IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran umum wilayah penelitian Rawa berhutan menggenangi sekitar 3 km dari pinggir sungai ke arah daratan. Pohon hutan pada umumnya berukuran kecil (diameter kurang dari 35 cm), karena banyaknya penebangan liar.
Hutan sepanjang sungai Rungan menjadi salah satu
tempat penebangan liar tersebut. Berdasarkan tata ruang Kota Palangkaraya, wilayah pada 100 meter dari kiri dan kanan sungai, dan 50 – 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat dari rawa terbuka, merupakan kawasan perlindungan setempat (Pemko Palangkaraya 2004). (oxbow).
Rawa terbuka pada umumnya merupakan sungai terputus
Masyarakat lokal menyebut ekosistem ini sebagai danau. Rawa terbuka
merupakan rawa permanen, yaitu selalu tergenang air sepanjang musim. Sebagian rawa terbuka akan terputus hubungan kanalnya dengan sungai pada saat musim kemarau. Terdapat beberapa rawa terbuka di Petuk Ketimpun, yaitu rawa Hanjalantung, Burung, Rangas, dan Rawet. Rawa Hanjalantung, Rangas dan Rawet tetap terhubung dengan sungai meskipun musim kemarau, sedangkan rawa Burung terputus hubungan dengan sungai pada saat musim kemarau. Pada musim kemarau luas genangan rawa terbuka berkurang dan menjadi sangat dangkal. Di rawa Hanjalantung luas genangan berkurang menjadi sekitar 40 - 50 % dari luas semula. Penelitian aspek sosial ekonomi dilakukan di kampung nelayan di Kelurahan Petuk Ketimpun dan Kelurahan Marang. Luas wilayah Kelurahan Petuk Ketimpun 59,75 km2 dengan kepadatan penduduk 28,55 jiwa / km2 (Pemko Palangkaraya 2004). Luas perairan rawa lebak di Petuk Ketimpun 44,68 km2 (Dinas Perikanan Kota Palangkaraya 1992) atau 74,77 % dari luas wilayah Kelurahan. Lokasi kampung nelayan berada di pinggir sungai Rungan pada koordinat 113°53’ LS dan 2°07’ BT. Penduduk Petuk Ketimpun pada tahun 2006 berjumlah 1771 jiwa dengan jumlah keluarga 411 KK. Keluarga nelayan berjumlah 113 KK atau 27,49 %. Luas wilayah Kelurahan Marang 124 km2 dengan kepadatan penduduk 5,88 jiwa / km2. Kampung nelayan di Kelurahan Marang berada di pinggir sungai Rungan pada koordinat 113°47’ LS dan 2°02’ BT. Wilayah ini berada pada ketinggian 15 meter diatas permukaan laut. Luas perairan rawa lebak di Marang 40,84 km2 (Dinas Perikanan Kota Palangkaraya 1992) atau
44
32,94 % dari luas wilayah Kelurahan. Penduduk Marang pada tahun 2006 berjumlah 844 jiwa dengan
jumlah keluarga 244 KK.
matapencaharian sebagai nelayan.
Sekitar 133 KK (54,51 %) memiliki
Masyarakat nelayan tinggal di rumah model
panggung (Lampiran 2), karena pada musim hujan kawasan pemukiman mereka akan terendam air luapan sungai Rungan hingga mencapai 1,5 meter.
Lokasi kampung
nelayan dengan pemukiman kelompok masyarakat lain dalam satu Kelurahan berjauhan (sekitar 3 – 6 km). Lokasi kampung nelayan terhubung dengan pemukiman lain dalam satu kelurahan melalui jalan tanah yang pada musim hujan akan terputus karena jalan tersebut terendam banjir. Produksi perikanan di Kota Palangkaraya berasal dari budidaya dan penangkapan di perairan umum.
Budidaya terutama dilakukan di karamba yang
diletakkan di pinggir sungai Kahayan dan Rungan.
Sebagian nelayan di Petuk
Ketimpun dan Marang mengusahakan budidaya ikan di karamba sebagai pekerjaan alternatif selain menangkap ikan. Produksi ikan budidaya dari karamba tahun 2005 di Kota Palangkaraya 851,12 ton. Produksi ikan dari penangkapan di perairan umum tahun 2005 di Kota Palangkaraya 1910,98 ton. Hasil penangkapan ikan di perairan sungai 43,22 kg / ha / tahun, rawa terbuka 792,65 kg / ha / tahun dan rawa berhutan/rumput 9,60 kg / ha / tahun. (Dinas Pertanian Kota Palangkaraya 2006). Seluruh kecamatan di Kota Palangkaraya memiliki kontribusi terhadap produksi ikan dari penangkapan di perairan umum. Namun demikian 55 % tangkapan berasal dari Kecamatan Bukit Batu dan Jekan Raya. Pada Kecamatan Bukit Batu, kontribusi utama hasil tangkapan ikan berasal dari Kelurahan Marang dan Tangkiling. Sedangkan di Kecamatan Jekan Raya, kontribusi utama hasil tangkapan berasal dari Kelurahan Petuk Ketimpun. Jumlah rumah tangga nelayan di Kota Palangkaraya 856 rumah tangga, sedangkan yang mengusahakan budidaya ikan 1214 rumah tangga (Dinas Pertanian Kota Palangkaraya 2006). 4.1.1. Stasiun penelitian Gambar kondisi perairan di stasiun 1, 2, dan 3 disajikan pada Lampiran 2. Stasiun 1 merupakan habitat ikan dengan bertipe perairan rawa berhutan yang terletak pada koordinat 113°51’23’’ dan 2°6’33’’ BT.
Air sungai Rungan dapat mengalir ke
kawasan rawa berhutan ini melalui sungai Pelintung Besar (anak sungai Rungan).
45
Berdasarkan analisa kerapatan pohon yang telah dilakukan, diketahui rata-rata kerapatan pohon di stasiun ini 629 pohon/hektar yang terdiri dari pohon muda 456 pohon/hektar dan pohon dewasa 173 pohon/hektar (Lampiran 3). Kerapatan pohon ini lebih rendah dibanding dengan hutan rawa gambut di Taman Nasional Tanjung Puting dengan kerapatan pohon sekitar 728 pohon /ha (Mirmanto et al. 2000).
Diameter
batang pohon maksimal yang tercatat di lokasi penelitian 58 cm. Suzuki et al. (2000) mendapatkan diameter batang pohon maksimal di hutan rawa gambut di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 70 cm.
Diameter batang pohon di lokasi penelitian lebih
kecil dibandingkan di hutan rawa gambut Kabupaten Kapuas. Rendahnya kerapatan pohon dengan ukuran diameter batang pohon yang kecil di lokasi penelitian ini, diduga akibat dari penebangan liar yang terus berlanjut di lokasi tersebut. Pada saat musim kemarau, sebagian besar wilayah rawa berhutan menjadi kering. Perairan yang masih ada di dalam hutan tersebut terbatas pada alur – alur sungai Pelintung Besar. Pada saat musim hujan, air menggenangi seluruh rawa. Pada saat musim hujan ditemukan vegetasi air seperti Salvinia molesta dan Eichornia crassipes dengan luas penutupan kurang dari 5%. Hal ini diduga disebabkan oleh terbatasnya penetrasi cahaya matahari akibat tertutup kanopi hutan.
Rawa berhutan di sekitar sungai Pelintung Besar
merupakan salah satu lokasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan setempat. Stasiun 2 merupakan habitat ikan dengan bertipe perairan rawa terbuka (danau oxbow). Rawa Hanjalantung merupakan perairan oxbow (sungai mati) yang terhubung secara langsung dengan sungai Rungan dengan 2 kanal. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, rawa Hanjalantung merupakan salah satu tempat aktivitas penangkapan ikan di Petuk Ketimpun. Luas rawa Hanjalantung 20 ha pada batas tanah yang ditumbuhi pohon. Luas perairan rawa terbuka ini berubah – ubah berdasarkan musim. Pada puncak musim kemarau, rawa ini menjadi sangat surut. Daerah yang digenangi air hanya sekitar 50 %, terutama di tengah rawa yang lebih dalam. Meskipun dalam kondisi surut, rawa ini tetap terhubung dengan sungai Rungan. Sebaliknya pada puncak musim hujan, perairan rawa ini meluas, bahkan sampai menggenangi hutan disekitarnya. Pada waktu musim hujan ini, kawasan rawa terbuka dan rawa berhutan terhubung oleh banjiran air. Vegetasi air tidak tumbuh meluas di rawa terbuka ini.
