IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 4.1.1. Karbondioksida (CO2) Keanekaragaman nilai fluks yang dihasilkan lahan pertanian sangat tergantung pada sistem pengelolaan lahan tersebut. Pola fluks CO2 selama satu musim tanam disajikan pada Gambar 7. Fluks tertinggi dihasilkan oleh lahan dengan perlakuan Non PTT tergenang sebesar 9866.2 mg/m2/hari pada 72 HST (Gambar 7a dan Lampiran 7). Secara kumulatif (Gambar 7b), perlakuan Non PTT tergenang juga menunjukkan nilai fluks yang tertinggi (70923.3 mg/m2) sedangkan terendah dihasilkan oleh lahan dengan perlakuan SRI intermittent (52064.2 mg/m2). Pada kondisi tergenang (anaerob) jumlah CO2 yang dilepaskan seharusnya sedikit karena oksigen direduksi untuk menghasilkan CH4. Selain itu dalam pembentukan CH4, methanogen membutuhkan CO2 sebagai sumber C untuk memproduksi CH4 (Takai 1970 dalam Furukawa dan Inubushi, 2002; Vogels et al., 1988 dalam Wang dan Adachi, 2000). Namun berdasarkan Gambar 7 menunjukkan bahwa perlakuan PTT dan Non PTT tergenang memiliki fluks yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan intermittent. Pada kondisi ini meskipun lahan tergenang terus menerus, fluks CO2 yang dilepaskan juga tinggi. Keadaan ini terjadi karena pada saat pembentukan CH4 tidak semua CO2 direduksi. Pembentukan gas CH4 akan optimum pada pH 6-8 dan Eh < -200 mV (Neue dan Scharpenseel, 1990 dalam Wihardjaka et al., 1999; Suharsih et al., 1999). Selain dilepaskan, CO2 juga digunakan tanaman dalam proses fotosintesis. Secara keseluruhan, rata-rata fluks CO2 yang dilepas setiap HST tidak berbeda nyata antar perlakuan satu dengan perlakuan lain. Beda nyata terjadi pada saat tanaman berumur 51 dan 58 HST.
Hal ini
disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah anakan maksimum pada tanaman. Tingginya jumlah anakan pada perlakuan Semi SRI intermittent dan Non PTT tergenang (Tabel 1) berpengaruh terhadap kecilnya emisi
25
yang dihasilkan . Hal ini menunjukkan CO2 lebih banyak digunakan untuk fotosintesis tanaman. 12000
a)
Fase Vegetatif 10000
Fase Reproduktif
Fase Pemasakan Panen SRI, Semi SRI Panen PTT, Non PTT
Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang
Fluks CO2 (mg/m2/hari)
8000
PTT Intermittent SRI Intermittent Semi-S R I Intermittent
6000
4000
2000
0 2
9
16
23
30
Pengeringan I
b)
37
44
51
58
65
72
79
86
93
100
Pengeringan pra panen
Pengeringan II
80000
Fluks Kumulatif CO2 (mg/m2)
70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0
c)
2
9
16
23
30
37
44
51
58
65
72
79
4
8
15
23
30
36
43
50
57
64
71
79
87
93
100
6.5 6
pH tanah
5.5 5 4.5 4 3.5 85
92
99
Hari Setelah Tanam (HST)
Gambar 7. Fluks CO2 (a) dan fluks kumulatif CO2 (b) berbagai sistem pengelolaan tanaman padi dipengaruhi oleh pH tanah (c), Jakenan, MK 2009
26
4.1.2. Metana (CH4) Dinamika metana pada lahan sawah dipengaruhi oleh pola pertumbuhan tanaman padi. Emisi metana pada fase vegetatif aktif sampai sampai pengisian biji mengalami peningkatan bahkan mencapai puncaknya, kemudian menurun sejalan dengan pemasakan biji bahkan cenderung terus menurun pada saat panen (Ermawanto, 2003; Setyanto dan Kartikawati, 2006). Keadaan ini seperti yang terlihat pada Gambar 8a. Terbentuknya fluks CH4 pada saat pengeringan yang cenderung lebih rendah dibandingkan saat penggenangan mengindikasikan bahwa rejim air dalam budidaya pertanian sangat mempengaruhi terbentuknya fluks CH4. Pola fluks antar sesama perlakuan memiliki kesamaan. Rata-rata fluks untuk perlakuan penggenangan adalah 417.3 mg CH4/m2/hari (Non PTT tergenang) dan 207.2 mg CH4/m2/hari (PTT tergenang). Sedangkan pada Non PTT intermittent dan PTT intermittent berturut-turut sebesar 177.6 dan 180.1 mg CH4/m2/hari. Nilai fluks CH4 tertinggi dicapai Non PTT tergenang pada 36 HST sebesar 1247 mg/m2/hari (Lampiran 7). Hal ini dikarenakan pada proses pengenangan terus-menerus akan menciptakan kondisi anaerob pada tanah yang sangat disukai oleh bakteri metanogen untuk menghasilkan CH4. Fluks CH4 pada
perlakuan SRI intermittent dan Semi SRI
intermittent mempunyai pola yang relatif sama. Namun pada saat tertentu, fluks CH4 Semi SRI intermittent cenderung lebih tinggi dibandingkan SRI intermittent. Dengan demikian rata-rata fluks CH4 pada perlakuan Semi SRI intermittent cenderung lebih besar dibandingkan SRI intermittent, masingmasing 268.1 dan 140.4 mg CH4/m2/hari. Adanya pemberian pupuk anorganik merupakan faktor pembeda pada kedua perlakuan ini. Perlakuan Semi-SRI intermittent mendapatkan pupuk anorganik dengan dosis setengah dari dosis yang dianjurkan sedangkan perlakuan SRI intermittent tidak mendapatkan pupuk anorganik.
