41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Struktur Kepemilikan Bank 1.
Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk Bank Negara Indonesia menawarkan saham perdana kepada masyarakat dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya pada tahun 1996. Hal ini menjadikan BNI sebagai bank pemerintah pertama yang menjadi perusahaan terbuka. BNI melakukan penambahan modal dari pemerintah melalui program rekapitulasi perbankan Indonesia tahun 1999. Pada tahun 2007, BNI menerbitkan saham baru yang dicatatkan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya, bersamaan dengan program divestasi saham pemerintah. Dengan selesainya kedua program tersebut, kepemilikan publik meningkat menjadi 23,64%. Pada tahun 2010, BNI menerbitkan saham baru melalui Penawaran Umum Terbatas (Rights Issue) sehingga kepemilikan publik meningkat menjadi 40%. Public domestik 17,01%
Public Asing 22,99%
Pemerintah 60,00%
Gambar 3. Struktur Kepemilikan BNI tahun 2010-2011 Hal tersebut menjadikan struktur kepemilikan BNI tahun 2010 hingga akhir 2011 berubah, dapat dilihat pada Gambar 3 sebesar 60% dimiliki oleh pemerintah Republik Indonesia dan 40% saham selebihnya
42
dimiliki oleh pemegang saham publik baik individu maupun institusi, domestik, dan asing (Annual Report Bank Negara Indonesia, 2010-2011). 2.
Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Sejak 1 Agustus 1992 berdasarkan Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah RI No. 21 tahun 1992 status BRI berubah menjadi perseroan terbatas. Kepemilikan BRI saat itu masih 100% di tangan Pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menjual 30% saham bank ini, sehingga menjadi perusahaan publik dengan nama resmi PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., yang masih digunakan sampai dengan saat ini. Saat ini, saham BRI tergabung dalam indeks saham LQ-45 dan menjadi salah satu saham unggulan (blue chip) di BEI. Pada tanggal 11 Januari 2011, BRI telah melaksanakan pemecahan nilai nominal saham dengan perbandingan 1 : 2. Public 43,25%
Pemerintah 56,75%
Gambar 4. Struktur Kepemilikan BRI tahun 2010-2011 Pada tahun 2010, BRI melakukan penjualan saham kembali, sehingga presentase kepemilikan saham BRI berubah. Gambar 4 menunjukan struktur kepemilikan BRI tahun 2010 hingga akhir 2011, dapat terlihat pemerintah Republik Indonesia memegang mayoritas saham BRI, yaitu sebesar 56,75%, dan sisanya sebesar 43,25% dimiliki oleh pemegang saham publik (Annual Report Bank Rakyat Indonesia, 20102011).
43
3. Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk Bank Tabungan Negara menjadi bank pertama di Indonesia yang melakukan sekuritisasi aset melalui pencatatan transaksi Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragunan Aset (KIK-EBA) di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun yang sama, Bank BTN melepaskan 2.360.057.000 lembar saham, setara dengan 27,08% dari total saham Bank BTN, dan tercatat sebagai emisi IPO terbesar di tahun 2009 dengan nilai dana sebesar Rp1,88 triliun. Public 28,09%
Pemerinta h 71,91%
Gambar 5. Struktur Kepemilikan BTN tahun 2010-2011 BTN melakukan penjualan saham kembali ke masyarakat, sehingga presentase kepemilikan saham BTN berubah. Perubahan presentase kepemilikan BTN tahun 2010 hingga akhir 2011 dapat terlihat pada Gambar 5, yaitu sebesar 71,91% dimiliki pemerintah dan sisanya sebesar 28,09% dimiliki oleh pemegang saham publik (Annual Report Bank Tabungan Negara, 2010-2011). 4. Bank Mandiri (Persero), Tbk Setelah melalui proses panjang dan persiapan yang sangat berat, pada tanggal 14 Juli 2003 akhirnya Bank Mandiri melaksanakan pencatatan saham perdana dengan kode saham BMRI di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Pada penawaran saham perdana tersebut, saham Bank Mandiri mengalami oversubscribed sebesar lebih dari 7 kali. Proses divestasi saham Pemerintah pada Bank Mandiri tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 2003 tentang
44
Penjualan Saham Negara Republik Indonesia pada Bank Mandiri. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan bahwa penjualan saham Bank Mandiri akan dilakukan melalui Pasar Modal dan atau kepada mitra strategis dengan jumlah maksimal 30% dari jumlah saham yang telah dikeluarkan dan disetor penuh. Dalam pelaksanaan IPO tersebut, Bank Mandiri telah menawarkan 20% dari jumlah saham yang telah dikeluarkan dan disetor penuh atau sejumlah 4.000.000 (empat juta) Saham Biasa Atas Nama Seri B milik Negara Republik Indonesia dengan nilai nominal sebesar Rp.500 per saham dan harga penawaran sebesar Rp.675 pe saham. Pada tahun 2004, Pemerintah merencanakan untuk melakukan divestasi lanjutan sebesar 10% sebagaimana persetujuan divestasi saham Pemerintah pada Bank Mandiri sesuai PP No.27 Tahun 2003 sebesar maksimum 30%. Rapat Umum Pemegang Saham pada tanggal 29 Mei 2003 telah memberikan persetujuan program ESOP (Employee Stock Option Plan) dalam bentuk ESA (Employee Stock Alocation) kepada seluruh pegawai dan tambahan program MSOP (Management Stock Option Plan) untuk manajemen dengan kriteria tertentu. ESA dilakukan melalui pemberian saham bonus (Bonus Share Plan) dan penjatahan saham dengan diskon (Share Purchase at Discount). Public 33,23%
Pemerinta h 66,77%
Gambar 6. Struktur Kepemilikan Bank Mandiri tahun 2010
45
