IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. EKSTRAKSI
Menurut Leniger dan Beverloo (1975), ekstraksi adalah metode pemisahan dimana komponen-komponen terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen yang tidak larut dengan pelarut yang sesuai. Metode paling sederhana untuk ekstraksi adalah dengan mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut . Sampel yang diujikan pada penelitian ini ada 2 jenis, yaitu sampel iradiasi dengan tanggal penyinaran berbeda-beda dan rendang noniradiasi. Jumlah total sampel ada 4 (empat): rendang iradiasi BATAN dengan tanggal penyinaran 11 November 2006, rendang iradiasi dengan label DIPA bertanggal penyinaran 14 Juni 2007, rendang iradiasi tanpa label (No Label) dengan tanggal penyinaran 14 Juni 2007 dan rendang non-iradiasi sebagai kontrol pembanding. Rendang non-iradiasi ini tahapan pemasakannya sama dengan rendang iradiasi, hanya setelah menjadi rendang kemudian diautoklaf. Sampel-sampel yang diujikan berasal dari Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR BATAN). Sampel rendang yang diujikan dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Sampel rendang iradiasi dalam kemasan 67
Tahap awal yang dilakukan sebelum menguji sampel adalah ekstraksi sampel. Pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi sampel adalah akuades steril. Penggunaan akuades sebagai pelarut bertujuan untuk mendekati kondisi sebenarnya ketika sampel dikonsumsi secara umum, juga untuk melarutkan dalam kultur. Perbandingan ekstraksi pelarut akuades dan bahan (daging rendang) adalah 1:1 (berat/volume). Pada tahap ekstraksi ini dilakukan pengecilan ukuran sampel secara bertahap. Pengecilan ukuran pertama dilakukan dengan cara menghaluskan sampel menggunakan mortar dengan penambahan akuades steril 1:1. Setelah dihaluskan, sampel rendang disaring menggunakan kain saring dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus untuk kemudian disentrifus selama 30 menit 3500 rpm. Tahap sentrifus ini bertujuan untuk memisahkan bagian padat dan lemak dari bagian cairan ekstrak. Cairan ekstrak kemudian diambil secara hati-hati dan disaring kembali menggunakan kertas saring Whatman no. 1. Cairan yang didapat sebagai hasil saringan kemudian disaring dengan membran sterilisasi 0,20 μm. Tujuan penyaringan dengan membran steril ini adalah untuk mencegah kontaminasi dari mikroorganisme, karena pada pengujian limfosit dibutuhkan keadaan steril. Waktu pemgerjaan ekstraksi sampai ekstrak sampel dimasukkan ke dalam kultur yaitu selama kurang lebih 3 jam. Dari 20 gram rendang didapatkan ekstrak masing-masing sampel kurang lebih sebanyak 3 ml. Ekstrak yang digunakan dalam pengujian sampel terdiri dari tiga jenis pengenceran yaitu pengenceran satu kali (1x), dua kali (2x) dan pengenceran empat kali (4x). Pengenceran satu kali merupakan ekstrak sampel yang didapatkan setelah disterilisasi dengan membran steril dan tidak diencerkan lebih lanjut, sedangkan yang disebut dengan pengenceran dua kali merupakan ekstrak sampel yang diencerkan dengan penambahan akuades 1:1 (b/v) dari ekstrak sampel pengenceran satu kali. Sementara itu, yang disebut dengan
68
pengenceran empat kali merupakan ekstrak yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 (ekstrak satu kali: akuades). Pengenceran yang dilakukan terhadap sampel memiliki dua tujuan. Tujuan pertama adalah untuk mewakili konsumsi sampel yang lebih sedikit dibandingkan konsumsi normal, dengan mengurangi konsentrasi sampel. Sementara tujuan yang kedua adalah untuk melihat efek peningkatan ketersediaan air bebas yang dikhawatirkan dapat menjadi substrat serangan radikal bebas yang dikhawatirkan ada dalam jumlah besar dalam sampel dan mampu menyerang molekul air dan menghasilkan
radikal
hidroksi
yang
diperkirakan
mampu
mempengaruhi hasil pengujian (Diehl, 1995). Tabel 4. Perbandingan ekstrak sampel dan pelarut (akuades) Jenis pengenceran Ekstrak Akuades (ml) (ml) Pengenceran 1x 1,5 0 Pengenceran 2x 1 1 Pengenceran 4x 0,5 1,5 B. PENGARUH EKSTRAK SAMPEL TERHADAP PROLIFERASI LIMFOSIT MANUSIA Pengujian dengan menggunakan sel limfosit secara in vitro membutuhkan keadaan yang sama seperti lingkungan dalam tubuh. Tujuannya adalah agar proses biologis yang terjadi di dalam kultur sel berlangsung mendekati keadaan sebenarnya di dalam tubuh. Kondisi yang perlu diatur tersebut diantaranya adalah pH, nutrisi, dan fase gas yang sesuai untuk pertumbuhan sel (Freshney, 1994). Darah yang akan diisolasi sel limfositnya diambil secara aseptis di klinik Farfa Dramaga oleh seorang suster dari donor pria sehat. Darah ini dimasukkan dalam tabung vacutainer steril. Darah ini kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi 1500 rpm selama 5 menit, kemudian didapatkan darah yang terpisah seperti terlihat pada gambar 7.
69
Plasma Buffycoat Eritrosit
Gambar 7. Pemisahan darah manusia setelah disentrifugasi Pemisahan sel limfosit dari sel-sel darah lain dilakukan dengan menggunakan larutan ficoll (Histopaque). Larutan ini memiliki densitas 1.077 + 0.0001 g/ml sehingga mampu menahan sel-sel agranulosit yang berdensitas rendah seperti limfosit untuk berada tetap dibagian atas, sedangkan sel-sel granulosit yang berdensitas lebih tinggi akan menembus ficoll. Hasil pemisahan darah menggunakan ficoll dapat dilihat pada gambar 8.