27
a)
1600 Fase Vegetatif
Fase Reproduktif
Fase Pemasakan
1400 Non PTT Tergenang
Fluks CH4 (mg/m2/hari)
1200
Non PTT Intermitten PTT Tergenang
1000
PTT Intermittent S R I Intermittent
800
Panen SRI, Semi SRI
Semi-S R I Intermittent
Panen PTT, Non PTT
600
400
200 0 2
8
15
22
29
Pengeringan I
b)
36
43
50
57
64
71
79
86
92
99
Pengeringan pra panen
Pengeringan II
7000
Fluks Kumulatif CH4 (mg/m2)
6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
79
86
92
99
4
8
15
23
30
36
43
50
57
64
71
79
85
92
99
6.5 6 5.5 pH tanah
c)
2
5
4.5 4 3.5
Hari Setelah Tanam (HST)
Gambar 8. Fluks CH4 (a) dan fluks kumulatif CH4 (b) berbagai sistem pengelolaan tanaman padi dipengaruhi oleh pH tanah (c), Jakenan, MK 2009
28
Fluks kumulatif CH4 disajikan pada Gambar 8b. Secara kumulatif, perlakuan Non PTT tergenang memiliki nilai fluks CH4 tertinggi (6262.5 mg/m2). Selanjutnya diikuti Semi SRI intermittent (4026.6 mg/m2), Non PTT intermittent (3111.2 mg/m2), PTT tergenang (2704.8 mg/m2), PTT intermittent (2666.5 mg/m2) dan SRI intermittent (2109.0 mg/m2). Rendahnya fluks kumulatif CH4 pada pengairan intermittent disebabkan oleh meningkatnya nilai reduksi oksidasi tanah sehingga dekomposisi secara anaerobik tidak berlangsung. Pada awal pertumbuhan, fluks CH4 tidak berbeda nyata antar perlakuan. Bertambahnya jumlah anakan pada fase reproduktif mulai berpengaruh terhadap nilai fluks. Pada fase anakan maksimum (50 - 60 HST), fluks secara umum meningkat hingga 722 mg/m2/hari (Lampiran 7) yang dihasilkan oleh perlakuan Non PTT intermittent. Setelah memasuki fase pemasakan hingga panen, fluks cenderung menurun. Selama penelitian, pH tanah tiap perlakuan berfluktuasi sesuai dengan kondisi tanah. Aktivitas bakteri yang mampu membentuk gas CH4 mampu terbentuk pada kondisi tanah tergenang dengan kisaran pH 6 - 8 (Suharsih et al., 1999). Menurut Wang et al., (1983) pembentukan CH4 maksimum berada terjadi pada pH 6.9 - 7.1 dan terhambat pada pH < 5.75 dan > 8.75. Nilai pH < 5.75 banyak ditemui pada 85 HST hingga akhir pengukuran. Penurunan nilai pH (Gambar 8c) pada akhir penanaman menyebabkan bakteri methanogen tidak mampu hidup pada kondisi ini sehingga berpengaruh terhadap penurunan fluks CH4 (Gambar 8a).
4.1.3. Nitrous oksida (N2O) Lahan sawah merupakan sumber penting penghasil N2O. Pada Gambar 9a dapat dilihat perubahan nilai fluks, fluktuasi N2O bervariasi mengikuti pola pertumbuhan tanaman dan budidaya padi. Pola fluks pada tiap perlakuan cenderung sama. Pada fase vegetatif menunjukkan nilai fluks N2O yang stabil dengan fluks tertinggi dicapai oleh perlakuan PTT intermittent sebesar 620 µg/m2/hari. Memasuki fase reproduktif, nilai fluks cenderung menurun, meningkat kembali pada fase pemasakan hingga
29
panen. Peningkatan pembebasan N2O ini terjadi karena tanaman sudah tua, mati atau bagian atas tanaman diambil melalui panen (Suyono et al., 2006). Untuk perlakuan intermittent pada PTT dan Non PTT, fluks mengalami kenaikan pada saat pengeringan (14 - 20 HST dan 35 - 45 HST). Keadaan tanah yang sangat basah sebelum pengeringan merupakan faktor utama penyebab peningkatan tersebut. Pada keadaan ini nitrifikasi terhenti dan gas yang keluar dari dalam tanah akan terhambat dan denitrifikasi akan berlangsung. Denitrifikasi akan meningkat pada saat difusi O2 menurun dan tanah dalam keadaan anaerob dimana N2O oleh denitrifikasi lebih dominan daripada NO (Partohardjono, 1999; Verchoft, 1999 dalam Hutabarat, 2001). Pemupukan selama penanaman padi memiliki pengaruh yang kuat terhadap emisi N2O yang dihasilkan lahan sawah (Mulyadi et al., 1999). Terlihat pada Gambar 9a, adanya pemberian pupuk kandang pada -12 HST sebanyak 15 t/ha menyebabkan perlakuan SRI memiliki nilai fluks N2O yang tertinggi pada awal tanam dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bremmer et al. (1981) dalam Mulyadi (1999) bahwa tingkat kehilangan N2O dalam bentuk anhidrus mencapai puncaknya pada minggu kedua dan keempat setelah pemberian pupuk. Selanjutnya pemberian pupuk urea untuk perlakuan PTT, Non PTT, dan semi SRI dilakukan sebanyak tiga kali dari awal hingga akhir penanaman. Fluks kumulatif N2O terlihat terus meningkat (Gambar 9b). Fluks kumulatif tertinggi terdapat pada perlakuan Non PTT tergenang (4781.94 µg/m2/hari). Dari gambar tersebut dapat ditemukan suatu hal yang menarik bahwa aplikasi pupuk urea menyebabkan fluks kumulatif meningkat. Peningkatan takaran pupuk urea proposional dengan peningkatan emisi gas nitrous oksida. Makin tinggi takaran pupuk urea pada padi sawah tadah hujan, makin besar kehilangan N dalam bentuk
N2O, sehingga dapat
meningkatkan konsentrasi gas N2O di atmosfer (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Dengan demikian fluks kumulatif terendah dimiliki oleh perlakuan tanpa aplikasi pupuk urea yaitu SRI intermittent (2196.11 µg/m2/hari). Hasil ini menunjukkan bahwa efesiensi penyerapan pupuk N umumnya di bawah
30
50 % walaupun dengan pengelolaan yang baik (De Datta, 1981 dalam Sasa, 1999). 700
a)
Fase Vegetatif
Fase Reproduktif
Fase Pemasakan Panen SRI, Semi SRI
600 Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent
Fluks N2O (mg/m2/hari)
500
Panen PTT, Non PTT
PTT Tergenang PTT Intermittent SRI Intermittent
400
Semi-SRI Intermittent
300