Vegetasi air terapung Salvinia molesta hanya ditemukan dalam
jumlah yang kecil (penutupan kurang dari 5 %) di perairan yang dangkal dekat kanal.
46
Vegetasi air tidak bisa berkembang meluas di stasiun 2 maupun stasiun 1. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi tinggi air.
Menurut Bayley & Prather (2003) kelimpahan
vegetasi air akan menurun seiring dengan peningkatan frekuensi banjiran. Stasiun 3 merupakan habitat ikan bertipe perairan sungai. Stasiun 3 terletak di sungai Rungan. Lebar sungai Rungan di stasiun 3 sekitar 80 meter. Sungai Rungan pada waktu musim kemarau tinggi permukaannya akan menurun, sebaliknya pada musim hujan tinggi permukaan akan meningkat hingga menggenangi wilayah di sisi kiri kanan sungai. Stasiun 3 merupakan lokasi yang dilewati oleh aktivitas transportasi air seperti perahu nelayan, kapal penumpang antar daerah, kapal barang, dan kapal yang menarik kayu. Sungai Rungan juga merupakan tempat aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan setempat. 4.2. Kondisi fisik kimiawi perairan Hasil pengamatan parameter fisik kimiawi air di semua stasiun penelitian dirangkum pada
Tabel 3, sedangkan selengkapnya disajikan pada Lampiran 4.
Seluruh parameter mengalami fluktuasi berdasarkan bulan pengamatan.
Fluktuasi
bulanan ini terjadi karena adanya perubahan musim hujan dan kemarau yang mempengaruhi kondisi fisik kimiawi perairan. 4.2.1. Kedalaman perairan Kedalaman perairan berfluktuasi bulanan yang cenderung mengikuti perubahan intensitas curah hujan (Gambar 3).
Data curah hujan disajikan pada Lampiran 5.
Kedalaman minimal pada saat puncak musim kemarau yaitu pada bulan Agustus 2005. Rawa lebak di lokasi penelitian memiliki kedalaman berkisar antara 0,61 – 5,34 meter. Berdasarkan kondisi kedalaman perairan, maka bulan dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu musim air rendah dan musim air tinggi. Musim air rendah adalah bulan ketika kedalaman perairan cenderung dangkal yang terjadi pada bulan Juni - Oktober (5 bulan).
Musim air tinggi adalah bulan ketika kedalaman perairan cenderung lebih
dalam yang berlangsung pada bulan November - Mei (7 bulan).
47
Tabel 3. Kualitas fisik kimiawi perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006 No
Parameter
1.
Kedalaman air (cm)
2.
Suhu air (°C)
3.
Kecerahan air (cm)
4.
PTT (mg/l)
5.
pH (skala pH)
6.
O2 terlarut (mg/l)
7.
CO2 terlarut (mg/l)
8.
NH3 –N (mg/l)
9.
NO2 –N (mg/l)
10.
NO3 –N (mg/l)
11.
PO4 –P (mg/l)
Rata – rata dan kisaran nilai pengamatan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 192,6 295,8 350,6 (73,5 – 289,5) (61,3 – 534,0) (123,3 – 597,3) 28,4 30,4 28,5 (27,0 – 29,7) (29,2 – 31,7) (27,2 – 29,8) 46,0 51,3 33,1 (18,0 – 65,8) (27,8 – 82,5) (17,5 – 49,0) 62,4 55,7 100,4 (29,0 – 143,5) (22,3 – 104,8) (54,8 – 155,5) 5,80 5,74 6,13 (5,23 – 6,63) (4,90 – 7,35) (5,43 – 7,50) 2,18 4,10 4,25 (1,40 – 2,95) (1,93 – 5,88) (2,33 – 6,40) 30,21 28,92 23,70 (22,97 – 39,33) (18,48 – 46,69) (13,48 – 32,84) 1,072 0,805 1,373 (0,589 – 1,803) (0,444 – 1,358) (0,771 – 2,359) 0,006 0,006 0,003 (0,002 – 0,014) (0,002 – 0,014) (0,002 – 0,006) 0,972 0,929 1,324 (0,482 – 1,475) (0,448 – 1,371) (0,666 – 2,038) 0,085 0,016 0,193 (0,046 – 0,142) (0,009 – 0,026) (0,097 – 0,298)
Fluktuasi kedalaman air mempengaruhi ritme kehidupan ikan di rawa lebak. Pada puncak musim air rendah (bulan Agustus), kedalaman air mencapai minimal. Rata – rata kedalaman di rawa berhutan dan rawa terbuka kurang dari 75 cm. Sebagian wilayah rawa berhutan dan rawa terbuka menjadi kering (tidak berair). Perairan yang dangkal akan menyebabkan suhu perairan cepat meningkat. Ikan yang berada di rawa berhutan dan rawa terbuka akan bermigrasi ke perairan sungai yang lebih dalam pada saat itu. Ikan yang tidak keluar dapat mati terjebak di kubangan di rawa. Pada saat musim air tinggi, perairan rawa menjadi lebih dalam dan ikan sungai akan bermigrasi memasuki perairan rawa berhutan maupun rawa terbuka.
Ikan
bermigrasi ke rawa untuk berreproduksi maupun untuk mencari makanan. Air yang mengalir memasuki rawa lebak membawa berbagai materi organik dari daratan yang menjadi sumber makanan bagi ikan (Hoggarth et al. 1999). Kedalaman saat puncak musim air rendah di rawa berhutan 73,5 cm, sedangkan di rawa terbuka 61,3 cm. Sebagian besar wilayah rawa menjadi kering. Kondisi rawa yang kering pada musim
48
kemarau merupakan faktor pembatas kehidupan ikan di ekosistem rawa (Payne 1986). Kondisi rawa yang masih memiliki sebagian wilayah yang berair selama musim kemarau akan mendukung kehidupan ikan blackfish. Wilayah tersebut menjadi tempat pengungsian ikan rawa selama musim air rendah. Ikan ini merupakan jenis ikan yang menetap di perairan rawa.
Meskipun kondisi perairan menjadi dangkal pada saat
kemarau, ikan blackfish masih dapat hidup karena memiliki organ pernafasan tambahan (Hoggarth et al. 1999).
Ikan lain yang tidak memiliki adaptasi terhadap
kondisi kualitas air rawa selama musim air rendah akan mengungsi ke perairan sungai sebelum rawa menjadi kering dan kondisi kualitas air menurun.
Kedalaman (cm) dan curah hujan (mm)
650.00 600.00 550.00 500.00 450.00 400.00
Stasiun 1
350.00
Stasiun 2
300.00
Stasiun 3
250.00
curah hujan
200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 5/05 6/05 7/05
8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06
2/06 3/06 4/06
Bulan
Gambar 3. Kedalaman perairan dan intensitas curah hujan pada Mei 2005 – April 2006 4.2.2. Suhu perairan Fluktuasi suhu perairan selama penelitian ditunjukkan oleh Gambar 4. Fluktuasi suhu perairan rawa lebak cenderung dipengaruhi oleh musim. Suhu perairan rawa lebak cenderung lebih tinggi pada saat musim air rendah dibanding saat musim air tinggi. Rata – rata suhu perairan rawa terbuka lebih tinggi dibanding rawa berhutan dan sungai, karena penetrasi cahaya matahari lebih intensif dibandingkan di rawa
49
berhutan yang tertutup oleh kanopi pohon hutan. Sungai airnya mengalir, sehingga suhunya lebih rendah dibandingkan rawa terbuka yang tidak mengalir. Suhu rawa di lokasi lain di Palangkaraya pada umumnya tidak jauh berbeda dengan lokasi penelitian ini. Suhu rawa terbuka Rengas 26,3 – 30,8 0C, Lutan 26,9 – 30,6 0C, dan Takapan 26,7 – 33,6 0C (Sulastri & Hartoto 2000).
