IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Simulasi Distribusi Suhu Kolektor Surya 1. Domain 3 Dimensi Kolektor Surya Bentuk geometri 3 dimensi kolektor surya diperoleh dari proses pembentukan ruang kolektor menggunakan Ansys Geometry dan Ansys Meshing. Geometri adalah bentuk dasar dengan kondisi batas pada cover, absorber, insulasi, inlet dan outlet. Geometri yang telah didefenisikan dengan kondisi batas tersebut disebut dengan domain yaitu bagian yang akan di analisis dengan simulasi numerik. Bagian inlet dan outlet memiliki ukuran 300 x 50 mm, absorber 1000 x 300 mm, insulasi 1000 x 300 mm (bawah), 1000 x 70 mm (kanan dan kiri). Sedangkan cover memiliki lebar 300 mm. dan panjang cover 1000 mm (cover 100%), 800 mm (cover 80%), 600 mm (cover 60%), 400 mm (cover 40%), 200 mm (cover 20%) dan 0 mm (cover 0%). Ukuran panjang grid/mesh terkecil yang dihasilkan adalah 1.6x10-1 mm dan terbesar adalah 32 mm. Mesh menggunakan tipe tetrahedral yang berbentuk segiempat mengikuti bentuk kolektor yang cenderung tidak terlalu rumit. Bentuk domain dan mesh setiap kolektor dapat dilihat pada Gambar 15 -20.
Gambar 15. Domain dan Mesh Kolektor Cover 100%
Gambar 16. Domain dan Mesh Kolektor Cover 80%
Gambar 17. Domain dan Mesh Kolektor Cover 60%
23
Gambar 18. Domain dan Mesh Kolektor Cover 40%
Gambar 19. Domain dan Mesh Kolektor Cover 20%
Gambar 20. Domain dan Mesh Kolektor Cover 0% Penyelesaian simulasi kolektor akan dimulai sesuai dengan tahapan di metode pada halaman 1519. Tahap pembuatan simulasi dapat dilihat pada jurnal file pada Lampiran 4 halaman 55-57. Setiap kolektor tersebut dianalisis pada kemiringan (β) yaitu 6o, 15o, 30o, 45o, dan 60o. Secara singkat kondisi simulasi terjadi dimana radiasi surya akan mengenai cover yang kemudian akan memanaskan absorber. Hasil pemanasan menyebabkan kenaikan suhu udara di bawah pelat absorber sehingga udara panas bergerak dari inlet menuju outlet.
2. Hasil Simulasi Kolektor Surya Kondisi dari proses simulasi melibatkan pindah panas secara konveksi dan radiasi. Radiasi matahari berupa gelombang pendek akan mengenai cover. Absorber berada di bagian bawah cover dan diantaranya terdapat air gap. Air gap berfungsi untuk meminimalkan kehilangan panas. Pada bagian air gap terjadi efek rumah kaca sehingga terjadi pemanasan pada bagian ini. Pemanasan di bagian air gap meyebabkan suhu absorber meningkat karena menyerap iradiasi matahari. Kolektor yang memiliki cover 80%, 60%, 40%, 20% dan 0% memiliki bagian absorber yang tidak tertutup cover, sehingga iradiasi matahari akan langsung mengenai absorber. Pemanasan absorber menyebabkan suhu udara dibawahnya meningkat. Udara dibawah kolektor merupakan aliran udara dari inlet ke outlet. Udara dapat bergerak karena adanya perbedaan suhu. Perbedaan suhu ini mengakibatkan perbedaan nilai massa jenis udara. Karena massa jenis yang berbeda-beda dan tidak seragam, maka massa jenis udara yang lebih ringan akan menuju ke atas.
24
Sehingga terjadi aliran yang menuju outlet kolektor. Aliran yang terjadi ini disebut buoyancy driven flow atau aliran yang terjadi akibat gaya apung. Efek buoyancy di kolektor surya dapat dilihat pada Gambar 21.
Iradiasi Matahari Gelombang pendek
Air gap
Aliran udara akibat efek buoyancy
cover outlet Absorber
insulasi
Gelombang panjang
Inlet β
Gambar 21. Efek Buoyancy pada Kolektor Surya. Simulasi iradiasi matahari yang mengenai kolektor dimodelkan dengan solar load model. Simulasi solar load model ditetapkan berdasarkan perbedaan posisi matahari di waktu tertentu. Posisi matahari pada simulasi ditentukan melalui input bulan, hari, waktu dan letak dari daerah berdasarkan longitude dan latitude. Posisi mengikuti percobaan pada Tabel 4. yang dilakukan di Bogor (longitude: 106.78 dan latitude: -6.58) pada bulan Juli hari ke 21. Waktu ditentukan pada pagi hari pukul 09.00, siang hari pukul 12.00 dan sore hari pukul 15.00 (zona waktu +7 GMT). Input tersebut akan menentukan vector arah matahari yang mana menentukan posisi dari matahari mendekati kondisi sebenarnya. Posisi geometri ditentukan oleh orientasi mesh. Utara pada koordinat (0,0,1) dan timur (-1,0,0). Ini berarti posisi geometri menghadap ke utara yang ditunjukkan pada z positif, sedangkan nilai x negatif adalah arah timur. Jadi pada simulasi matahari mulai terbit pada x negatif (timur) dan terbenam pada x positif (barat). Posisi matahari berpengaruh pada sebaran suhu di dinding pelat absorber kolektor. Sebaran suhu menunjukkan terjadi kenaikan dari pelat bagian bawah (inlet) ke pelat bagian atas (outlet). Kenaikan suhu pada pagi, siang dan sore hari terdapat perbedaan sebaran suhu. Perbedaan tersebut terletak arah sebaran suhu dinding absorber. Sebaran suhu dapat dilihat pada Gambar 22-24.
