31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Penyakit Pascapanen Salak Pondoh Berdasarkan pengamatan identifikasi dapat diketahui bahwa salak pondoh yang diserang oleh kapang secara cepat menjadi busuk setelah hari ke-7 masa isolasi. Setelah 7 hari masa isolasi buah salak pondoh tersebut menunjukkan gejala busuk dan dipisahkan untuk diindentifikasi. Dari tahapan pascapanen salak pondoh yang telah di isolasi dapat diketahui jenis kapang yang berkembang dan tumbuh dengan baik seperti dapat dilihat pada Tabel 6, Jenis kapang tersebut adalah Fusarrium sp, Aspergillus sp, Penicillium sp, Mucor sp, Jenis kapang yang paling dominan adalah jenis Mucor sp dan Fusarrium sp. Tabel 6 Jenis kapang yang berkembang pada tahapan pascapanen salak pondoh Tahapan Pascapanen A1 (Panen tandan) A2 (Pembersihan/tanpa tandan) A3 (Penyimpanan) A4 (transportasi)
Jenis Kapang Fusarrium sp
Aspergillus sp
Penicillium sp
Mucor sp
(+)
(-)
(-)
(+)
(+)
(-)
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+) menyatakan bahwa adanya cendawan, (-) menyatakan bahwa tidak adanya cendawan
Beberapa jenis kapang yang tumbuh pada buah salak pondoh ini disebabkan oleh adanya kerusakan pascapanen, dimana kerusakan pascapanen merupakan penyimpangan yang melewati batas dan tidak dapat diterima secara normal oleh panca indra, seperti buah sudah layu, ditumbuhi jamur yang tampak secara visual, berbau busuk, buah menjadi lunak dan berair serta tidak lagi untuk dikunsumsi (Suter 1988). Hal ini juga terjadi pada penelitian ini, dimana kerusakan pascapanen terjadi saat pemanenan, pembersihan, penyimpanan dan transportasi. Hasil penelitian Amiarsi et al. (1996) menunjukkan bahwa kerusakan buah salak meningkat dengan bertambahnya umur simpan, kerusakan tersebut sebagai akibat keaktifan mikroba yang dikenal dengan penyakit busuk lunak karena jamur
32
Thielaviopsis sp. Salak juga menjadi lebih rentan terhadap Botrytis pada suhu 5°C dan meningkat dengan makin lamanya penyimpanan (Soesanto 2006). Hasil penelitian Noorhakim (1992) menyatakan bahwa kapang yang tumbuh selama penyimpanan adalah Mucor sp, dan menurut Setiono (1995) menyatakan kapang yang menyebabkan busuk lunak pada salak pondoh kupas yang tumbuh selama penyimpanan adalah Penicillium sp dan Aspergillus sp. Menurut Aminah dan Supraptim (2003) menyatakan dalam penelitiannya bahwa kapang yang menyerang busuk buah pada salak segar yang terdapat di pasar tradisional dan swalayan adalah Fusarium sp. Pada Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa kapang dapat menurunkan mutu atau kualitas dari salak pondoh, sehingga umur simpan menjadi lebih pendek. Untuk mengetahui kapang yang menyerang melalui bagian lentisel buah salak pondoh dapat diidentifikasi dengan mengambil contoh kapang dari permukaan kulit buah salak dan dilihat langsung melalui mikroskop menggunakan metode "slide culture". Selanjutnya dari kapang yang di potret melalui mikroskop didapat hasil yang diperoleh dari identifikasi berdasarkan buku-buku identifikasi dari Pitt dan Hocking (1979) dan Fardiaz (1992) adalah kapang yang tumbuh dipermukaan salak pondoh diantaranya: 1) Mucor sp
kolumela mycelia a
spora
Gambar 4 Kapang Mucor sp Gambar 4 diatas merupakan kapang yang dapat tumbuh dengan baik pada setiap tahapan pascapanen buah salak pondoh, koloni dari kapang ini tumbuh pada permukaan salak dimana pada awalnya berwarna putih mengapas dan kemudian menjadi berwarna hitam kecokelatan. Kapang tersebut memiliki ciri-ciri diantaranya mycelianya berbentuk non septat, kolumelanya berbentuk bulat (round),
33
sporanya berwarna hitam serta kapang tersebut tidak memiliki stolon dan rhizoid. Melalui ciri-ciri tersebut, maka dengan mencocokkan gambar atau foto yang didapat dari contoh kapang pada permukaan kulit salak dengan foto-foto kapang lainnya yang telah diketahui berdasarkan Pitt dan Hocking (1979) ternyata serupa dengan gambar Mucor sp. Jadi jelas bahwa kapang yang tumbuh di permukaan kulit salak pondoh yang menyebabkan kerusakan pada buah salak berasal dari jenis Mucor sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noorhakim (1992), yang menyatakan bahwa jenis kapang yang menyerang buah salak pondoh adalah Mucor sp. Adanya kapang ini disebabkan oleh sifat pertumbuhan kapang tersebut yang dapat tumbuh dengan baik di permukaan tanah, dimana pertumbuhan buah salak pondoh juga di atas permukaan tanah, sehingga hal ini memungkinkan salak pondoh yang memang buahnya berada dekat dengan permukaan tanah dapat dengan mudah diserang oleh Mucor sp. Pernyataan ini sesuai dengan Pelczar (1976) yang melaporkan bahwa Mucor sp merupakan mikroorganisme yang secara alami amat banyak terdapat di permukaan tanah dan sangat potensial untuk merusak hasil-hasil pertanian seperti buah-buahan dan sayuran. Kapang Mucor sp menyebabkan terjadinya busuk lunak pada bagian buah salak pondoh, sehingga dapat menurunkan kualitas/mutu salak pondoh yang dipanen. 2) Aspergillus sp konidia
Gambar 5 Kapang Aspergillus sp Gambar 5 merupakan kapang yang dapat tumbuh dengan baik pada tahapan pascapanen penyimpanan, dimana pada bagian buah yang terinfeksi tampak basah dan mengandung cairan kuning yang selanjutnya berubah menjadi cokelat di
34
bagian pangkal buah salak pondoh yang disimpan. Kapang tersebut memiliki ciriciri spesifik berupa (1) Hifa septat dan miselium bercabang, tidak berwarna, yang terdapat di bawah permukaan merupakan hifa vegetatif, sedangkan yang muncul di atas permukaan umumnya merupakan hifa fertil, (2) Koloni kompak, (3) Konidiofora septat atau nonseptat, muncul dari "foot cell" (yaitu sel miselium yang membengkak dan berdinding tebal), (4) Konidiofora membengkak menjadi vesikel pada ujungnya, membawa sterigmata di mana tumbuh konidia, (5) Sterigmata atau fialidanya sederhana, berwarna, atau tidak berwarna, dan (6) Konidia membentuk rantai yang berwarna hijau, cokelat atau hitam. Berdasarkan ciri-ciri yang terdapat pada Gambar 5, maka kapang yang tumbuh di dalam ruang penyimpanan tersebut adalah kapang Aspergillus sp, identifikasi ini sesuai dengan pernyataan Soesanto (2006) yang menyatakan bahwa Aspergillus sp merupakan kapang yang dijumpai di dalam ruang simpan dan mempunyai kisaran inang yang luas terutama terhadap produk pascapanen yang disimpan, hal ini didukung dari hasil penelitian Setiono (1995), dimana kapang yang menyebabkan busuk lunak pada salak pondoh kupas yang tumbuh selama penyimpanan adalah Aspergillus sp. 3) Penicillium sp sterigmata
konidia
Gambar 6 Kapang Penicillium sp Seperti pada kapang Aspergillus sp, berdasarkan Gambar 6 diatas kapang tersebut dapat tumbuh dengan baik pada tahapan pascapanen penyimpanan. Bagian buah yang terinfeksi tampak daerah kecil yang busuk, yang berupa noda lunak berair. Pada gejala lanjut pada salak pondoh tampak miselium berwarna putih yang dihasilkan pada permukaan bercak, dan selanjutnya menghasilkan spora berwarna hijau zaitun.