33.00 32.00
Suhu Air (C)
31.00 30.00
Stasiun 1
29.00
Stasiun 2
28.00
Stasiun 3
27.00 26.00 25.00 5/05
6/05
7/05
8/05
9/05 10/05 11/05 12/05 1/06
2/06
3/06
4/06
Bulan
Gambar 4. Rata-rata suhu perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006 Suhu perairan merupakan salah satu faktor pembatas kehidupan ikan di rawa. Pada saat kemarau suhu perairan rawa cenderung lebih tinggi akibat rawa yang dangkal. Suhu perairan selama penelitian berkisar antara 26 – 35 oC. Perbedaan suhu pagi (jam 07.00) dan siang (jam 14.00) di rawa terbuka cenderung lebih besar dibandingkan di rawa berhutan dan sungai (Gambar 5).
Rawa berhutan
lebih
mendukung kehidupan ikan rawa dibandingkan rawa terbuka, karena cenderung memiliki fluktuasi suhu harian yang lebih kecil. Sungai memiliki fluktuasi suhu harian yang paling kecil, karena airnya mengalir.
50
8.00
Perbedaan suhu air pagi dan siang ( o C)
7.00 6.00 5.00
Stasiun 1
4.00
Stasiun 2
3.00
Stasiun 3
2.00 1.00 0.00 5/05 6/05
7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06
2/06 3/06
4/06
Bulan
Gambar 5. Perbedaan suhu perairan antara pagi dan siang pada bulan Mei 2005 – April 2006 4.2.3. Kecerahan air dan padatan tersuspensi total Kecerahan air dan padatan tersuspensi total (PTT) memiliki keterkaitan yang erat. Kecerahan air yang diukur dengan menggunakan keping secchii dipengaruhi oleh jumlah padatan tersuspensi di perairan tersebut.
Semakin besar nilai padatan
tersuspensi total, maka kecerahan air akan menjadi semakin rendah. Materi padatan tersuspensi dalam perairan dapat berupa bahan organik, lumpur, maupun plankton. Kecerahan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi maupun padatan terlarut.
Perairan
gambut memiliki warna air yang coklat akibat dari materi gambut seperti asam humic yang terlarut (Andrews & McEwan 1987). Warna air yang gelap akan mengurangi kecerahan air. Kecerahan air di lokasi penelitian berkisar antara 17,5 – 82,5 cm (Tabel 3). Hasil pengamatan kecerahan air tidak jauh berbeda dengan pengamatan yang dilakukan oleh Sulastri & Hartoto (2000) di Rawa Rengas, Lutan dan Takapan di Palangkaraya yaitu berkisar antara 13 – 82 cm. Menurut Poully & Rodriguez (2004), kecerahan air 20 cm merupakan batas terendah untuk ikan predator melihat mangsa. Kecerahan air cenderung berkaitan dengan musim. Pada musim air tinggi, kecerahan cenderung tinggi, sedangkan pada saat musim air rendah, kecerahan cenderung rendah (Gambar 6).
51
90.00
Kecerahan air (cm)
80.00 70.00 60.00
Stasiun 1
50.00
Stasiun 2
40.00
Stasiun 3
30.00 20.00 10.00 0.00 5/05
6/05
7/05
8/05
9/05 10/05 11/05 12/05 1/06
2/06
3/06
4/06
Bulan
Gambar 6. Kecerahan air pada bulan Mei 2005 – April 2006 Kadar PTT di lokasi penelitian berkisar antara 22,3 – 155,5 mg/l. Kadar PTT di lokasi penelitian tidak jauh berbeda dengan rawa lebak lainnya di Palangkaraya seperti di rawa Rengas 147,1 mg/l, rawa Lutan 164 mg/l dan rawa Takapan 105,6 mg/l (Hartoto & Awalina 2000). Kadar PTT di lokasi penelitian masih dalam batas dapat ditoleransi oleh ikan. Menurut Boyd (1982) ikan akan mengalami kematian apabila PTT mencapai 175.000 mg/l. Fluktuasi kadar PTT selama penelitian disajikan pada Gambar 7.
Kadar PTT cenderung tinggi pada saat musim air rendah.
Pada saat
musim air tinggi, kadar PTT cenderung lebih rendah. Pada saat air sungai menjadi dangkal, lumpur di dasar terbawa arus yang menyebabkan meningkatnya padatan tersuspensi pada musim air rendah.
Peningkatan kadar PTT air sungai akan
cenderung diikuti peningkatan kadar PTT pada rawa berhutan dan rawa terbuka, karena air sungai mengaliri rawa lebak disekitarnya. Pada musim air tinggi kadar PTT lebih baik dibanding musim air rendah untuk kehidupan ikan dan kadar PTT di stasiun 1 dan 2 lebih baik dibanding stasiun 3 untuk kehidupan ikan. Stasiun 3 memiliki padatan tersuspensi lebih tinggi karena mendapat masukan materi PTT dari hulu sungai. Materi daratan yang tererosi akan masuk ke sungai. Menurut Mackinnon et al.
(2000) peningkatan PTT di sungai Kalimantan terutama
akibat dari penggundulan hutan. Ketika air sungai masuk ke rawa lebak (Stasiun 1
52
dan 2), padatan tersuspensi memiliki kesempatan untuk mengendap di rawa lebak tersebut sehingga cenderung kadar PTT semakin rendah.
Kadar PTT (mg/l)
180.00 160.00 140.00 120.00
Stasiun 1
100.00 80.00
Stasiun 2 Stasiun 3
60.00 40.00 20.00 0.00 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06
Bulan
Gambar 7. Kadar padatan tersuspensi total pada bulan Mei 2005 – April 2006 4.2.4. pH perairan Perairan rawa cenderung bersifat asam (pH kurang dari 7). Rata – rata pH di lokasi penelitian 5,8 (Stasiun 1); 5,74 (Stasiun 2); dan 6,13 (Stasiun 3). Kondisi perairan rawa lebak di Palangkaraya pada umumnya bersifat asam karena mengandung senyawa gambut. pH beberapa rawa lebak lain di Palangkaraya berkisar antara 4,03 – 6,34 skala pH (Sulastri & Hartoto 2000) Fluktuasi pH perairan selama penelitian disajikan pada Gambar 8. asam mendominasi hasil pengamatan pH tiap bulan.
Kondisi
pH di atas 7 terjadi hanya pada
pengamatan bulan 10 di Stasiun 2 dan 3, diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi, dan air sungai dari hulu yang tidak bersifat asam mengalir dalam jumlah yang besar ke wilayah penelitan. Pada pengamatan selain bulan 10, pH perairan berkisar antara 4,8 – 6,7. Perbedaan pH antara pagi dan siang tidak terlalu besar, sehingga tidak mengganggu kehidupan ikan. Pada stasiun 1 perbedaan pH pagi dan siang berkisar antara 0 – 0,5 skala pH, sedangkan pada stasiun 2 berkisar antara 0 – 0,2 skala pH dan pada stasiun 3 berkisar antara 0 – 0,55 skala pH.
Perairan black water bersifat
masam, sehingga ikan yang hidup di perairan tersebut hanya jenis ikan yang memiliki kemampuan adaptasi hidup di perairan yang bersifat masam.
