15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada 8 induk ikan Sumatra yang mendapat perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukan Spawnprime A dapat mempengaruhi proses pematangan akhir pada pemijahan ikan Sumatra. 4.1.1
Tingkat Keberhasilan Memijah (Spawning Rate) Dari pengamatan tingkat keberhasilan memijah atau Spawning Rate
(SpR) pada induk-induk ikan Sumatra yang diberi Spawnprime A diperoleh tingkat keberhasilan memijah yang berbeda antar perlakuan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 7 di bawah ini. Tabel 2. Tingkat keberhasilan memijah pada ikan Sumatra dalam kurun waktu pengamatan 24 jam Σ Induk memijah ( ) pada jam ke8-9
9 - 10
10 - 11
12 - 13
16 - 17
17 - 18
18 - 24
Σ ikan suntik
Ovaprim
5
-
2
-
-
-
-
8
7
88%
Spawnprime A1
2
3
-
1
-
-
-
8
6
75%
Spawnprime A2
1
2
-
1
1
-
-
8
5
63%
Spawnprime A3
1
1
-
-
1
-
-
8
3
38%
Kontrol AI
-
1
-
-
-
1
-
8
-
-
-
-
-
-
-
8
2 -
25%
Aquabides
Perlakuan
Keterangan:
() -
Σ ikan ovulasi
SpR
Jumlah induk yang memijah Tidak ada induk yang memijah
Dari Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa perlakuan kontrol ovaprim memiliki tingkat keberhasilan memijah mencapai 88%. Tingkat keberhasilan pemijahan pada perlakuan Spawnprime A sebesar 75%. Tingkat keberhasilan memijah pada Spawnprime A2 dan A3 sebesar 63% dan 38%. Pada kontrol AI, dengan 8 ekor ikan yang diujikan memiliki rata-rata tingkat keberhasilan memijah sebesar 25%. Sedangkan pada perlakuan kontrol aquabides, tidak ada ikan yang memijah dari 8 ekor ikan yang diberi perlakuan. Pada Gambar 7 berikut ini merupakan hubungan antara peningkatan proporsi AI dalam Spawnprime A terhadap tingkat keberhasilan memijah pada ikan Sumatra.
0%
Spawning Rate
16
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
88% 75%
63% 38% 25%
a
a
ab
b
b 0%
Kontrol Ovaprim
A1
A2
A3
AI
Kontrol Aquabides
Perlakuan
Gambar 7. Spawning rate pada masing-masing perlakuan Spawnprime A pada ikan Sumatra dalam kurun waktu pengamatan 24 jam. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya pengaruh berbeda nyata antar perlakuan Dari Gambar 7 di atas, dapat dilihat bahwa kontrol ovaprim memiliki tingkat keberhasilan memijah tertinggi, yaitu 88%. Pada Spawnprime A1 dan A2, tingkat keberhasilan memijah mencapai 75% dan 63%. Pada Spawnprime A3, tingkat keberhasilan memijah mencapai 38%. Pada ikan uji yang disuntikkan AI sebagai rangsangan pemijahan, memiliki tingkat keberhasilan yang paling rendah, yaitu 25%. Sedangkan pada ikan uji yang disuntikkan aquabides sebagai salah satu kontrol tidak diperoleh ikan yang memijah.
4.1.2
Waktu induk memijah Dari penelitian yang telah dilakukan, pada masing-masing perlakuan
terdapat perbedaan waktu memijah. Dari hasil pengamatan yang telah diperoleh yang disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 8 berikut ini menunjukkan bahwa lama waktu induk ikan Sumatra untuk memijah setelah diberi perlakuan spawnprime A bervariasi antar ikan uji. Berikut ini merupakan Gambar 8 yang menyajikan waktu induk memijah pada masing-masing perlakuan.
17
14,00
13,10 + 5,8
Lama masa ovulasi (jsm)
12,00 10,00
9,24 + 1,2
9,34 + 0,8
9,53 + 3,8 8,56 + 4,3
8,00 6,00 4,00 2,00
a
a
a
a
a
Kontrol Ovaprim
A1
A2
A3
Kontrol AI
0,00 Perlakuan
Gambar 8. Pengaruh Spawnprime A terhadap rata-rata waktu induk memijah pada ikan Sumatra dalam kurun waktu pengamatan 24 jam. Huruf yang sama menunjukkan tidak adanya pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan Pada perlakuan kontrol ovaprim, lama jarak waktu antara penyuntikkan dengan waktu stripping berkisar antara 8 – 11 jam pasca penyuntikkan dan memiliki rata-rata lama jarak waktu stripping 9 jam 24 menit dengan simpangan 1,2 jam. Pada perlakuan Spawnprime A1, rata-rata waktu ovulasi 9 jam 34 menit dengan simpangan 0,8 jam. Kisaran lama waktu ovulasi pada induk ikan uji perlakuan Spawnprime A2 dan A3 berkisar antara 8 – 17 jam pasca penyuntikkan. Rata-rata waktu ovulasi pada induk ikan Sumatra dengan menggunakan Spawnprime A2 selama 9 jam 53 menit dengan simpangan 3,8 jam. Untuk perlakuan Spawnprime A3, kisaran waktu ovulasi antara 8 – 17 jam pasca penyuntikkan dengan rata-rata 8 jam 56 menit dan simpangan 4,3 jam. Pada perlakuan Kontrol AI, induk ikan Sumatra yang memijah memiliki kisaran waktu ovulasi 9 – 17 jam pasca penyuntikkan dimana rata-rata lama induk untuk memijah membutuhkan waktu 13,1 jam dengan simpangan 5,8 jam. Sedangkan pada perlakuan kontrol Aquabides, tidak ada ikan yang memijah. 4.1.3