Limfosit
Gambar 8. Pemisahan limfosit dengan ficoll (Histopaque) Volume total kultur sel pada penelitian ini adalah 100 l untuk setiap sumur. Jumlah sel limfosit hidup yang dikultur pada penelitian ini adalah 2 x 106 sel/ml. Jumlah limfosit yang hidup ini disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meiriana (2006). Dengan jumlah sel tersebut, diharapkan sel limfosit akan
70
mampu bertahan hidup dan melewati siklus hidupnya dalam waktu inkubasi selama 72 jam. Pemilihan waktu inkubasi 72 jam ini disesuaikan dengan perkiraan berkurangnya zat-zat gizi dari medium untuk mendukung proses pertumbuhan sel. Menurut Freshney (1994), medium pertumbuhan sel limfosit berfungsi maksimal selama tiga hari. Volume sel limfosit yang ditambahkan ke dalam sumur adalah 80 l. Jumlah sel limfosit hidup setelah ditambahkan ekstrak akan dibandingkan dengan jumlah sel limfosit yang hidup tanpa penambahan ekstrak dengan melihat peningkatan ataupun penurunan jumlahnya selama 72 jam. Prinsip metode MTT didasarkan pada penyerapan warna biru dari kristal formazan blue yang dihasilkan dari reaksi antara enzim suksinat dehidrogenase dengan garam tetrazolium (MTT). Sebelum perhitungan, dilakukan penambahan HCL-isopropanol pada kultur sel. Tujuan penambahan ini untuk melarutkan kristal biru formazan yang terbentuk dan untuk melisiskan sel limfosit (Kasugai et al., 1990). Hasil absorbansi yang didapatkan dari pembacaan oleh Spectrophotometer Microplate Reader kemudian diolah sehingga menghasilkan data Indeks Stimulasi (I.S). Dari pengujian yang telah dilakukan, didapatkan hasil seperti dapat dilihat pada gambar 9.
71
Gambar 9. Grafik perbandingan Indeks Stimulasi proliferasi limfosit
Dari gambar 9 dapat dilihat bahwa pada pengenceran 1x (ekstrak sampel tanpa pengenceran), sampel yang memiliki indeks stimulasi paling tinggi adalah sampel No Label 14 Juni 2007 (2,078). Sementara itu, sampel DIPA 14 Juni 2007 (1,742) memiliki indeks stimulasi terbesar kedua setelah sampel No Label 14 Juni 2007. Setelah itu, diikuti oleh sampel 11 Nov 2006 (1,452), kontrol rendang (1,255), kontrol positif PWM (1,205) dan kontrol positif LPS (1,053). Nilai indeks stimulasi sampel No Label 14 Juni 2007 dan DIPA 14 Juni 2007 tidak jauh berbeda. Demikian pula dengan pola indeks stimulasi yang diakibatkan oleh pengenceran sampel. Hal ini dikarenakan kedua sampel tersebut memiliki tanggal penyinaran yang sama, yang artinya diiradiasi pada hari yang sama. Perbedaan
72
dari kedua sampel tersebut hanyalah adanya label pada kemasan atau tidak. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pola indeks stimulasi terhadap pengenceran umumnya dapat dikatakan menurun, kecuali pada sampel 11 Nov 06. Sampel 11 Nov 06 memiliki pola respon indeks stimulasi terhadap pengenceran yang berbeda di antara sampel yang lain, termasuk sampel kontrol rendang. Pola indeks stimulasi sampel ini meningkat dengan menurunnya konsentrasi ekstrak sampel. Hal ini berarti dengan menurunnya konsentrasi ekstrak sampel pada kultur, maka limfosit berproliferasi semakin tinggi. Tetapi, jika dibandingkan dengan indeks stimulasi sampel kontrol rendang, indeks stimulasi sampel 11 Nov 06 ini masih memiliki indeks stimulasi yang lebih besar, sehingga masih dapat dikatakan lebih baik daripada sampel kontrol rendang dalam hal memicu proliferasi limfosit. Akan tetapi, menurut analisis statistik menggunakan
ANOVA
dengan
selang
kepercayaan
95%,
perbedaan antara kedua sampel tersebut tidak dapat dikatakan signifikan. Jika dibandingkan dengan kontrol positif yaitu LPS dan PWM, sampel rendang iradiasi dengan berbagai tanggal iradiasi mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit manusia lebih dari peningkatan yang dilakukan oleh LPS dan PWM. Kontrol positif merupakan sel limfosit yang ditambahkan mitogen agar proliferasi sel meningkat. Pada gambar 7 dapat dilihat bahwa kontrol positif PWM memiliki indeks stimulasi yang lebih besar daripada LPS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ganong (1979) yaitu PWM memiliki kemampuan memicu proliferasi sel B dan T, sedangkan LPS hanya mampu memicu proliferasi sel B saja, sehingga jika ditambahkan ke jumlah sel yang sama, diperkirakan PWM akan memiliki indeks stimulasi yang lebih besar daripada LPS.
73
Proses iradiasi dapat menghasilkan radikal bebas. Elektron yang berenergi tinggi menjadikan molekul air sebagai target. Sinar gamma dapat memecah molekul air menjadi radikal bebas dan ion. Energi aktivasi dibutuhkan untuk menghasilkan radikal bebas. Ikatan jamak karbon-karbon yang kekurangan elektron pada asam lemak tidak jenuh dan gugus karbonil (asam lemak dan asam amino) sangat rentan terhadap serangan radikal bebas. Selain merupakan agen pengoksidasi kuat yang sangat reaktif terhadap sistem terkonjugasi, elektron bebas aqueous juga dihasilkan dari radiolisis air. Elektron aqueous sangat reaktif dengan senyawa aromatik, asam karboksilat, keton, aldehida, tiol dan hidrogen bebas, yang dapat menempel pada system terkonjugasi atau melepaskan hidrogen dari ikatan C-H dan S-H (Thakur dan Singh, 1994). Interaksi dengan radikal bebas yang dihasilkan oleh radiolisis air dapat meningkatkan pembentukan hidrogen peroksida. Atom hidrogen yang terbentuk secara radiolitik dari air dapat bereaksi dengan oksigen terlarut untuk membentuk radikal hidroperoksi yang akan berekuilibrasi dengan radikal superoksida. Radikal hidroperoksi dapat meningkatkan hidrogen peroksida (Thakur dan Singh, 1994). Kemungkinannya adalah, dengan penambahan air dengan peningkatan pengenceran, jika masih terdapat radikal bebas dalam matriks pangan iradiasi, maka air merupakan substrat yang dapat diserang sehingga menghasilkan hidrogen peroksida yang dapat menghambat proliferasi limfosit. Studi yang dilakukan oleh Nelson et al. (1984) menunjukkan efek penghambatan oleh mannan khamir terhadap respon proliferatif limfosit akibat adanya produksi hidrogen peroksida yang ditingkatkan oleh kompleks mannantembaga. Uji statistik dilakukan pada pengujian pengaruh ekstrak rendang iradiasi terhadap proliferasi sel limfosit. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara
74
sampel pada pengenceran yang sama. Kemudian, juga dilakukan uji statistik untuk melihat apakah pengenceran berpengaruh signifikan terhadap indeks stimulasi proliferasi limfosit manusia. Dari uji statistik yang dilakukan dengan metode Tukey, ketiga sampel rendang iradiasi tidak berbeda nyata terhadap sampel rendang noniradiasi pada selang kepercayaan 95%. Akan tetapi, sampel No Label 14 Juni 2007 jika dibandingkan dengan LPS dan kontrol standar, yaitu limfosit tanpa penambahan ekstrak sampel maupun mitogen, berbeda secara nyata pada selang kepercayaan 95%. Hal ini berarti ekstrak sampel No Label 14 Juni 2007 berpengaruh nyata terhadap proliferasi sel limfosit, dalam hal ini yaitu meningkatkan proliferasi sel limfosit. Perbedaan ini ketika diuji pada selang kepercayaan 99% tidak signifikan yang artinya pada selang kepercayaan 99%, semua sampel pada pengenceran 1x tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan proliferasi sel limfosit manusia. Pengamatan pada pengenceran 2x dan 4x memperlihatkan bahwa ekstrak sampel 11 Nov 2006, DIPA 14 Juni 2007 dan Kontrol Rendang tidak berbeda nyata dengan ekstrak pada pengenceran
1x.