53
8.00 7.50
pH
7.00 6.50
Stasiun 1
6.00
Stasiun 2
5.50
Stasiun 3
5.00 4.50 4.00 5/05
6/05
7/05
8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06
2/06
3/06 4/06
Bulan
Gambar 8. pH perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006 4.2.5. Kadar oksigen dan karbondioksida terlarut Kadar oksigen terlarut cenderung berbanding terbalik dengan karbondioksida terlarut. Perairan rawa cenderung memiliki kadar oksigen yang rendah dan karbondioksida yang tinggi, karena adanya proses dekomposisi bahan organik yang mengkonsumsi oksigen dan melepaskan karbondioksida. Kadar oksigen terlarut di stasiun 1 cenderung lebih rendah dibanding stasiun 2 dan 3 untuk seluruh bulan pengamatan (Gambar 9). Kadar oksigen terlarut di stasiun 1 lebih rendah, karena adanya dekomposisi materi organik dari pohon hutan dan terbatasnya aktivitas fotosintesis fitoplankton akibat tertutup kanopi pohon hutan. Oksigen terlarut stasiun 1 berkisar antara 1,40 - 2,95 mg/l, sedangkan stasiun 2 dan 3 berkisar antara 1,93 – 6,40 mg/l. Kadar oksigen terlarut di lokasi penelitian tidak jauh berbeda dibandingkan dengan hasil pengamatan di rawa lebak lainnya di Kota Palangkaraya yaitu berkisar antara 1,12 – 6,25 mg/l (Sulistiyarto 1998; Sulastri & Hartoto 2000; Harteman 2001; 2002). Perbedaan kadar oksigen antara pagi dan siang di stasiun 1 berkisar antara 0,10 – 2,35 , stasiun 2 berkisar antara 0,05 – 0,90 dan stasiun 3 berkisar antara 0 – 0,65. Kadar oksigen terlarut pagi cenderung lebih rendah dibanding siang. Kadar oksigen terlarut merupakan parameter kimia air yang menjadi faktor pembatas kehidupan ikan di ekosistem rawa (Lowe-McConnell 1987). Menurut Boyd (1982), kadar oksigen terlarut minimal 1 mg/l untuk dapat mendukung kehidupan
54
ikan.
Dengan demikian kadar oksigen terlarut di lokasi penelitian masih mampu
mendukung kehidupan ikan.
Kadar oksigen terlarut di stasiun 2 dan 3 lebih baik
dibanding stasiun 1 untuk kehidupan ikan.
Kadar Oksigen terlarut (mg/l)
7.00 6.00 5.00 Stasiun 1
4.00
Stasiun 2
3.00
Stasiun 3
2.00 1.00 0.00 5/05
6/05
7/05
8/05
9/05 10/05 11/05 12/05 1/06
2/06
3/06
4/06
Bulan
Gambar 9. Kadar oksigen terlarut pada bulan Mei 2005 – April 2006 Kadar karbondioksida terlarut di lokasi penelitian berkisar antara 13,48 – 46,69 mg/l (Tabel 3). Kadar CO2 terlarut cenderung lebih tinggi di stasiun 1. Perbedaan kadar karbondioksida terlarut pagi dan siang di stasiun 1 berkisar antara 0,5 – 11,49 mg/l ; stasiun 2 berkisar antara 0,25 – 4,99 mg/l ; dan stasiun 3 berkisar antara 0,51 – 10,49 mg/l. Kadar CO2 terlarut lebih tinggi dibandingkan di wilayah lain seperti di rawa gambut di Bengkalis 2,31 – 26,36 mg/l (Haryono & Tjakrawidjaja
2000), di rawa Telaga
Menarap, Kalimantan Selatan 16,4 – 17,9 mg/l, di rawa lebak Air Hitam Sumatera Selatan 10 mg/l (Ondara 1981), di rawa Tawar Taplus Kalimantan Selatan
15 –
16 mg/l (Arifin et al. 1995) dan di rawa lebak Cala, Sumatera Selatan 9,5 – 11,5 mg/l (Nurdawati & Parsetyo 2006). Tingginya kadar CO2 terlarut di lokasi penelitian diduga akibat dari tingginya bahan organik di rawa lebak. Menurut Bayley & Williams (1981), CO2 terlarut bersumber dari atmosfer, respirasi dan dekomposisi bahan organik. Menurut Boyd (1882)
kadar CO2 terlarut tidak mengganggu kehidupan
ikan jika
maksimal sebesar 12 mg/l jika kadar O2 2 mg/l, atau 25 mg/l jika kadar O2 minimal 5 mg/l. Namun ikan masih dapat hidup hingga kadar CO2 sebesar 60 mg/l. Kadar CO2 di
55
lokasi penelitian tidak optimal untuk kehidupan ikan, namun masih dapat ditoleransi oleh ikan.
Ikan rawa pada umumnya memiliki toleransi tinggi terhadap kadar CO2
yang tinggi, karena memiliki haemoglobin yang tinggi afinitasnya terhadap O2 dan rendah sensitifitasnya terhadap CO2 (Payne 1986).
Kadar CO2 terlarut lebih baik di
stasiun 2 dan 3 dibanding stasiun 1 untuk kehidupan ikan. 4.2.6. Kadar senyawa nitrogen dan fosfat terlarut Nitrogen dan fosfor merupakan nutrien yang merupakan faktor pembatas bagi fitoplankton maupun tanaman air (Moss 1998). Senyawa nitrogen terlarut merupakan nutrien penting bagi fitoplankton maupun vegetasi air. Fitoplankton pada umumnya dapat memanfaatkan nitrogen dalam bentuk amonia maupun nitrat (Hargreaves & Tucker 2004). Pada perairan yang memiliki oksigen yang cukup, nitrogen didominasi oleh bentuk nitrat (Bayley & Williams 1981) Kadar amonia di lokasi penelitian berkisar antara 0,444 – 2,359 mg/l (Tabel 3). Amonia yang bersifat toksik bagi ikan adalah yang berbentuk amonia bukan ion (NH3). Pada perairan dengan pH kurang dari 8, kadar amonia bukan ion (NH3) kurang dari 10 % dari total kadar ammonia. Batas toleransi ikan terhadap kadar amonia total pada pH 9 berkisar antara 1,5 – 2,0 mg/l (Hargreaves & Tucker 2004). Pada pH 9 dan suhu 30o C amonia bukan ion sekitar 44,84 % dari amonia total (Boyd 1988). Dengan demikian kadar amonia di lokasi penelitian tidak mengganggu kehidupan ikan. Kadar nitrit di lokasi penelitian berkisar antara 0,002 – 0,006 mg/l (Tabel 3). Menurut Boyd (1982) nitrit bersifat toksik bagi ikan apabila kadarnya melebihi 0,5 mg/l. Dengan demikian kadar nitrit di lokasi penelitian masih dapat ditoleransi oleh ikan. Rendahnya kadar nitrit karena nitrit merupakan senyawa tidak stabil. Apabila terdapat oksigen, nitrit akan segera teroksidasi menjadi nitrat. Apabila kondisi anoksik, maka nitrit akan segera direduksi menjadi ammonia (Goldman & Horne 1983). Nitrat dan fosfat di perairan merupakan nutrien yang diperlukan oleh fitoplankton dan vegetasi air. Senyawa nitrat dan fosfat tidak bersifat toksik bagi ikan. Peningkatan kadar nitrat dan fosfat dapat mengganggu kehidupan ikan melalui mekanisme penurunan
kualitas
perairan
akibat
meningkatnya
populasi
fitoplankton
yang
mengakibatkan blooming fitoplankton. Kadar nitrat di lokasi penelitian berkisar antara 0,482 – 2,038 mg/l dan kadar fosfat terlarut berkisar antara 0,009 – 0,298 mg/l (Tabel
56
3). Di lokasi penelitian tidak terjadi blooming fitoplankton, sehingga tidak mengganggu kehidupan ikan. 4.3. Komunitas fitoplankton Jenis plankton yang termasuk dalam sampel adalah terbatas pada plankton yang dapat dikumpulkan menggunakan plankton net dengan mata jaring 20 mikron. Selama penelitian diperoleh
54 jenis fitoplankton.
Jenis fitoplankton didominasi
golongan Chlorophyceae (21 jenis) dan Bacillariophyceae (20 jenis). Golongan lain yang ditemukan adalah Cyanophyceae (9 Jenis),
Chrysophyceae (1 jenis),
Dinophyceae (1 jenis) dan Euglenophyceae (2 jenis). Fitoplankton yang ditemukan selama penelitian disajikan pada Lampiran 6.