35
Kapang tersebut memiliki ciri-ciri spesifik berupa (1) Hifa septat, miselium bercabang, biasanya tidak berwarna, (2) Konidiofora septat dan muncul di atas permukaan, berasal dari hifa di bawah permukaan, bercabang atau tidak bercabang, (3) Kepala yang membawa spora berbentuk seperti sapu, dengan sterigmata atau fialida muncul dalam kelompok, (4) Konidia membentuk rantai karena muncul satu per satu dari sterigmata, (5) Konidia pada waktu masih muda berwarna hijau, kemudian berubah menjadi kebiruan atau kecokelatan. Berdasarkan ciri-ciri yang terdapat pada Gambar 5, maka kapang tersebut merupakan kapang Penicillium sp yang tumbuh di dalam ruang penyimpanan, identifikasi ini sesuai dengan pernyataan Soesanto (2006) yang menyatakan bahwa Penicillium sp merupakan kapang yang dijumpai di dalam ruang simpan dan mempunyai kisaran inang yang luas terutama terhadap produk pascapanen yang disimpan, hal ini didukung dari hasil penelitian Setiono (1995), dimana kapang yang menyebabkan busuk lunak pada salak pondoh kupas yang tumbuh selama penyimpanan adalah Penicillium sp. Spora kapang ini menyebabkan busuk lunak (busuk air) pada buah salak pondoh, hal ini disebabkan oleh bahan penyimpanan atau pengepakan, termasuk peralatan, ruang simpan, alat transportasi, dan bahkan tempat pemasarannya yang telah terkontaminasi oleh spora yang berasal dari kapang Penicillium sp, sehingga pada akhirnya dapat menurunkan mutu dari salak pondoh yang dipanen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fardiaz (1992) yang menyatakan bahwa kapang Penicillium sp sering menyebabkan busuk lunak (busuk buah) pada tahapan pascapanen penyimpanan buah-buahan . 4) Fusarium sp mikrokinidia
Gambar 7 Kapang Fusarium sp
36
Gambar 7 diatas merupakan kapang yang dapat tumbuh dengan baik pada setiap tahapan pascapanen buah salak pondoh. Kapang ini agak sulit untuk diidentifikasi karena penampakan pertumbuhannya bervariasi, namun kapang tersebut memiliki ciri-ciri spesifik diantaranya adalah terbentuknya makrokonidia yang berbentuk seperti pedang dan terdiri dari beberapa sel serta berwarna, kadang-kadang juga terbentuk mikro-konidia yang terdiri dari satu sel berbentuk oval, dan tumbuh secara terpisah atau membentuk rantai. Berdasarkan ciri-ciri yang terdapat pada Gambar 5, maka kapang tersebut merupakan kapang Fusarium sp yang tumbuh pada setiap tahapan pascapanen buah salak pondoh, identifikasi ini sesuai dengan pernyataan Aminah dan Supraptim (2003) yang menyatakan dalam penelitiannya bahwa kapang yang menyerang busuk buah pada salak segar yang terdapat di pasar tradisional dan swalayan adalah Fusarium sp, dimana salak pondoh sudah terinfeksi kapang tersebut sejak tahapan pemanenan hingga tahapan transportasi menuju pemasaran. Seperti pada kapang Mucor sp,
kapang Fusarium sp menyebabkan
terjadinya busuk lunak pada bagian buah salak pondoh, sehingga dapat menurunkan kualitas/mutu salak pondoh yang dipanen. Hal ini disebabkan oleh sifat pertumbuhan kapang tersebut yang dapat tumbuh dengan baik di permukaan tanah, dimana pertumbuhan buah salak pondoh juga di atas permukaan tanah, sehingga hal ini memungkinkan salak pondoh yang memang buahnya berada dekat dengan permukaan tanah dapat dengan mudah diserang oleh Fusarium sp. Pernyataan ini sesuai dengan Dina (1996) yang melaporkan bahwa Fusarium sp merupakan mikroorganisme yang secara alami amat banyak terdapat di permukaan tanah dan sangat potensial untuk merusak hasil-hasil pertanian seperti buahbuahan dan kacang-kacangan. Hal ini juga menunjukkan bahwa kapang yang dominan mempengaruhi mutu atau kualitas buah salak pondoh menjadi rendah adalah Fusarium sp dan Mucor sp. B. Pengaruh Pelapisan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Laju Respirasi Berdasarkan hasil identifikasi penyakit pada busuk buah salak pondoh dan melihat fungsionalitas gel Aloe vera, maka gel Aloe vera berpotensi untuk diaplikasikan dalam teknologi pelapisan (coating), karena gel tersebut terdiri dari polisakarida yang mengandung banyak komponen fungsional yang mampu
37
menghambat kerusakan pascapanen produk pangan segar. Selain itu, gel Aloe vera juga mampu menjaga kelembaban dengan cara mengontrol kehilangan air dan pertukaran komponen-komponen larut air (Dweck & Reynold 1999). Secara umum laju respirasi buah salak yang diberi perlakuan pada awal penyimpanan masih relatif tinggi dibandingkan pada hari-hari penyimpanan berikutnya (Gambar 8-9). Hal ini disebabkan karena adanya usaha untuk mempertahankan tetap berfungsinya organ-organ respirasi setelah buah terpisah dari inangnya. Selain itu laju respirasi yang tinggi pada awal penyimpanan juga disebabkan oleh suhu awal buah salak yang masih tinggi karena adanya panas lapang sehingga belum dapat menyesuaikan dengan suhu penyimpanan (Mahmudah 2008). Muchtadi (1992) menyimpulkan bahwa kecepatan respirasi merupakan hasil dari pengaruh suhu dimana kecepatan respirasi dari buah-buahan akan meningkat sampai dua setengah kali untuk kenaikan suhu sebesar 10°C yang menunjukkan bahwa adanya pengaruh proses biologi maupun kimia. Dari Gambar 8-9 juga dapat dilihat bahwa laju respirasi buah salak yang tinggi lama kelamaan akan semakin menurun bahkan akan cenderung konstan disebabkan buah salak telah mencapai suhu yang sesuai dengan suhu penyimpanan. 1) Laju Konsumsi O2
Berdasarkan hasil penelitian pada pengukuran laju konsumsi O2 dengan berbagai tingkatan suhu menunjukkan bahwa laju konsumsi O2 salak pondoh pada
Laju Konsumsi O2 (ml/kg jam)
awalnya terlihat tinggi (Gambar 8). 30
20 10 0 1
5
9
13
17
21
25
29
Hari ke-
Aloevera 50% Suhu 10°C (A11) Aloevera 100% Suhu 10°C (A31) Aloevera 50% Suhu 26°C (A12) Aloevera 100% Suhu 26°C (A32)
Aloevera 75% Suhu 10°C (A21) Tanpa Aloevera Suhu 10°C (A01) Aloevera 75% Suhu 26°C (A22) Tanpa Aloevera Suhu 26°C (A02)
Gambar 8 Laju Konsumsi O2 Selama Penyimpanan
38
