IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan penelitian diawali dengan pra survei, diikuti dengan survei utama dengan melakukan wawancara ke petani, ketua kelompok tani dan KUD, staf Manajer Inti dan Manajer Plasma P.T Perkebunan Nusantara V kebun Sei Pagar, staf Manajer Inti dan Manajer Plasma P.T Perkebunan Nusantara V Pusat di Pekanbaru, staf dan pekerja PKS Sei Pagar serta Instansi terkait lainnya. Bersamaan dengan itu, dilakukan pengamatan profil tanah untuk mengetahui sifat-sifat tanah yang bisa dilihat dengan observasi langsung di lapangan seperti: ketebalan lapisan tanah, sebaran perakaran, kedalaman air tanah, pH, kondisi batuan, struktur tanah, tekstur tanah dan lain-lain. Selain itu, dilakukan juga pengambilan contoh tanah, air, daun kelapa sawit dan limbah cair PKS yang diteruskan dengn analisis kimia, fisika dan biologi untuk mengetahui sifat-sifat tanah, air dan limbah cair PKS serta status unsur hara tanaman kelapa sawit. Kegiatan selanjutnya adalah editing data, entry dan tabulasi data serta analisis data sesuai dengan tujuan penelitian. 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dapat dicapai melalui jalan antar kabupaten ke arah selatan sekitar 20 km dari ibu kota Provinsi Riau yaitu kota Pekanbaru, dengan kondisi infrastruktur terutama jalan sudah baik (pengerasan dengan batu dan aspal) sehingga dapat ditempuh sekitar 30 menit. Perjalanan diteruskan lagi melewati jalan desa ke arah barat sekitar 5 km dari simpang jalan antara kabupaten. Kondisi jalan desa relatif baik dengan pengerasan dan dilapisi batu dengan waktu tempuh sampai ke lokasi penelitian sekitar 20 menit. Secara administratif, lokasi penelitian mengalami pemekaran wilayah dimana sebelumnya ke empat desa termasuk kedalam satu kecamatan yaitu kecamatan Perhentian Raja, sekarang terbagi menjadi 3 kecamatan yaitu: 1. Desa Hangtuah dan Desa Sialang Kubang termasuk wilayah Kecamatan Perhentian Raja, Kabupaten Kampar 2. Desa Sei Simpang Dua termasuk wilayah Kecamatan Kampar Kiri Hilir, Kabupaten Kampar 3. Desa Mayang Pongke termasuk wilayah Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada posisi 0o12! – 0o20! Lintang Utara dan 101º14! – 101º24! Bujur Timur, topografi datar-berombak
86 dengan ketinggian dari muka laut antara 7-50 meter. Lokasi penelitian termasuk Sub DAS 2 sungai besar yaitu Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. Sebelum dibuka untuk kebun kelapa sawit, iklim di lokasi penelitian memang cocok untuk kelapa sawit dengan curah hujan tahunan rata-rata 2472 mm/tahun, hari hujan 138, suhu udara rata-rata 26,30C, dan kelembaban udara nisbi 83% (P.T PN V, 1992). Dalam kurun waktu pembukaan dan penggunaan lahan 22 tahun, saat ini, terjadi sedikit perubahan iklim dengan rata-rata curah hujan 2640 mm/tahun, hari hujan 144, suhu udara 270C dan kelembaban udara nisbi 75%. Kondisi iklim ini masih mendukung untuk pertumbuhan kelapa sawit. Sejak tahun 1985 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 668/KPTS/KB.510/10/1985
tentang
petunjuk
umum
pelaksanaan
proyek
Perkebunan Inti Rakyat, kelapa sawit plasma di lokasi ini dikembangkan melalui pola PIR-Trans seluas 6000 hektar. Pembangunan kebun, infrastruktur penunjang dan pemeliharaan tanaman sampai umur tanaman produktif dilakukan oleh P.T Perkebunan Nusantara V. Kebun dikelompokkan ke dalam 5 Afdeling yaitu Afdeling A seluas 1092 ha, Afdeling B 1500 ha, Afdeling C seluas 1239 ha, Afdeling D seluas 1026 ha dan Afdeling E seluas 1143 ha. Dengan pembagian kebun kelapa seluas 2 ha/kepala keluarga, didatangkan sebanyak 3000 kepala keluarga petani transmigrasi dari luar daerah (Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogya, Jawa Timur) dan transmigran lokal dengan proporsi 60:40. Selain kebun kelapa sawit, setiap kepala keluarga memperoleh lahan pekarangan disatukan dengan lahan pangan masing-masing seluas 0.5 ha. Saat ini lahan pangan sebagian besar sudah ditanami dengan kelapa sawit karena tingginya resiko kegagalan pada pengelolaan tanaman pangan karena serangan hama/penyakit, tata air yang susah dikendalikan serta pemasaran produksi tanaman pangan yang tidak stabil. Lahan pekarangan juga ditanami kelapa sawit sehingga setiap kepala keluarga memiliki hampir 2,5 ha kebun kelapa sawit. Untuk memacu perkembangan masyarakat, di masing-masing afdeling kebun plasma dibangun fasilitas umum (fasilitas sosial dan ekonomi) seperti Sekolah Dasar (SD), Koperasi Unit Desa (KUD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Puskesmas Pembantu, tempat peribadatan, kantor desa dan pasar desa. Semua fasilitas umum tersebut tersedia di masing-masing desa kecuali Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama hanya terdapat di desa Hangtuah dan desa Mayang Pongke, sedangkan Puskesmas Pembantu terdapat di di desa Sialang Kubang dan Mayang Pongke. Dengan fasilitas yang ada tersebut,
87 aktivitas masyarakat bisa berjalan dengan baik antara lain pendidikan, kesehatan, penyediaan kebutuhan keluarga sehari-hari, penyediaan sarana produksi usahatani kelapa sawit dan pemasaran produksi TBS. Khusus kegiatan di bidang perkebunan, Koperasi Unit Desa memegang peranan yang penting baik sebagai penyedia sarana produksi, penghubung antara Perusahaan Inti dengan petani untuk bimbingan teknis ke petani dalam pengelolaan kebun kelapa sawit dan pemasaran TBS. Mengingat beragamnya kondisi masyarakat maka petani membentuk organisasi kelompok tani berdasarkan kelompok hamparan kebun kelapa sawit. Kelompok tani ini merupakan kepanjangan tangan dari KUD dalam mengelola kebun kelapa sawit petani karena bimbingan teknis dari perusahaan inti ataupun pihak lainnya terutama instansi terkait disampaikan melalui kelompok tani. Jumlah kelompok tani berbeda-beda pada masing-masing desa dimana untuk desa Hangtuah jumlahnya 35 kelompok, desa Sialang Kubang sebanyak 33 kelompok, desa Sei Simpang Dua sebanyak 28 kelompok dan desa Mayang Pongke sebanyak 27 kelompok tani (Tabel 10). Tabel 10. Koperasi Unit Desa (KUD) dan Kelompok Tani PIR-Trans Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007 No
Desa
Nama KUD
Jumlah Kelompok Tani
1
Hangtuah
Karya Manunggal
35
2
Sialang Kubang
Kusuma Bakti
33
3
Sei Simpang Dua
Rukun Makmur
28
4
Mayang Pongke
Tri Manunggal
27
Pada periode sesudah cicilan petani lunas dan bimbingan teknis dari Perusahaan Inti kurang intensif, kelompok tani menjadi wadah yang berperan penting. Ketua kelompok menjadi lebih sibuk untuk mencari informasi teknologi pengelolaan kebun kelapa sawit yang baik, informasi pengadaan sarana produksi terutama pupuk yang tepat waktu, tepat jenis, tepat dosis dan tepat cara pemberiannya. Pertemuan kelompok menjadi semakin sering untuk membahas jadwal pemupukan, panen, pengendalian gulma, pemasaran dan penentuan
harga
TBS
dan
lain-lain.
Pada
beberapa
kelompok
tani,
penggalangan kerjasama kemitraan dengan pihak pemodal atau pihak penyedia sarana produksi juga dilakukan melalui kelompok tani. Komunikasi yang lebih
88 akrab juga dibangun antara lain kelompok tani meminta jenis pupuk yang cocok untuk kelapa sawit, dosis dan cara pemberiannya. Perkembangan komunikasi yang terbentuk antara kelompok tani dengan pihak penyedia sarana produksi tingkat Kabupaten/provinsi mempunyai dampak positif maupun negatif. Segi positifnya adalah terjadinya transfer teknologi untuk membantu petani mengelola perkebunan kelapa sawit khususnya pengelolaan pupuk yang merupakan kunci pemeliharaan produktivitas lahan. Walaupun pengalaman menunjukkan bahwa teknologi yang ditransfer kadang-kadang kurang sesuai dengan kondisi lahan karena pihak penyedia sarana produksi masih memfokuskan pada kuota penjualan produk-produknya sendiri sehingga ada unsur rekayasa paket teknologi yang disesuaikan secara paksa antara sifatsifat pupuk dengan kondisi lahan dan tanaman kelapa sawit. Segi positif lainnya adalah peningkatan kapasitas (building capacity) kelompok tani sebagai wadah bagi petani plasma dalam pengelolaan kebun kelapa sawit pada saat bimbingan teknis dari Perusahaan Inti berkurang. Segi negatifnya adalah semakin berkurangnya intensitas komunikasi antara Perusahaan Inti dengan petani plasma yang berujung pada menurunnya penjualan TBS kebun plasma ke PKS Perusahaan Inti. Belum lagi sistem pembayaran PKS non inti lebih baik bagi petani dimana TBS petani dibayar tunai langsung dan kadang-kadang harganya lebih tinggi dari harga TBS di PKS Inti. Di lain pihak, luas kebun Inti lebih sempit (sekitar 2800 hektar) dibandingkan dengan kebun plasma ( 6000 hektar) yang menunjukkan pentingnya masukkan TBS plasma ke PKS Inti. Dengan kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam maka PKS sering mengalami kekurangan TBS (Idle material) sehingga PKS tidak bisa beroperasi setiap harinya melainkan 3-4 hari saja dalam seminggu. Menyadari akan hal ini, PKS Inti telah memperbaiki sistem pembelian TBS petani plasma untuk merangsang petani menjual TBS ke PKS Inti antara lain: pembayaran TBS ditunda hanya 1 minggu terhitung dari saat penyetoran TBS (awalnya tertunda 1 bulan), harga TBS juga ditingkatkan mendekati harga PKS non Inti. Bagi keluarga petani, peranan kelompok tani tidak terbatas pada pengelolaan kebun kelapa sawit saja melainkan juga sebagai media untuk menjalankan aktivitas lainnya. Aktivitas tersebut antara lain untuk arisan bapak tani, arisan ibu tani, pembentukan kas kelompok tani, aktivitas sambatan perbaikan/pembangunan rumah baru dan aktivitas sosial lainnya seperti gotong royong perbaikan jalan desa, perbaikan sarana ibadah, perbaikan sarana
89 pendidikan dan lain-lain. Dengan demikian, setiap kelompok tani mempunyai karakter tersendiri sesuai dengan latar belakang budaya masing-masing. Untuk mengelola kebun kebun plasma, PTPN V Cabang Sei Pagar mempekerjakan sebanyak 15 tenaga kerja tetap yang terdiri dari manager kebun, asisten kepala, asisten tanaman, asisten keuangan/administrasi kebun dan karyawan pelaksana serta 25 orang tenaga harian lepas (Gambar 13). Struktur organisasi tersebut menggambarkan bahwa manager kebun plasma dibantu oleh seorang asisten kepala yang membawahi asisten tanaman dan asisten
keuangan/administrasi
kebun.
aktivitas rutin dilaksanakan oleh
Untuk
asisten
permasalahan
administrasi,
keuangan/asisten
administrasi,
sedangkan untuk aktivitas pengelolaan kebun secara langsung dilaksanakan oleh asisten tanaman bekerjasama dengan KUD di masing-masing desa. Terhitung sejak hutang petani lunas, mekanisme kerjasama antara asisten tanaman dengan KUD kurang aktif. Kondisi ini berimbas pada perilaku petani dalam memasarkan TBS dan rencana peremajaan pada periode berikutnya.
MANAGER KEBUN ASISTEN KEPALA
ASS. TANAMAN
ASS. KEUANGAN/ADMI KEBUN
KARPEL KEBUN
Gambar 13. Struktur Organisasi Kebun Kelapa Sawit Plasma PTPN V Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Riau Sebagaimana halnya tanaman keras lainnya, kelapa sawit mempunyai umur ekonomis terbatas yaitu sekitar 25 tahun dan sesudahnya perlu dilakukan peremajaan. Peremajaan memerlukan dana yang besar sehingga petani tidak bisa melakukan sendiri tanpa ada bantuan modal dari pemerintah atau lembaga keuangan lainnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dilakukan pemupukan modal kerja yang dimulai tahun 1995 dengan melakukan perjanjian kerjasama
90 antara Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau dengan Direksi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera Nomor: 521/Ek.1777-05/BP-PDR-PIR/KS/Div.Ask/III/95 tanggal 17 Maret 1995 tentang Program Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan (Program IDAPERTA-BUN). Langkah ini dilakukan sebagai respon dikeluarkannya Surat Perjanjian Kerjasama antara Direktur Jenderal Perkebunan dengan Direktur Utama Bumiputera 1912 Nomor KB 650/Ea.191.a/02.9501/BP.PIR/KS/ASK/II.95 tanggal 1 Pebruari 1995 tentang Program Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan (IDAPERTA-BUN). Program ini merupakan kiat dari Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian mengingat bahwa dalam perkembangan dimasa mendatang akan menghadapi hal yang semakin sulit untuk mendapatkan sumber dana dari pemerintah yang sifatnya bantuan dalam jumlah besar berupa kredit lunak jangka panjang. Program ini di set untuk jangka waktu maksimal 20 tahun terhitung sejak kelapa sawit mulai produktif (umur 4 tahun) sampai tidak produktif (umur 25 tahun). Keunggulannya bahwa program ini memiliki unsur proteksi asuransi jiwa. Dalam hal ini, jika petani meninggal dunia maka ahli waris petani mendapat santunan meninggal dunia ditambah dengan nilai premi yang sudah dihimpun saat petani meninggal. Selanjutnya, ahli waris dibebaskan dari kewajiban membayar premi/iuran kepesertaan yang semula dilakukan petani semasa hidupnya. Pada akhir dari umur produktif kelapa sawit (umur 25 tahun) maka ahli warisnya akan memperoleh sejumlah dana untuk melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit. Program ini diaplikasikan mulai tahun 1996 terhadap 3000 kepala keluarga petani PIR Trans kelapa sawit Sei Pagar dengan respon petani yang beragam dari yang menolak sampai setuju. Namun demikian, sampai tahun 2007, sudah hampir semua petani (sekitar 90%) mengikuti program ini. Sebagian besar petani mengambil Paket C10 (besar santunan Rp. 10 000 000 dalam jangka waktu pembayaran premi 10 tahun). Jumlah premi yang harus dibayar petani peserta sekitar Rp. 80 000 – Rp. 97 500 per bulannya. Terdapat 1 unit pabrik kelapa sawit (PKS) yang mengolah tandan buah segar (TBS) menjadi crude palm oil (CPO) dengan kapasitas 30 ton TBS/jam. Dengan kondisi tanaman di kebun inti dan kebun plasma, saat ini PKS mampu mengolah TBS sebanyak 9000 ton/bulan. PKS ini mempekerjakan sebanyak 125 tenaga kerja meliputi tenaga kerja penyeleksi bahan baku (TBS) yang diperoleh dari hasil kebun inti dan dibeli dari petani plasma, tenaga administrasi, tenaga
91 mekanik (bagian operasional mesin), tenaga kerja mutu kualitas CPO, tenaga pengelola limbah PKS (limbah padat dan limbah cair) dan manejer PKS. Kondisi PKS saat ini masih bisa beroperasi dengan efektif dan efisien. Hal ini terlihat dari Neraca Bahan (Oil Content) dimana dalam 100% bahan mentah (TBS) akan menghasilkan 22,17% crude palm oil (CPO) dan 5,22% minyak inti sawit. Kualitas CPO yang dihasilkan sudah memenuhi standar mutu yang ditetapkan pemerintah antara lain kadar asam lemak bebas <5% yaitu 23% (Lampiran 7). Hasil sampingan berupa limbah padat (tandan buah kosong, cangkang dan ampas kulit buah) dan limbah cair (air kondensat dan air hidrosiklon). Untuk limbah cair, langsung dibuang melalui saluran pembuangan dan ditampung di kolam penampungan limbah cair, sedangkan untuk limbah padat cangkang dan ampas daging buah, dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar dalam rangkaian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Uap yang dihasilkan dari boiler sebagian digunakan sebagai penggerak turbin listrik dan sebagian lagi digunakan kembali dalam rangkaian PKS untuk proses pengolahan TBS. Melalui mekanisme ini, dihasilkan tenaga untuk menggerakkan generator listrik sebesar 700 kwh, dimanfaatkan untuk penerangan kantor dan perumahan karyawan serta energi untuk operasional PKS. Mulai tahun 2000, limbah padat lainnya yaitu tandan buah kosong, 50% dimanfaatkan langsung sebagai pupuk organik, disebar pada gawangan tanaman pada kebun inti dengan dosis 15 ton tandan buah kosong/ha. Sisanya (50%) dibakar dalam incenerator, hasil pembakaran berupa abu incenerator dimanfaatkan sebagai pupuk organik dengan cara menaburkan pada piringan tanaman kelapa sawit di kebun inti. Belum ada laporan penelitian mengenai dampak dari aplikasi tandan buah kosong dan abu incenerator terhadap produksi
kelapa
sawit.
Namun
demikian,
pengamatan
secara
selintas
dilapangan menunjukkan belum adanya perbedaan produksi antara tanaman dengan perlakuan tandan buah kosong ataupun abu incenerator dengan tanaman yang tanpa menggunakan kedua jenis pupuk tersebut. Limbah cair yang bersumber dari air kondensat dan air hidrosiklon ditampung pada kolam penampungan limbah. Terdapat 10 kolam penampungan limbah cair (kolam nomor 1 sampai nomor 10) yang disusun sedemikian rupa sehingga kolam penampungan terakhir (nomor 10) terletak ditepi sungai sehingga mudah membuang limbah. Pada setiap kolam, limbah diberi perlakuan fermentasi anaerob dengan menaburkan mikroorganisme perombak anaerob.
92 Perlakuan ini diatur agar air limbah pada kolam ke 10 sudah tidak menimbulkan dampak negatif dan bisa dibuang langsung ke sungai (anak Sungai Iyee)(Lampiran 8) maupun dampak negatif terhadap air sumur pantau (Lampiran 9). Sejak tahun 2003, pengelolaan limbah cair sudah bisa menerapkan sistem Land Aplication (LA) dimana limbah cair PKS bisa dimanfaatkan sebagai sumber pupuk atau bahan pembaik tanah dengan cara memberikan limbah cair langsung ke lahan. Dalam sistem ini, limbah cair dipantau sifat-sifat kimianya terutama kadar Biologycal Oxygen demand (BOD) sebagai syarat dari limbah cair untuk dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Nilai BOD yang memenuhi syarat tersebut adalah < 3500, sehingga perlakuan fermentasi anaerob di PKS penelitian diatur sedemikan rupa dan sistem LA bisa diterapkan mulai kolam penampungan nomor 4, dengan nilai BOD antara 2000 – 3000. Limbah cair dipompa dari kolam ke saluran LA, selanjutnya dialokasikan ke kebun kelapa sawit inti sebagai pupuk organik. Berbasis pada pengetahuan dan kemampuan tenaga kerja PKS, mekanisme pengolahan TBS, kualitas CPO yang dihasilkan dan pengolahan limbah maka PKS Sei Pagar diajukan sebagai salah satu nominasi perusahaan yang memenuhi standar keselamatan kerja melalui jalur ISO 9000 Versi 2000. Semua elemen PKS ditata dalam satu sistem yang disebut Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK-3). Dengan sistem ini, evaluasi selama satu tahun menunjukkan tidak pernah adanya kecelakaan diwaktu kerja (0 incident/year) dan berhak memperoleh penghargaan berupa Gold Flag dari Departemen Tenaga Kerja. Sebagai komoditas unggulan yang pengembangannya pesat, kehadiran perkebunan kelapa di suatu wilayah pengembangan berdampak negatif (pencemaran) terhadap lingkungan terutama komponen tanah, air dan udara serta menurunkan keanekaragaman hayati. Untuk mengetahui dampak tersebut, di lokasi penelitian telah diterapkan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dengan Nomor persetujuan RKLRPL: RC.220/690/B/IV/1994 tanggal 18 April 1994, yang dinilai oleh Tim AMDAL Departemen Pertanian (PTPN V, 1996). Matriks pelaksanaan RKL disajikan pada Lampiran 10 dan matriks pelaksanaan RPL pada Lampiran 11. Dampak terhadap kualitas udara dipantau dengan mengukur emisi gas buang yang dihasilkan oleh PKS dan kualitas udara ambien di sekitar lokasi
93 PKS. Jarak dan arah pengukuran kualitas udara ambien tergantung dari arah angin, misalnya arah angin dari selatan, maka pengukuran
dilakukan sebelum
lokasi PKS (sebelah timur), di lokasi PKS dan di sebelah barat PKS. Variabel yang diukur adalah SO2, CO, NO2, hidrokarbon, partikel dan kebisingan yang dibandingkan dengan Kepmen LH No.41 Tahun 1999 (Tabel 11). Untuk gas buang genset, variabel yang diukur adalah kadar SO2, CO2, NO2, hidrokarbon, partikel dan kebisingan. Hasil pengukuran ini dibandingkan dengan Kepmen LH No. 13 Tahun 1995. Khusus untuk kebisingan, hasil pengukuran dibandingkan dengan Kepmen LH No. 48 Tahun 1996 (Tabel 12). Tabel 11. Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien Di Pabrik Kelapa Sawit Sei Pagar Tahun 2006. Baku Mutu
Variabel
3
Partikel (μg/Nm ) 3
CO (μg/Nm ) 3
SO2 (μg/Nm ) 3
NO2 (μg/Nm ) 3
Hasil pengukuran Awal I
II
230
38,8
10
4
0,98
385 50
Saat ini
Ratarata
Sdde
Sblm PKS
Di PKS
Ssdh PKS
Ratarata
Sdde
45,1
41,9
3,15
95,2
126,5
105,1
108,9
13,1
0,82
0,9
0,08
ttd
37,2
Ttd
37,2
0,00
15,5
17,7
16,6
1,1
1,05
2,54
1,92
1,84
0,61
6,5
9,01
7,76
1,25
14,42
20
17,49
17,20
2,28
Hidrokarbon (μg/Nm )
160
49
74,8
58,5
60,8
10,6
Kebisingan (dls A)
35,0
52,1
64,7
52,8
56,53
5,78
Terjadi perubahan kualitas udara ambien akibat penggunaan lahan sebagai perkebunan kelapa sawit, tetapi masih memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Pada saat awal, tidak dilakukan pengamatan hidrokarbon dan kebisingan karena belum ada pencemaran dari kedua variabel tersebut. Walaupun terjadi peningkatan setelah pembukaan lahan, kadar partikel, CO, SO2, NO2 dan
hidrokarbon tergolong baik dan masih dibawah nilai ambang
batas (NAB) yang diperbolehkan. Nilai variabel hidrokarbon masih di bawah NAB, sedangkan kebisingan melebihi NAB. Pengukuran kebisingan dilakukan di sekitar PKS, di luar areal pemukiman karyawan maupun petani plasma sehingga tidak mengganggu kondisi kesehatan karyawan dan petani plasma. Namun demikian,
perlu dilakukan penataan areal PKS yang lebih baik sehingga
kebisingan yang disebabkan oleh operasi mesin-mesin untuk masa mendatang juga tidak mengganggu kesehatan pekerja dan masyarakat sekitar kebun. Pencemaran udara juga dimungkinkan oleh gas buang dari genset dan boiler PKS sehingga dilakukan pengukuran gas buang setiap tahunnya. Hasil pengukuran yang dilakukan pada tahun 2006 menunjukkan belum adanya pencemaran oleh gas buang dari PKS yang terlihat dari nilai variabel partikel,
94 SO2, NO2 dan opasitas masih dibawah standar baku mutu. Namun demikian, tindakan antisipasi pencemaran terus dilakukan dengan melakukan perawatan genset dan boiler PKS secara berkala dan intensif mengingat masih adanya kecurigaan dari masyarakat akan kontribusi pencemaran oleh PKS masih tinggi. Tabel 12. Hasil Pengukuran Gas Buang Genset dan Boiler Pabrik Kelapa Sawit Sei Pagar Tahun 2006. Variabel
Hasil pengukuran saat ini
Baku Mutu
Partikel (mg/Nm3)
Genset
Boiler
Rata-rata
Sddev
350,0
202,75
194,67
198,71
3,43
SO2 (mg/Nm )
800,0
31,94
34,95
33,45
1,51
NO2 (mg/Nm3)
1000,0
174,60
157,62
166,11
8,49
Opasitas (%)
35,00
28,00
20,00
24,00
3,40
3
Air permukaan (air sungai) dan air sumur merupakan komponen yang rentan
terhadap
pencemaran
Pencemaran
bersumber
penggunaan
pupuk
dari
serta
oleh air
limbah
aktivitas limbah
perkebunan
PKS,
rumahtangga.
kelapa
penggunaan Aktivitas
sawit.
herbisida,
rumahtangga
masyarakat (mandi, nyuci dan memasak) tidak memanfaatkan air permukaan sehingga pemantauan kualitas air permukaan lebih difokuskan untuk pertanian dengan mengacu kepada Kepmen LH No. 28 Tahun 2003, Baku Mutu Air Sungai kelas II dan Permenkes No. 416/MENKES/PER/IX/1990. Aktivitas rumahtangga masyarakat menggunakan air tanah (air sumur) dengan cara membuat sumur pantek kedalaman 20-30 meter. Limbah cair PKS sebelum tahun 2003 dibuang ke kali Iyek, setelah diberi perlakuan fermentasi anaerob diikuti fermentasi aerob untuk memperbaiki sifatsifat fisik, kimia dan biologi sampai memenuhi nilai ambang batas (NAB) yang diperbolehkan (Tabel 13). Total padatan terlarut, total suspensi terlarut dan beberapa variabel kimia (terutama logam berat) menunjukkan peningkatan konsentrasi pada tahun 1996 dibandingkan dengan tahun 1995, walaupun nilainya masih di bawah NAB. Sifat biologi memperlihatkan perbaikan dari tahun 1995 ke tahun 1996. Secara umum, hal ini menunjukkan diperlukannya pengelolaan limbah cair yang lebih hati-hati. Kemungkinan kinerja mesin PKS perlu dikontrol lagi untuk menurunkan kadar logam berat yang terbawa pada limbah cair. Kombinasi dengan perlakuan fermentasi anaerob dan aerob
95 diharapkan
limbah yang dibuang ke sungai tidak menimbulkan dampak yang
tidak diinginkan. Tabel 13. Kualitas Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Sei Pagar yang Dibuang ke Sungai Iyek, Tahun 1995 dan 1996. Variabel
Baku Mutu
Hasil pengukuran tahun 1995
1996
Rata-rata
Sddev.
Sifat fisika: Temperatur (0C) TSS (mg/l) Padatan terlarut (mg/l)
27-28 250 2000
27 125 1250
27 137 1345
27,00 131 1297,5
0,00 6,00 47,5
Sifat kimia: Nitrogen sbg N(mg/l) pH Kadmium(Cd)(mg/l) Tembaga(Cu)(mg/l) Timah hitam (Pb)(mg/l) Seng(Zn) (mg/l) Air raksa (mg/l) Besi terlarut (mg/l) Sulfida (mg/l) Sianida (mg/l)
50 6,0-9,0 0,10 3,00 1,0 10,0 0,01 10,0 0,10 1,0
22,65 6,85 0,06 1,33 0,02 2,77 Ttd 5,12 0,04 0,08
27,15 7,05 0,05 1,41 0,02 3,22 Ttd 6,77 0,06 0,06
24,9 6,95 0,055 1,37 0,02 2,995 Ttd 5,945 0,05 0,07
2,25 0,10 0,007 0,04 0,00 0,225 0,825 0,005 0,01
100 300 25
86 188 18,76
79 164 16,88
82,5 176 17,82
3,50 12,00 0,94
Sifat Biologi: BOD (mg/l) COD (mg/l) Minyak, lemak(mg/l)
Seiring dengan gencarnya isu pemanfaatan bahan organik sebagai sumber pupuk dan ditemukannya teknologi pengelolaan limbah PKS yang lebih baik maka sejak tahun 2003 limbah cair PKS dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik yang diterapkan langsung ke kebun. Sistem ini disebut Land Application (LA) dimana limbah cair diberi perlakuan fermentasi anaerob, diikuti fermentasi aerob dengan kadar BOD sebagai fokus perhatian sampai mencapai nilai < 3500 mg/ltr. Metode aplikasi LA yang diadopsi di lokasi penelitian adalah ”flatbed system” dimana air limbah dialirkan melalui pipa ke bak-bak distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan sekunder. Dosis pengaliran limbah 12,6 mm ekivalen curah hujan (ECH)/ha/bulan. Dengan sistem ini, diharapkan limbah cair bisa meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit sekitar 16-66% (Deptan, 2006).