Komposisi jenis fitoplankton yang
ditemukan tidak jauh berbeda dengan yang ditemukan oleh Sulastri dan Hartoto (2000) di rawa lebak Rengas, Takapan dan Lutan di Palangkaraya yaitu didominasi oleh Chlorophyceae dan Bacillariophyceae. Golongan yang sedikit jenisnya adalah Chrysophyceae, Dinophyceae dan Euglenophyceae. Indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan Evenness (E) dari komunitas fitoplankton di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 10 dan 11. Indeks Shannon fitoplankton stasiun 1 cenderung
lebih tinggi dibanding stasiun 2 dan 3. Jumlah jenis
fitoplankton di stasiun 1 ditemukan paling banyak dibanding stasiun 2 dan 3. Hal ini menunjukkan bahwa stasiun 1 memiliki kondisi lingkungan yang lebih stabil dibandingkan stasiun 2 dan 3. Menurut Lowe-McConnell (1987) keanekaragaman biotik cenderung lebih tinggi pada lingkungan yang tidak berfluktuasi. Fluktuasi kondisi lingkungan di rawa terbuka dan sungai lebih tinggi. Pada saat kemarau, rawa terbuka cenderung menjadi cepat lebih panas. Lingkungan sungai mengalami fluktuasi yang tinggi akibat aliran air yang berfluktuasi berdasarkan musim. Indeks Shannon fitoplankton berkisar antara 3,263 - 4,384 (stasiun 1), 1,485 - 2,952 (stasiun 2), dan 0,729 - 3,876 (stasiun 3). Indeks Evenness fitoplankton berkisar antara 0,733 0,965 (stasiun 1), 0,574 - 0,984 (stasiun 2), dan 0,191 - 0,944 (stasiun 3). Nilai indeks Shannon fitoplankton di rawa lebak Rengas, Lutan dan Takapan Sulastri dan Hartoto (2000)
2,52 ; 3,17 ; dan 2,23.
yang diperoleh
Nilai indeks ini tidak jauh
berbeda dengan indeks Shannon fitoplankton di stasiun 2.
57
5.0 4.5
Indeks Shannon
4.0 3.5 3.0
Stasiun 1
2.5
Stasiun 2
2.0
Stasiun 3
1.5 1.0 0.5 0.0 5 /05
6/05
7/05
8/05
9/05
10/05 11/05 12/05 1/06
2/06
3/06
4/06
Bulan
Gambar 10. Indeks Shannon komunitas fitoplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006
1.2
Indeks Evenness
1.0 0.8
Stasiun 1 Stasiun 2
0.6
Stasiun 3 0.4 0.2 0.0 5 /05
6/05
7/05
8/05
9/05
10/05 11/05 12/05
1/06
2/06
3/06
4/06
Bulan
Gambar 11. Indeks Evenness komunitas fitoplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006 Kelimpahan fitoplankton berfluktuasi menurut waktu. fitoplankton selama penelitian disajikan pada Gambar 12.
Fluktuasi kelimpahan
Rata – rata kelimpahan
fitoplankton selama pengamatan adalah 701 individu / liter (stasiun 1), 5339 individu / liter (stasiun 2) dan 680 individu / liter (stasiun 3).
Stasiun 2 cenderung memiliki
kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi dibanding stasiun 1 dan 3 karena merupakan
58
perairan rawa terbuka
yang tidak mengalir dan penetrasi cahaya matahari yang
diperlukan untuk fitoplankton berfotosintesis tidak dihalangi oleh kanopi pohon hutan. Menurut Payne (1986) perairan lentik cenderung memiliki kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi dibandingkan perairan lotik. Kelimpahan fitoplankton di stasiun 2 cenderung lebih tinggi pada saat musim air tinggi. Hal ini disebabkan oleh pada saat itu air sungai yang memiliki kandungan nutrien yang lebih tinggi mengalir ke stasiun 2.
Kelimpahan ( Individu / liter )
12000 10000 8000 Stasiun 1 6000
Stasiun 2 Stasiun 3
4000 2000 0 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06
Bulan
Gambar 12. Kelimpahan fitoplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006 4.4. Komunitas zooplankton Selama penelitian diperoleh
15 jenis zooplankton. Jenis zooplankton
didominasi oleh golongan Rotifera (9 jenis).
Golongan zooplankton lainnya yang
ditemukan adalah : Protozoa (2 jenis), Cladocera (1 jenis) dan Copepoda (3 jenis). Jenis zooplankton yang ditemukan selama penelitian meliputi : Alonella, Asplanchna, Bosmina, Brachionus, Collotheca, Cyclop, Diaphanosoma, Keratella, Lecane, Nauplius, Notholca, Polyarthra, Trichocera, Trepomonas, dan Testudinella (Lampiran 7). Menurut Neves et al. (2003), Rotifera merupakan zooplankton yang dominan di ekosistem rawa lebak. Indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan Evenness (E) dari komunitas zooplankton di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13 dan 14. Indeks Shannon dan Evenness zooplankton cenderung tidak jauh berbeda antar stasiun. Indeks Shannon
59
zooplankton berkisar antara 1,852 - 3,062 (stasiun 1), 1,485 - 2,952 (stasiun 2), dan 2,243 - 2,800 (stasiun 3). Indeks Evenness zooplankton berkisar antara 0,755 0,985 (stasiun 1), 0,574 - 0,984 (stasiun 2), dan 0,806 - 0,987 (stasiun 3). 3.5
Indeks Shannon
3.0 2.5 Stasiun 1
2.0
Stasiun 2
1.5
Stasiun 3
1.0 0.5 0.0 5 /05
6/05
7/05
8/05
9/05
10/05 11/05 12/05
1/06
2/06
3/06
4/06
Bulan
Gambar 13. Indeks Shannon komunitas zooplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006 1.2
Indeks Evenness
1.0 0.8 Stasiun 1 0.6
Stasiun 2 Stasiun 3
0.4 0.2 0.0 5 /05
6/05
7/05
8/05
9/05
10/05 11/05 12/05
1/06
2/06
3/06
4/06
Bulan
Gambar 14. Indeks Evenness komunitas zooplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006 Kelimpahan zooplankton di stasiun 1, 2, dan 3 disajikan pada Gambar 15. Rata – rata kelimpahan zooplankton selama pengamatan adalah 145 individu / liter (stasiun 1), 293 individu / liter (stasiun 2) dan 109 individu / liter (stasiun 3). Kelimpahan
60
zooplankton stasiun 2 cenderung lebih tinggi dibanding stasiun 1 dan 3. Kondisi ini cenderung disebabkan oleh kelimpahan zooplankton bergantung pada kelimpahan fitoplankton. Fitoplankton merupakan salah satu sumber pakan utama zooplankton (Bayley & Williams 1981).
Kelimpahan zooplankton di stasiun 2 meningkat terutama
pada bulan September, Oktober, November dan Desember 2005.
Pada saat itu
merupakan waktu musim hujan dan air sungai mulai mengalir ke stasiun 2. Menurut Neves et al. (2003), pada lingkungan yang dipengaruhi oleh banjir musiman, umumnya kelimpahan zooplankton meningkat pada saat air sungai masuk ke perairan tersebut. Pada saat itu ketersediaan pakan bagi zooplankton lebih melimpah, karena air sungai membawa nutrien dan material allochtonous.
Kelimpahan ( Individu / liter )
700 600 500 Stasiun 1
400
Stasiun 2
300
Stasiun 3
200 100 0 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06
Bulan
Gambar 15. Kelimpahan zooplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006
4.5. Komunitas makrozoobenthos Pengambilan sampel makrozoobenthos mendapatkan 16 jenis yang meliputi Isopoda (1 jenis), Ephemeroptera (2 jenis), Trichoptera (3 jenis), Diptera (8 jenis), Oligochaeta
(1
makrozoobenthos
jenis)
dan
disajikan
Nematoda pada
(1
Lampiran
jenis). 8.