Jumlah telur yang diovulasikan (ovulated egg) Dalam penelitian ini, parameter ini diamati pada 5 ekor ikan yang
diinduksikan Spawnprime A. Dari penelitian ini, diperoleh jumlah telur yang diovulasikan pada induk-induk ikan Sumatra yang berhasil memijah. Nilai ini
18
disajikan pada Tabel 3 dibawah ini. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa ovulated egg (OE) pada perlakuan kontrol ovaprim memiliki rata-rata sebesar 276 + 67 butir/g induk. Pada Spawnprime A1 rata-rata ovulated egg yang diperoleh sebanyak 276 + 15 butir/g induk. Pada Spawnprime A2 sebanyak 348 + 9 butir/g. Ovulated egg pada Spawnprime A3 diperoleh sebanyak 326 + 20 butir/g induk. Pada perlakuan kontrol AI, ovulated egg yang diperoleh sebesar 151 butir/g induk. Sedangkan pada kontrol aquabides tidak diperoleh telur yang berhasil ovulasi dari induk-induk yang diberi perlakuan. Pada Gambar 9 menggambarkan hubungan antara peningkatan proporsi AI terhadap ovulated egg pada ikan Sumatra. Tabel 3. Ovulated egg induk ikan Sumatra Puntius tetrazona Perlakuan
Kontrol positif
Spawnprime A1
Spawnprime A2
Bobot ikan (gram)
OE
3,52
372
1,5
-
OE rata-rata
276 + 67
Perlakuan
Spawnprime A3
Bobot ikan (gram)
OE
1,81
312
1,84
-
1,56
-
1,31
233
4,13
227
1,23
340
1,49
272
1,9
-
1,5
279
1,53
-
1,56
290
1,5
-
1,43
261
1,47
-
1,59
-
1,39
-
1,68
-
1,39
151
1,69
357
1,2
-
3,58
-
1,39
-
1,42 1,58
-
1,46
-
1,71
349
2,93 1,98
339
276 + 15
348 + 9
Kontrol AI
Kontrol Aquabides
OE rata-rata
326 + 20
151
Keterangan: - tidak memijah dalam kurun waktu 24 jam pasca penyuntikkan OE ovulated egg (butir/gram)
Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa ovulated egg ikan Sumatra seiring dengan peningkatan proporsi AI dalam Spawnprime mengalami penurunan yang mengikuti persamaan y = -507,4x2 + 427,4x + 251,9. Persamaan ini dapat mewakili keadaan sebenarnya sebesar 77,5%. Dari nilai keragaman tersebut dapat diketahui bahwa hubungan antara peningkatan proporsi AI terhadap penurunan ovulated egg ikan Sumatra sangat erat (r = 0,88). Selain itu, dari persamaan tersebut dapat diketahui porsi optimum proporsi AI dalam spawnprime A terhadap jumlah telur yang diovulasikan, yaitu sebesar 42,11%.
19
400 350
Ovulated egg
300 250 200
y = -507,4x2 + 427,4x + 251,9 R² = 0,775 r = 0,88
150 100 50 0 0%
25%
50%
75%
100%
Proporsi AI dalam spawnprime A
Gambar 9. Garis kuadratik pengaruh peningkatan proporsi AI dalam Spawnprime A terhadap ovulated egg pada ikan Sumatra dalam periode 24 jam pengamatan 4.1.4
Diameter telur Dari jumlah ikan uji sebanyak 5 ekor pada setiap perlakuan, jumlah ikan
uji yang berhasil ovulasi hanya 13 ekor. Berikut ini merupakan Tabel 4 yang menyajikan rata-rata perkembangan diameter telur pada setiap perlakuan dan diameter telur pada induk Sumatra siap suntik. Tabel 4. Perkembangan diameter telur pada setiap perlakuan dan diameter telur awal pada ikan Sumatra P. Tetrazona. Huruf yang sama menunjukkan tidak adanya pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan Perlakuan
Diameter telur (mm)
Diameter Awal (induk siap suntik)
0,96 + 0,06
a
Kontrol Ovaprim Spawnprime A1
1,17 + 0,04
a
1,17 + 0,04
a
Spawnprime A2
1,17 + 0,04
a
Spawnprime A3
1,20 + 0,07
a
Kontrol AI
1,34 + 0,07
a
Rata-rata diameter telur pada induk Sumatra siap suntik sebesar 0.96 + 0.06 mm. Pada induk Sumatra yang ovulasi setelah diberi perlakuan ovaprim murni (kontrol ovaprim), Spawnprime A1 dan A2 memiliki ukuran yang sama, yaitu 1,17 + 0,04 mm. Pada Spawnprime A3 dan kontrol AI memiliki diameter sebesar 1,20 + 0,07 mm dan 1,34 + 0,07 mm.