Gambar 22. Kontur Suhu Dinding Absorber pada Pagi Hari.
25
. Gambar 22 merupakan sebaran suhu dinding pelat absorber pukul 09.00 dengan vektor arah matahari (-0.70,0.70,0.08). Nilai iradiasi pada saat itu adalah 431.684 W/m2. Sebaran suhu semakin ke atas semakin tinggi dan lebih condong ke arah kanan, karena pada saat itu posisi matahari masih di timur sehingga kenaikan perpindahan panas menuju atas kanan.
Gambar 23. Kontur Suhu Dinding Absorber pada Siang Hari. Sedangkan pada siang hari (Gambar 23), sebaran suhu berbeda dengan pagi hari. Vektor arah matahari berada pada posisi (-0.0005,0.99,0.11). Posisi matahari hampir tepat diatas yang ditunjukkan dengan nilai x mendekati 0 dan y mendekati 1. Nilai iradiasi matahari adalah 604.388 W/m2. Sebaran suhu dinding pelat absorber semakin keatas semakin tinggi dengan arah sebaran kenaikan perpindahan panas menuju atas tengah.
Gambar 24. Kontur Suhu Dinding Absorber pada Sore Hari. Gambar 24 menunjukkan sebaran kenaikan suhu pada dinding pelat absorber sore hari dengan vektor arah matahari (0.706,0.702,0.086). Nilai iradiasi matahari adalah 262.426 W/m2. Arah sebaran suhu merupakan kebalikan dari sebaran suhu pagi hari. dimana arah perpindahan panas menuju atas kiri. Pindah panas konveksi pada pelat absorber akan menyebabkan suhu udara dibawah pelat absorber meningkat. Simulasi sebaran suhu udara pada Gambar 25, menunjukkan pemanasan udara yang meningkat mulai dari kontur 1, kontur 2 hingga ke kontur 3. Peningkatan suhu yang terjadi yaitu pada suhu udara di air gap dan udara di bawah pelat absorber. Pada air gap gelombang panjang iradiasi matahari akan dijebak sehingga terjadi efek rumah kaca, sedangkan pada suhu udara dibawah pelat absorber terjadi efek buoyancy yang menyebabkan pergerakan aliran udara dari inlet ke outlet kolektor. Perbedaan suhu udara ini menyebabkan variasi dari massa jenis udara. Semakin tinggi suhu udara maka akan semakin ringan massa jenis udara. Massa jenis udara yang lebih ringan akan bergerak menuju outlet kolektor.
26
outlet
outlet
Air gap
Air gap
inlet
Suhu udara dibawah absorber Suhu udara dibawah absorber inlet
Gambar 25. Kontur Suhu Udara Kolektor Surya Tampak Isometri (kiri), Tampak Samping (kanan). Aliran udara bagian bawah pelat absorber bergerak menuju outlet kolektor ditunjukkan pada Gambar 26 Pergerakan aliran udara digambarkan dengan vektor kecepatan. Vektor kecepatan aliran udara terlihat tidak seragam dan tidak beraturan. Aliran yang tidak seragam dan tidak beraturan ini disebabkan nilai massa jenis udara yang beragam akibat perpindahan panas konveksi di aliran udara dibawah absorber.
outlet outlet
Inlet Inlet
Gambar 26. Vektor Kecepatan Udara Tampak Isometri (kiri), Tampak Samping (kanan). Perpindahan panas pada aliran udara dari inlet ke outlet kolektor dipengaruhi nilai koefisien perpindahan panas. Koefisien perpindahan panas ini menunjukkan kehilangan panas yang terjadi pada bagian absorber dan cover kolektor. Mekanisme kehilangan panas kolektor dimana panas hilang dari
27
bagian atas absorber karena konveksi alami dan karena radiasi ke permukaan dalam dari cover. Panas ini dikonduksikan oleh cover ke permukaan luarnya, lalu dipindahkan ke atmosfer luar secara konveksi dan radiasi. Pada kolektor cover 80%, 60%, 40%, 20% dan 0% ada bagian absorber yang tak tertutup cover, jadi panas langsung dikonduksi dan konveksi melalui absorber dan dipindahkan ke atmosfer luar. Kehilangan panas ini dinamakan kehilangan panas atas (top heatloss) yang dinyatakan dengan Ut (koefisien kehilangan panas atas). Semakin banyak panas yang hilang pada bagian atas, maka suhu udara di bawah pelat absorber akan semakin rendah, yang menyebabkan efek buoyancy berkurang pada aliran udara. Untuk mengurangi kehilangan panas ini perlu digunakan cover, sehingga penggunaan cover mempengaruhi nilai Ut. Hasil perhitungan Ut dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 47 dan 48 sedangkan tabel perhitungan kehilangan panas secara keseluruhan pada pengujian dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 51-54. 14 12
Ut ( W/m2K)
10 8 6 4 2 0 cover 100% cover 80% cover 60% cover 40% cover 20% cover 0%
Gambar 27. Perbandingan Nilai Ut Terhadap Persentase Cover. Kolektor cover 0% memiliki nilai Ut yang lebih besar dari pada cover 100%, 80%, 60%, 40%, dan cover 20%. Ini menunjukkan bahwa penggunaan cover berpengaruh pada kehilangan panas kolektor di bagian atas. Semakin sedikit persentase cover yang dipakai maka kehilangan panas bagian atas akan semakin besar. Gambar 27 menunjukkan perbandingan nilai Ut pada kemiringan 45o. Nilai Ut terbesar yaitu pada cover 0% yaitu 11.9 W/m2.K dan terkecil pada kolektor cover 100% yaitu 4.04 W/m2.K. Pada kemiringan kolektor 6o, 15o, 30o, 60o juga menunjukkan hal yang sama dimana kolektor cover 0% memiliki nilai Ut yang terbesar dan kolektor cover 100% memiliki nilai terendah. 6 Ut ( W/m2K)
5 4 3 2 1 0 0,13 0,17 0,23 0,3 0,32 0,37 0,38 0,53 0,55 0,68 1,43 kecepatan angin (m/s) Gambar 28. Perbandingan Nilai Ut terhadap Kecepatan Angin.