Kelimpahan
Diptera
setiap
merupakan
jenis
kelompok
makrozoobenthos yang paling banyak ditemukan di semua stasiun, baik dalam jumlah jenis maupun kelimpahannya (Gambar 16).
Menurut Wulandari et al.
(2005)
kelimpahan makrozoobenthos di rawa gambut didominasi oleh Diptera hingga
61
mencapai 93%. Hal ini sesuai dengan pendapat Wetzel (2001) yang menyatakan bahwa Diptera merupakan komponen dominan dari invertebrata dasar di perairan lentik maupun lotik. Larva Diptera yang ditemukan didominasi oleh golongan Chironomidae. Larva Chironomidae memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi oksigen terlarut yang rendah, karena memiliki pigmen respirasi yang memungkinkan mereka hidup di perairan yang rendah kadar oksigennya (Efitre et al. 2001). Rata – rata kelimpahan makrozoobenthos selama pengamatan adalah 1160 indv/m2 (stasiun 1), 1062 indv/m2 (stasiun 2) dan 618 indv / m2 (stasiun 3). Kelimpahan makrozoobenthos yang ditemukan oleh
(Wulandari et al.
2005) di rawa lebak di
Kalampangan Palangkaraya berkisar antara 242 - 2070 indv / m 2.
Kelimpahan
makrozoobenthos di stasiun 3 lebih rendah, diduga karena substrat dasar di sungai lebih tidak stabil. Menurut Silveira et al. (2006), kondisi substrat dasar yang tidak stabil mengakibatkan makrozoobenthos tidak dapat berkoloni dengan baik. Kelimpahan makrozoobenthos di rawa berhutan lebih tinggi dibandingkan di rawa terbuka, diduga karena tekanan predasi di rawa terbuka lebih tinggi dibandingkan dengan rawa
100 80 60
Stasiun 1
40
Stasiun 3
Stasiun 2
20 Nematoda
Oligochaeta
Diptera
Trichoptera
Ephemeroptera
0 Isopoda
Persentase kelimpahan (%)
berhutan.
Gambar 16. Kelimpahan kelompok makrozoobenthos pada bulan Mei 2005 – April 2006
62
4.6. Komunitas ikan 4.6.1. Distribusi species Komunitas ikan yang terwakili dalam pengambilan contoh terbatas pada jenis – jenis ikan yang tertangkap dengan menggunakan jaring insang dengan ukuran mata jaring 0,75 ; 1,5 ; 3 dan 5 inci. Jumlah total ikan yang tertangkap selama penelitian 4278 ekor. Pengambilan contoh ikan dari seluruh stasiun menemukan 50 species ikan dari 19 famili. Pada stasiun 1 ditemukan 39 species, stasiun 2 ditemukan 28 species, dan stasiun 3 ditemukan 35 species (Lampiran 9). Gambar tiap species ikan disajikan pada Lampiran 10. Species yang ditemukan didominasi oleh famili Cyprinidae (19 species). Menurut Dick dan Martin-Smith (2004) ikan Cyprinidae merupakan jenis ikan air tawar paling banyak spesies di Sundaland. Dominasi species dari Cyprinidae juga ditemukan di rawa lebak Kalampangan Palangkaraya (Yurenfrie et al. 2005), di sungai Rangau, Riau (Yustina 2001). Species lainnya dari famili Siluridae (9 species), Bagridae (3 species), Belontiidae (2 species) , Channidae (2 species) , Mastacembelidae (2 species). Famili lainnya diwakili 1 species. (Gambar 17). 1
Tetraodontidae Mastacembelidae Channidae Belontiidae Anabantidae Helostomatidae Pristolepididae Eleotrididae Nandidae Datniodidae Chandidae Clariidae Pangasiidae Schilbidae Siluridae Bagridae Cobitidae Cyprinidae Engraulididae
2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 3 1 19 1 0
4
8
12
16
20
Jumlah Species
Gambar 17. Jumlah species ikan yang ditemukan selama penelitian
63
Sebagian besar species ikan dapat ditemukan di perairan rawa lebak (stasiun 1 dan 2) maupun di perairan sungai (stasiun 3). Terdapat 28 species ikan (56 %) yang merupakan jenis ikan yang memanfaatkan perairan rawa lebak maupun sungai untuk tempat hidup. (Gambar 18). Tujuh species ikan (14 %) ditemukan hanya di stasiun 3 saja antara lain : Amblyrhynchichthys truncates, Botia macracanthus, Cyclocheilichthys heteronema, Coius quadrifasciatus, Oxyeleotris mormorata, Puntioplites waandersi, dan Rasbora borneensis. Species ikan yang hanya ditemukan di rawa lebak (Stasiun 1 dan 2) berjumlah 15 species (30 %), antara lain : Bagrichthys macracanthus, Belontia hasselti, Ceratoglanis scleronema, Channa pleurophthalmus, Channa lucius, Clarias batrachus,
Hampala
macrolepidota,
Kryptopterus
macrocephalus,
Labiobarbus
ocellatus, Luciosoma trinema, Lycothrissa crocodiles, Pangasius micronemus, Rasbora cephalotaenia, Thynnichthys polylepis dan Tricogaster leerii. A 30%
C 56%
Keterangan : A : Species ikan yang hanya ditemukan di rawa lebak B : Species ikan yang hanya ditemukan di sungai C : Species ikan yang ditemukan di rawa lebak maupun di sungai
B 14%
Gambar 18. Proporsi jumlah species ikan berdasarkan habitat 4.6.2. Keanekaragaman ikan Indeks Shannon untuk komunitas ikan di stasiun 1 berkisar antara 2,545 4,182, di stasiun 2 berkisar antara 0,644 - 3,093, dan di stasiun 3 berkisar antara 2,120 - 3,501. Keanekaragaman ikan di stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan stasiun 2, karena rawa berhutan menyediakan struktur habitat yang lebih beragam dibandingkan rawa terbuka.
Menurut Arrington & Winemiller (2003), kompleksitas struktur habitat
cenderung dapat mempertahankan kekayaan species yang tinggi, karena memiliki heterogenitas habitat yang lebih besar. Penyebab lain adalah tekanan penangkapan ikan lebih rendah di rawa berhutan.
Rawa berhutan di Palangkaraya hanya
dieksploitasi 10,22 kg / ha / th, sedangkan rawa terbuka 729,05 kg / ha / th dan sungai 48,86 kg / ha / th. Stasiun 3 memiliki keanekaragaman ikan yang tidak jauh berbeda
64
dengan stasiun 1, karena sekitar 56 % species ikan yang ditemukan di rawa lebak, juga memanfaatkan sungai sebagai habitatnya (Gambar 18). Keanekaragaman ikan pada setiap stasiun menunjukkan fluktuasi antar waktu (Gambar 19 dan 20). Hal ini menunjukkan bahwa pada bulan/ waktu yang berbeda struktur komunitas ikan berbeda juga. Kondisi ini disebabkan ikan di perairan rawa lebak memiliki mobilitas yang tinggi untuk berpindah dari satu tipe habitat ke habitat lainnya. 4.5 4.0
Indeks Shannon
3.5 3.0 Stasiun 1
2.5
Stasiun 2
2.0
Stasiun 3
1.5 1.0 0.5 0.0 5 /05
6/05
7/05
8/05
9/05
10/05 11/05 12/05 01/06 02/06 03/06 04/06
Bulan
Gambar 19. Indeks Shannon komunitas ikan pada bulan Mei 2005 – April 2006 1.0
Indeks Evenness
0.8 0.6
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
0.4 0.2 0.0 5 /05
6/05
7/05
8/05
9/05
10/05 11/05 12/05 01/06 02/06 03/06 04/06
Bulan
Gambar 20. Indeks Evenness komunitas ikan pada bulan Mei 2005 – April 2006
65
Perubahan jumlah species yang tertangkap pada setiap stasiun disajikan pada Gambar 21. Jumlah species ikan di rawa lebak (stasiun 1 dan 2) cenderung lebih tinggi pada saat musim air tinggi dibanding musim air rendah di perairan rawa lebak. Jumlah spesies ikan pada rawa berhutan saat musim air tinggi 30 species, dan 25 species pada saat musim air rendah. Jumlah species ikan pada rawa terbuka saat musim air tinggi 26 species dan 19 species saat musim air rendah.