Bank Mandiri melakukan penjualan saham kembali ke masyarakat, sehingga presentase kepemilikan saham Bank Mandiri berubah. Perubahan presentase kepemilikan Bank Mandiri tahun 2010 dapat terlihat pada Gambar 6 yang menunjukan 66,77% dimiliki oleh pemerintah dan 33,23% dimiliki oleh publik (Annual Report Bank Mandiri, 2010). Public 40%
Pemerintah 60%
Gambar 7. Struktur Kepemilikan Bank Mandiri tahun 2011 Tahun 2011 pemerintah Republik Indonesia tetap menjadi pemilik mayoritas saham Bank Mandiri walaupun saham yang dimiliki pemerintah berkurang presentasenya dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 60% dan sisanya sebesar 40% dimiliki oleh pemegang saham publik dapat terlihat pada Gambar 7 (Annual Report Bank Mandiri, 2011). 5. Bank ICB Bumiputera, Tbk Bank ICB Bumiputera mulai beroperasi sejak 12 Januari 1990 dengan nama Bank Bumiputera, sebagai perusahaan yang dimiliki oleh AJB Bumiputera 1912, perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia. Bank berhasil bertahan pada krisis keuangan tahun 1998 sebagai Bank yang sehat dengan kategori A dan tidak melakukan rekapitulasi. Pada tahun 2002 Bank mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia dengan struktur pemegang saham sebagai berikut : AJB Bumiputera (37,50%), PT Cipta Usaha Citra Dana (37,50%), dan masyarakat (25%). Berdasarkan persetujuan Bank Indonesia, maka tanggal 8 Mei 2007 telah dilakukan penjualan seluruh saham dan waran milik Tum Daim Zainuddin (pemilik PT. Cipta Usaha Dana) kepada ICB Financial Group
46
Holdings AG selaku pembeli. Komposisi kepemilikan saham Bank setelah penjualan saham menjadi sebagai tersebut : ICB Financial Group Holdings AG (67,071%), AJB Bumiputera 1912 (5,983%), dan masyarakat (26,946%). AJB Public Bumiputer 17,26% a 5,46%
SGBT 7,29%
ICB Financial Group Holdings 69,99%
Gambar 8. Struktur Kepemilikan Bank ICB Bumiputera tahun 2010 Selama Tahun 2010, terdapat transaksi saham dan penerbitan saham baru dari penukaran waran sehingga komposisi kepemilikan menjadi sebagai berikut: ICB Financial Group Holdings AG (69,99%), SGBT (7,29%), AJB Bumiputera 1912 (5,46%), dan masyarakat (17,26%) yang dapat dilihat pada Gambar 8 (Annual Report Bank ICB Bumiputera, 2010). Public AJB 13,23% Bumiputera 5,46% SGBT 11,41% ICB Financial Group Holdings 69,90%
Gambar 9. Struktur Kepemilikan Bank ICB Bumiputera tahun 2011 Setelah adanya transaksi saham selama tahun 2011, dapat dilihat pada Gambar 9 susunan pemegang saham serta komposisi kepemilikan menjadi : ICB Financial Group Holdings AG (69,90%), SGBT (11,41%), AJB Bumiputera 1912 (5,46%), dan Masyarakat (13,23%) (Annual Report Bank ICB Bumiputera, 2011).
47
6. Bank Ekonomi Raharja, Tbk Bank Ekonomi adalah perusahaan publik yang telah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Sejak 22 Mei 2009, Bank Ekonomi menjadi bagian dari grup institusi keuangan internasional, HSBC Holdings Plc., melalui anak perusahaannya, HSBC Asia Pacific Holdings (UK) Limited. Grup HSBC mengambil alih 88,89% saham Bank Ekonomi dan kemudian melalui penawaran tender, kepemilikannya meningkat menjadi 98,94% pada tahun 2010 sampai akhir 2011, 1,01% saham dimiliki oleh PT Surya Sakti Investments, dan masyarakat sebesar 0,04%, seperti dapat dilihat pada Gambar 10 (Annual Report Bank Ekonomi Raharja, 20102011). PT.Surya Sakti Investments 1,01%
Public 0,04%
HSBC 98,94%
Gambar 10. Struktur Kepemilikan Bank Ekonomi Raharja tahun 2010-2011 7. Bank Nusantara Parahyangan, Tbk Berdasarkan keputusan RUPSLB tanggal 15 September 2000, Bank BNP mengubah status perusahaan menjadi perusahaan publik (terbuka) dan menawarkan 50.000.000 saham biasa kepada masyarakat dengan harga nominal Rp.500,- per lembar sahamnya, disertai dengan penerbitan waran sejumlah 20.000.000 lembar yang dicatatkan pada Bursa Efek Jakarta tanggal 10 Januari 2001, sehingga jumlah saham beredar saat itu menjadi sebanyak 150.000.000 saham dan sebagai akibat adanya exercise waran sebanyak 8.275.000 lembar pada tahun 2004, maka jumlah saham beredar bertambah menjadi 158.275.000 saham.
48
Pada bulan Juli 2006 dilakukan Penawaran Umum Terbatas (PUT 1) kepada pemegang saham atas sejumlah 158.275.000 lembar saham dengan harga penawaran terbesar Rp.550,- per saham, sehingga jumlah saham yang beredar yang telah dikeluarkan Bank BNP menjadi 316.550.000 saham. Tahun 2007 kepemilikan mayoritas saham Bank BNP telah beralih kepada ACOM CO.,LTD. Japan (ACOM) dan Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ, LTD. (BTMU) memulai akuisisi saham sebanyak 75,41%, dimana ACOM menguasai 55,41% dan BTMU menguasai 20% dari seluruh saham telah dikeluarkan, sehingga dengan demikian keduanya menjadi pemegang saham pengendali Bank BNP. Pada tahun 2008 dilakukan penawaran tender atas kepemilikan saham Bank BNP oleh ACOM CO.,LTD berkaitan dengan kegiatan akuisisi, sehingga jumlah kepemilikan saham ACOM CO.,LTD. berubah menjadi 55,68%. The Bank of Tokyo Mitsubishi 15,20%
Pemegang Saham Lain 9,49%
Hermawan ladng arta 5,70% PT Hermawan Sentral, 9.30%
Acom,co.ltd 60,31%
Gambar 11. Struktur Kepemilikan Bank Nusantara Parahyangan tahun 2010-2011 Struktur kepemilikan pada tahun 2010 sampai akhir 2011, dapat dilihat pada Gambar 11. Mayoritas saham dimiliki oleh ACOM.CO.LTD sebesar 60,31% dan sisanya dimiliki oleh The Bank of Tokyo Mitsubishi sebesar 15,20%, PT. Hermawan Sentral sebesar 9,30%, Hermawan Ladang Arta sebesar 5,70%, dan pemegang saham lain sebesar 9,49% (Annual Report Bank Nusantara Parahyangan, 2010-2011).