Akan
tetapi
ekstrak
sampel
No
Label
menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan sampel pada pengenceran 1x pada selang kepercayaan 95%, tetapi tidak signifikan pada selang kepercayaan 99%. Hasil uji statistik ini dapat dilihat pada lampiran. Dengan demikian, dari pengujian ekstrak rendang terhadap limfosit
dapat
menghambat
disimpulkan
proliferasi
sel
bahwa limfosit
sampel
iradiasi
manusia,
dan
tidak tidak
meningkatkan proliferasi limfosit secara signifikan dibandingkan dengan kontrol rendang non-iradiasi pada ekstrak sampel tanpa pengenceran (pengenceran 1x) dengan selang kepercayaan 99%. Penelitian mengenai pengaruh ekstrak pangan iradiasi secara in vitro tidak banyak dilakukan, tetapi lebih banyak dilakukan
75
terhadap produk hasil radiolysis seperti 2-ACB, atau pengujian pangan iradiasi dilakukan secara in vivo. Akan tetapi, penelitian mengenai pengaruh bahan terhadap proliferasi sel biasa digunakan untuk mengetahui apakah suatu bahan memiliki sifat sitotoksik. Penelitian yang dilakukan oleh Meiriana (2006) menguji ekstrak buah merah terhadap proliferasi limfosit yang memberikan hasil ekstrak buah merah tidak menyebabkan toksik bagi sel limfosit karena sel mampu berproliferasi terlebih dahulu sebelum mengalami kematian. Sementara penelitian Krismawati (2007) menggunakan limfosit untuk menguji toksisitas dari ekstrak bunga kecombrang, kemuning, daun jati belanda, delima putih dan ceremai. Penelitian mengenai sifat sitotoksik suatu ekstrak dapat juga menggunakan sel lain selain limfosit, misalnya dalam penelitian Kasugai et al. (1990) menggunakan metode proliferasi sel fibroblas gigi tikus untuk menguji toksisitas eugenol.
C. PENGARUH EKSTRAK SAMPEL TERHADAP HEMOLISIS ERITROSIT MANUSIA
Pengujian ekstrak sampel terhadap hemolisis eritrosit manusia dilakukan secara in vitro, artinya menggunakan sel eritrosit yang diisolasi dari darah dan diujikan dalam suatu sistem yang mirip dengan sistem yang terjadi dalam tubuh, kemudian dicampur dengan ekstrak sampel. Eritrosit adalah model yang cocok digunakan untuk menganalisis respon sel dan membrannya terhadap berbagai faktor luar. Hal ini disebabkan oleh strukturnya yang sederhana sehingga memudahkan pengamatan (Deuticke et al.,1990) Menurut Deuticke et al. (1990) membran sel eritrosit tersusun atas lipida dan protein. Lipida yang terdapat pada membran eritrosit terutama berada dalam bentuk fosfolipid, glikolipid dan kolesterol.
76
Sedangkan protein sendiri menyusun hingga 50% dari komposisi membran eritrosit. Penambahan H2O2 dalam suspensi eritrosit diketahui mampu mempercepat hemolisis. H2O2 bekerja dengan jalan menginduksi terjadinya peroksidasi lipid di membran yang memicu reaksi peroksidasi berantai pada membran sel dan akhirnya menyebabkan hemolisis (Younkin et al., 1971).
1.
Pengaruh ekstrak sampel iradiasi terhadap hemolisis eritrosit Sampel yang ekstraknya diujikan pada pengujian pengaruh ekstrak sampel iradiasi terhadap hemolisis eritrosit adalah sampel rendang iradiasi yang memiliki tanggal penyinaran yang berbedabeda. Ada empat sampel yang diuji, yakni sampel 11 November 2006 (11 Nov 06), sampel DIPA 14 Juni 2007, sampel No label 14 Juni 2007 dan sampel rendang kontrol. Sampel rendang kontrol ini tidak diiradiasi. Media yang dipakai pada proses isolasi dan pengujian ini adalah PBS (Phosphate Buffered Saline) yang termasuk dalam balanced salt solution. Balanced salt solution adalah larutan kombinasi
dari
garam-garam
anorganik
yang
dapat
mempertahankan pH fisiologis dan tekanan osmotik. Eritrosit diambil dari darah manusia laki-laki dewasa sehat di klinik Farfa Darmaga secara aseptis, kemudian darah dimasukkan ke dalam tabung vacutainer steril. Setelah itu, darah disentrifugasi untuk
memisahkan
komponen-komponennya.