96 Untuk meyakinkan minimnya dampak negatif dari limbah pada sistem LA, konsentrasi variabel lainnya juga dipantau dan diukur agar nilainya tidak melebihi NAB. Dari hasil pengukuran limbah cair PKS sebagai bahan sistem LA tahun 2005 dan 2006 menunjukkan bahwa kualitas limbah cair PKS di lokasi penelitian tergolong baik dimana semua variabel yang diukur nilainya dibawah ambang batas (Tabel 14). Terdapat logam yang tergolong logam berat terutama timah hitam (Pb), tembaga (Cu) dan seng (Zn). Logam-logam ini mungkin berasal dari mesin PKS yang haus ataupun berasal dari tanah yang terserap bersama dengan unsur hara lainnya. Tabel 14. Kualitas Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Sei Pagar Tahun 2005 dan 2006 Variabel
Baku Mutu
Hasil pengukuran tahun 2005
2006
Rata-rata
Sddev.
BOD (mg/l)
3500
1637
1413
1525,00
112,00
TSS (mg/l)
1500
1105
1280
1192,50
87,50
Total nitrogen sebagai N
500
319,0
270,2
294,60
24,4
6,0-9,0
8,3
7,6
7,95
0,57
COD (mg/l)
6000
2216
2114
2165,00
51,00
Kadmium(Cd)(mg/l)
0,30
0,061
0,094
0,078
0,014
Tembaga(Cu)(mg/l)
3,00
0,220
0,145
0,183
0,028
Timah hitam (Pb)(mg/l)
1,10
0,345
0,238
0,292
0,057
Seng(Zn)(mg/l)
8,55
0,255
0,167
0,211
0,045
pH
Sungai utama yang melewati lokasi penelitian adalah Sungai iyek, merupakan anak Sungai Kampar Kiri, dimana sebelum tahun 2003 dipakai sebagai pembuangan limbah cair sesudah diberi perlakuan/penetralan dengan sistem fermentasi anaerob diikuti fermentasi aerob. Oleh karena itu, kualitas air sungai dilakukan pada Sungai Iyek di lokasi hulu (sebelum melewati lokasi) dan di hilir (sesudah melewati lokasi) (Tabel 15). Secara umum, kualitas air sungai di bagian hulu PKS lebih baik dibandingkan dengan di bagian hilir PKS. Hal ini tercermin dari nilai variabel fisika, kimia dan biologi yang diukur. Variabel fisika antara lain total padatan terlarut dan total suspensi terlarut masing-masing sebesar 11,5 mg/ltr dan 6,4 mg/ltr di hulu, sedangkan di hilir nilainya masingmasing 25,0 mg/ltr dan 12,25 mg/ltr. Variabel kimia terlihat dari nilai nitrogen, fosfat, florida dan H2S di hulu masing-masing sebesar 0,26 mg/ltr, 0,10 mg/ltr, 0,15 mg/ltr dan 0,001 mg/ltr sedangkan di hilir nilainya masing-masing 0,90
97 mg/ltr, 0,215 mg/ltr, 0,35 mg/ltr dan 0,002 mg/ltr. Variabel biologi terlihat dari nilai variabel BOD, COD, minyak dan lemak serta total Coliform di hulu masingmasing 2,08 mg/ltr, 6,02 mg/ltr, 22640 μg/ltr dan 44,38/100 ml air. Di sungai bagian hilir, nilai variabel-variabel tersebut lebih tinggi masing-masing sebesar 2,49 mg/ltr, 14,74 mg/ltr, 48100 μg/ltr dan 76,50/100 ml air. Kondisi tersebut menunjukkan adanya kontribusi bahan pencemar yang berasal dari aktivitas PKS melalui pembuangan limbah cair. Tabel 15. Kualitas Air Sungai Iyek Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar Tahun 2005 dan 2006 Variable
Baku mutu
Hasil Pengukuran Awal
Tahun Hulu 2005
0
Temperatur ( C)
28
Pdtn larut (mg/l)
10
Pdtn suspensi (mg/l)
3
200
2006
Hilir Rata-rata
2005
2006
Ratarata
27
27
27
27
28
28
28
146
10,5
12,0
11,5
23,0
27,0
25,0
22,6
5,8
7,0
6,4
11,5
13,0
12,25
6,3
6,08
6,19
6-8,5
6,0
7,4
6,2
6,8
BOD (mg/l)
20
2,44
2,48
1,67
2,08
1,69
1,29
1,49
COD (mg/l)
30
6,55
6,15
5,89
6,02
15,7
13,78
14,74
4
3,15
3,07
3,33
3,20
6,50
6,10
6,30
0,16
0,27
0,215
pH
DO (mg/l) Total P (mg/l)
0,2
0,002
0,05
0,15
0,10
Total N (mg/l)
10
0,009
0,20
0,31
0,26
0,7
0,11
0,90
Kadmium (mg/l)
0,01
Ttd
0,0015
0,024
0,013
0,004
0,014
0,009
Tembaga (mg/l)
0,05
Ttd
0,01
0,064
0,033
0,008
0,05
0,029
Seng (mg/l)
1,00
0,003
0,04
0,022
0,031
0,022
0,034
0,028
Flourida (mg/l)
1,00
0,01
0,10
0,20
0,15
0, 50
0,20
0,35
Nitrit (mg/l)
0,05
0,003
0,02
0,03
0,025
0,02
0,05
0,035
H2S (mg/l)
0,002
0,002
0,001
0,001
0,001
0,001
0,003
0,002
6637
16625
22640
19633
37000
59200
48100
Ttd
ttd
ttd
ttd
Ttd
Ttd
Ttd
30
40
49
44,38
80
73
76,50
Mnyk. dan lmk. (μg/l) Fenol (μg/l) Ttl. Colifom/100ml
10
5
1 10
3
Dalam kurun waktu 1 tahun yaitu tahun 2005 dan 2006, kualitas air Sungai Iyek di bagian hulu maupun bagian hilir relatif sama. Nilai variabel fisik dan biologi yang diamati cenderung lebih tinggi pada tahun 2006, sedangkan variabel kimia cenderung tetap bahkan tahun 2006 lebih rendah dibandingkan tahun 2005. Yang perlu dipertimbangkan adalah konsentrasi
senyawa nitrit,
fosfat dan sulfat terlihat mendekati nilai batas ambang yang kemungkinan berasal dari penggunaan herbisida untuk pengendalian gulma dan pupuk untuk meningkatkan produksi. Kadar logam yang mendekati nilai ambang batas adalah
98 kadmium, tembaga dan seng yang kemungkinan berasal dari bahan pembawa (carrier) pupuk dan herbisida. Diperlukan usaha untuk lebih berhati-hati dalam penggunaan herbisida sesuai dengan karakter bahan aktifnya yang tidak menimbulkan residu baik di air maupun tanah. Secara umum, terjadi penurunan kualitas air sumur pantau akibat penggunaan lahan sebagai kebun kelapa sawit selama kurun waktu 22 tahun yang terlihat dari meningkatnya nilai variabel yang diukur terutama variabel kimia (Tabel 16). Konsentrasi senyawa nitrat sebagai N meningkat dari 0,02 mg/ltr menjadi 1,565 mg/ltr, amonia sebagai N dari 0,66 mg/ltr menjadi 0,94 mg/ltr, khlorida dari 8,77 mg/ltr menjadi 22,4 mg/ltr, sulfat dari 12,08 mg/ltr menjadi 41,20 mg/ltr, seng dari 0,004 mg/ltr menjadi 0,06 mg/ltr, kadmium dari tidak terukur menjadi 0,002 mg/ltr dan tembaga dari tidak terukur menjadi 0,009 mg/ltr. Kualitas air sumur pantau dalam kurun waktu 1 tahun yaitu tahun 2005 sampai 2006 relatif sama. Dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan, kualitas air sumur pantau yang dipakai untuk aktivitas rumahtangga termasuk baik dimana semua variabel yang diukur nilainya di bawah ambang batas. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan air sumur pantau aman untuk kesehatan masyarakat karena belum tercemar oleh aktivitas perkebunan kelapa sawit. Tabel 16. Kualitas Air Sumur Pantau Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar Tahun 2005 dan 2006 Variabel
pH BOD (mg/l) DO (mg/l) Nitrat sbg N (mg/l) NH3-N (mg/l) Khlorida (mg/l) Sulfat (mg/l) Seng (mg/l) Kadmium (mg/l) Tembaga (mg/l) Timbal (mg/l)
Baku mutu
Awal
6,0-9,0 3,0 15 10 10 600 400 15 0,005 0,02 0,05
6,01 2,88 7,04 0,02 0,66 8,77 12,08 0,004 ttd ttd Ttd
2005 5,91 2,9 5,04 1,10 0,96 24,5 41,9 0,08 0,001 0,008 0,01
Hasil pengukuran Tahun 2006 Rata-rata 5,73 5,54 2,77 2,63 5,05 5,05 1,565 2,03 0,94 0,91 22,4 20,3 41,20 40,49 0,06 0,04 0,002 0,003 0,009 0,010 0,01 0,01
Sddev. 0,22 0,135 0,005 0,465 0,025 2,10 0,71 0,02 0,001 0,0014 0,00
Lahan merupakan modal utama dalam membangun perkebunan kelapa sawit dan tidak lepas dari dampak pengelolaan oleh petani. Berdasarkan Peta Citra Landsat, diketahui penggunaan lahan di lokasi penelitian adalah untuk semak belukar, hutan sekunder, kebun campuran, karet, kelapa sawit, ladang,
99 pabrik kelapa sawit (PKS) dan pemukiman serta fasilitas umum (Tabel 17, Lampiran 12). Penggunaan lahan untuk kelapa sawit mendominasi dengan total luasan 16 650 ha dimana seluas 8813 ha dikembangkan oleh PTPN V melalui pembangunan kebun inti seluas 2813 ha, kebun plasma dengan sistem PIRTrans seluas 6000 ha dan kebun sistem Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggota (KKPA) seluas 7191 ha. Animo masyarakat kelihatan cukup tinggi dimana seluas 646 ha kebun kelapa sawit dikembangkan oleh masyarakat dengan modal swadaya. Kondisi perkebunan yang dikembangkan dengan modal swadaya masyarakat kurang baik pertumbuhan dan produksinya karena pengelolaannya kurang baik, dengan sarana produksi benih seketemunya, pemupukan tidak teratur, tata air jelek (sering tergenang) dan TBS dipanen lebih awal. Tabel 17. Penggunaan Lahan Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar dan Sekitarnya, 2007 Jenis penggunaan lahan
Luas
Sebaran (ha)
(ha)
Kebun
Luar kebun
Belukar
4636
-
4636
Hutan sekunder
996
-
996
Kebun campuran
5992
-
5992
Karet
5211
-
5211
Kelapa sawit menghasilkan
13246
7837
5409
Kelapa sawit belum menghasilkan
3404
-
3404
Ladang
3293
-
3293
Areal pabrik kelapa sawit
123
123
-
Pemukiman dan fasilitas umum
2271
2271
-
Jumlah
39231
10231
29000
Konversi penggunaan lahan dari hutan sekunder manjadi kebun kelapa sawit berakibat pada perubahan keanekaragaman hayati flora dan fauna. Struktur, keanekaan dan komposisi flora di perkebunan kelapa sawit merupakan vegetasi monokultur yang didominasi oleh kelapa sawit, tetapi masih terdapat tumbuhan lainnya yang tumbuh secara liar di sela-sela barisan kelapa sawit. Penelitian yang dilakukan tahun 1992, menunjukkan adanya 22 jenis tumbuhan liar di sela barisan kelapa sawit, di antaranya yang dominan adalah Akar pakis (Stenochlaena palusteris), Paitan (Axonopus compressus) dan Bambuan
100 (Brachiaria sp.) (Tabel 18). Selain itu, terdapat juga jenis yang sub dominan seperti Pakis rasam (Gleichenia linearis), Mikania (Mikania cordata) dan kacangan (Pueraria javanica). Diketemukan juga tumbuhan liar yang tumbuh pada batang pohon kelapa sawit yaitu Paku (Neprolepisbisserata) dan Kadaka (Asplenium nidus) dan anakan kelapa sawit yang jatuh karena TBS umur tua atau rontok saat panen dilakukan (PTPN V, 1992). Tabel 18. Jenis Tumbuhan Pada Sela Barisan Kelapa Sawit Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 1992 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Nama Daerah/Indonesia
Akar pakis Paitan Bambuan Paku rasam Seduduk Mikania Kacangan Gempur watu Piti-piti Kadaka Ficus sp. Rubu-rubu Bujang semalam Kacangan Anggrung Pakis tiang Kerisan Siani Emilia Bisoro Suplir Alang-alang Sumber: PTPN V (1992).
Nama Ilmiah Stenochlaena palustris Anoxopous compressus Brachiaria sp. Gleichenia linearis Melastoma malabraticum Mikania cordata Pueraria javanica Borreraria hispida Drymaria cordata Asplenium nidus Ficus sp. Hyptis brevipes Ageratum conyzoides Calopogonium muconoides Trema orientalis Alsophila glauca Cyperus sp. Scyspus sp. Emilia sonchifolia Ficus septica Adiantum tenerum Imperata cylindrica
Sebagaimana halnya flora, fauna juga mengalami perubahan akibat penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Hasil pengamatan Bagian Bina Lingkungan PTPN V (1992) diketahui bahwa fauna yang hampir mengalami kepunahan adalah jenis Rusa (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacus muntjak), Gajah (Elephas Maximus), Bebe (Helarotus malayanus) dan Harimau Sumatera. Sampai tahun 1992, fauna yang berkembang dan mendominasi di areal kebun kelapa sawit adalah Kelas Mammalia, Reptilia, Amphibia, Pisces dan
101 Aves. Kelas Mammalia didominasi oleh 3 jenis yaitu Kondit (Sus acrofa), Lasun (Melogale cinerea) dan Tikus (Ratus sp.). Kelas Reptelia didominasi oleh 7 jenis yaitu Ular Sanca (Phyton sp.), Ular Sendok (Naja sputatrik), Ular Hijau (Dryophis sp.), Kadal (Mabuia multifasciata), Hap-hap (Draco volans),
Acrochordus
granulatus dan Biawak (Varanus salvator). Dari Kelas Amphibia didominasi oleh 3 jenis yaitu Katak Kecil (Rana sp.), Katak Pohon (Poly pedatus lencomystak) dan Kodok (Bufo melanostictus). Di perairan areal kebun sawit (sungai-sungai kecil) hidup dan berkembang ikan Gabus, Lele, Tawes, Takang, Pantan, Sepat, Barau dan Puyuh. Klas Aves didominasi oleh jenis Balam (Streptopelia chinensis), Jalak (Acridotheres javanicus), Kerucuk (Phyinonotus goiavier)
Kacer (Capsychus
saularis), Sesep madu, Elang, Cucuk udang, Ayam hutan dan Alap-alap. Sedangkan fauna yang berkembang di pekarangan jenisnya tidak sebanyak di kebun kelapa sawit, hanya terdapat Mammalia, Amphibia dan Aves. Mammalia yang hidup adalah jenis Tikus (Ratus sp.), Amphibia dari jenis Katak Kecil (Rana sp) dan Kodok (Bufo melanostictus). Klas Aves didominasi oleh burung jenis Burung Gereja (Passer montanus), Burung Pipit (Lonchura mallaca) dan Burung Perinjak (Prinia familiasis). Dalam usaha meningkatkan produksi kelapa sawit, tahun 1985 diintroduksikan fauna serangga penyerbuk kelapa sawit (SPKS) jenis Elaedobius cameronicus dan serangga peredator ulat api jenis Eucanthecona sp.. Selain itu, flora yang diintroduksikan ke areal perkebunan adalah jamur jenis Cordyceps sp. yang menyerang cocon ulat api sebagai salah satu hama utama perusak daun kelapa sawit. Pengamatan di lapangan menunjukkan sampai saat ini belum diketemukan jenis hama dan penyakit yang dapat menurunkan produksi TBS secara signifikan. Melihat luasan dan vegetasi di sekitar kebun, pengembangan kelapa sawit di lokasi penelitian masih memungkinkan pada lahan yang digunakan sebagai belukar seluas 4636 ha, hutan sekunder seluas 996 ha, kebun campuran seluas 5992 ha dan ladang seluas 3293 ha. Dilihat dari kondisi pemasaran TBS, nampaknya animo masyarakat termasuk petani sawit plasma semakin kuat untuk menanam kelapa sawit karena harga TBS saat penelitian terus meningkat sampai sekitar Rp. 1600 - Rp. 2100/kg. Dengan tingkat harga tersebut, petani memiliki kemampuan untuk menabung yang tinggi sebagai modal untuk perluasan lahan dengan cara membeli dari masyarakat lokal.
102 Masalahnya, harga lahan sudah mahal dan status lahan kadang-kadang masih sengketa sehingga menghambat pengembangan kebun kelapa sawit. Kondisi iklim daerah tropis basah sangat mempengaruhi pembentukan jenis tanah dimana berdasarkan Peta Satuan Lahan (Land Unit) yang dibuat oleh Sudihardjo et al.(1990), lokasi penelitian terdapat 13 satuan lahan yaitu D2.1.2, D2.1.3, AU1.2.1., AU1.2.2, Af1.3, Pf3.2, Pfq1.1, Pfq2.1, Pfq5.4, Pfq7.3, Pq2.1, Pq4.2 dan Pq7.2. Sedangkan jenis tanah yang ditemui adalah Typic Haplosaprists, Terric Haplohemists, Humic Dystrudepts, Typic Dystrudepts, Kandiudults dan Hapludults dengan karakter seperti disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Karakter Berbagai Jenis Tanah dan Penyebarannya Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar dan Sekitarnya Jenis tanah
Karakter Tanah Tekstur
K-dd Me/100
P-tsd. Ppm
KTK Me/100
Sebaran (ha) pH
Kjnhn Al
Kebun
Luar kebun
%
Typic Haplosaprists
Bahanorganik
Sedang
Tinggi
Tinggi
4-4,5
Rendah
8500
6470
Terric Haplohemist
Bahanorganik
Sedang
Tinggi
Tinggi
4-4,5
Rendah
750
5764
Humic Dystrudepts
Halussedang
Rendahsedang
Rendah -sedang
Rendah
4-4,5
Tinggi
781
5374
Typic Dystrudepts
Sedang
Rendah
Rendah -sedang
Rendah
4-4,5
Tinggi
200
8609
Kandiudults
Halussedang
Rendah
Rendah
Rendah
4-4,2
Tinggi
1012
Hapludults
HalusSedang
Rendah
Rendah
Rendah
4-4,2
Tinggi
1771
Jumlah
10231
29000
Jenis tanah di lokasi penelitian didominasi oleh Typic Haplosaprists dan Terric Haplosaprists dari satuan lahan kubah gambut (D1.2.1 dan D2.1.3). Ini menunjukkan sebagian besar tanah termasuk tanah organik dengan kondisi gambut pada tingkat kematangan sedang (hemik) dan matang (saprik). Selain itu, gambut ini juga tergolong gambut dangkal (<60 cm) dan gambut sedang (60140 cm). Jenis tanah ini, kombinasi dengan pengelolaan sangat menentukan produktivitas lahan lokasi penelitian. Pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik tanah meliputi bibit, pemeliharaan, panen dan penanganan pasca panen bisa meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan. Hal ini berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia (petani). Peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui bimbingan dan pelatihan oleh pihak terkait menjadi kunci utama untuk mencapai kondisi perkebunan kelapa sawit yang optimal.
103 Kehadiran perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian tidak saja mempengaruhi
peningkatan
pendapatan
petani
plasma,
tetapi
juga
mempengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar kebun. Ini merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap perubahan persepsi masyarakat dalam menerima kehadiran kebun sawit. Hasil pemantauan pihak PTPN V menunjukkan adanya peningkatan
pendapatan petani plasma dan
masyarakat sekitar kebun sawit, demikian pula munculnya usaha-usaha perekonomian baru seperti jasa transportasi (ojek), servise motor, pasar desa dan lain-lain (Tabel 20). Pendapatan petani, buruh kebun sawit, pedagang, jasa transportasi (ojek) dan jasa servise motor pada periode awal masing-masing sebesar Rp. 3 774 000, Rp. 2 172 000, Rp. 2 361 000, Rp. 2 100 000 dan Rp. 1 980 000 per tahun. Pendapatan ini masih di bawah pendapatan per kapita level Provinsi Riau sebesar Rp. 3 886 800 per tahunnya. Dengan berjalannya waktu, pertumbuhan pendapatan petani plasma dan masyarakat sekitar kebun lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita level Provinsi Riau. Hal ini berkaitan dengan laju peningkatan produktivitas kelapa sawit yang menopang peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar kebun. Sampai tahun 2006, pendapatan petani plasma rata-rata Rp. 28 072 000 per tahun, diikuti oleh pendapatan jasa servise motor Rp. 18.540 000 per tahun, pedagang Rp. 17 524 000 per tahun, buruh perkebunan Rp. 15 920 000 per tahun. Semua pendapatan tersebut lebih tinggi dari pendapatan per kapita level provinsi Riau sebesar Rp. 15 120 000 per tahun dan pendapatan perkapita nasional tahun 2006 sebesar Rp. 13 190 387 per tahun. Tabel 20. Matapencaharian dan Prakiraan Pendapatan Petani Plasma Di Sei Pagar serta Masyarakat Sekitarnya No
Mata pencaharian
Pendapatan (Rp/Tahun) 1992
2006
Income/kapita (Rp/Tahun) 1992
2006
Riau
Riau
Nasional
1.
Petani plasma
3 774 000
28 072 000
3 886 800
15 120 000
13 190 387*
2.
Buruh perkebunan
2 172 000
15 920 600
3 886 800
15 120 000
13 190 387
3.
Pedagang
2 316 000
17 524 800
3 886 800
15 120 000
13 190 387
4.
Jasa transportasi
2 100 000
12 900 000
3 886 800
15 120 000
13 190 387
5.
Jasa servise motor
1 980 000
18 540 000
3 886 800
15 120 000
13 190 387
* Income per kapita Nasional tahun 2006 berdasarkan harga berlaku
tahun 2000 (BPS, 2007)
104 Hanya pendapatan jasa transportasi (ojek) sebesar Rp. 12 900 000 per tahun, di bawah pendapatan per kapita Provinsi Riau maupun nasional. Rendahnya pendapatan jasa transportasi dimungkinkan oleh meningkatnya daya beli petani terhadap sepeda motor yang merubah perilaku petani yang cenderung membeli yang baru dari pada menggunakan jasa transportasi ojek. Sejalan dengan kondisi ekonomi, kondisi sosial masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit juga semakin membaik. Hal ini terlihat dari pendapat masyarakat terhadap kehadiran perkebunan kelapa sawit (Tabel 21 ). Adanya perbaikan infrastruktur, kesempatan kerja, pengendalian konflik menyebabkan perbaikan dalam persepsi masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit. Sementara frekuensi konflik masih tetap ada yang bersumber dari ketidak tahuan masyarakat terhadap batas-batas areal perkebunan kelapa sawit, kurangnya kesadaran dan pemahaman hukum masyarakat dan kecemburuan terhadap pendapatan pengelola perkebunan. Tabel 21. Pendapat Masyarakat Terhadap Kehadiran Perkebunan Kelapa Sawit Di Sei Pagar. No
Persepsi masyarakat
Variabel Awal
Saat ini
1.
Pendapat masyarakat terhadap kegiatan perkebunan kelapa sawit
-Senang (55%) -Tidak senang (45%)
-Senang (85%) -Tidak senang (15%)
2.
Pendapat masyarakat terhadap PKS
-Menguntungkan (66%) -Tidak menguntungkan (34%)
-Menguntungkan (86%) -Tidak menguntungkan (14%)
3.
Kesempatan kerja dengan adanya perkebunan kelapa sawit
4.
Penerimaan masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit
-Meningkat (78%) -Tetap (22%) -Bisa diterima dan berbaur (75%) -Tidak menerima (25%)
-Meningkat (98%) -Tetap (2%) -Bisa diterima dan berbaur (95%) -Tidak menerima (5%)
5.
Konflik di masyarakat dengan adanya perkebunan kelapa sawit
-Meningkat (60%) -Tetap (40%)
-Meningkat (40%) -Tetap (60%)
6.
Orang yang disegani masyarakat dan dijadikan panutan dalam penyelesaian konflik
-Pemuka agama (85%) -Lurah (11%) -Tokoh pemuda (4%)
-Pemuka agama (75%) -Lurah (18%) -Tokoh pemuda (7%)
Untuk meningkatkan persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit, pihak pengelola PTPN V telah merintis dan membina masyarakat melalui Program Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK). Hal ini mengacu pada Keputusan Menteri Negara BUMN No. 236 Tahun 2003 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang mewajibkan kepada pengelola untuk mengalokasikan keuntungan sebesar 2,5% untuk kegiatan sosial bagi
105 masyarakat sekitar perkebunan. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan antara lain
merehabilitasi
fasilitas
kesehatan,
pendidikan,
tempat
ibadah
dan
infrastruktur. 4.2. Sifat Fisik dan Degradasi Lahan Bentuk wilayah lokasi perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian umumnya datar dengan kemiringan 0-3% dan hanya sebagian kecil saja wilayah berombak dengan kemiringan 3-5%. Vegetasi yang menutupi permukaan tanah di seluruh areal perkebunan sangat baik yang dilihat dari jenis tumbuhan di lapangan yaitu rumput-rumputan alami, pakis resam, lumut-lumutan dan tumbuhan perdu pendek lainnnya. Di antara dua barisan pohon kelapa sawit, berselang setiap dua barisan pohon terdapat tumpukan pelepah dahan dan daun kelapa sawit hasil pangkasan, memanjang sejajar barisan pohon kelapa sawit yang sengaja ditempatkan oleh petani (gawangan mati). Tumpukan material ini dapat berfungsi sebagai penyangga atau penghalang hanyutnya tanah oleh aliran permukaan dan juga sebagai mulsa untuk mencegah gulma, menjaga suhu tanah dan lain-lain. Kombinasi dari sifat vegetasi penutupan tanah (coverage), peranan gawangan mati, topografi wilayah yang datar dan penutupan tanah yang baik (rapat) oleh tajuk kelapa sawit sendiri yang berumur 15-22 tahun maka kemungkinan terjadinya erosi tanah oleh hujan dan aliran permukaan sangat kecil atau bahkan tidak ada. Berdasarkan data yang diperoleh, erosivitas hujan (R) untuk lokasi perkebunan Sei Pagar diperkirakan sebesar 1.750, dengan erodibilitas tanah (K) berkisar antara 0,265-0,345 dan nilai faktor penutupan tanaman dan konservasi tanah (CP) diasumsikan sebesar 0,01. Prediksi erosi pada ke dua bentuk wilayah di lahan perkebunan tersebut disajikan dalam Tabel 22. Tabel 22.
Faktor-Faktor Erosi dan Besarnya Erosi Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007 R
K
LS
CP
Erosi1 ton/ha/tahun
Datar
1.750
0,265
0,285
0,01
1,322
Berombak
1.750
0,345
0,567
0,01
3,423
Bentuk wilayah
1
Perhitungan erosi menggunakan Universal Soil Loss Equation (Wischmeier dan Smith, 1978).
