IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Kepadatan Lalu Lintas Jl. M.H. Thamrin Jalan M.H. Thamrin merupakan jalan arteri primer, dengan kondisi di sekitarnya didominasi wilayah perkantoran. Kepadatan lalu lintas di jalan ini relatif tinggi terutama pada pagi dan sore hari dengan jenis kendaraan yang melintas didominasi oleh kendaraan pribadi (motor dan mobil penumpang). Selain itu di sepanjang ruas jalan Thamrin – Sudirman terdapat kegiatan optimalisasi pemanfaatan jalan dengan penambahan jalur. Pada ruas jalan ini pula dilakukan manajemen transportasi, yaitu 3 in 1 yang berlaku pada pagi hari (06:30-10:00) dan sore hari (16:00-19:00). Kajian terhadap fluktuasi lalu lintas harian pada jaringan jalan memberikan gambaran terhadap besar volume kendaraan maksimum serta waktu sibuk pagi dan sore hari untuk masing-masing arah. Gambar 11 menunjukkan volume kendaraan pada hari kerja dan hari libur. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah kendaraan pada hari libur jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan hari kerja. Pada hari kerja dapat dilihat puncak-puncak kepadatan kendaraan yang melewati Jl. M.H Thamrin terjadi pada pukul 08:00-09:00 dengan jumlah kendaraan
mencapai 10,140 kendaraan. Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan pada ruas jalan protokol di Jakarta yang menyebutkan waktu sibuk pagi hari di ruas jalan Jakarta adalah pukul 07:0011:00. Hal ini disebabkan puncak volume lalu lintas pagi hari terjadi setelah pemberlakuan kebijakan 3 in 1 yaitu pukul 10:00-11:00 dan pagi hari pada waktu jam masuk kerja. Sedangkan pada hari libur, volume kendaraan yang melintas cenderung meningkat secara perlahan hingga 13:0014:00 dengan jumlah kendaraan mencapai 5,712 kendaraan. Merujuk pada pengamatan kondisi volume lalu lintas pada ruas jalan yang sama oleh Satria (2006) didapatkan hasil yang sedikit berbeda, yaitu pada hari kerja puncak volume lalu lintas terjadi pukul 10:00-11:00 sebesar 12,336 kendaraan. Sedangkan pada hari libur, pola volume kendaraan yang melintas meningkat secara perlahan hingga pukul 12:00-13:00 dengan jumlah kendaraan yang melintas pada waktu tersebut sebesar 7,788 kendaraan. Terlihat bila dibandingkan dengan pengamatan lalu lintas kali ini, baik pada hari kerja maupun hari libur terjadi perbedaan volume puncak lalu lintas sebesar 1 jam.
12000 Jumlah Kendaraan
10000 8000 6000 4000 2000 0
Hari Kerja Gambar 11.
Hari Libur
Pukul
Grafik volume kendaraan harian di Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur.
25
Gambar 12.
Persentase kendaraan yang melewati Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur
Persentase kendaraan yang melewati ruas Jl M.H. Thamrin disajikan dalam Gambar 12. Hasil pengamatan dan perhitungan menunjukkan bahwa pada hari kerja jumlah kendaraan mencapai 69,150 kendaraan dengan jumlah kendaraan terbesar, yaitu sepeda motor sebanyak 40,818 kendaraan (59 %). Sedangkan pada hari libur jumlah kendaraan mencapai 34,872 kendaraan dengan jumlah kendaraan yang mendominasi, yaitu mobil penumpang berbahan bakar bensin sebanyak 14,644 kendaraan (41 %). Jalan ini merupakan salah satu jalan utama di pusat Jakarta dan merupakan salah satu kawasan perkantoran yang cukup tinggi aktivitasnya. Persentase berbeda ditemukan dari pengamatan yang dilakukan Satria (2006). Didapatkan baik pada hari kerja maupun hari libur persentase kendaraan yang melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin terbesar adalah moda transportasi mobil, yaitu sebesar 55 % pada hari kerja dan 48 % pada hari libur. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jakarta pada saat ini lebih memilih moda transportasi sepeda motor dalam melakukan aktivitas sehari-hari, karena bentuk moda transportasi tersebut yang sesuai untuk memecah kemacetan yang sering terjadi di ruas jalan Ibukota serta konsumsi bahan bakar yang relatif sedikit. Penelitian serupa untuk volume lalu lintas juga dilakukan oleh Broderick et al (2006) dan Karasitsion (2006) yang mengemukakan bahwa pola volume lalu lintas yang tinggi pada pagi hari dan berangsur-angsur rendah pada siang hari pada hari kerja merupakan ciri untuk wilayah perkotaan (urban) dengan tingkat mobilitas yang tinggi. Selain itu wilayah
penyangga perkotaan (suburban) hampir memiliki pola volume lalu lintas dengan wilayah urban. 4.2 Total Beban Emisi Sumber Garis Data volume lalu lintas diperlukan untuk menghitung beban emisi polutan dari sumber transportasi. Pada penelitian ini data volume lalu lintas didasarkan pada volume lalu lintas setiap jam pengamatan, komposisi jenis kendaraan, dan faktor emisi untuk tiap tipe kendaraan. Hasil perhitungan beban emisi CO dan NOx disajikan pada Lampiran 5. 4.2.1 Emisi CO Sumber CO dominan dari emisi kendaraan bermotor berasal dari mobil penumpang berbahan bakar bensin, truk, bus, dan motor. Hal ini didasarkan pada tingginya faktor emisi yang dimiliki oleh kendaraan bermotor tersebut. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KLH RI (2007), mobil penumpang berbahan bakar bensin memiliki faktor emisi CO sebesar 20 gr/km; truk sebesar 11 gr/km; bus sebesar 8.4 gr/km; dan motor sebesar 14 gr/km. Hasil perhitungan menunjukkan, nilai total beban emisi CO pada pengamatan pukul 06:00-14:00 di ruas Jl. M.H. Thamrin sebesar 376.86 mg/m.s untuk hari kerja dan sebesar 216.11 mg/m.s untuk hari libur. Hal ini terkait dengan lokasi pengamatan yang merupakan wilayah perkantoran dengan aktivitas tinggi pada saat hari kerja dan di dominasi oleh volume kendaraan berbahan bakar bensin sebagai penyumbang utama emisi CO, yaitu mencapai 59,592 kendaraan pada hari kerja dan 26,058 kendaraan pada hari libur.
26
60
10000
50
8000
40
6000
30
4000
20
2000
10
0
Emisi CO (mg/m.s)
Jumlah Kendaraan
12000
0
Pukul Kendaraan Hari Kerja Emisi Hari kerja
Kendaraan Hari Libur Emisi Hari Libur
Gambar 13. Perbandingan jumlah kendaraan terhadap emisi CO di ruas Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur Grafik pada Gambar 13 menunjukkan beban emisi CO dan volume kendaraan di ruas Jl. M.H. Thamrin. Hasil perhitungan beban emisi CO baik pada hari kerja maupun hari libur di lokasi ini secara umum memiliki pola yang serupa dengan volume total kendaraan yang melintas pada waktu dan lokasi yang sama. Pada hari kerja, beban emisi maksimum CO terjadi pada pukul 08:00-09:00 sebesar 53.65 mg/m.s dengan volume lalu lintas puncak yang melintas pada pukul tersebut mencapai 10,140 kendaraan. Keadaan yang berbeda dihasilkan dari skenario hari libur, dimana volume lalu lintas puncak yang terjadi pada pukul 13:00-14:00 sebesar 5,712 kendaraan memiliki beban emisi maksimum CO yang baru terbentuk pada pukul 14:00-15:00 sebesar 36.97 mg/m.s. Hal ini disebabkan volume kendaraan jenis mobil penumpang berbahan bakar bensin dan truk yang mengemisikan CO lebih tinggi banyak melintas pada pukul 14:00-15:00 dibandingkan pada pukul 13:00-14:00 (Lampiran 2). Perhitungan beban emisi pada wilayah kajian serupa juga dilakukan oleh Satria (2006) yang menemukan beban emisi CO maksimum hari kerja sebesar 59.24 mg/m.s pada pukul 10:00-11:00. Sedangkan beban emisi CO maksimum hari libur sebesar 38.70 mg/m.s terjadi pada pukul 12:00-
13:00. Secara keseluruhan bila nilai beban emisi tersebut dibandingkan dengan hasil beban emisi kali ini, nilai beban emisi di ruas Jl. M.H. Thamrin mengalami sedikit penurunan dalam kurun waktu 2 tahun. 4.2.2 Emisi NOx Sumber NOx dominan dari emisi kendaraan bermotor berasal dari truk dan bus. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KLH RI (2007), bus memiliki faktor emisi NOx paling besar yaitu 17.7 g/km disusul oleh truk sebesar 11.9 g/km, mobil penumpang berbahan bakar solar sebesar 3.5 g/km dan bensin sebesar 2 g/km. Nilai beban emisi NOx hasil perhitungan di ruas Jl. M.H. Thamrin pada pukul 06:00-14:00 berkisar antara 1.44 – 3.87 mg/m.s dengan total beban emisi NOx yang berbeda pada hari kerja dan hari libur. Pada hari kerja total beban emisi NOx sebesar 26.45 mg/m.s dan pada hari libur sebesar 21.77 mg/m.s. Total beban emisi NOx pada hari kerja lebih tinggi dibandingkan hari libur, terkait jumlah jenis kendaraan mobil penumpang berbahan bakar bensin dan solar yang memiliki faktor emisi NOx tinggi lebih dominan melintas di ruas Jl. M.H Thamrin. Total jenis kendaraan mobil penumpang berbahan bakar bensin dan solar sebagai penyumbang utama beban emisi NOx pada hari kerja mencapai 27,246
27
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Jumlah Kendaraan
10000 8000 6000 4000 2000 0
Emisi NOx (mg/m.s)
12000
Pukul Kendaraan Hari Kerja Emisi Hari kerja Gambar 14.