Dari hasil penelitian secara umum bahwa diperoleh bahwa laju respirasi buah salak dipengaruhi oleh konsentrasi Aloe vera dan suhu penyimpanan, dimana semakin tinggi suhu penyimpanan, laju respirasi akan semakin tinggi, demikian pula dengan penambahan Aloe vera dimana pada suhu rendah (10oC) laju respirasinya semakin rendah. Pada akhir penyimpanan suhu ruang (hari ke-14) laju konsmsi O2 tertinggi pada tanpa perlakuan Aloe vera adalah 15.86 ml/kg jam dan terendah pada perlakuan Aloe vera 50% adalah 13.37 ml/kg jam. Namun jika dilihat dari kondisi fisik salak pondoh yang kondisi kesegarannya lebih lama adalah pada konsentrasi 75% yaitu sampai 30 hari. Kemudian pada pengamatan suhu rendah diakhir penyimpanan (hari ke-30), laju konsumsi O2 tertinggi adalah pada perlakuan Aloe vera 100% dengan laju konsumsi O2 sebesar 3.71 ml/kg jam dan yang terendah pada perlakuan 75% yaitu sebesar 3.16 ml/kg jam. Laju respirasi yang relatif tinggi pada awal penyimpanan disebabkan karena buah salak masih menyesuaikan dengan suhu penyimpanan sehingga akan berubah menjadi konstan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santoso dan Purwoko (1995) diacu dalam Widiastuti (2006) yang menyatakan bahwa buah klimakterik menunjukkan peningkatan yang besar dalam laju konsumsi O2 bersamaan dengan waktu pemasakan. Sementara buah non klimakterik tidak menunjukkan perubahan, dimana umumnya laju kosumsi O2 selama pemasakan akan cenderung rendah dan konstan. Selanjutnya menurut Phan et al. (1975) menyatakan bahwa suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap laju respirasi buah. Pada suhu 0-35°C umumnya laju respirasi meningkat 2-2.5 kali untuk setiap kenaikan suhu 10°C, semakin tinggi laju respirasi semakin cepat kandungan substrat dalam buah berkurang sehingga umur simpan menjadi pendek. Berdasarkan analisa statistik laju konsumsi O2 (Lampiran 3) diketahui bahwa laju respirasi salak selama penyimpanan dipengaruhi oleh suhu, dimana pada perlakuan suhu rendah terlihat pengaruhnya dalam penyimpanan. Pada penyimpanan suhu tinggi (26oC) cepat mengalami kerusakan, namun pada penyimpanan suhu rendah (10oC) mulai mengalami kerusakan pada akhir penyimpanan yaitu hari ke-30. Produk hortikultura seperti salak pondoh setelah dipanen akan tetap mengalami proses metabolik (respirasi) dan ini akan terus berlanjut sehingga salak
39
pondoh akan mengalami kebusukan yang ditandai dengan menurunnya mutu salak pondoh (dalam hal ini antara lain perubahan bau pada salak pondoh). Salveit (1996) diacu dalam Sutrisno (2007) menyebutkan komoditas dengan laju respirasi tinggi akan memiliki umur simpan lebih pendek dibanding dengan yang memiliki laju respirasi rendah seperti salak pondoh. Usaha mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan adalah dengan menekan laju respirasi serendah mungkin tanpa mengganggu proses metabolismenya (Kays 1991, diacu dalam Sutrisno, 2007). Dengan prinsip dasar inilah maka aktivitas metabolisme produk setelah dipanen dapat dijadikan sebagai indeks yang amat baik untuk mengetahui perubahan mutu pascapanen dengan perlakuan (treatment) yang baik, antara lain coating Aloe vera dan suhu penyimpanan yang rendah. 2) Laju Produksi CO2 Buah Salak Seperti pada laju konsumsi O2, laju produksi CO2 menunjukkan hal yang demikian yaitu secara umum suhu penyimpanan dan aplikasi Aloe vera mempengaruhi laju produksi CO2. Dari Gambar 9 terlihat bawah ini menunjukkan pola laju respirasi salak pondoh pada tingkatan suhu penyimpanan yang berbeda, khusus untuk suhu 26°C pengukuran sampai hari keempat belas dan untuk suhu
Laju Produksi CO2 (ml/kg jam)
10°C pengukuran sampai hari ketigapuluh.
30
20
10
0 1
5
9
13
17
21
25
29
Hari ke-
Aloevera 50% Suhu 10°C (A11) Aloevera 100% Suhu 10°C (A31) Aloevera 50% Suhu 26°C (A12) Aloevera 100% Suhu 26°C (A32)
Aloevera 75% Suhu 10°C (A21) Tanpa Aloevera Suhu 10°C (A01) Aloevera 75% Suhu 26°C (A22) Tanpa Aloevera Suhu 26°C (A02)
Gambar 9 Laju Produksi CO2 Selama Penyimpanan
40
Pada akhir penyimpanan suhu ruang (hari ke-14) laju produksi CO2 tertinggi pada perlakuan Aloe vera 100% adalah 20.99 ml/kg jam dan terendah pada perlakuan Aloe vera 50% adalah 18.18 ml/kg jam. Namun jika dilihat dari kondisi fisik salak pondoh yang kondisi kesegarannya lebih lama adalah pada konsentrasi 75% yaitu sampai 30 hari. Kemudian pada pengamatan suhu rendah diakhir penyimpanan (hari ke-30), laju produksi CO2 tertinggi adalah pada perlakuan Aloe vera 100% dengan laju produksi CO2 sebesar 3.92 ml/kg jam dan yang terendah pada perlakuan 75% yaitu sebesar 3.42 ml/kg jam. Menurut Phan et al. (1975) suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap laju respirasi buah. Pada suhu 0-35°C umumnya laju respirasi meningkat 2-2.5 kali untuk setiap kenaikan suhu 10°C. Semakin tinggi laju respirasi semakin cepat kandungan substrat dalam buah berkurang sehingga umur simpan menjadi pendek. Menurut Winarno dan Fardiaz (1981) pada suhu dingin aktivitas respirasi menurun dan pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dapat dihambat. Selama penyimpanan berlangsung, secara rata-rata laju produksi CO2 pada suhu ruang (26oC) nilainya diatas 10 ml/kg jam pada semua konsentrasi Aloe vera. Sementara pada suhu rendah nilainya rata-rata dibawah 10 ml/kg jam. Hal ini menunjukkan bahwa tingi rendahnya laju produksi CO2 lebih disebabkan oleh faktor suhu, secara statistikpun menunjukkan hal yang demikian (Lampiran 5). Dari hasil uji statistik (Lampiran 5), laju respirasi salak pada awal penyimpanan dipengaruhi oleh suhu selama masa penyimpanan, dimana suhu ruang (26oC) memiliki laju respirasi yang lebih besar daripada suhu rendah (10oC), sehingga salak yang disimpan pada suhu rendah memiliki kualitas daya tahan simpan yang lebih baik daripada suhu ruang, dimana pada suhu rendah secara visual salak pondoh yang disimpan pada suhu rendah masih terlihat segar dibandingkan salak pondoh yang disimpan pada suhu ruang. Pada akhir penyimpanan (hari ke-30) pelapisan dengan Aloe vera menunjukkan bahwa konsentrasi Aloe vera yang tinggi maupun rendah dapat mempengaruhi proses respirasi dan transpirasi, dan hal ini menunjukkan pula bahwa konsentrasi pelapisan Aloe vera yang lebih tinggi dan lebih rendah mampu mencegah laju respirasi yang besar dari salak yang disimpan dalam suhu rendah.