20
4.1.5
Pergerakan inti telur Hasil penelitian menunjukan tingkat pergeseran inti telur pada setiap
premiks perlakuan mencapai 100%, jika dibandingkan dengan posisi inti telur pada ikan Sumatra siap suntik. Hasil pengamatan ini disajikan pada Gambar 10 di bawah ini. 120% GVBD
pergerakan inti telur
100%
GVBD
GVBD
GVBD
GVBD
80% 60% 40%
tengah menuju ke tepi
20% 0% Awal
Ovaprim
A1
A2
A3
Kontrol AI
perlakuan
Gambar 10. Pergerakan inti telur setelah ovulasi pada setiap perlakuan Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa pada induk ikan Sumatra siap suntik 60% dari jumlah telur yang diamati, posisi inti telur masih berada di tengah dan 40% sudah menuju ke tepi. Sedangkan pada perlakuan yang lain, terkecuali kontrol aquabides, posisi inti yang diamati sudah mencapai 100% berada di tepi atau Germinal Vesicle Breakdown (GVBD). 4.1.6
Derajat pembuahan (Fertilization rate) Parameter derajat pembuahan diamati pada 3 ekor ikan uji. Berikut ini
merupakan Tabel 5 yang menyajikan derajat pembuahan dari induk-induk ikan Sumatra yang berhasil ovulasi dalam kurun waktu 24 jam dan Gambar 11 yang menunjukkan hubungan antara penyubstitusian porsi ovaprim oleh Aromatase Inhibitor terhadap derajat pembuahan pada ikan Sumatra
21
Tabel 5. Parameter pemijahan pada ikan Sumatra Puntius tetrazona Perlakuan
Σ ikan suntik
Kontrol Ovaprim
3
Bobot (gram)
Σ ikan ovulasi
Parameter pemijahan (%) FR
HR
SR 2 Hari
1,86 + 0,75
3
63 - 92
19 - 46
5 - 36
Spawnprime A1
3
2,24 + 1,16
3
45 - 67
25 - 53
6 - 52
Spawnprime A2
3
2,04 + 0,62
2
73 - 79
23 - 55
0 - 22
Spawnprime A3
3
2,37 + 0,96
1
73
37
0
Kontrol AI
3
1,42 + 0,02
1
39
23
0
Aquabides
3
1,45 + 0,06
0
-
-
-
80%
Derajat pembuahan (FR)
70% 60% y = -0,619x2 + 0,386x + 0,683 R² = 0,561 r = 0,75
50% 40% 30% 20% 10% 0% 0%
25%
50%
75%
100%
Proporsi AI dalam spawnprime A
Gambar 11. Garis kuadratik pengaruh peningkatan proporsi AI dalam Spawnprime A terhadap derajat pembuahan (FR) pada pemijahan ikan Sumatra Pada Tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa derajat pembuahan (FR) selama penelitian berlangsung bervariasi antar perlakuan. Pada kontrol ovaprim diperoleh sebesar 63 – 92%, Spawnprime A1 45 – 67%, Spawnprime A2 73 – 79%. Sedangkan derajat pembuahan yang diperoleh pada Spawnprime A3 dan kontrol AI sebesar 73% dan 39%. Sementara itu, tidak diperleh derajat pembuahan pada kontrol aquabides. Dari Gambar 11 di atas dapat dilihat bahwa derajat pembuahan pada telur ikan Sumatra pada masing-masing perlakuan yang dibuahi dengan sperma ikan Tawes mengikuti model persamaan y = -0,619x2 + 0,386x + 0,683, dimana model ini dapat mewakili keadaan sebenarnya sebesar 56.1%. Dari model persamaan tersebut, dapat diketahui adanya hubungan yang sangat erat (r = 0.75) antara peningkatan proporsi AI di dalam Spawnprime terhadap derajat pembuahan pada telur ikan Sumatra. Berdasarkan persamaan tersebut, derajat
22
pembuahan akan optimal pada proporsi AI sebanyak 31,17% dalam Spawnprime A. 4.1.7
Derajat penetasan (Hatching rate) Pada Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa derajat penetasan (HR) pada
Kontrol ovaprim diperoleh sebesar 19 – 46%, perlakuan spwnprim A1 sebesar 25 – 53%, Spawnprime A2 berkisar antara 23 – 55%. Pada Spawnprime A3 dan kontrol AI, parameter derajat pembuahan yang diperoleh sebesar 37% dan 23%. Sedangkan pada kontrol aquabides tidak diperoleh induk yang berhasil ovulasi. 45% Derajat penetasan (HR)
40% 35%
y = -0,550x2 + 0,484x + 0,298 R² = 0,982 r = 0,99
30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 0%
25%
50%
75%
100%
Proporsi AI dalam spawnprime A
Gambar 12. Garis kuadratik pengaruh peningkatan proporsi AI dalam spawnprime A terhadap derajat penetasan (HR) pada telur ikan Sumatra Dari Gambar 12 diatas dapat dilihat derajat penetasan telur ikan Sumatra pada masing-masing perlakuan yang dibuahi dengan sperma ikan Tawes mengikuti model persamaan linear y = -0,550x2 + 0,484x + 0,298 dimana model ini dapat mewakili keadaan sebenarnya sebesar 98,2%. Dari model persamaan tersebut, dapat diketahui adanya hubungan yang sangat erat (r = 0.99) antara peningkatan proporsi AI dalam Spawnprime A terhadap derajat penetasan telur ikan Sumatra. Berdasarkan gambar di atas, derajat pembuahan dengan menggunakan spawnprime A akan optimal pada proporsi AI sebesar 44%. 4.1.8
Tingkat kelangsungan hidup larva umur 2 hari (SR2) Tingkat kelangsungan hidup larva yang diperoleh setelah berumur 2 hari
seperti tercantum pada Tabel 5, yaitu kontrol ovaprim sebesar 5 – 36%, Spawnprime A1 6 – 52%, dan 0 – 22% untuk Spawnprime A2. Sedangkan pada Spawnprime A3 dan kontrol AI, tidak ditemukan larva persilangan ikan Sumatra dengan ikan Tawes yang masih bertahan hidup. Dan pada kontrol aquabides tidak terjadi ovulasi pada induk-induk ikan uji. Gambar 13 di bawah ini
23
merupakan pengaruh peningkatan proporsi AI dalam Spawnprime A untuk menyubstitusi ovaprim untuk merangsang ikan Sumatra memijah.