Kendaraan Hari Libur Emisi Hari Libur
Perbandingan jumlah kendaraan terhadap emisi NOx di ruas Jl. M.H. Thamrin pada hari kerja dan hari libur
kendaraan dan pada hari libur mencapai 22,314 kendaraan. Seperti diketahui bahwa beban emisi pencemar memiliki pola yang serupa dengan pola volume lalu lintas, namun waktu terjadinya beban emisi maksimum tidak selalu terkait dengan volume puncak kendaraan yang melintas, seperti yang disajikan dari grafik pada Gambar 14, baik hari kerja maupun hari libur. Terlihat dari Gambar 14, volume kendaraan yang melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin mencapai puncak pada pukul 08:00-09:00 saat hari kerja. Namun kejadian beban emisi maksimum NOx justru terjadi pada waktu yang berlainan, yaitu pukul 14:00-15:00 sebesar 3.87 mg/m.s. Hal ini disebabkan volume kendaraan mobil penumpang berbahan bakar bensin dan solar lebih banyak melintas di Jl. M.H. Thamrin pada pukul 14:00-15:00 dibandingkan pukul 08:00-09:00 dengan nilai faktor emisi masing-masing kendaraan sebesar 40 gr/km dan 2.8 gr/km. Walaupun pada kenyataannya diketahui bahwa jumlah kendaraan motor yang melintas pukul 08:0009:00 lebih besar dari pukul 14:00-15:00, namun memiliki faktor emisi NOx lebih rendah (0.29 gr/km). Selain itu faktor emisi NOx yang besar untuk truk (11.9 gr/km) dan
bus (17.7 gr/km) tidak banyak membantu untuk mencapai kondisi beban emisi NOx maksimum pukul 08:00-09:00, karena selisih volume kendaraan truk/bus yang hanya memiliki selisih 3-4 kendaraan (Lampiran 2). Hal inilah yang menyebabkan waktu terjadinya beban emisi maksimum pencemar tidak selalu terkait terhadap volume puncak lalu lintas pada kurun waktu tertentu. Kejadian serupa juga terjadi pada hari libur, dimana volume puncak kendaraan yang seharusnya terjadi pukul 13:00-14:00 mempunyai kejadian beban emisi maksimum NOx pada pukul 14:00-15:00. Hal ini terkait volume kendaraan jenis mobil penumpang berbahan bakar bensin dan truk yang memiliki emisi NOx tinggi banyak melintas pada pukul 14:00-15:00 dibandingkan pada pukul 13:00-14:00 (Lampiran 2) 4.3 Kondisi Meteorologi Wilayah Kajian Parameter meteorologi menentukan konsentrasi polutan yang akan diterima oleh suatu wilayah pada jarak tertentu dari titik emisi pembuangan berasal. Sebaliknya dari suatu wilayah tertentu (tercemar) dapat diperkirakan juga asal pencemar yang datang ke wilayah tersebut.
28
4.3.1 Stabilitas Atmosfer Radiasi matahari dan kecepatan angin menjadi acuan dalam menentukan kelas kestabilan atmosfer yang didasarkan pada kelas kestabilan atmosfer Pasquill. Berdasarkan Tabel 8, stabilitas atmosfer pagi hari pukul 06:00-09:00 di Jl. M.H. Thamrin secara umum di dominasi oleh kelas stabilitas B. Hal ini disebabkan oleh pemanasan radiasi surya pada pagi hari ratarata sebesar 108.98 W/m2 dengan kecepatan angin rata-rata sebesar 0.92 m/s. Hal ini didukung oleh pernyataan Pasquill (1974) yang menyatakan stabilitas B direpresentasikan sebagai kecepatan angin dibawah 2 m/s dengan nilai radiasi surya dibawah 350 W/m2. Pada kondisi ini, massa udara cenderung bergerak turun karena suhu massa udara yang lebih rendah dibandingkan suhu atmosfer. Akibatnya kadar polutan per satuan volume udara akan menjadi besar yang berakibat penambahan kadar polutan. Tabel 8. HK 24 Des. 2007
21 Jan 2008
18 Feb. 2008
24 Mar. 2008
21 Apr 2008
Kelas kestabilan atmosfer Pasquill pada hari kerja di Jl. M.H. Thamrin
Periode 06:00-06:30 06:30-07:00 07:00-07:30 07:30-08:00 08:00-08:30 08:30-09:00 09:00-09:30 09:30-10:00 06:00-06:30 06:30-07:00 07:00-07:30 07:30-08:00 08:00-08:30 08:30-09:00 09:00-09:30 09:30-10:00 06:00-06:30 06:30-07:00 07:00-07:30 07:30-08:00 08:00-08:30 08:30-09:00 09:00-09:30 09:30-10:00 06:00-06:30 06:30-07:00 07:00-07:30 07:30-08:00 08:00-08:30 08:30-09:00 09:00-09:30 09:30-10:00 06:00-06:30 06:30-07:00 07:00-07:30 07:30-08:00 08:00-08:30 08:30-09:00 09:00-09:30 09:30-10:00
Kelas B B C C C C B B B B B B B B A A B B B B B B A B B B B B B A A A B B B B B B B B
Sumber: Hasil Perhitungan
Periode 10:00-10:30 10:30-11:00 11:00:11:30 11:30-12:00 12:00-12:30 12:30-13:00 13:00-13:30 13:30-14:00 10:00-10:30 10:30-11:00 11:00:11:30 11:30-12:00 12:00-12:30 12:30-13:00 13:00-13:30 13:30-14:00 10:00-10:30 10:30-11:00 11:00:11:30 11:30-12:00 12:00-12:30 12:30-13:00 13:00-13:30 13:30-14:00 10:00-10:30 10:30-11:00 11:00:11:30 11:30-12:00 12:00-12:30 12:30-13:00 13:00-13:30 13:30-14:00 10:00-10:30 10:30-11:00 11:00:11:30 11:30-12:00 12:00-12:30 12:30-13:00 13:00-13:30 13:30-14:00
Kelas C C B B C B B C A A B A A B B B A A A B A C C C A A A A B B B B B A A B B B C B
Selanjutnya pada pukul 09:00-12:00, stabilitas di Jl. M.H. Thamrin tidak didominasi oleh satu kelas kestabilan atmosfer saja, melainkan bervariasi mulai dari kondisi stabilitas A hingga stabilitas C. Pada periode ini, intensitas radiasi surya berkisar 128.28 – 662 W/m2 dan kecepatan angin yang berkisar 0.26 – 2.55 m/s. Hal ini berhubungan dengan profil temperatur atmosfer yang mulai meningkat akibat permukaan tanah dan udara diatasnya mulai memanas seiring dengan meningkatnya radiasi surya (Lampiran 4). Perubahan tersebut terjadi beberapa jam dalam pagi hari dan menghilangkan lapisan inversi yang telah terbentuk sebelumnya. Perubahan stabilitas atmosfer dari stabil pada pagi hari menjadi stabil lemah atau tidak stabil pada siang hari mempengaruhi konsentrasi polutan secara signifikan. Begitu pula pada pukul 12:00-14:00, tingkatan stabilitas atmosfer mulai bervariasi pada kondisi tidak stabil. Pada periode ini, intensitas radiasi matahari berkisar pada nilai 169.77 – 733.66 W/m2 dan kecepatan angin yang berkisar sebesar 1.27 – 3.61 m/s. Terlihat kisaran nilai tersebut lebih tingi dibandingkan waktu sebelumnya. Hal ini mengindikasikan pada pukul 12:00-14:00 massa udara dekat permukaan cenderung bergerak naik akibat pemanasan permukaan di siang hari. Sehingga kadar polutan per satuan volume udara yang terakumulasi dekat permukaan menjadi lebih kecil karena telah terbawa terdispersi ke atmosfer bersama massa udara yang bergerak naik tersebut. Akibatnya terjadi penurunan konsentrasi polutan. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa keseluruhan stabilitas atmosfer masih masuk dalam kategori tidak stabil, yang membedakan hanyalah tingkatan kestabilan tersebut, yaitu sangat tidak stabil, tidak stabil sedang, dan sedikit tidak stabil. Tidak adanya kategori stabil dan netral pada kajian ini dapat dipahami dengan merujuk kembali kepada waktu pengamatan yang hanya dilaksanakan selama 8 jam (06:00-14:00) dan penggunaan kriteria kelas kestabilan atmosfer Pasquill. Secara keseluruhan, stabilitas atmosfer pada skenario Hari kerja bulan Desember sampai April tahun pengamatan didominasi oleh kelas kestabilan B dengan persentase sebesar 60 % disusul dengan kelas kestabilan A yang mencapai persentase sebesar 25 % dan sisanya oleh kestabilan