49
8. Bank CIMB Niaga, Tbk CIMB Niaga memperoleh izin usaha sebagai bank umum, bank devisa, dan bank yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip Syariah masing-masing pada 11 November 1955, 22 November 1974, dan 16 November 2004. Pada 29 November 1989, CIMB Niaga menjadi perusahaan terbuka dengan dicatatkannya saham CIMB Niaga pada Bursa Efek Indonesia (dahulu PT Bursa Efek Jakarta dan PT Bursa Efek Surabaya). Sebagai akibat krisis keuangan Asia di tahun 1998, Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selama beberapa waktu menjadi pemegang saham mayoritas CIMB Niaga. Pada bulan November 2002, CIMB Group Holdings Berhad/CIMB
Group
(dahulu
Commerce
Asset-Holding
Berhad)
mengakuisisi saham mayoritas CIMB Niaga dari BPPN. Di bulan Agustus 2007 seluruh kepemilikan saham dialihkan ke CIMB Group dalam rangka konsolidasi seluruh anak perusahaan CIMB Group dengan platform universal banking. Dalam transaksi terpisah, Khazanah yang memiliki saham mayoritas CIMB Group mengakuisisi kepemilikan mayoritas LippoBank pada bulan September 2005. Seluruh kepemilikan saham ini dialihkan kepada CIMB Group pada bulan Oktober 2008. Sebagai pemilik saham pengendali dari CIMB Niaga (melalui CIMB
Group)
dan
LippoBank,
Khazanah
menempuh
langkah
penggabungan (merger) untuk mematuhi kebijakan Single Presence Policy (SPP) yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Merger ini merupakan yang pertama di Indonesia terkait dengan kebijakan SPP.
50
Public 3,09%
CIMB Group 96,91%
Gambar 12. Struktur Kepemilikan Bank CIMB Niaga tahun 2010 Gambar 12 menunjukan struktur kepemilikan Bank CIMB Niaga pada tahun 2010. Saham mayoritas dimiliki oleh CIMB Group, yaitu sebesar 96,91% dan sisanya sebesar 3,09% dimiliki oleh publik (Annual Report Bank CIMB Niaga, 2010). Public 4%
CIMB Group 96%
Gambar 13. Struktur Kepemilikan Bank CIMB Niaga tahun 2011 Gambar 13 menujukan terjadi penurunan kepemilikan saham dari CIMB Group yaitu sebesar 0,91% dari tahun sebelumnya menjadi 96% dan sisa sahamnya sebesar 4% dimiliki oleh publik (Annual Report Bank CIMB Niaga, 2011). 9. Bank Internasional Indonesia, Tbk PT Bank Internasional Indonesia Tbk (“BII atau Bank”) didirikan 15 Mei 1959. Pada tahun 1980 BII bergabung dengan PT Bank Pembangunan Untuk Umum 1859 Surabaya. Setelah mendapatkan ijin sebagai bank devisa pada 1988, BII mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia atau BEI) pada 1989.
51
Pada tahun 1999, BII direkapitalisasi sebagai bagian dari Program Rekapitalisasi Perbankan Nasional. Setelah program rekapitalisasi, kepemilikan saham BII berpindah dari grup Sinar Mas kepada Pemerintah Indonesia melalui BPPN. Pada Desember 2003, konsorsium Sorak mengambil alih 51% kepemilikan Bank, melalui proses penjualan yang dilakukan oleh BPPN. Anggota konsorsium Sorak pada saat itu terdiri dari Asia Financial Holdings Pte. Ltd, Kookmin Bank, ICB Financial Group Holdings Ltd dan Barclays Bank PLC. Pada 30 September 2008, Maybank Offshore Corporate Services (Labuan) Sdn. Bhd. (MOCS), anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh
Malayan
Banking
Berhad
(Maybank),
menyelesaikan
pengambilalihan 100% saham Sorak Financial Holdings Pte, Ltd, pemilik 55,51% saham BII. Pada Desember 2008, MOCS menyelesaikan penawaran tender untuk sisa saham BII sehingga meningkatkan kepemilikannya. Public 2,62%
MayBank 97,38%
Gambar 14. Struktur Kepemilikan BII tahun 2010 Hingga akhir 2010 saham mayoritas BII masih dimiliki oleh MayBank sebesar 97,38% dan sisanya dimiliki oleh publik sebesar 2,62%, seperti dapat dilihat pada Gambar 14 (Annual Report Bank Internasional Indonesia, 2010).
52
Public 2,50%
MayBank, 97.50%
Gambar 15. Struktur Kepemilikan BII tahun 2011 Pada tahun 2011, MayBank meningkatkan kepemilikan sahamnya sebesar 0,12% dari tahun sebelumnya. Hal ini menjadikan saham yang dimiliki MayBank pada BII menjadi sebesar 97,50% dan publik hanya memiliki 2,5% saham BII, dapat dilihat pada Gambar 15 (Annual Report Bank Internasional Indonesia, 2011). 10. Bank of India Indonesia, Tbk Bank Pasar Swadesi didirikan di Surabaya tahun 1968. Setelah enam belas tahun berdiri kepemilikan Bank diambil alih oleh keluarga Chugani dan lima tahun setelah pengambil alihan Bank Swadesi secara resmi beroperasi menjadi Bank Umum dengan nama PT Bank Swadesi. Pada tahun 1990, Bank Swadesi melakukan penggabungan usaha (merger) dengan PT Bank Perkreditan Rakyat Panti Daya Ekonomi yang berkedudukan di Surakarta, kemudian Bank Swadesi menjalankan usaha sebagai pedagang valuta asing. Pada tahun 1994, Bank Swadesi mendapatkan peningkatan status dari Bank Indonesia dan secara resmi beroperasi menjadi Bank Devisa. Pada tanggal 12 April 2002, Bank memperoleh pernyataan efektif dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan suratnya No. S-75/PM/2002 untuk melakukan penawaran umum atas 60.000.000 saham biasa atas nama kepada masyarakat. Nilai nominal per saham Rp200 dengan harga penawaran Rp250. Pada tanggal 1 Mei 2002 saham tersebut telah dicatatkan pada Bursa Efek Jakarta.