Sel
eritrosit
kemudian dipisahkan dari komponen darah lainnya. Setelah dipisahkan, eritrosit dicuci dengan PBS setelah itu dihitung agar berjumlah 20 x 107. Kemudian, dilakukan pengujian pengaruh ekstrak sampel rendang iradiasi maupun non-iradiasi dengan metode sentrifugasi berulang. Dalam metode sentrifugasi berulang, pada setiap jam pengamatan, suspensi eritrosit yang telah ditambahkan ekstrak
77
disentrifugasi selama 5 menit 2000 rpm untuk memisahkan antara eritrosit yang belum terhemolisis dan eritrosit yang telah terhemolisis (pecah) dan mengeluarkan hemoglobin. Eritrosit yang belum terhemolisis akan tinggal di bagian bawah tabung eppendorf. Supernatannya kemudian diambil dan diplating pada lempeng mikrokultur. Semakin tinggi absorbansi maka diasumsikan persentase hemolisis yang terjadi semakin tinggi karena semakin banyak hemoglobin yang keluar dari eritrosit yang mengalami hemolisis. Sebagai pembanding, terdapat kontrol positif, yaitu eritrosit yang ditambahkan H2O2 sebagai penginduksi hemolisis dan kontrol negatif, yaitu eritrosit yang tidak ditambahkan apapun. Persentase hemolisis akan didapat dari perbandingan absorbansi suspensi eritrosit yang ditambahkan ekstrak sampel dengan absorbansi suspensi eritrosit tanpa penambahan apapun (kontrol negatif). Pada gambar 10 dapat dilihat laju hemolisis sampel 11 Nov 06 dengan berbagai pengenceran. Sampel 11 Nov 06 dalam berbagai pengenceran memiliki laju hemolisis yang lebih rendah daripada laju hemolisis sampel kontrol rendang tanpa pengenceran (kontrol rendang 1x). Awalnya laju hemolisis paling tinggi di antara semua pengenceran adalah sampel 11 Nov 06 1x tetapi di akhir inkubasi, laju hemolisis eritrosit tertinggi ditunjukkan oleh sampel 11 Nov 06 4x. Berdasarkan
analisa
dengan
statistik,
perbedaan
laju
hemolisis eritrosit yang ditambah sampel 11 Nov 06 dengan berbagai pengenceran tidak berbeda nyata, sehingga disimpulkan pengenceran tidak mempengaruhi laju hemolisis eritrosit.
78
Gambar 10. Absorbansi eritrosit tiap waktu pengamatan akibat penambahan ekstrak 11 Nov 06 Gambar 11 memperlihatkan absorbansi eritrosit
yang
ditambahkan ekstrak sampel rendang iradiasi DIPA 14 Jun 07 dengan
berbagai
pengenceran,
juga
dibandingkan
dengan
absorbansi eritrosit yang ditambahkan dengan ekstrak sampel kontrol.
Gambar 11. Absorbansi eritrosit tiap waktu pengamatan akibat penambahan ekstrak DIPA 14 Jun 07 berbagai pengenceran
79
Sampel yang memiliki absorbansi eritrosit paling tinggi pada jam ke-5 (akhir pengamatan) adalah sampel DIPA 14 Jun 07 1x diikuti oleh sampel 2x dan sampel 4x, sehingga dengan menurunnya konsentrasi, absorbansi yang mewakili persentase hemolisis juga menurun. Tetapi jika dibandingkan dengan sampel kontrol rendang iradiasi, sampel iradiasi memiliki absorbansi yang lebih rendah daripada sampel kontrol rendang. Jika dibandingkan secara statistik, keempat sampel yang diperbandingkan tidak berbeda nyata, juga ketika dibandingkan dengan kontrol rendang. Sampel No Label 14 Jun 07 memiliki tren yang sama dengan kedua sampel
iradiasi
sebelumnya
yaitu dengan semakin
meningkatnya pengenceran maka absorbansi yang mewakili laju hemolisis makin tinggi. Akan tetapi pada jam ke-5, absorbansi sampel No Label 14 Juni 2007 memiliki absorbansi yang lebih besar daripada kontrol rendang, tidak seperti kedua sampel sebelumnya. Jika diamati gambar 10 maka terlihat bahwa dari awal inkubasi (jam ke-2), absorbansi sampel No Label 14 Juni 2007 1x selalu lebih tinggi daripada kontrol rendang sampai waktu pengamatan berakhir. Sampel No Label 14 Juni 2007 memiliki hasil yang agak berbeda dengan sampel DIPA 14 Juni 2007 meskipun kedua sampel ini merupakan sampel yang diiradiasi pada hari yang sama. Akan tetapi, ketika diuji secara statistik, absorbansi kedua sampel tersebut tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% dan 99%. Berdasarkan uji statistik, perbedaan absorbansi antara sampel No Label 14 Juni 2007 berbagai pengenceran dengan kontrol rendang tidak berbeda nyata.
80
Gambar 12. Absorbansi eritrosit tiap waktu pengamatan akibat penambahan ekstrak No Label 14 Jun 07 berbagai pengenceran
Sampel kontrol rendang non-iradiasi juga memiliki tren yang hampir sama dengan ketiga sampel iradiasi. Semakin meningkatnya pengenceran maka absorbansi eritrosit semakin tinggi. Akan tetapi pada jam ke-5, absorbansi sampel kontrol rendang 2x lebih besar daripada absorbansi sampel kontrol rendang 1x, meskipun, setelah diuji secara statistik bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan. Hal ini dapat diamati pada gambar 13.
81
Gambar 13. Absorbansi eritrosit tiap waktu pengamatan akibat penambahan ekstrak kontrol rendang berbagai pengenceran 2.
Perbandingan pengaruh ekstrak sampel iradiasi terhadap hemolisis eritrosit Penambahan H2O2 dalam suspensi eritrosit diketahui mampu mempercepat hemolisis. H2O2 bekerja dengan jalan menginduksi terjadinya peroksidasi lipid di membran yang memicu reaksi peroksidasi berantai pada membran sel dan akhirnya menyebabkan hemolisis (Younkin et al., 1971). Gambar 14 menunjukkan perbandingan pengaruh ekstrak sampel baik iradiasi maupun non-iradiasi tanpa pengenceran (1x) terhadap absorbansi eritrosit tiap jam pengamatan. Grafik tersebut menunjukkan bahwa sampel No Label 14 Juni 2007 memiliki absorbansi yang paling tinggi dibandingkan sampel-sampel lainnya sejak awal masa inkubasi, kemudian diikuti oleh sampel kontrol rendang, sampel 11 Nov 06, sampel DIPA 14 Jun 2007, kontrol positif dan yang terakhir adalah kontrol negatif. Pada jam kelima, absorbansi paling tinggi dimiliki oleh sampel No Label 14 Juni 2007 (0,160), diikuti oleh sampel rendang kontrol (0,145), sampel
82
11 Nov 2006 (0,130), sampel DIPA 14 Jun 2007 (0,129), dan absorbansi yang sama untuk kontrol positif dan kontrol negatif (0,133).