29
Stabilitas C 15%
Stabilitas B 60%
Staabilitas A 25%
Gambbar 15. Perseentase stabilitaas atmofer Jl. M.H. Thamrinn waktu pengamatan, pukul 06:00-14:00 Gambaar 15 s 15 %. kelas C sebesar menunjukkaan persentase stabilitas atm mosfer wilayah kajiian. Mengaacu pada pengertian yang diberikan oleh Seinfeld dan Pandis (2006) ( mosfer tidakk stabil diccirikan kondisi atm sebagai aruus vertikal kuat baik untuk gerakan massa m udara naik dan turun sehingga percam mpuran menghasilkaan polutan yanng cepat. Sedangkan atm mosfer stabil dicirikkan sebagai arus a vertikal massa udara yangg naik atauu turun sehhingga menghasilkaan percampuuran polutan lebih lemah dibanndingkan konndisi atmosferr tidak stabil. Lebih lanjut ditambahkan bahwa b mosfer stabil juga terjadi pada kondisi atm malam hari dengan konddisi langit ceraah dan kecepatan anngin rendah. busi Angin 4.3.2 Distrib Anginn merupakan besaran b vektorr yang dinyatakan dalam distribbusi frekuenssi arah W diguunakan dan kecepaatannya. Windrose sebagai alatt bantu dalam m menentukann arah dan keceppatan anginn dominan serta persentasenyya dalam saatu periode waktu. w Data masukkan berupa arah a dan keceepatan angin pada hari kerja per p satu jam mulai pukul 06:000 hingga pukull 14:00. Melaluui profil Windrose selama s pelaksanaann skenario harrian wilayah kajian, k didapatkan arah angin doominan memppunyai pola yang cukup c baik yaaitu mengarahh pada satu nilai dominan seehingga mem mbantu mprediksi peenyebaran polutan p dalam mem akibat emisii kendaraan bermotor b (Lam mpiran 6). T 9 Persenntase yang disaajikan pada Tabel menunjukkaan bahwa arah angin doominan sebagian besar berasal daari arah barat (2700)
hingga Tim mur Laut ((450), yaitu angin berhembus dari arah pantai utara Jakarta J n laut). menuju wilayah selatan JJakarta (angin a dominaan yang berh hembus Bila arah angin melewati Jl. J M.H. Thaamrin, maka tidak seluruh araah angin terrsebut tegak lurus terhadap Jll. M.H. Tham mrin. Hanyaa arah angin dari barat b (2700) saaja yang tegak k lurus terhadap jallan. Sisanya m memiliki nilaii sudut antara 450–900 terhadaap ruas Jl. M.H. Thamrin. Perbedaan P varriasi nilai sud dut ini menjadi peenting dalam pemodelan FLLS dan memerrlukan perhituungan lebih lanjut, mengingat pengukuran aarah angin do ominan harus tegak lurus segmenn jalan. Melihaat dominasi arah angin yang berhembus antara sudutt 2700 hingg ga 450, mengindikaasikan bahwaa pada pengaamatan pukul 06:000-14:00, gejaala angin lautt lebih dominan berhembus b ddi ruas Jl. M.H. Thamrin. Pergerakan P anngin laut ini terjadi akibat perbbedaan kapaasitas panas antara lautan deengan darattan. Seh hingga menimbulkaan perbedaan tekanan udara yang mengakibattkan angin berrhembus dari lautan ke daratan. m Tabel Persenntase yang dissajikan dalam 10 menunjuukkan kecepaatan angin do ominan yang bertiupp di Jl. M.H. Thamrin umu umnya berada dibaawah 2 m/s. Sedangkan kisaran k kecepatan angin a di Jl. M M.H. Thamrin berada pada nilai 0 – 3.61 m/ss. Nilai keccepatan angin yang diperoleh berrvariasi antar waktu pengamatann mengingaat waktu kajian meliputi 5 bulan pengaamatan (Deseemberh barat April), yaittu bertiup angin dari arah (dari Samudera Hindia) yang lebih banyak b u air. Uap air yang terccampur membawa uap massa udaara ini sellanjutnya menjadi m perbedaan energi e pada wilayah yang dilalui.
30
Tabel 9. Tanggal
Arah angin dominan simulasi windrose
Wilayah kajian MH. 24 Des. 2007 Thamrin MH. 21 Jan. 2008 Thamrin MH. 18 Feb.2008 Thamrin MH. 24 Mar.2008 Thamrin MH. 21 Apr.2008 Thamrin Sumber: Hasil Perhitungan
hasil
Arah angin Dominan 270
Persent ase (%) 58.82
22.5
52.94
270
29.41
270
29.41
45
35.29
Berdasarkan pemantauan, kecepatan angin yang berhembus pada tanggal pengamatan berfluktuasi antar waktu harian. Fluktuasi kecepatan angin di ruas Jl. M.H. Thamrin rendah pada pukul 06:00-10:00 dengan kisaran 0.08-2.27 m/s dan selanjutnya meningkat pada siang hari pukul 13:00-14:00 dengan kisaran 1.97-3.34 m/s (Lampiran 4). Kecepatan angin yang rendah pada pagi hari tersebut cenderung mengawetkan dan memperlambat pendispersian konsentrasi polutan dari kendaraan bermotor yang melintas untuk kemudian didispersikan mencapai konsentrasi rendah menjelang siang hari. Hal ini didasarkan pada penelitian Sharan et al (1995) yang menyebutkan angin dengan kecepatan rendah memiliki proses difusi antar molekul polutan lebih besar dibandingkan proses adveksi yang lebih cenderung dibangkitkan oleh angin dengan kecepatan tinggi. Selain angin laut, angin yang berhembus juga dipengaruhi oleh adanya bangunan – bangunan tinggi di sekitar wilayah kajian. Sehingga perubahan arah dan kecepatan angin mungkin saja terjadi, mengingat ruas Jl. M.H. Thamrin sebagai wilayah kajian memiliki banyak bangunan bertingkat tinggi yang dapat mengakibatkan kondisi street canyon. 4.4 Kualitas Udara Roadside Jl. M.H. Thamrin Berdasarkan hasil pengukuran kualitas udara rodside milik BPLHD yang berlokasi
Tabel 10. Tanggal
Kecepatan angin dominan hasil simulasi windrose
Wilayah Studi MH. 24 Des. 2007 Thamrin MH. 21 Jan. 2008 Thamrin MH. 18 Feb.2008 Thamrin MH. 24 Mar.2008 Thamrin MH. 21 Apr.2008 Thamrin Sumber: Hasil Perhitungan
Kec. Angin Dominan (m/s) 1–2
Persent ase (%) 52.94
0–1
47.06
1–2
52.94
0–1
64.70
0–1
52.94
di depan gedung ESDM, terlihat nilai ratarata harian kualitas udara ambien ruas Jl. M.H. Thamrin masih memenuhi baku mutu udara ambien. Berdasarkan SK. Gubernur DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001, baku mutu udara ambien untuk polutan CO dan NOx pada paparan selama 1 jam masingmasing sebesar 26 mg/m3 dan 400 µg/m3 (Lampiran 7). Pola kualitas udara ambien untuk pencemar CO dan NOx di ruas Jl. M.H. Thamrin tersaji pada Gambar 16. Analisa pola harian untuk parameter CO dan NOx memiliki pola yang sama, yaitu rendah pada pagi hari kemudian berangsurangsur meningkat dan menurun menjelang siang hari. Hal ini mirip dengan pola lalu lintas pada hari kerja. Selain itu karena konsentrasi polutan yang diemisikan pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor yang melintas langsung diemisikan ke atmosfer, maka proses penyebaran polutan lebih banyak dilakukan oleh faktor meteorologi. Secara keseluruhan, kecepatan angin rata-rata pada tanggal pengamatan bernilai rendah dan hampir konstan sepanjang waktu pengamatan, yaitu 1.40 m/s. Namun karena kondisi stabilitas atmosfer di Jl. M.H. Thamrin memiliki nilai stabilitas atmosfer yang bervariasi sepanjang waktu maka massa udara yang tercampur dengan polutan CO tertahan sementara waktu pada pagi hari dan didispersikan sehingga mencapai nilai konsentrasi rendah menjelang siang hari.