Hasil prediksi erosi menunjukkan bahwa besarnya erosi umumnya masih jauh di bawah erosi yang masih dapat diabaikan (tolerable soil loss, TSL). Nilai
106 TSL untuk tanah di lokasi perkebunan ini sekitar 15 ton/ha/tahun. Sangat rendahnya tingkat erosi tanah terlihat dari hasil analisa kimia contoh air sungai di lokasi penelitian dimana kadar lumpur air rendah sekitar 41 – 83 mg/ltr dengan warna air tergolong jernih. Rendahnya tingkat bahaya erosi menyebabkan rendahnya degradasi lahan, yang tercermin dari sifat-sifat físika tanah yang mampu menunjang pertumbuhan kelapa sawit dengan kategori baik (Tabel 23). Berat isi tanah di lapisan atas berkisar antara 0,3 – 1,2 gram cm-3 dan lapisan bawah antara 0,3 – 1,4 gram cm-3. Nilai ini menunjukkan bahwa tanah di lokasi penelitian didominasi oleh tanah gambut yang mempunyai struktur gembur dan baik untuk perkembangan akar tanaman. Pori aerasi atau pori drainase cepat tanah tergolong sangat tinggi baik lapisan atas maupun lapisan bawah, kecuali pada areal tanah mineral dengan berat isi 1,2 - 1,4 gram cm-3. Pori air tersedia juga tergolong tinggi untuk lapisan atas maupun lapisan bawah. Permeabilitas tanah lapisan atas termasuk sedang sampai cepat (20,6 – 41,5% volume) maupun lapisan bawah (17,6 – 36,2% volume). Tabel 23. Sifat-Sifat Fisika Tanah Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007 Nomor Contoh
Kedalaman (cm)
Berat isi
PW-1
0 – 20 20 -40 0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 – 40 0 – 20 20 -40
0.7 0.9 1.2 1.4 0.3 0.4 0.3 0.3
PW-2 PW-3 PW-4
(grm/ cm)
Ruang pori Total
Pori Air tersedia aerasi ............ % volume .............
67.9 59.0 47.5 42.8 85.2 75.5 84.2 80.9
21.2 18.1 9.2 8.6 24.4 25.9 32.9 22.5
21.8 17.6 20.6 17.8 41.5 26.0 29.7 36.2
Permeabilitas (Cm/jam)
8.87 16.31 4.82 6.23 7.98 1.34 14.55 11.37
Berdasarkan interpretasi sifat fisika tersebut dan kondisi visual lapangan, secara fisik kondisi tanah lokasi penelitian cukup baik untuk kelapa sawit. Hal yang perlu diperhatikan adalah rendahnya berat isi tanah pada lapisan atas dan lapisan bawah pada tanah gambut, tingginya porositas, kondisi air permukaan tanah dan tingkat kesuburan tanah. Hal senada dikemukakan oleh Winarna (2007) yang menyatakan bahwa tanah gambut mempunyai kejelekan jika digunakan untuk kelapa sawit yaitu rendahnya berat isi, porositas tinggi, pH
107 sangat masam, ketersediaan unsur hara makro maupun mikro rendah serta rentan terhadap kekeringan berlebihan yang merusak koloid gambut. Hal yang menarik di lapangan adalah kondisi kelapa sawit yang dikhawatirkan sebagian besar akan roboh (miring) berkaitan dengan rendahnya berat isi gambut, ternyata hanya sedikit tanaman yang miring dan sebagian besar tegak lurus. Kondisi ini dimungkinkan oleh adanya pengkayaan fraksi liat oleh Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan karena lokasi penelitian terletak di daerah aliran sungai dari kedua sungai tersebut. Pada waktu musim penghujan, air sungai tersebut banjir dan mengendapkan lumpur di sepanjang areal bantaran sungai termasuk lokasi penelitian. Dampak lainnya dari mekanisme ini adalah kondisi (struktur) gambut menjadi lebih padat sehingga penurunan permukaan tanah (subsidence) juga rendah. Pengamatan terhadap perakaran tanaman keras (rambutan, palem, mangga) yang tumbuh di pekarangan dan juga pondasi rumah transmigran menunjukkan adanya penurunan permukaan tanah sekitar 15 cm -20 cm (relatif rendah) dalam kurun waktu 17 tahun. Angka ini masih jauh dibawah standar kondisi kritis pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian yaitu tingkat subsidence melebihi 35 Cm dalam waktu 5 tahun (Winarna, 2007). 4.3. Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit Kesesuaian lahan diperoleh dengan menumpang tindihkan (overlay) peta land unit, peta rupabumi, peta vegetasi, peta zonasi iklim dan peta topografi. Peta land unit diperoleh dengan menginterpretasi sifat-sifat fisika dan kimia tanah sebagai salah satu komponen yang dipertimbangkan dalam penyusunan tingkat atau kelas kesesuaian lahan (Tabel 24, Lampiran 13). Secara garis besar, bahan induk tanah dilokasi penelitian ada 2 jenis yaitu bahan endapan (aluvium) oleh aktivitas sungai besar (Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan) dan bahan organik busukan dari kayu-kayu hutan dalam kondisi anaerob. Pada fisiografi (bentuk wilayah) yang relatif datar, kedua bahan induk ini membentuk tanah dengan sifat-sifat berbeda. Bahan induk aluvium membentuk tanah Inceptisols, dimana pada daerah peralihan dengan gambut mendapat pengkayaan bahan organik membentuk tanah Humic Dystrudepts dengan kedalaman efektif dalam, drainase sedang, kadar bahan organik tinggi, reaksi tanah masam, KTK rendah sehingga retensi hara tinggi dan ketersediaan hara rendah. Bahan induk aluvium pada daerah
108 berjauhan dengan gambut, tidak mendapat pengkayaan bahan organik membentuk tanah Typic Dystrudepts dengan kedalaman efektif dalam, kadar bahan organik rendah, drainase sedang, reaksi masam, KTK rendah sehingga retensi unsur hara tinggi dan ketersediaan hara rendah. Tabel 24. Klasifikasi dan Karakteristik Tanah Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007 Bahan induk Aluvium
Bentuk wilayah
Klasifikasi tanah
Karateristik tanah
Datar – agak berombak
Humic Dystrudepts
Dalam, drainase sedang, masam, tekstur sedang, bahan organik tinggi, retensi hara tinggi, ketersediaan hara rendah Dalam, drainase sedang, masam, tekstur sedang, bahan organik rendah, retensi hara tinggi, ketersediaan hara rendah Dalam, drainase agak terhambat, saprik, masamsangat masam, retensi hara tinggi Agak dalam, drainase agak terhambat, saprik, masamsangat masam, retensi hara tinggi.
Typic Dystrudepts
Bahan organik
Datar - agak cekung (kubah)
Typic Haplosaprists
Terric Haplosaprists
Bahan induk bahan organik membentuk 2 jenis tanah gambut yaitu Typic Halosaprists dengan kedalaman efektif dalam, drainase agak terhambat (daerah cekungan), kematangan gambut sudah lanjut (saprik), reaksi tanah masamsangat masam, KTK rendah sehingga retensi unsur hara tinggi tetapi ketersediaan hara rendah. Tanah gambut yang lainnya yaitu Terric Haplosaprist dengan kedalaman efektif agak dalam, drainase agak terhambat (daerah cekungan), kematangan gambut lanjut (saprik), reaksi tanah masam-sangat masam, KTK rendah sehingga retensi unsur hara tinggi tetapi ketersediaan hara rendah. Kesesuaian lahan diperoleh dengan mengkombinasikan karakteristik tanah ini dengan prasyarat pertumbuhan kelapa sawit berdasarkan metode Hardjowigeno et al. (1999) dan Djaenudin et al. (2003)(Tabel 25, Lampiran 14). Seluruh areal kebun termasuk kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai). Sebagian besar (75%) termasuk tanah gambut jenis Typic Troposaprists dan Terric Troposaprists tergolong kelas kesesuaian S2-f (cukup sesuai dengan penghambat retensi unsur hara tinggi) karena pH tanah rendah. Kondisi ini
109 mungkin ditopang oleh sifat fisik tanah relatif baik untuk pertanian karena adanya pengkayaan liat dan unsur hara dari endapan Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa rata-rata produksi kelapa sawit pada lahan ini sebesar 23,04 ton TBS/ha/tahun. Pada kondisi seperti di lokasi penelitian, factor kedalaman gambut untuk kesesuaian lahan kelas S2 bagi kelapa sawit tidak hanya 60-140 cm tetapi lebih dalam lagi yaitu 140-200 cm (Ritung et al, 2007). Tabel 25. Land Unit, Kesesuaian Lahan untuk Kelapa Sawit, Karakteristik dan Sebarannya Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2007 Land Unit
Kesesuaian
D.2.1.2
S2-f
Pq.2.1
S2-f
Pfq.1.1
S2-n,f
Pfq.2.1
S2-f
Au.1.3
S2-n,f
Karakteristik Cukup sesuai dengan pembatas retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Typic Haplosaprists) Cukup sesuai dengan pembatas retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Terric Haplosaprists) Cukup sesuai dengan pembatas ketersediaan unsur hara dan retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Humic Dystrudepts) Cukup sesuai dengan pembatas retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Humic Dystrudepts) Cukup sesuai dengan pembatas ketersediaan unsur hara dan retensi unsur hara karena pH dan KTK rendah (Terric Haplosaprists) Jumlah (hektar)
Sebaran (ha) 7750 203 384
996 891
10231
Produktivitas lahan seperti ini cukup baik untuk penggunaan perkebunan kelapa sawit seperti dilaporkan oleh Juwanto (2007) bahwa pada penggunaan tanah gambut untuk kebun kelapa sawit, produktivitasnya dipengaruhi oleh kedalaman air tanah dan kematangan gambut. Peneliti lain melaporkan bahwa produktivitas kelapa sawit pada lahan gambut Hemic Troposaprist agak dalam dan dalam dipengaruhi oleh lingkar batang dan produksi aktual TBS (Koedadiri et al., 2007). Winarna (2007) melaporkan bahwa tanah gambut saprik seperti di lokasi penelitian paling potensial untuk digunakan sebagai kebun kelapa sawit dengan produktivitas rata-rata 25,45 ton TBS/ha/tahun dibandingkan dengan gambut hemik dan fibrik dengan produktivitas masing-masing 23,20 dan 20,80 ton TBS/ha/tahun. Sekitar 25% termasuk kelas kesesuaian S2-f,n (cukup sesuai dengan faktor penghambat retensi hara tinggi dan ketersediaan hara rendah) berkaitan dengan pH dan KTK tanah rendah. Jenis tanah dengan kesesuaian ini adalah Humic Dystrudepts dan Typic Dystrudepts. Kondisi ini disebabkan oleh sifat bahan induk tanah berupa endapan batuan masam dan miskin unsur hara.
110 Namun demikian, produktivitas tanah ini cukup baik untuk digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit. Pahan (2005) menyatakan bahwa tanah mineral masam seperti di lokasi penelitian dengan tingkat kesesuaian sesuai (S2) mempunyai kisaran produktivitas luas
yaitu 19-24 ton TBS/ha/tahun. Hasil
wawancara dengan petani menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas kelapa sawit di lokasi penelitian pada tingkat kesesuaian lahan S2-f,n sebesar 22,0 ton TBS/ha/tahun. 4.4. Model Fungsi Produksi Kelapa Sawit Model fungsi produksi kelapa sawit dalam bentuk tandan buah segar (TBS) di lokasi penelitian diestimasi dengan Model Penyesuaian Parsial yang dikembangkan oleh Nerlove (Nerlove’s Partial Adjustment Model) mengingat respon petani terhadap rangsangan kenaikan harga memerlukan waktu antara waktu adanya kenaikan harga dengan perubahan perilaku petani dalam mengelola kebun sawitnya antara lain menambah luas tanam. Beda waktu respon antara waktu kenaikan harga dengan perubahan perilaku ini disebut beda kala (time lag). Untuk kondisi seperti ini, fungsi produksi Nerlove sudah banyak digunakan dalam mengestimasi perubahan perilaku petani. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan tidak langsung (indirect method) melalui langkah estimasi fungsi/persamaan luas areal tanam kelapa sawit dan fungsi/persamaan produktivitas lahan kelapa sawit. Setelah estimasi-estimasi ini dilakukan, maka produksi dapat diestimasi sebagai hasil kali hasil estimasi luas areal tanam dengan hasil kali produktivitas lahan kelapa sawit plasma. Hal ini dinyatakan dalam bentuk respon produksi. 4.4.1. Fungsi Luas Areal Tanam Kelapa Sawit Hasil pendugaan parameter persamaan luas areal tanam menunjukkan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9997 yang menunjukkan bahwa keragaman luas areal dapat dijelaskan oleh keragaman peubah-peubah penjelas sebesar 99,97%. Nilai F-hitung sebesar 8452.18, nyata pada taraf 1% mengindikasikan bahwa peubah-peubah penjelas dalam model yang dikembangkan bisa menjelaskan luas areal tanam secara baik (Tabel 26, Lampiran 15). Tanda parameter dugaan harga TBS (HGBS) dan peubah beda kala (LAGHGTBS) sesuai harapan yaitu bertanda positif, dengan besaran koefisien regresi masing-masing 0,06 dan 0,23 serta berpengaruh nyata pada taraf nyata 5% dan 15%. Parameter dugaan lain yang sesuai harapan dan berpengaruh
111 positif adalah kebijakan pemerintah (DUMMY) dan teknologi pengelolaan kebun kelapa sawit (TREND). Tabel 26. Estimasi Luas Areal Tanam Kebun Kelapa Sawit Plasma Di Sei Pagar, 2007 Ordinary Least Squares Estimates Variabel endogen = LPS (luas areal tanam kelapa sawit) Source Model Error Corrected Total Root MSE Dependent Mean Coeff Var
DF 7 16 23
Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square 0.115189 0.016456 0.000031 1.947E-6 0.115220
0.00140 8.82163 0.01582
Parameter Variable DF Estimate Intercept 1 6.615153 hgtbs 1 0.062739 hgkrt 1 -0.00173 uptk 1 -0.00495 dummy 1 0.007010 trend 1 0.007964 laglps 1 0.229191
R-Square Adj R-Sq
F Value 8452.18
Pr > F <.0001
0.99973 0.99961
Parameter Estimates Standard t Value Pr > |t| Variable Label Error 1.266779 5.22 <.0001 Intercept 0.024520 2.56 0.0210 harga riil TBS 0.001631 -1.06 0.3058 harga riil karet 0.005951 -0.83 0.4174 upah tenaga kerja riil 0.001734 4.04 0.0009 kebijakan pemerintah 0.001686 4.72 0.0002 teknologi 0.148867 1.54 0.1432 lag luas tanam sawit
Parameter kebijakan pemerintah mempunyai koefisien regresi sebesar 0,007 dan nyata pada taraf uji 1%. Kebijakan pemerintah, terutama pemerintah daerah umumnya menyangkut aspek kelembagaan, pembinaan teknis dan penentuan harga TBS mempengaruhi sikap petani dalam mengambil keputusan meningkatkan luas tanam. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah berkaitan dengan kemudahan akses modal kerja, pengadaan sarana produksi (input, terutama pupuk dan pestisida), inovasi teknologi dan pemasaran TBS. Jika kebijakan pemerintah mendukung dalam pengelolaan kebun maka petani akan meningkatkan luas lahan dan sebaliknya. Teknologi pengelolaan baik pada aspek produksi TBS maupun pengolahan TBS mempunyai koefisien regresi positif sebesar 0,008 dan berpengaruh nyata pada taraf uji 1%. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa petani meningkatkan luas areal sebagai akibat kemajuan teknologi. Suatu contoh di lapangan adalah dengan ditemukannya pemanfaatan sisa panen dan hasil sampingan pabrik kelapa sawit sebagai pupuk organik menunjukkan respon petani yang nyata dalam meningkatkan luas tanam karena faktor kelangkaan pupuk bisa diatasi.
112 Parameter dugaan upah tenaga kerja (UPTK) tidak berpengaruh nyata pada taraf uji 20%. Kondisi ini mungkin berkaitan dengan kemampuan petani dalam membayar upah tenaga kerja yang semakin baik dalam artian kenaikan upah tenaga kerja di lapangan seimbang dengan kenaikan kemampuan petani dalam membayar upah akibat meningkatnya pendapatan yang dari usahatani kelapa sawit. Lebih jauh, peningkatan kemampuan petani dalam membayar upah tenaga kerja didukung oleh tingkat produktivitas lahan yang relatif baik. Parameter dugaan harga karet (HGKRT) juga berpengaruh tidak nyata pada taraf uji 20%. Harga hasil komoditas karet sebagai pesaing di lokasi penelitian, tidak mempengaruhi minat petani dalam meningkatkan atau menurunkan luas areal kelapa sawit. Dengan mengambil asumsi bahwa di Indonesia komoditas karet merupakan pesaing utama, keragaman areal tanam kelapa sawit di Indonesia memperlihatkan kecendrungan yang sama dengan hasil penelitian ini (Susila et al.,1995). Dalam penelitian Susila et al. tersebut diperoleh pengetahuan bahwa keragaman areal tanaman kelapa sawit menghasilkan dapat dijelaskan oleh variabel akumulasi harga CPO satu sampai 3 periode sebelumnya, nilai tukar US $ terhadap rupiah dan harga karet. Munculnya akumulasi harga CPO pada estimasi tersebut menggambarkan adanya usaha untuk mengakumulasikan informasi sebelum melakukan investasi pada komoditas kelapa sawit. Senada dengan hasil penelitian tersebut, Saharun (2001) melaporkan bahwa perilaku petani kakao perkebunan rakyat dalam menentukan areal tanamnya dipengaruhi oleh peubah harga kakao, peubah dummy penyuluhan dan lag areal tanam satu tahun. 4.4.2. Fungsi Produktivitas Lahan Kelapa Sawit Parameter menunjukkan
dugaan
persamaan
produktivitas
lahan
kelapa
sawit
koefisien determinasi sebesar 0,9859 yang berarti bahwa
keragaman produktivitas kelapa sawit dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelas sebesar 98,59%. Sementara itu, nilai F-hitung diperoleh sebesar 159,55 nyata pada taraf uji 1% yang menunjukkan peubah-peubah penjelas bisa menjelaskan keragaman produktivitas kebun kelapa sawit plasma di lokasi penelitian secara signifikan. Tanda dugaan parameter (koefisien regresi) peubah penjelas harga TBS (HGTBS), harga pupuk Urea (HGPU), harga pupuk SP-36 (HGPS), harga pupuk KCl (HGPK), harga pupuk majemuk (HGPM) dan lag
113 produktivitas (LAGPS) sesuai harapan. Tanda parameter HGTBS dan LAGPS positif, tanda parameter HGPU, HGPS, HGPK dan HGPM negatif (Tabel 27, Lampiran 15). Harga pupuk SP-36 dan KCl berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa sawit masing-masing dengan taraf nyata (α) 20% dan 15%. Batang, tandan buah, tangkai daun dan daun kelapa sawit, seperti halnya tanaman kelapa biasa termasuk tanaman berserat. Tanaman dalam kelompok ini umumnya mempunyai sifat memerlukan unsur fosfat dan kalium lebih banyak dari nitrogen. Analisis kimia tandan buah kosong menunjukkan kadar fosfat dan kalium melebihi unsur lainnya masing-masing sebesar 0,4% dan 0,91% (Pahan, 2006). Kedua unsur tersebut sangat berperan dalam penyusunan sel daun agar fotosintesa berjalan baik dan berujung pada meningkatnya produktivitas tanaman. Oleh karena itu, dalam menyusun rekomendasi pemupukan kebutuhan unsur hara kelapa sawit, pupuk SP-36 dan KCl selalu melebihi kebutuhan pupuk Urea/ZA sebagai sumber nitrogen dengan kisaran 125 – 200% (Pahan, 2006; Risza, 2008). Memperhatikan peranan pupuk SP-36 dan KCl dalam peningkatan produksi TBS mengindikasikan perlunya campur tangan pemerintah dalam mensubsidi harga pupuk agar terjangkau oleh petani. Namun demikian, kebijakan pemerintah dalam subsidi harga pupuk saat ini berlawanan dengan kebutuhan jenis dan dosis pupuk untuk kelapa sawit yang hanya mensubsidi harga pupuk Urea saja sedangkan pupuk SP-36 dan KCl tidak disubsidi. Hal ini disebabkan oleh implementasi kebijakan subsidi harga pupuk masih mengikuti kebijakan yang diterapkan untuk tanaman pangan yang secara umum menunjukkan kebutuhan pupuk nitrogen melebihi kebutuhan pupuk lainnya. Implementasi
kebijakan
subsidi
harga
pupuk
tersebut
menyebabkan
ketimpangan harga pupuk Urea dengan harga pupuk SP-36 dan KCl. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa harga pupuk Urea sekitar Rp. 1500 – Rp. 2050/kg, harga pupuk SP-36 Rp. 4000 – Rp. 5000/kg dan harga pupuk KCl Rp. 10 000 – Rp. 11 000/kg. Ketimpangan harga pupuk tersebut mempengaruhi perilaku petani plasma dalam memupuk kalapa sawit. Petani umumnya memupuk dengan pupuk Urea sesuai anjuran, tetapi pupuk SP-36 dan KCl masih di bawah anjuran. Ada peluang pemanfaatan sisa tanaman terutama tandan buah kosong sebagai sumber pupuk P dan K alternatif, tetapi sumbangan unsur fosfat dan
114 kaliumnya masih jauh di bawah kebutuhan tanaman. Secara ekonomi, kebijakan pemerintah dalam peningkatan subsidi harga pupuk berdampak terhadap penurunan produktivitas kelapa sawit yang berujung pada menurunnya produksi TBS. Hal ini seperti dilaporkan oleh Sinuraya (2000) yang melakukan penelitian terhadap tanaman karet dimana kebijakan pemerintah untuk meningkatkan harga pupuk berdampak terhadap penurunan produktivitas dan produksi karet secara nyata di Provinsi Sumatera Utara. Tabel 27. Estimasi Produktivitas Kebun Kelapa Sawit Plasma Di Sei Pagar, 2007 Ordinary Least Squares Estimates Variabel endogen = PS (produktivitas kelapa sawit) Source Model Error Corrected Total
DF 7 16 23
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square F Value 4.963782 0.709112 159.55 0.071110 0.004444 5.034893
0.06667 3.21462 2.07385
R-Square Adj R-Sq
Pr > F <.0001
0.98588 0.97970
Parameter Estimates Variable
Intercept hgtbs hgpu hgps hgpk hgpm lagps
DF
1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate
Standard Error
5.983876 0.366164 -0.08045 -0.11648 -0.17139 -0.36419 0.823456
2.40279 2.49 0.0241 1.12427 0.33 0.7489 0.37261 -0.22 0.8318 0.08201 -1.42 0.1747 0.10152 -1.69 0.1108 0.36843 -0.99 0.3376 0.10892 7.56 <.0001
Mengingat perekonomian
pentingnya
Indonesia,
t Value Pr < |t| Label Variable
peranan
sangat
layak
Intercept harga riil TBS harga riil pupuk urea harga riil pupuk SP36 harga riil pupuk KCL harga riil pupuk majemuk lag produktivitas kelapa sawit
komoditas pemerintah
kelapa
sawit
bagi
mempertimbangkan
kebijakan subsidi harga pupuk untuk kelapa sawit terutama untuk pupuk KCl. Kebijakan harga untuk subsidi pupuk Urea kurang tepat diterapkan pada kelapa sawit karena dua hal yaitu pertama faktor harga pupuk Urea yang murah sehingga petani masih bisa membeli pupuk urea tanpa harga subsidi. Kedua berkaitan dengan jumlah unsur yang dibutuhkan dimana kelapa sawit memerlukan kalium lebih banyak dibandingkan dengan Urea. Lag produktivitas kelapa sawit tahun lalu mempunyai nilai sebesar 0,82 berpengaruh nyata terhadap produktivitas kebun kelapa sawit plasma pada taraf nyata 1%. Hal ini dimungkinkan oleh perilaku petani dalam merespon insentif harga produksi kelapa sawit. Peningkatan harga produksi meningkatkan
115 pendapatan petani yang mengalokasikan pendapatannya untuk perawatan kebun agar produktivitasnya meningkat. Respon perlakuan pemupukan kelapa sawit memerlukan waktu yang lama sekitar 2 tahun terhitung sejak pemupukan dilakukan (Adiwiganda, 2002). Dengan demikian, produktivitas kebun 1 tahun sebelumnya berkontribusi nyata terhadap pruduktivitas saat ini. Parameter dugaan harga TBS tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas pada taraf nyata 20%. Hal ini dimungkinkan oleh lambatnya perubahan harga TBS yang terjadi sehingga memerlukan waktu relatif lama untuk penyesuaian terhadap perubahan perilaku petani dalam mengelola kelapa sawit. Parameter dugaan harga pupuk Urea mempunyai nilai sebesar -0,08 tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa sawit pada taraf uji 20%. Hal ini berkaitan dengan sifat tanaman kelapa sawit yang termasuk tanaman tahunan tidak memerlukan nitrogen terlalu banyak untuk pertumbuhan dan produksi TBS. Parameter dugaan harga pupuk majemuk memperlihatkan perilaku yang sama dengan harga pupuk Urea. Parameter harga pupuk majemuk mempunyai nilai sebesar -0,36, tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa sawit pada taraf uji 20%. Hal ini disebabkan oleh sifat pupuk majemuk sebagai substitusi pupuk lainnya (pupuk Urea, SP-36 dan KCl). 4.4.3. Respon Produksi Kelapa Sawit Respon produksi kelapa sawit dihitung berdasarkan elastisitas areal tanam dan produktivitas terhadap peubah harga TBS, upah tenaga kerja, harga pupuk Urea, harga pupuk SP-36, harga pupuk KCl dan harga pupuk majemuk (Tabel 28). Produksi TBS kelapa sawit lebih respon dalam jangka panjang dibandingkan dengan jangka pendek yang tercermin dari elastisitas jangka panjang lebih tinggi dari elastisitas jangka pendek pada semua peubah yang diteliti. Jika dilihat lebih rinci terlihat bahwa jika terjadi peningkatan harga TBS sebesar 1% diikuti oleh peningkatan produksi kelapa sawit plasma sebesar 0,92% dalam jangka pendek dan sebesar 3,88% dalam jangka panjang. Respon TBS terhadap luas areal tanam kelapa sawit baru kelihatan dalam jangka panjang karena insentif harga TBS memerlukan waktu lama dalam merubah perilaku petani dalam meningkatkan luas tanam. Hal ini masuk akal karena kelapa sawit termasuk komoditas tanaman tahunan dimana perubahan perilaku petani memerlukan waktu yang lama dalam memutuskan apakah mereka mengelola kebun lebih baik atau tetap saja seperti tahun sebelumnya.