28
Naiknya kecepatan angin memperbesar kehilangan panas kolektor pada bagian atas sehingga nilai Ut akan semakin meningkat. Kecepatan angin terendah yaitu 0.13 m/s dan tertinggi 1.43 m/s. pada kecepatan angin 0.13 m/s nilai Ut kolektor 3.21 W/m2K sedangkan pada kecepatan angin 1.43 m/s nilai Ut 5.6 W/m2.K. Hasil perbandingan dapat dilihat pada Gambar 28. Grafik hubungan antara kecepatan angin dan Ut cukup fluktuatif hal ini disebabkan karena nilai iradiasi pada setiap data kecepatan angin memiliki nilai yang berbeda.
4. Suhu dan Laju Aliran Massa Kolektor Surya Tipe Back-pass Simulasi numerik yang telah dilakukan dengan 5 variasi kemiringan kolektor (β) yaitu 6o, 15o, 30o, 45o, dan 60o. Setiap kemiringan kolektor dibuat variasi geometri dengan persentase panjang cover 100%, 80%, 60%, 40%, 20%, dan 0%.. Hasil simulasi menunjukkan bahwa persentase panjang cover dan sudut kemiringan kolektor memiliki pengaruh terhadap suhu outlet kolektor dan laju aliran massa. Penyajian data sebaran suhu kolektor surya dari hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 58-65. Sedangkan data grafik hasil simulasi suhu outlet kolektor dapat dilihat pada Gambar 29-31. Variasi persentase panjang cover kolektor bertujuan untuk melihat pengaruh cover terhadap sebaran suhu udara di kolektor. Kolektor cover 100%, 80% dan 60% memiliki suhu udara outlet yang tinggi. Sedangkan cover 40%, 20% dan 0% memiliki suhu udara outlet yang rendah. Pemilihan terhadap kolektor yang digunakan adalah kolektor cover 60% karena pada kolektor cover 60% sudah mencapai suhu outlet yang memadai untuk pengeringan yaitu kisaran suhu diatas 40oC. Penggunaan cover 80% dan cover 100% tidak meningkatkan suhu udara outlet secara signifikan. Pertimbangan pemilihan kolektor 60% juga berdasarkan grafik dan biaya konstruksi kolektor. Dari grafik kenaikan suhu udara outlet terjadi mulai dari kolektor cover 0% hingga kolektor cover 60% , namun pada kolektor cover 60% hingga ke cover 100% tidak terjadi kenaikan dan cenderung memiliki nilai suhu yang datar. Sehingga diambil kolektor 60% karena merupakan batas kenaikan suhu udara outlet. Disamping itu kolektor cover 60% memiliki biaya konstruksi yang lebih rendah dari pada kolektor cover 80% dan cover 100% karena kolektor cover 60% mengurangi biaya pembelian kaca untuk cover. Biaya konstruksi kolektor cover 60% adalah Rp. 432,480, biaya konstruksi cover 80% adalah Rp. 436,200 dan biaya konstruksi kolektor cover 100% adalah Rp. 439,920 untuk setiap unit pembuatan kolektor. Biaya konstruksi kolektor dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 50. o
C 60
55 50 Kemiringan 6
45
Kemiringan 15 40
Kemiringan 30
35
Kemiringan 45
30
Kemiringan 60
25 20 cover 0% cover 20% cover 40% cover 60% cover 80% cover 100% Gambar 29. Perbandingan Suhu Udara Outlet Kolektor Pukul 09.00.