31
a
Gambar 16.
b
Konsentrasi CO (a) dan NOx (b) roadside rata-rata 30 menitan waktu pengamatan (garis vertikal menunjukkan 1 kali standar deviasi)
Berdasarkan Gambar 16a, konsentrasi CO tanggal pengamatan memiliki nilai konsentrasi CO tinggi pada pagi hari dan menurun pada siang hari. Konsentrasi CO maksimum pada skenario hari kerja tersebut terjadi pada pagi hari pukul 08:00-09:00 sebesar 2.57 mg/m3 dan minimum pada pukul 12:00-13:00 sebesar 0.15 mg/m3. Pada skenario hari kerja (Gambar 16b), konsentrasi polutan NOx rata-rata waktu pengamatan memiliki dua nilai maksimum, yaitu mulai meningkat pada pukul 06:00 untuk mencapai konsentrasi maksimum pada pukul 07:00-08:00 sebesar 40.53 µg/m3, kemudian menurun hingga pukul 10:00 untuk selanjutnya meningkat hingga mencapai puncak kedua pada pukul 10:0011:00 sebesar 29.29 µg/m3. Pola konsentrasi NOx pada Gambar 16b sedikit berbeda dengan CO untuk setiap waktu pengamatan yang sama. Terlihat pola yang terbentuk memiliki dua titik puncak konsentrasi, yang jatuh pada pagi dan siang hari. Secara umum, terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap pola nilai NOx secara diurnal harian dan bulanan pada kajian ini. Madani dan Danish (1993) menjelaskan fakor – faktor tersebut adalah volume lalu lintas, kemacetan lalu lintas, kondisi meteorologi seperti temperatur, RH, lamanya penyinaran radiasi matahari, dan kemungkinan campuran sumber emisi lainnya. Bila diamati secara seksama (Gambar 16b), puncak konsentrasi pertama pada pagi hari terbentuk lebih disebabkan faktor – faktor meteorologi yang sama dalam menjelaskan pola konsentrasi CO pada pagi
hari. Sedangkan puncak konsentrasi kedua terjadi akibat kepadatan transportasi Jl. M.H. Thamrin. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa aktivitas mobilisasi masyarakat yang melalui ruas jalan tersebut pada siang hari cukup tinggi karena seperti pada analisis sebelumnya dengan hanya menyerahkan pada faktor – faktor meteorologi bekerja untuk memperkecil nilai konsentrasi polutan NOx pada siang hari justru didapatkan nilai konsentrasi polutan NOx yang tinggi pada waktu tersebut. 4.5 Analisa Hasil Pemodelan FLLS Hasil pemodelan FLLS yang dilakukan antara pukul 06:00-14:00 menunjukkan konsentrasi tinggi cenderung tinggi pada pagi hari dan berangsur-angsur rendah menjelang siang harinya. Pada pagi hari, konsentrasi tingi rata-rata terjadi pada pukul 08:00-09:00. Tingginya konsentrasi pada pagi hari disebabkan keadaan udara yang lebih stabil dibandingkan siang hari yang didominasi oleh kondisi tidak stabil dan cenderung berubah-ubah. Pada kondisi atmosfer stabil yang terjadi pada pagi hari, udara cenderung akan bergerak ke bawah sehingga kadar polutan per satuan volume menjadi besar atau memperlambat proses dispersi polutan yang berakibat penambahan kadar polutan. Selain itu kepadatan lalu lintas juga mempengaruhi konsentrasi polutan. Dari pengamatan volume lalu lintas seperti hari kerja, tingginya jumlah kendaraan yang melintas di pagi hari menyebabkan konsentrasi polutan yang dihasilkan dalam pemodelan bernilai tinggi.
32
4.5.1
Konsentrasi Karbonmonoksida (CO) Sumber emisi CO di ruas Jl. MH. Thamrin dominan dihasilkan dari jenis kendaraan mobil penumpang berbahan bakar bensin dan truk. Emisi CO yang tinggi dari kendaraan jenis ini akan mempengaruhi tingkat konsentrasi CO yang terbentuk di atmosfer. Nilai konsentrasi CO dari waktu pengamatan berkisar antara 0.12 – 2.95 mg/m3 dengan konsentrasi rata-rata tertinggi pada tanggal 24 Maret 2008 sebesar 1.32 mg/m3 (Lampiran 8). Secara keseluruhan, pola konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS tanggal 24 Desember 2007 mengalami konsentrasi yang relatif konstan sepanjang waktu pengamatan (Gambar 17a). Hal ini disebabkan parameter meteorologi, yaitu kecepatan angin sebagai salah satu input pemodelan FLLS berpola konstan sepanjang waktu pengamatan (1.57-2.27 m/s) dengan nilai rata – rata 1.94 m/s serta dominasi stabilitas atmosfer kelas C pada pagi hari dan B untuk siang harinya. Akan tetapi volume lalu lintas yang melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin turut mengalami peningkatan hingga siang hari. Sehingga konsentrasi CO yang dihasilkan relatif konstan sepanjang pengamatan. Pola harian yang dihasilkan dari pemodelan untuk pencemar CO memiliki rata-rata konsentrasi sebesar 0.26 mg/m3 dengan nilai konsentrasi maksimum terjadi pukul 08:00-09:00 sebesar 0.34 mg/m3. Hasil pemodelan FLLS tanggal 21 Januari 2008 menunjukkan nilai rata-rata konsentrasi CO sebesar 0.76 mg/m3. Pada pemodelan konsentrasi CO bulan tersebut didapatkan konsentrasi maksimum terjadi pada pukul 08:00-09:00 dengan nilai sebesar Hal ini 1.11 mg/m3 (Gambar 17b). disebabkan, kecepatan angin yang mengalami peningkatan sepanjang waktu pengamatan, yaitu sebesar 0.58 m/s pada pukul 06:00-07:00 hingga 0.90 m/s pada pukul 13:00-14:00 serta kelas kestabilan pada pagi hari seluruhnya berada pada kelas B. Akibatnya konsentrasi polutan CO akan berada dalam waktu yang lebih lama di atmosfer pada pagi hari untuk selanjutnya didispersikan mencapai konsentrasi rendah pada siang hari. Konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS tanggal 18 Februari 2008 menunjukkan pola yang relatif seragam sepanjang waktu pengamatan (Gambar 17c). Dari pola tersebut didapatkan nilai rata-rata
konsentrasi CO hasil pemodelan sebesar 0.43 mg/m3 dengan konsentrasi maksimum terjadi pukul 08:00-09:00 sebesar 0.60 mg/m3. Hal ini disebabkan kecepatan angin berhembus relatif tinggi pada pagi hari dan kelas kestabilan pada pagi hari seluruhnya berada pada kelas B serta didominasi kelas A pada siang harinya. Sehingga konsentrasi polutan CO bernilai tinggi pada pagi hari kemudian berangsur – angsur rendah menjelang siang hari. Namun seperti diketahui, beban emisi yang terbentuk akibat peningkatan volume kendaraan hingga menjelang siang hari menjadi tinggi mengakibatkan pola konsentrasi CO yang terbentuk relatif konstan sepanjang pengamatan. Selanjutnya, konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS tanggal 24 Maret 2008 bernilai tinggi pada pagi hari dan menurun menjelang siang hari (Gambar 17d). Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, konsentrasi maksimum CO hasil pemodelan terjadi pukul 06:00-07:00 sebesar 3.19 mg/m3 dengan nilai rata-rata sebesar 1.32 mg/m3. Hal ini disebabkan kecepatan angin yang berhembus relatif rendah antara pukul 06:00-07:00 sebesar 0.08 m/s dan berangsurangsur meningkat secara cepat hingga pukul 13:00-14:00 sebesar 2.38 m/s dengan kelas kestabilan pada pagi hari seluruhnya berada pada kelas B serta didominasi kelas A menjelang siang hari. Sehingga konsentrasi polutan CO bernilai tinggi pada pagi hari kemudian berangsur – angsur rendah menjelang siang hari. Konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS tanggal 21 April 2008 menunjukkan pola tinggi pada pagi hari kemudian menurun untuk siang hari (Gambar 17e). Tercatat konsentrasi maksimum CO hasil pemodelan terjadi pukul 06:00-07:00 sebesar 2.57 mg/m3 dengan nilai rata-rata sebesar 1.31 mg/m3. Hal ini dikarenakan kecepatan angin yang rendah pada pukul 06:00-07:00 sebesar 0.11 m/s dan meningkat secara cepat hingga pukul 13:00-14:00 sebesar 2.71 m/s. Kecepatan angin rata-rata yang terjadi pada bulan ini sepanjang waktu pengamatan sebesar 1.28 m/s dengan kondisi kelas kestabilan sepanjang pagi hari didominasi tidak stabil sedang dan sangat tidak kuat pada siang hari. Akibatnya pola nilai konsentrasi polutan CO yang terbentuk tinggi pada pagi hari hingga pukul 10:00 dan selanjutnya perlahan-lahan mulai menurun menjelang siang hari.
33
Konsentrasi CO yang diperoleh dari hasil pemantauan maupun pemodelan FLLS Selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu CO untuk pengukuran 1 jam dan 24 jam dengan nilai masing-masing 26 mg/m3 dan 9 mg/m3 (Lampiran 7). Didapatkan nilai konsentrasi CO seluruhnya masih berada dibawah nilai baku mutu tersebut. Hal ini mengindikasikan kendaraan bermotor yang
melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin masih dapat ditolerir dalam mengemisikan polutan CO ke udara ambien, khusus untuk waktu pengamatan pukul 06:00-14:00. Namun rendahnya konsentrasi polutan CO yang terukur tidak menjamin rendahnya konsentrasi polutan lainnya, karena emisi polutan gas buang kendaraan bermotor yang berbeda untuk polutan lainnya.
a
b
c
d
e
Gambar 17.
