,6 102 7,3 126 9,0
Efisiensi (kN/m) (kN/pohon) 5,08 71 5,76 81 8,81 123
Sebagaimana tersaji pada Tabel 35, struktur tumpukan gelugu berseling ganda memiliki efisiensi lebih tinggi dibanding dua struktur lainnya. Tumpukan gelugu berseling ganda memerlukan gelugu sepanjang 126 m yang diperoleh dari 9 batang pohon kelapa dan mampu menahan beban sebesar 1110 kN sehingga efisiensi materialnya adalah 8,81 kN/m atau 123 kN/pohon.
Sementara itu
struktur tumpukan gelugu tunggal dan tumpukan gelugu berseling masing-masing hanya memiliki efisiensi sebesar 5,08 kN/m (71 kN/pohon) dan 5,76 kN/m (81 kN/pohon). Dengan hanya menilik segi efisiensi, tumpukan gelugu berseling ganda merupakan struktur terbaik, namun dua struktur lainnya masih dapat ditingkatkan kapasitasnya dengan mengisi rongga-rongga di dalam struktur
79
dengan campuran material batu-batu kerikil, pasir, dan tanah sehingga efisiensinya meningkat. Masih terlalu dini untuk memilih struktur terbaik tanpa memahami demand sebenarnya di lapangan. Boleh jadi demand sebenarnya lebih kecil dari 390 kN sehingga masih dapat didukung oleh struktur tumpukan gelugu tunggal dan menjadi boros apabila struktur tumpukan gelugu berseling ganda yang dibangun.
Evaluasi beban sebenarnya di lapangan masih sangat diperlukan
sehingga dapat dipilih struktur dengan kebutuhan material minimum tetapi masih mampu menahan beban tersebut.
80