Pada saat air rendah,
sebagian ikan keluar dari rawa lebak menuju ke sungai, akibat dari luas perairan yang menyusut pada saat musim air rendah. Sebaliknya pada saat musim air tinggi, banyak species ikan memanfaatkan rawa lebak untuk mencari makanan maupun untuk reproduksi (Lowe-McConnell 1987). Hal ini mengakibatkan jumlah species ikan di rawa lebak menurun pada saat musim air rendah. Pada stasiun 3 terdapat kecenderungan saat musim air rendah ditemukan jumlah species ikan lebih tinggi dibanding saat musim air tinggi. Pada saat musim air rendah sungai menjadi tempat pengungsian ikan dari kondisi kekeringan di rawa lebak, sehingga ditemukan jumlah species yang lebih tinggi.
25
Jumlah Species
20
15
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
10
5
0 5 /05
6/05
7/05
8/05
9/05
10/05 11/05 12/05 01/06 02/06 03/06 04/06
Bulan
Gambar 21. Jumlah species ikan yang tertangkap pada bulan Mei 2005 – April 2006
66
4.6.3. Kelimpahan ikan Jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian, berfluktuasi menurut waktu (Gambar 22). Total hasil tangkapan selama 12 bulan, paling banyak pada stasiun 1 (2420 ekor), sedangkan jumlah ikan tertangkap pada stasiun 2 dan 3 tidak jauh berbeda yaitu 925 ekor dan 933 ekor. Kelimpahan ikan di stasiun 1 lebih tinggi, karena hutan menyediakan struktur fisik habitat yang lebih tinggi keragamannya dan mendukung kehidupan ikan melalui jaring makanan (Karagosian & Ringler 2004) dan tekanan penangkapan di rawa berhutan lebih rendah dibanding di rawa terbuka dan sungai.
Hasil tangkapan ikan terbanyak diperoleh di stasiun 1 (49,53 %).
Hasil
tangkapan ikan terutama berasal dari kelompok Cyprinidae (35,98 %), Siluridae (20,17 % ), Anabantoidei (19,55 %) dan Bagridae (10,43 %). Jenis lainnya kurang dari 10 % dari bobot total.
Kecenderungan total hasil tangkapan (bobot)
selama 12 bulan
disajikan pada Gambar 23. Hasil tangkapan (bobot) tiap jenis ikan disajikan pada Lampiran 11. Total bobot tangkapan terbanyak pada bulan Agustus (16,79 kg), sedangkan bobot tangkapan paling sedikit pada bulan April (1,26 kg). Total tangkapan ikan berfluktuatif, namun memiliki kecenderungan untuk tangkapan musim air rendah lebih banyak dibandingkan musim air tinggi.
Kecenderungan ini terjadi baik dalam
jumlah bobot maupun individu ikan. Rata-rata tangkapan ikan pada musim air rendah 8,50 kg / unit sampel, sedangkan pada musim air tinggi 3,57 kg / unit sampel (Tabel 4). Dengan demikian tangkapan ikan pada musim air tinggi memiliki bobot rata – rata 42 % dari musim air rendah.
Apabila dibandingkan dengan hasil tangkapan nelayan,
proporsi ini lebih besar sekitar 3,05 % dibandingkan yang diperoleh nelayan. Pada saat tidak musim ikan, nelayan rata-rata mendapatkan ikan 38,95 % dibandingkan pada saat musim ikan.
Hasil tangkapan pada saat musim air tinggi lebih sedikit
dibanding musim air rendah, karena pada saat musim air tinggi, volume dan luas perairan meningkat sehingga densitas ikan berkurang.
Penurunan densitas ikan
mengakibatkan peluang ikan tertangkap lebih rendah. Sebaliknya volume dan luas perairan berkurang pada saat musim air rendah, sehingga ikan lebih terkonsentrasi.
67
Jumlah tangkapan ikan (ekor)
1000 800 600
Stasiun 1 Stasiun 2
400
Stasiun 3 200 0 5/05
6/05
7/05
8/05
9/05 10/05 11/05 12/05 1/06
2/06
3/06
4/06
Bulan
Hasil tangkapan ikan total (Kg)
Gambar 22. Jumlah individu ikan yang tertangkap pada bulan Mei 2005 – April 2006
20 16 12 8 4 0 5/05
6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06
3/06 4/06
Bulan
Gambar 23. Bobot total hasil tangkapan pada bulan Mei 2005 – April 2006 Tabel 4. Rata-rata hasil tangkapan ikan menurut musim (kg / unit sampling) No
Keterangan
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Seluruh stasiun
1. 2. 3.
Rata-rata pada musim air rendah Rata-rata pada musim air tinggi Rata- rata selama 12 bulan
4,60 1,49 2,79
1,11 1,42 1,29
2,79 0,66 1,55
8,50 3,57 5,63
Penelitian
ini
mengkaji
distribusi
kelimpahan
berdasarkan berdasarkan tipe habitat dan musim.
ikan
ekonomis
penting
Ikan ekonomis penting tersebut
68
digolongkan dalam beberapa kelompok ikan (Tabel 5). Distribusi kelimpahan dari tiap kelompok jenis ikan disajikan pada Gambar 24 s/d 29. Tabel 5. Kelompok ikan ekonomis penting di lokasi penelitian No 1. 2.
Kelompok ikan Seluang Puhing
3 4.
Baung Lais
5.
Anabantoidei
6.
Gabus
Species ikan Rasbora argyrotaenia, R. Borneensis dan R. cephalotaenia Barbodes schwanenfeldii, Cyclocheilichthys apogon, C. Enoplos, C. heteronema dan C. janthochir Hemibagrus nemurus dan H. nigriceps Belodontichthys dinema, Ceratoglanis scleronema, Kryptopterus apogon, K. Lais, K. Limpok, K. Macrocephalus, K. micronema, dan Ompok hypophthalmus Helostoma temminckii, Anabas testudineus, Belontia hasselti, dan Trichogaster leerii Channa pleurophthalmus dan C. Lucius
Ikan seluang dan puhing cenderung berada di stasiun 1 pada musim air rendah maupun musim air tinggi.
Ikan Cyprinidae species kecil cenderung hidup di dekat
permukaan air. Ikan tersebut memanfaatkan lapisan air permukaan yang kaya oksigen. Ikan species kecil lebih terlindung dari pemangsaan apabila berada di stasiun 1 yang merupakan rawa berhutan. Menurut Junk & Wantzen (2004), pada saat musim air rendah, ikan kecil yang migrasi ke sungai akan cenderung dimangsa oleh ikan predator di sungai. Ikan baung dan lais cenderung berada di stasiun 2 pada saat air tinggi, dan berpindah ke stasiun 3 pada saat air rendah. Menurut Kottelat et al. (1993), ikan Bagridae dan Siluridae merupakan ikan penghuni lapisan air bagian dasar sungai atau danau. Kedua jenis ikan ini melakukan migrasi dari sungai ke rawa lebak pada saat air tinggi, sebaliknya pada saat musim air rendah bermigrasi dari rawa lebak menuju sungai. Stasiun 2 yang merupakan rawa terbuka lebih dipilih oleh ikan ini, karena, perairan lebih dalam, lebih kaya oksigen, dan lebih mudah mencari mangsa di perairan terbuka dibandingkan di rawa berhutan. Ikan anabantoidei sangat dominan ditemukan pada saat musim air rendah. Pada saat musim air rendah ditemukan 13,18 kg sedangkan pada musim air tinggi hanya 0,02 kg. Pada saat air rendah tersebut, ikan anabantoidei cenderung ditemukan di stasiun 1. Anabantoidei merupakan golongan ikan yang memiliki organ pernafasan tambahan, sehingga dapat hidup di perairan rawa.