41
C. Pengaruh Pelapisan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah Perlakuan pelapisan Aloe vera dan suhu penyimpanan berpengaruh terhadap perubahan mutu salak pondoh segar dengan melihat beberapa parameter mutu, diantaranya perubahan susut bobot, kekerasan, kadar air, dan organoleptik. Secara umum pada hari ke-21 (Tabel 7) perlakuan pelapisan Aloe vera dan suhu penyimpanan masih dapat dilihat pengaruhnya terhadap beberapa parameter mutu. Tabel 7 Analisa Mutu Salak Pondoh pada Hari ke-21 Penyimpanan Perlakuan Suhu
10oC
26oC
Kadar Aloe vera 0%
Susut Bobot
Kekerasan
KA Daging
TPT
Orlep Tekstur
Orlep Rasa
13.70 c
2.61 a
78.43 a
17.73 b
4.1 d
4.8 b
50%
11.04 a
2.24 a
79.09 a
18.28 b
2.8 a
3.1 a
75%
12.13 b
2.37 a
78.62 a
16.83 a
3.3 b
3.2 a
100%
14.07d
2.24 a
82.02 b
16.38 a
3.5 c
3.6 a
75%
39.99 f
0.51 b
70.18 c
21.90 c
4.5 f
4.1 b
100%
36.25 e
0.52 b
69.52 c
22.10 c
4.9 f
4.6 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (taraf uji 5%)
Pada Tabel 7 menujukkan bahwa suhu penyimpanan berpengaruh secara nyata hanya terhadap parameter
kekerasan, namun suhu penyimpanan dan
perlakuan pelapisan Aloe vera berpengaruh secara nyata terhadap parameter susut bobot, kadar air, total padatan terlarut (TPT) daging buah salak pondoh dan organoleptik rasa. Data statistik pada tabel diatas menunjukkan secara umum bahwa perlakuan pelapisan Aloe vera 50% dan suhu penyimpanan 10oC mampu mempertahankan mutu salak selama penyimpanan. Untuk dapat melihat pengaruh perlakuan pelapisan Aloe vera dan suhu penyimpanan terhadap masing-masing parameter dapat dilihat lebih rinci sebagai berikut: 1) Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan adanya penurunan mutu buah, dimana penurunan susut bobot dipengaruhi oleh respirasi dan transpirasi. Respirasi merupakan proses metabolisme dengan cara menggunakan O2 dalam pembakaran senyawa yang lebih kompleks (pati, gula, protein, lemak, dan asam organik) menghasilkan molekul yaang lebih sederhana yaitu CO2 dan H2O serta menghasilkan energi yang dapat digunakan oleh sel
42
untuk reaksi sintesa (Winarno 1981), sedangkan transpirasi merupakan proses hilangnya air dalam bentuk uap air melalui proses penguapan. Susut bobot terjadi karena selama proses penyimpanan menuju pemasakan terjadi perubahan fisikokimia berupa pelepasan air. Berdasarkan Gambar 10 secara umum nilai susut bobot salak pondoh selama penyimpanan mengalami peningkatan.
Susut Bobot (%)
50 40 30 20 10 0 3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Hari keAloevera 50% Suhu 10°C (A11) Aloevera 75% Suhu 10°C (A21) Aloevera 100% Suhu 10°C (A31) Tanpa Aloevera Suhu 10°C (A01)
Aloevera 50% Suhu 26°C (A12) Aloevera 75% Suhu 26°C (A22) Aloevera 100% Suhu 26°C (A32) Tanpa Aloevera Suhu 26°C (A02)
Gambar 10 Perubahan Susut Bobot Salak Pondoh Selama Penyimpanan Gambar 10 menunjukkan bahwa pada pengamatan suhu rendah (10oC) rata-rata susut bobotnya dibawah 20% sampai akhir penyimpanan (hari ke-30). Peningkatan susut bobot yang terjadi pada penyimpanan suhu 10°C tidak setajam pada suhu 26°C. Pada awal penyimpanan persentase susut bobot yang terendah terjadi pada perlakuan Aloe vera 100% suhu penyimpanan 10oC (A31) dengan persentase susut bobot 4.51%. Pada penyimpanan hari ke-15 dengan suhu ruang (26oC) susut bobot tertinggi terjadi pada perlakuan tanpa pelapisan Aloe vera (28.45%) dan terendah pada pelapisan dengan Aloe vera 100% (24.21%). Pada penyimpanan suhu rendah (10oC) nilai susut bobot yang paling rendah adalah pelapisan Aloe vera 50% (10.46%) dan susut bobot tertinggi yaitu tanpa pelapisan Aloe vera (12.50%). Hal ini menunjukkan bahwa pelapisan Aloe vera dapat mengurangi susut bobot salak pondoh, dimana konsentrasi pelapisan Aloe vera dapat mempengaruhi pengurangan susut bobotnya. Pada akhir penyimpanan (hari ke-30) dengan suhu penyimpanan 10oC persentase susut bobotnya paling rendah
43
adalah perlakuan pelapisan Aloe vera 75% (A21) yaitu sebesar 16.81% dan yang tertinggi pelapisan Aloe vera 50% yaitu sebesar 22.22%. Hal ini menunjukkan bahwa pelapisan yang ditingkatkan dapat mengurangi susut bobot, fenomena ini disebabkan konsentrasi yang optimum (pelapisan Aloe vera 75%) dapat mengurangi laju respirasi yang meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kader (1985) yang menyatakan bahwa laju respirasi menyebabkan kehilangan air pada bahan. Kehilangan air ini merupakan penyebab langsung kehilangan secara kuantitatif buah yaitu susut bobot, kerusakan tekstur buah yang menyebabkan kelunakan pada buah yang menyebabkan terjadinya pengerutan buah, serta kerusakan kandungan gizi buah. Dari hasil analisis statistik pada Lampiran 7, menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan dengan Aloe vera tidak berpengaruh secara nyata selama penyimpanan, namun adanya pengaruh terhadap suhu penyimpanan dimana dari hasil tersebut memperlihatkan bahwa suhu penyimpanan tinggi (26oC) maka susut bobot buah salak pondoh juga akan terlihat tinggi dibandingkan suhu penyimpanan rendah (10oC), susut bobot yang tinggi ini disebabkan karena laju respirasi yang semakin tinggi. Menurut Muchtadi (1992) Kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan terutama disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat adanya proses penguapan dan kehilangan karbon (CO2) selama respirasi. Air dibebaskan dalam bentuk uap air pada proses transpirasi dan respirasi melalui stomata, lenti sel, dan bagian jaringan tumbuhan lain yang berhubungan dengan sel epidermis. Kehilangan air selama penyimpanan tidak hanya menurunkan susut bobot, akan tetapi juga menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan. Kehilangan air dalam jumlah banyak akan menjadi layu dan keriput. Selain itu menurut Santoso (2005) susut bobot yang disebabkan oleh kehilangan air ini dapat dicegah dengan cara pengaturan suhu ruang simpan, sehingga umur simpan dapat menjadi lebih lama. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Soedibyo (1979) penyimpanan pada suhu rendah dapat menekan kecepatan respirasi dan transpirasi sehingga kedua proses ini akan berjalan lambat, sehingga akan mengakibatkan ketahanan simpan buah salak akan semakin
44
panjang dengan susut bobot minimal, mutu baik, dan harga jual salak pondoh tetap tinggi. 2) Kekerasan Buah Salak Pondoh Kekerasan buah merupakan salah satu ciri menurunnya kualitas buah sehingga dapat dijadikan sebagai indikator kerusakan pada buah salak pondoh. Selama penyimpanan nilai kekerasan buah salak turun dari awal hingga akhir pengamatan untuk semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa daging buah salak dari hari ke hari selama penyimpanan menjadi lebih lunak (Gambar 11).