116 Peningkatan upah tenaga kerja dan harga karet tidak mempengaruhi perilaku petani dalam meningkatkan produksi tandan buah segar kelapa sawit plasma. Tabel 28. Elastisitas Luas Areal Tanam dan Produktivitas Lahan Kelapa Sawit Plasma Jangka Pendek dan Jangka Panjang Di Sei Pagar, 2007 Peubah Harga TBS Upah Tenaga Kerja Harga Karet Harga Pupuk Urea Harga Pupuk SP-36 Harga Pupuk KCl Harga Pupuk Majemuk
Pendek Panjang Pendek Panjang Pendek Panjang Pendek Panjang Pendek Panjang Pendek Panjang Pendek Panjang
Areal 0,297 0,385 - 0,008 - 0,014 - 0,003 - 0,004 -
Elastisitas Produktivitas 0,618 3,492 - 0,104 - 0,588 - 0,132 - 0,748 - 0,196 - 1,109 - 0,126 - 0,719
Produksi 0,915 3,877 - 0,008 - 0,014 - 0,003 - 0,004 - 0,104 - 0,588 - 0,132 - 0,748 - 0,196 - 1,109 - 0,126 - 0,719
Produksi kelapa sawit tidak respon terhadap peubah harga pupuk Urea dan pupuk majemuk dimana jika terjadi peningkatan harga pupuk Urea dan pupuk majemuk produktivitas kelapa sawit tidak menurun secara nyata. Pada kasus pupuk Urea, hal ini berkaitan dengan sifat genetik kelapa sawit yang tidak memerlukan nitrogen dalam jumlah banyak dibandingkan dengan keperluan fosfat dan kalium. Peningkatan harga pupuk Urea menyebabkan petani mengurangi penggunaan pupuk Urea tetapi masih dalam dosis yang dibutuhkan tanaman. Pupuk majemuk sifatnya sebagai substitusi dari pupuk Urea, SP-36 dan KCl karena kandungan unsur hara pupuk majemuk sama dengan pupuk Urea, SP-36 dan KCl yaitu sebagai sumber unsur hara nitrogen, fosfat dan kalium. Jika harga pupuk majemuk meningkat maka petani mengalihkan dananya untuk pembelian pupuk Urea, SP-36 dan KCl. Produksi kelapa sawit menunjukkan respon terhadap harga pupuk SP-36 dan pupuk KCl. Peningkatan harga pupuk SP-36 sebesar 1% akan menurunkan produktivitas sebesar 0,13% dalam jangka pendek dan 0,75% dalam jangka panjang. Demikian juga jika harga pupuk KCl meningkat sebesar 1% akan berakibat menurunnya produktivitas kelapa sawit sebesar 0,20% dalam jangka pendek dan sebesar 1,11% dalam jangka panjang. Hal ini berkaitan dengan sifat
117 kelapa sawit yang memerlukan unsur fosfat yang terkandung dalam pupuk SP36 dan kalium dalam pupuk KCl lebih banyak dibandingkan dengan keperluan nitrogen. Dari kondisi tersebut kuat mengindikasikan diperlukannya kebijakan subsidi harga pupuk terutama untuk pupuk KCl agar produksi kelapa sawit tetap tinggi dan lestari. Pupuk SP-36 masih bisa disubstitusi dengan pupuk P-Alam yang harganya lebih murah dari SP-36 tetapi efektivitasnya pada lahan kering masam maupun lahan masam seperti lahan gambut tidak kalah dibandingkan dengan pupuk SP-36. Sementara pupuk KCl tidak bisa disubstitusi oleh pupuk lainnya sehingga diperlukan campur tangan pemerintah berupa subsidi harga agar terjangkau oleh petani. Dengan kemajuan teknologi, sisa panen dan limbah pabrik kelapa sawit bisa dijadikan sumber pupuk kalium tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan tanaman sehingga masih perlu masukkan dari luar sistem tanah-tanaman. Hasil penelitian perilaku petani kelapa sawit ini mirip dengan hasil penelitian Bafadal (2000) pada tanaman kakao dimana produktivitas kakao tidak respon terhadap harga kakao tetapi respon terhadap pupuk, sedangkan luas areal tanam respon terhadap harga kakao. Yang lebih menarik adalah nilai elastisitas jangka panjang lebih besar dari nilai elastisitas jangka pendek pada semua peubah penjelas yang diteliti. Peneliti lain melaporkan bahwa perilaku penawaran produksi kelapa sawit swasta nasional dipengaruhi oleh variabel harga kelapa sawit (TBS), upah tenaga kerja dan perubahan teknologi, sedangkan harga karet alam pengaruhnya sangat kecil (Sukiyono, 1995). Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa pemberian pupuk dari luar sistem tanah-tanaman menjadi kunci dari peningkatan produktivitas kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh perilaku dari kelapa sawit yang termasuk tanaman menyerap unsur hara dalam jumlah banyak untuk memproduksi hasil yang tinggi. Sebagai gambaran, dalam 1 ton TBS setara dengan 6,3 kg Urea, 2,1 kg TSP, 7,3 kg KCL dan 4,9 kg Kiserit (Moody et al., 2003). Bagian vegetatif tanaman (batang, daun, akar) juga memerlukan unsur hara yang banyak setara dengan keperluan bagian tanaman generatif (TBS) tersebut. Secara kuantitatif, biaya pemupukan pada kelapa sawit tergolong tinggi yaitu sebesar 30% dari total biaya produksi atau sebesar 60% dari total biaya pemeliharaan (Poeloengan et al, 2005). Faktor lainnya adalah kondisi lahan perkebunan kelapa sawit hampir semuanya berupa lahan miskin unsur hara yakni lahan
118 kering masam ataupun lahan gambut. Dalam kondisi seperti ini, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi, konsep pemupukan 5T (lima tepat) yaitu tepat jenis pupuk, dosis pupuk, waktu pemberian pupuk, cara pemberian pupuk dan frekuensi pemberian pupuk) masih menjadi acuan dalam aplikasi pemupukan (Koedadiri et al., 2005). 4.5. Analisis Kelembagaan Analisis kelembagaan dalam pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan diestimasi dengan model Analytical Hierarchy Process (AHP). Peranan dan keterkaitan lembaga dalam pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan menjadi fokus analisis. Terdapat 5 faktor yang menjadi pertimbangan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu sumberdaya alam (SDA), sumberdaya manusia (SDM), kearifan lokal, modal kerja dan kebijakan pemerintah. Teridentifikasi 6 aktor yang berperan yaitu kelompok tani (POKTAN), pemerintah daerah (PEMDA), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perusahaan Inti, lembaga keuangan formal dan lembaga keuangan non formal. Terumuskan 5 tujuan yang ingin dicapai yaitu peningkatan pendapatan petani, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), kelestarian sumberdaya alam, keharmonisan kearifan lokal dan penciptaan lapangan kerja. Pada hirarki terakhir yang berupa alternatif pengelolaan, terdapat 3 alternatif sebagai solusi untuk mencapai tujuan yaitu pengelolaan oleh perusahaan inti dalam hal ini PTPN V, pengelolaan kerjasama antara perusahaan inti dengan masyarakat (petani plasma) dan pengelolaan oleh masyarakat dengan memperkuat kelompoktani melalui pembentukan gabungan kelompoktani (GAPOKTAN). Penilaian dari setiap level hirarki dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dari 14 orang pakar perkebunan yang terdiri dari staf PT Perkebunan Nusantara V di Sei Pagar, staf PT. Perkebunan V Pekanbaru, Pemerintah Daerah melalui Dinas Terkait (Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Badan Pertanahan
Nasional
Tingkat
Kabupaten
Kampar
dan
Dinas
Koperasi
Kabupaten Kampar) serta LSM sebagai pewakil dari organisasi masyarakat lokal. Pelaksanaan FGD mengikuti prosedur standar pelaksanaan FGD, dimulai dari
penentuan
partisipan
untuk
memperoleh
partisipan
yang
memiliki
pemahaman sama terhadap model yang dibangun, pengantar pelaksanaan, pelaksanaan dan pemantauan interaksi partisipan. Hasil analisis Program
119 Criterium Decision Plus (CDP) terhadap hirarki yang sudah ditetapkan disajikan pada Gambar 14.
Peran dan keterkaitan lembaga dalam pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan (1,000)
Fokus
Sumberdaya alam
Faktor (0,380)
Aktor
Kelompok tani
(0,268)
Tujuan
Meningkatkan pendapatan petani (0,303)
Alternatif Pengelolaan
Sumber daya manusia (0,227)
Pemda
LSM
(0,267)
(0,194)
Meningkat kan PAD (0,291)
Kearifan Lokal
Modal kerja
Kebijakan pemerintah
(0.101)
(0,144)
(0,147)
INTI
(0,147)
Kelestari an SDA ( 0,108)
Lbg. keuangan formal (0,082)
Lbg. keuangan non formal (0,043)
Keharmoni san kearifan lokal
Menciptakan lapangan kerja
(0,100)
(0,198)
Perusahaan INTI
Kerjasama INTI-Masyarakat
Masyarakat dgn penguatan GAPOKTAN
(0,128)
(0,359)
(0,513)
Gambar 14. Alternatif Pengelolaan, Tujuan dan Kontribusi Faktor dan Aktor Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar. Analisis yang lebih rinci pada level faktor, menunjukkan bahwa sumberdaya alam (SDA) memegang peranan yang paling dominan untuk mencapai kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan dengan kontribusi sebesar 38%, diikuti oleh sumberdaya manusia (SDM) dengan kontribusi sebesar 23%, bobot modal kerja dan kebijakan pemerintah hampir sama masing-masing sekitar 14%. Faktor kearifan lokal menunjukkan nilai bobot terendah sebesar 10%. (Gambar 15).
120
Gambar 15. Kontribusi Faktor dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar. Hasil
ini
mengindikasikan
bahwa
produktivitas
dan
kelestarian
sumberdaya alam harus menjadi pertimbangan utama untuk mencapai kondisi kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan. Berkaitan dengan produktivitas dan kelestarian sumberdaya alam, pemerintah merumuskan paket kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu hasil . Salah satu komponen dari paket tersebut adalah pengembangan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah, budaya dan sosial ekonomi masyarakat serta keamanan lingkungan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam (Ditjenbun, 2006b).
Kondisi
tersebut memang masuk akal karena sifat kelapa sawit mampu memproduksi TBS dalam jumlah yang banyak tetapi juga memerlukan unsur hara yang banyak. Sementara itu, lokasi pengembangan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar pada tanah-tanah lahan marginal yaitu pada tanah kering masam sekitar 66% dan sisanya tanah gambut dengan potensi termasuk kategori kesesuaian lahan kelas S2 (cukup sesuai) atau S3 (sesuai terbatas) (Koedadiri et al., 2005). Memperhatikan sifat tanaman kelapa sawit tersebut maka teknologi pengelolaan lahan terutama teknologi pemupukan menjadi penting dalam rangka
121 memelihara kelestarian sumber daya alam. Ini disebabkan oleh ketidak seimbangan penyediaan unsur hara oleh tanah dengan yang diperlukan oleh tanaman. Kemampuan tanah menyediakan unsur hara jauh di bawah kebutuhan tanaman, maka pemberian unsur hara dari luar sistem tanah-tanaman berupa pemupukan menjadi vital. Dalam paket pemeliharaan tanaman, alokasi dana pemeliharaan untuk pupuk menempati tempat tertinggi yaitu sebesar 60% dari kebutuhan dana pemeliharaan total (Adiwiganda, 2002). Dengan ketersediaan unsur hara di dalam lebih kecil dari yang diperlukan maka terjadi ketidak seimbangan antara unsur hara yang diserap dengan yang tersedia sehingga terjadi pengurasan hara. Ketidak seimbangan ini menyebabkan penurunan kualitas tanah (degradasi tanah secara kimia) yang secara langsung menurunkan kelas kesesuaian lahan. Sumberdaya manusia menempati urutan kedua diikuti oleh kebijakan pemerintah. Hal ini juga masuk akal karena dalam era globalisasi, manusia (penduduk) memegang peranan penting dalam aplikasi pengelolaan perkebunan kelapa
sawit.
Keberhasilan
inovasi
dan
adopsi
teknologi
pengelolaan
perkebunan yang terus berkembang melalui arus perubahan informasi teknologi. Sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai akan merespon dengan cepat inovasi teknologi yang berujung pada peningkatan produktivitas tanaman dan kualitas produksi. Hal ini senada dengan sasaran pembangunan Daerah Provinsi Riau melalui Lima Pilar Utama dimana Pilar Kedua adalah pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia (Syahza, 2008). Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia sangat relevan dengan pengembangan kelapa sawit yang merupakan komoditas global dengan sasaran konsumen lebih banyak di pasar internasional. Pada level pasar internasional maka kualitas barang yang dipasarkan (dalam hal ini CPO) memegang peranan penting agar memperoleh harga tinggi sehingga aspek ekonomi dari kondisi berkelanjutan bisa dicapai. Kualitas CPO yang tinggi tidak lepas dari kemampuan sumberdaya manusia dalam mengaplikasi teknologi pengelolaan tanaman selama proses produksi TBS disertai prosesing pasca panennya. Di lain pihak, kebijakan pemerintah yang mendukung penerapan teknologi pengelolaan tanaman dan pengolahan TBS yang tepat serta mata rantai pemasaran CPO yang efisien sangat membantu dalam mencapai kondisi berkelanjutan.
122 Rendahnya kontribusi modal kerja menjadi menarik karena kenyataannya pengembangan kelapa sawit membutuhkan modal yang besar berkaitan dengan skala usaha
ekonomi yang dicapai pada areal tanam yang luas. Hal ini
disebabkan oleh akses petani untuk memperoleh modal kerja sudah dijamin oleh lembaga keuangan formal seperti bank pemerintah ataupun bank swasta nasional. Masalahnya adalah penyaluran modal kerja tersebut harus didukung oleh kebijakan pemerintah agar tercapai kondisi yang efisien dalam penyaluran modal kerja dan memberikan manfaat semaksimal mungkin. Tingginya kontribusi pendanaan dari lembaga keuangan merupakan salah satu kunci sukses yang menentukan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di masa yang lalu (Kartasasmita, 2005). Salah satu paket pemerintah dalam penyediaan modal bagi petani kelapa sawit adalah penyediaan kredit dengan subsidi bunga untuk revitalisasi perkebunan sehingga petani hanya membayar 10%/tahun sejak tahun 2006 (sisa bunganya ditanggung pemerintah (Ditjenbun, 2006a). Hasil analisis dalam penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Kurniawan (2004) yang memperoleh bahwa untuk mencapai produksi bersih pada industri pengolahan kelapa sawit, faktor biofisik terutama sumberdaya alam menempati prioritas utama dengan bobot 27%. Aspek ekonomi menempati prioritas kedua dengan bobot 21%, diikuti oleh aspek teknologi dan kebijakan pemerintah masing-masing dengan bobot 18% dan 13%. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan relatif kompleks dan masing-masing mempunyai kepentingan tersendiri. Pada kondisi umum, keterlibatan aktor akan membela kepentingannya masing-masing sehingga merangsang terjadinya konflik. Oleh karena itu, diperlukan peranan salah satu aktor yang memiliki kewenangan mengatur peranan aktor lainnya yang terlibat dalam bentuk perundang-undangan agar keterkaitan semua lembaga tersebut menjadi sinergis dan saling mendukung. Hasil analisis pada level aktor memperlihatkan adanya dukungan aktor terhadap kontribusi faktor dimana kelompok tani dan Pemerintah Daerah mendominasi masing-masing sebesar 27%, diikuti oleh LSM sebesar 19% serta Perusahaan Inti 15% (Gambar 16). Perilaku petani dalam mengelola lahan perkebunan kelapa sawit sangat menentukan dalam mencapai kondisi berkelanjutan. Kebijakan pemerintah harus mampu menggalakkan petani dalam mengelolaan kebunnya agar produktivitas lahan terjaga. Paket kebijakan pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran
123 sarana produksi, penyuluhan perkebunan, adopsi teknologi anjuran seyogyanya dikemas dalam rumusan yang sederhana dan berpihak kepada petani. Hal ini tersirat dari wawancara di lapangan dimana selama ini petani masih mengeluhkan kebijakan yang kesannya memberatkan petani pekebun sawit. Harga pupuk ”subsidi” sangat jarang bisa diakses petani, harga pupuk mahal dan susah diperoleh tepat waktu.
Gambar 16. Kontribusi Aktor dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di sei Pagar Pemerintah Daerah semakin memegang peranan penting dalam pengembangan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit juga berkaitan dengan nuansa otonomi daerah. Dalam pengembangan kelembagaan pedesaan termasuk Gapoktan sedikitnya ada 3 aspek yang perlu diperhatikan yaitu (1) konteks otonomi daerah, (2) pengembangan kelembagaan sebagai sebuah bentuk pemberdayaan dan (3) kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai kemandirian lokal. Peranan pemerintah daerah menjadi semakin penting dilihat dari aspek otonomi daerah karena sedikitnya ada 3 tiga peranan yaitu (a) untuk memaksimumkan nilai, (b) sebagai lembaga yang memberi peluang kepada
124 akses masyarakat terhadap pemerintah dan (c) sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi efisien dapat dicapai (Syahyuti, 2007). Selama ini, instansi yang banyak terlibat dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma adalah Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Badan Pengelola dan Pengendalian Dampak Lingkungan, Dinas Pertanian, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Dinas Koperasi. Mekanisme saat ini, semua instansi ini dibawah koordinasi Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah merumuskan kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara terpadu menyangkut aspek teknis, ekonomi dan sosial. Implementasi kebijakan yang sudah dirumuskan disalurkan melalui Perusahaan Inti, seterusnya ke KUD dan kelompok tani.
Adanya kekurangan harmonisan hubungan antara
Perusahaan Inti dengan petani plasma berakibat kurang efektifnya kebijakan yang sudah dirumuskan bagi petani plasma. Merespon kondisi tersebut dan kaitannya dengan era otonomi daerah, perlu dipertimbangkan lagi model keterkaitan antara instansi terkait dengan stakeholders lainnya agar petani memperoleh bimbingan yang lebih intensif. Hal ini dimungkinkan oleh semakin besarnya peranan Pemerintah Daerah dalam membangun daerahnya masing-masing, dimana sektor perkebunan kelapa sawit mempunyai kontribusi besar terhadap sumbangan PAD. Beberapa pemikiran yang menjabarkan otonomi daerah agar sektor perkebunan berkembang baik antara lain (a) perlu dilakukan pendidikan bagi petani plasma, (b) community investment, (c) koordinasi dan sinkronisasi antar instansi terkait, (d) dorongan bagi perusahaan besar dan professional dalam membina petani, (e) penyediaan fasilitas kredit dari lembaga keuangan negara atau swasta dan (f) teknologi yang efisien dan terjangkau bagi petani (Kartasasmita, 2005). Husien dan Hanafi (2005) menyebutkan peranan Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam pengembangan kelapa sawit adalah (a) penyediaan lahan yang sudah melalui penataan ruang yang berlaku untuk mengurangi konflik, (b) memberikan bantuan modal kerja dan (c) memfasilitasi pendirian pabrik kelapa sawit untuk menampung produksi TBS petani. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) memberikan kontribusi cukup tinggi dan melebihi perusahaan Inti. Hal ini berhubungan dengan nuansa otonomi daerah dimana pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas terhadap lembaga-lembaga daerah dalam mengelola sumberdaya alam termasuk LSM. Selain itu, belajar dari masa lalu, perusahaan Inti yang memiliki kewenangan
125 luas dalam mengelola sumberdaya alam masih terkendala dengan belum terakumulasinya kepentingan-kepentingan petani dan masyarakat lokal secara proporsional. Dengan semakin terakumulasinya kepentingan petani pekebun dan masyarakat lokal diharapkan menurunnya konflik sosial dan terjaganya kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan kebun sawit. Untuk mencapai kondisi perkebunan berkelanjutan, pada level tujuan terlihat peningkatan pendapatan petani dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi penting karena kontribusi keduanya dominan sebesar 30% dan 29%; diikuti oleh penciptaan lapangan kerja sebesar 20% (Gambar 17). Hasil ini didukung oleh semakin meningkatnya peranan dan kontribusi petani maupun Pemerintah Daerah dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Merebaknya nuansa otonomi daerah, memberikan peluang lebih besar bagi Pemda dalam mengelola sumberdaya alam.
Gambar 17. Kontribusi Tujuan dalam Kelembagaan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan di Sei Pagar Namun demikian, dengan status penguasaan lahan milik sendiri, persaingan pemasaran TBS petani makin ketat antara PKS Inti dan non Inti serta keterampilan petani yang semakin meningkat dalam pengelolaan kebun kelapa sawit maka orientasi peningkatan pendapatan petani nampaknya menjadi
126 pertimbangan yang utama untuk dipenuhi. Pengembangan kelapa sawit telah terbukti mampu meningkatkan pendapatan petani di Provinsi Riau lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya (Syahza, 2008). Dengan semakin meningkatnya pendapatan petani maka PAD juga akan meningkat dari kontribusi petani melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak motor maupun barang mewah lainnya dan pajak produksi TBS. Kegiatan perkebunan kelapa sawit juga mampu memberikan peluang peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kebun yang terlihat dari kontribusinya sebesar 20%. Ini penting karena masyarakat sekitar kebun akan ikut merasa dilibatkan dan diperhatikan jika mereka memperoleh kesempatan kerja baik pada pengelolaan kebun maupun sebagai buruh industri di PKS. Selain itu, kehadiran perkebunan kelapa sawit juga membuka peluang berusaha di bidang jasa transportasi, dagang kebutuhan rumahtangga dan jasa servise motor. Kesemuanya itu merupakan efek domino dari perkebunan kelapa sawit. Permasalahan yang sering muncul di lapangan adalah ketidak sesuaian keterampilan masyarakat lokal dengan kebutuhan tenaga kerja terutama untuk pengolahan TBS di unit PKS karena rendahnya tingkat pendidikan. Untuk
mengatasi
masalah
tersebut,
jika
memungkinkan,
pihak
Perusahaan Inti melakukan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan calon tenaga kerja dari masyarakat lokal agar siap pakai. Pada kasus Perkebunan Nusantara V, tahap awalnya hanya bisa memenuhi sekitar 0,6% tenaga kerja lokal dari total kebutuhan tenaga
terutama untuk PKS.
Dengan program pelatihan, pada tahun-tahun berikutnya proporsi tenaga kerja lokal meningkat sampai mendekati 20% (PTPN V, 1992). Tenaga kerja untuk pengelolaan kebun biasanya bisa direkrut langsung karena tidak memerlukan keterampilan khusus. Kedua hal ini jika tidak dilakukan secara transparan bisa merangsang kecemburuan yang meningkat menjadi konflik sosial. Dengan memperhatikan kontribusi faktor dan aktor serta tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan, alternatif
pengelolaan
yang
paling
memungkinkan
adalah
pengelolaan
perkebunan oleh petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) dengan kontribusi sebesar 51%. Alternatif yang kedua adalah pengelolaan perkebunan sawit sistem kemitraan petani dengan perusahaan Inti dengan kontribusi 36%, dan terkecil kontribusinya adalah pengelolaan kebun sawit oleh perusahaan Inti dengan kontribusi sebesar 13%.
127 Alternatif pengelolaan kemitraan petani dengan perusahaan Inti memberi kontribusi cukup tinggi yaitu 36%, sedangkan pengelolaan oleh perusahaan Inti kontribusinya paling kecil. Hal ini berkaitan dengan benturan kepentingan perusahaan Inti dengan kepentingan petani yang selama ini lebih memihak kepada kepentingan perusahaan Inti baik dari aspek teknis maupun ekonomi. Aspek teknis antara lain konversi kebun yang kurang lancar dengan alasan kebun belum memenuhi persyaratan teknis. Aspek ekonomi yang menonjol adalah penentuan harga TBS yang didominasi oleh perusahaan Inti, walaupun sudah terbentuk tim penentu harga TBS. Isu rendemen TBS sebagai komponen penentu harga TBS dimonopoli oleh perusahaan Inti sehingga petani menerima harga rendah. Kondisi ini memicu petani untuk merubah pengelolaan kebun sawit menuju ke penguatan kelompok tani melalui pembentukan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN). Kondisi di lapangan tersebut diperkuat oleh
sasaran pembangunan
Daerah Provinsi Riau melalui Lima Pilar Utama dimana pembangunan ekonomi berbasiskan kerakyatan. Untuk pembangunan ekonomi pedesaan, pemerintah daerah
mengembangkan
sektor
perkebunan
dengan
arah
kebijakan
melaksanakan perluasan areal dengan sistem Perkebunan Inti Rakyat (Syahza, 2008). Secara nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperkuat lembaga petani di pedesaan yaitu Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) yang tertuang dalam dalam Program Revitalisasi Pertanian. Penguatan ini sangat berkaitan dengan peranan GAPOKTAN tidak hanya terpaut pada peningkatan produksi komoditas namun diharapkan dapat menjadi agent of education bagi petani untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dalam berusaha dan bermasyarakat. Selain itu, gerakan ini juga diharapkan sebagai gerakan untuk membangun modal sosial (social capital) yang sangat dipentingkan untuk memulihkan kohesivitas sosial bangsa (Baga, 2005). GAPOKTAN adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi anggotanya.
Tujuan
penguatan
GAPOKTAN
adalah
untuk
memperkuat
kelembagaan petani yang ada dalam rangka meningkatkan posisi daya tawar petani berhadapan dengan pihak luar. Penguatan dalam hal ini merupakan bentuk pemberdayaan petani dengan 2 prinsip dasar yaitu (1) menciptakan peluang bagi petani untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut
128 cara yang dipilihnya sendiri dan (2) mengupayakan agar petani memiliki kemampuan untuk memanfaatkan peluang tersebut misalnya peningkatan aksesibilitas petani terhadap faktor-faktor produksi, modal dan pasar. Dengan strategis tersebut setidaknya ada 3 peran pokok GAPOKTAN yaitu (1) sebagai lembaga sentral dalam sistem yang dibangun misalnya terlibat dalam pengadaan dan penyaluran saprodi, pemasaran hasil pertanian, pencairan dan pembayaran kredit dan lain-lain, (2) memperkuat ketahanan pangan di tingkat desa dan (3) mulai tahun 2007 GAPOKTAN dianggap sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) sehingga bisa menerima dana penguatan modal (Syahyuti, 2007). Alternatif model pengelolaan oleh koperasi petani diperkuat oleh kenyataan bahwa petani sudah memiliki pengalaman mengelola kebun sawit lebih dari 20 tahun. Selama itu, petani mendapat bimbingan dalam pengelolaan kebun menyangkut aspek pemupukan, pengendalian hama/penyakit dan gulma, pemanenan sampai pemasaran TBS. Faktor lainnya adalah pelajaran dari pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di masa lalu. Beberapa kelemahan yang menonjol antara lain (a) Petani tidak pernah diberi pelatihan untuk menjadi petani mandiri dan memiliki jiwa wiraswasta, (b) para pengambil kebijakan tidak pernah mempertimbangkan untuk menggalakkan agar petani bisa memupuk modal demi keperluan peremajaan ataupun pengadaan sarana produksi dan (c) tidak ada upaya serius untuk menghimpun petani kelapa sawit dalam satu wadah organisasi yang mapan (Kartasasmita, 2005). Hal-hal
tersebut
menimbulkan
pemikiran
untuk
mencari
solusi
pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma yang lebih baik. Paradigma yang berkembang
adalah
pembangunan
kemandirian
lokal
dalam
bentuk
pemberdayaan petani plasma melalui wadah koperasi kelompok tani. Lebih lanjut, paradigma kemandirian lokal memiliki ciri-ciri: (a) pembangunan berorientasi ke pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat setempat (community oriented), (b) pembangunan yang berlandaskan kepada kondisi sumberdaya masyarakat lokal (community based), (c) pengelolaan pembangunan oleh masyarakat lokal (community managed) dan (d) pendekatan pembangunan dengan pemberdayaan sumberdaya manusia (empower); keadilan (equity); produktivitas (productivity) serta berkesinambungan (sustainability) (Hasibuan, 2005).
129 Memperhatikan hasil analisis AHP, perkembangan kondisi lapang saat ini dan program pemerintah yang dituangkan dalam Revitalisasi Perkebunan 2007, kelembagaan pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma skim Perintisan Kemandirian Petani Plasma (PRITAMA) merupakan alternatif yang paling sesuai (Gambar 18).