200
100
0 2
8
15
22
29
Pengeringan I
36
43
50
57
64
71
79
86
92
99
Pengeringan pra panen
Pengeringan II
3500
b)
Fluks Kumulatif N2O(mg/m2)
3000 2500 2000 1500 1000 500 0
c)
2
8
15
22
29
36
43
50
57
64
71
79
86
92
99
4
8
15
23
30
36
43
50
57
64
71
79
85
92
99
6.5 6
pH tanah
5.5 5 4.5 4 3.5
Hari Setelah Tanam (HST)
Gambar 9. Fluks N2O (a) dan fluks kumulatif N2O (b) berbagai sistem pengelolaan tanaman padi dipengaruhi oleh pH tanah (c), Jakenan, MK 2009
31
Fluks N2O dari awal pengukuran (2 HST) hingga akhir pengukuran (86 HST) hampir tidak memiliki beda nyata antar semua perlakuan. Pada 79 HST, perlakuan Non PTT tergenang memiliki beda nyata terhadap lima perlakuan lain dengan fluks sebesar 311 µg/m2/hari. Fluks tertinggi untuk keenam perlakuan berturut-turut dihasilkan pada 22, 15, 36, 57, 43, dan 50 HST (Lampiran 7). Pola emisi gas N2O berfluktuasi menurut waktu setelah pemberian pupuk N, dimana puncak emisi terjadi 3 – 5 hari setelah pemberian pupuk N hingga hari ke-17 kemudian turun (Partohardjono, 1999 dalam Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Sesuai dengan jadwal pemupukan (Lampiran 3) maka pola yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 9a. Pembentukan N2O oleh proses nitrifikasi dan denitrifikasi juga dipengeruhi oleh Eh dan pH tanah. Proses nitrifikasi berada dalam kisaran 5 sampai 10, tetapi berlangsung paling cepat terjadi pada saat pH mendekati 7 dan berkurang pada pH < 5.5. Namun, penurunan pH < 5.5 (Gambar 9c) diakhir penanaman tidak berpengaruh terhadap penurunan fluks N2O bahkan terjadi peningkatan fluks N2O. Hal ini dikarenakan kondisi lahan pasca panen yang kering memiliki temperatur optimum (27 - 32 oC) sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri nitrifikasi.
4.2. Parameter Tanaman 4.2.1. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan Parameter tanaman yang diukur meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, warna hijau daun (klorofil), dan biomasa total. Tinggi tanaman dan jumlah anakan dianalisa dengan menggunakan Uji DMRT (Duncan multiple Range Test) untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Berdasarkan Tabel 1, beda nyata terlihat pada fase vegetatif awal hingga reproduktif (15 - 72 HST). Pada akhir pengukuran tinggi tanaman sudah mulai stabil sehingga tidak terlihat beda nyata antar perlakuan dengan tanaman tertinggi sebesar 97.94 cm (Non PTT tergenang). Secara keseluruhan dari awal hingga akhir tanam, perlakuan Non PTT tergenang tidak berbeda nyata dengan perlakuan PTT intermittent dengan tinggi 30.31 - 97.94 cm.
32
Jumlah anakan diukur bersamaan dengan tinggi tanaman. Jumlah anakan maksimum terdapat pada pengukuran 39 HST dimana jumlah anakan tertinggi dihasilkan oleh Semi SRI intermittent sebanyak 16 batang. Jarak tanam yang yang lebar (30 cm x 30 cm) membuat Semi SRI intermittent memiliki ruang tumbuh yang lebih lebar dibandingkan dengan perlakuan lain. Terendah terdapat pada perlakuan PTT intermittent dengan jumlah anakan sebanyak 10 batang. Jumlah anakan menurun seiring dengan masuknya fase reproduktif tanaman. Pada saat tanaman berumur 57 HST, jumlah anakan pada semua perlakuan tidak berbeda nyata antar satu dengan lainnya. Perbedaan anakan aktif ini dipengaruhi oleh diterapkannya jarak tanam yang berbeda pada masing-masing perlakuan. Tabel 1. Tinggi tanaman dan jumlah anakan berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm) 15 HST
Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang PTT Intermittent SRI Intermittent Semi-SRI Intermittent
30.31 30.67 37.50 26.17 21.54 26.77
Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang PTT Intermittent SRI Intermittent Semi-SRI Intermittent
3 3 1 1 1 1
ab ab a ab b ab a a b b b b
29 HST
50.50 50.83 42.81 44.09 39.67 42.21 13 15 7 7 5 7
a a bc b c bc a a b b b b
39 HST
57 HST
62.31 a 80.24 a 63.63 a 81.05 a 61.63 a 79.29 a 49.90 b 81.25 a 55.37 ab 71.48 b 55.36 ab 74.73 ab Jumlah Anakan (Batang) 12 b 12 b 14 ab 10 b 11 b 8b 10 b 8b 12 b 11 b 16 a 15 a
72 HST
86 HST
97.87 98.75 95.81 97.13 84.71 91.17
a a ab ab c b
97.94 97.25 94.50 94.6 94.7 94.8
10 10 7 8 10 13
b b c bc b a
10 10 8 8 10 13
a a a a a a bc b c c b a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05 DMRT
4.2.2.
Biomas Tanaman Biomas tanaman padi diambil sebanyak lima kali pada fase-fase
pertumbuhan yaitu 22, 36, 51, 64, dan 78 HST. Biomas yang diukur adalah biomas kering total yaitu bagian akar hingga pucuk tanaman. Pada fase vegetatif awal, tidak terdapat beda nyata antar perlakuan Non PTT tergenang dan intermittent. Keduanya memiliki bobot tertinggi jika dibanding dengan perlakuan lain. Umur bibit PTT yang lebih tua dan jumlah bibit yang lebih banyak merupakan penyebab tingginya nilai ini. Biomas pada fase anakan aktif (51 dan 64 HST) tidak berbeda nyata antar 33
perlakuannya. Pada akhir pengukuran, beda nyata terdapat pada perlakuan SRI dengan empat perlakuan lainnya. Jarak tanam yang lebar ternyata menghasilkan jumlah biomas yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya dengan rata-rata sebesar 43.08 g. Adanya persaingan yang kecil dalam memperebutkan unsur hara esensial ditambah dengan pemberian pupuk kandang 15 t/ha ternyata merangsang tanaman untuk membentuk biomas lebih banyak.