Konsentrasi CO hasil pemodelan FLLS dan perbandingannya terhadap baku mutu udara ambien
34
4.5.2
Konsentrasi Nitrogen Oksida (NOx) Sumber emisi NOx di ruas Jl. MH. Thamrin dominan dihasilkan dari jenis kendaraan mobil penumpang berbahan bakar bensin dan solar. Dominasi emisi NOx dari kendaraan jenis ini akan mempengaruhi tingkat konsentrasi NOx yang terbentuk di atmosfer. Nilai konsentrasi NOx pada waktu pengamatan berkisar antara 16.37 – 389.14 µg/m3 dengan konsentrasi rata-rata tertinggi pada tanggal 24 Maret 2008 sebesar 93 µg/m3 (Lampiran 8). Hasil pemodelan FLLS tanggal 24 Desember 2007 menunjukkan konsentrasi NOx maksimum terbentuk pada pukul 10:0011:00 sebesar 23.90 µg/m3 dengan nilai ratarata sebesar 17.99 µg/m3. Hasil pemodelan konsentrasi NOx bulan Desember 2007 disajikan pada Gambar (18a). Berdasarkan Gambar (18a) terlihat pada nilai baku mutu ambien NOx untuk 24 jam (92.5 µg/m3), konsentrasi NOx hasil pemodelan masih berada di bawah baku mutu. Hal ini mengindikasikan konsentrasi NOx bulan Desember 2007 masih berada dalam kategori aman di ruas Jl. M.H. Thamrin. Kondisi yang berlainan ditunjukkan dari hasil pemodelan tanggal 21 Januari 2008 (Gambar 18b). Dimana konsentrasi NOx tinggi terukur sebanyak dua kali, yaitu pada pukul 08:00-09:00 sebesar 75.56 µg/m3 dan pukul 10:00-11:00 sebesar 69.92 µg/m3 dengan nilai rata-rata konsentrasi NOx hasil pemodelan sebesar 52.99 µg/m3. Selanjutnya konsentrasi CO tanggal 21 Januari 2008 yang telah diperoleh dibandingkan dengan baku mutu ambien Melalui Gambar (18b), terlihat NOx. beberapa waktu hasil pemodelan, konsentrasi NOx telah melewati baku mutu NOx 1 tahun (60 µg/m3). Waktu simulasi yang melewati ambang batas tersebut berkisar antara pukul 07:00-11:00 dengan nilai konsentrasi yang berkisar antara 60.12 Hal ini µg/m3 hingga 69.92 µg/m3. mengindikasikan bahwa hasil pemodelan konsentrasi NOx bulan Januari 2008 telah termasuk dalam keadaan berbahaya untuk waktu paparan yang lama. Kondisi yang serupa dari hasil pemodelan tanggal 21 Januari 2008 juga ditunjukkan pada tanggal 18 Februari 2008 (Gambar 18c). Dimana terdapat dua nilai konsentrasi tinggi, yaitu pada pukul 08:0009:00 sebesar 40.76 µg/m3 dan pada pukul
10:00-11:00 sebesar 46.52 µg/m3. Didapatkan rata-rata konsentrasi NOx hasil pemodelan 29.55 µg/m3. Perbandingan konsentrasi NOx tanggal 18 Februari 2008 dari Gambar (18c) menunjukkan hasil pemodelan masih di bawah baku mutu ambien NOx untuk pengukuran 1 tahun (60 µg/m3). Hal ini menunjukkan konsentrasi NOx bulan Januari 2008 di ruas Jl. MH. Thamrin masih dalam kondisi aman untuk jangka waktu lama. Selanjutnya pada hasil pemodelan FLLS tanggal 24 Maret 2008, konsentrasi NOx bernilai tinggi pada pagi hari dan turun menjelang siang hari (Gambar 18d). Dimana konsentrasi maksimum terjadi pukul 06:00-07:00 sebesar 235.31 µg/m3 dengan nilai rata-rata sebesar 93 µg/m3. Bila dibandingkan dengan baku mutu ambien NOx untuk pengukuran 24 jam (92.5 µg/m3) dan 1 tahun (60 µg/m3), konsentrasi NOx hasil pemodelan tanggal 24 Maret 2008 telah menunjukkan konsentrasi yang melebihi ambang batas baku mutu udara ambien. Konsentrasi tinggi terjadi antara pukul 06:00-12:00 dengan nilai rata-rata mencapai 131.76 µg/m3 (Gambar 18d). Hal ini mengindikasikan konsentrasi NOx untuk pengukuran 24 jam dan 1 tahun berada dalam kategori berbahaya, sedangkan pengukuran 1 jam masih dibawah ambang batas baku mutu udara ambien (400 µg/m3), walaupun bernilai tinggi pada pagi hari (06:00-07:00), yaitu sebesar 235.31 µg/m3. Konsentrasi NOx yang didapatkan melalui hasil pemodelan 21 April 2008 (Gambar 18e) menunjukkan nilai konsentrasi tinggi pada pukul 06:00-07:00 sebesar 188.90 µg/m3 dan pukul 08:00-09:00 sebesar 159.72 µg/m3. Tercatat rata-rata konsentrasi NOx hasil pemodelan sebesar 92.28 µg/m3. Sedangkan konsentrasi NOx hasil pemodelan hampir pada awal waktu simulasi (06:00-10:00) menunjukkan di atas ambang baku mutu pengukuran 1 tahun dan 24 jam dengan nilai rata-rata konsentrasi sebesar 153.46 µg/m3. Hal ini mengindikasikan konsentrasi NOx sudah berada dalam kategori berbahaya untuk waktu paparan lebih dari satu hari. Selanjutnya dari hasil observasi maupun pemodelan pada waktu pengamatan, bila dibandingkan dengan baku mutu NOx untuk pengukuran 24 jam dan 1 tahun dengan nilai baku mutu masing-masing sebesar 92.5 µg/m3 dan 60 µg/m3, nilai
35
konsentrasi NOx pada beberapa waktu pengukuran dan simulasi telah melewati batas nilai baku mutu tersebut. Sedangkan untuk pengukuran selama 1 jam (400 µg/m3) secara keseluruhan masih
dibawah batas baku mutu tersebut, kecuali pemodelan tanggal 24 Maret 2008. Dimana konsentrasi NOx tanggal tersebut hampir mendekati batas baku mutu dengan nilai 235.31 µg/m3 yang terjadi pukul 6:00-7:00.
a
b
c
d
e
Gambar 18.
Konsentrasi NOx hasil pemodelan FLLS dan perbandingannya terhadap baku mutu udara ambien
36
4.6 Perbandingan Hasil Pemodelan FLLS dengan Pemantauan Roadside Analisa Gambar 19a menunjukkan, sebanyak 55 % hasil pemodelan CO ≤ kali dari hasil pemantauan roadside. Sedangkan melalui faktor pembatas yang lebih tinggi, sebanyak 81.25 % hasil pemodelan CO ≤ kali dari hasil pemantauan roadside dan 85 % hasil pemodelan CO ≤ kali dari hasil pemantauan roadside. Berdasarkan analisa konsentrasi CO tersebut, diperoleh kecenderungan perbandingan berada dibawah perkiraan faktor pembatas (underestimates), yaitu konsentrasi CO yang dihasilkan dari pemodelan FLLS memiliki nilai lebih rendah dari hasil pemantauan roadside (antara faktor 2-4). Melalui penjelasan di atas, faktor pembatas 4 memiliki nilai akurasi tinggi dibanding faktor pembatas 3 dan faktor pembatas 3 memiliki nilai akurasi yang tinggi dibanding faktor pembatas 2. Namun nilai yang tinggi ini belum disertai dengan tingkat keakuratan yang tinggi pada faktor pembatas yang digunakan. Makin kecil faktor pembatas yang digunakan maka tingkat keakuratan pada perbandingan pemodelan dengan pemantauan semakin tinggi. Sehingga bila dibandingkan lebih lanjut, faktor pembatas 2 lebih baik dalam menentukan tingkat keakuratan model FLLS dibanding faktor pembatas 4. Rendahnya konsentrasi CO yang dihasilkan dalam pemodelan disebabkan karena pada perhitungan beban emisi tidak mempertimbangkan kecepatan kendaraan
(a)
yang melintas. Padahal konsentrasi polutan yang diemisikan dari kendaraan bermotor salah satu faktor utamanya juga dipengaruhi dari kecepatan kendaraan yang dicapai (Lampiran 9). Dinas Perhubungan DKI Jakarta telah mengukur kecepatan kendaraan dibeberapa ruas jalan Ibukota. Di ruas Jl. M.H. Thamrin pada pagi hari didapatkan kecepatan rata-rata kendaraan yang bergerak sebesar 45.50 km/jam dan mengalami penurunan hingga siang hari sebesar 29.31 km/jam. Kendaraan yang mengalami penurunan kecepatan mengemisikan CO lebih tinggi dibanding yang mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan pada kecepatan kendaraan yang rendah berhubungan dengan kandungan bahan bakar yang tersedia pada ruang pembakaran bernilai tinggi dibandingkan dengan kandungan oksigen yang diperlukan sebagai oksidator. Akibatnya pembakaran bahan bakar berlangsung dibawah normal. Pada kondisi pembakaran yang demikian, emisi CO yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan tinggi. Hal ini dapat dilihat pada grafik AFR komposisi emisi kendaraan bermotor Gambar 3. Selanjutnya, kecepatan kendaraan yang rendah tersebut mengakibatkan konsentrasi CO yang dikeluarkan akan lebih tinggi sebab diduga kecepatan kendaraan yang melewati jalur tersebut dibawah kecepatan optimum. Sehingga menyebabkan hasil pengukuran pemantauan lebih tinggi dibandingkan pemodelan FLLS.