PERMOHONAN PESERTA
DISBUN PROVINSI PERMOHON AN PESERTA
DEP.KEUANGAN
USULAN SUB SIDI BUNGA
SUBSIDI BUNGA
DEPTAN/DIRJENBUN
PERSETU JUAN MITRA
USULAN MITRA
PENUNJU KAN MITRA
DISBUN KAB/KOTA BANK PELAKSANA PERMOHON AN PESERTA
PERMOHON AN MITRA
PERMOHON AN PESERTA AKAD KREDIT
GAPOKTAN
AKAD KREDIT
PERMOHO NAN MITRA
DISBUN PROVINSI DISBUN KAB/KOTA PERMOHO NAN MITRA
MITRA/PTPN V PERJANJIAN KERJASAMA
PERJANJIAN KERJASAMA
DEWAN PENGAWAS
PERJANJIAN KERJASAMA
PETANI PESERTA
Gambar 18. Alur Kelembagaan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Skim PRITAMA Skim kelembagaan kelapa sawit PRITAMA tersebut didorong oleh keluarnya kebijakan pembangunan perkebunan yang teridiri dari kebijakan umum dan kebijakan teknis. Kebijakan umum meliputi pemberdayaan agribisnis perkebunan di hulu dan memperkuat di hilir guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing usaha perkebunan dengan pemberian insentif, penciptaan iklim
130 usaha yang kondusif dan peningkatan partisipasi masyarakat perkebunan serta penerapan organisasi modern yang berlandaskan pada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (Hadi et al., 2007). Lebih jauh diuraikan bahwa kebijakan teknis merupakan penjabaran dari kebijakan umum meliputi kebijakan pengembangan komoditas, investasi usaha perkebunan serta pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha. Kebijakan pengembangan komoditas antara lain mencakup (a) penerapan teknologi budidaya yang baik (good agriculture practice, GAP), (b) mendorong pengembangan
komoditas
unggulan
nasional
dan
lokal,
(c)
optimasi
pemanfaatan sumberdaya lahan, (d) mendorong pengembangan aneka produk dan peningkatan mutu hasil, (e) peningkatan penyediaan sarana dan prasarana pendukung
pengembangan
pengembangan
sistem
perkebunan
informasi
dan
mengenai
(f)
meningkatkan
teknologi,
peluang
upaya pasar,
mamajemen dan permodalan. Kebijakan pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha mencakup (a) mendorong peningkatan kemampuan dan kemandirian kelembagaan petani untuk menjalin kerjasama usaha dengan mitra terkait serta mengakses berbagai peluang usaha dan sumberdaya yang tersedia, (b) mendorong terbentuknya kelembagaan komoditas yang tumbuh dari bawah, (c) mendorong pertumbuhan kelembagaan keuangan pedesaan, (d) mendorong lebih berfungsinya lembaga penyuluhan dan (e) mendorong kemitraan saling menguntungkan dan saling memperkuat antara petani, pengusaha, karyawan dan masyarakat di sekitar kebun. Dari Gambar 18 menunjukkan adanya 5 pihak yang terkait dalam alur kelembagaan pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma yang mencakup petani, mitra usaha, lembaga keuangan, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertanian dan Departemen Keuangan. Diawali dengan minat petani plasma menjadi petani peserta kebun kelapa sawit melalui pembentukan lembaga pertanian di tingkat perdesaan yaitu Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN), mengajukan permohonan sebagai petani peserta skim PRITAMA ke Bupati/Walikota melalui Dinas Perkebunan Kabupaten/kota. Selanjutnya permohonan tersebut diteruskan ke Gubernur melalui Dinas Perkebunan Provinsi dan akhirnya disampaikan ke Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan. Permohonan itu ditembuskan kepada Bank Pelaksana. Proses ini diakhiri dengan persetujuan petani plasma sebagai petani peserta
131 skim PRITAMA oleh Bapak Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan dari Dirjenbun. Paralel dengan GAPOKTAN, calon Mitra (dalam hal ini PTPN V) mengajukan
permohonan
sebagai
calon
mitra
usaha
kepada
Bapak
Bupati/Walikota melalui Dinas Perkebunan Kabupaten, yang diteruskan kepada Gubernur melalui Dinas Perkebunan Provinsi dan akhirnya disampaikan ke Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan. Permohonan calon Mitra usaha ditembuskan kepada Bank Pelaksana. Dirjenbun membuat daftar usulan calon mitra usaha pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma dan diusulkan kepada Bank Pelaksana. Proses ini diakhiri dengan penunjukkan mitra usaha oleh Dirjenbun setelah mendapat persetujuan mitra usaha oleh Bank Pelaksana. Terdapat 3 masalah yang harus disepakati oleh Bank Pelaksana yaitu persetujuan
mitra
usaha
dengan
Direktorat
Jenderal
Perkebunan
dan
mengajukan usulan subsidi bunga ke Departemen Keuangan sebagai jasa dalam ikut membantu perekonomian rakyat. Setelah mendapat persetujuan subsidi bunga dari Departemen Keuangan, kemudian melakukan akad kredit dengan mitra usaha dan koperasi petani diikuti dengan realisasi kredit untuk peremajaan kelapa sawit petani plasma. Pada pihak petani plasma, GAPOKTAN dan mitra usaha dilakukan perjanjian kerjasama terutama mekanisme pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit sebagai ikatan kerjasama. Kerjasama ini dibuat sedemikan rupa sehingga implementasinya mampu memenuhi hasil analisis kelembagaan dengan
pendekatan
proses
analisis hirarki.
Dari
faktor
yang
menjadi
pertimbangan utama, kelestarian sumberdaya alam harus bisa dipertahankan karena perannya dominan untuk mencapai kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan yaitu sekitar 38%. Pada level hirarki berikutnya, peranan petani plasma dan pemerintah daerah harus lebih diintesifkan melalui peningkatan kapasitas kinerja kelompok tani dan pembinaan yang terpadu dan sinergis dinas terkait mengingat berkaitan dengan peranan keduanya yang dominan masing-masing sebesar 27%. Terpenuhinya peranan faktor dan aktor tersebut diharapkan kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan mampu memenuhi tujuan yang telah ditetapkan yaitu meningkatkan pendapatan petani dan pendapatan asli daerah (PAD).
132 Agar masing-masing pihak memiliki tanggungjawab maka petani peserta dan mitra usaha mempunyai kewajiban dan hak yang harus dipenuhi selama kerjasama berlangsung. Kewajiban petani peserta antara lain (a) melaksanakan pengelolaan kebun kelapa sawit sesuai standar teknis dengan bimbingan dari mitra usaha dan atau instansi terkait, (b) membayar biaya pengembangan dan management fee sebesar 5% termasuk bunganya setelah tanaman berproduksi, dan (c) menjual semua hasil kebun (TBS) kepada pihak mitra dengan harga sesuai ketentuan yang berlaku dan atau kesepakatan bersama antara mitra usaha dengan petani peserta selama satu periode siklus tanaman. Hak petani peserta antara lain (a) memperoleh bimbingan teknis dan non teknis dari mitra usaha dan atau dinas terkait, (b) memperoleh kredit investasi untuk pengelolaan kebun kelapa sawit maksimal seluas 2 hektar, (c) memperoleh subsidi bunga dari pemerintah, dan (d) memperoleh upah sebagai tenaga kerja saat melaksanakan kegiatan di kebun sandiri dari mitra usaha. Mitra usaha (dalam hal ini PTPN V) sebagai badan usaha komersial harus memiliki beberapa persyaratan sehingga layak diberi hak dan kewajiban serta tanggungjawab dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma. Salah satu tanggungjawab yang dibebankab kepada mitra usaha adalah sebagai penjamin atau avalist dari kridit yang diberikan oleh Bank Pelaksana. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh dari mitra usaha antara lain memiliki 5 M yaitu (a) Money, memiliki modal/asset yang cukup, (b) Man, memiliki sumberdaya manusia yang andal, (c) Method, telah berpengalaman dan mempunyai beragam metodelogi
yang secara teknis bisa diaplikasikan dan
diterima petani peserta, (d) Material, memiliki perangkat lunak dan keras yang andal untuk melaksanakan kegiatan di perkebunan, dan (e) Market, mempunyai akses pemasaran TBS yang luas baik jaringan pemasaran domestik maupun internasional (Hersuroso, 2005). Mitra usaha juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi antara lain (a) melaksanakan pembangunan kebun kelapa sawit sesuai standar yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian cq. Dirjenbun, (b) mengikut sertakan petani peserta dalam membangun kebun, (c) membina secara teknis petani peserta agar mampu melaksanakan kegiatan pengelolaan kebun, (d) membeli TBS petani peserta dengan tingkat harga yang berlaku dan atau kesepakatan antara kedua belah pihak, dan e) sebagai avalist, melaksanakan proses penjaminan dan pengembalian kridit kepada Bank Pelaksana. Sementara itu,
133 hak mitra usaha antara lain (a) memperoleh management fee, dan (b) memperoleh jaminan bahan baku PKS berupa tandan buah segar (TBS) sepenuhnya dari petani peserta selama siklus tanaman menghasilkan. Disamping kesepakatan perjanjian kerjasama, pihak koperasi petani dan mitra usaha juga membentuk Dewan Pengawas (DP) yang ketua dan anggotanya berasal dari perwakilan GAPOKTAN dan mitra usaha. Dewan ini bertugas mengawasi jalannya pembangunan dan pengelolaan kebun kelapa sawit untuk meminimalkan bias dalam pelaksanaan kegiatan. Hal ini penting karena adanya masalah krusial dan sekaligus tantangan dimana pola pikir dan perilaku petani dalam mengalokasikan modal dan sarana produksi lainnya sering tidak sesuai dengan anjuran pihak pembina. Dengan semakin meningkatnya pendapatan petani, mereka berusaha memenuhi kebutuhan rumahtangga petani yang semakin beragam dari pola makan, pakaian dan transportasi. Kondisi ini didorong oleh mudahnya petani mengakses kebutuhan tersebut. Hampir semua rumahtangga petani memiliki sepeda motor, bahkan banyak rumahtangga petani yang memiliki sepeda motor lebih dari 1 unit. Jadi masalah alat transportasi bukan lagi hanya sebagai alat, tetapi sebagai status sosial. Semua kebutuhan tersebut masih mengandalkan hasil sawit sehingga banyak petani yang terjerat hutang, terutama sepeda motor. Kondisi ini merubah alokasi penghasilan rumahtangga dari investasi ke kebun menuju ke pemenuhan pola hidup konsumtif. Skim PRIMATAMA merupakan modifikasi dari skim PIR-TRANS dan Revitalisasi Pertanian (Tabel 29). Perbedaan Skim PIR-TRANS dengan skim PRITAMA antara lain pada fungsi lembaga pendana (bank), pada perjanjian kerjasama antara petani plasma dengan mitra, adanya Dewan Pengawas dan subsidi bunga bagi bank pelaksana. Fungsi bank pelaksana pada skim PIRTRANS adalah sebagai bank penyalur (Channeling) yang hanya menyalurkan kredit dari bank pusat untuk perusahaan inti dan petani. Pada skim PRITAMA fungsi bank sebagai pelaksana (Executing) yaitu memberikan kredit dari dana bank bersangkutan untuk perusahaan inti dan petani plasma. Perjanjian kerjasama antara perusahaan inti (dalam hal ini PT. Perkebunan Nusantara V) dengan petani plasma pada skim PRITAMA mengikuti hasil proses analisis hirarki. Perjanjian kerjasama ini lebih memfokuskan pada kelestarian sumberdaya alam, memberdayakan petani,
mengutamakan
peningkatan pendapatan petani sesuai konsep perkebunan kelapa sawit plasma
134 berkelanjutan. Keterikatan kedua belah pihak dibuat dalam bentuk hak dan kewajiban disertai dengan adanya sanksi jika ada pelanggaran. Sanksi yang dikenakan bagi pihak pelanggar masih dalam pembicaraan, tetapi pada prinsipnya sanksi tersebut tidak merugikan kedua belah pihak melainkan tidak memberi peluang bagi pihak ketiga untuk berpartisipasi dalam kerjasama yang telah dibuat antara perusahaan inti dan petani plasma. Contohnya: pelanggaran yang paling umum adalah penjualan TBS ke PKS non inti, maka sanksinya adalah pihak PKS non inti tidak boleh melewati infrstruktur jalan yang ada di kebun plasma karena dibangun oleh perusahaan inti. Tabel 29. Karakteristik Kerjasama Pihak Terkait Pada Skim PIR-TRANS, Revitalisasi Pertanian dan PRITAMA Variabel Fungsi bank Kerjasama petani-mitra
Dewan Pengawas
Subsidi bunga
PIR-TRANS - Penyalur (Channeling) - Konversi kebun - KUD sebagai wadah organisasi kelompok tani dan menjembatani antara mitra dengan petani - Sertifikat diambil petani setelah cicilan lunas - Mitra sebagai pembina teknis petani plasma - Tidak ada sanksi bagi petani yang tidak memenuhi kewajiban menjual TBS ke PKS mitra, jual kebun ke pihak lain atau sebagai agunan
Jenis skim Revitalisasi Pertanian
- Pelaksana (Executing) - Konversi kebun - KUD sebagai wadah organisasi kelompok tani dan menjembatani antara mitra dengan petani - Sertifikat tidak diambil petani setelah cicilan lunas - Mitra sebagai pembina teknis petani plasma - Sanksi bagi petani yang tidak memenuhi kewajiban menjual TBS ke PKS mitra, menjual kebun ke pihak lain atau sebagai agunan pinjaman. - Tidak ada Dewan - Tidak ada Dewan Pengawas pelaksanaan Pengawas binaan teknis dari mitra pelaksanaan binaan teknis dari mitra - Tidak ada subsidi bunga - Ada subsidi bunga bagi bagi bank pelaksana bank pelaksana
PRITAMA - Pelaksana (Executing) - Konversi kebun - KUD sebagai wadah organisasi kelompok tani dan menjembatani antara mitra dengan petani - Sertifikat tidak diambil petani setelah cicilan lunas - Mitra sebagai pembina teknis petani plasma - Sanksi bagi petani yang tidak memenuhi kewajiban menjual TBS ke PKS mitra, menjual kebun ke pihak lain atau sebagai agunan pinjaman. - Terdapat Dewan Pengawas pelaksanaan binaan teknis dari mitra - Ada subsidi bunga bagi bank pelaksana
Dewan Pengawas merupakan komponen organisasi dalam skim PRITAMA yang tidak ada pada skim PIR-TRANS. Anggota Dewan Pengawas teridiri dari perwakilan petani plasma dan perusahaan inti dengan fungsi utama melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian kerjasama antara perusahaan inti dan petani plasma yang telah disepakati. Dewan inilah yang membuat kriteria sebagai acuan dalam menentukan pelanggaran yang dilakukan baik oleh perusahaan inti maupun petani plasma. Hal ini bercermin dari
135 pengalaman selama satu periode dimana pelanggaran terhadap perjanjian kerjasama dapat dilakukan baik oleh perusahaan inti maupun petani plasma, tetapi tidak ada sanksi yang dikenakan. Kondisi ini memicu pelanggaran yang lebih serius dan berujung pada keretakan hubungan antara perusahaan inti dan petani plasma. Masih terkait dengan perjanjian kerjasama, pada skim PRITAMA sertipikat petani ditahan terus oleh pihak bank untuk meneguhkan keterikatan kedua belah pihak dan juga sebagai jaminan bagi perusahaan inti agar petani menjadi lebih mentaati perjanjian yang telah disepakati. Kebijakan baru dalam penyaluran kredit pada skim PRITAMA adalah adanya subsidi bunga bagi bank pelaksana dan petani plasma sebagai insentif pemerintah dalam memberdayakan masyarakat pedesaan dan perusahaan inti karena telah berjasa dalam membangun kebun kelapa sawit untuk petani. Dengan insentif ini diharapkan adanya peningkatan partisipasi pihak swasta nasional
dalam
memberdayakan
masyarakat
pedesaan
dalam
usaha
mengentaskan kemiskinan. 4.6. Analisis Sistem Dinamis 4.6.1. Simulasi Model Analisis sistem dinamis dilakukan untuk memperoleh model pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan yang menggambarkan proses interaksi antara komponen-komponen biofisik, ekonomi dan sosial serta stakeholders dalam proses produksi serta pengolahan produksi kelapa sawit (TBS) menjadi crude palm oil (CPO). Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, umur ekonomis kelapa sawit yang dibudidayakan pada tanah-tanah masam sekitar 25 tahun (Adiwiganda, 2002). Oleh karena itu maka model yang dibangun di set dalam jangka waktu 25 tahun yaitu sejak tahun 2010 sampai tahun 2035. Mengingat kompleknya permasalahan yang terjadi di lapangan maka model pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan dikelompokkan kedalam (a) sub model biofisik, (b) sub model ekonomi dan (c) sub model sosial. a. Sub Model Biofisik Sub model biofisik pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan merupakan model utama (main model) dari sistem yang dibangun, yang memberikan gambaran pertumbuhan penduduk, perubahan luas lahan dan
136 peningkatan produksi serta dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan lingkungan. Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap sub model ini dicantumkan dalam Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) pada Gambar 19.
+
PENDUDUK
+ LUAS LAHAN
KERUSAKAN LINGKUNGAN
+
T. KERJA
-
+
+
+
+
+ INPUT
JUMLAH TANAMAN
+
MANAJEMEN
+ +
+
DEGRADASI LAHAN
+
+ PRODUKTIVITAS LAHAN
-
+ +
PRODUKTIVITAS TM
+
+ -
PRODUKSI
Gambar 19. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Sub Model Biofisik Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Dari Gambar 19 terlihat bahwa jika penduduk meningkat jumlahnya, akan memberikan tekanan terhadap luas lahan yang semakin menyempit. Tekanan juga terjadi pada kerusakan lingkungan yang semakin intensif karena limbah domestik, residu penggunaan pestisida, herbisida serta pupuk sebagai input produksi kelapa sawit. Selain itu, kerusakan lingkungan berpengaruh langsung terhadap kualitas lahan yang cenderung menurun atau terdegradasi, yang secara langsung akan menurunkan produktivitas lahan. Lebih lanjut, tekanan terhadap kedua variabel ini memberikan pengaruh negatif terhadap produktivitas tanaman menghasilkan yang cenderung menurun. Selain menurunkan produksi, tekanan ini juga memperpendek usia ekonomis kelapa sawit. Hubungan ini disebut building block balancing terhadap produksi kelapa sawit. Sebaliknya,
perbaikan
manajemen
yang
mengarah
ke
teknologi
optimalisasi pemanfaatan lahan dan sarana produksi (input), berdampak positif
137 terhadap peningkatan produktivitas tanaman menghasilkan, yang selanjutnya meningkatkan produksi. Demikian juga tenaga kerja yang memiliki keterampilan semakin
memadai
berpengaruh
positif
terhadap
manajemen
dan
pengoptimalisasian sarana produksi (input). Kondisi ini mampu meningkatkan produktivitas tanaman menghasilkan dan sekaligus produksi kelapa sawit. Bersamaan dengan itu, dengan kemajuan teknologi akan bisa meminimkan dampak negatif terhadap lingkungan sehingga produktivitas lahan terpelihara dan kerusakan lingkungan melalui pencemaran terkendalikan dengan baik. Kondisi ini membentuk hubungan building block reinforcing terhadap produksi kelapa sawit. Berdasarkan diagram sebab-akibat tersebut, dapat dibuat Diagram Alir sub model biofisik kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan (Gambar 20). Terdapat 3 variabel utama (main variable) dalam diagram alir ini yaitu perkembangan penduduk (JPDDK), luas lahan (LH) dan produktivitas tanaman menghasilkan (PRDKTM). Ketiga variabel utama tersebut dikaitkan oleh variabel penghubung (sub variable) yaitu tenaga kerja, input produksi, teknik budidaya (management), daya dukung lingkungan, degradasi lahan, produktivitas lahan serta kebutuhan modal. Keterkaitan variabel-variabel penghubung ini dengan variabel utama menetukan pola produksi kelapa sawit plasma. Sumberdaya manusia (penduduk) yang semakin meningkat jumlahnya dari waktu ke waktu melalui faktor koreksi penambahan penduduk akan meningkatkan jumlah angkatan kerja. Peningkatan ini terkait langsung dengan luas lahan melalui faktor koreksi penambahan luas lahan yang cenderung semakin rendah dari waktu ke waktu karena terbatasnya lahan yang ada. Sedangkan luas lahan terkait dengan produksi melalui faktor laju penambahan produktivitas tanaman menghasilkan yang secara langsung terkait dengan tingkat produktivitas tanaman menghasilkan. Selain luas lahan, variabel pengelolaan (management) dan input produksi juga terkait dengan variabel utama produktivitas tanaman menghasilkan melalui variabel produktivitas lahan. Variabel input produksi terkait dengan produktivitas lahan melalui faktor koreksi input
produksi,
sedangkan
variabel
manajemen
melalui
faktor
koreksi
manajemen. Kedua variabel ini terkait dengan produksi melalui faktor laju penambahan produktivitas tanaman menghasilkan.
138
FKJTK
JTK_1
FKPDDK
FLPLH
JPDDK LPDDK FJTK
FLH
FPDDK
LH
LPLH FSDM
FKL
FKLING
FKKERLING
KERLING
FKDEG
SDM
FLPROD FM
MANAJEMEN
DDLING
KPROD
PRDKTM
FMOD
JPROD LPRDKTM
KEBMODAL
INDEK_HRG PRDVTLHN
INPUTPROD
FINPUT PENDMAS
FPENMAS
PENDMASY
Gambar 20. Diagram Alir Sub Model Biofisik Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar b. Sub Model Ekonomi Sub model ekonomi menggambarkan keterkaitan variabel biaya produksi dan pengolahan produksi kelapa sawit dengan pasar, tenaga kerja, subsidi input, regulasi, pendapatan, pajak dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tercermin pada Gambar 21 yaitu Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) dan Gambar 22 Diagram Alir sub model ekonomi pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan. Tergambarkan bahwa regulasi akan mempengaruhi subsidi input produksi, yang selanjutnya mempengaruhi laju pertambahan biaya produksi dan pengolahan produksi kelapa sawit. Selain itu, regulasi mempengaruhi tingkat harga produksi, yang selanjutnya mempengaruhi penerimaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam nuansa otonomi daerah, regulasi diharapkan menghasilkan paket kebijakan yang berpihak kepada kepentingan petani seperti harga sarana
139 produksi dan TBS yang transparan. Selama ini penentuan harga harga TBS lebih didominasi oleh pihak Perusahaan Inti terutama dalam penetapan rendemen minyak yang sangat berpengaruh terhadap harga akhir TBS petani. Kondisi ini merangsang petani untuk menjual TBS ke PKS non inti karena harganya lebih tinggi dan dibayar langsung secara tunai (cash).
+ + REGULASI INFRASTRUKTUR
STRUKTUR PASAR
+ +
-
-
+ PAD
SUBSIDI
-
-
PAJAK
BIAYA INPUT PRODUKSI
+
KUALITAS PRODUK
+ -
-
+
-
BIAYA PEMASARAN
+ +
+
-
HARGA PRODUK
PENDAPATAN
JUMLAH PRODUK
+ +
Gambar 21. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Sub Model Ekonomi Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Kasus di lokasi penelitian dimana areal kebun plasma lebih luas dari pada areal kebun inti menyebabkan tidak beroperasinya PKS secara kontinyu dan merugikan Perusahaan Inti sendiri. Merespon kondisi ini, pihak PTPN V sejak tahun 2005 sudah mengambil langkah langkah positif dan transparan dalam penentuan harga TBS dan juga sistem pembayarannya yang menunda waktu bayar TBS 1 minggu sejak diterima PKS Inti. Infrastruktur pasar mempengaruhi struktur pasar, mempengaruhi efisiensi dan biaya pemasaran, selanjutnya
mempengaruhi
harga
produk
dan
kemudian
penerimaan
masyarakat. Kualitas produksi dipengaruhi oleh kualitas bahan produksi dan
140 jumlah produksi, yang seterusnya mempengaruhi tingkat harga produksi dan kemudian penerimaan masyarakat.
FINFSTR IFSTR STRKT_PSR
REGULASI
FBIAYA
FIFS
FFIN
FRLPBYPROD IRHGPROD PNRMN_PETANI
FBI
PAD
FPAD
JPROD
IPJK
PAJAK
FPEN FKLPBYPROD
BIAYA_PMSRN
FKBYPROD
LPBYPROD
BYPROD
PDPT_PETAN
FBP BBUDDY FBUDDY
FKEU FKBUDDY
Gambar 22. Diagram Alir Sub Model Ekonomi Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Di lain pihak, penerimaan masyarakat yang merupakan total output mempengaruhi pendapatan masyarakat yaitu penerimaan bersih setelah dikurangi biaya produksi. Pendapatan masyarakat mempangaruhi tingkat penyetoran pajak kepada pemerintah antara lain pajak bumi bangunan, pajak barang mewah (alat transportasi, elektronik) dan pajak penambahan nilai. Peningkatan pajak meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang kemudian digunakan
untuk
melaksanakan
pembangunan
antara
lain
perbaikan
infrastruktur pasar, transportasi, pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya. c. Sub Model Sosial Selain dampak fisik dan ekonomi, kehadiran perkebunan kelapa sawit juga berdampak terhadap kondisi sosial masyarakat di lokasi perkebunan. Kondisi sosial ini disajikan dalam sub model sosial perkebunan kelapa sawit
141 plasma berkelanjutan seperti pada Gambar 23 yaitu Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) dan Gambar 24 yaitu Diagram Alir sub model sosial pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan.
+ JUMLAH PRODUK
-
KONTINUITAS KERUSAKAN LINGKUNGAN
+
PENDAPATAN MASYARAKAT
+
KUALITAS PRODUKSI
KELEMBAGAAN
+ + +
KUALITAS SDM
+
+
+
TENAGA KERJA
+ REGULAS
+
KAPASITAS INDUSTRI
+
+ LIMBAH INDUSTRI
TEKNOLOGI
+
+
PERMODALAN
+ +
-
Gambar 23. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Sub Model Sosial Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Gambar tersebut dapat menjelaskan hubungan antara variabel kapasitas industri pengolahan produksi kelapa sawit dengan tenaga kerja, kualitas sumberdaya manusia, kelembagaan, teknologi pengolahan produksi, kontinuitas produksi, produksi limbah dan kerusakan lingkungan. Pendidikan masyarakat membentuk hubungan building block reinforcing terhadap kapasitas industri. Pendidikan masyarakt mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia dan perbaikan teknologi pengolahan produksi dan selanjutnya menurunkan emisi limbah serta tingkat kerusakan lingkungan. Demikian juga kelembagaan,
142 mempengaruhi laju peningkatan kapasitas industri bersama dengan jumlah produksi kelapa sawit.
PENDMASY IRGTK
ITKIND
TK_2
FKON
FKLTS_SDM_1
KONTINUITAS FKUL
JPROD FKPIND
KUALITAS TEKNOLOGI_1 LPIND FPIND
KIND
FTIME FK
FKLP
FJL
KELEMBAGAAN
JML_LIMBAH KERLING_1
FLIMBAH MODAL_1 FTEK
FPTEK FP
Gambar 24.
IRMOIND
Diagram Alir Sub Model Sosial Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Sebaliknya, limbah industri membentuk hubungan building block balancing terhadap kapasitas industri. Peningkatan limbah industri meningkatkan kerusakan lingkungan dan degradasi lahan, yang selanjutnya menurunkan produktivitas lahan dan tingkat produksi kelapa sawit. Adanya perbaikan teknologi akan mampu menjaga keseimbangan antara kedua mekanisme tersebut. Teknologi tersebut antara lain aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit sebagai pupuk organik setelah diberi perlakuan penurunan BOD sampai di bawah 3500 mg/ltr dan teknik pemberian pupuk yang dibenam ke dalam tanah untuk mengurangi kehilangan pupuk melalui penguapan, aliran permukaan dan erosi. Pemanfaatan pupuk majemuk padat slow release yang dibenamkan kedalam tanah juga menurunkan pencemaran lingkungan secara nyata.
143 Simulasi model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit merupakan penggabungan Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) sub model biofisik, ekonomi dan sosial (Gambar 25) dan Diagram Alir sub model biofisik, ekonomi dan sosial (Gambar 26)
+
+
PENDUDUK
+
TENAGA KERJA_1
+
KERUSAKAN LINGKUNGAN_1
LUAS LAHAN
-
+ +
MANAJEMEN
+
JUMLAH TANAMAN
+
+ + +
+
DEGRADASI LAHAN
+ PRODUKTIVITAS LAHAN
INPUT
+
-
+
+
+ PRODUKTIVITAS TANAMAN
PENDAPATAN PETANI
+
+
+
JUMLAH PRODUKSI
+
+
PAJAK
+
+
+ +
-
+
KAPASITAS INDUSTRI
-
KONTINUI TAS
+ PAD
+
+ KERUSAKAN LINGKUNGAN_2
-
LIMBAH INDUSTRI
+
INFRASTRUKTUR
-
STRUKTUR PASAR
+
+
-
KUALITAS SDM
+
REGULASI
KUALITAS PRODUKSI
-
+
+
SUBSIDI
+ KELEMBAGA AN
-
-
+
+
-
+ + +
-
BIAYA PRODUKSI
TENAGA KERJA_2
+ BIAYA PEMASARAN
+
+
TEKNOLO GI
+
+
PENDAPATAN MASYARAKAT
+
HARGA PRODUK
+ +
Gambar 25. Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Sei Pagar
144
FKJTK
JTK_1
FLPLH
FKPDDK
JPDDK LPDDK FJTK
FLH
FPDDK
LPLH
LH FKL
FKLING
FKKERLING
KERLING
FSDM FKDEG SDM
FLPROD FMMANAJEMEN
DDLING KPROD
PRDKTM
FMOD
JPROD LPRDKTM
KEBMODAL
INDEK_HRG PRDVTLHN
INPUTPROD
FINPUT PENDMAS FPENMAS
PENDMASY IRGTK ITKIND
FINFSTR
TK_2
FKLTS_SDM_1FKON
IFSTR STRKT_PSR
KONTINUITAS
PAD REGULASI
FIFS
FFIN
FPAD
FKUL FBIAYA FBI
FKPIND
KUALITAS TEKNOLOGI_1
IRHGPROD FRLPBYPROD IPJK PNRMN_PETANI PAJAK
LPIND
FPEN
FPIND
BIAYA_PMSRN KIND
FTIME FK
FKLPBYPROD
FJL
FKLP KELEMBAGAAN
JML_LIMBAH KERLING_1 FLIMBAH
LPBYPROD
FKBYPROD BYPROD
FBP PDPT_PETANI BBUDDY FBUDDY
FKEU
FKBUDDY
MODAL_1 FTEK
FPTEK FP
IRMOIND
Gambar 26. Diagram Alir Pengelolaan Kebun Kelapa sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
145 4.6.2. Validasi Model Setelah simulasi, dilakukan proses analisis data simulasi pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan yang hasilnya dimunculkan dalam bentuk model persamaan dari setiap variabel pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan (Lampiran 16). Langkah ini diikuti dengan melakukan validasi model untuk merepresentasikan kondisi sebenarnya atau kondisi nyata di lapangan (Muhammadi et al., 2001). Uji validitas ini meliputi validitas struktur dan validitas kinerja serta uji kestabilan dari model yang dibangun. 4.6.2.1. Uji Validitas Struktur Pengujian validasi struktur model bertujuan untuk melihat kesesuaian struktur model dengan perilaku sistem pada dunia nyata (Hartrisari, 2007). Pengujian ini dilakukan terhadap model utama (main model) yaitu variabel produksi tandan buah segar (TBS) pada sub model biofisik pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan. Pola produksi kelapa sawit dipengaruhi oleh luas lahan, teknologi atau manajemen dari sumberdaya manusia, masukkan (input) terutama pupuk, sifat genetik dari tanaman itu sendiri dan produktivitas lahan yang berkaitan dengan daya dukung lingkungan. Lahan dengan sifat-sifat kimia, fisika dan biloginya merupakan variabel penentu terhadap produksi kelapa sawit dimana bersama dengan faktor daya dukung lainnya menentukan pola produksi suatu tanaman. Sebagai media tumbuh, aplikasi manajemen yang diterapkan seperti: pemupukan, pengendalian hama/penyakit, pengendalian gulma semuanya diberikan melalui lahan. Dengan demikian, sifat-sifat tanah, terutama yang berkaitan dengan kesesuaian lahan sangat menentukan tingkat efektivitas dari manajemen yang diaplikasikan. Pada tingkat manajemen sama akan memberikan hasil TBS berbeda jika diaplikasikan pada tingkat kesesuaian lahan berbeda atau pada lahan dengan tingkat produktivitas berbeda. Sifat genetik tanaman adalah faktor bawaan (inherent) dari tanaman itu sendiri yang mempengaruhi produksi TBS. Dengan kemajuan teknologi pemuliaan, saat ini telah diketemukan satu varietas kelapa sawit unggul yang disebut Varietas LaMe. Varietas ini bisa ditanam sebanyak 180 pohon/hektar, sedangkan varietas yang ditanam saat ini populasinya lebih rendah sekitar 130 pohon/hektar.