Tabel 2. Biomas kering berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Perlakuan Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang PTT Intermittent SRI Intermittent Semi-SRI Intermittent
22 HST
36 HST
2.83 3.00 1.50 2.17 0.83 1.00
26.67 23.13 11.63 12.20 13.17 24.23
a a bc ab c c
a ab b ab ab ab
Biomas Kering (g) 51 HST 64 HST 60.07 52.53 35.70 61.53 52.17 59.23
a a a a a a
40.00 40.70 31.37 23.23 40.17 37.73
a a a a a a
78 HST 42.47 51.33 27.87 44.70 60.77 93.23
b b b b ab a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05 DMRT
Besarnya jumlah biomas total tanaman sangat identik dengan tingginya emisi CH4 yang dilepas dari satuan luas pertanaman padi. Setyanto dan Kartikawati (2006) menyebutkan bahwa fluks CH4 sangat dipengaruhi oleh jumlah biomas tanaman, peningkatan biomas berbanding lurus dengan peningkatan emisi CH4 dari lahan sawah. Jumlah biomas sangat identik dengan jumlah eksudat akar yang dilepas tanaman padi, semakin besar biomas semakin tinggi eksudat akar tanaman padi.
4.2.3.
Klorofil Pengukuran klorofil dilakukan sebanyak delapan kali selama
penanaman dengan menggunakan klorofil meter. Besarnya klorofil tanaman padi berkisar 32-34. Berdasarkan Gambar 10, rata-rata klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan PTT tergenang dengan nilai terbesar adalah 37.52. Nilai tersebut dicapai pada saat tanaman berumur 32 HST. Rata-rata klorofil terkecil terdapat pada perlakuan SRI intermittent dengan nilai sebesar
34
32.55. Hal ini tampak dari warna daun yang agak menguning. Tidak adanya pemberian pupuk anorganik pada tanaman adalah faktor yang menyebabkan kecilnya nilai klorofil tersebut.
15 HST
24 HST
32 HST
41HST
50 HST
59 HST
68 HST
77 HST
40 35 30 Klo ro fil
25 20 15 10 5 0 Non PTT Tergenang
Non PTT Intermittent
PTT Intermittent
PTT Tergenang SRI Intermittent
Semi SRI Intermittent
Perlakuan
Gambar 10. Tingkat hijau daun (klorofil) pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Pada perlakuan PTT, penggunaan klorofil meter dikombinasikan dengan bagan warna daun (BWD). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk urea dengan mengikuti prosedur BWD terbukti lebih efektif menjaga tingkat hijau daun tanaman dan mengoptimalkan penggunaan
N.
Teknologi
BWD
mampu
meningkatkan
efisiensi
penggunaan pupuk N sekitar 15 - 30%. Dengan kata lain kondisi tanaman dalam keadaan cukup hara N namun tidak berlebihan (Sembiring et al., 2000; Wahid, 2003).
4.3. Komponen Hasil Hasil
analisis
statistik
untuk
bobot
jerami
kering
ubinan
menunjukkan bahwa tidak terdapat beda nyata antar perlakuan Non PTT dan PTT. Bobot jerami yang dihasilkan pada saat panen berkisar 2.6–4.6 kg/ubinan. Bobot jerami tertinggi terdapat pada perlakuan Non PTT
35
intermittent sebesar 4.6 kg sedangkan terendah dihasilkan oleh perlakuan SRI intermittent sebesar 2.6 kg. Jumlah anakan produktif menunjukkan banyaknya malai yang terisi oleh bulir padi. Dari Tabel 3 menunjukkan tidak adanya beda nyata antar semua perlakuan. Semi SRI intermittent memiliki rata-rata jumlah anakan produktif tertinggi sebanyak 13 batang. Keseluruhan jumlah anakan berkisar 8-13 batang. Pada batang padi terdapat jaringan aerenkim yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas antara rhizosfer dan atmosfer. Dengan demikian, semakin banyak jumlah anakan maka semakin banyak cerobong yang menghubungkan antara rhizosfer dan atmosfer sehingga semakin banyak pula emisi gas CH4 yang dilepas. Peningkatan jumlah anakan dapat meningkatkan kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkim sehingga kapasitas angkut CH4 lebih besar (Aulakh, 2000). Tabel 3. Komponen panen berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Perlakuan Non PTT tergenang Non PTT intermittent PTT tergenang PTT intermittent SRI intermittent Semi-SRI intermittent
Bobot jerami Bobot akar Rata-rata ∑ % Berat 1000 ∑ gabah ∑ gabah kering/ubinan kering/ubinan Anakan gabah butir (g) hampa/rumpun isi/rumpun (kg) (kg) Produktif isi 4.2 4.6 4.3 4.1 2.6 3.6
ab a ab ab c b
0.83 0.75 0.62 0.61 0.19 0.24
a a a a b b
10 10 8 8 10 13
a a a a a a
32.77 32.54 31.44 32.22 29.21 30.12
a a ab a c bc
224 321 294 286 478 725
b b b b b a
671 729 541 509 655 910
ab ab b b ab ab
74.99 69.42 64.81 64.01 56.95 55.66
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05
Bobot akar berkaitan erat dengan eksudat akar yang dihasilkan oleh tanaman padi. Semakin banyak akar, maka eksudat akar yang dihasilkan juga semakin tinggi dan diikuti dengan tingginya emisi CH4 (Setyanto dan Kartikawati, 2006). Seperti pada bobot jerami, bobot akar pada perlakuan Non PTT dan PTT juga tidak memiliki beda nyata antar keduanya. Bobot akar tertinggi dan terendah berturut-turut sebesar 0.83 kg/ubinan dan 0.19 kg/ubinan. Tingginya bobot akar menyebabkan peningkatan emisi CH4 pada perlakuan Non PTT tergenang seperti yang terlihat pada Gambar 8. Berat 1000 butir yang diukur diambil dari gabah isi dari empat rumpun di setiap perlakuan. Berat terbesar terdapat pada gabah yang 36
