IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK BIJI BINTARO Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyiapkan bahan yang digunakan pada ekstraksi minyak. Proses diawali dengan sortasi buah bintaro yang akan diolah. Sortasi dimaksudkan untuk memisahkan buah bintaro berdasarkan atas tingkat kematangannya. Tingkat kematangan dalam proses sortasi buah bintaro didasarkan atas buah bintaro yang muda (berwarna hijau), buah bintaro yang matang (berwarna merah), dan buah bintaro berkecambah. Buah bintaro yang muda biasanya masih terdapat pada tangkai pohon bintaro. Sementara itu buah bintaro yang sudah matang dan berkecambah buahnya sudah gugur dari tangkai pohon. Buah bintaro yang berkecambah ditandai dengan adanya kecambah yang terdapat pada buah. Perubahan tingkat kematangan buah bintaro dapat dilihat pada Gambar 10.
(a) (b) (c) Gambar 10. (a) buah bintaro muda, (b) buah bintaro matang, dan (c) buah bintaro berkecambah (Pranowo 2010) Buah bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda kemudian dicuci dengan air bersih untuk membersihkan kotoran – kotoran yang menempel pada kulit buah yang dapat menyebabkan terjadinya pembusukkan. Setelah itu buah ditempatkan pada wadah (karung) sesuai dengan tingkat kematangan buah masing – masing. Buah bintaro yang telah dibersihkan dikupas dengan menggunakan golok sehingga didapatkan biji bintaro yang berwarna putih dan berbentuk pipih. Biji bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda – beda tersebut dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 55 °C selama 48 jam. Kemudian, biji bintaro yang siap diolah tersebut dilakukan analisis proksimat. Analisa proksimat merupakan analisa kimia yang digunakan untuk mengetahui kandungan komponen nutrisi dari suatu bahan sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis selanjutnya. Analisis proksimat terdiri atas kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat, dan kadar karbohidrat (by different). Hasil analisa prosimat biji bintaro dapat dilihat pada Tabel 8.
Komposisi Biji
Tabel 8. Komposisi kimia biji bintaro kering Biji Muda Biji Matang
Biji Berkecambah
Kadar Air (%)
1,53
1.44
2,09
Kadar Abu (%)
1,97
2,58
2,63
Kadar Lemak (%)
55,04
59,58
45,56
Kadar Protein (%)
15,29
12,84
12,39
Kadar Serat (%)
16,18
18,75
13,77
Kadar karbohidrat (by
11,51
6,33
25,62
different) (%)
18
Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak (lemak) merupakan komponen tertinggi dalam biji bintaro sehingga biji bintaro cukup potensial digunakan sebagai sumber minyak nabati. Kadar minyak (lemak) terbesar adalah biji bintaro matang dan biji bintaro muda yaitu sebesar 59,58 persen dan 55,04 persen, sementara kadar minyak (lemak) biji bintaro terkecil adalah biji bintaro berkecambah yaitu 45,56 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar lemak mengalami kenaikan seiring dengan tingkat kematangan buah kecuali biji berkecambah. Bertambahnya kadar lemak pada buah yang muda dengan buah yang matang disebabkan oleh adanya metabolisme pembentukan lemak yang terjadi selama tingkat kematangan buah. Menurut Ketaren (1986) proses pembentukan lemak dalam tananaman terdiri atas 3 tahap yaitu sintesis gliserol, sintesis asam lemak, dan kondensasi gliserol yang merupakan hasil serangkaian reaksi kompleks dalam metabolisme. Sementara itu, kadar lemak dalam biji berkecambah mengalami penurunan karena karena lemak tersebut digunakan sebagai cadangan makanan untuk pembentukan struktur membran sel (Junaidi 2010). Selain itu, dikarenakan kadar minyak yang tinggi maka minyak biji bintaro cocok untuk diekstrak dengan menggunakan alat kempa mekanis seperti yang dinyatakan oleh Ketaren (1986), pengepresan mekanis dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30 – 70 persen). Kadar air terendah terdapat pada biji muda sebesar 1,53 persen dan biji matang sebesar 1,44 persen. Sementara itu, kadar air tertinggi terdapat pada biji berkecambah yaitu sebesar 2,09 persen. Sehingga dengan pertambahan tingkat kematangan buah cenderung menaikkan kadar air yang terdapat di dalamnya kecuali biji bintaro matang. Hal tersebut sesuai dengan literatur karena terjadinya proses respirasi pada buah seiring dengan tingkat kematangan buah. Respirasi didefinisikan sebagai perombakan senyawa komplek yang terdapat pada sel seperti pati, gula dan asam organik menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti karbondioksida, dan air, dalam waktu bersamaan memproduksi energi dan senyawa lain yang dapat digunakan sel untuk reaksi sintetis. Laju respirasi per unit berat adalah tertinggi untuk buah dan sayur yang belum matang dan kemudian terus menerus menurun dengan bertambahnya umur (Fauzi 2011). Nilai kadar air ini dapat menunjukkan bahwa biji bintaro siap untuk diolah. Kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan hidrolisa minyak. Selain itu, pada proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut jumlah kadar air merupakan faktor penting karena kandungan air di dalam bahan akan mempengaruhi efektifitas pelarut dalam melarutkan minyak. Kadar air yang tinggi akan memperpanjang proses pemisahan air pada tahap evaporasi. Kadar protein tertinggi terdapat pada buah yang muda yaitu 15,29 persen dilanjutkan dengan biji matang yaitu 12,84 persen. Sementara itu, kadar protein terkecil didapatkan pada buah yang sudah berkecambah yaitu 12,39 persen. Kadar protein mengalami penurunan seiring dengan kematangan buah. Wirahadikusumah (1989) menyatakan bahwa menurunnya kadar protein di dalam buah dengan semakin meningkatnya umur buah disebabkan karena dalam proses pematangannya sebagian besar protein (asam amino) disintesis menjadi lemak. Lemak berfungsi dalam pertumbuhan struktur membran sel. Pada proses ekstraksi, protein akan terurai dan menghasilkan senyawa – senyawa yang larut dalam minyak. Hal ini dapat menyebabkan warna minyak menjadi lebih gelap. Menurut Ketaren (1986) pigmen cokelat yang terdapat pada minyak atau lemak disebabkan karena terjadi reaksi molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehid serta gugus amin dari molekul protein dan yang disebabkan karena aktivitas enzim – enzim, seperti phenol oxidase, polyphenol oxidase, dan sebagainya. Kadar serat mengalami peningkatan pada buah yang muda (16,18 persen) menjadi 18,75 persen pada buah yang matang. Hal tersebut disebabkan karena pada tahap awal daging buah tersusun dari gula sederhana, namun komponen sel belum terisi oleh selulosa secara sempurna sehingga kandungan gula yang terdapat dalam buah dikonversi menjadi selulosa seiring dengan meningkatnya tingkat kematangan buah (Rindengan et al 1996). Sementara, pada buah yang berkecambah memiliki