Gambar 14. Hubungan absorbansi dan waktu pengamatan pada pengaruh ekstrak sampel 1x terhadap hemolisis eritrosit
Absorbansi pada jam ke-5 tersebut kemudian diolah menjadi data persentase hemolisis dengan membandingkannya dengan absorbansi kontrol negatif. Perbandingan data persentase hemolisis ini kemudian ditampilkan dalam bentuk diagram seperti pada gambar 15.
83
Gambar 15. Persentase hemolisis eritrosit pada berbagai jenis sampel rendang
Dapat dilihat dari grafik tersebut bahwa persentase hemolisis terbesar ada pada sampel No Label 14 Juni 2007, dengan nilai sebesar 116,551%, diikuti oleh sampel kontrol rendang dengan persentase hemolisis sebesar 109,627%, kemudian kontrol positif dengan 103,392%, 11 November 2006 dengan 100, 971% dan sampel DIPA 14 Jun 2007 dengan 99,016%. Dari grafik tersebut dapat diamati bahwa sampel yang menyebabkan persentase hemolisis paling sedikit adalah sampel DIPA 14 Jun 2007, sementara sampel yang persentase hemolisisnya paling banyak adalah sampel No Label 14 Juni 2007. Kedua sampel ini memiliki tanggal penyinaran yang sama yaitu 14 Juni 2007. Akan tetapi, berdasarkan uji statistika dengan selang kepercayaan 95% maupun 99%, persentase hemolisis antara sampel-sampel iradiasi maupun non iradiasi tidak berbeda nyata yang dapat diartikan bahwa penambahan ekstrak sampel iradiasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju hemolisis eritrosit, atau penambahan
84
ekstrak sampel iradiasi tidak meningkatkan atau menghambat laju hemolisis eritrosit secara nyata. Tidak adanya perbedaan yang signifikan antara sampel yang diiradiasi dengan yang tidak diiradiasi kemungkinan disebabkan oleh perlakuan sampel rendang iradiasi yang dikemas vakum 80%, sehingga terekspos minimal dengan oksigen. Adanya oksigen selama iradiasi dapat berpengaruh penting pada terjadinya radiolisis. Air yang ada dalam kesetimbangan dengan oksigen udara mengandung oksigen dalam konsentrasi rendah (sekitar 0,27 mM pada suhu ruang). Atom hidrogen dapat mereduksi oksigen menjadi radikal hidroperoksi: •H + O2 •HO2 yang merupakan agen pengoksidasi lemah. Radikal hidroperoksi ini ada dalam kesetimbangan dengan radikal anion superoksida. Baik hidroperoksi radikal dan superoksida radikal dapat menghasilkan hidrogen peroksida (Diehl, 1995). Sehingga, dengan semakin banyaknya oksigen yang ada pada sampel, maka kemungkinan untuk terbentuk hidrogen peroksida semakin besar. Hidrogen peroksida merupakan salah satu yang menyebabkan peroksidasi lipida. Peroksidasi lipida yang terukur melalui reaksi asam tiobarbiturat terjadi selama 60 menit setelah penambahan H2O2. Hal ini menunjukkan bahwa H2O2 hanya berfungsi sebagai inisiator bagi reaksi peroksidasi. H2O2 bekerja dengan jalan menginduksi terjadinya peroksidasi lipida pada membran sel dan akhirnya menyebabkan hemolisis (Younkin et al., 1971) Penelitian Zhu et al. (2005) mengenai pengaruh flavanol dan prosianidin
kokoa
terhadap
hemolisis
eritrosit
manusia
menggunakan AAPH sebagai oksidator yang berfungsi seperti H2O2, yakni menginisiasi reaksi radikal bebas. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa flavanol dari kokoa, yaitu epicatechin, catechin, Dimer B2 dan 30-O-methyl epicatechin, mampu memberikan perlindungan terhadap hemolisis yang diinduksi oleh
85
AAPH secara signifikan dengan tingkat perlindungan yang berbanding lurus dengan konsentrasi flavanol (2.5 mM–20 mM). D. KAPASITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK RENDANG IRADIASI
Pemasakan rendang
menggunakan
banyak
rempah-rempah
sebagai bumbu. Rempah-rempah diketahui memiliki banyak kandungan antioksidan. Ekstrak tanaman herbal, termasuk yang disiapkan dari daun-daunan kaya akan antioksidan, terutama polifenol. Oleh karena itu, hendak diuji apakah masih terdapat aktivitas antioksidan pada sampel rendang iradiasi yang kemungkinan berasal dari bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan rendang. Untuk mengukur aktivitas suatu antioksidan dapat dilakukan beberapa cara. Prinsip pengukuran ini adalah dengan cara mereaksikan senyawa antioksidan dengan senyawa radikal. Salah satu uji yang sudah dikembangkan adalah uji antioksidan dengan menggunakan senyawa DPPH. Uji dengan metode ini merupakan uji secara kolorimetri berdasarkan warna. Warna yang terbentuk berasal dari hasil reaksi antara radikal bebas DPPH dengan antioksidan. Reaksi yang terjadi adalah DPPH• + AH DPPH-H + A•. DPPH• dalam bentuk radikal memberikan absorpsi yang maksimum pada panjang gelombang 517 nm. Setelah direduksi oleh antioksidan, maka terbentuk non-radikal yang berwarna kuning pucat (Mello et al., 2005). Sampel yang diujikan ada 4 yang terdiri dari 3 sampel rendang iradiasi dan 1 sampel rendang non-iradiasi. Sebelum diuji kapasitas antioksidannya, baik sampel rendang iradiasi maupun non-iradiasi diekstrak terlebih dahulu. Larutan standar yang digunakan adalah asam askorbat. Asam askorbat dibuat dalam konsentrasi 0, 50, 100, 250, 500 dan 1000 ppm. Hasil pengukuran absorbansi larutan standar dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil pengukuran larutan standar asam askorbat 86
[asam askorbat] (ppm) 0 50 100 250 500 1000
Absorbansi 1,350 1,230 1,210 1,070 0,766 0,228
Hasil pengukuran larutan standar kemudian diplotkan menjadi kurva standar yang memiliki persamaan y= 1,3227- 0,0011x dengan R2 = 0,9969; dengan sumbu x menyatakan konsentrasi asam askorbat yang digunakan, dan sumbu y menyatakan absorbansi yang terukur pada spektrofotometer. Kurva standar larutan asam askorbat dengan berbagai konsentrasi dapat dilihat pada gambar 16.