Nilai Kekerasan kgf
4 3 2 1 0 3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Hari keAloevera 50% Suhu 10°C (A11) Aloevera 75% Suhu 10°C (A21) Aloevera 100% Suhu 10°C (A31) Tanpa Aloevera Suhu 10°C (A01)
Aloevera 50% Suhu 26°C (A12) Aloevera 75% Suhu 26°C (A22) Aloevera 100% Suhu 26°C (A32) Tanpa Aloevera Suhu 26°C (A02)
Gambar 11 Perubahan Kekerasan Salak Pondoh Selama Penyimpanan Pada Gambar 11 diatas memperlihatkan bahwa nilai kekerasan pada akhir penyimpanan suhu ruang (hari ke-15) yang tertinggi adalah pelapisan Aloe vera 100% (2.69 kgf) dan yang terendah pada perlakuan kontrol (tanpa pelapisan Aloe vera) yaitu 0.47 kgf, hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan Aloe vera dapat mengurangi susut kekerasan. Selanjutnya pada pengamatan suhu rendah pada akhir penyimpanan (hari ke-30) nilai kekerasan tertinggi adalah pelapisan Aloe vera 100% (2.22 kgf) dan yang terendah pada perlakuan 75% (1.89 kgf). Hal ini menunjukkan bahwa pelapisan Aloe vera secara umum dapat mempertahankan terjadinya susut kekerasan. Penurunan kekerasan kulit buah salak pondoh ini
45
disebabkan penguapan air yang terjadi pada ruang-ruang antar sel sehingga sel menjadi mengkerut sehingga ruang antar sel menyatu dan zat pektin menjadi saling berikatan. Selain adanya penguapan air dari bahan, terjadi pula pengerasan pada kulit salak pondoh karena pengaruh suhu penyimpanan yang dapat menyebabkan pengerasan pada kulit buah salak. Selain adanya penguapan air pada buah salak pondoh, kemungkinan disebabkan oleh penggunaan suhu rendah, dimana reaksi-reaksi kimia atau reaksireaksi enzimatis dalam buah dapat dicegah atau diperlambat. Hal ini sesuai dengan Muchtadi (1992) yang menyatakan salah satu reaksi kimia yang dihambat dalam penyimpanan suhu rendah adalah perubahan komposisi kimia terutama senyawa pektin dalam daging buah. Senyawa pektin merupakan salah satu komponen dinding primer maupun lamela tengah pada dinding sel buah. Dalam proses pematangan buah zat pektin yang tidak larut (protopektin) berubah menjadi pektin yang larut air, sehingga pektin yang larut air bertambah dan protopektin tak larut akan berkurang. Keadaan ini menyebabkan ketegaran sel buah
akan menjadi lunak. Dengan perlakuan suhu dingin reaksi perubahan
protopektin menjadi pektin dapat diperlambat sehingga buah tidak cepat lunak. Lebih lanjut menurut Muchtadi (1992) menyatakan bahwa kandungan zat pektin didalam buah mempengaruhi kekerasan (tekstur), jika buah dipanaskan atau disimpan pada suhu yang tinggi, maka zat pektik yang mempunyai sifat tidak larut dalam air sebagian akan terhidrolisis menjadi pektin, sehingga akibatnya tekstur buah tersebut menjadi lunak. Dari analisa statistik kekerasan (Lampiran 9), selama penyimpanan terlihat adanya pengaruh suhu penyimpanan. Salak pada penyimpanan suhu ruang (26oC) mempunyai nilai kekerasan lebih kecil sehingga teksturnya lebih lunak dibanding dengan penyimpanan suhu rendah (10oC). Hal ini berhubungan dengan kandungan pektin yang terdapat pada daging buah salak pondoh, dimana Mitlitski et al. (1981) melaporkan bahwa kandungan pektin terlarut jauh lebih tinggi bila suhu lebih tinggi dan tidak ada CO2. Hal ini juga menurut Kader (1986) menyatakan bahwa adanya pengaruh lingkungan penyimpanan terhadap tekstur, tetapi mekanismenya belum diketahui.
46
3) Kadar Air Daging Buah Salak Pondoh
Dari pengamatan yang dilakukan selama penyimpanan pada umumnya kadar air daging buah salak cenderung menurun secara merata, kecuali untuk salak yang disimpan pada suhu ruang mengalami penurunan dan kenaikan secara tidak konstan (Gambar 12).
Kandungan KA (%)
90
80
70
60 0
3
6
9
12 15 Hari ke-
Aloevera 50% Suhu 10°C (A11) Aloevera 75% Suhu 10°C (A21) Aloevera 100% Suhu 10°C (A31) Tanpa Aloevera Suhu 10°C (A01)
18
21
24
27
30
Aloevera 50% Suhu 26°C (A12) Aloevera 75% Suhu 26°C (A22) Aloevera 100% Suhu 26°C (A32) Tanpa Aloevera Suhu 26°C (A02)
Gambar 12 Kadar Air Daging Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan Pada Gambar 12 menunjukkan bahwa kadar air pada daging buah salak pondoh akhir penyimpanan suhu ruang (hari ke-15) yang terendah adalah pelapisan Aloe vera 50% (70.92%) dan yang tertinggi pada perlakuan kontrol (tanpa pelapisan dengan Aloe vera) yaitu 74.33%, hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan Aloe vera 50% tidak dapat menjaga kadar air daging buah tetap tinggi, fenomena ini disebabkan penambahan konsentrasi pelapisan Aloe vera 50% belum dapat menunjukkan fungsinya sebagai penahan (barrier) yang baik terhadap oksigen (O2), karbon dioksida (CO2) dan uap air (H2O), sehingga konsentrasi Aloe vera 50% yang diaplikasikan pada salak pondoh belum dapat mempertahankan kesegaran (kadar air yang tinggi). Selanjutnya pada pengamatan suhu rendah di akhir penyimpanan (hari ke-30) kadar air daging buah salak pondoh tertinggi adalah pelapisan dengan Aloe vera 50% (78.99%) dan yang terendah pada perlakuan 75% (75.26%), hal ini menunjukkan kadar air daging buah salak pondoh dengan berbagai konsentrasi pelapisan Aloe vera tetap terjaga
47
baik selama penyimpanan, sehingga daging buah salak pondoh masih terlihat kesegarannya. Pencelupan dalam Aloe vera 50% dan penyimpanan pada suhu 10°C (A11) dapat menekan aktivitas metabolisme buah salak pondoh seperti respirasi dan tanspirasi, selain itu juga dapat menghambat proses pembusukan oleh mikroorganisme sehingga menekan kehilangan kadar air pada buah. Transpirasi menyebabkan buah kehilangan air sehingga berpengaruh terhadap kesegaran dan kerenyahan buah. Semakin kecil transpirasi maka buah akan terlihat semakin segar dan sebaliknya. Pada suhu tinggi dan RH rendah uap air akan bergerak dari konsertasi tinggi ke konsentrasi rendah. Perbedaaan kandungan air di dalam buah dan di lingkungan atau atmosfer penyimpanan menyebabkan uap air akan bergerak keluar dari jaringan ke atmosfer. Semakin kering udara dalam ruang penyimpanan semakin cepat kehilangan air dari buah yang disimpan. Kadar air daging buah berhubungan dengan kesegaran buah salak pondoh. Berdasarkan analisa visual (Lampiran 10), kesegaran buah salak pondoh mengalami penurunan selama penyimpanan. Pelapisan dengan Aloe vera 50% dan suhu penyimpanan 10°C lebih segar dibandingkan kontrol pada suhu penyimpanan 26°C. Menurut Martoredjo (2009) suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya penguapan yang lebih cepat sehingga hasil tanaman menjadi cepat layu, berkerut-kerut dan mengering atau kesegaran buah berkurang. Pencelupan dalam Aloe vera dan penyimpanan pada suhu dingin dapat menjaga kelembaban daging buah salak pondoh dan dapat mencegah kehilangan air atau transpirasi. Berdasarkan uji statistik (Lampiran 11) pada konsentrasi Aloe vera, suhu dan interaksi antara kedua faktor tersebut menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap perubahan kadar air daging pada hari ke-15, dan ke-21. Uji lanjut (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan Aloe vera 50% dan penyimpanan pada suhu 10°C (A11) memberikan pengaruh terhadap penurunanan kadar air daging buah salak yang tidak terlalu tinggi dibandingakan perlakuan lainnya. Menurut Apandi (1984), penurunan kadar air disebabkan terjadi penguapan air melalui pori-pori daging buah, baik melalui proses respirasi maupun proses transpirasi. Selama proses respirasi berlangsung dikeluarkan CO2 dan air sehingga kandungan air dalam daging buah terus berkurang.