29
Gambar 29 menunjukkan kolektor dengan kemiringan 6o memiliki suhu udara outlet yang lebih tinggi yaitu pada cover 60% dan cover 100% dengan suhu 55 oC jika dibandingkan dengan kolektor kemiringan 15o, 30o, 30o, 45o, dan 60o pada setiap persentase panjang cover. Naiknya kemiringan kolektor menyebabkan energi iradiasi matahari yang diterima menjadi berkurang, sehingga suhu udara outlet kolektor menjadi rendah. Kolektor dengan cover 100%, 80%, dan 60% memiliki suhu udara outlet yang tinggi dengan kisaran 39.11oC hingga 55oC, sedangkan pada cover 40%, 20% dan 0% memiliki suhu udara outlet yang rendah dengan kisaran 30.77oC hingga 52.40oC. Kolektor cover 40%, 20% dan 0% iradiasi langsung mengenai absorber, namun banyak terjadi kehilangan panas, karena bagian yang tidak tertutup cover cukup besar. Cover 100% cukup efektif untuk mencegah kehilangan panas, namun intensitas iradiasi yang ditransmisikan ke absorber berkurang, karena cover menjadi penghambat. Cover 80% dan 60% kehilangan panas dapat diatasi dengan adanya cover yang persentasenya cukup besar. Walaupun terjadi kehilangan panas pada bagian yang tidak tertutup cover, namun pada bagian ini iradiasi matahari dapat langsung mengenai absorber tanpa penghambat cover dengan kehilangan panas yang lebih kecil dari cover 40%, 20% dan 0%. Pada kolektor surya kemiringan 6o cover 60% dan cover 100% memiliki suhu tertinggi yaitu 55oC , pada kemiringan 15o cover 100% memiliki suhu tertinggi yaitu 53.400C, pada kemiringan 30o cover 80% memiliki suhu tertinggi yaitu 41.87oC, pada kemiringan 45o cover 80% memiliki suhu tertinggi yaitu 39.79oC dan pada kemiringan 60 o cover 80% memiliki suhu tertinggi yaitu 39.11oC. o
C
55
50 Kemiringan 6
45
Kemiringan 15 Kemiringan 30
40
Kemiringan 45 Kemiringan 60
35
30 cover 0% cover 20% cover 40% cover 60% cover 80% cover 100% Gambar 30. Perbandingan Suhu Udara Outlet Kolektor Pukul 12.00. Gambar 30 menunjukkan kolektor dengan kemiringan 6o memiliki suhu udara yang tinggi yaitu pada kolektor cover 100% dengan suhu 53.560C jika dibandingkan dengan kolektor kemiringan 15o, 30o, 30o, 45o, dan 60o untuk setiap persentase panjang cover. Pengaruh cover terhadap suhu outlet menunjukkan suhu cover 100%, 80%, dan 60% memiliki suhu yang tinggi, sedangkan pada cover 40%, 20% dan 0% memiliki suhu yang rendah. Pada kemiringan 6o, 15o, dan 30o kolektor cover 100% memiliki suhu tertinggi yaitu berturut-turut 55.56oC, 49.66o dan 45.540C. Pada kemiringan 450 kolektor cover 60% memiliki suhu outlet tertinggi yaitu 42.78 oC dan kemiringan 600 kolektor cover 80% memiliki suhu tertinggi yaitu 36.81oC. Kolektor dengan cover 100%, 80%, dan 60% memiliki suhu udara outlet yang tinggi dengan kisaran 36.81oC hingga 53.560C, sedangkan pada cover 40%, 20% dan 0% memiliki suhu udara outlet yang rendah dengan kisaran 31.43oC hingga 49.14oC
30
o
C
55 50 45
Kemiringan 6
40
Kemiringan 15 Kemiringan 30
35
Kemiringan 45 30
Kemiringan 60
25 20 cover 0% cover 20% cover 40% cover 60% cover 80% cover 100% Gambar 31. Perbandingan Suhu Udara Outlet Kolektor Pukul 15.00. Hasil simulasi pada Gambar 31 menunjukkan kemiringan 6o memiliki suhu udara outlet yang tertinggi yaitu pada kolektor cover 100% dengan suhu 49.56oC untuk setiap persentase panjang cover. Pengaruh persentase panjang cover untuk setiap kemiringan kolektor menunjukkan cover 100%, 80% dan 60% memiliki suhu yang tinggi dengan kisaran 34.250C hingga 49.56oC dan cover 40%, 20% dan 0% memiliki suhu udara outlet yang rendah dengan kisaran 29.44o hingga 42.92oC. Pada kemiringan 6o, 30o, dan 45o kolektor cover 100% memiliki suhu udara outlet tertinggi yaitu berturut-turut 49.56oC, 35.94oC, 34.920C. Pada kemiringan 15o kolektor cover 60% memiliki suhu udara outlet tertinggi yaitu 43.36oC. Sedangkan pada kemiringan 600 kolektor cover 80% memiliki suhu udara outlet tertinggi yaitu 34.250C. Kolektor dengan cover 100%, 80%, dan 60% memiliki suhu udara outlet yang tinggi dengan kisaran 36.81oC hingga 53.560C, sedangkan pada cover 40%, 20% dan 0% memiliki suhu udara outlet yang rendah dengan kisaran 31.43oC hingga 49.14oC. Kemiringan kolektor mempengaruhi efek buoyancy yang terjadi. Efek buoyancy berhubungan dengan stack effect pada saluran udara panas di kolektor (aliran dibawah pelat absorber). Stack effect merupakan pergerakan aliran udara dari saluran udara kolektor ke outlet kolektor yang didorong oleh gaya buoyancy. Sehingga semakin tinggi suhu udara di kolektor dan kemiringan kolektor maka semakin besar gaya buoyancy untuk dapat menimbulkan stack effect dengan laju aliran massa yang tinggi. Laju aliran massa dihitung oleh solver pada simulasi numerik, sedangkan perhitungan langsung dapat menggunakan persamaan 21. Hasil perhitungan solver simulasi numerik menunjukkan nilai laju aliran massa yang meningkat mulai dari kemiringan kolektor 6o, 15o, 30o, dan 45o sedangkan pada kemiringan 60o terjadi penurunan laju aliran massa. Hasil ini memiliki persamaan dari penelitian oleh Thong (2007) dimana juga terdapat kenaikan laju aliran massa kemudian terjadi penurunan. Namun karena variasi sudut yang digunakan berbeda maka kemiringan optimal Thong yaitu pada sudut 35o. Hasil menunjukkan pada kemiringan 15o, 25o, 35o terjadi kenaikan kemudian pada sudut 55o dan 60o terjadi penurunan laju aliran massa. Stack effect dipengaruhi oleh suhu udara dan kemiringan kolektor. Suhu udara kolektor semakin rendah apabila kemiringan bertambah. Kemiringan 60 o suhu udara di kolektor tidak cukup tinggi, sehingga efek buoyancy terjadi memiliki laju aliran yang rendah.