19
kadar serat yang paling rendah (13,77 persen) karena enzim selulosa yang terbentuk akan aktif merombak polisakarida menjadi monosakarida sebagai cadangan energi dalam pembentukan embrio (Rindengan et al. 1996). Kadar abu (mineral) merupakan bagian berat mineral dari bahan yang didasarkan atas berat keringnya. Abu adalah zat anorganik yang tidak menguap, sisa hasil proses pembakaran dan oksidasi. Kadar abu terendah terdapat pada biji muda sebesar 1,97 persen dan kadar abu yang paling tinggi terdapat pada biji yang berkecambah sebesar 2,63 persen. Semakin tinggi tingkat kematangan buah semakin tinggi kadar abu yang dimiliki. Kadar abu menyatakan besarnya kandungan bahan – bahan anorganik yang terdapat di dalam suatu bahan. Nilai kadar abu dipengaruhi oleh tempat tumbuh, keadaan tanah, dan pemberian unsur hara pada tanaman. Kadar abu dalam tumbuhan naik karena unsur organik yang terdapat di dalam tanaman digunakan dalam proses metabolisme tumbuhan (Setiono 2010).
4.2. KARAKTERISTIK MINYAK BIJI BINTARO Ekstraksi minyak biji bintaro dilakukan dengan dua metode, yaitu metode mekanis (hydraulic presser dan hot presser hydraulic) dan metode ekstraksi dengan pelarut n-heksana. Ekstraksi dengan alat hydraulic presser dilakukan pada tekanan 20 ton pada suhu ruang. Sementara itu, ekstraksi dengan menggunakan alat hot press hydraulic dilakukan dengan mengepress minyak pada tekanan 20 ton pada suhu 60 – 70 °C. Ekstraksi dengan pelarut n-heksana dilakukan dengan metode maserasi pada suhu ruang selama ±15 jam dan suhu 40 °C selama 6 jam, dengan perbandingan pelarut adalah 1:3 (w/v). Minyak yang dihasilkan dari setiap perlakuan kemudian dianalisa beberapa sifat fisiko kimianya dan juga dihitung rendemen yang dihasilkan. Hasil ekstraksi minyak biji bintaro dapat dilihat pada Gambar 11.
(a) (b) (c) Gambar 11. (a) minyak hydraulic pressing, (b) minyak hot hydraulic pressing, (c) minyak ekstraksi maserasi.
4.2.1. Kadar Asam Lemak Bebas (FFA) Kadar asam lemak bebas (Free Fatty Acid) merupakan jumlah asam lemak yang terkandung di dalam minyak dan dihitung berdasarkan bobot molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak asam lemak bebas terbentuk pada reaksi hidrolisis trigliserida. Melalui proses hidrolisis, trigliserida dirombak menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Nilai bilangan asam dan FFA dapat digunakan untuk menentukan kualitas minyak. Semakin tinggi bilangan asam yang dikandung minyak maka semakin tinggi pula tingkat kerusakan minyak (Ketaren, 1986). Penelitian kadar asam lemak bebas minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 12.
20
Fat Fatty Acid (%)
5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 Kecambah
Hydraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 12. Pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi minyak biji bintaro terhadap kadar asam lemak bebas (FFA). Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik, kadar asam lemak bebas terbesar terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah yang berkecambah dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut n- heksana sebesar 4,54 persen dan kadar asam lemak bebas terkecil terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro muda sebesar 0,31 persen dengan metode ekstraksi hydraulic pressing. Dari hasil data keseluruhan, kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak biji bintaro menyerupai kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak jarak sebesar 0,18 persen – 3,40 persen (Achten et al, 2008), lebih rendah dibanding minyak kelapa sawit sebesar 3 sampai 5 persen (Ketaren, 1986), dan lebih rendah dibandingkan dengan minyak nyampung sebesar 7,4 persen (Sudrajat, 2007). Berdasarkan hasil keragaman (Lampiran 3), faktor tingkat kematangan buah memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak biji bintaro. Dari hasil uji Duncan didapatkan perbedaan yang sangat nyata antara rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dari buah bintaro muda sebesar 1,18 persen dengan rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dari buah bintaro matang sebesar 2,15 persen dan rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dari buah bintaro berkecambah sebesar 2,94 persen. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan buah maka kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam buah semakin tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan karena kadar air yang cenderung mengalami peningkatan selama proses kematangan buah yang dapat dilihat dari hasil analisis proksimat. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya proses hidrolisis minyak. Menurut Ketaren (1986), dalam reaksi hidrolisa, minyak atau lemak akan dubah menjadi asam – asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis yang dapat mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang menghasilkan flavor dan bau yang tengik pada minyak tersebut. Reaksi hidrolisis minyak atau lemak dapat ditunjukkan pada Gambar 13.