Gambar 16. Kurva standar asam askorbat Kemudian, sampel rendang iradiasi dan non-iradiasi (kontrol rendang) diukur kapasitas antioksidannya dan didapatkan absorbansi yang kemudian dihitung % kapasitas antioksidan dengan mengurangkan absorbansi sampel dari absorbansi kontrol negatif dibandingkan dengan absorbansi kontrol negatif. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada
87
gambar 17 dimana dapat dibandingkan antara sampel dan antara pengenceran.
Gambar 17. Grafik perbandingan kapasitas antioksidan sampel iradiasi dan non-iradiasi
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa kecenderungannya adalah dengan semakin meningkatnya pengenceran maka kapasitas antioksidan yang dimiliki oleh ekstrak sampel semakin besar, kecuali pada sampel kontrol rendang yang memiliki penurunan kapasitas antioksidan dengan semakin meningkatnya pengenceran. Kapasitas antioksidan terbesar pada pengenceran 1x dimiliki oleh ekstrak sampel kontrol rendang (26,26%), kemudian diikuti oleh sampel DIPA 14 Juni 2007 (22,19%), sampel No Label 14 Juni 2007 (21,48%), dan paling kecil adalah sampel 11 Nov 2006 (11,74%). Pada pengenceran 2x, kapasitas antioksidan terbesar masih dimiliki oleh kontrol rendang (24,07%), diikuti ekstrak sampel DIPA 14 Juni 2007 (23,59%), sampel 11 Nov 2006 (23,52%) dan sampel No Label 14 Juni 2007 (21,78%). Sementara pada pengenceran 4x, sampel DIPA 14 Juni 2007 memiliki kapasitas antioksidan paling tinggi
88
(24,37%) dan sampel 11 Nov 2006 memiliki persentase kapasitas antioksidan yang hampir sama besar (24,30%), diikuti oleh sampel No Label 14 Juni 2007 (22,78%) dan sampel kontrol yang memiliki kapasitas antioksidan 22,63%. Kapasitas antioksidan sampel 11 November 2006, DIPA 14 Jun 2007 dan No Label 14 Jun 2007 berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol, juga berbeda nyata antar masing-masing sampel pada taraf kepercayaan 95% maupun 99%. Kontrol memiliki kapasitas antioksidan yang paling tinggi dibandingkan dengan sampel-sampel iradiasi. Dari grafik di atas juga dapat diamati bahwa satu-satunya sampel dengan kecenderungan berbeda dengan meningkatnya pengenceran adalah sampel kontrol rendang. Sampel kontrol merupakan sampel rendang non-iradiasi. Antioksidan yang ada pada sampel rendang iradiasi kemungkinan sudah terpakai untuk melawan radikal bebas yang mungkin digenerasi selama iradiasi, supaya tidak terjadi oksidasi lemak yang besar, dan kualitas pangan tetap terjaga. Radiasi pengion menghasilkan radikal hidroksil dalam sistem aqueous atau emulsi minyak. Karena sel-sel otot terdiri dari 75% air, diperkirakan iradiasi akan menghasilkan radikal hidroksil dalam jumlah besar dan mengakselerasi oksidasi lipida dalam daging. Iradiasi juga menghasilkan radikal hidrogen peroksida dalam keadaan aerobik, yang dapat menghasilkan radikal hidroksi dengan adanya ion besi atau pigmen heme (Ahn, 2006). Meningkatnya kapasitas antioksidan dengan pengenceran juga menguatkan hal ini bahwa radikal hidroksi yang mungkin ada pada sampel dapat menyerang substrat baru yaitu air sehingga terbentuk radikal-radikal baru yang kemudian dinetralkan oleh DPPH.
89
Gambar 18. Grafik perbandingan kapasitas antioksidan sampel iradiasi setara konsentrasi asam askorbat
Sementara itu, jika dibandingkan dengan kurva standar asam askorbat,
sampel
kontrol
pengenceran
1x
memiliki
kapasitas
antioksidan setara asam askorbat sebesar 306,55 ppm, sementara pengenceran 2x memiliki kapasitas antioksidan setara asam askorbat sebesar 279,73 ppm, dan pengenceran 4x sebesar 262,00 ppm. Sementara sampel 11 Nov 06 memiliki kapasitas antioksidan setara asam askorbat dengan meningkatnya pengenceran berturut-turut sebesar 128,36 ppm; 272,91 ppm, 282,45 ppm. Sampel rendang DIPA 14 Juni 2007 memiliki kapasitas antioksidan setara asam askorbat dengan meningkatnya pengenceran berturut-turut sebesar 256,55 ppm; 273,82 ppm; dan 283,36 ppm. Sampel No label 14 Juni 2007 memiliki kapasitas antioksidan setara asam askorbat dengan meningkatnya pengenceran sebesar 247,91 ppm; 251,55 ppm; dan 263,82 ppm. Umumnya sampel iradiasi memiliki kecenderungan untuk memiliki kapasitas antioksidan setara asam askorbat yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya pengenceran.
90
E. KADAR MALONALDEHIDA EKSTRAK RENDANG IRADIASI Radikal bebas dalam bahan pangan sulit untuk diukur secara langsung karena radikal bebas merupakan molekul reaktif. Oleh karena itu, radikal bebas diukur dengan cara mengukur produk sampingnya yang terbentuk melalui reaksi radikal bebas. Salah satu reaksi radikal bebas adalah peroksidasi lipida. Peroksidasi lipida diukur secara tidak langsung dengan mengukur produk sekundernya yaitu malonaldehida (Tukozkan et al., 2006). Draper dan Haley (1990) menyatakan bahwa salah satu cara memperkirakan aktivitas radikal bebas dan peroksidasi lipida adalah dengan mengukur konsentrasi malonaldehida (MDA), yang merupakan uji yang banyak digunakan dan merupakan uji saringan awal yang mudah. Analisis MDA merupakan analisis kadar radikal bebas secara tidak langsung dan mudah dalam menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk. Analisis radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan karena senyawa radikal sangat tidak stabil dan bersifat elektrofil dan reaksinya pun berlangsung sangat cepat (Gutteridge, 1996).