31
laju aliran massa (kg/s)
0,006
Cover 100%
0,005
Cover 80%
0,004
Cover 60%
0,003
Cover 40%
0,002
Cover 20%
0,001
Cover 0%
0 6
15
30
45
60
Kemiringan Kolektor
laju aliran massa (kg/s)
Gambar 32. Laju Aliran Massa Pukul 09.00. 0,007 0,006 0,005 0,004 0,003 0,002 0,001 0
Cover 100% Cover 80% Cover 60% Cover 40% Cover 20% Cover 0% 6
15
30
45
60
Kemiringan Kolektor
laju aliran massa (kg/s)
Gambar 33. Laju Aliran Massa Pukul 12.00. 0,006
Cover 100%
0,005
Cover 80%
0,004 0,003
Cover 60%
0,002
Cover 40%
0,001
Cover 20%
0
Cover 0% 6
15
30
45
60
Kemiringan Kolektor Gambar 34. Laju Aliran Massa Pukul 15.00 Gambar 32-34 menunjukkan nilai laju aliran massa dari masing masing kolektor. Simulasi pada siang, pagi, dan sore hari memberikan hasil yang sama yaitu pada sudut 45o memiliki nilai laju aliran massa yang paling tinggi diantara setiap kemiringan. Laju aliran massa meningkat dari kemiringan 6o, 15o, 30o, dan 45o , namun pada kemiringan 60o terjadi penurunan laju aliran massa. Hal tersebut disebabkan oleh suhu udara yang lebih rendah pada kolektor kemiringan 60 o. sehingga untuk sudut yang optimal terhadap laju aliran massa yang terjadi di kolektor dipilih kolektor dengan kemiringan 45o.
32
5. Validasi Sebaran Suhu dan Laju Aliran Kolektor Surya Tipe Back-pass Validasi sebaran suhu kolektor surya dilakukan berdasarkan skenario pada Tabel 7-11 dengan pemilihan 3 waktu simulasi. Validasi sebaran suhu kolektor dilakukan untuk membandingkan data ukur (Tukur) dan data simulasi (T CFD) di kolektor. Dengan membandingkan data ukur dan data simulasi numerik maka didapatkan nilai error Tukur dan TCFD. Besarnya error dapat dinyatakan dalam bentuk kesalahan relatif yaitu dengan membandingkan kesalahan simulasi yang terjadi dengan nilai pengukuran sebenarnya (Puspitojati, 2003). Nilai error dibawah 10% menunjukkan simulasi dianggap layak. Perbandingan juga dibuat terhadap korelasi antara titik-titik pengukuran suhu T-Ukur dan TCFD pada bidang XY (Widodo, 2009) untuk mendapatkan nilai koefisien determinasi (R2). Simulasi dianggap layak apabila R2 lebih besar dari 0.8 (Puslitbang fisika terapan-LIPI, 1990 didalam Puspitojati, 2003). Simulasi semakin akurat apabila nilai R 2 mendekati 1. Sehingga kriteria simulasi yang baik dengan memberikan nilai R2 lebih besar dari 0.8 dan error dibawah 10%. Hasil validasi menunjukkan nilai error rata-rata berturut turut mulai dari kemiringan kolektor 6o, o 15 , 30o, 45o, dan 60o, adalah 2.99%, 2.83%, 8.00%, 4.93%, dan 4.12% dengan nilai R2 berturut-turut 0.981, 0.926, 0.806, 0.927, dan 0.837. Ini menunjukkan bahwa nilai simulasi numerik (TCFD) mendekati nilai pengukuran (TCFD). Karena hasil menunjukkan error dibawah 10% dan nilai R2 lebih besar dari 0.8. Hasil dari perbandingan nilai TCFD dan Tukur terhadap masing-masing sudut dapat dilihat pada Gambar 35 sampai Gambar 49, sedangkan data dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 66-77 dan Tabel 11. 36
y = 0,7489x + 7,773 R² = 0,7683 T Ukur (°C)
T Ukur (°C)
34 32 30 28
90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
y = 1,0012x + 0,2823 R² = 0,9668
30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
26 26
28
30 32 T CFD (°C)
34
36
Gambar 35. Validasi kemiringan 6o Pukul 08.00.
T CFD (°C)
Gambar 36. Validasi kemiringan 6o Pukul 10.00.
33
T Ukur (°C)
70 68 66 64 62 60 58 56 54 52 50 48 46 44 42 40 38 36 34
y = 0,9081x + 5,0187 R² = 0,9618
34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70
T CFD (°C) Gambar 37. Validasi kemiringan 6o Pukul 12.15. Korelasi antara TCFD dan dan Tukur pada bidang xy seperti pada Gambar 35-37 memberikan nilai R yang menunjukkan korelasi antara T CFD dan Tukur. Nilai R2 validasi Gambar 35 menunjukkan nilai yang kurang linear dengan nilai R2 0.768, sedangkan Gambar 36 dan 37. nilai R2 mendekati linear yaitu 0.966 dan 0.961. Nilai error masing-masing validasi berturut-turut 2.86%, 3.18%, dan 2.94%, sehingga rata-rata error adalah 2.99%. Nilai error yang didapat dari Tukur dan TCFD memiliki nilai dibawah 10% namun nilai R2 pada data Gambar 35 masih dibawah 0.8. hali ini disebabkan pada data Gambar 35 terdapat beberapa data titik validasi yang memiliki perbedaan cukup jauh dengan error 6% sampai 7% sehingga pada plot di grafik XY tampak perbedaanya yang ditunjukkan dengan R 2 dibawah 0.8. Namun jika dilihat dari nilai error secara keseluruhan error masih dibawah 10%. 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35
80 75
y = 0,9675x + 2,0492 R² = 0,9873
y = 0,9748x + 1,1443 R² = 0,9922
70
T Ukur (°C)
T Ukur (°C)
2
65 60 55 50 45 40
35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
T CFD °C
35 35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
T CFD °C
Gambar 38. Validasi Kemiringan 15o Pukul 10.00. Gambar 39. Validasi Kemiringan 15o Pukul 12.00.