Derajat kelangsungan hidup larva 2 hari
35% 30% 25%
y = -0,221x2 - 0,033x + 0,215 R² = 0,668 r = 0,82
20% 15% 10% 5% 0% 0%
25%
50%
75%
100%
Proporsi AI dalam spawnprime A
Gambar 13. Garis kuadratik pengaruh peningkatan proporsi AI dalam Spawnprime A terhadap SR2 pada larva ikan Sumatra Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh peningkatan proporsi AI di dalam premix perlakuan hingga mencapai 100% AI mengikuti model persamaan y = -0,221x2 + 0,033x + 0,215, dimana model persamaan ini dapat mewakili keadaan sebenarnya sebesar 66,8%. Pada model kuadratik tersebut dapat diketahui adanya hubungan yang sangat erat (r = 0,82) antara peningkatan proporsi AI terhadap penurunan tingkat kelangsungan hidup larva selama 2 hari. Dari model persamaan ini, dapat diketahui bahwa keberadaan porsi AI dalam spawnprime A sangat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup awal 2 hari pasca menetas.
24
4.2. Pembahasan Pada Tabel 2 dan Gambar 7 dapat diketahui bahwa pematangan akhir dengan menyuntikkan ovaprim dosis 0.5 ml/kg induk dapat merangsang pemijahan dengan tingkat keberhasilan mencapai 88 % dari 8 ekor ikan. Pada kontrol ovaprim lama waktu induk memijah 8 – 11 jam pasca penyuntikkan. Keberadaan GnRHa dan antidopamin yang terkandung di dalam 0.5 ml ovaprim yang diinduksikan ke dalam tubuh induk per Kg sumatra mampu merangsang pituitari untuk mengsekresikan GTH dan mampu menghambat kerja senyawa dopamin yang disekresikan oleh hypothalamus untuk menghambat pituitary mengsekresikan GTH. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, penyuntikkan AI yang dikombinasikan
dengan ovaprim (Spawnprime A)
dengan
dosis
suntik
Spawnprime A sama seperti dosis suntik ovaprim, Spawnprime A1 dan A2 dapat merangsang pemijahan dengan tingkat keberhasilan memijah 75% dan 63% dalam kurun waktu yang tidak jauh berbeda dengan kontrol ovaprim. Sedangkan pada proporsi AI yang tinggi yang diinduksikan ke dalam induk Sumatra seperti pada Spawnprime A3 dan kontrol AI memiliki tingkat keberhasilan yang paling rendah jika dibandingkan dengan perlakuan Spawnprime A yang lain. Selain memiliki tingkat keberhasilan yang rendah, penggunaan Spawnprime A dengan proporsi AI yang tinggi dan kontrol AI membutuhkan waktu yang jauh lebih lama agar induk memijah. Adanya perbedaan tingkat keberhasilan memijah dan lama induk memijah diduga terjadi karena adanya perbedaan proporsi ovaprim dalam Spawnprime A, dimana terdapat kandungan GnRHa dan antidopamin yang disubstitusikan oleh AI sebanyak 25% pada Spawnprime A1, 50% pada Spawnprime A2, 75% pada Spawnprime A3, dan 100% pada kontrol AI. Keberadaan AI di dalam sistem organ reproduksi berpengaruh nyata terhadap proses perkembangan gonad pada ikan Sumatra (P<0,05). Keberadaan AI dalam darah yang mengalir di sistem organ reproduksi mampu menghambat enzim aromatase dalam mengkonversi testosteron menjadi estradiol-17β. Sehingga dengan adanya peningkatan konsentrasi AI di dalam darah, konsentrasi estradiol-17β akan mengalami penurunan. Penurunan estradiol-17β dapat menghambat vitellogenesis, dimana hormon ini berfungsi sebagai stimulus yang diteruskan ke hati, sehingga di hati terjadi sintesa vitellogenin atau bakal kuning telur. Vitellogenin ini akan dialirkan ke dalam darah dan akan terserap ke dalam oosit. Menurut Afonso et al (1999a), aromatase
25
inhibitor Fadrozole mampu mereduksi biosintesis estradiol-17β selama proses vitellogenesis. Terhambatnya
mekanisme
vitellogenesis
akan
mengakibatkan