MDA merupakan aldehida yang memiliki 3 atom karbon
dengan berat molekul rendah dan merupakan produk pemecahan spontan dari peroksida yang dapat dihasilkan dari serangan radikal bebas pada asam lemak tidak jenuh (Tukozkan et al., 2006). Maka, analisis MDA juga dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar kerusakan akibat serangan radikal bebas pada molekul biologis.
1. Pengukuran konsentrasi malonaldehida dengan metode spektrofotometri Analisis MDA dengan TBA telah banyak dilakukan untuk mengukur peroksidasi lipida. Metode ini menggunakan prinsip spektrofotometri yang berdasarkan pemanasan sampel dalam suasana asam untuk membentuk kompleks MDA-TBA yang
91
berwarna merah jambu yang kemudian diukur intensitasnya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm. Senyawa 1,1,3,3-tetraetoksipropana (TEP) digunakan dalam pembuatan kurva standar karena TEP dapat dioksidasi dalam suasana asam menjadi senyawa aldehid yang dapat bereaksi dengan TBA (Conti et al., 1991). Metode spektrofotometri sederhana digunakan untuk mengukur konsentrasi malonaldehida yang terdapat pada sampel rendang maupun sampel kontrol (tanpa iradiasi). Dalam metode ini, ekstrak sampel yang diuji kadar malonaldehidanya adalah sampel rendang yang diiradiasi maupun yang tidak diiradiasi (sebagai kontrol). Sampel rendang yang diiradiasi adalah sampel 11 November 2006, DIPA, dan 14 Juni 2007 No Label 14 Juni 2007. Kemudian, baik ekstrak sampel rendang iradiasi maupun kontrol direaksikan dengan 15% TCA, 0,38% TBA, dan 0,5% BHT dalam HCl 0,25 N. Asam trikloroasetat (TCA) berfungsi untuk mengendapkan protein yang ada pada sampel, sementara butylated hydroxytoluene (BHT) berfungsi sebagai antioksidan. Pemanasan yang dilakukan berfungsi untuk menghidrolisis peroksida lipid sehingga dapat membebaskan malonaldehida yang terikat dalam kompleks. Larutan TEP yang digunakan memiliki variasi konsentrasi 0, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 175, 200, dan 250 pmol/ml. Larutan TEP ini kemudian direaksikan dengan
TBA
dan
diperoleh
absorbansi
yang
diukur
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm. Konsentrasi larutan TEP beserta absorbansi yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 6.
92
Tabel 6. Hasil pengukuran kurva standar TEP Konsentrasi standar TEP (pmol/ml)
Absorbansi
0
0,089
25
0,170
50
0,269
75
0,313
100
0,384
125
0,440
150
0,508
175
0,534
200
0,640
250
0,730
Data absorbansi dan konsentrasi TEP standar kemudian diplotkan menjadi kurva standar. Dari kurva standar tersebut didapatkan persamaan y = 0.0025x + 0.1172 dengan R2 = 0, 9912, dengan sumbu x menyatakan konsentrasi TEP dan y adalah absorbansi yang dibaca oleh spektrofotometer. Kurva standar yang didapatkan adalah sebagai berikut seperti ditampilkan di gambar 19.
93
Gambar 19. Kurva standar larutan TEP
2. Pengukuran kadar malonaldehida sampel iradiasi Konsentrasi malonaldehida yang terukur pada ekstrak sampel
rendang
ditunjukkan
pada
iradiasi gambar
maupun 20
non-iradiasi
terlihat
bahwa
(kontrol) kisaran
konsentrasinya masih ada dalam kisaran kurva standar yang dibuat.
Gambar 20. Grafik perbandingan konsentrasi malonaldehida antara sampel rendang iradiasi dan non-iradiasi 94
Sampel yang memiliki konsentrasi malonaldehida paling tinggi dibandingkan sampel-sampel yang lain yang diukur pada pengukuran kadar malonaldehida ini adalah sampel kontrol. Ekstrak sampel kontrol rendang tanpa pengenceran memiliki kadar malonaldehida sebesar 173,92 pmol/ml, ekstrak sampel yang diiradiasi tanggal 14 Juni 2007 No label tanpa pengenceran menunjukkan kadar malonaldehida terbesar kedua yaitu 153,12 pmol/ml, sementara itu ekstrak sampel 11 November 2006 tanpa pengenceran memiliki kadar malonaldehida sebesar 131,20 pmol/ml. Analisis
statistik
yang
dilakukan
terhadap
kadar
malonaldehida ekstrak sampel-sampel iradiasi dan kontrol noniradiasi menunjukkan hasil bahwa sampel-sampel iradiasi dan kontrol
non-iradiasi
tidak
berbeda
nyata
kadar
malonaldehidanya. Pada pengenceran 2x, dapat
dilihat
bahwa kadar
malonaldehida tertinggi masih pada ekstrak sampel kontrol (83,12 pmol/ml) meski jumlahnya tidak jauh berbeda dengan kadar malonaldehida pada ekstrak sampel 14 Juni 2007 no label (80,92 pmol/ml). Sementara itu, untuk ekstrak sampel 11 November 2006, kadar malonaldehidanya adalah sebesar 50,72 pmol/ml dan 51,12 pmol/ml pada ekstrak sampel DIPA. Begitu pula yang terlihat pada pengenceran 4x. Ekstrak sampel kontrol masih memiliki kadar malonaldehida yang paling tinggi (44,12 pmol/ml), diikuti oleh ekstrak sampel 14 Juni 2007 (31,72 pmol/ml), 11 November 2006 (21,52 pmol/ml) dan DIPA (8,32 pmol/ml). Analisis statistik yang dilakukan terhadap pengaruh pengenceran pada kadar MDA tiap sampel iradiasi memberikan hasil pada sampel 11 November 2006, pengenceran berpengaruh nyata terhadap kadar MDA pada taraf signifikansi 95%,
95
sementara
pada
taraf
signifikansi
99%,
sampel
tanpa
pengenceran berbeda nyata dengan sampel pengenceran 2x dan 4x, dan sampel pengenceran 2x tidak berbeda nyata dengan sampel pengenceran 4x. Ekstrak DIPA 14 Juni 2007 1x berbeda nyata dengan sampel 4x akan tetapi tidak berbeda nyata dengan sampel pengenceran 2x, dan ekstrak pengenceran 2x tidak berbeda nyata dengan pengenceran 4x. Ekstrak No Label 14 Juni 2007 1x tidak berbeda nyata baik dengan pengenceran 2x maupun 4x pada taraf signifikansi 95%. Salah satu kepedulian mengenai daging iradiasi adalah efeknya pada oksidasi lipida, warna dan produksi off-odor (Ahn dan Jo, 1999a). Iradiasi dapat menghasilkan sejumlah besar radikal hidroksi pada daging karena lebih dari 75% sel otot terdiri dari air (Thakur and Singh, 1994). Radikal lipida akan dibentuk via reaksi radikal bebas dan hidroperoksida lipida akan terbentuk
ketika
oksigen
tersedia.