Dengan keunggulan tersebut maka potensi produksinya juga
lebih tinggi yaitu antara 22,5-30,6 ton TBS/ha/tahun, lebih tinggi sekitar 34% dari
146 varietas saat ini antara 17,7-22.9 ton TBS/ha/tahun (Harahap et al., 2006). Berbeda dengan tanaman semusim, pada kasus komoditas kelapa sawit yang tergolong tanaman tahunan, selain faktor-faktor tersebut, pola produksi juga ditentukan oleh umur tanaman. Secara umum, pada tahap awal produksi rendah, diikuti pertumbuhan produksi cepat kemudian melambat lagi dan diikuti penurunan produksi karena faktor usia tanaman. Pada banyak kasus, umur produktif kelapa sawit yang dibudidayakan pada tanah masam mencapai sekitar 25 tahun dan sesudahnya perlu peremajaan karena pertimbangan teknis maupun ekonomis (Adiwiganda, 2002; Pahan, 2006). Kombinasi antara produktivitas lahan yang termasuk S2 (cukup sesuai), sifat genetik dan teknologi pengelolaan, pola produksi kelapa sawit disimulasikan mengikuti bentuk s-curve, yang oleh Meadows (1987) disebut pola limit to growth (Gambar 27,Tabel 30). Rata-Rata Produksi Tandan Buah Segar (TBS)
TBS (T/Ha/Tahun)
30
20
10
0 2010
2015
2020
2025
2030
2035
Tahun
Gambar 27. Prediksi Pola Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Terlihat bahwa kelapa sawit mulai berproduksi pada tahun ke empat, diikuti pertumbuhan produksi cepat pada usia muda (4-10 tahun), pada usia selanjutnya (11-15 tahun) laju pertumbuhan produksi lambat kemudian pada usia selanjutnya (16-25 tahun) produksi menurun. Produksi terendah pada awal tahun yaitu 14,82 ton TBS/ha/tahun dan tertinggi pada umur tanaman 12 tahun sebanyak 35,21 ton TBS/ha/tahun. Dengan kisaran produksi tersebut, rata-rata
147 tingkat produksi adalah 25,83 ton TBS/ha/tahun. Tingkat produksi ini lebih tinggi dari hasil penelitian Winarna (2007) dimana tingkat produksi TBS pada lahan gambut saprik berkisar 23,2 ton TBS/ha/tahun. Tabel 30. Prediksi Rata-Rata Tingkat Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Varietas LaMe Di Kebun Plasma Sei Pagar No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 Rata-rata
Produksi TBS (Ton/Ha/Tahun) 0 0 0 14,82 19,33 22,68 25,52 28,06 30,24 31,98 33,65 34,79 35,21 34,88 34,28 32,91 31,90 30,14 28,33 26,80 25,33 23,81 21,67 19,46 17,20 17,30 25.83
Walaupun produksi TBS simulasi lebih tinggi dari hasil kelapa sawit plasma, kecenderungan produksi menunjukkan kemiripan dengan produksi TBS petani plasma di lapangan saat ini yang umur tanaman kelapa sawit antara 1722 tahun. Pada umur tanaman kelapa sawit 17 tahun, rata-rata produksi TBS petani lebih rendah yaitu sekitar 24,00 ton TBS/ha/tahun dibandingkan dengan hasil simulasi sebesar 30,14 ton TBS/ha/tahun. Pada umur kelapa sawit 22
148 tahun, produksi petani sebesar 21,00 ton TBS/ha/tahun, lebih rendah dari hasil simulasi sebesar 21,67 ton TBS/ha/tahun. Secara umum, rata-rata produktivitas kelapa sawit plasma adalah 22,70 ton TBS/ha/tahun, sedangkan rata-rata produksi simulasi sebesar 25,83 ton TBS/ha/tahun, lebih tinggi sekitar 13,79%. Peningkatan produksi simulasi ini untuk mengantisipasi peningkatan tingkat kesejahteraan sosial ekonomi petani pada periode mendatang yang cenderung meningkat akibat inflasi dan peningkatan kebutuhan hidup. 4.6.2.2. Uji Validitas Kinerja Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dibangun layak secara akademik dan juga untuk menghindari model yang salah. Cara pengujian yang umum dilakukan adalah dengan memvalidasi output model menggunakan uji statistik yang dikembangkan oleh Muhammadi et al. (2001) yaitu uji statistik penyimpangan antara nilai rata-rata simulasi terhadap aktual (absolut mean error, AME) dan uji penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap aktual (absolut variation error, AVE) dengan kisaran nilai maksimal 10%. Lebih lanjut, dikatakan bahwa uji validitas kinerja dapat dilakukan terhadap satu atau lebih variabel yang dominan baik pada main model maupun co model. Berdasarkan hal tersebut dan ketersediaan data yang ada, maka dipilih perkembangan jumlah penduduk aktual dan simulasi di lokasi penelitian selama 5 tahun terakhir yaitu tahun 20032007 sebagai variabel untuk pengujian validasi kinerja (Tabel 31). Tabel 31. Perbandingan Jumlah Penduduk Aktual dan Hasil Simulasi Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar, 2003-2007 No
Jumlah Penduduk
Tahun Aktual
Simulasi
1
2003
11 715
11 654
2
2004
11 943
11 857
3
2005
12 182
12 063
4
2006
12 413
12 273
5
2007
13 643
12 487
Adapun rumus untuk menghitung AME dan AVE adalah sebagai berikut: AME
= (Si – Ai)/Ai X 100%
AVE
= (Ss – Sa)/Sa X 100%
149 Dimana: Si = Si/N ; Ai = Ai/N ; Ss = ((Si – Si)2/N) ; Sa = ((Ai – Ai)2/N) ;
S = nilai simulasi A = nilai aktual Ss = deviasi nilai aktual Sa = deviasi nilai simulasi N = interval waktu pengamatan
Aplikasi rumus AME dan AVE terhadap jumlah dan perkembangan penduduk antara aktual dan hasil simulasi tersebut diperoleh nilai AME berkisar antara 0,55% sampai 1,24% dan nilai AVE berkisar antara 1,06% sampai 5,02%. Kedua kisaran nilai tersebut masih dibawah nilai batas yang diperbolehkan yaitu 10% sehingga model yang dibangun memiliki kinerja yang baik, relatif tepat dan dapat diterima secara ilimiah. Berdasarkan jumlah dan perkembangan penduduk selama 5 tahun tersebut dilakukan estimasi perkembangan penduduk aktual dan simulasi untuk kurun waktu 25 tahun yaitu dari tahun 2010 sampai 2035 (Gambar 28). Terlihat adanya kemiripan pola perkembangan jumlah penduduk antara aktual dengan simulasi. Aktualnya, rata-rata pertumbuhan penduduk di lokasi penelitian adalah 2,0 persen, simulasi sistem sebesar 1,71 persen. Ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk perlu dikendalikan secara lebih intensif sehingga tekanannya terhadap penggunaan lahan bisa lebih rendah.
Laju Perkembangan Penduduk
Jumlah Pneduduk
25000
20000 Nyata Simulasi
15000
10000 2010
2015
2020
2025
2030
2035
Tahun
Gambar 28. Estimasi Perkembangan Jumlah Penduduk Aktual dan Simulasi Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar
150 4.6.2.3. Uji Kestabilan Model Uji ini dilakukan untuk mengetahui kestabilan model dari dimensi waktu dengan cara membandingkan hasil simulasi main model dengan co modelnya (Muhammadi et al., 2001). Jika hasil simulasi dari variabel yang dibandingkan menunjukkan kemiripan pola maka model yang dikembangkan termasuk kategori stabil. Dalam penelitian ini, uji kestabilan model dilakukan dengan cara membandingkan hasil simulasi
produktivitas lahan, kerusakan lingkungan
karena degradasi lahan, pendapatan petani dan kualitas sumberdaya manusia akibat pemanfaatan untuk perkebunan kelapa sawit. Secara umum, hasil simulasi memperlihatkan semua variabel yang dibandingkan memiliki pola yang mirip mengikuti pola s-curve. Hal ini merupakan pola
umum
dari
pemanfaatan
pertanian/perkebunan
sumberdaya
lahan
untuk
(Meadows,1987). Namun demikian, curve
kegiatan variabel
produktivitas lahan, kerusakan lingkungan akibat degradasi lahan dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) memperlihatkan pola yang
mirip. Variabel
produktivitas lahan meningkat cepat pada periode awal, diikuti peningkatan yang lambat dan pada periode akhir produktivitas lahan cenderung menurun (Gambar 29). Sementara curve variabel pendapatan petani terlihat adanya penurunan pendapatan yang lebih tajam pada periode umur tanaman melewati 20 tahun. Produktivitas Lahan
Produktivitas (Ton TBS/Ha/Thn)
60
50
40
30
20
10 2010
2015
2020
2025
2030
2035
Tahun
Gambar 29. Prediksi Pola Produktivitas Lahan pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
151 Pada kasus ini, pola produktivitas lahan merupakan kombinasi faktor eksternal (manajemen yang diterapkan) dengan faktor internal (sifat-sifat tanah dan iklim). Aplikasi manajemen yang tepat terutama pemupukan yang sesuai dengan konsep 5T (tepat jenis, tepat dosis, tepat waktu pemberian, tepat cara pemberian dan tepat frekuensi pemberian) akan bisa mempertahankan tingkat produktivitas lahan. Hal ini erat kaitannya dengan keseimbangan dinamika unsur hara di dalam tanah antara unsur yang masuk ke dalam tanah dan unsur yang keluar dari dalam tanah. Sifat-sifat tanah sebagai media pertumbuhan kelapa sawit yang umum merupakan lahan marginal dengan ketersediaan unsur hara rendah dan banyaknya kebutuhan unsur kelapa sawit menyebabkan tambahan unsur hara dari luar sistem tanah-tanaman menjadi vital untuk menjaga produktivitas lahan
Kerusakan Lingkungan Karena Degradasi Lahan 0.09
Degradasi Lahan (%)
0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 2010
2015
2020
2025
2030
2035
Tahun
Gambar 30. Prediksi Kerusakan Lingkungan Karena Degradasi Lahan pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan di Sei Pagar Terpeliharanya produktivitas lahan diperkuat oleh pola kerusakan lingkungan akibat degradasi lahan (Gambar 30). Dari kurva terlihat adanya peningkatan degradasi lahan rendah sekitar 0,03-0,08% yang disebabkan oleh kondisi topografi dan penerapan teknologi pengelolaan tanaman. Topografi lokasi sebagian besar datar dengan lereng 0-5% dan hanya sebagian kecil berombak dengan lereng antara 5-8%. Kondisi topografi ini dan sistem perakan tanaman kelapa sawit yang rapat sampai ke permukaan tanah mampu menahan
152 laju aliran permukaan pada waktu musim hujan maupun banjir. Pada kondisi seperti di lokasi penelitian, tanaman kelapa sawit memenuhi syarat sebagai tanaman konservasi karena memiliki kemampuan merehabilitasi tanah dan memperbaiki tata air (Harahap, 2007). Dengan demikian, aplikasi pemupukan konsep 5T akan efektif menjaga produktivitas lahan dan meningkatkan produksi kelapa sawit. Pada kondisi topografi yang berlereng lebih terjal (bergelombang sampai berbukit) maka produktivitas lahan cenderung menurun lebih cepat karena tingginya erosi dan aliran permukaan. Laju erosi yang tinggi ini merupakan faktor utama dari penurunan kualitas lahan selain pencemaran air dan tanah akibat penggunaan sarana produksi (pupuk dan pestisida). Hal ini seperti dilaporkan oleh Wigena et al. (2006) yang melakukan penelitian pada kebun kelapa sawit di Desa Tanjung Benuang, Jambi, bahwa kerusakan lingkungan akibat degradasi lahan terjadi lebih intensif dan menurunkan produktivitas lahan secara nyata. Penurunan produktivitas lahan yang kecil tersebut juga berkaitan dengan pola penurunan daya dukung lingkungan yang
Daya Dukung Lingkungan (%)
rendah (Gambar 31).
0.9995
0.9990
0.9985
0.9980 2010
2015
2020
2025
2030
2035
Tahun
Gambar 31. Prediksi Pola Daya Dukung Lingkungan pada Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Dengan asumsi nilai daya dukung lingkungan sebesar 1,0 sebagai nilai yang menunjukkan daya dukung lingkungan yang terbaik (100%) maka daya dukung lingkungan di kebun plasma kelapa sawit Sei Pagar masih tergolong baik. Penurunan daya dukung lingkungan berkisar antara 0,002 – 0,01% atau
153 relatif tidak menurun selama pemanfaatan lahan untuk kebun kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh kualitas lahan, air tanah permukaan dan udara yang masih mampu mendukung pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Hasil analisis fisika dan kimia tanah (Lampiran 17 dan Lampiran 18) adalah faktor lainnya yang mendukung kondisi produktivitas lahan tersebut. Terlihat adanya beberapa parameter yang kurang sesuai untuk kebutuhan hidup tanaman kelapa sawit yaitu pH yang masam (<4,5), kejenuhan basa rendah (<24%) dan KTK rendah (<16 me/100 grm)(Djaenudin et al., 2003). Selama penelitian, dilakukan wawancara dengan petani di lokasi penelitian dimana hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar (80%) petani menyatakan kualitas
lahan
agak/sedikit
menurun
dengan
berjalannya
waktu
akibat
pemanfaatan untuk kegiatan perkebunan, sebagian kecil (15%) menyatakan menurun dan 5% menyatakan kualitas lahan tetap (Gambar 32). Status Kualitas Lahan 90 80
Persentase petani
70 60 Tetap
50
Agak menurun
40
Menurun
30 20 10 0 1
Kualitas lahan
Gambar 32. Pendapat Petani terhadap Perubahan Kualitas Lahan yang Dimanfaatkan untuk Perkebunan Kelapa Sawit Di Kebun Plasma Sei Pagar Beragamnya jawaban petani ini erat kaitannya dengan tingkat penerapan teknologi pengelolaan. Penerapan teknologi pengelolaan yang baik umumnya bisa menjaga kualitas lahan dan sebaliknya aplikasi teknologi yang kurang baik menyebabkan mengindikasikan
penurunan
kualitas
pemahaman
lahan.
petani
Hasil
wawancara
terhadap
pentingnya
ini
juga
peranan
pemeliharaan tanaman yang sesuai standar anjuran terutama pemupukan masih
154 bervariasi. Dikaitkan dengan kelestarian sumberdaya alam dan target produksi, perilaku petani masih memerlukan bimbingan dan pembinaan yang lebih intensif agar pemahaman tersebut semakin meningkat. Keharmonisan kinerja antara instansi terkait menjadi penting dalam rangka membina petani menyangkut aspek teknis, ekonomi dan sosial. Lebih lanjut, infrastruktur dan sistem pengadaan sarana produksi agar tepat waktu dan jenis pupuk yang dibutuhkan oleh kelapa sawit perlu diperbaiki untuk mencapai kondisi berkelanjutan. Selain hasil analisa tanah, hasil analisis kimia air tanah permukaan menunjukkan adanya perubahan yang tidak nyata terhadap kebutuhan tanaman (Lampiran 17). Nilai pH masih baik (>4,7), kadar kation (K, Ca, Mg,Na) masingmasing 0,01-0,02 me/ltr air, 0,02-0,07 me/ltr air 0,01-0,02 me/ltr air dan 0,020,08 me/ltr air. Kadar anion ( SO4, HCO3, NO3) juga memperlihatkan konsentrasi yang mirip yaitu 0,01-0,02 me/ltr air, 0,02-0,07 me/ltr air dan 0,01-0,02 me/ltr air. Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa semua petani menilai kualitas air dan udara tetap (Gambar 33). Status Kualitas Air dan Udara 120
Persentase petani
100
80 Air
60
Udara
40
20
0 1
Gambar 33. Pendapat Petani terhadap Perubahan Kualitas Air Permukaan dan Udara yang Dimanfaatkan untuk Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Di Sei Pagar. Respon petani terhadap kualitas air ini kemungkinan berkaitan dengan pemanfaatan air permukaan hanya untuk tanaman, sedangkan untuk kegiatan rumahtangga petani memakai air tanah dengan membuat sumur bor. Sementara itu, terhadap kualitas udara mungkin berkaitan dengan kondisi penutupan lahan
155 yang sudah rapat oleh kanopi kelapa sawit dan jauhnya tempat tinggal petani dari lokasi pabrik pengolahan kelapa sawit sehingga tidak kena pengaruh aktivitas pabrik kelapa sawit. Berkaitan dengan daya dukung lingkungan, limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) bisa memberikan kontribusi nyata terhadap penurunan produktivitas lahan, lebih-lebih limbah cair PKS di lokasi penelitian dipakai sebagai sumber bahan pembaik tanah ataupun pupuk organik yaitu system Land Application (LA). Untuk melihat hal tersebut, dilakukan analisis kimia dan biologi contoh limbah cair PKS dengan mengambil contoh pada kolam input LA (Lampiran 19, Tabel 32). Tabel 32. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sifat-Sifat Kimia dan Biologi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar Parameter
BOD (mg/l) Fe (mg/l) Al (mg/l) Cu (mg/l) Pb (mg/l) Cd (mg/l) Co (mg/l) Hg (ppb) Minyak dan lemak (mg/l)
Bakumutu 3500 0,3 0,2 1,0 3,0 0,005 0,1 0,05 3000
Nilai Pengukuran contoh 2348 0.10 Td 0,00 1,12 0,00 0,04 Ttd 770
Keterangan: ttd = tidak terukur
Beberapa parameter yang diukur nilainya di bawah NAB seperti BOD sebesar 2348 mg/ltr, minyak dan lemak 770 mg/ltr. Demikian juga dengan konsentrasi logam seperti Fe, Al, Cu, Pb, Cd, Co dan Hg nilainya di bawah NAB. Ini menunjukkan bahwa
limbah cair PKS yang diaplikasikan sebagai bahan
pembaik tanah/pupuk organik sudah memenuhi standar kualitas, baik secara kimia maupun biologi. Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk organik memberikan peluang untuk mengurangi kebutuhan pupuk anorganik baik pupuk tunggal (Urea, SP-36, KCl, dolomit) maupun pupuk majemuk (NPK). Hal ini juga membantu petani dalam meminimalkan biaya produksi untuk pembelian pupuk anorganik yang harganya semakin mahal. Di pihak lain, terbatasnya produksi limbah cair dan lamanya waktu yang diperlukan untuk fermentasi limbah cair segar sampai siap
diaplikasikan ke tanaman
menjadi kendala dalam
memproduksi pupuk organik limbah cair. Sampai saat ini, pupuk organik limbah
156 cair baru bisa diaplikasikan pada luasan pertanaman terbatas terutama pada areal kebun inti saja. Dilihat dari variabel-variabel yang berkaitan dengan lahan, produktivitas lahan untuk tanaman kelapa sawit di lokasi penelitian masih tergolong baik. Tingkat kesesuaian lahan termasuk kelas S2 (cukup sesuai) dengan tingkat produksi rata-rata sebesar 22,04 ton TBS/ha/tahun. Selain itu, analisis contoh daun juga menunjukkan kadar unsur hara di dalam tanah yang sebagian besar masih mampu memenuhi kebutuhan tanaman (Lampiran 20, Tabel 33). Tabel 33. Kadar Beberapa Unsur Hara Contoh Daun Kelapa Sawit Plasma Di Kebun Sei Pagar No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis unsur hara Nitrogen (%) Phosphor (%) Kalium (%) Magnesium (%) Kalsium (%) Sulfur (%)
Nilai Bakumutu* Pengukuran 2,50 2,51-2,73 0,15 0,15 1,00 0,5 0,24 0,22-0,28 0,60 0,77-0,99 0,22 0,13-0,15
Status Baik Baik Defisien Baik Baik Defisien
Keterangan: * Sumber: Fairhurst (2002)
Kadar unsur hara makro (N, P, Ca, dan Mg) masih dalam konsentrasi yang memenuhi kebutuhan tanaman, sementara itu K dan S dibawah kebutuhan tanaman. Hal ini berkaitan dengan tingkat kebutuhan tanaman terhadap kalium yang melebihi unsur hara lainnya sehingga kekurangan unsur kalium merupakan gejala umum dari tanaman kelapa sawit. Melihat gejala ini, usaha yang banyak dilakukan saat ini adalah dengan mengembalikan tandan buah kosong ke areal kebun sebagai sumber utama kalium (Fairhust, 2002). Sementara itu, kadar unsur hara mikro kelihatannya masih memenuhi kebutuhan tanaman. Secara ekonomi penerimaan dan pendapatan petani kelapa sawit plasma menujukkan pola yang mirip dengan pola variabel produksi tandan buah segar tanaman yang meningkat cepat di awal periode, diikuti dengan peningkatan melambat dan menurun di akhir periode (Gambar 34). Hal ini memang logis karena penerimaan petani diperoleh dari jumlah panen TBS dikalikan dengan harga satuan
TBS. Pendapatan petani diperoleh dengan cara mengurangi
penerimaan biaya produksi, biaya pemasaran dan biaya-biaya lainnya (biaya perbaikan jalan, iuran peribadatan, biaya timbangan dan biaya keamanan).
157 Biaya Produksi (BYPROD), Penerimaan (PNRMN) dan Pendapatan (PDPT) Petani 50,000,000 2
2
40,000,000 2
1 30,000,000
Rp/Ha/Tahun
1
2
1
1
2 1
20,000,000
2 10,000,000
1
3
3
3
3
2,015
2,020
3
3
PDPT_PETANI PNRMN_PETANI BYPROD
3
02
-10,000,000 1 2,010
2,025
2,030
2,035
Tahun
Gambar 34. Prediksi Pola Biaya Produksi, Penerimaan dan Pendapatan Petani pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Hal yang menarik adalah adanya sedikit perbedaan antara pola produksi TBS dengan produktivitas lahan disebabkan oleh tidak adanya dominasi alamiah faktor internal pada variabel produktivitas lahan. Jadi sifat-sifat bawaan tanah (inherent soil properties) sudah berinteraksi dengan faktor lainnya seperti iklim dan manajemen membentuk pola produktivitas lahan yang agak menurun pada periode akhir siklus tanaman kelapa sawit. Produksi TBS merupakan fungsi dari interkasi faktor eksternal (pengelolaan dan sifat-sifat lahan) dengan sifat genetik tanaman. Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan dimana produksinya sangat dipengaruhi oleh umur tanaman yang polanya meningkat pada umur tanaman muda, diikuti dengan peningkatan produksi lambat dan kemudian menurun pada umur tanaman tua karena faktor usia. Secara ekonomis, umur kelapa sawit yang sudah tua (melebihi 25 tahun) sudah tidak layak dan perlu diremajakan . Kelapa sawit merupakan komoditas global sehingga pengelolaannya dilakukan dengan penerapan agribisnis dengan skala ekonomi minimal 50006000 hektar/unit usaha. Hal ini memerlukan biaya produksi yang besar terutama
158 pada awal periode dimana petani tidak mungkin untuk membiayai sendiri. Solusinya adalah pinjaman berjangka dari bank negara/swasta nasional dengan tingkat suku bunga tertentu. Adanya pengaruh tingkat inflasi dan faktor ekonomi lainnya menyebabkan meningkatnya modal kerja yang dibutuhkan untuk pengelolaan kebun kelapa sawit yang memenuhi standar yang ditetapkan. Modal kerja dipakai untuk biaya produksi terutama di periode awal tanam sampai tanaman mulai menghasilkan (sekitar 3 tahun). Dengan asumsi rata-rata tingkat produksi TBS yang ingin dicapai sebesar 25,83 ton TBS/ha/tahun, kebutuhan modal kerja untuk operasional 3 tahun tersebut sekitar Rp. 22 833 500/ha. Jumlah biaya ini sedikit lebih tinggi dari pola Program Revitalisasi Perkebunan Kelapa Sawit yang dirancang oleh Departemen Pertanian Tahun 2007 sebesar Rp. 22 000 000/ha (Ditjenbun, 2007). Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan inflasi dan harga produk kelapa sawit terutama TBS yang cenderung meningkat akhir-akhir ini. Setelah
periode
awal
tersebut,
biaya
produksi
memperlihatkan
peningkatan dengan meningkatnya umur kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya upah buruh yang menyangkut upah pemeliharaan tanaman (pemangkasan pelepah daun, pengendalian gulma dan hama/penyakit
dan
pemupukan), upah panen dan biaya transportasi dari kebun ke PKS. Sampai umur kelapa sawit 25 tahun, biaya produksi terus meningkat terutama upah panen karena panen semakin sulit dilakukan. Pada beberapa kasus, kelapa sawit perlu diremajakan walaupun masih produktif karena biaya produksi tinggi dan secara teknis panen sulit dilakukan. Dari pola pendapatan, diperoleh rata-rata pendapatan petani sebesar Rp. 22 859 950/ha/tahun atau sebesar Rp. 1 904 995/ha/bulan dengan laju pertumbuhan pendapatan rata-rata sebesar 3,35% (Tabel 34). Dengan kepemilikan lahan seluas 2,0 hektar/kk maka pendapatan petani menjadi Rp. 45 719 900/tahun. Pendapatan masyarakat di sekitar kebun rata-rata sebesar Rp. 16 845 025/tahun. Tingkat pendapatan ini kemungkinan besar melebihi tingkat pendapatan yang bersumber dari Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Riau yang saat ini besarannya sekitar Rp. 1 000 000/bulan. Perbandingan lainnya adalah kondisi dimana pendapatan petani mampu memenuhi tingkat Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang mencakup pemenuhan kebutuhan dasar petani, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial dan sedikit menabung. Konsep KHL terdapat pada petani padi dimana dengan asumsi
159 jumlah anggota rumahtangga petani 3-4 orang/kepala keluarga, produksi beras minimal 5000 kg/tahun. Dengan tingkat harga beras Rp. 4000/kg maka pendapatan petani pada konsep KHL sebanyak Rp. 20 000 000/tahun (Sinukaban, 2007). Tingkat pendapatan hasil simulasi tersebut juga sudah memenuhi target Pemerintah Daerah Provinsi Riau melalui pengembangan sektor perkebunan. Dengan visi “Mewujudkan kebun untuk kesejahteraan masyarakat Riau tahun 2020”, target pendapatan petani kebun kelapa sawit diharapkan rata-rata sebesar US $ 2000/kk/tahun (Husien dan Hanafi, 2005). Tabel 34. Rata-Rata Pendapatan Petani Di Kebun Kelapa Sawit Plasma Sei Pagar No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata-rata
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035
Laju pertumbuhan rata-rata
Pendapatan petani (Rp/Ha/Thn) -9 900 000 -4 638 400 -3 728 450 14 210 200 19 499 470 23 248 980 26 661 375 29 500 780 31 914 925 33 807 730 35 346 670 36 522 300 36 875 255 36 344 950 35 505 510 33 760 550 32 431 490 30 222 975 27 846 980 26 015 190 24 117 580 22 165 125 19 477 830 16 704 840 13 868 100 13 716 775 22 859 950 3,35%
160 Hal yang menarik pada pola pendapatan petani adalah adanya pendapatan negatif selama 3 tahun pertama. Hal ini menunjukkan bahwa petani pada
periode
awal
tersebut
tidak
memperoleh
pendapatan
melainkan
mengeluarkan dana untuk membiayai produksi seperti biaya bibit, pembukaan lahan, tenaga kerja tanam dan lain-lain. Modal kerja yang berupa hutang ke bank sebagaian besar diinvestasikan selama periode tersebut. Sementara itu, untuk pendapatan, petani melakukan beberara kiat antara lain dengan menanam tanaman pangan di sela barisan kelapa sawit, berburuh tani di kebun tetangga ataupun perusahaan inti dan melakukan pekerjaan di luar usaha perkebunan tukang ojek, jasa pertukangan dan jasa lainnya. Pada kasus di lokasi penelitian, selain usaha tersebut, petani juga memiliki kebun kelapa sawit di luar kebun plasmanya yaitu di lahan pangan dan pekarangan dengan luasan sekitar 1,0 hektar. Pada saat penelitian dilakukan, umur kelapa sawit di lahan pangan dan pekarangan antara 10-12 tahun. Pendapatan yang diterima petani dialokasikan untuk biaya rumahtangga, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial dan tabungan untuk perbaikan rumah, peremajaan kebun dan keperluan lainnya. Meningkatnya pendapatan petani berimbas kepada perbaikan kondisi sosial terutama kualitas sumberdaya manusia seperti pendidikan (Gambar 35).