mundurnya waktu sel telur untuk memasuki tahap pematangan akhir. Tahap pematangan akhir pada telur berlangsung setelah vitellogenesis terhenti dan gonad mengirimkan feedback negatif terhadap hipothalamus dan hipofisa untuk menghentikan sekresi GTH I. Ketika GTH I terhenti, sistem saraf pusat menunggu sinyal lingkungan yang akan diteruskan ke hipothalamus untuk mengsekresikan GnRH yang ditujukan terhadap pituitari sehingga pituitari mengsekresikan GTH II. Ovaprim yang terkandung pada Spawnprime A1 (75%) dan A2 (50%) mampu merangsang pituitari mengsekresikan GTH II. Adanya keberadaan AI di dalam Spawnprime A1 dan A2 berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan dan waktu induk memijah setelah Spawnprime A diinduksikan ke dalam tubuh induk (P<0,05). Mekanisme kerja AI yang diinduksikan secara bersamaan dengan ovaprim diduga menimbulkan efek lebih awal terhadap proses pematangan gonad pada ikan daripada ovaprim. Keberadaan AI hingga 50% di dalam sistem reproduksi ikan diduga mampu menghambat vitellogenesis pada ikan. Sehingga, proporsi
ovaprim
sebanyak
50%
mampu
merangsang
pituitary
untuk
mengsekresikan GTH II dan menghambat hipothalamus mengsekresikan senyawa dopamin. Pada Spawnprime A3, dimana 75% bagian dari perlakuan ini terdiri dari AI dan sisanya berupa ovaprim, perlakuan ini masih memberikan pengaruh terhadap keberhasilan ikan Sumatra untuk memijah. Namun, dengan adanya proporsi ovaprim sebanyak 25% di dalam Spawnprime A3 masih mampu merangsang induk ikan Sumatra untuk memijah walaupun membutuhkan waktu lebih lama dengan tingkat keberhasilan yang rendah dalam kurun waktu 24 jam. Dengan keberadaan kandungan AI dalam jumlah tinggi di dalam darah mampu menghentikan vitellogenesis, namun di sisi lain dengan keberadaan proporsi ovaprim sebanyak 25% di dalam spawnprime A3 masih menimbulkan rangsangan hormonal pada pituitari untuk mengsekresikan GTH II dan menghambat hipothalamus mengsekresikan senyawa dopamin. Pada perlakuan kontrol AI, dimana AI diinduksikan ke dalam tubuh ikan Sumatra untuk memacu pematangan gonad ikan Sumatra memiliki tingkat keberhasilan memijah yang paling rendah. Hanya 2 ekor ikan yang berhasil
26
memijah dari 8 ekor ikan yang diujikan terhadap kontrol AI ini. Dari 2 ekor ikan yang berhasil memijah memiliki waktu yang saling berjauhan, dimana salah satu ikan memijah dalam kurun waktu 17 – 18 jam sedangkan ikan yang lain berhasil memijah bersamaan dengan ikan uji yang diberi perlakuan kontrol ovaprim. Terjadinya perbedaan waktu ovulasi dari kedua ikan uji tersebut diduga pada salah satu ikan sudah berada pada tahap vitellogenesis akhir, sehingga ketika keberadaan AI dalam darah dengan jumlah tinggi menghentikan vitellogenesis sehingga telur lebih cepat memasuki fase dorman. Sedangkan pada ikan uji yang lebih lama masa ovulasinya masih berada pada tahap vitellogenesis, ketika keberadaan AI dalam jumlah besar dalam darah, mekanisme dari vitellogenesis terhambat. Sehingga sel-sel telur ikan uji ini memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai fase dorman dan memasuki tahap pematangan akhir. Keberhasilan memijah pada induk Sumatra bergantung kepada faktor internal dan eksternal. Yang termasuk ke dalam faktor internal, yaitu tingkat kematangan gonad yang dipengaruhi oleh sistem fisiologis yang berlangsung di dalam tubuh ikan, khususnya sistem hormon. Sedangkan faktor eksternal yang mampu merangsang ikan memijah, yaitu keberadaan substrat, kualitas air, tingkat stres, dan keberadaan lawan jenis yang dapat mempengaruhi sistem reproduksi yang berlangsung di dalam tubuh ikan. Pergeseran nilai dari suatu parameter kualitas air dapat diterima sebagai sinyal lingkungan oleh sistem saraf yang selanjutnya diteruskan ke hipothalamus untuk mengsekresikan hormon reproduksi yang ditujukan terhadap pituitari. Kemudian setelah pituitari memproduksi gonadotrophin yang ditujukan terhadap gonad maka rangkaian proses metabolisme akan berlangsung secara terus menerus hingga sel-sel telur benar-benar sudah matang dan secara fisiologis sudah siap dibuahi oleh sperma. Setelah rangkaian proses metabolisme tersebut selesai, maka akan terjadi ovulasi yang ditandai dengan keluarnya sel telur dari lapisan folicle menuju rongga ovary. Parameter fekunditas sering dijadikan sebagai tolok ukur dari kualitas suatu induk betina. Namun dalam penelitian ini, nilai fekunditas dari induk sumatra tidak dilakukan melainkan jumlah telur yang diovulasikan dari masingmasing induk yang memijah.