dihasilkan dari perlakuan Non PTT tergenang (32.77 g) sedangkan terkecil pada perlakuan SRI intermittent (29.21). Dengan diketahuinya jumlah gabah hampa dan gabah isi maka persentase gabah isi per rumpun dapat diketahui. Persentase
gabah
isi
menunjukkan
banyaknya
jumlah
gabah
isi
dibandingkan dengan total gabah (isi dan hampa). Secara berturut-turut persentase tertinggi dan terendah terdapat pada perlakuan Non PTT tergenang (74.99 %) dan Semi SRI intermittent (55.66 %). Persentase gabah isi sangat berpengaruh terhadap hasil gabah (t/ha) yang dihasilkan. Melihat dari keenam perlakuan, SRI intermittent memiliki hasil terendah sebesar 2.31 t/ha (Tabel 4) dibanding perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan pada perlakuan SRI intermittent tidak diberikan pupuk anorganik sehingga tanaman padi hanya menyerap unsur hara yang terkandung di dalam tanah dan bahan organik. Walaupun kandungan unsur hara di dalam bahan organik tinggi, namun kondisi lembab dan pH masam pada tanah inseptisol menyebabkan lambatnya proses dekomposisi bahan organik tersebut. Oleh karena itu unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman seperti N, P, C, dan S tidak langsung tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
4.4. Neraca Karbon 4.4.1. Global Warming Potential (GWP) Berdasarkan Tabel 4 terlihat GWP tertinggi terdapat pada perlakuan Non PTT tergenang (13.55 t CO2-eq/ha) dan terendah pada perlakuan SRI intermittent (6.19 t CO2-eq/ha). GWP adalah angka yang digunakan untuk menyatakan nilai potensi pemanasan global dari CH4-C dan N2O-N yang disetarakan dengan nilai CO2-C. GWP yang dihasilkan oleh perlakuan PTT tergenang juga cukup tinggi sebesar 8.13 t CO2-eq/ha. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa perlakuan tergenang baik pada PTT maupun Non PTT berpotensi besar untuk menyumbang emisi GRK. Pola pengairan dapat dikaitkan dengan besarnya emisi CH4 yang dihasilkan karena berhubungan langsung dengan kondisi tanah dan aktifitas mikroorganisme penghasil gas CH4. Besarnya nilai korelasi antara kedua
37
parameter ini terlihat pada hasil analisis statistik pada Lampiran 12. Tingginya emisi pada perlakuan PTT dan Non PTT tergenang disebabkan karena kondisi yang senantiasa tergenang mengakibatkan tanah menjadi anaerobik yang merupakan kondisi ideal untuk bakteri metanogen meningkatkan aktifitasnya dalam menghasilkan CH4. Antara kedua perlakuan tersebut, Non PTT tergenang memiliki emisi yang lebih tinggi dibandingkan PTT tergenang. Fenomena ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan aplikasi pupuk pada masing-masing perlakuan. Pupuk urea yang diberikan ke dalam tanah dihidrolisis oleh enzim urease menjadi CO2 dan NH3, mengakibatkan peningkatan pH ke arah alkalis dan penurunan redoks potensial yang diduga dapat meningkatkan emisi gas metana (Schultz et al., 1989 dalam Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Dibandingkan perlakuan PTT tergenang, pemberian 100 % pupuk anorganik pada Non PTT tergenang tentunya akan meningkatkan ketersediaan pupuk urea sehingga emisi metana juga meningkat. Menurut Partohardjono (1999) dalam Wahid (2003), emisi gas N2O dipengaruhi oleh takaran pupuk N yang diberikan; makin tinggi takaran N, makin besar emisi gas N2O yang ditimbulkan. Tingginya emisi CH4 dan N2O menyebabkan total emisi GRK setara CO2-eq (GWP) yang dihasilkan juga tinggi. Tabel 4. GWP berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Perlakuan
CO2
Non PTT Tergenang
Emisi (kg/ha) CH4
GWP (t CO2eq/ha/musim)
N2O
Hasil gabah (t/ha)
4333.5 ± 446.3 a Non PTT Intermittent 3449.9 ± 601.1 ab PTT Tergenang 3547.2 ± 466.8 ab PTT Intermittent 3986.1 ± 576.0 ab
436.66 ± 93.61 a
0.17 ± 0.08
a
185.71 ± 13.74 bc
0.15 ± 0.06
a
216.98 ± 14.41 bc 188.34 ± 51.47 bc
0.12 ± 0.06
SRI Intermittent
3097.5 ± 486.7 b
145.55 ± 38.35 c
0.13 ± 0.03 a
7.98 ± 1.47 bc 6.19 ± 0.95 c
4.18 ± 0.28 b 2.31 ± 0.17 d
Semi SRI intermittent
3235.2 ± 292.5 b
278.27 ± 61.10 b
0.10 ± 0.03
9.11 ± 1.49 bc
3.07 ± 0.19 c
0.09 ± 0.04 a a
a
13.55 ± 1.98 a 4.66 ± 0.17 a 7.39 ± 0.48 bc 4.51 ± 0.09 ab 8.13 ± 0.19 bc 4.13 ± 0.32 b
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05
Adanya perlakuan baru (Semi SRI intermittent) pada penelitian ini memunculkan suatu hal yang menarik, yaitu perlakuan tersebut memiliki nilai GWP yang lebih besar dibandingkan PTT (tergenang atau intermittent) maupun Non PTT intermittent. Hal ini menunjukkan tidak
38
hanya perlakuan pengairan (irigasi) yang berpengaruh terhadap emisi CH4 tetapi juga perlakuan pemupukan. Ketidakefisienan dalam pemupukan dan irigasi yang terus menerus menyebabkan emisi yang tinggi pada lahan pertanian. Kondisi pengeringan mampu membuat tanah dalam keadaan aerobik sehingga bakteri metanotropik lebih aktif. Dengan adanya irigasi intermittent dimungkinkan terputusnya keadaan tergenang pada fase-fase tertentu sehingga dapat menekan emisi CH4.