53
PT.Panca Mantrajay a 17,12%
Prakash Rupcand Chugani 1,61%
Public 5,27%
Bank of India 76,00%
Gambar 16. Struktur Kepemilikan BOII tahun 2010-2011 Pada tahun 2007, Bank Swadesi telah menjalinkan aliansi strategis dengan Bank of India berupa pengambilalihan saham sebanyak 235.600.000 lembar saham atau 76% dari keseluruhan saham Bank Swadesi. Sejak 2007-2011, kepemilikan saham Bank Swadesi mayoritas dimiliki oleh Bank of India sebesar 76% dan sisanya dimiliki oleh PT. Mantrajaya sebesar 17,12%, publik 5,27%, dan Prakas Rupcand Chugani sebesar 1,61% yang dapat dilihat pada Gambar 16. Pada tahun 2011 Bank Swadesi mengganti namanya menjadi Bank of India Indonesia (Annual Report Bank of India Indonesia, 2010-2011). 11. Bank NISP OCBC, Tbk Bank NISP resmi menjadi bank komersial pada tahun 1967, bank devisa pada tahun 1990. Pada akhir tahun 1990-an, Bank NISP berhasil melewati krisis keuangan Asia dan jatuhnya sektor perbankan di Indonesia tanpa melalui dukungan pemerintah. Saat itu, Bank NISP menjadi salah satu bank pertama yang segera melanjutkan penyaluran kreditnya setelah krisis. Karena adanya inisiatif ini, Bank mampu mencatat pertumbuhan yang tinggi. Bank NISP menjadi perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia pada tahun 1994. Reputasi
Bank
NISP
yang
baik
di
industrinya
dan
pertumbuhannya yang menjanjikan, telah menarik perhatian International Finance Corporation (IFC), bagian dari Grup Bank Dunia, yang kemudian menjadi pemegang saham pada tahun 2001-2010 serta OCBC
54
Bank-Singapura yang kemudian menjadi pemegang saham mayoritas Bank OCBC NISP melalui serangkaian akuisisi dan penawaran tender sejak tahun 2004.
Public 18,10%
OCBC Overseas Investment 81,90%
Gambar 17. Struktur Kepemilikan Bank NISP OCBC tahun 2010 Dapat dilihat pada Gambar 17, tahun 2010 Bank OCBC NISP mayoritas saham dimiliki oleh OCBC Overseas Investment sebesar 81,90% dan sisanya sebesar 18,10% dimiliki oleh publik (Annual Report Bank NISP OCBC, 2010). Public 14,90%
OCBC Overseas Investment 85,10%
Gambar 18. Struktur Kepemilikan Bank NISP OCBC tahun 2011 Tahun 2011 OCBC Bank-Singapura tetap melakukan akuisisi dan penawaran tender pada Bank OCBC NISP, sehingga OCBC BankSingapura saat ini memiliki saham di Bank OCBC NISP sebesar 85,1% dan sisanya 14,9% dimiliki oleh publik. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 18 (Annual Report Bank NISP OCBC, 2011).
55
4.2. Kinerja Keuangan Bank 1. Capital Adiquency Ratio (CAR) Modal merupakan faktor penting bagi bank dalam rangka pengembangan usaha dan menampung resiko kerugiannya. Permodalan bank merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan agar perbankan indonesia dapat berkembang dengan sehat dan mampu bersaing dengan perbankan nasional, maka permodalan bank perlu disesuaikan dengan ukuran yang berlaku secara internasional. Ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank, yang didasarkam kepada standar yang ditetapkan oleh Bank for Internasional Settlements (BIS) dan sesuai dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/20/Kep/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/2/BPPP masingmasing tanggal 29 Mei 2003 ditetapkan standar untuk rasio CAR sebesar 8%. Semakin tinggi rasio CAR suatu bank mengindikasikan bank tersebut semakin sehat permodalannya. Presentase rasio CAR pada bank persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011 dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Grafik CAR tahun 2010-2011
56
Gambar 19 menunjukan CAR tertinggi adalah Bank of India Indonesia sebesar 26,9% pada tahun 2010 dan tahun 2011 sebesar 23,29%, dan CAR paling rendah adalah Bank ICB Bumiputera sebesar 12,63% dan pada tahun 2011 sebesar 10,47%. Tingginya CAR Bank of India Indonesia disebabkan oleh adanya aliran modal masuk yang lebih tinggi yang di dominasi oleh penanaman modal asing (PMA). Aliran modal masuk menyebabkan meningkatnya jumlah modal Bank of India Indonesia sebesar 4,98% dari Rp291,83 miliar diakhir tahun 2009 menjadi sebesar Rp306,92 miliar tahun 2010. Peningkatan ATMR Rp173,65 miliar atau 19,58% dari akhir tahun 2009 sebesar Rp886,94 miliar menjadi sebesar Rp1.060,58 miliar. Dengan tingkat permodalan yang kuat ini masih memberikan keleluasaan bagi manajemen Bank of India Indonesia untuk meningkatkan ekspansi usahanya (Annual Report Bank of India Indonesia, 2010-2011). Sedangkan CAR pada Bank ICB Bumiputera selama dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2010-2011 paling rendah di antara bank lain yang menjadi objek penelitian. Penyebabnya adalah Bank ICB Bumiputera menunda rencana peningkatan modal, karena kondisi pasar yang tidak menguntungkan. Penurunan CAR dari tahun sebelumnya lebih disebabkan oleh rugi bersih yang dialami Bank ICB Bumiputera dan aset tertimbang menurut risiko kredit juga menurun seiring dengan penurunan aset kredit dan meningkatnya NPL bank. Meskipun demikian rasio CAR tersebut masih berada di atas ketentuan Bank Indonesia sebesar 8% (Annual Report Bank ICB Bumiputera, 2010-2011). 2. Non Performing Loans (NPL) gross NPL gross adalah perbandingan antara kredit yang tidak dikembalikan lagi oleh si peminjamnya (kredit macet), atau dikembalikan tapi tersendat sendat, dengan total kredit yang disalurkan oleh bank ke masyarakat. Kredit merupakan sumber pendapatan dan keuntungan terbesar bagi pihak bank, disamping itu kredit merupakan salah satu penyebab utama bank dalam menghadapi masalah. Keberhasilan bank
57
dalam mengelola kredit merupakan salah satu yang mempengaruhi stabilitas usaha bank. Bank Indonesia menetapkan NPL gross maksimum sebesar 5%, sesuai dengan peraturan Bank Indonesia No.13/3/PBI/2011 tentang penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank. Semakin rendah rasio NPL suatu bank mengindikasikan bank tersebut semakin sehat dari segi tingkat likuiditasnya. Presentase rasio NPL gross pada bank persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011 dapat diliat pada Gambar 20.