Pada garis kuadratik yang ditampilkan pada
Gambar 9, menunjukkan bahwa jumlah telur yang diovulasikan (ovulated egg) yang diperoleh pada semua perlakuan mengikuti persamaan y = -507,4x2 + 427,4x + 251,9. Persamaan ini dapat mewakili keadaan sebenarnya sebesar
27
77,5%. Dari nilai keragaman tersebut dapat diketahui bahwa hubungan antara peningkatan proporsi AI terhadap penurunan fekunditas ikan Sumatra sangat erat (r = 0,88). Dengan nilai korelasi yang tinggi menandakan bahwa peningkatan proporsi AI dalam memacu pematangan gonad pada ikan Sumatra sangat berpengaruh terhadap jumlah telur yang diovulasikan atau dengan adanya peningkatan proporsi AI hanya berpengaruh 77,5% terhadap telur yang diovulasikan. Dari gambar 9 dapat dilihat bahwa pada proporsi AI sebanyak 50% dari spawnprime A sudah mulai mengalami penurunan jumlah telur yang diovulasikan. Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa jumlah telur yang diovulasikan akan optimal pada proporsi AI sebesar 42,11% dari total volume spawnprime A yang diinduksikan ke dalam tubuh induk. Faktor lain yang menyebabkan perbedaan jumlah telur yang diovulasikan pada masing-masing perlakuan diduga karena adanya keterkaitan antara jumlah telur yang diovulasikan dengan fekunditas dari masing-masing induk. Induk-induk ikan sumatra yang diuji dengan perlakuan ini memiliki bobot dan ukuran induk yang bervariasi. Variasi ini terjadi karena induk-induk yang digunakan berasal dari stok populasi yang berbeda, maksudnya selama penelitian berlangsung induk-induk yang digunakan lebih dari 1 populasi bobot dan ukuran induk. Dengan kata lain, fekunditas induk dipengaruhi oleh bobot dan ukuran induk (Effendi, 1979) sehingga mempengaruhi jumlah telur yang diovulasikan. Diameter telur merupakan salah satu parameter yang diperlukan untuk menentukan kualitas dari suatu pemijahan. Keberhasilan pemijahan di pengaruhi oleh volume kuning telur yang merupakan cadangan makanan bagi embrio ikan selama proses perkembangannya hingga menetas dan pada awal kehidupannya. Semakin maksimal kuning telur yang dihasilkan semakin terjamin ketersediaan sumber energi untuk mempertahankan kelangsungan hidup calon individu baru setelah proses pembuahan. Untuk mengetahui diameter telur sebelum diberi perlakuan, sampel telur diperoleh dari proses pembedahan terhadap 3 ekor induk yang mewakili populasi induk yang siap suntik untuk mengukur diameter telur awal. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peningkatan proporsi AI dalam spawnprime A berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap ukuran diameter telur pada masing-masing perlakuan. Namun dari data yang diperoleh tidak dapat ditentukan adanya perbedaan pengaruh perlakuan ketika proporsi AI dalam perlakuan spawnprime A semakin tinggi.
28
Perbedaan ukuran diameter telur pada ikan Sumatra yang diberi perlakuan kontrol ovaprim, Spawnprime A1 dan A2 lebih kecil jika dibandingkan dengan diameter telur yang diperoleh dari perlakuan Spawnprime A3 dan kontrol AI. Hal ini sejalan dengan Sumantri (2006) dimana penyuntikkan AI yang diinduksikan secara bersamaan dengan ovaprim menyebabkan peningkatan ukuran diameter telur. Penambahan ukuran diameter telur berlangsung selama proses vitellogenesis, sedangkan pada perlakuan proporsi AI yang tinggi memperoleh diameter telur yang lebih besar daripada perlakuan dengan proporsi AI rendah. Menurut Afonso, et al (1999), penyuntikkan AI dapat menyebabkan penurunan kandungan protein telur dan meningkatnya kadar air. Besarnya diameter telur pada ikan-ikan uji yang diberi perlakuan dengan dosis AI lebih dari 75% diduga menimbulkan banyak kadar air yang terserap selama proses pematangan akhir berlangsung. Sebelum ikan uji diberi perlakuan spawnprime A, dilakukan pengujian sampel telur yang diperoleh dari proses pembedahan terhadap 3 ekor induk yang mewakili populasi induk yang siap suntik. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 3 ekor yang mewakili populasi induk siap suntik yang disajikan pada Gambar 10 diperoleh 60% dari jumlah telur yang diamati posisi inti masih di tengah dan 40% sisanya sudah mulai menuju ke tepi. Namun, prosedur ini tidak dapat mewakili pergerakan inti telur sebenarnya pada msing-masing ikan uji setelah diberi perlakuan. Pada ikan-ikan uji perlakuan spawnprime A, posisi inti telur yang diamati 100% sudah GVBD atau inti telur sudah berada di pinggir berdekatan dengan mikrofil pada masing-masing telur yang telah diovulasikan. Adanya pergeseran inti mencapai 100% GVBD pada masing-masing perlakuan diduga adanya proporsi AI yang diinduksikan ke dalam darah menyebabkan vitellogenesis terhenti sebelum waktunya sehingga sel telur lebih cepat mengalami fase dorman. Pada fase ini telur lebih cepat dirangsang kematangannya untuk diovulasikan. Di lain sisi, keberadaan stimulus yang lain termasuk ovaprim dan sinyal lingkungan mampu memberikan rangsangan hormonal pada sistem saraf untuk melanjutkan proses pematangan akhir. Pergerakan inti telur dipengaruhi oleh proses steroidogenesis. Setelah kuning telur terakumulasi, GTH II yang disekresikan oleh pituitari akan merangsang lapisan theca untuk mengsekresikan 17α-hidroxyprogesteron masuk ke lapisan granulose. Dalam lapisan ini, 17α-hidroxyprogesteron diubah menjadi 17α,20βdihydroxy-4-pregnen-3-one (17α,20β – P) dengan bantuan enzim 20β-