4.4.2. Serapan C-Organik Komponen-komponen yang diukur kandungan C-organiknya dapat dilihat pada Tabel 5. Analisis serapan C-organik yang telah dilakukan menunjukkan persentase kandungan C-organik untuk masing-masing komponen adalah 35.69 - 47.46 % (akar), 46.11 - 48.72 % (jerami), 50.65 52.41 % (malai), 51.97 - 54.21 % (gabah), dan 24.37 - 40.99 % (gulma). Berdasarkan tabel tersebut, kandungan C-organik pada akar tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan dengan tertinggi pada perlakuan Non PTT tergenang (283.11 kg/ha).
Tabel 5. Kandungan C-organik berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Perlakuan
Kandungan C-organik (kg C/ha)1 Akar Gulma2
Akar
Jerami
Malai
Gabah
Gulma
Non PTT Tergenang
283.11 a
2260.6 a
54.37 b
2528.27 a
59.64 c
19.88 c
Non PTT Intermittent
225.71 ab
2475.1 a
61.32 b
2431.61 a
96.49 bc
32.16 bc
PTT Tergenang
228.83 ab
2239.8 a
78.79 ab
2208.34 b
110.07 bc
36.69 bc
PTT Intermittent
198.23 ab
2240.0 a
91.01 a
2205.95 b
175.61 abc 58.54 abc
SRI Intermittent
57.37 b
1012.5 b
21.06 c
1199.01 d
303.35 ab
101.12 ab
Semi SRI Intermittent
99.96 ab
1501.5 ab
22.13 c
1608.77 c
392.78 a
130.93 a
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05 1 Perhitungan kandungan C-organik pada KA 14 % (gabah) dan KA 30 % (akar, jerami, malai, gulma dan akar gulma) 2 Asumsi nilai C-organik akar gulma sama dengan nilai C-organik gulma dan berat akar gulma sama dengan 1/3 berat kering
Jerami dan gabah merupakan bagian yang cukup banyak menyimpan karbon dibandingkan bagian lainnya. Untuk jerami, kandungan C tertinggi dan terendah berturut-turut terdapat pada perlakuan
39
Non PTT intermittent dan SRI intermittent. Sedangkan kandungan Corganik pada gabah terdapat beda nyata yang jelas antar perlakuannya, perlakuan SRI intermittent memiliki kandungan terkecil sebesar 1199.01 kg/ha. Hal ini dikarenakan hasil gabah SRI intermittent lebih sedikit bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nlai C-organik untuk malai berkisar 21.06 - 91.01 kg/ha dengan tertinggi dihasilkan oleh perlakuan PTT intermittent. Dibandingkan komponen lain, gulma memiliki kisaran nilai C-organik yang cukup lebar (59.64 - 392.78 kg/ha) sehingga tampak beda nyata antar perlakuan satu dengan yang lain.
4.4.3. Net Karbon Nilai net karbon dari semua perlakuan menunjukkan besarnya karbon yang dilepaskan dari masing-masing sistem pengelolaan padi setelah adanya absorbsi karbon oleh tanaman padi. Dari Tabel 6 jelas bahwa perlakuan SRI intermittent mempunyai net karbon yang bernilai negatif terbesar ( 1390.21 kg C/ha), itu artinya perlakuan tersebut lebih banyak menyerap karbon dari pada mengemisikan karbon. Begitu juga untuk perlakuan PTT intermittent (475.73 kg C/ha) dan Non PTT intermittent (145.55 kg C/ha). Perlakuan Non PTT dan PTT tergenang memiliki net karbon positif dengan nilai sebesar 4473.27 kg/ha (Non PTT tergenang). Dari sini dapat dilihat bahwa perlakuan intermittent sangat cocok untuk diterapkan karena merupakan salah satu teknologi untuk meningkatkan absorbsi karbon melalui sistem pengelolaan tanaman padi yang ramah lingkungan. Tabel 6. Neraca Karbon berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Perlakuan Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang PTT Intermittent SRI Intermittent Semi SRI Intermittent
Total kandungan C-organik (kg C/ha)1
GWP (kg CO2-C/ha)
Net karbon (kg C/ha)2
Hasil gabah (t/ha)
Rasio GWP/Hasil Gabah3
4256.50 4304.00 4242.28 4822.68 4757.55 4461.51
8729.77 4158.45 4719.10 4346.94 3367.34 5691.80
4473.27 -145.55 476.82 -475.73 -1390,21 1230.28
4.66 4.51 4.13 4.18 2.31 3.07
2.04 1.78 1.58 1.59 3.22 2.44
1
Perhitungan kandungan C-organik pada KA 14 % (gabah) dan KA 30 % (akar, jerami, malai, gulma dan akar gulma) 2 Net karbon (kg C/ha) = GWP – Total kandungan C-organik 3 GWP dalam tCO2-eq/ha; gabah dalam t/ha
40
Perlakuan SRI dan Semi SRI intermittent menghasilkan emisi GRK setara CO2-C yang cukup tinggi, hal ini terlihat dari rasio GWP dan hasil padi dimana setiap 1 ton gabah berturut-turut menyumbangkan 3.22 dan 2.44 t CO2-C. Rasio terkecil terdapat pada perlakuan PTT tergenang dan PTT intermittent dengan rasio 1.58 dan 1.59. Berdasarkan Tabel 6, hasil gabah tertinggi dan emisi terendah dihasilkan oleh perlakuan Non PTT tergenang dan PTT tergenang. Namun dengan mempertimbangkan GWP yang ditimbulkan, perlakuan PTT intermittent lebih cocok untuk diterapkan mengingat efisiensi pupuk yang digunakan dan kecilnya emisi yang dihasilkan. Tabel 7. Kontribusi gas CO2, N2O, dan CH4 terhadap GWP berbagai sistem pengelolaan tanaman padi, Jakenan, MK 2009 Perlakuan Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang PTT Intermittent SRI Intermittent Semi SRI intermittent
GWP (kg CO2-C/ha) 8729.77 4158.45 4719.10 4346.94 3367.34 5691.80
CO2-C (kg/ha) 1181.86 940.88 967.42 1087.13 844.76 882.32
% 13.54 22.63 20.50 25.01 25.09 15.50
N2O-N (kg/ha) 15.48 14.07 8.77 10.85 11.82 9.30
% 0.18 0.34 0.19 0.25 0.35 0.16
CH4-C (kg/ha) 7532.42 3203.50 3742.91 3248.96 2510.76 4800.17
% 86.28 77.04 79.31 74.74 74.56 84.33
Besar kecilnya emisi yang disumbangkan oleh lahan pertanian tidak lepas dari sumbangsih CO2, N2O dan CH4 sebagai gas rumah kaca. Dengan menyetarakan gas ke CO2-C dan membandingkannya terhadap GWP maka diperoleh persentase sumbangan emisi untuk masing-masing gas. Gas CO2 memiliki kontribusi sebesar 13.54 - 25.09 %, N2O sebesar 0.16 - 0.35 % dan CH4 sebesar 74.56 - 86.28 % (Tabel 7). Dilihat dari persentase tersebut, gas CH4 memerlukan perhatian khusus dibandingkan kedua gas lainnya karena kontribusinya sangat besar besar terhadap emisi yang dihasilkan oleh lahan pertanian. Kecilnya persentase CO2 dan N2O menunjukkan semua gas yang dilepaskan lahan diserap lagi oleh tanaman bahkan untuk memenuhi energinya tanaman harus menyerap dari sumber-sumber yang lain.