21
O CH2 – O – C – R O H+ O CH – O – C – R+ 3 HOH 3R – C – OH O CH2 – O – C – R trigliserida gliserol asam lemak Gambar 13. Persamaan reaksi hidrolisis minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Pembentukan asam lemak bebas pada minyak dapat terjadi karena proses pengolahan (penyiapan bahan). Menurut Ketaren (1986), proses hidrolisis dapat berlangsung pada waktu minyak masih berada dalam jaringan biji yang telah dipanen, selama pengolahan, dan penyimpanan. Selain itu lemak hewan dan nabati yang masih berada dalam jaringan, biasanya mengandung enzim yang dapat menghidrolisis lemak. Berdasarkan hasil keragaman, faktor metode ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak. Dari hasil uji Duncan tidak didapatkan perbedaan yang sangat nyata antara rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dengan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 1,37 persen dengan rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dengan metode ekstraksi hot press hydraulic sebesar 1,75 persen. Sementara itu, kedua metode ekstraksi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap rata – rata kadar asam lemak bebas dengan metode ekstraksi dengan pelarut n – heksana sebesar 3,16 persen. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa metode ekstraksi dengan menggunakan alat hydraulic presser menghasilkan kadar asam lemak bebas yang lebih rendah dibanding dengan ekstraksi minyak dengan menggunakan alat hot hydraulic presser. Hal tersebut disebabkan karena suhu yang digunakan pada ekstraksi hot hydraulic pressing lebih tinggi dibandingkan dengan hydraulic pressing. Menurut Ketaren (1986), pemanasan mengakibatkan tiga macam perubahan kimia dalam lemak yaitu terbentuknya peroksida dalam asam lemak tidak jenuh, peroksida berdekomposisi menjadi persenyawaan karbonil, dan terjadinya polimerasi oksidasi sebagian. Jika minyak dipanaskan pada suhu tinggi maka lapisan permukaan minyak panas akan kontak dengan oksigen. Dekomposisi minyak dengan adanya udara terjadi pada suhu lebih rendah (190 °C) daripada tanpa udara (240 °C260 °C) sehingga dekomposisi minyak tidak terjadi pada proses ini karena suhu yang digunakan lebih rendah. Thermal polimerisasi terjadi jika minyak dipanaskan pada suhu sekitar 250 °C tanpa oksigen sehingga tidak terjadi juga thermal polimerisasi di dalam minyak. Sedangkan yang terjadi adalah oksidasi thermal dimana dalam proses ekstraksi dengan mekanis minyak sudah bersentuhan dengan oksigen dan dengan adanya pemanasan maka akan meningkatkan laju oksidasi. Namun minyak yang dihasilkan dari hot press hydraulic ataupun hydraulic pressing tidak berbeda nyata karena suhu yang digunakan berada di bawah titik didih minyak. Sementara itu minyak yang dihasilkan dengan menggunakan pelarut heksana memiliki kandungan asam lemak bebas yang paling tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan karena terjadinya reaksi hidrolisis yang terdapat di dalam minyak. Reaksi hidrolisis dapat terjadi karena suhu yang digunakan pada saat ekstraksi lebih rendah dibanding titik didih air dan ekstraksi berlangsung lebih lama dibanding dengan ekstraksi secara mekanis. Berdasarkan hasil analisa keragaman, faktor metode ekstraksi minyak dan faktor tingkat kematangan buah tidak memilki interaksi anatara satu dengan yang lainnya secara nyata baik pada tingkat 5 persen ataupun pada tingkat 1 persen. Berdasarkan penelitian ini, maka kadar asam lemak bebas yang terbaik terdapat pada minyak biji bintaro yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan tingkat kematangan buah yang muda dan menggunakan metode ekstraksi minyak hydraulic pressing.
22
4.2.2. Bobot Jenis Minyak (Densitas)
Densitas (gr/ml)
Bobot jenis adalah perbandingan berat dari suatu volume contoh pada suhu tertentu dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Alat yang digunakan dalam pengukuran densitas minyak adalah piknometer (Ketaren,1986). Bobot jenis yang terdapat di dalam minyak ditentukan oleh jumlah komponen yang terdapat di dalam minyak. Semakin banyak komponen yang terdapat dalam minyak maka bobot jenis akan semakin besar. Penelitian besarnya bobot jenis (densitas) minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 14. 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Kecambah
Hidraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 14. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bobot jenis minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bobot jenis tertinggi terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro yang berkecambah dengan menggunakan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 0,9062 g/ml dan yang paling rendah adalah minyak yang berasal dari buah bintaro yang berkecambah dengan menggunakan metode ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 0,8984 g/ml. Sementara itu, hasil analisis keragaman (Lampiran 4) menunjukkan bahwa faktor tingkat kematangan buah bintaro dengan faktor metode ekstraksi minyak tidak berpengaruh secara nyata terhadap bobot jenis minyak bintaro yang dihasilkan. Hal tersebut dapat disebabkan karena bobot jenis merupakan sifat fisis minyak sehingga setiap minyak memiliki bobot jenis yang berbeda pada rentang tertentu. Bobot jenis semakin besar dengan semakin tingginya ketidakjenuhan asam lemak yang dikandungnya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa minyak biji bintaro memiliki bobot jenis minyak pada rentang 0,8984 g/ml dan 0,9062 g/ml.
4.2.3. Bilangan Iod Minyak Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak dan lemak mampu menyerap sejumlah iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menujukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh 100 gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Bilangan iod merupakan parameter penting dalam menentukan mutu minyak. Semakin tinggi bilangan iod menunjukkan jumlah ikatan rangkap di dalam minyak semakin banyak.