Gambar 20. Grafik NPL gross tahun 2010-2011 Gambar 20 menunjukan NPL gross terendah adalah Bank Ekonomi Raharja sebesar 0,35% pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 sebesar 0,74%. Hal ini disebabkan karena Bank Ekonomi Raharja melakukan pengendalian bisnis untuk menjaga kesehatan bank melalui penerapan manajemen resiko yang lebih terstruktur (Annual Report Bank Ekonomi Raharja, 2010-2011). Sedangkan NPL gross tertinggi adalah Bank ICB Bumiputera sebesar 4,34% pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 sebesar 6,25%. Sebenarnya NPL gross ICB Bumiputera 2010 mengalami perbaikan dari NPL gross tahun sebelumnya. Karena Bank ICB
58
Bumiputera mencoba menerapkan kerangka manajemen resiko kredit yang lebih baik, tinjauan yang terperinci mengenai persetujuan kredit, pemeliharaan rekening yang lebih baik dan koreksi yang sangat kuat. Perbaikan NPL gross dari tahun sebelumnya adalah wujud keberhasilan perbaikan dalam pengelolaan kualitas portofolio kredit dan proses persetujuan kredit yang ketat dan selektif tanpa menambah waktu pemrosesan. Hal ini didukung manajemen NPL di antaranya melalui implementasi sistem monitoring atas rekening-rekening nasabah dan pelaksanaan conference calls dengan cabang. Pada tahun 2011, NPL gross Bank ICB Bumiputera melebihi batas maksimum NPL gross yang ditetapkan oleh BI sebesar 5%, untuk itu Bank ICB Bumiputera harus memperbaiki manajemen resiko kreditnya (Annual Report Bank ICB Bumiputera, 2010-2011). 3. Return On Assets (ROA) Rasio Return On Assets (ROA) menunjukan tingkat efisiensi pengelolaan aset yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan. ROA merupakan indikator kemampuan perbankan untuk memperoleh laba atas sejumlah aset yang dimiliki oleh bank. Berdasarkan Matriks Kriteria Penetapan Peringkat Komponen Earnings (rentabilitas) pada Lampiran 2d Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 ditetapkan standar untuk rasio ROA berkisar antara 0,5% sampai dengan 1,25 %, hal ini menunjukan perolehan laba cukup tinggi. Semakin tinggi rasio ROA suatu bank mengindikasikan bank tersebut semakin baik tingkat efisiensi pengelolaan aset yang dilakukan oleh bank dan memperoleh laba semakin banyak. Presentase rasio ROA pada bank persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011 dapat diliat pada Gambar 21.
59
Gambar 21. Grafik ROA tahun 2010-2011 Gambar 21 menunjukan ROA tertinggi adalah BRI sebesar 4,64% pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 adalah 4,93%. Tingginya ROA BRI karena membaiknya komposisi kredit di mana komposisi kredit mikro yang memberikan yield tinggi semakin besar, meningkatnya kontribusi feebased income, dan meningkatnya leverage, menyebabkan ROA BRI mengalami tren peningkatan. ROA BRI meningkat menjadi 4,93% pada posisi Desember 2011 dari 4,64% pada posisi tahun sebelumnya jauh di atas ROA perbankan nasional (Annual Report Bank Rakyat Indonesia, 2010-2011). Sedangkan ROA terendah selama dua tahun berturut-turut adalah Bank ICB Bumiputera sebesar 0,24% pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 mengalami penurunan menjadi sebesar -1,64%. Hal tersebut disebabkan karena total aset menurun 16% ke Rp 7,30 triliun terutama dari penurunan pinjaman sebesar Rp1,02 triliun. Penurunan pada total pinjaman utamanya dari Pinjaman Konsumer setelah adanya pergeseran pinjaman Otomotif dari channeling ke executing. Pinjaman Bisnis juga menurun 10% terutama dari sengitnya persaingan dan pengambilalihan oleh bank lain. Sebagai dampaknya, Bank ICB Bumiputera mencatat rugi bersih sebesar Rp95,33 miliar untuk tahun buku 2011, akibat penurunan signifikan pada kontribusi pendapatan seiring penurunan beberapa segmen
60
61
Ratio menjadi 20% secara signifikan meningkatkan laba ditahan BRI sehingga memperkuat ekuitas BRI. Peningkatan ekuitas BRI yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan laba bersih BRI menyebabkan ROE BRI tahun 2011 lebih rendah dibandingkan ROE BRI tahun 2010 (Annual Report Bank Rakyat Indonesia, 2010-2011). Sedangkan ROE terendah adalah Bank ICB Bumiputera sebesar 2,31% pada tahun 2010 dan kembali menurun pada tahun 2011 sebesar 18,96%. Meskipun ROE Bank ICB Bumiputera terendah, tetapi ROE Bank ICB Bumiputera tahun 2010 sebenarnya meningkat dari ROE tahun sebelumnya. Peningkatan ROE ini dikarenakan total aset ROA meningkat menjadi Rp8.659,89 miliar, ini menunjukan peningkatan sebesar 23,6%. Pertumbuhan kredit juga meningkat sebesar 15,06% menjadi Rp6.129,04 miliar. Di sisi lain DPK meningkat sebesar 21,39% menjadi Rp7.213,67 miliar, laba sebelum pajak naik 54,85% menjadi Rp17,53 miliar dan laba setelah pajak mencapai Rp12,17 miliar naik 141,28% dari tahun 2009. ROE ICB Bumiputera tahun 2011 menurun menjadi -18,96%, hal ini juga disebabkan karena total aset menurun 16% ke Rp7,30 triliun terutama dari penurunan pinjaman sebesar Rp1,02 triliun dan Bank ICB Bumiputera mencatat rugi bersih sebesar Rp95,33 miliar untuk tahun buku 2011 (Annual Report Bank ICB Bumiputera, 2010-2011). 5. Biaya Operasional Biaya terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) Rasio Biaya Operasional Biaya terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
untuk
mengukur
kemampuan
manajemen
bank
dalam
mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Berdasarkan Matriks Kriteria Penetapan Peringkat Komponen Earnings (rentabilitas)
pada
Lampiran
2d
Surat
Edaran
Bank
Indonesia
No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 ditetapkan standar untuk rasio BOPO berkisar antara 94% sampai dengan 96%, hal ini menyatakan tingkat efisiensi cukup baik.