34
T Ukur (°C)
54 52 50 48 46 44 42 40 38 36 34 32 30
y = 0,8879x + 4,195 R² = 0,8993
30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 T CFD (°C) Gambar 40. Validasi Kemiringan 15o Pukul 14.00. TCFD dan dan Tukur pada bidang xy seperti pada Gambar 38-40 memberikan nilai R2 berturut-turut 0.987, 0.992, dan 0.899. Nilai R2 memiliki nilai yang mendekati linear. sedangkan nilai error masingmasing validasi berturut-turut 2.56%, 2.63%, dan 3.31%, sehingga rata-rata error adalah 2.83%. Nilai error dibawah 10% dan R2 diatas 0.8 sehingga dapat dikatakan validasi memiliki nilai yang valid. 58 56 54
y = 0,7114x + 10,589 R² = 0,6597
50
T Ukur (°C)
T Ukur (°C)
52 48 46 44 42 40 38 36 34
34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58
58 56 y = 0,9395x + 3,0191 54 R² = 0,6655 52 50 48 46 44 42 40 38 36 34 32 30 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58
T CFD °C T CFD °C Gambar 41. Validasi Kemiringan 30o Pukul 08.00. Gambar 42. Validasi Kemiringan 30o Pukul 10.15.
35
y = 0,8068x + 10,469 R² = 0,8553
T Ukur (°C)
90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
T CFD °C Gambar 43. Validasi Kemiringan 30o Pukul 11.30.
60 58 56 54 52 50 48 46 44 42 40 38 36 34 32
y = 0,9309x + 4,6402 R² = 0,9123
T Ukur (°C)
T Ukur (°C)
TCFD dan dan Tukur pada validasi bidang xy Gambar 41-43 memberikan nilai R2 nilai yang tidak cukup linear. Pada Gambar 41 dan 42 berturut-turut 0.659 dan 0.665. Namun pada Gambar 43 nilai R2 cukup linear yaitu 0.855. Apabila dilihat dari error antara TCFD dan Tukur masing-masing berturut-turut 6.56%, 7.68% dan 9.77%. Data pada Gambar 43 dan 44 memberikan R2 dibawah 0.8 karena ada beberapa titik validasi yang berbeda jauh dari data pengukuran. Beberapa titik tersebut memberikan nilai error berkisar dari 12% sampai 36% dan satu titik yang memberikan error sebesar 51.28%. Namun jika dilihat secara keseluruhan nilai error rata-rata titik validasi masih dibawah 10%.
32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60
T CFD (°C)
68 66 64 62 60 58 56 54 52 50 48 46 44 42 40 38 36
y = 0,8899x + 5,8994 R² = 0,945
36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 68
T CFD °C
Gambar 44. Validasi Kemiringan 45o Pukul 09.00. Gambar 45. Validasi Kemiringan 45o Pukul 12.00.
36
95 90 85
y = 0,8241x + 8,1459 R² = 0,9208
80
T Ukur (°C)
75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95
T CFD °C Gambar 46. Validasi Kemiringan 45o Pukul 13.30.
58 56 54 52 50 48 46 44 42 40 38 36 34 32 30
54 52 50 48
y = 0,7607x + 7,704 R² = 0,8086
T Ukur (°C)
T Ukur (°C)
TCFD dan Tukur pada bidang xy seperti pada Gambar 44-46 memberikan nilai R2 berturut-turut 0.912, 0.945, dan 0.920. Nilai R2 memiliki nilai yang mendekati linear. sedangkan nilai error validasi berturut-turut 5.64%, 4.24%, dan 4.92%, sehingga rata-rata error adalah 4.93%. Nilai error ini masih dibawah 10% dan R2 diatas 0.8 sehingga dapat dikatakan validasi memiliki nilai yang valid.
46
y = 0,8675x + 2,8133 R² = 0,851
44 42 40 38 36 34 32 30
30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58
T CFD °C
30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54
T CFD °C o
Gambar 47. Validasi Kemiringan 60 Pukul 08.45. Gambar 48. Validasi Kemiringan 60o Pukul 12.30.