23
Bilangan Iod (I2/100 gr minyak)
Menurut Ketaren (1986), bilangan iod dapat digunakan untuk menggolongkan minyak sebagai minyak mengering dan bukan mengering. Minyak yang mempunyai bilangan iod lebih dari 130 digolongkan sebagai minyak mengering, sedangkan minyak yang mempunyai bilangan iod antara 100 sampai 130 bersifat setengah mengering dan bilangan iod kurang dari 100 bersifat tidak mongering. Jenis minyak mengering (drying oil) adalah minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi, dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental, dan membentuk sejenis selaput bila dibiarkan di udara terbuka. Istilah minyak “setengah mengering” berupa minyak yang memiliki daya mengering lebih lambat. Penelitian nilai bilangan iod minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 15. 100 80 60 40 20 0 Kecambah
Hydraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut hekasana
Gambar 15. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan iod minyak biji bintaro. Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik, bilangan iod tertinggi terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah dengan metode ekstraksi maserasi dengan pelarut nheksana sebesar 85,19 I2/100 gram minyak dan bilangan iod terendah terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro matang dengan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 51,08 I2/100 gram. Berdasarkan bilangan iod yang diperoleh maka minyak biji bintaro termasuk ke dalam minyak yang tidak mengering dimana kandungan bilangan iod yang dihasilkan cukup rendah. Nilai bilangan iod minyak biji bintaro lebih rendah dibanding dengan minyak jarak pagar sebesar 92 – 112 I2/100 gram (Achten et al. 2008) dan minyak biji nyamplung sebesar 86,42 I2/100 gram (SNI 2006). Sementara itu minyak biji bintaro memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak kelapa sawit sebesar 45 – 56 I2/100 gram (Ketaren, 1986). Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 5), tingkat kematangan buah memiliki pengaruh yang nyata terhadap bilangan iod minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan bahwa buah bintaro yang matang memiliki minyak dengan rata – rata bilangan iod sebesar 57,67 I2/100 gram yang berbeda nyata dengan rata – rata bilangan iod minyak yang dihasilkan dari buah bintaro yang muda sebesar 67,89 I2/100 gram dan rata – rata bilangan iod minyak buah bitaro berkecambah sebesar 74,09 I2/100 gram. Berdasarkan hasil yang didapat, minyak bintaro dari buah berkecambah rentan terhadap terjadinya oksidasi minyak dibandingkan dengan minyak yang berasal dari buah bintaro muda dan minyak bintaro dari buah yang sudah matang. Menurut Ketaren (1986), ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh dapat bereaksi secara adisi dengan hidrogen, oksigen, halogen, dan sulfur yang dapat menurunkan bilangan iod minyak. Reaksi adisi tersebut mengakibatkan ikatan rangkap pada minyak berkurang sehingga bilangan iod menurun.
24
Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa metode esktraksi minyak biji bintaro berpengaruh secara nyata terhadap bilangan iod minyak yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan bahwa rata – rata bilangan iod terbesar terdapat pada minyak biji bintaro dengan metode ekstraksi dengan pelarut n-heksana sebesar 70,87 I2/100 gram dilanjutkan dengan minyak biji bintaro dengan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 65,30 I2/100 gram, dan metode ekstraksi hot hydraulic pressing menghasilkan minyak biji bintaro dengan rata – rata bilangan iod terkecil yaitu 63,49 I2/100 gram. Rendahnya bilangan iod minyak biji bintaro hasil hot hydraulic pressing dapat disebabkan karena telah terjadi sejumlah reaksi oksidasi pada ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ketaren (1986) bahwa kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara terbuka akan bertambah dengan kenaikkan suhu. Suhu yang tinggi selama pengempaan mendorong terjadinya reaksi kimia pada komponen – komponen minyak sehingga terjadi perubahan pada komponen – komponen minyak tersebut. Sementara itu, pada ekstraksi dengan menggunakan pelarut n-heksana menghasilkan bilangan iod yang tinggi karena suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi dan ekstraksi dilakukan pada tempat yang tertutup rapat sehingga kecil kemungkinan oksigen dapat masuk. Berdasarkan hasil analisa keragaman, faktor tingkat kematangan buah dengan metode ekstraksi minyak memiliki interaksi secara nyata baik pada tingkat 5 persen dan 1 persen. Hal tersebut dapat disebabkan karena semakin tinggi tingkat kematangan buah menyebabkan semakin banyaknya jumlah asam lemak tidak jenuh yang terdapat di dalam minyak sehingga apabila masing – masing biji bintaro akan menghasilkan bilangan iod yang berbeda tergantung dari metode ekstraksi yang dilakukan. Dari hasil uji Duncan didapatkan bahwa kombinasi perlakuan A1B2 tidak memiliki perbedaan yang nyata terhadap kombinasi perlakuan A3B2 pada tingkat 1 persen. Berdasarkan bilangan iod yang dihasilkan dari penelitian ini, untuk mendapatkan minyak biji bintaro yang memiliki asam lemak tidak jenuh paling banyak berasal dari minyak biji bintaro dari buah yang berkecambah dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana.
4.2.4. Bilangan Penyabunan Minyak Bilangan penyabunan adalah jumlah mg KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Apabila sejumlah contoh minyak atau lemak disabunkan dengan larutan KOH akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan satu molekul minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan titrasi menggunakan asam, sehingga jumlah alkali yang turut bereaksi dapat diketahui (Ketaren, 1986). R1COO – CH2 R2COO – CH
R1COOK + 3 KOH
R2COOK
HOCH2 +
HOCH
R3COO – CH2
R3COOK
HOCH2
gliserol
sabun kalium
gliserol
Gambar 16. Reaksi bilangan penyabunan minyak (Ketaren, 1986). Besarnya bilangan penyabunan tergantung dari berat molekul. Minyak yang mempunyai berat molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi daripada minyak yang mempunyai berat molekul tinggi (Ketaren, 1986). Peningkatan bilangan penyabunan seiring dengan
25
Bilangan Penyabunan (mg KOH/gr minyak)
peningkatan bilangan asam karena semakin banyak dibutuhkan alkali untuk menetralisasi. Penelitian nilai bilangan penyabunan minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 17. 250 200 150 100 50 0 Kecambah
Hydrauluc Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah
Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 17. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan penyabunan minyak biji bintaro. Berdasarkan data hasil penelitian, nilai bilangan penyabunan tertinggi terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro muda dengan metode ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 208,55 mg KOH/g minyak dan nilai bilangan penyabunan terendah terdapat pada minyak yang berasal dari buah berkecambah dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana sebesar 182,66 20 mg KOH/g minyak. Rata – rata bilangan penyabunan yang didapatkan dari penelitian ini adalah 196,67 mg KOH/g minyak. Pada penelitian ini, minyak biji bintaro menghasilkan bilangan penyabunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bilangan penyabunan minyak biji jarak yang berkisar antara 176 – 181 mg KOH/g minyak (Kirk dan Othmer,1964). Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 6), tingkat kematangan buah bintaro memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai bilangan penyabunan yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan nilai rata – rata bilangan penyabunan tertinggi didapat dari minyak yang berasal dari buah bintaro yang matang sebesar 203,84 mg KOH/g minyak dilanjutkan dengan buah bintaro muda sebesar 197,95 mg KOH/g minyak dan buah bintaro kecambah sebesar 188,20 mg KOH/g minyak. Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa metode ekstraksi berpengaruh terhadap nilai bilangan penyabunan yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan nilai rata – rata bilangan penyabunan tertinggi didapat dari minyak yang berasal dari hot hydraulic pressing sebesar 199,48 mg KOH/g minyak dilanjutkan minyak yang berasal dari hydraulic pressing sebesar 198,20 mg KOH/g minyak dan minyak yang berasal dari ekstraksi pelarut n-heksana sebesar 192,32 mg KOH/g minyak. Besarnya bilangan penyabunan pada terjadi pada ekstraksi dengan menggunakan hot hydraulic pressing disebabkan karena suhu yang tinggi yang digunakan sehingga menimbulkan adanya reaksi oksidasi minyak. Menurut Silan (1998), bilangan penyabunan di dalam minyak dapat turun ataupun naik karena di dalam minyak dapat terjadi reaksi oksidasi, esterifikasi, polimerisasi dan lain – lain. Reaksi oksidasi akan menghasilkan asam lemak bebas dan senyawa dengan bobot molekul rendah sehingga
26
minyak yang mengalami oksidasi akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi. Sedangkan reaksi esterifikasi dan polimerisasi akan menghasilkan senyawa dengan bobot molekul tinggi sehingga minyak yang mengalami esterifikasi dan polimerisasi akan memiliki bilangan penyabunan yang lebih rendah. Berdasarkan hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa terjadinya interaksi yang berbeda nyata antara faktor metode ekstraksi dan tingkat kematangan buah dengan bilangan penyabunan yang dihasilkan baik pada tingkat 5 persen ataupun satu persen. Berdasarkan uji Duncan didapatkan bahwa nilai bilangan penyabunan terendah didapatkan dari minyak dengan kombinasi perlakuan A3B3 (buah bintaro berkecambah dengan metode ekstraksi dengan pelarut) dan tertinggi didapatkan dari minyak dengan kombinasi perlakuan A1B2 (buah muda dengan metode ekstraksi dengan hot hydraulic pressing). Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan metode esktraksi memberikan pengaruh yang lebih nyata dibandingkan dengan tingkat kematangan buah.
4.2.5. Bilangan Peroksida Minyak
Bilangan Peroksida (mg O2/100 gr minyak)
Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk perosida (Ketaren, 1986). Penelitian nilai bilangan peroksida minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 18. 35 30 25 20 15 10 5 0 Kecambah
Hydraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah
Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 18. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil penelitian, nilai bilangan peroksida terbesar terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang dengan ekstraksi hydraulic pressing sebesar 31,65 mg oksigen/100 g minyak dan terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang dengan ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 5,61 mg oksigen/100 g minyak dengan rata – rata bilangan peroksida adalah 13,59 mg oksigen/100 g minyak. Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 7), tingkat kematangan buah memberikan pengaruh yang nyata terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro. Dari hasil uji Duncan, didapatkan bahwa nilai rata – rata bilangan peroksida tertinggi didapat dari minyak yang berasal dari buah bintaro yang matang sebesar 14,37 mg oksigen/100 g minyak dilanjutkan dengan nilai rata – rata
27
bilangan peroksida minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah sebesar 13,61 mg oksigen/100 g minyak dan rata – rata nilai bilangan peroksida minyak yang berasal dari buah yang muda sebesar 12,80 mg oksigen/100 g minyak. Tingginya bilangan peroksida pada buah bintaro matang dan berkecambah dapat disebabkan karena ikatan rangkap yang terdapat di dalam minyak dari buah bintaro matang lebih banyak dibandingkan dengan minyak yang berasal dari buah bintaro muda sehingga oksidasi minyak terus berlangsung dan akan berlangsung ditandai dengan adanya bilangan peroksida yang terbentuk dalam minyak. Pada minyak yang berasal dari buah yang berkecambah sudah terjadi proses oksidasi sebelumnya. Sementara itu, minyak yang berasal dari buah bintaro muda memiliki bilangan peroksida terendah karena sedikitnya jumlah ikatan rangkap yang terdapat didalamnya sehingga minyak tidak rentan terhadap proses oksidasi. Hal tersebut sesuai dengan Anonim (2010) yang menyatakan bahwa minyak yang mula – mula terbentuk dalam buah adalah trigliserida yang mengandung asam lemak bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan buah terjadi pembentukan trigliserida yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Berdasarkan hasil analisa keragaman juga didapatkan hasil bahwa jenis ekstraksi minyak berpengaruh nyata terhadap bilangan peroksida minyak yang dihasilkan. Nilai rata – rata bilangan peroksida tertinggi didapat pada minyak biji binatro yang berasal dari ekstraksi minyak biji binatao dengan hydraulic pressing sebesar 20,17 mg oksigen/100 g dilanjutkan dengan minyak biji bintaro yang berasal dari ekstraksi minyak biji bintaro dengan hot hydraulic pressing sebesar 12,98 mg oksigen/100 g dan nilai rata – rata bilangan peroksida terendah didapat pada minyak biji bintaro dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana sebesar 7,62 mg oksigen/100 g. Tingginya bilangan peroksida yang terdapat pada minyak yang diekstrak dengan hydraulic pressing dibanding ekstraksi dengan menggunakan hot hydraulic pressing dan pelarut n – heksana disebabkan karena ekstraksi minyak dengan hot hydraulic pressing sudah mengalami oksidasi. Selain itu, maserasi dengan menggunakan pelarut heksana kecil kemungkinan mengalami oksidasi karena proses ekstraksi dilakukan pada tempat yang tertutup rapat sehingga kontak dengan udara luar jarang dapat terjadi. Menurut Ketaren (1986), tingginya bilangan peroksida pada minyak diakibatkan adanya senyawa peroksida, senyawa ini terbentuk akibat terjadinya reaksi oksidasi pada minyak. Oksidasi ini terjadi pada asam lemak tidak jenuh. Proses oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar dan selama proses pengolahan menggunakan suhu tinggi. Proses pembentukan peroksida dipercepat oleh adanya cahaya, suasan asam, kelembaban udara, dan katalis seperti logam. Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi memiliki interaksi yang berbeda nyata terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro. Dari hasil uji Duncan didapat bahwa kombinasi minyak A1B1 dengan A3B1 tidak memiliki interaksi yang berbeda nyata sementara A2B3 juga memiliki interaksi yang tidak berbeda nyata dengan A3B3. Berdasarkan bilangan peroksida yang dihasilkan, minyak yang berasal dari buah bintaro matang dan ekstraksi dengan hot hydraulic pressing menghasilkan bilangan peroksida yang paling rendah.