48
4) Total Padatan Terlarut (TPT)
Kandungan TPT salak pondoh selama penyimpanan pada umumnya
Nilai Total Padatan Terlarut (Brix)
mengalami perubahan yang dapat dilihat pada Gambar 13 dibawah ini. 30 25 20 15 10 3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Hari ke-
Aloevera 50% Suhu 10°C (A11) Aloevera 75% Suhu 10°C (A21) Aloevera 100% Suhu 10°C (A31) Tanpa Aloevera Suhu 10°C (A01)
Aloevera 50% Suhu 26°C (A12) Aloevera 75% Suhu 26°C (A22) Aloevera 100% Suhu 26°C (A32) Tanpa Aloevera Suhu 26°C (A02)
Gambar 13 Perubahan Total Padatan Terlarut (TPT) Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan Pada Gambar 13 menunjukkan bahwa nilai TPT buah salak pondoh pada akhir penyimpanan suhu ruang yang tertinggi adalah pelapisan Aloe vera 100% (21.18 oBrix ) dan yang terendah pada pelapisan Aloe vera 75% (19.38 oBrix), hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi Aloe vera yang lebih tinggi dapat meningkatkan nilai TPT buah salak pondoh. Selanjutnya pada pengamatan suhu rendah pada akhir penyimpanan (hari ke-30) nilai TPT tertinggi adalah pelapisan Aloe vera 75% (18.05 oBrix) dan yang terendah pada perlakuan 50% (15.93 oBrix), Hal ini disebabkan karena selama penyimpanan buah salak mengalami pemasakan sehingga terjadi perombakan oksidatif dari bahan-bahan yang kompleks seperti karbohidrat, protein, lemak dimana juga akan terjadi hidrolisis pati yang tidak larut dalam air menjadi gula yang larut dalam air seperti sukrosa, fruktosa, dan glukosa. Selanjutnya pada proses penuaan yang semakin berlanjut maka kandungan total padatan terlarut akan semakin menurun. Hal ini diduga karena hidrolisis pati yang sudah sedikit, sedangkan sintesa asam yang mendegradasi gula masih berjalan terus sehingga akan menimbulkan rasa manis pada buah salak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Matto et al. (1984) diacu dalam Pantastico et al. (1986) yang menyatakan bahwa pemasakan dapat meningkatkan
49
junlah gula sederhana yang memberi rasa manis, penurunan asam-asam organik senyawa-senyawa fenolik yang dapat mengurangi rasa sepat dan masam. TPT buah salak pondoh akan meningkat dengan cepat ketika buah mengalami pematangan dan akan terus menurun seiring dengan lama penyimpanan. Penurunan TPT selama penyimpanan disebabkan kadar gula-gula sederhana pada daging buah salak yang mengalami perubahan menjadi alkohol, aldehida. dan asam amino. Semakin lama penyimpanan, komponen gula yang terurai akan semakin banyak sehingga gula yang rnerupakan komponen utama bahan total padatan terlarut semakin menurun. Analisa statistik terhadap TPT (Lampiran 13) untuk semua perlakuan pada awal penyimpanan tidak mengalami pengaruh yang nyata dari perlakuan Aloe vera, suhu dan interaksi keduanya. Sedangkan pada penyimpanan hari ke-15 dan ke-21 adanya pengaruh yang nyata dari perlakuan Aloe vera, suhu dan interaksi keduanya terhadap perubahan TPT. Hal ini disebabkan pada penyimpanan suhu ruang dan suhu rendah peningktan kegiatan respirasi tidak terjadi secara tajam dimana kegiatan respirasi melibatkan terjadinya pemecahan polimer karbohidrat, khususnya perubahan pati menjadi gula, sehingga kandungan gula dalam buah tidak mengalami peningkatan dengan cepat dan sekaligus meningkatkan kandungan TPT. Hal ini sesuai pernyataan Santoso dan Purwoko (1995), yang menyatakan bahwa kegiatan respirasi mempengaruhi perubahan rasa dan tekstur buah, jika terjadi peningkatan laju respirasi maka terjadinya pemecahan polimer karbohidrat semakin cepat. 5) Uji Organoleptik
Pada umumnya konsumen mengambil keputusan untuk membeli suatu komoditi yang dalam hal ini adalah buah salak pondoh berdasarkan penilaian secara visual. Parameter yang digunakan dalam penelitian meliputi: tekstur dan rasa. a. Tekstur
Data pengamatan nilai organoleptik tekstur pada buah salak pndoh yang diberi perlakuan pelapisan Aloe vera dan disimpan pada suhu rendah memperlihatkan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur buah salak pondoh
50
selama penyimpanan. Gambar 14 menunjukkan perubahan kesukaan terhadap tekstur buah salak pondoh selama penyimpanan suhu ruang dan penyimpanan suhu rendah, dimana pada umumnya skor uji organoleptik tekstur salak pondoh cenderung mengalami peningkatan untuk semua perlakuan selama penyimpanan.
Nilai Organoleptik
7 6 5 4 3 2 1 0 3
6
9
12
Aloevera 50% Suhu 10°C (A11) Aloevera 75% Suhu 10°C (A21) Aloevera 100% Suhu 10°C (A31) Tanpa Aloevera Suhu 10°C (A01)
15 18 21 24 27 Hari keAloevera 50% Suhu 26°C (A12) Aloevera 75% Suhu 26°C (A22) Aloevera 100% Suhu 26°C (A32) Tanpa Aloevera Suhu 26°C (A02)
30
Gambar 14 Hasil Uji Organoleptik Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan Pada Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai organoleptik tekstur buah salak pondoh pada akhir penyimpanan (hari ke-15) suhu ruang yang terendah adalah pelapisan Aloe vera dengan 100% (3.8) dan yang tertinggi pada tanpa pelapisan Aloe vera (4.5), hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan Aloe vera dapat mempertahankan nilai organoleptik tekstur tetap disukai. Selanjutnya pada pengamatan suhu rendah pada akhir penyimpanan (hari ke-30) nilai organoleptik tekstur tertinggi adalah pelapisan Aloe vera 100% (6.1) dan yang terendah pada perlakuan 50% (4.8), hal ini menunjukkan bahwa pada suhu penyimpanan 10°C dengan pelapisan Aloe vera atau kontrol (tanpa pelapisan Aloe vera) skor teksturnya juga terus mengalami peningkatan hingga akhir penyimpanan, dimana panelis sudah tidak menyukai lagi tekstur daging buahnya. Nilai organoleptik tekstur salak pondoh pada awal penyimpanan menunjukkan tingkat kesukaan yang masih diterima panelis, sedangkan nilai organoleptik tekstur akhir penyimpanan cenderung meningkat (tingkat ketidaksukaan yang
51
tinggi). Gambar 14 menunjukkan salak pondoh pada perlakuan kontrol (tanpa pelapisan Aloe vera) dan suhu penyimpanan 26°C (A02) memiliki nilai organoleptik tekstur sebesar 2.3, setelah penyimpanan selama 15 hari nilai organoleptik menjadi 4.5, hal ini mengakibatkan penolakan panelis (konsumen) terhadap salak pondoh yang disimpan. Nilai organoleptik tekstur salak pondoh yang sangat disukai panelis yaitu perlakuan pelapisan dengan Aloe vera 50% dan penyimpanan pada suhu 10°C (A11) sebesar 1.6, setelah penyimpanan selama 30 hari nilai organoleptiknya sebesar 4.8. Pada akhir penyimpanan (30 hari) pencelupan salak pondoh ke dalam alovera 50% dan suhu penyimpanan 10oC (A11) dapat mempertahankan nilai organoleptik tekstur yang masih diterima panelis (konsumen) sebesar 4.8. Jika dibandingkan dengan tekstur menggunakan alat Rheometer, ternyata pada awal penyimpanan (hari ke-0) buah salak mempunyai nilai kekerasan sebesar 2.4 kgf, sedangkan skor penerimaan panelis (organoleptik) bernilai 2.10 (suka). Hal ini menunjukkan nilai kekerasan yang tinggi menunjukkan nilai kesukaan yang tinggi bagi panelis/konsumen. Maka semakin lama penyimpanan maka nilai kekerasan cenderung semakin rendah sedangkan skor penolakan panelis menjadi lebih tinggi, dengan kata lain semakin lama penyimpanan maka tekstur semakin lunak dan panelis menjadi semakin tidak suka. Analisa statistik terhadap organoleptik tekstur (Lampiran 16) selama penyimpanan pengaruh perlakuan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tekstur daging buah, dimana tekstur daging buah yang disimpan pada suhu 10oC lebih disukai panelis dari pada suhu ruang. Hal ini mungkin disebabkan proses pembentukan pektin larut air dari protopektin tak larut air pada jaringan daging buah dapat dihambat pada suhu dingin sehingga pelunakan daging buah diperlambat. Semakin lama penyimpanan maka nilai kekerasan cenderung semakin rendah dengan skor penolakan panelis yang
tinggi, atau semakin lama
52
penyimpanan maka tekstur semakin lunak dan panelis menjadi semakin tidak suka. b. Rasa
Seperti pada uji organoleptik rasa, umumnya skor uji organoleptik rasa salak pondoh cenderung mengalami peningkatan untuk semua perlakuan selama penyimpanan. Data pengamatan berdasarkan Gambar 15 menunjukkan nilai organoleptik rasa pada buah salak pndoh yang diberi perlakuan pelapisan Aloe vera dan disimpan pada sahu rendah memperlihatkan tingkat kesukaan panelis
Nilai Organoleptik
terhadap rasa buah salak pondoh selama penyimpanan.