Pola curve peningkatan kualitas
sumberdaya manusia mirip dengan pola produktivitas lahan dimana meningkat cepat pada priode awal, melambat pada priode pertengahan umur tanaman dan kemudian relatif mendatar bahkan cenderung menurun pada akhir umur tanaman. Hal ini berkaitan dengan pola pendapatan petani sebagai sumber pembiayaan dalam mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam kaitannya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit, kualitas sumberdaya manusia disetarakan dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja sebagai dampak dari tingkat pendidikan yang dicapai. Produktivitas ini kemudian berhubungan dengan kemampuan untuk memperoleh dan mengaplikasikan teknologi pengelolaan kebun kelapa sawit yang tepat sesuai kondisi biofisik, sosial dan ekonomi petani. Tersedianya fasilitas pendidikan yang bisa diakses petani dari tingkat Sekolah Dasar, SLTP, SLTA dan bahkan sampai ke jenjang Perguruan Tinggi sangat membantu dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di lokasi penelitian. Dengan kondisi tersebut, diharapkan kualitas sumberdaya manusia meningkat di sektor perkebunan kelapa sawit sampai mencapai pendapatan sekitar Rp. 55 000 000/tahun (sumbu Y).
161
Pendidikan Masyarakat 60
Tingkat pendidikan
50
40
30
20
10 2010
2015
2020
2025
2030
2035
Tahun
Gambar 35. Prediksi Pola Peningkatan Pendidikan Petani pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Selain simulasi, untuk mengetahui kondisi pendidikan juga dilakukan wawancara
dengan
petani
plasma.
Hasil
wawancara
dengan
petani
menunjukkan bahwa kehadiran kebun kelapa sawit meningkatkan pendidikan petani secara nyata. Hanya 5 persen petani yang menyatakan pendidikan agak meningkat, 80 persen menyatakan pendidikan meningkat dan 15 persen menyatakan pendidikan meningkat dengan nyata (Gambar 36). Yang menarik disini adalah proporsi persentase pendidikan tersebut juga sebagai cerminan jenjang pendidikan yang diharapkan bisa dicapai. Jadi nantinya hanya sekitar 5% saja petani yang mencapai pendidikan rendah (Tamat SD), 80% petani sudah menyelesaikan pendidikan SMP/SMA dan skitar 16% bisa mencapai jenjang Perguruan Tinggi. Jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama umumnya ditempuh di desa-desa lokasi penelitian. Untuk jenjang Sekolah Menengah Atas ditempuh di kota Pekanbaru, sedangkan untuk jenjang Perguruan Tinggi ditempuh di Pekanbaru atau kota lainnya seperti Padang, Yogyakarta, Bogor dan Bandung.
162
STATUS PENDIDIKAN PETANI 90
Persentase Petani
80 70 60 Agak meningkat
50
Meningkat
40
Meningkat nyata
30 20 10 0 1 Status Pendidikan
Gambar 36. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Pendidikan Petani pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia berdampak positif terhadap perilaku masyarakat terutama yang berkaitan dengan kepedulian terhadap lingkungan dan pengelolaan kebun kelapa sawit. Beberapa indikator yang dapat dilihat antara lain konflik sosial, perbaikan fasilitas umum, kesehatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Wawancara dengan petani menunjukkan bahwa sekitar 10% menyatakan konflik
sosial tetap dan 90% menyatakan agak
meningkat (Gambar 37). Walaupun demikian, secara kuantitatif, konflik antara petani dengan masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit termasuk jarang dan timbul akibat keterkaitan petani plasma dengan perusahaan Inti bukan dari masalah kelompok petani sendiri. Sumber konflik yang dominan adalah masalah penguasaan lahan, kecemburuan sosial masyarakat lokal karena perhatian pemerintah daerah lebih fokus kepada kelompok tani plasma dalam aplikasi program-program pemberdayaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh tingkat kepercayaan pemerintah daerah kepada kelompok tani plasma lebih tinggi, lebih-lebih jika program tersebut ada sarana bantuan yang harus digulirkan kepada kelompok lainnya.
163
Status Konflik Sos ial 100 90 Persentase petani
80 70 60
Tetap
50
Agak meningkat
40 30 20 10 0 1 Konf lik
Gambar
37.
Pendapat Petani terhadap Perubahan Konflik Sosial Masyarakat pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Melihat kondisi tersebut, solusi yang diambil oleh pemerintah daerah adalah memperbaiki strategi pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan masyarakat
lokal
bekerjasama
lebih
dengan
intensif.
Perusahaan
Dalam Inti
aplikasinya, dengan
strategi
dilakukan
merealisasikan
program
Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment) yang menyangkut aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur, peribadatan dan kesehatan. Program ini dilaksanakan berdasarkan acuan dari Surat keputusan Menteri Pertanian yaitu Permen No. 05/MBU/2007 tanggal 24 April 2007 tentang Pemberdayaan Masyarakat dengan menyisihkan keuntungan dari Perusahaan Inti sebesar 2,5%. Kegiatan yang dilakukan berupa Program Usaha Kecil dan Koperasi (PKUK) yang bisa diakses oleh koperasi maupun kelompok tani. Dengan program tersebut, fasilitas umum memperlihatkan perbaikan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Wawancara dengan petani menunjukkan bahwa 75% petani menyatakan kondisi fasilitas umum membaik dan sekitar 25% menyatakan membaik secara nyata (Gambar 38). Sejalan dengan itu, kesehatan masyarakat juga membaik dimana sebanyak 60% petani menyatakan kesehatan masyarakat membaik dan 40% menyatakan membaik secara nyata (Gambar 39).
Indikator
kesehatan
masyarakat
dan
kondisi
fasilitas
umum
ini
mengindikasikan adanya dampak yang positif terhadap produktivitas masyarakat dalam mengelola perkebunankelapa sawit. Produktivitas petani meningkat
164 berdampak terhadap produktivitas tanaman dan peningkatan daya serap tenaga kerja dalam memproduksi dan pengolahan hasil perkebunan.
Status Fasilitas Umum 80 Persentase petani
70 60 50
Membaik
40
Membaik nyata
30 20 10 0 1 Fasilitas umu
Gambar 38. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Fasilitas Umum pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Status Kesehatan Masyarakat 70 Persentase petani
60 50 40
Membaik
30
Membaik nyata
20 10 0 1
Kesehatan masyarakat
Gambar 39. Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Kesehatan Masyarakat pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
165 Penyerapan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit terjadi pada proses produksi TBS dan pengolahan hasil TBS pada pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang memproses TBS menjadi crude palm oil (CPO)(Gambar 40). Wawancara dengan petani dan pekerja PKS memperlihatkan bahwa sebanyak 20% menyatakan adanya penyerapan tenaga kerja yang agak meningkat dan sebanyak 80% menyatakan penyerapan tenaga kerja yang meningkat akibat adanya
perkebunan
kelapa
sawit.
Peningkatan
serapan
tenaga
kerja
dimungkinkan oleh penerapan teknologi pengelolaan kebun yang semakin intensif pada proses produksi TBS dan penerapan sistem Land Application (LA) pada PKS.
Persentase petani
Status Penyerapan Tenaga Kerja 90 80 70 60 Agak meningkat
50 40 30 20 10 0
Meningkat
1
Penyerapan tenaga kerja
Gambar 40.
Pendapat Petani terhadap Perubahan Status Penyerapan Tenaga Kerja pada Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Pengelolaan yang intensif secara langsung membutuhkan tenaga kerja lebih banyak dan memberikan hasil TBS yang lebih tinggi. Untuk tenaga kerja di kebun, tidak banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh pekerja. Umumnya petani sudah mau memakai tenaga kerja yang tergolong masih usia produktif (umur 15-60 tahun) dan sehat jasmani. Sementara itu, untuk tenaga kerja di PKS, perekrutannya mengacu kepada Surat Keputusan Direktur Utama PT. Perkebunan Nusantara V Tahun 2002 No 85-SKEP/05.D1/05.09/XI/2002. Berdasarkan ketermapilannya, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengelolaan PKS dapat dikelompokkan menjadi tenaga penyeleksi TBS dengan latar
166 belakang pendidikan agronomi, tenaga mekanik pengolahan TBS dengan latar belakang pendidikan teknik mesin, tenaga pengontrolan mutu minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) dengan latar belakang pendidikan industri kimia serta tenaga pengelolaan limbah padat dan cair PKS dengan latar belakang pendidikan kimia/biologi. 4.6.2.4. Uji Sensitivitas Model Uji sensitivitas dilakukan untuk melihat respon model yang dibangun terhadap suatu stimulus. Hal ini berkaitan dengan selalu terjadinya perubahan dari variabel-variabel model akibat adanya intervensi eksternal seperti perubahan harga TBS, luas areal tanam karena pertambahan penduduk, perubahan harga sarana produksi dan lain-lain. Respon tersebut ditunjukkan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus dilakukan dengan memberikan intervensi tertentu pada unsur atau struktur model. Hasil uji sensitivitas model terlihat dalam bentuk perubahan perilaku dan atau kinerja model sehingga dapat diketahui efek intervensi yang diberikan terhadap satu atau lebih unsur dari model yang dibangun (Muhammadi et al., 2001). Hartrisari (2007) menyatakan bahwa analisis sensitivitas secara umum menyatakan sejauh mana kesimpulan hasil model dapat berubah bila variabel model dirubah. Terdapat tiga jenis pengujian sensitivitas yaitu (1) sensitivitas numerik, (2) sensitivitas perilaku model dan (3) sensitivitas kebijakan. Dalam penelitian ini, uji sensitivitas yang dilakukan adalah uji sensitivitas numerik dengan cara mengubah input yang yaitu luas lahan petani yang cenderung menurun di masa mendatang akibat bertambahnya penduduk. Perubahan numerik tersebut berupa luas lahan 6000 hektar menjadi 4500 hektar dan 3000 hektar. Pada luasan lahan kebun kelapa sawit 6000 hektar pendapatan petani menujukkan pola peningkatan pendapatan yang cepat pada awal pertumbuhan diikuti peningkatan lambat dan akhirnya menurun pada akhir periode pertumbuhan (Gambar 41). Pada kondisi tersebut, menunjukkan bahwa setiap kepala keluarga petani plasma memiliki luasan kebun 2,0 hektar sesuai dengan pembagian lahan pada saat penempatan sebagai transmigrasi. Produksi TBS petani rata-rata sebanyak 25,83 ton TBS/ha/tahun dan rata-rata pendapatan Rp. 22 859 950/tahun.
167
Pendapatan petani (Rp/ha/thn)
40000000
30000000
20000000
10000000
0 2010
2015
2020
2025
2030
2035
Tahun -10000000
Gambar 41. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Luas Lahan 6000 Hektar Jika dilakukan uji sensitivitas dengan merubah luas lahan menjadi lebih sempit yaitu 4500 hektar pola pendapatan petani masih menunjukkan pola sama dengan luas lahan 6000 hektar (Gambar 42). Pola pendapatan petani terlihat masih mengikuti pola luasan lahan 6000 hektar dimana cepat pada awal pertumbuhan diikuti peningkatan lambat dan akhirnya menurun pada akhir periode pertumbuhan. Produksi TBS dan pendapatan petani pada luas lahan 4500 hektar menurun mengikuti penurunan luas lahan dimana rata-rata produksi adalah sebesar 18,75 ton TBS/ha/tahun dan rata-rata pendapatan petani Rp. 17 257 000/ha/tahun. Uji sensitivitas dengan luas lahan 3000 hektar yang berarti setiap kepala keluarga memiliki kebun kelapa sawit seluas 1,0 hektar akibat pertambahan penduduk. Hasil uji sensitivitas juga menunjukkan pola pendapatan yang sama dengan luas lahan 6000 hektar (Gambar 43). Pola pendapatan petani terlihat cepat pada awal pertumbuhan diikuti peningkatan lambat dan akhirnya menurun pada akhir periode pertumbuhan. Produksi TBS dan pendapatan petani juga menurun seperti halnya pada luas lahan 4500 hektar dimana rata-rata produksi sebesar 12,6 ton TBS/ha/tahun dan rata-rata pendapatan petani sebesar Rp. 9 947 560/ha/tahun.
168
Pendapatan petani (Rp/ha/thn)
30000000
20000000
10000000
0 2010
2015
2020
2025
2030
2035
Tahun -10000000
Pendapatan petani (Rp/ha/thn)
Gambar 42. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Luas Lahan 4500 Hektar
20000000
10000000
0 2010
2015
2020
2025
2030
2035
Tahun -10000000
Gambar 43. Prediksi Pendapatan Petani Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan pada Luas Lahan 3000 Hektar Hasil uji sensitivitas menunjukkan model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan respon terhadap perubahan numerik input yaitu luas lahan akibat pertambahan penduduk. Pendapatan petani sebagai variabel numerik output model memperlihatkan pola yang sama pada luas lahan 6000 hektar, 4500 hektar dan luas lahan 3000 hektar. Pola pendapatan tersebut mengikuti pola produksi TBS yaitu meningkat cepat di awal periode pertumbuhan tanaman diikuti dengan peningkatan lambat dan akhirnya menurun
169 pada akhir periode pertumbuhan tanaman. Hasil uji ini mengindikasikan bahwa model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan yang dibangun termasuk kategori baik. Berdasarkan hasil simulasi, pola pada ketiga sub model yang dibangun, menunjukkan kemiripan yang menonjol yaitu pola berbentuk s-curve (limit to growth). Pola seperti ini merupakan kondisi umum dari pemanfaatan lahan, hutan ataupun lainnya dimana pada periode awal pertumbuhannya cepat, diikuti pertumbuhan lambat dan periode pertumbuhan tetap atau bahkan cenderung menurun terutama pada variabel produksi TBS dan pendapatan petani. Hal ini disebabkan oleh faktor internal tanaman kelapa sawit yaitu umur tanaman yang berkaitan dengan penurunan fungsi sel tanaman dan berpengaruh langsung terhadap produktivitas tanaman. Berbeda dengan tanaman semusim yang berumur pendek, penanaman dan panen dilakukan hanya sekali dan sesudahnya dilakukan pengulangan pada periode berikutnya, tanaman tahunan sekali tanam tetapi panen berulang kali sampai tanaman mati ataupun diremajakan. Dari pola tersebut memberikan petunjuk akan perlunya kehatihatian dalam pengelolaan sumberdaya lahan, agar tujuan dari kondisi berkelanjutan bisa dicapai yaitu memenuhi aspek biofisik, ekonomi dan sosial yang selaras. Hal ini menjadi semakin penting mengingat Indonesia telah menerima konsep Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dimana setiap perusahaan perkebunan harus menerapkan best management practice (BMP) agar kondisi berkelanjutan bisa dicapai (Deptan, 2008). Dari aspek biofisik, produktivitas lahan sampai akhir periode siklus tanaman relatif masih baik dengan tingkat kesesuaian lahan termasuk kelas S2 (cukup sesuai). Hal ini diperkuat dengan laju kerusakan lingkungan akibat degradasi lahan yang rendah berkaitan dengan topografi dan kemampuan kelapa sawit sebagai tanaman korservasi melalui sistem perakaran yang baik (Harahap, 2007). Selain itu, penutupan permukaan tanah oleh kanopi kelapa sawit memberikan perlindungan permukaan tanah dari kerusakan oleh butiran air hujan. Variabel lainnya yang mendukung tingkat kesesuaian lahan adalah rendahnya laju kerusakan lingkungan akibat penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida. Untuk limbah
pabrik pengolahan kelapa sawit,
kontribusinya terhadap kerusakan lingkungan relatif rendah karena sudah menerapkan sistem Land Application (LA) dari limbah cair untuk sumber pupuk organik. Limbah padat (tandan kosong dan batok kelapa) diolah lagi untuk
170 pupuk, walaupun masih dengan teknologi sederhana. Sistem LA diterapkan dengan metode Flatbed yaitu mengalirkan limbah cair melalui pipa ke bak-bak distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan sekunder. Metode ini berpotensi meningkatkan produksi TBS dengan kisaran 16-60% (Deptan, 2006). Namun demikian, teknologi pengelolaan yang tepat, sesuai dengan kondisi biofisik, sosial dan ekonomi petani menjadi masih diperlukan untuk masa mendatang. Penggunaan bibit berkualitas dan berproduksi tinggi disertai dengan applikasi pupuk dan pestisida yang tepat jenis, dosis, waktu dan cara pemberian serta teknik panen yang tepat merupakan paket teknologi yang sampai saat ini menjadi acuan yang harus dilaksanakan dalam rangka memenuhi tujuan biofisik perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (Adiwiganda, 2002; Fairhust, 2007). Applikasi pupuk yang disebar rata di permukaan tanah berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan sehingga perlu dirubah dengan pembenaman ke dalam tanah ataupun pemanfaatan pupuk majemuk padat slow release. Penelitian Wigena et al. (2006) menunjukkan bahwa pemanfaatan pupuk majemuk padat slow release pada tanaman kelapa sawit di tanah kering masam mampu mengurangi kebutuhan pupuk sampai 50% dibandingkan penggunaan pupuk tunggal tetapi produksi tetap baik. Dari validasi kinerja model diketahui simulasi laju pertambahan penduduk setinggi 1,7%, lebih rendah dari laju pertambahan penduduk di lapangan setinggi 1,9%. Hal ini menunjukkan perlunya usaha yang lebih giat dalam pengendalian pertumbuhan penduduk untuk mencapai laju pertumbuhannya setinggi yang diasumsikan pada model. Peningkatan pendidikan dan adopsi dari kegiatan sosialisasi Keluarga Berencana (KB) dan perencanaan keluarga kecil, sehat dan sejahtera merupakan salah satu solusi untuk pengendalian pertumbuhan penduduk.
Pentingnya
laju
pertumbuhan
penduduk
berkaitan
dengan
penguasaan lahan yang memenuhi skala ekonomi rumah tangga yang laju pertumbuhannya 0,5%. Sementara peluang perluasan kebun kelapa sawit petani masih terkendala dengan penguasaan lahan di sekitar kebun sawit oleh penduduk setempat yang berstatus girik. Secara sosial, lahan ini masih beresiko jika diambil alih oleh petani melalui proses jual beli yang berujung menjadi lahan sengketa. Produksi TBS seperti yang disimulasikan akan berdampak positif terhadap aspek ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pendapatan petani yang secara nominal melebihi tingkat Upah Minimum Regional (UMR) untuk Provinsi
171 Riau sekitar 1.000.000/bulan maupun pendapatan rumahtangga petani visi Pemerintah Provinsi Riau Tahun 2020 sebesar US $ 2000/kk. Dampak positif juga dinikmati oleh masyarakat sekitar kebun dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp. 16 845 025/tahun. Lebih jauh lagi, diharapkan adanya perubahan persepsi masyarakat terhadap perkebunan yang saat ini sudah relatif baik. Saat ini, hasil survey yang dilakukan oleh PTPN V menunjukkan bahwa sebanyak 85% masyarakat senang dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit, sebanyak 86% menyata bahwa kehadiran kebun menguntungkan, 98% meningkatkan kesempatan kerja. Sedangkan penerimaan masyarakat sangat baik dimana sebesar 95% menerima dan berbaur dengan petani plasma. Demikian juga dengan konflik, hanya 40% menyatakan bahwa konflik sosial agak meningkat dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit (PTPN V, 2007). Penguatan kelembagaan merupakan faktor lainnya yang berperan penting dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Dari analisis kelembagaan dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) diketahui bahwa sumberdaya manusia terutama petani plasma, berkontribusi dominan terhadap keberlanjutan perkebunan kelapa sawit. Untuk itu, peningkatan kualitas sumberdaya manusia masih diperlukan agar memiliki keterampilan yang memadai dalam mengelola usahataninya. Selain itu, kemampuan dalam mengorganisir kelompok tani juga ditingkatkan sehingga kelompok tani ataupun Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) menjadi lebih kompetitif dalam merekayasa jalur pemasaran produksi TBS dan pengadaan sarana produksi. Peningkatan kapasitas kelompok tani dan pemerintah daerah dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan tersebut digambarkan dalam skim kelembagaan PRITAMA (Perintisan Kemandirian Petani Plasma). Dalam skema ini difokuskan pada penguatan GAPOKTAN dan bimbingan pemerintah daerah dalam menyalurkan modal kerja sehingga diharapkan lebih efisien dan tepat sasaran. Sementara penggunaan modal kerja, mekanisme kinerja keterkaitan kelompok tani dan perusahaan Inti perlu diawasi oleh Badan Pengawas yang anggotanya berasal dari perusahaan Inti dan petani plasma. Hasil analisis ini menunjukkan kesamaan arah dengan skema penyaluran modal peremajaan kelapa sawit oleh pemerintah dalam program Revitalisasi Perkebunan (Ditjenbun, 2007). Memperhatikan fungsi GAPOKTAN yang relatif banyak tersebut maka tiap GAPOKTAN akan didukung dari program penyuluhan dan penguatan kelompok dari Badan Pengembangan SDM Pertanian, penguatan akses
172 teknologi tepat guna dari Badan Litbang Pertanian, dukungan infrastruktur pertanian dari Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, bantuan dan pembinaan usaha pengolahan dan pemasaran dari Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian serta dukungan permodalan dari program Dana Penjaminan dimana pada tahun 2007 perkebunan menerima skitar 35,22% (Syahyuti, 2007). 4.7. Analisis Prospektif Prospektif analisis dilakukan untuk memperoleh strategi rumusan pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan setelah diketahui potensi dan permasalahan yang terjadi di lapangan melalui analisis-analisis lainnya. Dari analisis sebelumnya diketahui sebanyak 17 variabel yang berperan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit yaitu: luas lahan, status penguasaan
lahan,
kesesuaian
lahan,
sumberdaya
manusia,
modal,
kelembagaan, teknologi, upah tenaga kerja, harga saprodi, harga produksi, kebijakan pemerintah, pendapatan petani, pencemaran lingkungan, aturan World Trade Organization (WTO), konflik sosial, produksi TBS dan kualitas CPO. Langkah awal dari analisis prospektif adalah melakukan analisis pengaruh
timbal
balik
atau
kaitan
pengaruh/ketergantungan
(influence/dependence, I/D) dari semua variabel terkait. Semua variabel dimasukkan ke dalam matrik pengaruh variabel dan hubungan otomatis, diurut dari lajur paling kiri ke bawah dan kekanan. Penilaian pengaruh teridiri atas penilaian pengaruh langsung dari setiap variabel terhadap semua variabel lainnya dengan menggunakan skala dari ”0=tidak ada pengaruh” sampai ”3=pengaruh sangat kuat”. Dengan perangkat lunak Microsoft Excel, semua nilai yang
dimasukkan
akan
diakumulasi
untuk
memperoleh
pengaruh/ketergantungan global variabel yang dinilai. Dalam matrik ini, tidak hanya pengaruh langsung, tetapi pengaruh tak langsung dari satu variabel terhadap semua variabel lainnya juga bisa ditampilkan (Bourgeois, 2007) (Lampiran 21 dan 22). Pada pengaruh global, variabel kelembagaan memiliki nilai tertinggi (28), kebijakan pemerintah (24), luas lahan (20), sumberdaya manusia (20), modal (20), status penguasaan lahan (18), pencemaran lingkungan (17), teknologi (17), kesesuaian lahan (16) dan pendapatan petani (16) (Tabel 35). Ketergantungan global tertinggi diperoleh pada variabel pendapatan petani (31), diikuti oleh modal (25), produksi TBS (25), kualitas CPO (22), teknologi (21), harga produksi
173 (21), konflik sosial (21), kesesuaian lahan (16), upah tenaga kerja (16) dan status penguasaan lahan (14). Nilai kekuatan global menunjukkan bahwa kelembagaan memiliki nilai tertinggi yaitu 0,08. Diikuti oleh kebijakan pemerintah 0,06, luas lahan 0,05, status penguasaan lahan 0,04, sumberdaya manusia 0,04, harga saprodi 0,04, kesesuaian lahan 0,03, modal 0,03, teknologi 0,03 dan pencemaran
lingkungan
0,03.
Kekuatan
global
tertimbang,
variabel
kelembagaan memiliki nilai tertinggi (2,60), diikuti oleh kebijakan pemerintah (1,86), luas lahan (1,41), sumberdaya manusia (1,33), harga saprodi (1,15), status penguasaan lahan (1,14), aturan WTO (1,09), modal (1,00), kesesuaian lahan (0,90) dan harga produksi (0,63) Tabel 35. Nilai Pengaruh dan Ketergantungan Global Faktor - Faktor Terkait Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Faktor Luas lahan Stt pnguasaan lahan Kesesuaian lahan SDM Modal Kelembagaan Teknologi Upah tenaga kerja Harga saprodi Harga produksi Kebijkan pemerintah Pendapatan petani Pencemaran linkungan Aturan WTO Konflik sosial Produksi TBS Kualitas CPO
Pengaruh global 20 18 16 20 20 28 17 11 15 13 24 16 17 6 14 13 12
Ketergantungan global 12 14 16 14 25 6 21 16 7 21 11 31 13 1 21 25 22
Kekuatan global 0,05 0,04 0,03 0,04 0,03 0,08 0,03 0,02 0,04 0,02 0,06 0,02 0,03 0,02 0,02 0,02 0,02
Kekuatan global ter timbang 1.41 1.14 0.90 1.33 1.00 2.60 0.86 0.51 1.15 0.56 1.86 0.61 0.61 1.09 0.58 0.63 0.50
Tahapan selanjutnya adalah analisis struktur yang meliputi kegiatan penentuan posisi variabel, distribusi variabel dan seleksi variabel. Posisi variabel dilakukan pada grafik berkuadran 4 dan 2 sumbu yaitu sumbu X (horizontal) sebagai tempat kedudukan nilai ketergantungan dan sumbu Y (vertical) sebagai tempat kedudukan nilai pengaruh dari variabel. Dengan memasukkan nilai pengaruh dan ketergantungan, diperoleh sebaran semua variabel seperti Gambar 44. Terlihat bahwa variabel-variabel yang memiliki pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah sebanyak 6 variabel yaitu: status penguasaan lahan, luas lahan, kesesuaian lahan, sumberdaya manusia, kelembagaan dan
174 kebijakan pemerintah. Hanya 1 variabel yang memiliki pengaruh dan ketergantungan tinggi yaitu modal. Sebanyak 5 variabel yang mempunyai pengaruh rendah dan ketergantungan tinggi yaitu harga produksi, teknologi, produksi TBS, pendapatan petani dan kualitas CPO. Sementara itu, variabel yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan rendah sebanyak 4 yaitu aturan WTO, harga saprodi, pencemaran lingkungan dan upah tenaga kerja.