4.2.6. Viskositas Minyak Viskositas atau nilai kekentalan dari suatu minyak sangat diperlukan untuk menentukan kegunaan dari minyak atau lemak. Lemak dengan viskositas yang kecil baik untuk digunakan sebagai bahan bakar. Viskositas atau kekentalan minyak biji bintaro didapatkan dengan menggunakan viskometer Brookfield. Penelitian nilai viskositas minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 19.
28
68 Viskositas (cP)
66 64 62 60 58 56 Kecambah
Hydraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 19. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap viskositas minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa nilai viskositas terbesar terdapat pada minyak yang berasal dari buah yang muda dan diekstrak dengan hydraulic pressing sebesar 66,4 cP dan viskositas terkecil terdapat pada minyak yang berasal dari buah yang berkecambah dengan metode ekstraksi dengan pelarut sebesar 59,70 cP. Dari hasil penelitian didapatkan juga bahwa rata – rata viskositas minyak adalah 63,22 cP. Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 8) didapatkan bahwa tingkat kematangan buah berpengaruh nyata terhadap viskositas minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapat bahwa minyak yang dihasilkan dari biji bintaro muda mempunyai rata – rata nilai viskositas terbesar yaitu 65,1 cP dilanjutkan minyak yang dihasilkan dari biji bintaro matang yaitu 63,3 cP dan rata –rata nilai viskositas minyak yang dihasilkan dari biji bintaro berkecambah yaitu 61,4 cP. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan maka nilai viskositas akan semakin kecil. Hal itu disebabkan karena buah bintaro yang berkecambah memiliki kadar air biji yang paling besar dibandingkan dengan minyak yang berasal dari buah bintaro muda ataupun matang. Air yang terdapat di dalam minyak menyebabkan kerapatan minyak menjadi lebih berkurang. Berdasarkan hasil analisis keragaman juga didapatkan bahwa metode esktraksi memiliki pengaruh yang nyata terhadap viskositas minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapat bahwa viskositas minyak terkecil terdapat pada minyak yang dihasilkan dari metode ekstraksi hot hydraulic pressing yaitu rata – rata nilai viskositas sebesar 62,17 cP dilanjutkan dengan minyak yang didapatkan dari ekstraksi dengan pelarut sebesar 62,4 cP dan viskositas terbesar adalah minyak yang berasal dari ekstraksi hydraulic pressing sebesar 65,23 cP. Rendahnya viskositas minyak yang berasal dari hot hydraulic pressing disebabkan karena suhu yang tinggi yang terdapat di dalam alat tersebut. Menurut Bailey (1950), pemakaian suhu yang tinggi pada alat pengempaan menyebabkan bahan menjadi lunak dan kekentalan menjadi rendah. Hasil analisis keragaman didapatkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara metode ekstraksi dengan tingkat kematangan buah terhadap nilai viskositas minyak biji bintaro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak yang dihasilkan dari buah yang berkecambah dan diekstrak dengan menggunakan pelarut n-heksana memiliki nilai viskositas yang paling rendah yaitu 59,7cP.
29
4.2.7. Kadar Abu Minyak
Kadar Abu (%)
Kadar abu menunjukkan banyaknya kandungan komponen – komponen non-organik yang terdapat di dalam minyak. Penelitian kadar abu minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 20. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa kadar abu tertinggi didapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang yang diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksana sebesar 0,3981 persen, sementara kadar abu terendah didapat dari minyak yang dihasilkan dari buah bintaro berkecambah yang diekstrak dengan menggunakan hydraulic pressing sebesar 0,0131 persen. 0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 Kecambah
Hydraulic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah
Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 20. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kadar abu minyak biji bintaro. Berdasarkan data analisis keragaman (Lampiran 9) didapatkan bahwa tingkat kematangan buah tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar abu minyak biji bintaro yang dihasilkan. Sementara itu, metode ekstraksi memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar abu minyak biji bintaro yang dihasilkan. Hasil uji Duncan menujukkan bahwa rata – rata kadar abu terbesar terdapat pada minyak yang diekstraksi dengan menggunakan pelarut n-heksan sebesar 0,25 persen dilanjutkan dengan kadar abu minyak yang diekstrak dengan hot hydraulic pressing sebesar 0,11 dan kadar abu yang diekstrak dengan hydraulic pressing sebesar 0,035 persen. Minyak yang diekstrak dengan hot hydraulic pressing dan hydraulic pressing tidak memiliki perbedaan yang nyata kadar abu minyaknya. Menurut Ketaren (1986), ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut menghasilkan bungkil dengan kadar lemak yang lebih rendah (1 persen atau lebih rendah) dibandingkan dengan ekstraksi minyak dengan menggunakan hydraulic presser sebesar 4 sampai 6 persen karena sebagian fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi.