29
hidroxysteroidehidrogenase (20 β-HSB). Kemudian 17α,20β – P akan bertindak sebagai Maturation Inducing Hormon (MIH). Dengan adanya steroid pemicu kematangan yang merangsang faktor perangsang kematangan (Maturation Promoting Factor, MPF) inti telur akan bergerak menuju ke arah mikrofil kemudian melebur atau lebih dikenal dengan istilah Germinal Vesicle Break Down (GVBD). Pembuahan merupakan meleburnya sel gamet jantan dengan sel gamet betina. Sebelum terjadi peleburan kedua sel gamet ini, sel gamet jantan (spermatozoa) masuk ke dalam sel telur melalui mikrofil yang ada pada telur. Ukuran mikrofil pada telur ikan berbeda antar spesies. Sehingga hanya sperma yang memiliki ukuran kepala yang sesuai dengan ukuran mikrofil yang dapat masuk ke dalam sel telur. Dalam penelitian ini, sperma yang digunakan untuk membuahi sel telur ikan Sumatra yaitu sperma yang berasal dari ikan Tawes Puntius javanicus. Sperma ikan Tawes lebih mudah didapat tanpa harus membunuh ikan hanya untuk mengambil spermanya. Selain itu, ukuran kepala dari sperma ikan Tawes lebih kecil dari pada ukuran sperma pada ikan Sumatra, yaitu memiliki lebar kepala sebesar 1.496 + 0.189 µm dan kepala sperma pada ikan Sumatra berkisar antara 1.907 + 0.154µm (Risnawati, 1995 dalam Tang dan Affandi, 2000). Dengan kata lain, sperma ikan tawes pada tahap seleksi awal sudah mampu membuahi sel telur pada ikan Sumatra. Nilai derajat pembuahan yang diperoleh bervariasi antar perlakuan. Nilai derajat pembuahan yang tertinggi diperoleh pada perlakuan kontrol ovaprim, yaitu 63 – 92% dan yang terendah yaitu perlakuan kontrol AI sebesar 39%. Jika dilihat pada Gambar 11 yang mengilustrasikan pengaruh peningkatan proporsi AI terhadap derajat pembuahan telur oleh sperma ikan Tawes mengalami penurunan dimana terdapat hubungan yang sangat erat antara peningkatan proporsi AI terhadap penurunan derajat pembuahan dari telur ikan Sumatra. Namun, yang mempengaruhi derajat pembuahan dari suatu pemijahan tidak hanya kualitas telur, kualitas sperma pun dapat menentukan tinggi rendahnya dari derajat pembuahan. Selama pengamatan parameter derajat pembuahan yang dilakukan setelah 6 jam pasca penyatuan sperma dengan telur, diduga embrio sudah berada pada fase gastrula awal. Pembuahan antar spesies amat beresiko untuk dilakukan dalam menghasilkan individu baru. Pembuahan antar spesies dilakukan untuk memperoleh individu baru melalui manipulasi set kromosom,
30
dimana sperma dari lain spesies ini hanya berfungsi sebagai trigger untuk polar body II keluar dari sel telur ketika fertilisasi berlangsung. Jumlah kromosom sperma pada ikan Sumatra dan ikan Tawes sama banyak, yaitu 50 kromosom (2n). Namun, berdasarkan pengamatan kariotipe dari kedua spesies ini memiliki perbedaan, yaitu pada tipe kromosom yang dimiliki oleh kedua spesies ini (Veranita, 1999). Pada gambar 11 dapat dilihat bahwa seiring dengan peningkatan proporsi AI yang diinduksikan ke dalam darah berpengaruh terhadap derajat pembuahan. Derajat pembuahan yang diperoleh selama perlakuan mengalami penurunan dengan ragam dan nilai korelasi sebesar 56,1% dan 0,75. Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa peningkatan proporsi AI berpengaruh sebesar 56,1% terhadap derajat pembuahan antar perlakuan dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain seperti kualitas sperma dan media pemijahan. Selain itu, ada korelasi yang sangat erat seiring dengan peningkatan proporsi AI dalam spawnprime A terhadap derajat pembuahan. Dengan menggunakan model persamaan tersebut, dapat dilihat bahwa derajat pembuahan akan optimal apabila dalam spawnprime A terdapat proporsi AI sebanyak 31,17% dari 10 ml volume spawnprime A. Persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah telur yang dibuahi sering disebut sebagai derajat penetasan atau Hatching Rate (HR) dalam suatu reproduksi ikan ikan. Derajat penetasan secara tidak langsung menunjukkan kualitas telur dalam menyediakan cadangan makanan bagi calon individu baru dan ketahanan perkembangan calon individu baru hingga menetas. Rendahnya HR yang diperoleh dalam penelitian ini seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5 diduga terjadi karena kandungan protein kuning telur yang terakumulasi di dalam telur mengalami penurunan seiring dengan peningkatan proporsi AI yang diinduksikan ke dalam tubuh induk. Pada gambar 12 dapat diketahui bahwa peningkatan proporsi AI berpengaruh 98,2% terhadap derajat penetasan pada setiap perlakuan. Selain itu, peningkatan proporsi AI memiliki nilai korelasi yang sangat erat terhadap derajat penetasan pada setiap perlakuan. Walaupun diameter telur pada perlakuan spawnprime A dengan proporsi yang tinggi memiliki ukuran yang besar, bukan berarti kandungan protein kuning telurnya pun tinggi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Afonso, et al (1999), penyuntikkan AI dapat menyebabkan penurunan kandungan protein telur dan meningkatnya kadar air. Rendahnya