62
Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisensi biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Presentase rasio BOPO pada bank persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011 dapat diliat pada Gambar 23.
Gambar 23. Grafik BOPO tahun 2010-2011 Gambar 23 menunjukan BOPO terendah pada tahun 2010 adalah Bank Mandiri sebesar 65,63%. Salah satu penyebabnya adalah pendapatan operasional lainnya pada tahun 2010 mengalami peningkatan dari sebesar Rp5.484 miliar pada tahun 2009 menjadi Rp8.433 miliar. Pendapatan bersih atas transaksi valuta asing mengalami penurunan sebesar 6,6% dari Rp637 miliar pada tahun 2009 menjadi Rp595 miliar pada tahun 2010. Pendapatan lain-lain meningkat sebesar 510,4% dari Rp536 miliar pada tahun 2009 menjadi Rp2.736 miliar pada tahun 2010 (Annual Report Bank mandiri, 2010). Sedangkan pada tahun 2011 BOPO terendah adalah BRI hanya sebesar 66,69%, turun dibanding tahun 2009 yang tercatat sebesar 77,66% dan tahun 2010 yang tercatat sebesar 70,86%. Meningkatnya kualitas penyaluran kredit, tingginya rasio imbal hasil, terjaganya tingkat NIM, serta meningkatnya LDR BRI didukung oleh peningkatan efisiensi
63
kegiatan operasional yang telah dilakukan oleh BRI menyebabkan BRI mampu menekan BOPO di tahun 2011 (Annual Report Bank Rakyat Indonesia, 2011). Sedangkan BOPO tertinggi adalah Bank ICB Bumiputera sebesar 96,96% pada tahun 2010 dan tahun 2011 sebesar 114,63%. Penyebabnya adalah pendapatan operasional Bank ICB Bumiputera mengalami penurunan sebesar Rp7,3 miliar atau 9,5% lebih rendah dibandingkan tahun 2010 yang sebesar Rp77,4 miliar. Penurunan terbesar berasal dari menurunnya keuntungan penjualan surat berharga sebesar Rp13,0 miliar atau 30,4%, diikuti oleh penurunan pendapatan komisi sebesar Rp7,9 miliar. Beban umum dan administrasi meningkat sebesar Rp24,3 miliar atau 11,7% menjadi Rp231,5 miliar pada tahun 2011. Hal ini dipengaruhi oleh adanya beban umum dan administrasi terkait dengan pembukaan cabang micro banking yang di mulai pada semester kedua tahun 2010, seperti beban komunikasi data dan sewa komputer yang naik sebesar Rp8,5 miliar, biaya sewa gedung dan pemeliharaan yang naik sebesar Rp3,5 miliar, biaya penyusutan yang naik sebesar Rp2,1 miliar dan biaya komisi yang naik sebesar Rp3,6 miliar (Annual Report Bank ICB Bumiputera, 2010-2011). 6. Loan To Deposits Ratio (LDR) Rasio yang menyatakan seberapa jauh bank telah menggunakan uang para penyimpan (depositor) untuk memberikan pinjaman kepada nasabahnya. Berdasarkan Matriks Kriteria Penetapan Peringkat Komponen Likuiditas pada Lampiran 2e Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 ditetapkan standar untuk rasio LDR berkisar 85 % < Rasio ≤ 100 % atau Rasio ≤ 50 %. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah pula kemampuan likuiditasnya. Presentase rasio LDR pada bank persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011 dapat diliat pada Gambar 24.
64
Gambar 24. Grafik LDR tahun 2010-2011 Gambar 24 menunjukan LDR tertinggi selama dua tahun adalah BTN, rasio Kredit terhadap Simpanan (LDR) menurun dari 108,42% di 2010 menjadi 102,57% di 2011, yang disebabkan oleh peningkatan simpanan sebagai sumber pembiayaan yang lebih tinggi dari peningkatan kredit sebagai aset pada tahun 2011. Dari sisi kredit, posisi kredit dan pembiayaan Bank BTN telah mencapai Rp63,56 triliun. Sedangkan dari sisi dana pihak ketiga, Bank BTN pun mampu menghimpun dana masyarakat sebesar Rp61,97 triliun. Memiliki visi untuk menjadi bank terkemuka dalam pembiayaan perumahan, bisnis inti Bank BTN adalah penyaluran kredit perumahan. Hal ini ditunjukkan lewat alokasi kredit 2011 yang sebesar 87,62% di sektor ini. Total penyaluran pinjaman naik 23,31% menjadi Rp63,56 triliun dibandingkan Rp51,55 triliun di 2010. Mengacu kepada strategi bisnis, Bank BTN menargetkan komposisi antara kredit perumahan dengan kredit non-perumahan maksimal di posisi 85% : 15%. Hingga Desember 2011, 87,62% kredit yang disalurkan merupakan kredit perumahan yang terdiri dari 69,23% untuk KPR, 11,31% untuk kredit konstruksi perumahan serta sisanya kredit bagi industri terkait perumahan. Pangsa pasar Bank BTN di Indonesia per akhir Desember 2011 mencapai 25%.