41
4.5. Dinamika Emisi GRK Antar Musim Penelitian kuantifikasi emisi GRK pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi (Non PTT, PTT, dan SRI) dengan perlakuan tergenang dan intermittent telah dilakukan pada dua tahun terakhir. MK (padi walik jerami) dilakukan pada bulan Februari-Juli 2008 dan 2009 sedangkan MH (padi gogo rancah) pada bulan September-Februari 2008. Gambar 11a menunjukkan bahwa MH 2008 memiliki emisi CO2 tertinggi jika dibandingkan dengan dua musim lainnya. Sedangkan yang emisi terendah dihasilkan oleh pertanaman padi pada MK 2008. Melalui analisis statistik per musim, tidak terdapat beda nyata antar perlakuan. Namun beda nyata mulai terlihat pada analisis keseluruhan dengan nilai fluks tertinggi sebesar 5902.51 kg/ha oleh perlakuan PTT tergenang pada MH 2008 (Tabel 8). Tingginya emisi CO2 pada MH 2008 ternyata berpengaruh terhadap kecilnya emisi CH4 (Gambar 11b) dengan kisaran nilai sebesar 38.10-97.43 kg/ha (Tabel 8). Beda nyata jelas terlihat pada fluktuasi emisi CH4 antar perlakuan per musim (Tabel 8). Dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerobik yang secara berturut-turut menghasilkan
CO2 dan CH4
merupakan penyebab keduanya memiliki nilai yang berlawanan. Dengan demikian, jika lahan pertanaman lebih banyak dalam keadaan tergenang (anaerobik) maka emisi CH4 yang dihasilkan lebih tinggi begitu juga sebaliknya. Kecilnya nilai CH4 sangat dipengaruhi oleh musim tanam, pada pola padi gogo rancah ini curah hujan terus meningkat bahkan saat pengeringan tanah cenderung lembab. Penelitian lain juga memperlihatkan pola walik jerami menghasilkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan pola gogo rancah telah (Ermawanto et al., 2003; Lumbanraja et al., 1997; Subadiyasa et al., 1997). Dari ketiga musim tanam, emisi terkecil terdapat pada perlakuan PTT intermittent (MH 20008) sebesar 38.32 kg/ha (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengairan berselang (intermittent) lebih berpotensi untuk menekan emisi CH4 pada lahan pertanian.
42
MK 2008
a)
MH 2008
MK 2009
7000
Emisi CO2 (kg/ha)
6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 Non PTT Tergenang
Non PTT Intermittent
PTT Tergenang
PTT Intermittent
SRI Intermittent
Semi SRI Intermittent
Perlakuan
MK 2008
b)
MH 2008
MK 2009
500 450
Emisi CH4 (kg/ha)
400 350 300 250 200 150 100 50 0 Non PTT Tergenang
Non PTT Intermittent
PTT Tergenang
PTT Intermittent
SRI Intermittent
Semi SRI Intermittent
Perlakuan
MK 2008
c)
MH 2008
MK 2009
0,90 0,80
Emisi N2O (kg/ha)
0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 Non PTT Tergenang
Non PTT Intermittent
PTT Tergenang
PTT Intermittent
SRI Intermittent
Semi SRI Intermittent
Perlakuan
Gambar 11. Dinamika emisi (a) CO2, (b) CH4, dan (c) N2O berbagai sistem pengelolaan tanaman padi pada MK 2008, MH 2009, dan MK 2009
43
Tabel 8. Emisi CO2, CH4, dan N2O berbagai sistem pengelolaan tanaman padi pada MK 2008, MH 2009, dan MK 2009 Musim Tanam
Perlakuan
Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang MK 2008 PTT Intermittent SRI Intermittent SRI Macak-macak Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang MH 2008 PTT Intermittent SRI Intermittent SRI Macak-macak Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang MK 2009 PTT Intermittent SRI Intermittent Semi SRI Intermittent
Emisi CO2 Analisis Statistik (kg/ha) per musim overall 3510.6 a bcde 3610.4 a bcde 3192.2 a cde 4174.0 a bcde 3838.6 a bcde 2691.1 a e 4755.40 ab abc 4563.22 ab abcd 5902.51 ab a 4567.23 ab abcd 3874.55 b bcde 4390.01 ab ab 4333.49 a bcd 3449.89 ab bcd 3547.22 ab bcde 3986.14 ab bcde 3097.45 b de 3235.17 b bcde
Emisi CH4 Analisis Statistik (kg/ha) per musim overall 273.54 a b 178.35 bc cd 180.99 bc cd 128.20 c def 219.03 ab bc 164.27 bc cde 99.62 a efg 57.10 bc g 72.87 b fg 38.32 c g 49.89 bc g 42.30 c g 436.66 a a 185.71 bc cd 216.98 bc bc 188.35 bc cd 145.55 c de 278.27 b b
Emisi N2O Analisis Statistik (kg/ha) per musim overall 0.06 b e 0.18 a de 0.17 a de 0.18 a de 0.12 ab de 0.13 ab de 0.79 a a 0.70 ab ab 0.85 a a 0.51 ab bc 0.48 ab bc 0.36 b cd 0.17 a de 0.15 a de 0.09 a de 0.12 a de 0.13 a de 0.13 a de
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05
44