TTingkat Kepentingan Faktor-Faktor Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan 2.50
STTS PNGSAAN LHN
2.00
LUAS LAHAN KESSAN LHN
MODAL
SDM
P e n g a ru h
1.50
KELEMBAGAAN
KEB PEMRTH
1.00 TEKNOLOGI HRG PRODUKSI PCMRN LINGKGN KNFLIK SOSL PRODUKSI TBS HRG SAPRODI UPAH TK
0.50
PDTN PETANI
KUALITAS CPO
ATURAN WTO
-
-
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Ketergantungan
Gambar 44.
Sebaran Variabel-Variabel pada Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar
Analisis bentuk distribusi variabel memperlihatkan bahwa variabelvariabel sebarannya dominan sepanjang garis diagonal kuadran I menuju ke kuadran III. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sistem yang dibangun stabil karena beberapa variabel penggerak (kuadran I, mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah) dengan kuat mengatur variabel output (kuadran III, mempunyai ketergantungan tinggi dan pengaruh rendah). Variabel marginal (kuadran
IV,
pengaruh
dan
ketergantungan
rendah)
jumlahnya
sedikit
175 (Bourgeois, 2004). Dalam kondisi seperti ini, dengan meng ”adjust” variabelvariabel pada kuadran I (luas lahan, penguasaan lahan, kesesuaian lahan, sumberdaya
manusia,
kebijakan
pemerintan
dan
kelembagaan)
akan
menyebabkan pengaruh nyata pada output yang dihasilkan oleh sistem yang dibangun yang tercermin pada variabel-variabel kuadran III (teknologi, produksi TBS, kualitas CPO, harga TBS dan pendapatan petani). Jadi sistem yang dibangun sudah termasuk baik, stabil serta sedikit mendapat pengaruh dari variabel-variabel marginal pada kuadran IV. Dengan memperhatikan posisi variabel-variabel tersebut kemudian dilakukan seleksi variabel. Dalam tahapan ini, dipilih variabel yang memiliki nilai pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah (kuadran I) karena variabel ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja sistem yang dibangun, tetapi ketergantungannya dengan variabel-variabel lainnya rendah. Selain itu, dalam kasus ini, variabel modal yang memiliki pengaruh dan ketergantungan tinggi diseleksi sebagai verabel kunci mengingat pembudidayaan kelapa sawit memerlukan modal besar sehingga peranan modal sangat vital. Dengan demikian, terdapat 7 variabel kunci yaitu luas lahan, penguasaan lahan, kesesuaian lahan, sumberdaya manusia, kebijakan pemerintah, kelembagaan dan modal. Secara kuantitatif, jumlah variabel kunci ini termasuk dalam kategori baik dimana menurut Bourgeois (2007) jumlah variabel kunci yang memadai pada analisis prospektif berkisar antara 4-8 variabel. Lebih dari 8 variabel akan sulit membuat skenario, kurang dari 3 variabel akan menghasilkan skenario sangat sederhana dan banyak informasi yang tidak tertampung. Analisis morfologis adalah tahapan selanjutnya yang dilakukan dengan membuat definisi keadaan variabel kunci di masa mendatang. Tujuan analisis ini adalah untuk (a) menyusun domain kemungkinan di masa mendatang, (b) mengurangi kombinasi variabel dengan keadannya dan (c) mengeksplorasi alternatif yang konsisten, relevan dan kredibel (Bourgeois dan Jesus, 2004). Untuk mengurangi banyaknya kombinasi antara variabel dengan keadaan variabel, dilakukan identifikasi saling-ketidaksesuaian di antara keadaankeadaan (incompatibility identification). Dengan metode ini, kombinasi yang mungkin terjadi berkurang secara nyata karena keadaan-keadaan yang tidak mungkin terjadi dalam waktu bersamaan tidak boleh dikombinasikan. Dalam penelitian ini, keadaan variabel kunci dan identifikasi keadaan yang salingketidaksesuaiannya disajikan paga Gambar 45. Terdapat 7 variabel kunci
176 dengan keadaan 3 – 2 – 3 – 3 – 3 – 3 – 3. Tanpa dilakukan identifikasi incompability, akan terdapat sebanyak 3 x 2 x 3 x 3 x 3 x 3 x 3 = 1458 kombinasi. Dengan melakukan identifikasi incompability, kombinasi bisa berkurang secara nyata sehingga sangat membantu dalam menyusun skenario.
Faktor 1A Luas Lahan Status Penguasaan Lahan Kesesuaian Lahan Modal Kerja
Kualitas Sumberdaya Manusia Kinerja Kelembagaan Kebijakan Pemerintah
Gambar
45.
Dari
Skenario Keadaan Mendatang 1B
Makin sempit, terfragmentasi 2A Semakin tidak terjamin, banyak lahan sengketa 3A Menurun, penerapan teknologi tidak intensif
Luas lahan tetap sama
4A Sangat minim, akses ke lembaga keuangan susah 5A Menurun, keterampilan tidak memadai, akses teknologi susah 6A Sangat lemah, institusi terkait tidak berperan 7A Tidak mendukung, tidak mengakumulasi kepentingan petani
4B Agak cukup, akses ke lembaga keuangan agak mudah 5B Tetap, keterampilan agak memadai, akses teknologi agak lancar
2B Semakin terjamin, tidak ada lahan sengketa 3B Tetap, penerapan teknologi semi intensif
6B Agak kuat, peranan institusi belum optimal 7B Agak mendukung, mengakumulasi seba gian kepentingan petani
1C
Makin luas, membeli dari masyarakat lokal
3C Meningkat, penerapan teknologi intensif 4C Cukup, akses ke lembaga keuangan mudah 5C Meningkat, keterampilan memadai, akses teknologi lancar 6C Kuat dan harmonis, peranan institusi terkait optimal 7C Mendukung, kepentingan petani semua diakumulasi
Keadaan Variabel-Variabel Kunci dan Incompatibility Identification pada Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar hasil
kombinasi
keadaan
variabel-variabel
kunci
dengan
keadaannya di masa mendatang diperoleh sebanyak 78 skenario yang dikelompokkan kedalam dari 28 skenario pesimis, 38 skenario medium dan 12 skenario optimis (Tabel 36, Lampiran 23, 24 dan 25). Dari semua kombinasi skenario tersebut dilakukan seleksi kombinasi skenario yang masuk akal dan realistis berdasarkan kondisi yang berkembang di lapangan. Hal ini memberikan gambaran bahwa urutan skenario yang disusun mengindikasikan urutan realitasnya dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan.
177
Tabel 36. Skenario Strategis Aplikasi Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kombinasi Keadaan Di Masa Mendatang Skenario Pesimis Luas lahan turun – Status terjamin – Kesesuaian lahan turun – Modal kurang – SDM kurang terampil – kelembagaan lemah – kebijakan pemerintah kurang mendukung Luas lahan turun – Status terjamin – Kesesuaian lahan tetap – Modal kurang – SDM kurang terampil – kelembagaan lemah – kebijakan pemerintah kurang mendukung Luas lahan turun – Status terjamin – Kesesuaian lahan turun – Modal kurang – SDM kurang terampil – kelembagaan agak kuat – kebijakan pemerintah kurang mendukung Luas lahan turun – Status terjamin – Kesesuaian lahan turun – Modal kurang – SDM kurang terampil – kelembagaan lemah – kebijakan pemerintah mendukung Luas lahan turun – Status tidak terjamin – Kesesuaian lahan turun – Modal agak cukup – SDM kurang terampil – kelembagaan lemah – kebijakan pemerintah mendukung Luas lahan turun – Status tidak terjamin – Kesesuaian lahan turun – Modal kurang – SDM agak terampil – kelembagaan lemah – kebijakan pemerintah mendukung Luas lahan tetap – Status tidak terjamin – Kesesuaian lahan tetap – Modal kurang – SDM tidak terampil – kelembagaan lemah – kebijakan pemerintah kurang mendukung Luas lahan tetap – Status tidak terjamin – Kesesuaian lahan turun – Modal kurang – SDM tidak terampil – kelembagaan lemah – kebijakan pemerintah agak mendukung
Skenario Medium 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Luas lahan tetap – Status terjamin – Kesesuaian lahan tetap – Modal agak cukup – SDM agak terampil – Kelembagaan agak kuat – Kebiajakan pemerintah agak mendukung Luas lahan turun – Status terjamin – Kesesuaian lahan menurun – Modal agak cukup – SDM terampil – Kelembagaan agak kuat – Kebijakan pemerintah agak mendukung Luas lahan tetap – Status terjamin – Kesesuaian lahan turun – Modal cukup – SDM agak terampil – Kelembagaan agak kuat – Kebijakan pemerintah agak mendukung Luas lahan tetap – Status terjamin – Kesesuaian lahan menurun – Modal agak cukup – SDM agak terampil – Kelembagaan agak kuat – Kebijakan pemerintah mendukung Luas lahan tetap – Status terjamin – Kesesuaian lahan tetap – Modal agak cukup – SDM agak terampil – Kelembagaan kuat – Kebijakan pemerintah mendukung Luas lahan turun – Status terjamin – Kesesuaian lahan turun – Modal cukup – SDM terampil – Kelembagaan agak kuat – Kebijakan pemerintah agak mendukung Luas lahan turun – Status terjamin – Kesesuaian lahan turun – Modal agak cukup – SDM agak terampil – Kelembagaan kuat – Kebijakan pemerintah mendukung Luas lahan turun – Status terjamin – Kesesuaian lahan tetap – Modal cukup – SDM agak terampil – Kelembagaan kuat – Kebijakan pemerintah agak mendukung Luas lahan tetap – Status terjamin – Kesesuaian lahan turun – Modal cukup – SDM terampil – Kelembagaan agak kuat – Kebijakan pemerintah agak mendukung Luas lahan tetap – Status terjamin – Kesesuaian lahan tetap – Modal cukup – SDM terampil – Kelembagaan agak kuat – Kebijakan pemerintah agak mendukung
Skenario Optimis 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Luas lahan tetap – Status terjamin – Kesesuaian lahan tetap – Modal cukup – SDM terampil – Kelembagaan kuat – Kebijakan pemerintah mendukung Luas lahan tetap – Status terjamin – Kesesuaian lahan meningkat – Modal cukup – SDM terampil – Kelembagaan agak kuat – Kebijakan pemerintah mendukung Luas lahan tetap – Status terjamin – Kesesuaian lahan meningkat – Modal cukup – SDM terampil – Kelembagaan kuat – Kebijakan pemerintah agak mendukung Luas lahan meningkat – Status terjamin – Kesesuaian lahan tetap – Modal cukup – SDM terampil – Kelembagaan kuat – Kebijakan pemerintah mendukung Luas lahan meningkat – Status terjamin – Kesesuaian lahan meningkat – Modal cukup – SDM terampil – Kelembagaan agak kuat – Kebijakan pemerintah mendukung Luas lahan meningkat – Status terjamin – Kesesuaian lahan meningkat – Modal cukup – SDM terampil – Kelembagaan kuat – Kebijakan pemerintah agak mendukung
178 Pada Skenario pesimis, terdapat 8 kombinasi variabel dan keadaannya yang semuanya menggambarkan bahwa kondisi berkelanjutan hampir tidak mungkin bisa tercapai karena semua keadaan variabel kunci tidak mendukung. Salah satu keadaan yang mungkin terjadi berupa penyempitan luas lahan (1 A), status penguasaan lahan terjamin sehingga tidak banyak lahan sengketa (2 B), kesesuaian lahan yang tercermin dari produktivitas lahan terus menurun (3 A), modal kerja kurang karena aksesnya susah (4 - A), kualitas sumberdaya manusia kurang terampil sehingga aplikasi teknologi pengelolaan tidak tepat (5 A), kelembagaan lemah, kinerja instansi terkait tidak berjalan baik dan kurang harmonis sehingga pembinaan tidak berjalan(6 - A) dan kebijakan pemerintah kurang mendukung sehingga tidak mengakumulasi kepentingan petani (7 - A). Kombinasi keadaan variabel lainnya mungkin membaik (keadaannya di masa mendatang level B), tetapi sebagian besar keadaan variabel kurang mendukung berakibat skenario tersebut tidak memungkinkan untuk mencapai kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan. Terdapat 10 kombinasi keadaan variabel pada skenario medium yang mengindikasikan kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan memungkinkan bisa dicapai karena keadaan variabel cukup mendukung. Salah satu kondisi yang mewakili skenario ini adalah luas lahan tetap (1 - B), status penguasaan lahan terjamin berupa sertifikat sehingga sedikit kasus lahan sengketa (2 - B), Kesesuaian lahan tetap (3 - B), modal kerja cukup tersedia dan aksesnya agak mudah (4 - B), kualitas sumberdaya manusia cukup terampil dalam mengaplikasikan teknologi pengelolaan yang dianjurkan (5 - B), kelembagaan agak kuat walaupun kinerja instansi terkait belum optimal tetapi pembinaan petani cukup intensif (6 - B) dan kebijakan pemerintah agak mendukung dalam pengelolaan kebun sawit deengan mengakumulasi sebagian kepentingan petani (7 - B). Adanya kombinasi keadaan variabel yang optimum seperti modal cukup (4 - C), sumberdaya manusia terampil (5 – C), kelembagaan kuat (6 – C) dan kebijakan pemerintah yang mendukung (7 – C) lebih memungkinkan kondisi berkelanjutan bisa tercapai. Terdapat 6 kombinasi keadaan variabel pada skenario optimis yang secara teoritis paling memungkinkan bisa mewujudkan kondisi perkebunan kelapa sawit plasma berkelannjutan. Salah satu kombinasi keadaan variabel adalah luas lahan petani tetap (1 – B), status penguasaan lahan terjamin sehingga hanya sedikit status lahan sengketa (2 – B), kesesuaian lahan
179 meningkat karena penerapan teknologi pengelolaan yang tepat dan optimal (3 – C), modal kerja tersedia cukup dan mudah diakses petani (4 – C), sumberdaya manusia terampil dalam mengaplikasikan teknologi pengelolaan yang dianjurkan (5 – C), kelembagaan kuat, kinerjanya harmonis dan optimal dalam membina petani (6 – C) dan kebijakan pemerintah mendukung mampu mengakumulasi kepentingan petani dalam pengelolaan kebun sawit (7 – C). Jika diperhatikan realitas di lapangan, maka skenario yang paling memungkinkan untuk bisa mencapai kondisi kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan adalah skenario medium. Skenario pesimis kecil kemungkinannya karena sebagian besar keadaan variabel kunci pada kondisi tidak mendukung. Beberapa keadaan variabel kunci bisa mendukung kondisi kebun berkelanjutan seperti status penguasaan lahan sudah terjamin (sertifikat) dan luas lahan bisa dipertahankan seperti saat ini dengan membeli kepada petani lokal.
Hal ini
masih harus mempertimbangkan resiko konflik sosial terutama pembelian lahan dengan masyarakat lokal kerena rawan dengan permasalahan sosial sehingga petani enggan melakukan pembelian lahan. Skenario optimis secara teoritis paling berpeluang mencapai kondisi kebun berkelanjutan, tetapi kenyataannya di lapangan tidak mungkin semua variabel kunci bisa mencapai keadaan yang mendukung dalam waktu bersamaan. Hal ini menyebabkan skenario sangat sulit diaplikasikan di lapangan sehingga kondisi kebun berkelanjutan sulit direalisasikan. Kelembagaan masih belum optimal terutama berkaitan dengan masalah pemasaran TBS dimana posisi petani masih lemah dalam menentukan harga. Harga TBS masih didominasi oleh pihak perusahaan baik perusahaan negara maupun swasta sehingga petani menerima harga rendah. Pembinaan teknis juga tidak optimal terutama setelah petani melunasi hutangnya, pembinaan hampir sepenuhnya tergantung kepada kreativitas kelompok tani dalam mencari teknologi yang sesuai dengan kondisi petani. Kebijakan pemerintah juga belum dirasakan mendukung petani karena asumsi pemerintah bahwa petani sawit masih mampu mandiri dalam kondisi perekonomian yang kurang baik seperti harga saprodi terus meningkat dan susah diperoleh tepat waktu. Variabel modal kerja merupakan satu-satunya yang bisa diakses petani melalui kerjasama dengan koperasi karena petani bisa menyediakan agunan berupa sertifikat tanah. Selain itu, pihak lembaga keuangan sudah mempercayai kemampuan pengembalian hutang petani karena prospek komoditas kelapa sawit yang semakin membaik.
180 4.8. Sintesis Hasil Analisis Sintesis hasil analisis merupakan pembahasan umum dilakukan dengan mengintegrasikan semua hasil analisis yang dipakai yaitu kesesuaian lahan, model produksi TBS, kelembagaan, model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan dan skenario strategis implementasi model yang dibangun. Analisis keterkaitan (AHP, Sistem Dinamis dan Prospektif Analisis) menunjukkan kesamaan hasil dimana sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal kerja, kelembagaan
dan
kebijakan
pemerintah
terutama
Pemerintah
Daerah
merupakan variabel kunci agar kondisi berkelanjutan dapat dicapai. Kondisi kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan di masa mendatang berdasarkan sintesa hasil analisis dan kondisi kebun kelapa sawit plasma saat ini disajikan dalam satu rumusan skenario strategis (Tabel 37). Hasil analisis prospektif menunjukkan variabel kunci dari analisis kelembagaan dan sistem dinamis mendukung bahwa skenario strategis medium yang paling memungkinkan untuk mencapai kondisi kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan. Hal ini terlihat dari kondisi biofisik, ekonomi dan sosial di masa mendatang. Dari aspek biofisik, beberapa indikator seperti kesesuaian lahan, produktivitas lahan, luas lahan, degradasi lahan, kerusakan lingkungan (tanah, air dan udara) mendukung tercapainya kondisi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Kesesuaian lahan masih dikategorikan sebagai S2 (cukup sesuai) dengan rata-rata produksi sebanyak 25,83 ton TBS/ha/tahun. Degradasi lahan melalui erosi dan aliran permukaan tidak terjadi karena topografi lahan termasuk datar-agak berombak ( lereng 0-5 persen). Pada kondisi ini, kelapa sawit sendiri bisa mencegah erosi dan aliran permukaan secara efektif. Pabrik kelapa sawit yang mengolah TBS menjadi CPO sudah mampu mengolah limbah padat (tandan buah kosong dan cangkang buah) dan penerapan sistem Land Application (LA). Semua tandan buah kosong dikembalikan ke lahan sebagai pupuk organik, sedangkan cangkang buah baru 50% diolah menjadi serbuk dan dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik. Pada sistem LA, limbah cair bisa dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik setelah diberi perlakuan fermentasi anaerob sampai pada kadar BOD < 3500 mg/liter. Limbah ini dialirkan ke areal perkebunan dengan sistem ”flat bed” melalui rangkaian irigasi pipa menuju bak penampung dan diteruskan dengan parit primer dan sekunder terutama pada musim kemarau untuk menjaga kebutuhan air tanaman selain sebagai pupuk organik.
181 Tabel 37. Rumusan Skenario Strategis Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Di Sei Pagar Variabel Biofisik: - Kualitas lahan
- Luas lahan - Produktivitas lahan - Pencemaran lingkungan (tanah, udara dan air)
- Sumberdaya manusia
Ekonomi: - Modal kerja - Pendapatan
Sosial: - Konflik sosial
- Pendidikan dan penyerapan tenaga kerja
- Kelembagaan petani
- Status penguasaan Lahan
Kondisi saat ini S2-f dan S2-f,n (cukup sesuai dengan faktor pembatas retensi dan ketersediaan hara) 2,0 hektar/kk 22,54 ton TBS/ha/tahun - Terjadi pencemaran lingkungan terutama air karena pemupukan dengan cara disebar rata di permukaan tanah - Penerapan sistem Land Application terhadap limbah PKS, pemanfaatan tandan buah kosong sebagai pupuk organik baru dimulai sehingga masih berpotensi mencemari lingkungan -Pertumbuhan 2,0%, tekanan terhadap lahan tinggi baik dari sisi pencemaran maupun fragmentasi lahan - Keterampilan mengelola kebun perlu ditingkatkan melalui pelatihan
Kondisi pada model Masih S2 karena degradasi lahan dan penurunan daya dukung lingkungan rendah Bisa tetap 2,0 hektar/kk, beli dari masyarakat sekitar 25,83 ton TBS/ha/tahun - Pencemaran ringan karena pemupukan dengan cara dibenam ke dalam tanah - Sistem Land Application dan pemanfaatan tandan buah kosong sebagai pupuk organik sudah intensif sehingga mengurangi pencemaran lingkungan - Pertumbuhan 1,7%, tekanan terhadap lahan baik dari sisi pencemaran maupun fragmentasi lahan rendah - Keterampilan mengelola kebun memadai, perlu ditingkatkan melalui pelatihan
Akses modal kerja dengan skim kredit PIR-TRANS - Pendapatan petani Rp. 28 072 000/tahun/kk - Pendapatan masyarakat sekitar kebun Rp. 15 920 000/tahun
Akses modal kerja dengan skim Kredit PRITAMA - Pendapatan petani Rp. 45 719 900/tahun/kk - Pendapatan masyarakat sekitar kebun Rp. 16 845 025/tahun
Hasil wawancara dengan petani dan masyarakat oleh PTPN V menunjukkan masih ada konflik dengan bobot sekitar 40% terkait dengan penjualan TBS dan pertanahan Pendidikan masih rendah, sebagian besar (sekitar 98%) terserap pada kelompok tenaga kerja tidak terampil (non skill labour). Hubungan kinerja perusahaan inti dan petani plasma kurang harmonis, tidak ada sanksi terhadap pelanggaran perjanjian kerjasama, binaan teknis kurang intensif, LSM belum berperan dalam penyaluran aspirasi masyarakat Sertifikat, dikembalikan ke petani saat hutang lunas
Konflik meredam dengan implementasi pemberdayaan masyarakat (community empowerment) melalui program PKUK dengan penyisihan keuntungan perusahaan inti sebesar 2,5 Pendidikan meningkat, sudah terserap pada kelompok tenaga kerja terampil (skill labour) dengan setara gaji Rp. 55 000 000/tahun Hubungan kinerja perusahaan inti dan petani lebih harmonis, ada sanksi terhadap pelanggaran perjanjian kerjasama, binaan teknis lebih intensif, LSM berperan dalam penyaluran aspirasi masyarakat Sertifikat, dipegang terus oleh bank selama 1 siklus tanaman
182 Sumberdaya manusia adalah variabel biofisik yang ikut menentukan untuk mencapai kondisi perkebunan berkelanjutan. Laju pertambahan penduduk diharapkan
1,7%
untuk
mengimbangi
pertambahan
luas
lahan
dan
meminimalkan fragmentasi pemilikan lahan. Dengan tingkat pendidikan yang sudah baik, pemahaman Keluarga Berencana yang baik maka laju pertambahan penduduk setinggi 1,7% bisa dicapai. Selain itu, dengan pendidikan yang baik akan berdampak terhadap adopsi teknologi pengelolaan yang semakin penting kontribusinya dalam mewujudkan kondisi kebun berkelanjutan. Dari aspek ekonomi, petani akan memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp. 45 719 900/tahun , sedangkan pendapatan masyarakat di sekitar kebun rata-rata Rp. 16 845 025/tahun.
Sementara tingkat Upah Minimum
Regional (UMR) Provinsi Riau tahun 2007 sebesar Rp. 1 000 000/bulan. Standar ekonomi lainnya yang bisa dipakai dalam menilai tingkat pendapatan masyarakat adalah kebutuhan hidup layak (KHL) dimana setiap keluarga minimal memperoleh pendapatan setara dengan 4000 kg beras/tahun. Dengan harga beras rata-rata Rp. 5000/kg maka total pendapatan keluarga Rp. 20 000 000/tahun. Standar lainnya adalah target Pemerintah Daerah Provinsi Riau yaitu pendapatan petani kelapa sawit sebesar US $ 2000/kepala keluarga/tahun. Dari aspek sosial, kondisi yang dapat dijadikan indikator kesehatan masyarakat, pendidikan masyarakat, kondisi fasilitas umum, konflik, penerimaan masyarakat terhadap kehadiran kebun kelapa sawit dan penyerapan tenaga kerja. Peningkatan pendapatan berdampak terhadap membaiknya kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan. Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa saat ini sebesar 82 persen petani menyatakan pendidikan meningkat, 16 persen menyatakan meningkat nyata dan hanya 2 persen menyatakan pendidikan agak meningkat. Membaiknya kualitas sumberdaya manusia juga berdampak terhadap perbaikan indikator sosial lainnya. Kesehatan masyarakat membaik, fasilitas umum membaik, konflik sosial relatif rendah dan cenderung semakin membaik. Penyerapan tenaga kerja baik pada proses produksi TBS maupun pengolahan TBS menjadi CPO pada PKS meningkat. Hal yang lebih penting lagi bahwa kehadiran kebun sawit mampu mnyerap tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan maupun yang memerlukan keterampilan seperti tenaga teknis pada PKS, manajemen kebun dan PKS. Perbaikan kondisi pendidikan diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan petani jika bekerja di perkebunan
183 kelapa sawit dengan setara perolehan gaji sebesar Rp. 55 000 000. Penerimaan masyarakat terhadap kehadiran kebun kelapa sawit semakin membaik dimana 95 persen menerima dan bisa berbaur, 5 persen menolak karena sulit berbaur. Sementara itu, pendapat masyarakat terhadap kehadiran PKS, 86 persen masyarakat menerima dan menguntungkan, 14 persen merasa tidak mendapat keuntungan. Kondisi sosial saat ini tentu akan lebih membaik pada perode pemodelan yaitu tahun 2010-2035 berkaitan dengan perbaikan pengelolaan komponen biofisik, ekonomi dan sosial. Skenario strategis kombinasi hasil analisis penelitian ini searah dengan beberapa hasil rancangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang dihasilkan
peneliti
terdahulu.
Poeloengan
(2002)
menganjurkan
untuk
memperoleh perkebunan kelapa sawit berkelanjutan diperlukan strategis dengan memperbaiki aspek biofisik, ekonomi dan sosial. Aspek biofisik antara lain (a) peningkatan produktivitas lahan dan tanaman, (b) efisiensi biaya produksi dan pengolahan hasil panen, dan (c) penerapan ecoplantation. Aspek ekonomi memliputi (a) peningkatan pendapatan sebagai dampak perbaikan produktivitas lahan dan tanaman dan (b) peningkatan pendapatan masyarakat. Sedangkan aspek sosial yang dianjurkan yaitu (a) capacity building bagi sumberdaya manusia dan (b) penerapan sistem community development dalam rangka meredam isu sosial yang umumnya datang dari masyarakat lokal. Peneliti lain mengemukakan bahwa strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di masa mendatang harunya tidak hanya berfokus pada teknologi peningkatan produktivitas lahan dan tanaman melalui perbaikan genetika bahan tanaman, efisiensi pemupukan dan pengendalian hama/penyakit tetapi juga memperhatikan aspek lainnya. Aspek tersebut antara lain pengedalian kerusakan lingkungan yang berdampak langsung terhadap penurunan produktivitas lahan, dukungan yang kuat dari pemerintah dalam bentuk kelembagaan serta penguatan lembaga penelitian antara institusi penelitian dan pengembangan dengan perguruan tinggi (Darmosarkoro, 2006). Fairhust et al., (2006) menganjurkan strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan secara parsial berfokus pada teknologi pengelolaan berbasis pada konsep best management practice (BMP). Hipotesis dari konsep ini adalah bahwa peningkatan produktivitas lahan dan tanaman akan meningkatkan pendapatan petani dan selanjutnya akan berdampak terhadap pengendalian isu sosial dengan masyarakat sekitar kebun.
184 Strategi pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dari penelitian ini juga searah dengan strategi pengelolaan kelapa sawit dengan barometer Malaysia (Erningpraja et al, 2006). Dalam strategi barometer Malaysia, terdapat 7 variabel yang harus dipenuhi yaitu (1) pencapaian tingkat produktivitas tinggi, (2) pemenuhan ketersediaan sumberdaya manusia, (3) peningkatan
fasilitas
bagi
perusahaan
dalam
berinvestasi,
(4)
sistem
kelembagaan yang mendukung industri kelapa sawit, (5) kebijakan dan dukungan pemerintah terhadap penelitian dan pengembangan, (6) kelincahan dalam pemasaran dan (7) konsolidasi dan penggabungan.