4.2.8. Kejernihan Minyak ( % Transmisi) Kejernihan minyak ditandai dengan besarnya nilai persen transmisi. Semakin besar nilai persen transmisi maka minyak yang dihasilkan semakin besar. Menurut Sutiah et al. (2008), pengukuran transmisi dilakukan dengan menggunakan alat luxmeter. Dengan luxmeter dapat diketahui nilai intensitas sinar yang masuk dan intensitas sinar yang diteruskan. Persen transmisi dihitung dari perbandngan antara intensitas sinar yang diteruskan terhadap intensitas sinar yang
30
masuk. Nilai persen tramsmisi berbanding terbalik dengan indeks bias. Menurut Ketaren (1986), indeks bias adalah derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium cerah. Menurut Formo (1978), indeks bias berhubungan dengan struktur dan komposisi senyawa organik di dalam suatu bahan. Indeks bias akan meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon senyawa organik tetapi peningkatan ini akan berkurang dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada senyawa tersebut. Penelitian persen transmisi minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 21. 120
% Transmisi
100 80 60 40 20 0 Kecambah
Hydrolic Pressing
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot Hydraulic Pressing
Matang
Maserasi dengan pelarut heksana
Gambar 21. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kejernihan minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa nilai kejernihan terbesar terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah yang diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut sebesar 97,61 persen dan nilai kejernihan terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro muda yang diekstrak dengan menggunakan hot hydraulic pressing sebesar 38,35 persen. Rata – rata persen transmisi pada minyak biji bintaro adalah 81,31 persen. Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 10) didapatkan bahwa faktor tingkat kematangan buah berpengaruh nyata terhadap nilai kejernihan minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil pengujian Duncan didapatkan bahwa rata – rata persen transmisi minyak biji bintaro terbesar adalah minyak yang berasal dari buah yang matang sebesar 91,22 persen dilanjutkan dengan minyak yang berasal dari buah yang kecambah sebesar 90,97 persen dan buah yang muda sebesar 61,74 persen. Pada minyak yang berasal dari buah berkecambah dengan buah yang berasal dari buah yang matang, nilai persen transmisinya tidak berbeda nyata karena memiliki kadar protein yang tdak berbeda jauh. Data hasil penelitian menujukkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan buah maka nilai kejernihan semakin besar. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya kandungan protein yang terdapat pada buah yang muda dimana keberadaan protein dalam biji bntaro dapat menyebabkan terjadinya browning pada minyak biji bintaro. Menurut Ketaren (1986), pigmen cokelat yang terdapat di dalam minyak dapat disebabkan karena adanya reaksi molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehid serta gugus amin dari molekul proteindan yang disebabkan karena aktivitas enzim – enzim, seperti phenol oxidase, polyphenol oxidase, dan sebagainya. Berdasarkan hasil analisis keragaman juga didapatkan hasil bahwa faktor metode ekstraksi berpengaruh nyata terhadap nilai persen transmisi minyak yang didapat. Berdasarkan hasil pengujian
31
Duncan didapatkan bahwa rata – rata persen transmisi minyak biji bintaro terbesar adalah minyak yang diekstrak dengan pelarut sebesar 85,74 persen dilanjutkan dengan minyak yang diekstrak dengan menggunakan hydraulic pressing sebesar 84,82 persen dan minyak yang diekstrak dengan menggunakan hot hydraulic pressing sebesar 73, 37 persen. Rendahnya nilai persen transmisi yang terdapat di dalam minyak biji bintaro pada pengepresan menggunakan hydraulic dan hot hydraulic presser disebabkan karena sebagian minyak mengalami oksidasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ketaren (1986) yaitu suhu pemanasan yang tinggi pada waktu pengepresan dengan cara hidrolik atau expeller dapat mengakibatkan oksidasi sebagian minyak dan disamping itu minyak yang terdapat dalam keadaan panas akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut. Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang berbeda nyata pada tingkat 1 persen dan 5 persen antara faktor tingkat kematangan buah dengan faktor metode ekstraksi. Dari hasil uji Duncan didapat bahwa nilai persen transmisi minyak dari setiap perlakuan berbeda nyata secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa minyak yang dihasilkan dari buah bintaro berkecambah yang diekstraksi menggunakan pelarut memiliki tingkat kejernihan yang paling tinggi.
4.2.9. Rendemen Rendemen minyak dihitung untuk mengetahui jumlah minyak biji bintaro yang dihasilkan dari setiap perlakuan. Rendemen minyak dapat digunakan untuk mengetahui besarnya hasil dari suatu proses produksi. Rendemen minyak biji bintaro didapatkan dengan menghitung jumlah produk (minyak) yang dihasilkan terhadap total bahan (biji bintaro) yang diekstraksi. Penelitian rendemen minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 22. 60 Rendemen (%)
50 40 30 20 10 0 Kecambah
Hydraulic Presser
Muda Tingkat Kematangan Buah Hot Press Hydraulic
Matang
Maserasi dengan heksana
Gambar 22. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi minyak biji bintaro terhadap rendemen. Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik di atas, rendemen yang terbesar terdapat pada buah bintaro matang dan diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksan sebesar 52,59 persen sedangkan rendemen terendah terdapat pada buah bintaro yang berkecambah dan diekstrak minyaknya menggunakan alat kempa hidrolik (hydraulic presser) sebesar 21,82 persen. Menurut Ketaren (1986) banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam bahan asal. Banyaknya minyak yang tersisa pada
32