65
Dalam hal pangsa pasar kredit subsidi Pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), BTN tetap menjadi bank penyalur pembiayaan KPR Bersubsidi tertinggi, yaitu 99%, berdasarkan jumlah kredit baru yang dicairkan per akhir Desember 2011. Selama 2011, BTN telah mendistribusikan KPR subsidi sebesar Rp25 triliun, yang meningkat 20% dari 2010. Sedangkan untuk penyaluran kredit perumahan non subsidi, selama 2011 Bank BTN berhasil mencapai Rp7,23 triliun, atau lebih tinggi 34,64% dari 2010 sebesar Rp5,37 triliun. Dari jumlah itu, penyaluran KPR BTN Platinum masih memberikan kontribusi terbesar, yakni Rp4,49 triliun. Tingginya rasio LDR BTN memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas BTN. Hal ini disebabkan jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin besar (Annual Report Bank Tabungan Negara, 2010-2011). Sedangkan LDR terkecil tahun 2010-2011 adalah Bank Ekonomi Raharja sebesar 62,44% tahun 2010 dan tahun 2011 sebesar 70,06% (Annual Report). Salah satu penyebab kecilnya rasio LDR Bank Ekonomi Raharja adalah Bank Ekonomi Raharja melakukan proses sentralisasi aktivitas penyaluran kredit. Sebelumnya, setiap cabang dapat melakukan semua kegiatan termasuk pinjaman. Saat ini, kegiatan tersebut dipusatkan pada area tertentu berdasarkan lokasi geografis. Kecilnya rasio LDR Bank Ekonomi Raharja mengidikasi semakin besarnya kemampuan likuiditas Bank Ekonomi Raharja (Annual Report Bank Ekonomi Raharja, 20102011). 7. Price Earning Ratio (PER) Rasio Price Earning Ratio mencerminkan mencerminkan beberapa hal. Pertama, ia mencerminkan murah atau mahalnya harga satu saham. Semakin tinggi PER, semakin mahal harga sahamnya. Meski begitu bukan berarti harga yang mahal tidak diminati investor. Karena itu, yang kedua,
66
PER juga merefleksikan tingkat kepercayaan investor atau pelaku pasar terhadap
performance
saham
tersebut.
Jika
ada
saham
yang
diperdagangkan dengan PER tinggi, tetapi tetap diminati investor artinya investor atau pelaku pasar memiliki tingkat kepercayaan kepada saham dan atau perusahaan tersebut. Ketiga, PER juga mencerminkan rentang waktu pengembalian investasi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian investasi yang dilakukan. Presentase rasio PER pada bank persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011 dapat diliat pada Gambar 25.
Gambar 25. Grafik PER tahun 2010-2011 Gambar 25 menunjukan PER tertinggi adalah BII sebesar 79,31 kali. pada tahun 2010 dan tahun 2011 sebesar 34,50 kali. BII memiliki tingkat pertumbuhan tinggi yang tercermin dari tingginya rasio PER BII, disebabkan karena harga saham BII tahun 2010 meningkat drastis dan pada tahun 2011 juga mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan bahwa pasar mengharapkan pertumbuhan laba di masa mendatang. Sedangkan PER terendah tahun 2010 adalah Bank Nusantara Parahyangan sebesar 11,07 kali dan tahun 2011 PER terendah dimiliki oleh Bank ICB Bumiputera sebesar -36,79 kali. Rendahnya rasio PER pada Bank
67
Nusantara Parahyangan tahun 2010 disebabkan karena peningkatan laba per lembar saham Bank Nusantara Parahyangan dan ICB Bumiputera tahun 2011 mencerminkan tingkat pertumbuhan yang rendah, hal ini disebabkan oleh menurunnya harga saham Bank ICB Bumiputera dan Bank ICB bumiputera mengalami rugi bersih. 8. Price To Book value (PBV) Price to Book Value (PBV) adalah angka rasio yang menjelaskan seberapa kali seorang investor bersedia membayar sebuah saham untuk setiap nilai buku per sahamnya. Saham yang memiliki PBV tinggi dapat dianggap sebagai saham yang harganya lebih mahal dibandingkan harga saham lain yang sejenis. Saham yang tinggi harganya biasanya mencerminkan kualitas kinerja perusahaan tersebut yang baik dan pertumbuhannya yang cukup pesat. PBV yang tinggi diharapkan akan menghasilkan return yang tinggi pula dari suatu saham seiring pertumbuhan perusahaan tersebut pada masa akan datang. Presentase rasio PBV pada bank persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011 dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26. Grafik PBV tahun 2010-2011
68
Gambar 26 menunjukan PBV tertinggi pada tahun 2010 adalah Bank Internasional Indonesia sebesar 6,27%, disebabkan oleh tahun 2010 harga saham BII meningkat drastis dan tahun 2011 PBV tertinggi adalah BRI sebesar 4,15%, disebabkan oleh meningkatnya saham BRI pada tahun 2011. Sedangkan PBV terendah pada tahun 2010 adalah Bank Nusantara Parahyangan sebesar 1,27% disebabkan oleh penurunan harga saham Bank Nusantara Parahyangan dan PBV terendah tahun 2011 adalah Bank ICB Bumiputera sebesar -36,79% oleh menurunnya harga saham Bank ICB Bumiputera. 4.3. Uji Non-parametik 4.3.1 Uji Kruskal-Wallis Uji Kruskal-Wallis digunakan untuk membandingkan dua atau lebih nilai rata-rata populasi secara bersamaan. Uji Kruskal-Wallis ini digunakan untuk menganalisis ada atau tidak ada perbedaan kinerja keuangan antara bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011. Ringkasan output uji Kruskall-Wallis (Rank) dapat dilihat pada Tabel 4 dan perhitungan lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5.