31
kandungan protein kuning telur yang terakumulasi untuk digunakan sebagai cadangan makanan bagi embrio dapat menyebabkan embrio gagal berkembang dan menetas menjadi individu baru. Tingkat kelangsungan hidup larva merupakan kemampuan larva untuk mempertahankan hidupnya dengan hanya dibekali cadangan makanan berupa sisa kuning telur yang dibawa dari proses embriogénesis. Walaupun larva menetas dan mampu berenang, namun dengan cadangan makanan yang ada larva mampu tumbuh dan mengalami perkembangan sel-sel dan jaringan. Dari hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi proporsi AI dalam spawnprime A semakin rendah SR 2 hari yang diperoleh. Dari model persamaan yang diperoleh terdapat hubungan yang sangat erat antara peningkatan proporsi AI dalam spawnprime A terhadap penurunan tingkat kelangsungan hidup pada larva Sumatra. Rendahnya kelangsungan hidup pada larva dipengaruhi oleh persediaan cadangan makanan larva selama sistem organ belum terbentuk dan berfungsi sempurna, sehingga dalam mempertahankan hidupnya larva yang baru menetas memperoleh energi dari kuning telur. Rendahnya nilai SR 2 hari pada perlakuan spawnprime A3 dan kontrol AI diduga karena kandungan protein kuning telur yang dimiliki oleh larva tersebut sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh terhentinya proses vitellogenesis oleh keberadaan AI yang tinggi selama vitellogenesis berlangsung. Selain itu, ada faktor lain yang menjadi tolok ukur bakal individu baru untuk mempertahankan hidup, yaitu sel-sel dan jaringan tubuhnya mampu untuk tumbuh dan berkembang dengan normal sehingga mampu membentuk sistem organ yang semakin tahan terhadap faktor lingkungan. Rendahnya nilai SR 2 hari yang diperoleh diduga pada masing-masing perlakuan karena pada larva-larva yang menetas tidak terjadi pertumbuhan dan perkembangan sel-sel dan jaringan secara normal dikarenakan adanya ketidaksinkronan antara tipe kromosom yang harus berpasangan dengan pasangan kromosomnya. Keabnormalan dari tipe kromosom ini, yaitu pada ikan sumatra P tetrazona memiliki 16 pasang kromosom tipe submetasentrik, 1 pasang kromosom metasentrik, dan 8 pasang kromosom telosentrik sedangkan pada ikan tawes P javanicus memiliki 12 pasang kromosom submetasentrik, 3 pasang kromosom metasentrik, dan 10 pasang kromosom telosentrik. Adanya keabnormalan tipe kromosom yang dimiliki oleh bakal individu baru ini dapat menyebabkan pertumbuhan dan
32
perkembangan sel-sel, jaringan, dan organ menjadi tidak normal. Hal ini dapat menyebabkan kematian pada individu baru. Proporsi AI dalam Spawnprime A menimbulkan efek yang berbeda terhadap parameter pemijahan yang diamati, terutama ovulated egg, derajat pembuahan, dan derajat penetasan. Untuk mencapai nilai maksimum dari masing-masing parameter terdapat perbedaan proporsi AI. Namun, proporsi AI ini masih berada di bawah proporsi AI pada Spawnprime A2, tepatnya berkisar antara 31% - 44%. Berdasarkan Gambar 9, 11, dan 12 ada perbedaan nilai optimum proporsi AI untuk mencapai titik tertinggi dari nilai parameter pemijahan yang diamati. Ketika proporsi AI optimal untuk mencapai HR tertinggi yang ditunjukkan pada Gambar 12, maka ovulated egg dan derajat pembuahan mengalami penurunan. Dan ketika proporsi AI optimal untuk mencapai derajat pembuahan tertinggi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11, maka ovulated egg dan derajat penetasan (HR) masih bisa untuk ditingkatkan. Dari ketiga nilai maksimum yang diperoleh, dapat diketahui bahwa optimalisasi proporsi AI dalam Spawnprime A sebesar 42%. Pada proporsi ini, derajat penetasan masih bisa ditingkatkan. Namun, pada proporsi AI sebesar ini sudah mengakibatkan penurunan nilai derajat pembuahan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. Walaupun pada Gambar 11 mengalami penurunan, tapi pada persamaan tersebut hanya mampu mewakili keadaan sebenarnya sebanyak 56%. Dengan kata lain, masih ada faktor lain yang mempengaruhi nilai derajat pembuahan jika proporsi AI dalam Spawnprime A sebesar 42%. Biaya pembuatan spawnprime A seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 16, spawnprime A2 memiliki biaya pengadaan yang paling efisien, dimana biaya pembuatan premix ini sebesar Rp. 110.005,- dengan tingkat keberhasilan dan waktu memijah tidak jauh berbeda dengan ovaprim. Walaupun memiliki tingkat keberhasilan memijah lebih rendah, namun kondisi perkembangan gonad pada masing-masing ikan uji memiliki ciri morfologi yang sama seperti ikan uji pada perlakuan kontrol ovaprim sebelum memijah, yaitu ada pengembangan ukuran perut seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 10. Melalui penggunaan spawnprime A2 dalam merangsang ikan untuk memijah dapat menekan biaya produksi pembenihan khususnya pengadaan sarana pemijahan buatan pada ikan.