(b)
Gambar 19. Plot Quantile-Quantile konsentrasi polutan CO (a) dan NOx (b) hasil pemodelan FLLS dengan hasil pemantauan roadside
37
Melalui hasil perbandingan diperoleh, nilai rata-rata konsentrasi CO hasil pemodelan sebesar 0.81 mg/m3 dan pemantauan roadside sebesar 1.83 mg/m3. Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi CO bulan Desember 2007 – April 2008 disajikan pada Lampiran (10). Hasil yang serupa untuk pemodelan sumber garis juga diperoleh Septiyanzar (2008), yang mendapatkan rata-rata konsentrasi CO dari hasil pemodelan TAPM untuk 10 ruas jalan di Jakarta lebih rendah dari hasil pemantauan, yaitu sebesar 0.68 mg/m3 untuk pemodelan dan 1.04 mg/m3 untuk pemantauan. Penelitian lainnya oleh Asmawi (1996) mendapatkan adanya perbedaan nyata emisi gas buang CO dengan kecepatan kendaraan, yaitu semakin rendah kecepatan kendaraan yang diperoleh maka emisi CO yang dikeluarkan semakin tinggi. Pada penelitian tersebut diperoleh, kecepatan kendaraan 20 km/jam menghasilkan emisi CO sebesar 9.7 kali lipat dari kecepatan 100 km/jam. Sedang pada kecepatan 80 km/jam menghasilkan emisi CO sebesar 1.5 kali lipat dari kecepatan 100 km/jam. Perbandingan konsentrasi NOx disajikan pada Gambar 19 (b). Didapatkan sebanyak 45 % hasil pemodelan NOx ≤ 2 kali dari hasil pemantauan roadside. Sedangkan melalui faktor pembatas yang lebih tinggi, sebanyak 57.5 % hasil pemodelan NOx ≤ 3 kali dari hasil pemantauan roadside dan 75 % hasil pemodelan NOx ≤ 4 kali dari hasil pemantauan roadside. Berdasarkan analisa tersebut, kecenderungan perbandingan konsentrasi NOx berada diatas perkiraan faktor pembatas (over-estimates), yaitu konsentrasi NOx yang dihasilkan dari pemodelan FLLS memiliki nilai lebih tinggi dari hasil pemantauan roadside (antara faktor 2-4). Hal ini disebabkan pada kecepatan rendah, kadar emisi NOx yang dihasilkan berbanding terbalik dengan CO, yaitu rendah dan berangsur-angsur meningkat secara bertahap sewaktu kendaraan dikemudikan pada kecepatan 40120 km/jam. Hal ini disebabkan kondisi tekanan tinggi dan temperatur tinggi akibat oksidasi udara-nitrogen di ruang pembakaran. Perbandingan konsentrasi NOx pemodelan dengan pemantauan juga dilakukan oleh Karppinen et al (2000b) yang membandingkan variasi rata-rata bulanan konsentrasi NOx hasil pengukuran dengan pemodelan UDM/CAR FMI pada empat
stasiun pemantauan tahun 1993 di wilayah metropolitan Helsinki. Pada perbandingan tersebut diperoleh hasil yang berbeda dengan penelitian kali ini. Didapatkan hasil pemodelan menunjukkan nilai lebih rendah (under prediction) dibandingkan pengukuran di empat stasiun kualitas udara, terutama stasiun Töölö (wilayah perkotaan) yang mencapai faktor 2-3. Beberapa alasan lainnya yang menyebabkan over prediction konsentasi NOx tersebut, yaitu letak stasiun pengamatan kualitas udara yang terletak dekat dengan persimpangan ruas lalu lintas sibuk, evaluasi untuk emisi lalu lintas dan dispersi atmosfer yang sulit dilakukan, lokasi pengamatan yang dikelilingi bangunan gedung tinggi, ketidakpastian dalam keakuratan dan pendahuluan dari data meteorologi yang digunakan dalam kondisi perkotaan, dan evaluasi mengenai konsentrasi background perkotaan dan wilayah. Selain itu variasi konsentrasi NOx juga dipengaruhi oleh parameter meterologi, kondisi dan tipe jalan, jenis aktivitas di sekitar jalan dan jumlah populasi penduduk suatu wilayah (Madany dan Danish, 1993; Qin dan Chan, 1993; Gotoh, 1993). Konsentrasi polutan NOx yang terukur di suatu wilayah dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kepadatan kendaraan pada suatu ruas jalan (Madany dan Danish, 1993). Bila dibandingkan dengan penelitian kali ini, kondisi hasil pemodelan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pemantauan juga diakibatkan karena letak stasiun pemantau kualitas udara roadside yang berdekatan dengan simpangan ruas jalan sibuk dekat bundaran air mancur Monas, yaitu Jl. Budi Kemuliaan dan Jl. Medan Merdeka Barat. Pengaruh lainnya juga diakibatkan oleh lokasi pengamatan dan perhitungan konsentrasi yang berada di wilayah perkotaan dengan bangunan gedung tinggi disekitar ruas Jl. M.H. Thamrin. Dimana efek ketinggian bangunan dapat mempengaruhi dispersi polutan yang pada akhirnya menimbulkan perbedaan konsentrasi polutan di titik downwind akibat terjadi pembentukan pola sirkulasi aliran udara yang kompleks. Selain itu melalui hasil perbandingan didapatkan, nilai rata-rata konsentrasi NOx hasil pemodelan sebesar 57.16 µg/m3 dan pemantauan roadside sebesar 29.09 µg/m3. Fluktuasi perbandingan nilai konsentrasi
38
NOx bulan Desember 2007 – April 2008 disajikan pada Lampiran (11). Konsentrasi NOx di permukaan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu gabungan polutan dari sumber dan/atau wilayah lain dan konsentrasi O3. Pendugaan konsentrasi NOx tergantung dari perhitungan konsentrasi O3. Pendugaan konsentrasi NOx dapat lebih nyata, bila konsentrasi background dari NOx dan O3 diketahui dengan benar. Hal ini berkaitan dengan reaksi kimia NOx di troposfer yang meliputi beberapa reaksi dasar dari oksigen dan campuran molekul background N2 serta O2 (M) melalui reaksi fotolisis. Ketika NO dan NO2 berada dalam paparan sinar matahari, pembentukan ozon terjadi sebagai hasil fotolisis NO2 pada panjang gelombang < 424 nm (Seinfeld dan Pandis, 2006): NO2 + hv Æ1 NO + O
(reaksi 1)
O + O2 + M Æ2 O3 + M
(reaksi 2)
Tidak ada sumber utama ozon di atmosfer selain berasal dari reaksi 2. Sekali terbentuk, O3 langsung bereaksi dengan NO menghasilkan NO2: O3 + NO Æ3 NO2 + O2
(reaksi 3)
Berdasarkan perhitungan melalui plot Quantile-Quantile, diperoleh validasi akurasi yang berbeda antara polutan CO dan NOx. Walaupun demikian, nilai validasi akurasi kedua polutan secara umum sudah diatas 50% dari total data berpasangan yang digunakan (ndata=40). Akurasi polutan hasil pemodelan dengan pemantauan roadside dapat lebih baik bila menambahkan beberapa titik reseptor dari segmen jalan dalam pemantauan di lapangan. Hal ini didasarkan pada kondisi meteorologi yang digunakan dalam pemodelan seringkali berubah-ubah baik spasial maupun temporal. Sehingga dengan menambahkan beberapa titik reseptor dihasilkan konsentrasi polutan yang benar-benar didasarkan pada kondisi meteorologi di titik tersebut (representatif) dan bila nantinya hasil pemodelan dibandingkan dengan pemantauan yang demikian, diharapkan diperoleh validasi akurasi yang lebih baik. Selain itu ruas Jl. M.H. Thamrin merupakan kawasan perkantoran dengan aktivitas lalu-lintas tinggi yang akhirnya berpengaruh besar terhadap konsentrasi polutan di udara. Hal ini dapat dipahami karena pada pemantauan roadside,
konsentrasi polutan terukur merupakan pengukuran emisi lalu-lintas kendaraan yang melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin dan sekitarnya sehingga konsentrasi polutan yang terukur lebih tinggi. Akibatnya reseptor yang terkena paparan polutan di ruas Jl. M.H. Thamrin secara umum langsung berasal dari emisi kendaraan yang melintas. Sedangkan validasi akurasi yang lebih tinggi ditemukan ketika memprediksi pencemar CO dibandingkan dengan NOx. Hal ini sejalan dengan prinsip konservasi massa model FLLS, yang menyatakan laju aliran massa melalui setiap penampang aliran polutan sebanding dengan laju emisi sumber. Ini menunjukkan bahwa tidak adanya material polutan yang dipindahkan melalui reaksi kimia atau dengan kata lain ideal untuk polutan yang relatif stabil secara kimia. Kenyataannya diketahui bahwa CO merupakan polutan gas inert (stabil) Sedangkan dibandingkan dengan NOx. untuk polutan NOx mengalami perlakuan sebagai gas inert dalam pemodelan FLLS yang mengakibatkan akurasi pemodelan terhadap hasil pemantauan lebih tinggi dibandingkan polutan CO. Pencemar NOx merupakan salah satu polutan oksida nitrogen yang tidak stabil. Pada ruang pembakaran nitrogen (N2) tidak berasal dari bensin atau solar, tapi dari udara yang masuk ke dalam ruang pembakaran. Dalam kondisi normal, nitrogen tergolong senyawa inert yang stabil. Senyawa ini tidak mudah bereaksi dengan oksigen. Tapi jika mesin memanas, sifat inert ini tak lagi bisa dipertahankan. Dalam kondisi tekanan mampat dan temperatur tinggi, senyawa nitrogen akan terurai dan berikatan dengan oksigen menjadi NOx. Selanjutnya ketika berada di atmosfer NOx melalui proses fotokimia dengan segera diubah menjadi oksida NO maupun NO2 dan melepaskan gugusan atom oksigen O(1D) yang selanjutnya membentuk ozon bersamaan dengan oksigen dan prekusor sejumlah reaksi berantai fotokimia kedua (Seinfeld dan Pandis, 2006; Visconti, 2001). Kenyataannya diketahui bahwa bagian terbesar komposisi NOx dari hasil emisi kendaraan adalah NO dan sebagian kecil NO2. Padahal ketika memasuki atmosfer, komponen NO dan NO2 dapat berubah-ubah konsentrasi tergantung dari katalisator yang tersedia. Nitrat oksida (NO) yang diemisikan dari kendaraan bermotor diubah menjadi NO2 ketika terdifusi ke udara akibat