Emisi N2O pada lahan sawah lebih banyak dihasilkan akibat penggunaan pupuk yang mengandung nitrogen pada sistem pertanaman kering (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Seperti pada emisi CO2, emisi N2O pada MH 2008 juga memiliki kisaran nilai tertinggi (0.36 - 0.85 kg/ha) dan terendah pada MK 2008 (0.05 - 0.15 kg/ha). Analisis statistik untuk tiga musim (overall) menunjukkan Non PTT tergenang pada MH 2008 berpotensi besar dalam menghasilkan emisi N2O. Namun pada MK 2008, Non PTT tergenang justru menghasilkan emisi terkecil selama tiga musim tanam ini (0.06 kg/ha). Hal ini dipengaruhi oleh kandungan C/N dalam tanah. Total emisi setiap musim dari ketiga gas tersebut kemudian dikonversi ke CO2 (CO2 ekuivalen) sehingga diperoleh nilai GWP. Analisis statistik menunjukkan bahwa nilai GWP berbeda nyata antar perlakuan baik per musim maupun tiga musim. Secara keseluruhan, nilai GWP terbesar dan terkecil dihasilkan oleh perlakuan Non PTT tergenang MK 2009 dan SRI intermittent MH 2008 (Tabel 9). Untuk tiap musim, perlakuan Non PTT tergenang selalu memiliki GWP tertinggi dibandingkan perlakuan lain. Perlakuan intermittent berturut-turut memiliki GWP yang lebih kecil dibandingkan perlakuan penggenangan. Produktivitas yang tinggi merupakan tujuan utama dalam pertanian selain upaya mitigasi dari GRK yang ditimbulkan. Tingginya nilai GWP pada MK 2009 ternyata tidak dibarengi dengan tingginya gabah yang dihasilkan. Hal ini terlihat pada Tabel 9 bahwa rata-rata hasil tertinggi dicapai pada MH 2008 dengan kisaran 4.95 - 7.44 t/ha. Hasil gabah untuk MK 2008 dan 2009 berkisar 2.31 - 4.82 t/ha. Hasil panen untuk perlakuan Non PTT tergenang dan PTT intermittent tidak memiliki perbedaan yang nyata. Hasil tertinggi pada tiap musimdiperoleh dari perlakuan Non PTT tergenang. Namun, mengingat GWP yang dihasilkan juga besar maka sistem PTT intermittent lebih dianjurkan untuk diterapkan dalam pertanian padi sawah.
45
Tabel 9. GWP dan hasil gabah berbagai sistem pengelolaan tanaman padi pada MK 2008, MH 2009, dan MK 2009 Musim Tanam
Perlakuan
Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang MK 2008 PTT Intermittent SRI Intermittent SRI Macak-macak Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang MH 2008 PTT Intermittent SRI Intermittent SRI Macak-macak Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Tergenang MK 2009 PTT Intermittent SRI Intermittent Semi SRI Intermittent
GWP Analisis Statistik (t CO2-eq/ha) per musim overall a b 9.82 7.77 bc cdef 7.41 bc cdefg 7.17 bc cdefg 8.91 ab bc 6.51 c defgh ab 7.08 defgh ab 5.97 efgh a 7.68 cdef b 5.52 gh b 5.06 h ab 5.38 fgh a 13.55 a bc 7.39 cdefg bc 8.13 bcd bc 7.98 bcde c 6.19 defgh bc 9.11 bc
Hasil gabah Analisis Statistik (t/ha) per musim overall a bc 4.82 4.36 a cd 4.69 a bcd 4.50 a bcd 2.77 b ef 2.66 b ef 7.44 a a 7.38 a a 7.41 a a 7.46 a a 4.99 b b 4.95 b bc 4.66 a bcd 4.51 ab bcd 4.13 b d 4.18 b d 2.31 d f 3.07 c ef
Rasio GWP/Hasil gabah 2.04 1.78 1.58 1.59 3.22 2.44 0.95 0.81 1.04 0.74 1.01 1.09 2.91 1.64 1.97 1.91 2.68 2.97
Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05
Rasio GWP/hasil padi menyatakan jumlah emisi (t CO2-eq) yang dihasilkan setiap 1 ton gabah. Dengan demikian semakin tinggi rasio maka GWP yang dihasilkan semakin besar. Secara keseluruhan pada tiga musim, rasio berada pada kisaran 0.74 - 3.22 dengan nilai tengah 1.98. Berdasarkan Tabel 9, seluruh perlakuan pada MH 2008 memiliki nilai rasio dibawah nilai tengah (0.74 - 1.09). Untuk MK 2008 dan MK 2009, rasio yang berada dibawah nilai tengah terdapat pada perlakuan PTT intermittent (1.59 dan 1.91), PTT tergenang (1.58 dan 1.97) serta Non PTT intermittent (1.78 dan 1.64). Rata-rata untuk masing-masing perlakuan pada ketiga musim menunjukkan bahwa perlakuan intermittent (PTT dan Non PTT) memiliki rasio terkecil sebesar 1.41. Rasio tersebut berarti bahwa setiap produksi 1 ton gabah akan menghasilkan emisi sebesar 1.41 t CO2-eq. Hal ini berbeda dengan perlakuan lainnya. Sebagai contoh, pada perlakuan Semi SRI intermittent untuk memproduksi gabah yang sama akan menghasilkan emisi yang lebih besar yaitu 2.97 t CO2 – eq. Dengan melihat pola tersebut dapat diketahui bahwa sistem pengairan intermittent menghasilkan GWP yang lebih kecil dibandingkan penggenangan. Adanya perbedaan musim dalam
46
penanaman padi juga sangat mempengaruhi besar kecilnya GWP yang dihasilkan. Musim hujan (MH) akan menghasilkan emisi yang lebih kecil dibandingkan musim kemarau (MK).
47