Reineccius
(1979)
mengusulkan bahwa senyawa karbonil merupakan senyawa yang memainkan peranan penting dalam menyebabkan odor iradiasi dan bahwa intensitas odor tersebut tergantung pada kandungan oksigen selama iradiasi. Al-Kahtani et al. (1996) dan Hampson et al. (1996) melaporkan bahwa iradiasi gamma pada dosis 1,5 sampai 10 kGy meningkatkan nilai TBARS pada daging kalkun dan ikan. Perubahan kimia oksidatif yang diinduksi oleh iradiasi tergantung pada dosis dan adanya oksigen memiliki efek signifikan pada laju oksidasi (KatusinRazem et al., 1992; Thayer et al., 1993). Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa pada daging mentah yang diiradiasi, kadar malonaldehidanya lebih tinggi dibanding daging mentah yang tidak diiradiasi. Ahn dan Jo (1999b) membandingkan daging babi dalam bentuk patties yang diiradiasi dengan dosis rendah yang berbeda jenis pengemasnya. Penelitiannya menunjukkan bahwa patties yang diiradiasi pada
96
4,5 kGy memiliki nilai TBARS daripada yang dosisnya 1,5 kGy maupun kontrol yang tidak diiradiasi. Nilai TBARS pada patties yang diiradiasi meningkat secara tajam pada patties yang dikemas dengan pengemas aerobik, tetapi efek iradiasi hilang setelah satu minggu penyimpanan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya dan dapat diartikan bahwa kondisi penyimpanan atau ketersediaan oksigen lebih berpengaruh pada oksidasi lipida daripada iradiasi itu sendiri. Chae (2005) dalam studi mengenai penambahan asam linoleat terkonjugasi pada patties iradiasi yang dimasak melaporkan bahwa pada hari-hari awal penyimpanan, memang nilai TBARS lebih tinggi daripada kontrol yang tidak diiradiasi, tetapi setelah 7 hari, sampel yang diiradiasi memiliki nilai TBARS yang lebih kecil dibandingkan dengan sampel tanpa iradiasi. Pada pengukuran kadar malonaldehida ini, sampel kontrol memiliki kadar malonaldehida yang lebih besar daripada sampel yang diiradiasi. Hal ini memiliki dua kemungkinan penyebab. Sampel merupakan rendang yang diiradiasi. Seperti diketahui, dalam pembuatannya, rendang merupakan daging yang dimasak dengan ditambahkan rempah-rempah sebagai bumbu. Di sisi lain, kadar malonaldehida merupakan indikator secara tidak langsung terjadinya proses oksidasi lipida oleh radikal bebas, sehingga terdapat kemungkinan bahwa pada sampel yang diiradiasi, antioksidan yang terdapat pada rempah-rempah bekerja dalam menurunkan laju oksidasi lipida pada sampel yang diiradiasi. Dapat ditambahkan pula, rendang iradiasi dikemas dalam kemasan vakum, sehingga terekspos minimal dengan oksigen yang juga akan mencegah rendang iradiasi mengalami oksidasi lipida secara besar-besaran setelah proses iradiasi. Artinya, antioksidan yang ada pada rendang iradiasi hanya bekerja menghambat proses oksidasi lipida yang mungkin
97
diinduksi proses iradiasi. Sementara pada sampel kontrol (noniradiasi), meskipun juga dalam pembuatannya ditambahkan rempah-rempah sebagai bumbu, namun laju oksidasi lipida pada saat pengukuran lebih tinggi karena pengemas rendang noniradiasi yang dijadikan sebagai kontrol merupakan kemasan yang permeabel terhadap oksigen sehingga antioksidan yang terdapat dalam rempah-rempah tidak hanya digunakan untuk menghambat oksidasi lipida yang sudah ada pada awal (pada daging mentahnya), tetapi juga oksidasi lipida yang terjadi akibat paparan oksigen terhadap sampel yang terjadi selama masa penyimpanan. Hasil studi Lee et al. (1996) menyatakan bahwa pengeluaran oksigen dari kemasan produk yang diiradiasi dapat membantu mengurangi oksidasi lipida. Hal ini juga dinyatakan pada studi Ahn et al. (1998) yang melaporkan bahwa patties yang diiradiasi memiliki TBARS yang lebih rendah daripada patties non-iradiasi yang disimpan pada kantong permeabel oksigen. Apalagi, sampel yang iradiasi yang diuji ini merupakan daging yang dimasak. Ahn et al. (1998) juga menyebutkan bahwa pada daging yang dimasak, proses oksidasi lipida terjadi sangat cepat. Dengan penambahan bumbu-bumbu yang mengandung antioksidan, diharapkan dapat meningkatkan umur simpan daging. Hal ini didukung oleh pernyataan Lee et al. (1999) bahwa studi-studi awal yang telah dilakukan menunjukkan bahwa umur simpan daging diperbaiki oleh antioksidan dengan meningkatnya umur simpan yang diperkuat oleh Karadag dan Gunes (2008) yang menyatakan bahwa penggunaan antioksidan, herba, dan rempah-rempah menghambat oksidasi lipida pada produk daging. Selain itu, produk rendang iradiasi ini dibekukan. Suhu selama proses iradiasi juga berpengaruh terhadap perubahan radiolitik. Pembekuan dapat memiliki efek perlindungan yang
98
kuat. Intermediet reaktif dari radiolisis air terjebak dalam bahan yang di-deep frozen sehingga tidak dapat bereaksi satu sama lain atau dengan substrat. Selama proses penaikan suhu kembali, radikal bebas ini mampu bereaksi kembali lebih dengan sesamanya daripada dengan substrat (Diehl, 1995). Nilai TBA menyatakan derajat ketengikan produk dan menurut penelitian Kose et al. (2001) yang mengukur nilai TBA produk ikan, nilai di atas 3-4 mg malonaldehida/kg daging menunjukkan kualitas yang buruk dari produk.
99