7 6 5 4 3 2 1 0 3
6
9
12
15 18 21 24 27 30 Hari keAloevera 50% Suhu 10°C (A11) Aloevera 50% Suhu 26°C (A12) Aloevera 75% Suhu 10°C (A21) Aloevera 75% Suhu 26°C (A22) Aloevera 100% Suhu 10°C (A31) Aloevera 100% Suhu 26°C (A32) Tanpa Aloevera Suhu 10°C (A01) Tanpa Aloevera Suhu 26°C (A02)
Gambar 15 Hasil Uji Organoleptik Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa nilai organoleptik rasa buah salak pondoh pada akhir penyimpanan suhu ruang yang terendah adalah pelapisan Aloe vera dengan 100% (3.4) dan yang tertinggi pada tanpa pelapisan Aloe vera (5.1), hal
ini
menunjukkan
bahwa
dengan
penambahan
Aloe
vera
dapat
mempertahankan nilai organoleptik rasa tetap disukai. Selanjutnya pada pengamatan suhu rendah pada akhir penyimpanan (30 hari) nilai organoleptik rasa tertinggi adalah pelapisan Aloe vera 100% (6.0) dan yang terendah pada perlakuan 50% (4.8), hal ini menunjukkan bahwa pada suhu penyimpanan 10°C baik dengan pelapisan dengan Aloe vera atau kontrol (tanpa pelapisan dengan Aloe vera) skor
53
rasanya juga terus mengalami peningkatan hingga akhir penyimpanan, dimana panelis sudah tidak menyukai lagi rasa daging buahnya. Nilai organoleptik rasa salak pondoh pada awal penyimpanan menunjukkan tingkat kesukaan yang masih diterima panelis, sedangkan nilai organoleptik rasa akhir penyimpanan cenderung meningkat (tingkat ketidaksukaan yang tinggi). Pada Gambar 15 juga menunjukkan pada penyimpanan suhu 26°C dengan perlakuan kontrol/tanpa pelapisan Aloe vera (A02) memiliki nilai organoleptik rasa di awal penyimpanan sebesar 2.3, setelah penyimpanan hari ke-15 nilai organoleptik rasa menjadi 4.5. Hal ini mengakibatkan penolakan panelis (konsumen) terhadap salak pondoh yang disimpan. Pada penyimpanan suhu rendah nilai organoleptik rasa salak pondoh yang disukai panelis yaitu dengan perlakuan pencelupan dalam Aloe vera 50% (2.4), dan setelah akhir penyimpanan (hari ke-30) nilai organoleptiknya sebesar 4.8, hal ini menunjukkan penolakan panelis (konsumen) terhadap salak pondoh yang disimpan tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan perlakuan pada suhu ruang (26oC). Pada suhu penyimpanan rendah (10°C) baik dengan perlakuan pelapisan Aloe vera atau kontrol (tanpa pelapisan dengan Aloe vera) skor rasanya juga terus naik hingga akhir penyimpanan, dimana panelis sudah tidak menyukai lagi rasa daging buahnya. Pada hari ke-27 rasa salak pondoh masih disukai panelis, dimana perlakuan pelapisan aloevera 75% (A21) pelapisan aloevera 50% (A11) mempunyai skor 3.9 dan 3.8 (Lampiran 17). Pada hari ke-15 pengaruh pelapisan Aloe vera dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap rasa daging buah, dimana rasa daging buah yang disimpan pada suhu 10oC lebih disukai panelis dari pada suhu ruang, hal ini mungkin disebabkan proses pembentukan pektin larut air dari protopektin tak larut air pada jaringan daging buah dapat dihambat pada suhu dingin sehingga pelunakan daging buah diperlambat, sehingga nilai rasanya masih sangat disukai.
54
Analisa statistik terhadap organoleptik rasa (Lampiran 17) untuk hari penyimpanan yaitu hari ke-15, dan ke-21 terdapat adanya pengaruh nyata dari konsentrasi Aloe vera dan interaksi suhu penyimpanan terhadap organoleptik rasa. Jika dibandingkan nilai organoleptik rasa dengan nilai TPT menggunakan alat Refraktometer, diawal penyimpanan (hari ke-0) buah salak mempunyai nilai TPT sebesar 17.92 oBrix sedangkan skor penerimaan panelis bernilai 2.10 (suka). Hal ini menunjukkan nilai rasa yang tinggi menunjukkan nilai kesukaan yang tinggi bagi panelis/konsumen. Maka semakin lama penyimpanan maka nilai organoleptik rasa (penolakan panelis) cenderung
menjadi lebih tinggi, dengan kata lain
semakin lama penyimpanan maka rasa manis (oBrix) semakin rendah dan panelis menjadi semakin tidak suka. Tingginya penilaian panelis terhadap rasa pada buah salak pondoh yang dilapisi Aloe vera membuktikan bahwa adanya pelapisan (coating) tidak merubah rasa buah salak pondoh. Rasa merupakan parameter yang sangat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap bahan atau produk, dimana rasa buah salak pondoh didominasi oleh perpaduan antara kandungan gula dan asam. Hal ini sesuai pada data kandungan gizi salak pondoh (Tabel 3) dimana rasa buah salak pondoh (hitam) dipengaruhi kandungan gula dan kadar asam yang tinggi (16.44% dan 0.707mg). D. Pengaruh Pelapisan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Jumlah Cendawan Pada pelapisan (coating) pada buah-buahan umumnya dimaksudkan untuk memperpanjang masa simpan, dan penggunaan fungisida akan dapat mencegah pertumbuhan kapang selama penyimpanan buah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa perlakuan pelapisan Aloe vera ternyata dapat memperpanjang masa simpan buah salak pondoh sampai 20 hari, bahkan untuk suhu penyimpanan rendah (10oC) bisa sampai 30 hari. Ini menunjukkan bahwa Aloe vera efektif dalam memperpanjang masa simpan buah salak pondoh. Selanjutnya selain dimaksudkan untuk memperpanjang masa simpan, diharapkan penggunaan Aloe vera juga dapat mengurangi kontaminasi atau mencegah pertumbuhan kapang yang biasa terjadi pada salak pondoh yang dapat mengakibatkan busuk buah. Untuk itu, pada kajian berikutnya adalah pengamatan pertumbuhan kapang selama penyimpanan salak pondoh. Kerusakan buah salak pondoh ternyata dapat disebabkan oleh faktor mekanis, fisiologis dan
55
mikrobiologis (Suter 1988), sehingga buah salak pondoh dapat ditumbuhi kapang (cendawan) dan selanjutnya mengakibatkan buah menjadi busuk. Serangan kapang (cendawan) ini sebagai akibat adanya luka atau memar pada buah salak. Dengan adanya luka pada kulit atau pada pangkal buah maka terciptalah pintu gerbang bagi mikroba (kapang/jamur) untuk masuk ke dalam daging buah setelah dipetik (Rahmad 1990). Berdasarkan hasil penelitian pengaruh perlakuan Aloe vera dan suhu penyimpanan terhadap pertumbuhan cendawan diperoleh hasil sebagai berikut: (Tabel 8) Tabel 8 Pengaruh pelapisan Aloe vera dan suhu penyimpanan terhadap jumlah cendawan Perlakuan Suhu Penyimpanan 10oC