39
ketersediaan ozon yang besar. Sedangkan nitrogen dioksida (NO2) melalui poses fotodissosiasi diubah menjadi bentuk NO dan atom oksigen. Akibatnya NOx memiliki kesetimbangan semu ketika berada di atmofer yang berimplikasi berubah-ubahnya konsentrasi NO dan NO2 sepanjang waktu. Hal lain yang mendukung nilai akurasi CO lebih tinggi dibandingkan akurasi NOx adalah dengan melihat hubungan antara hasil pemodelan FLLS terhadap observasi, yang dinyatakan sebagai nilai koefisien korelasi (r). Semakin besar nilai r (maksimum 1) maka semakin kuat hubungan hasil pemodelan FLLS dengan hasil observasi. Didapat nilai r untuk polutan CO sebesar 0.63, sedangkan untuk polutan NOx, nilai r yang dihasilkan lebih rendah, yaitu 0.06. Hal ini menegaskan bahwa pemodelan FLLS lebih cocok untuk diterapkan pada polutan yang stabil secara kimia (inert) dibandingkan polutan yang cenderung berubah-ubah konsentrasinya karena reaksi kimia di atmosfer, sebagaimana prinsip penggunaan konservasi massa dalam pemodelan FLLS yang menyatakan diabaikannya reaksi kimia dalam pemodelan. Kualitas udara ambien (fixed station) wilayah terdekat dengan Jl. M.H. Thamrin diukur di stasiun JAF 5 ynag terletak di wilayah Senayan. Berdasarkan hasil pemantauan, kualitas udara ambien JAF 5 untuk nilai rata-rata harian masih memenuhi baku mutu udara ambien pengukuran 24 jam, yaitu 9 mg/m3 untuk CO dan 92.5 µg/m3 untuk NOx. Konsentrasi CO bernilai maksimum tanggal 24 Maret 2008 pada pukul 11:00-12:00 dengan nilai sebesar 1.93 mg/m3. Sedangkan untuk parameter NOx, konsentrasinya bernilai maksimum tanggal 18 Februari 2008 pada pukul 06:00-07:00 dengan nilai sebesar 43.87 µg/m3. Sedangkan bila melihat fluktuasi konsentrasi CO dan NOx antar bulan pengamatan, diperoleh pola serupa dengan pemantauan roadside, yaitu meningkat pada pagi hari dan mencapai puncak pada jamjam sibuk dan kemudian turun menjelang siang harinya (Lampiran 12 dan 13). Ratarata puncak konsentrasi CO dan NOx di stasiun JAF 5 selama waktu pengamatan terjadi pukul 06:00-08:00. Walaupun fluktuasi harian polutan CO dan NOx pada pemantauan JAF 5 serupa dengan pemantauan roadside di ruas Jl. M.H. Thamrin pada masing-masing bulan, tidak berarti konsentrasi polutan ambien di JAF 5 dapat menggambarkan seluruh kadar
konsentrasi polutan roadside. Hal ini disebabkan letak stasiun JAF 5 yang jauh dari lokasi pengamatan sumber garis kajian yang mencapai ± 5.95 km. Serta indikasi gabungan polutan dari berbagai sumber wilayah lain yang telah terdispersi menjadi bernilai lebih tinggi akibat proses fisik dan kimia di atmosfer. Hal tersebut menjadi wajar mengingat penempatan stasiun JAF 5 diperuntukkan sebagai lokasi pengukuran kualitas udara ambien wilayah komersil (Pusparini, 2005). Begitu pula sebaliknya, pemantauan kualitas udara ambien roadside tidak bisa menggambarkan kualitas udara ambien di stasiun JAF 5 karena konsentrasi polutan yang terukur merupakan konsentrasi yang berasal langsung dari lalu-lintas kendaraan melintas di ruas Jl. M.H. Thamrin. Secara umum konsentrasi CO dan NOx hasil pemantauan ambien stasiun JAF 5 lebih besar dari hasil pemantauan yang diperoleh dari roadside. Didapatkan nilai rata-rata CO hasil pemantauan ambien stasiun JAF 5 sebesar 1.83 mg/m3 dan 0.82 untuk pemantauan roadside. mg/m3 Sedangkan rata-rata untuk konsentrasi NOx, hasil pemantauan ambien stasiun JAF 5 sebesar 29.09 µg/m3 dan 16.87 µg/m3 hasil pemantauan roadside. 4.7 Konsentrasi Polutan Sumber Garis pada Berbagai Kondisi Stabilitas dan Kecepatan Angin Pendugaan konsentrasi polutan dalam pemodelan FLLS membutuhkan beberapa masukan parameter utama, diantaranya kecepatan angin dan stabilitas atmosfer. Kecepatan angin diperlukan sebagai parameter input dalam menentukan kondisi stabilitas atmosfer wilayah kajian. Sedangkan kondisi stabilitas atmosfer diperlukan untuk mengestimasi standar deviasi kepulan polutan dari pusat kepulan sesaat setelah dikeluarkan dari sumber emisi. Standar deviasi kepulan atau parameter dispersi selain ditentukan melalui kondisi stabilitas atmosfer juga merupakan fungsi dari jarak arah mata angin dan standar deviasi komponen vertikal-horizontal angin (Irwin, 1982). Sedangkan bila antar fluktuasi arah angin membentuk sudut yang kecil dapat menggunakan bentuk intensitas turbulensi seperti pada model dispersi UDMFMI (Karppinen et al, 2000a). Secara empiris melalui pemodelan FLLS, arah angin diposisikan tegak lurus
40
terhadap sumber emisi dan bergerak dalam arah sumbu x serta terdispersi hanya pada sumbu z. Pada pemodelan ini, tidak terdapat standar deviasi horizontal tegak lurus terhadap arah angin (σy) seperti halnya pemodelan sumber titik. Hal ini disebabkan sepanjang sumbu y yang berfungsi sebagai segmen dan link jalan dalam pemodelan mengemisikan polutan secara kontinu dan konstan. Sehingga konsentrasi polutan akan seragam pada arah y seperti yang digambarkan pada Gambar 5. Selanjutnya untuk memudahkan analisis data dalam membedakan besarnya konsentrasi polutan berdasarkan besarnya jarak downwind, maka dilakukan pembagian kecepatan angin menjadi 3 jenis dalam setiap stabilitas atmosfer, yaitu 0.81 m/s; 2.11 m/s; dan 3.41 m/s. Pembagian kecepatan angin demikian disesuaikan dengan kecepatan angin yang diperoleh dari hasil pengukuran yang berkisar 0 m/s hingga 3.61 m/s. Pembagian kriteria kecepatan angin dibutuhkan untuk mengetahui secara rinci besarnya perbedaan konsentrasi polutan pada setiap kondisi stabilitas dan jarak downwind. Ditentukan pula jarak downwind sebesar 0 – 3,600 m dari sumber emisi. Pendugaan konsentrasi dalam pemodelan FLLS dilakukan menggunakan program visual basic untuk mengetahui sampai nilai terkecil. Visualisasi hasil secara keseluruhan disajikan pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20, pada kondisi stabilitas atmosfer yang sama terlihat semakin tinggi kecepatan angin berhembus maka konsentrasi polutan CO yang dihasilkan semakin rendah. Didapat untuk kecepatan angin 0.81 m/s; 2.11 m/s; dan 3.41 m/s pada stabilitas sangat tidak kuat konsentrasi maksimum yang terukur masingmasing sebesar 0.0989 mg/m3; 0.0380 mg/m3; dan 0.0235 mg/m3. Sedangkan pada stabilitas tidak stabil sedang dan sedikit tidak stabil, nilai konsentrasi maksimum yang diperoleh juga sama besar dengan kondisi stabilitas sangat tidak kuat. Bila konsentrasi maksimum yang dihasilkan kemudian dihubungkan dengan jarak pada saat polutan mencapai konsentrasi maksimum, terlihat bahwa jarak konsentrasi maksimum meningkat bersamaan dengan bertambahnya kondisi stabil atmosfer. Besarnya jarak konsentrasi maksimum untuk stabilitas sangat tidak kuat, sedang, dan lemah masing-masing sebesar 443 m, 919 m, dan 1720 m.