69
Tabel 4. Hasil Uji Kruskal-Wallis (Rank) Rasio Keuangan
CAR NPLgross ROA ROE BOPO LDR PER PBV
Jenis Bank Mean Rank Persero 14.00 Swasta nasional dominasi asing 10.07 Persero
13,75
Swasta nasional dominasi asing
10,21
Persero
16,50
Swasta nasional dominasi asing
8,64
Persero
17,38
Swasta nasional dominasi asing Persero Swasta nasional dominasi asing Persero Swasta nasional dominasi asing
8,14 6,75 14,21 9,38 12,71
Persero
9,88
Swasta nasional dominasi asing
12,43
Persero
15,00
Swasta nasional dominasi asing
9,50
Sumber : Ringkasan Output Uji Kruskal-Wallis Semakin tinggi mean rank rasio CAR, ROA, ROE, PER dan PBV menunjukan semakin unggul rasio tersebut, sedangkan semakin rendah mean rank rasio NPL gross, BOPO, dan LDR menunjukan semakin unggul rasio tersebut. Tabel 4 menunjukan bahwa mean rank CAR (14,00), ROA (16,50), ROE (17,38), dan PBV (15,00) bank persero lebih tinggi dari mean rank CAR (10,07), ROA (8,64), ROE (8,14) dan PBV (9,50) bank swasta nasional dominasi asing yang telah go public. Sedangkan mean rank BOPO (6,75) dan LDR (9,38) bank persero lebih rendah dari mean rank BOPO (14,12) dan LDR (12,71) bank swasta nasional dominasi asing. Hal ini menyimpulkan bahwa rasio CAR, ROA, ROE, BOPO, LDR, PBV bank persero lebih unggul dibanding bank swasta nasional dominasi asing. Tabel 4 menunjukan bahwa mean rank PER (12,43) bank swasta nasional dominasi asing lebih tinggi dari mean rank PER (9,88) bank persero. Sedangkan mean rank NPL gross (10,21) bank swasta nasional
70
71
Berdasarkan Tabel 5 hasil uji Kruskal-Wallis pada rasio NPL gross diketahui bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari α (0,219 > 0,01) sehingga Ho diterima/H1 ditolak. Hasil analisis rasio tersebut menunjukan tidak ada perbedaan antara NPL gross pada bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011. Hal tersebut disebabkan baik bank persero dan swasta nasional dominasi asing memiliki NPL gross yang baik, tetapi Bank ICB Bumiputera yang masuk ke dalam kelompok bank swasta nasional dominasi asing memiliki NPL gross di atas batas maksimum yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia sebesar 5%. Sedangkan hasil uji Kruskal-Wallis pada rasio ROA berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih kecil dari α (0,006 < 0,01) sehingga Ho ditolak/H1 diterima. Hasil analisis rasio ROA tahun 2010-2011 menunjukan ada perbedaan antara ROA pada bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011. Hal ini disebabkan ROA tahun 2010-2011 pada bank persero lebih tinggi dari bank swasta nasional dominasi asing dan disebabkan Bank ICB Bumiputera yang masuk ke dalam kelompok bank swasta nasional dominasi asing memiliki ROA negatif karena mengalami kerugian di tahun 2011. Jadi dari segi tingkat efisiensi usaha dan dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan kelompok bank persero lebih unggul dibandingkan dengan kelompok bank swasta nasional dominasi asing. Dapat terlihat pula hasil uji Kruskal-Wallis pada rasio ROE berdasarkan tabel 5 menunjukan hasil yang sama dengan rasio ROA, yaitu nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih kecil dari α (0,001 < 0,01) sehingga Ho ditolak/H1 diterima. Hal tersebut menunjukan rasio ROE tahun 2010-2011 menunjukan ada perbedaan antara ROE pada bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di
72
Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011. Adanya perbedaan ROE pada bank tersebut disebabkan ROE tahun 2010-2011 pada bank persero lebih besar dari ROE yang dimiliki bank swasta nasional dominasi asing, apalagi Bank ICB Bumiputera yang masuk ke dalam kelompok bank swasta nasional dominasi asing mengalami pertumbuhan ROE ke arah yang negatif karena pada tahun 2011 bank tersebut mengalami kerugian. Hal ini mencerminkan bahwa penghasilan yang tersedia bagi para pemilik perusahaan atas modal yang diinvestasikan pada bank persero berbeda dengan bank swasta nasional dominasi asing. Dapat dilihat pada Tabel 5 hasil uji Kruskal-Wallis pada rasio BOPO diketahui bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih kecil dari α (0,009 < 0,01) sehingga Ho ditolak/H1 diterima. Hal ini menunjukan ada perbedaan antara BOPO pada bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 20102011. Karena pada tahun 2010-2011 BOPO yang dimiliki Bank ICB Bumiputera yang masuk ke dalam kelompok bank swasta nasional dominasi asing sangat tinggi, sementara BOPO pada bank persero relatif rendah. ROA, ROE, dan BOPO pada bank persero lebih unggul karena bank yang diteliti merupakan 4 bank yang besar di Indonesia sehingga memiliki fasilitas dan layanan yang sangat memadai untuk nasabahnya dan juga memiliki banyak kantor cabang yang bisa menjangkau nasabah lebih banyak sehingga tingkat profitabilitas dan efektifitas bank persero lebih unggul. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat hasil uji Kruskal-Wallis rasio LDR terlihat bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari α (0,246 > 0,01) sehingga Ho diterima/H1 ditolak. Hal tersebut menunjukan tidak ada perbedaan antara LDR pada bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011. LDR masing-masing bank swasta nasional dominasi asing lebih kecil dari bank persero, karena BTN
73
memiliki rasio LDR yang cukup tinggi hampir mendekati batas ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia dalam menilai tingkat kesehatan bank sebesar 110% yang artinya likuiditas bank tersebut dinilai tidak sehat. Hasil uji Kruskal-Wallis pada rasio PER dapat dilihat pada Tabel 5 diketahui bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari α (0,375 > 0,01) sehingga Ho diterima/H1 ditolak dan hasil uji KruskalWallis pada rasio PBV menunjukan hal yang sama dengan hasil pada rasio PER, yaitu nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari α (0,056 > 0,01) sehingga Ho diterima/H1 ditolak. Hal tersebut menunjukan tidak ada perbedaan antara bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011. Hasil uji Kruskal-Wallis pada rasio PER mencerminkan bahwa tidak ada perbedaan harga satu saham, tingkat kepercayaan investor atau pelaku pasar terhadap performance saham, dan rentan waktu pengembalian investasi pada bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011. Sedangkan hasil uji Kruskal-Wallis pada rasio PBV mencerminkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi pasar terhadap nilai perusahaan pada bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011. Hipotesis ini sesuai dengan penelitian Naomi (2007) yang menunjukan tidak ada perbedaan pada rasio PER dan PBV antara bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing. 4.3.2 Uji Korelasi Spearman Uji korelasi Spearman digunakan karena objek penelitian sedikit (kurang dari 30) untuk menganalisis hubungan struktur kepemilikan dengan kinerja keuangan pada bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 20102011.
74
75
Berdasarkan hasil penelitian dengan alat bantu uji korelasi Spearman diketahui bahwa tidak ada hubungan antara struktur kepemilikan dengan kinerja keuangan pada bank umum persero dan swasta nasional dominasi asing yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011. Hasil penelitian ini sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Muliaman, et al. (2003) yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat kaitan antara struktur kepemilikan bank dengan kinerja bank maupun terhadap pelanggaran yang dilakukan.