Jumlah Cendawan (koloni/gram)
Kadar Aloe vera 50%
9.0 x 106 b
75%
1.3 x 105 a
100%
1.4 x 107 b
Tabel 8 memperlihatkan bahwa pertumbuhan cendawan pada akhir penyimpanan (hari ke-30) kandungan total cendawan tertinggi terdapat pada perlakuan pelapisan Aloe vera dengan konsentrasi 100% dan suhu penyimpanan 10oC (A31) yaitu 14 x 106 koloni/gram dan total cendawan terendah terdapat pada pelapisan Aloe vera 75% dan suhu penyimpanan 10oC (A21) yaitu 1.3 x 105 koloni/gram. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi Aloe vera yang tinggi
(100%) dapat meningkatkan pertumbuhan cendawan, fenomena ini diduga karena konsentrasi pelapisan Aloe vera 100% memiliki permeabilitas rendah dalam hal menutupi atau melapisi ujung buah salak sehingga lentisel tidak dapat berdifusi (pertukaran gas) dengan baik, dan ini sesuai dengan pernyataan Soesanto (2006) yang menyatakan bahwa lentisel sangat menentukan tingkat kerentanan buah terhadap serangan kapang pascapanen, dimana lentisel merupakan tempat pemasukan gas yang diperlukan bagi buah salak dan pembuangan gas serta uap air sebagai hasil samping metabolisme (respirasi) dari dalam buah salak. Jika lentisel
56
tidak berfungsi dengan baik, maka akan memudahkan mikkroba (kapang) untuk dapat tumbuh karena kondisi di tempat lentisel menjadi lembab sebagai akibat tertahannya pertukaran gas, peningkatan akumulasi laju respirasi ini menyebabkan buah menjadi lembab dan kandungan airnya yang tinggi, sehingga memudahkan pertumbuhan kapang, hal ini didukung pada data laju respirasi yang tinggi (laju produksi CO2) yang tinggi (3.92 ml/kg jam) di bandingkan perlakuan pelapisan Aloe vera 50% dan 75% yang relatif seimbang (3.43 ml/kg jam dan 3.42 ml/kg jam). Pada konsentrasi pelapisan Aloe vera 75% merupakan konsentrasi yang baik untuk mempertahankan kualitas atau mutu dari salak pondoh terhadap pertumbuhan cendawan, hal ini disebabkan oleh konsentrasi pelapisan Aloe vera 75%
dapat
menyeimbangkan
terjadinya
pertukaran
gas,
dimana
sifat
permeabilitasnya yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Roosmani (1975) dalam Utama et al. (2000) yang menyatakan bahwa pelapisan (coating) yang dilakukan harus optimal karena lapisan yang terlalu tebal dapat mengakibatkan terjadinya respirasi anerob dan menghasilkan buah yang busuk (akibat serangan kapang), sedangkan buah jika lapisan coating-nya terlalu tipis maka kurang efektif mengurangi laju respirasi dan transpirasi. Pada gambar 16 memperlihatakan pengaruh pelapisan Aloe vera dan suhu penyimpanan terhadap tampilan buah salak pondoh dalam penyimpanan. Pada penyimpanan suhu ruang perlakuan pelapisan Aloe vera 50% (A21) dan perlakuan kontrol/tanpa pelapisan Aloe vera (A02) telah ditumbuhi kapang, sehingga penyimpanannya berakhir pada hari ke15. Pada penyimpanan suhu rendah untuk setiap perlakuan pelapisan Aloe vera masih terlihat segar, hal ini terlihat pada Gambar 16 di bawah ini. A11
A21
A31
A01
A12
A22
A32
A02
Gambar 16 Tampilan Salak Pondoh Setelah Penyimpanan 15 hari
57
Kapang Fusarrium sp, Aspergillus sp, Penicillium sp, dan Mucor sp dapat menghasilkan mikotoksin (racun yang dikeluarkan oleh kapang yang bersifat mengganggu kesehatan) yang berbahaya bagi manusia, maka diperlukan untuk mengetahui batas pertumbuhan kapang yang aman pada komoditi pangan maupun hasil pertanian yang disimpan dapat dikonsumsi oleh manusia. Menurut Makfoeld 1993) untuk hasil pertanian yang dipanen dipermukaan atau di dalam tanah seperti kacang tanah (termasuk buah salak) memiliki batas pertumbuhan kapang 7.106 koloni/gram. Dari hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan kapang yang tetap memiliki batas keamanan kesehatan manusia adalah pada pelapisan Aloe vera 75% dan suhu penyimpanan (1.3 x 105 koloni/gram). Selain terjadinya pertumbuhan cendawan pada permukaan kulit salak pondoh, perubahan lain yang terjadi adalah adanya noda coklat pada daging buah. Warna coklat timbul ini diduga karena terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis akibat terjadinya oksidasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (2002) yang menyatakan bahwa reaksi pencoklatan terjadi akibat oksigen dapat berhubungan langsung dengan poliphenol dengan dikatalisa oleh enzim poliphenol oksidase membentuk senyawa melanin berwarna coklat, karena buah salak yang mengandung senyawa poliphenol dalam bentuk tanin, maka oksigen dapat berhubungan dengan poliphenol bila terdapat sel atau jaringan yang terbuka akibat luka. Hasil analisis statistik pada hari ke-30 (Lampiran 22) menunjukkan adanya pengaruh yang nyata antara kombinasi perlakuan dengan tingkat pertumbuhan cendawan, yang berarti bahwa tingkat pertumbuhan cendawan lebih disebabkan karena pengaruh konsentrasi pelapisan Aloe vera. Secara nyata pengaruh konsentrasi pelapisan Aloe vera menyebabkan terhambatnya pertumbuhan cendawan yang disimpan, terutama pada penyimpanan suhu dingin (Lampiran 22), dimana pertumbuhan cendawan pada konsentrasi pelapisan Aloe vera 100% relatif lebih tinggi (14 x 106 koloni/gram) daripada konsentrasi pelapisan Aloe vera 75% (14 x 106 koloni/gram). Selain pernyataan di atas, menurut Dweck dan Reynold (1999) menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan cendawan yang rendah disebabkan karena konsentrasi gel Aloe vera yang optimal mampu menjaga kelembaban dengan cara mengontrol kehilangan air dan pertukaran komponen-
58
komponen larut air. Selanjutnya Reynolds dan Dweck (1999) menyatakan bahwa fungsionalitas zat terkandung dalam Aloe vera ini mampu menghambat pertubuhan cendawan, hal ini juga makin diperkuat dengan adanya penelitian dari Mousa et al. (1999), yang menyatakan bahwa gel tanaman ini bersifat anti-fungal terhadap Penicillium digitatum, Penicillium expansum, Botrytis cinerea, Alternaria alternate, Aspergillus niger, dan Fusarium monthform, dan dalam penelitian ini ternyata bahwa kapang Mucor sp dapat dihambat pertumbuhannya.