a
b
c
Gambar 20. Konsentrasi CO sebagai fungsi jarak dan kecepatan angin pada kondisi stabilitas atmosfer, (a) sangat tidak kuat; (b) tidak stabil sedang; dan (c) sedikit tidak stabil Pada kondisi stabilitas atmosfer yang sama, konsentrasi polutan maksimum mengalami penurunan bersamaan denganbertambahnya kecepatan angin. Pada kecepatan angin yang rendah proses difusi polutan memegang peranan dominan dalam penyebarannya. Difusi merupakan sifat alamiah dari molekul yang terjadi karena tiap molekul tersebut memiliki energi kinetik untuk terus bergerak dengan bebas, cepat dan acak akibatnya molekul-molekul tersebut saling bertabrakan dan terdistribusi merata pada setiap bagian dimana polutan tersebut dilepaskan. Ekspresi matematika untuk kasus tersebut diberikan sebagai laju massa difusi
41
yang berlawanan terhadap konsentrasi polutan pada masing-masing luasan elemen penampang. Melalui hukum fick pertama yang menyatakan bahwa flux difusi sebanding dengan gradien konsentrasi dan konsentrasi difusi dengan arah pergerakan yang berlawanan dengan gradien konsentrasi. Maka dapat dituliskan sebagai bentuk (dalam arah sumbu x):
__(14) Terlihat melalui ekspresi matematika di atas, pergerakan molekul polutan yang dinyatakan sebagai laju konsentrasi polutan selain dinyatakan sebagai koefisien difusi juga dinyatakan sebagai perbedaan konsentrasi yang berubah menurut arah pergerakannya. Sehingga pergerakan molekul polutan lebih banyak dilakukan oleh proses difusi antar molekul polutan itu sendiri. Hal yang menarik dari persamaan 14 di atas dan hukum ficks pertama adalah nilai fluks (konsentrasi polutan) selalu bernilai positif, walaupun dari hasil perhitungan selalu didapatkan hasil negatif. Hal ini disebabkan pergerakan difusi molekul polutan merupakan pergerakan berlawanan terhadap gradien konsentrasi. Karena proses difusi merupakan pergerakan antar molekul polutan itu sendiri, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengencerkan suatu polutan semakin lama. Akibatnya konsentrasi polutan yang terukur relatif tinggi. Berbeda halnya dengan kecepatan angin rendah, pada kecepatan angin yang tinggi proses penyebaran polutan lebih didominasi oleh pergerakan udara sekitar atau adveksi. Ekspresi matematika untuk kasus ini dinyatakan sebagai bentuk:
__(15) Melalui persamaan (15) terlihat laju perubahan konsentrasi polutan selain dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi polutan persatuan jarak tempuh polutan juga akibat pergerakan massa udara yang bercampur bersama polutan untuk bergerak lebih aktif dengan massa udara sekitar. Akibatnya proses difusi polutan dapat diabaikan dalam perbandingannya terhadap proses adveksi polutan itu sendiri. Sebagai
hasil konsentrasi polutan yang dihasilkan bernilai jauh lebih rendah akibat proses adveksi pada kecepatan angin yang tinggi. Sehingga secara umum dapat dijelaskan bahwa angin merupakan media yang efektif dalam perpindahan dan pengenceran polutan di atmofer, karena pergerakan polutan selain disebabkan perbedaan konsentrasi antar molekul polutan sendiri juga pengaruh dari pergerakan parsel udara. Penelitian terkait tentang pengaruh kecepatan angin terhadap konsentrasi polutan dilakukan oleh Hakiki (2008) yang meneliti konsentrasi SOx dari sumber cerobong industri. Didapatkan konsentrasi SO2 bernilai tinggi pada kondisi atmosfer sangat stabil terutama untuk kecepatan 0 – 0.5 m/s. Sedangkan pada saat kecepatan angin tinggi, konsentrasi SO2 yang terhitung lebih rendah, seperti pada kecepatan angin dan antara 1 – 1.5 m/s. Sedangkan pada kecepatan angin yang sama dengan kondisi stabilitas atmosfer yang berbeda (kondisi sangat tidak kuat hingga sedikit tidak stabil), konsentrasi yang terukur menurun secara perlahan dan terjadi peningkatan jarak konsentrasi maksimum. Pada kondisi atmosfer sangat tidak kuat, terjadinya konsentrasi maksimum lebih rendah dibandingkan dengan kondisi stabilitas lainnya. Hal ini disebabkan karena pada kondisi atmosfer tidak stabil umumnya terjadi pada saat pergantian siklus diurnal, yaitu pada awal pagi atau menjelang malam (Seinfeld dan Pandis, 2006). Pada kondisi demikian, terjadi perbedaan energi antara lapisan massa udara di atas dengan massa udara dekat permukaan. Polutan yang diemisikan pada kondisi stabilitas atmosfer demikian mengalami pergerakan ke atas sebagai akibat pengaruh perbedaan energi dan gaya apung (buoyant) yang dimilikinya. Bila polutan tersebut bergerak turun, maka polutan mengalami peningkatan temperatur dengan temperatur yang masih lebih dingin dibandingkan udara sekitarnya. Akibatnya terjadi pergerakan massa udara bercampur polutan yang tidak teratur mengakibatkan polutan didispersikan secara cepat akibat pencampuran konvektif massa udara sekitar dengan polutan. Sehingga dihasilkan konsentrasi polutan yang lebih rendah pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil dibanding kondisi stabil. Kaitannya terhadap jarak konsentrasi maksimum yang jatuh lebih dekat pada kondisi atmosfer sangat tidak kuat dibandingkan kondisi atmosfer lainnya dapat merujuk kembali kepada persamaan
42
matematis FLLS dan Gambar 20, yang memperlihatkan konsentrasi polutan sepanjang downwind akan mencapai nilai maksimum pada jarak downwind tertentu sebelum akhirnya berkurang menuju nol pada jarak downwind yang jauh. Pada pemodelan FLLS, jarak konsentrasi maksimum dari sumber emisi terjadi pada saat dimana, __(16) yaitu parameter dispersi vertikal sebanding dengan ketinggian efektif kepulan polutan. Seperti yang telah diketahui nilai parameter dispersi tergantung pada jarak reseptorsumber emisi dan stabilitas atmosfer. Semakin stabil kondisi stabilitas atmosfer, maka nilai parameter dispersi semakin rendah. Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk kembali kurva koefisien dispersi vertikal dan horizontal Pasquill – Gifford (Gambar 7), yang bernilai rendah pada jarak downwind yang sama dengan kondisi stabilitas atmosfer berbeda. Selain dipengaruhi secara langsung oleh parameter dispersi, perbedaan kejadian jarak konsentrasi maksimum antar stabilitas atmosfer ini juga disebabkan oleh topografi wilayah kajian merupakan daerah urban yang memiliki banyak bangunan sehingga akan semakin bergolak karena menabrak bangunan-bangunan tersebut dan membuat suhu udara sekitar akan semakin meningkat. Sehingga mengakibatkan kondisi udara semakin tidak stabil dibandingkan tipe daerah lainnya mengakibatkan secara tidak langsung nilai parameter dispersi akan semakin besar. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Karppinen et al (2000a), yang menyebutkan parameter dispersi wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan wilayah pedesaan. Lebih lanjut dijelaskan, hal ini disebabkan kekasapan permukaan wilayah perkotaan yang mempertinggi aliran turbulensi pada bagian puncak gedung dibandingkan lapisan udara dekat permukaan yang cenderung membentuk aliran laminar. Penelitian serupa konsentrasi maksimum searah angin (downwind) juga dilakukan oleh Hakiki (2008) untuk polutan SOx dari sumber titik (cerobong industri).
Didapatkan pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil, konsentrasi maksimum SO2 yang dihasilkan terjadi pada jarak yang lebih dekat dibandingkan kondisi stabil. Kondisi atmosfer tidak stabil menguntungkan dalam pendispersian polutan, karena kemampuan stabilitas atmosfer dan kecepatan angin yang lebih cepat (gaya buoyant memperkuat gaya ke atas) dalam mendispersikan polutan ke lingkungan sekitar, sehingga konsentrasi polutan yang terukur setelah titik kritis (konsentrasi maksimum) lebih rendah dan cepat dideposisikan, mengakibatkan reseptor tidak mengalami paparan konsentrasi pencemar polutan dalam jumlah besar. Sedangkan pada kondisi atmosfer stabil, gaya buoyancy berlawanan arah dengan gaya ke atas, mengakibatkan massa udara yang mengalami pengangkatan sampai ketinggian tertentu akan turun kembali (Gambar 1b). Hal ini jelas membahayakan reseptor karena polutan yang tadinya terangkat bersamaan dengan massa udara sekitar kembali turun dengan konsentrasi yang masih tinggi. Kondisi atmosfer stabil tidak menguntungkan dalam pendispersian polutan, karena reseptor akan menerima paparan konsentrasi pencemar polutan yang relatif tinggi Penelitian serupa tentang penentuan jarak dan konsentrasi maksimum juga telah dilakukan dilakukan oleh Stull dan Ainslie (2006) yang mendapatkan konsentrasi maksimum selama kondisi konveksi bebas (kondisi stabil) dibawah nilai X = 2 pada model AERMOD. Parameter X merupakan jarak downwind tanpa satuan, yang diperoleh dengan membandingkan kecepatan konvektif dan jarak arah angin terhadap kecepatan angin dan ketinggian lapisan batas atmosfer rata-rata. Sharan et al (1995) menggunakan persamaan Gaussian untuk menghitung pada semua konsentrasi relatif stabilitas atmosfer berdasarkan kecepatan angin, sumber emisi dan koordinat spasial. Didapatkan konsentrasi relatif menurun terhadap ketinggian pada semua kondisi stabilitas. Lebih lanjut, konsentrasi dekat permukaan meningkat dari kondisi stabilitas atmosfer tidak stabil hingga kondisi stabil.
43