37
T Ukur (°C)
54 52 50 48 46 44 42 40 38 36 34 32
y = 0,9286x + 2,6768 R² = 0,8948
32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 T CFD °C Gambar 49. Validasi Kolektor kemiringan 60o Pukul 15.00 Gambar 47-49 memberikan nilai R2 pada TCFD dan Tukur berturut-turut 0.808, 0.851, dan 0.894. Nilai R2 memiliki nilai yang mendekati linear. Nilai error validasi berturut-turut 5.68%, 3.71%, dan 2.98%, sehingga rata-rata error adalah 4.12%. Nilai error ini masih dibawah 10% dan R2 diatas 0.8 sehingga data dapat dikatakan memiliki nilai yang valid. Tabel 11. Perbandingan Nilai error (%) dan R2 TCFD dan Tukur. Error (%) / R2 6o
15o
30o
45o
60o
Nilai Keseluruhan
cover 100%
2.16% / 0.995
3.06% / 0.991
5.57% / 9.991
8.71% / 0.966
6.60% / 0.839
5.22% / 0.964
cover 80%
2.23% / 0.996
2.85% / 0.991
5.40% / 0.953
3.87% / 0.981
3.87% / 0.855
3.64% / 0.977
cover 60%
3.09% / 0/982
2.09% / 0.993
10.84% / 0.794
4.11% / 0969
4.70% / 0.865
4.97% / 0.916
cover 40%
2.75% / 0.984
1.71% / 0.994
10.21% / 0.773
4.65% / 0.946
2.87% / 0.946
4.44% / 0.913
cover 20%
3.99% / 0.968
4.33% / 0.968
8.73% / 0.946
3.83% / 0.91
3.69% / 0.896
4.92% / 0.888
cover 0%
3.75% / 0.966
2.94% / 0.975
7.27% / 0. 935
4.43% / 0.929
3.03% / 0.863
4.28% / 0.938
Nilai Keseluruhan
2.99% / 0.981
2.83% / 0.926
8.00% / 0.806
4.93% / 0.927
4.12 % / 0.837
Tabel 11 menunjukkan error dan R2 antara TCFD dan Tukur berdasarkan perbandingan persentase cover pada setiap kemiringan. Hasil secara rinci pada titik suhu validasi dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 66-77. Perbandingan ini dilakukan untuk melihat keakuratan simulasi terhadap pengukuran secara keseluruhan. Sehingga dari perbandingan yang didapat error paling besar terdapat pada validasi cover 100%, pada kemiringan 30o yaitu 10.84% dengan R2 0.794. Sedangkan error paling kecil terdapat pada kolektor cover 40% pada kemiringan 15o yaitu 1.71% dengan R2 0.994. nilai error pada cover 40% dan cover 60% kemiringan 30o memiliki error diatas 10% yaitu masing-masing 10.84% dan 10.21% sedangkan R2 0.794 dan 0.773. Sehingga kecocokan antara data T CFD dan Tukur memiliki nilai yang kurang valid. Hal ini disebabkan nilai T CFD yang kurang konvergen pada saat melakukan iterasi. Nilai tersebut bisa diperbaiki dengan cara melakukan penambahan jumlah iterasi yang dilakukan atau melakukan penghalusan mesh domain dan melakukan iterasi kembali. Laju aliran massa (m) pada simulasi numerik dan nilai laju aliran massa pada perhitungan menggunakan data lapang dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 78-80 sedangkan contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 48 dan 49. Nilai mhitung dihitung menggunakan
38
persamaan 21 yang mendapatkan nilai debit aliran (m3/s) kemudian untuk mendapatkan laju aliran massa dikalikan dengan massa jenis udara (kg/m3). Sedangkan mCFD merupakan hasil perhitungan solver fluent. Simulasi memberikan nilai error yang cukup besar yaitu 29.3%, Hasil validasi mCFD dan mhitung memiliki nilai yang kurang sesuai karena error lebih besar dari 10%. Data pengukuran memiliki nilai yang lebih kecil dari pada data simulasi numerik. Hal ini disebabkan nilai mCFD yang kurang konvergen pada saat melakukan iterasi. Walaupun demikian nilai tersebut masih memiliki kecenderungan yang sama dimana dilihat dari hasil perhitungan dan hasil simulasi nilai tertinggi terdapat pada kolektor dengan kemiringan 45o Cover 60%, yaitu pada simulasi numerik laju aliran massa menunjukkan 0.0098 kg/s sedangkan pada perhitungan dari pengukuran (mukur) menunjukkan nilai 0.0095 kg/s.
m Hitung (kg/s)
y = 0,9474x - 0,0005 R² = 0,7863
0,000
0,002
0,004
0,006
0,008
0,010
0,012
m CFD (kg/s) Gambar 50. Validasi Laju Aliran Massa pada Kolektor. Korelasi mCFD dan dan mHitung pada bidang xy pada Gambar 50 memberikan nilai R2 0.7863. Nilai R2 kurang mendekati linear karena ada titik yang memiliki perbedaaan cukup jauh antara m CFD dan mhitung. Titik validasi tersebut cukup menyebar namun trend simulasi baik karena nilai b=0.9474 yang mendekati 1. Nilai yang menyebar pada grafik juga ditunjukkan dengan error yang besar pada beberapa titik validasi. Error berkisar dari 0.19% hingga 97.86% dengan rata-rata error pada semua titik 29.3%. Dari hasil simulasi dan validasi maka dilakukan pemilihan terhadap kolektor yang akan dihubungkan ke kotak pengering. Secara keseluruhan validasi menunjukkan data simulasi layak untuk dipakai karena nilai R2 diatas 0.8 dan error dibawah 10%. Pemilihan tersebut dipilih kolektor cover 60% dengan sudut kemiringan 45o. Cover 60% dipilih karena suhu outlet kolektor sudah mencapai kisaran suhu yang memadai untuk pengeringan yaitu diatas 40 oC. Selain itu biaya konstruksi pembuatan kolektor cover 60% memiliki biaya yang lebih rendah dari pada kolektor cover 80% dan 100%. Biaya konstruksi cover 60% adalah Rp. 432,480, biaya konstruksi cover 80% adalah Rp. 436,200, dan biaya konstruksi kolektor cover 100% adalah Rp. 439,920. Sedangkan kemiringan 45o dipilih karena memiliki laju aliran massa yang tinggi dibandingkan sudut lainnya yaitu 0.0098 kg/s pada simulasi dan 0.0095 kg/s pada perhitungan.
39
B. Simulasi Distribusi Suhu Kotak Pengering 1. Domain 3 Dimensi Kotak Pengering Pembuatan geometri 3 dimensi kotak pengering sama dengan kolektor surya yaitu diperoleh dari proses pembentukan geometri ruang dari kotak pengering menggunakan Ansys Geometry dan Ansys Meshing. Hasil geometri tersebut didefenisikan dengan kondisi batas sehingga terbentuklah domain kotak pengering. Bentuk dasar dari domain adalah kolektor surya tipe back-pass cover 60% kemiringan 45o yang dihubungkan dengan kotak pengering. Bagian inlet udara adalah inlet dari kolektor surya dan outlet berupa cerobong pengeluaran dari kotak pengering. Ukuran kotak pengering 300 x 300 mm. Ukuran mesh terkecil dari kolektor 2.4x10-1 mm dan terbesar 48 mm. Pembentukan mesh menggunakan tetrahedral dan trihedral yang mana berbentuk segi empat dan segitiga mengikuti bentuk kolektor dan kotak pengering. Bentuk domain dan serta mesh kotak pengering dapat dilihat pada Gambar 51.