bungkil dengan pengepresan mekanis berkisar 4 sampai 6 persen. Sedangkan banyaknya kadar minyak yang tersisa pada ekstraksi dengan pelarut berkisar 1 persen atau lebih rendah. Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 11), faktor tingkat kematangan buah bintaro memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan rata – rata rendemen minyak antara biji bintaro muda sebesar 42,31 persen dengan rata – rata rendemen minyak biji bintaro matang sebesar 43,33 persen tidak terdapat perbedaan nyata. Sedangkan perbedaan rata – rata rendemen minyak biji bintaro berkecambah sebesar 35,95 persen memiliki perbedaan yang sangat nyata terhadap rata – rata rendemen minyak biji bintaro muda dan matang. Tingginya rendemen minyak biji bintaro pada buah yang matang disebabkan karena terjadinya proses metabolisme pembentukan lemak yang terjadi selama tingkat pematangan buah. Namun pada buah berkecambah memiliki kadar lemak terendah karena pada buah yang berkecambah lemak digunakan sebagai bahan dalam pembentukan membran sel. Dari hasil analisis keragaman menunjukkan juga bahwa faktor jenis ekstraksi minyak biji bintaro memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 42,12 persen, rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi hydraulic pressing sebesar 29,28 persen dan rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi pelarut sebesar 50,20 persen. Ekstraksi minyak dengan pelarut n-heksan memiliki rendemen yang paling tinggi dibandingkan ekstraksi minyak dengan alat kempa hidrolik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ketaren (1986) bahwa ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut menghasilkan bungkil dengan kadar lemak (minyak) yang lebih rendah (1 persen atau lebih rendah) dibandingkan dengan ekstraksi minyak menggunakan hydraulic presser sebesar 4 sampai 6 persen karena sebagian fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi. Selain itu, rendahnya rendemen minyak biji bintaro yang diekstrak dengan pengepresan hidrolik disebabkan oleh sifat fisis dari minyak biji bintaro itu sendiri yang tergolong cukup kental sehingga pada saat dilakukan pengepresan, masih banyak terdapat minyak yang terkandung di dalam bungkil biji bintaro. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa ekstraksi dengan hot hydraulic pressing menghasilkan minyak yang lebih besar dibandingkan dengan hydraulic pressing karena perbedaan suhu yang cukup tinggi pada kedua metode pengepresan tersebut. Semakin tinggi suhu maka viskositas fasa cair semakin kecil sehingga minyak lebih mudah keluar. Menurut Norris (1982), minyak yang diperoleh dengan pengempaan mekanis dipengaruhi oleh kandungan air, metode pemanasan, dan komposisi kima biji. Selain itu rendemen minyak bergantung pula dengan laju pengempaan, pengempaan maksimum yang diperoleh, waktu dan suhu atau viskositas. Berdasarkan hasil analisis keragaman didapatkan bahwa terjadi interaksi antara tingkat kematangan buah dengan metode ekstraksi minyak biji bintaro terhadap rendemen yang dihasilkan pada tingkat 5 persen. Hasil uji Duncan pengaruh interaksi kematangan buah bintaro dengan metode ekstraksi biji bintaro menunjukkan bahwa terdapat beberapa kombinasi perlakuan yang tidak memiliki perbedaan nyata dengan kombinasi lainnya, diantaranya adalah kombinasi antara A2B2 dengan A2B1, kombinasi antara A1B2 dengan A1B1, dan kombinasi antara A3B2 dengan A3B1. Sedangkan pada kombinasi lainnya berpengaruh nyata. Berdasarkan penelitian ini, maka rendemen minyak biji bintaro terbaik dihasilkan dari buah bintaro yang matang dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut.
4.2.10. Komponen Asam Lemak Minyak Biji Bintaro Penentuan komponen asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode Gas Chromatography Spectrofotometry Mass. Analisa Gas Chromatography Spectrofotometry Mass dilakukan pada minyak biji bintaro dengan hasil yang terbaik dari setiap kombinasi perlakuan yaitu
33
minyak biji bintaro dari buah matang dan diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut. Hasil analisa dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan hasil uji, didapat komposisi asam – asam lemak penyusun minyak biji bintaro yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi Asam – Asam Lemak Minyak Biji Bintaro Jenis Asam Lemak Jumlah atom C Komposisi (%) Palmitat
C16
26,24
C18:1
47,78
Stearat
C18
0,80
Miristat
C14
0,59
Linoleat
C18:2
4,10
Linolenat
C18:3
1,11
C2
0,88
Oleat
Asetat
Berdasarkan uji GCMS dapat dilihat bahwa asam lemak cis-9-oktadekenoat (asam oleat) merupakan asam lemak yang tertinggi yaitu sebesar 47,78 persen. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh yang tersusun atas 18 atom C dengan satu ikatan rangkap di antara atom C ke-9 dan ke-10. Asam ini memiliki rumus kimia: CH3(CH2)7CHCH(CH2)7)COOH. Asam oleat memiliki sifat tidak larut dalam air dan memiliki titik didih 14°C. Pada suhu ruang asam oleat berbentuk kental dengan warna kuning kecoklatan. Selain asam oleat, minyak biji bintaro juga mengandung asam palmitat yang cukup tinggi yaitu 26,24 persen. Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh yang tersusun dari 16 atom karbon (CH3(CH2)14COOH). Pada suhu ruang, asam palmitat berwujud padat berwarna putih dengan titik cair 64 °C (Ketaren 1986). Selain itu, minyak biji bintaro juga mengandung asam – asam lemak lainnya seperti asam stearat, asam miristat, asam asetat, asam linolenat, dan asam linoleat. Asam stearat merupakan asam lemak yang terdapat pada sebagian besar lemak hewani dan minyak nabati. Asam lemak ini merupakan asam lemak jenuh dengan 18 atom C. Asam stearat mencair pada suhu sekitar 69.4°C (Muchtadi 1993). Asam asetat merupakan asam lemak jenuh yang memiliki 2 atom C dengan rumus molekul CH3COOH (Ketaren 1986). Asam miristat merupakan asam lemak jenuh yang bersumber dari minyak nabati dan memiliki 14 atom C. Asam linolenat adalah asam lemak tidak jenuh dengan 18 ataom C yang memiliki 3 ikatan rangkap (Ketaren 1986). Asam linoleat merupakan asam lemak tidak jenuh yang mamiliki 18 atom C dengan dua ikatan rangkap diantara atom C ke-9 dan ke-12. Asam lemak ini dikenal juga dengan sebutan 9,12-oktadekadienoat yang banyak ditemukan pada minyak perilla dan biji lin (Muchtadi 1993). Pada penelitian ini, kandungan asam lemak oleat minyak biji bintaro lebih tinggi presentasenya dibandingkan dengan minyak jarak pagar sebesar 38,6 persen (Janin 2010) dan minyak kelapa sawit sebesar 39 – 45 persen (Eckey 1955). Sementara itu, minyak biji bintaro memiliki asam lemak oleat yang lebih rendah namun mendekati dibandingkan dengan minyak nyamplung sebesar 48,49 persen (Sudrajat 2007). Kandungan asam lemak palmitat minyak biji bintaro lebih tinggi presentasenya dibandingkan dengan minyak jarak pagar sebesar 14,1 persen (Janin 2010) dan minyak nyamplung sebesar 15,89 persen (Sudrajat 2007). Sementara itu, minyak biji bintaro memiliki kandungan asam lemak palmitat lebih rendah presentasenya dibandingkan dengan minyak kelapa sawit sebesar 40 – 46 persen (Eckey 1955). Pada penelitian ini juga meunjukkan bahwa kandungan asam lemak tidak jenuh minyak biji bintaro memiliki presentase yang lebih tinggi sebesar 52,99 persen dibandingkan dengan asam lemak jenuh 28,51 persen.
34