Gambar 51 Domain dan Mesh Kotak Pengering Iradiasi matahari akan mengenai kolektor surya, sehingga terjadi efek buoayancy. Efek buoyancy ini menyebabkan aliran udara pada kolektor bergerak menuju kotak pengering. Simulasi bertujuan untuk melihat sebaran suhu kotak pengering yang merupakan aliran udara panas yang bearasal dari kolektor surya.
2. Sebaran Suhu Kotak Pengering Kolektor akan mendapatkan iradiasi dari matahari yang kemudian akan memanaskan aliran udara dari inlet ke outlet. Pemanasan menyebabkan massa jenis udara menjadi bervariasi. Massa jenis yang lebih ringan akan bergerak ke atas akibat efek buoyancy. Aliran udara terjadi dari inlet kolekor surya dan keluar melalui cerobong kotak pengering, Dengan adanya efek ini suhu udara pada kotak pengering meningkat sehingga suhu kotak pengering akan menjadi lebih panas.
40
Gambar 52. Kontur Suhu Kotak Pengering pada Saat Kolektor Ditutup. Hasil simulasi pada Gambar 52 menunjukkan simulasi kotak pengering dalam keadaan kolektor ditutup atau diinsulasi pada bagian atasnya. Tujuan percobaan ini adalah melihat bahwa pemanasan udara di kotak pengering terjadi akibat pemanasan di aliran udara kolektor. Simulasi yang telah dilakukan menunjukkan sebaran suhu pada kotak pengering merata pada suhu 39.6oC dengan suhu lingkungan pada saat itu 38oC. Hal ini menunjukkan matahari tidak dapat memanaskan udara di kolektor karena bagian atas kolektor ditutup atau diinsulasi. Terjadinya peningkatan suhu 1.6oC pada kolektor surya dan kotak pengering tidak cukup untuk menimbulkan efek buoyancy di kolektor. Iradiasi matahari yang mengenai cover kolektor yang menyebabkan efek rumah kaca pada udara static di air gap. Hal tersebut akan memanaskan absorber sehingga terjadi aliran udara panas dari inlet kolektor dan memanaskan udara di kotak pengering. Simulasi pada kondisi batas pukul 09.00 dengan intensitas iradiasi matahari 471.4 W/m2 rata-rata suhu kotak pengering berkisar 43oC-45oC. Simulasi pada pukul 12.00 dengan intensitas iradiasi matahari 626.5 W/m2, suhu kotak pengering berkisar 46oC-51oC dan pada saat simulasi dengan kondisi batas pukul 15.00, intensitas iradiasi matahari 371.4 W/m2 sebaran suhu kotak pengering berkisar 41oC-44oC. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 53-55.
41
Gambar 53. Sebaran Suhu Kotak Pengering Pukul 09.00.
Gambar 54. Sebaran Suhu Kotak Pengering Pukul 12.00.
Gambar 55. Sebaran Suhu Kotak Pengering Pukul 15.00.
42
3. Validasi Sebaran Suhu Kotak Pengering Validasi dengan membandingkan data simulasi (TCFD) dan data pengukuran Tukur) pada titik-titik suhu geometri kotak pengering. Nilai rata-rata dari validasi menunjukkan nilai error secara keseluruhan 1.22% dan R2 0.95, sehingga dapat dikatakan hasil simulasi baik karena nilai error masih dibawah 10% dan nilai R2 diatas 0.8. Hasil validasi dapat dilihat pada Lampiran 8 halaman 81, sedangkan data grafik dapat diliihat pada Gambar 56-58. 58
52 50 48
y = 0,9605x + 1,8512 R² = 0,9479
y = 0,9229x + 3,9661 R² = 0,9864
56 54
T Ukur
T Ukur
46 44 42
52 50
40
48
38
46
36
44 36 38 40 42 44 46 48 50 52 T CFD
44
46
48
50 52 T CFD
54
56
58
Gambar 56. Validasi Kotak Pengering Pukul 09.00 Gambar 57. Validasi Kotak Pengering Pukul 12.00
50 y = 1,0818x - 3,5687 R² = 0,9387
48
T Ukur
46 44 42 40 38 36 36
38
40
42 44 T CFD
46
48
50
Gambar 58. Validasi Kotak Pengering Pukul 15.00 Korelasi antara TCFD dan dan Tukur pada bidang xy Gambar 56-58 memberikan nilai R2 diatas 0.8 menunjukkan simulasi layak digunakan. Nilai tersebut secara berturut-turut 0.947, 0.986 dan 0.938. Hasil validasi berturut-turut mulai dari pukul 09.00, 12.00, dan 15.00 memiliki nilai error dibawah 10% yaitu1.05%, 1.84%. dan 1.60%. Sebaran suhu di ruang pengering cukup seragam dimana pengukuran pada pukul 09.00 rata-rata suhu kotak pengering 47.2oC, pukul 12.00 51.3oC dan pukul 15.00 46.7oC. sedangkan pada simulasi suhu kotak pengering menunjukkan 47.1oC pada pukul 09.00, 50.7oC pukul 12.00 dan 46.5o C pukul 15.00.
43