golongan ikan anabantoidei
69
merupakan ikan blackfish dan cenderung menyukai habitat yang airnya tenang dengan vegetasi yang lebat, sehingga habitatnya cenderung di perairan rawa berhutan. Pada saat musim air tinggi, hasil tangkapan sangat sedikit (0,15 % dari musim air rendah), sehingga tidak dapat diambil kesimpulan distribusinya. Diduga ikan tersebut tetap di rawa berhutan pada saat musim air tinggi. Ikan tersebut berada di rawa – rawa yang lebih jauh dari lokasi pengambilan sampel, karena mencari lokasi yang lebih dangkal. Ketiga jenis ikan ini merupakan ikan blackfish yang merupakan ikan berhabitat di rawa. Dengan demikian diduga pada saat air tinggi mereka tetap berada di rawa lebak (Stasiun 1 atau 2). Ketiga jenis ikan ini merupakan golongan ikan yang memiliki organ pernafasan tambahan berupa labirinth yang dapat membantu pernafasan pada saat kadar oksigen di air rendah. Oleh karena itu pada saat musim air rendah tetap berada di rawa lebak dan tidak melakukan migrasi ke perairan sungai. Kelompok ikan gabus pada sampel hasil penangkapan diwakili oleh ikan Channa pleurophthalmus dan Channa lucius. Ikan gabus cenderung berada di stasiun 1 sepanjang musim.
Ikan Channidae merupakan ikan rawa yang memiliki organ
pernafasan tambahan (Kottelat et al. 1993), sehingga memungkinkan tetap tingga di stasiun 1 sepanjang musim. Ikan ini memiliki keuntungan bila tetap tinggal di stasiun 1, karena ikan species kecil cenderung melimpah di stasiun 1. Ikan species kecil dapat menjadi mangsa sepanjang musim untuk ikan channidae yang merupakan ikan
Persentase kelimpahan ikan (%)
predator.
100
Keterangan :
80
Stasiun 1
60
Stasiun 2 Stasiun 3
40
Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei
20 0 Musim air rendah
Musim air tinggi
Gambar 24. Distribusi kelimpahan kelompok ikan seluang
70
Persentase kelimpahan ikan (%)
60
Keterangan :
50 Stasiun 1
40
Stasiun 2
30
Stasiun 3
20
Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei
10 0 Musim air rendah
Musim air tinggi
Persentase kelimpahan ikan (%)
Gambar 25. Distribusi kelimpahan kelompok ikan puhing
100
Keterangan :
80 Stasiun 1
60
Stasiun 2 Stasiun 3
40 20
Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei
0 Musim air rendah
Musim air tinggi
Persentase kelimpahan ikan (%)
Gambar 26. Distribusi kelimpahan kelompok ikan baung
100
Keterangan :
80 Stasiun 1
60
Stasiun 2
40
Stasiun 3
20
Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei
0 Musim air rendah
Musim air tinggi
Gambar 27. Distribusi kelimpahan kelompok ikan lais
71
Persentase kelimpahan ikan (%)
100
Keterangan :
80 Stasiun 1
60
Stasiun 2 Stasiun 3
40 20
Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei
0 Musim air rendah
Musim air tinggi
Persentase kelimpahan ikan (%)
Gambar 28. Distribusi kelimpahan kelompok ikan anabantoidei
100
Keterangan :
80 Stasiun 1
60
Stasiun 2
40
Stasiun 3
20
Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei
0 Musim air rendah
Musim air tinggi
Gambar 29. Distribusi kelimpahan kelompok ikan gabus 4.6.4. Species ikan yang populasinya rendah Pada Lampiran 12 disajikan data jumlah individu yang tertangkap dan frekuensi kehadiran tiap jenis ikan. Terdapat 13 species ikan yang diidentifikasi merupakan ikan dengan populasi rendah (Tabel 6), yaitu Hampala macrolepidota, Pangasius micronemus, Amblyrhynchichthys truncates, Channa lucius, Oxyeleotris mormorata, Puntioplites waandersi, Bagrichthys macracanthus, Botia macracanthus, Ceratoglanis scleronema, Coius quadrifasciatus, Lycothrissa crocodiles, Chitala borneensis dan Channa micropeltes.
Ikan belida (Chitala borneensis), dan toman (Channa
micropeltes) merupakan jenis ikan yang tidak diperoleh dalam sampel, tetapi masih tertangkap oleh nelayan di lokasi penelitian.
Kelimpahan yang rendah merupakan
penyebab tidak diperolehnya jenis ikan tersebut dalam sampel.
Jenis ikan tersebut
diidentifikasi memiliki populasi yang rendah dalam penelitian ini, karena kelimpahan
72
rendah, dan berdasarkan informasi nelayan, ikan tersebut ditangkap hanya di rawa lebak saja.
Dengan demikian terdapat 13 species yang populasinya rendah, dan 9
species diantaranya merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi.
Ikan yang
memiliki nilai ekonomi yaitu ikan jelawat batu (Hampala macrolepidota), lawang (Pangasius micronemus), haruan (Channa lucius), toman (Channa micropeltes), bakut (Oxyeleotris mormorata), macan (Botia macracanthus), lais (Ceratoglanis scleronema), dan belida (Chitala borneensis). Species ikan yang diketahui oleh nelayan populasinya menurun dibandingkan 5 tahun yang lalu yaitu : jelawat (Leptobarbus hoeveni), bakut (Oxyeleotris mormorata), lais bamban (Ceratoglanis scleronema), patin sungai (Pangasius sp), dan peang (Channa sp). Tabel 6. Matrik untuk identifikasi species ikan yang populasinya rendah Habitat ditemukan Frekuensi ditemukan Kelimpahan ikan - Banyak - Sedang - Sedikit
Satu habitat (Rawa lebak atau sungai) Tinggi Sedang Rendah 0 1 0
0 3 0
1 6 13
Rawa lebak dan sungai Tinggi
Sedang
Rendah
7 1 0
3 5 0
0 9 1
Beberapa kemungkinan penyebab rendahnya populasi beberapa species ikan di lokasi penelitian adalah : (1) Lokasi penelitian bukan merupakan habitat utama species ikan tersebut.
(2) Banyaknya penebangan pohon hutan rawa yang mengakibatkan
penurunan kualitas fisik kimiawi perairan, dan
(3) Ikan tersebut ditangkap secara
berlebihan. Penurunan populasi beberapa jenis ikan dibandingkan 5 tahun yang lalu, diduga disebabkan oleh penangkapan berlebihan maupun perubahan fisik kimiawi perairan. 4.6.5. Tingkat trofik ikan Komponen ekosistem yang memiliki kontribusi sebagai makanan ikan merupakan
komponen
ekosistem
yang
penting
untuk
mempertahankan
keanekaragaman ikan. Komponen ekosistem tersebut meliputi detritus, fitoplankton, zooplankton, makrozoobenthos, pohon hutan, dan insekta darat. Gambar 30 menyajikan kontribusi masing-masing jenis materi makanan untuk mendukung kehidupan ikan. Kontribusi jenis materi makanan dipresentasikan oleh persentase
73
jumlah species ikan yang mengkonsumsi jenis materi tersebut. Pada umumnya ikan memanfaatkan lebih dari satu jenis makanan baik sebagai makanan utama maupun makanan tambahan.
Jumlah species ikan yang mengkonsumsi (%)
80 70 60 50
Stasiun 1
40
Stasiun 2
30
Stasiun 3
20 10 0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
Jenis materi makanan Keterangan :
A. B. C. D. E. F.
Fitoplankton Perifiton/alga filamen Tumbuhan tingkat tinggi Detritus Rotifera Cladocera, copepoda
G. H. I. J. K.
Insekta air Insekta darat Udang Cacing Ikan
Gambar 30. Proporsi jumlah species ikan berdasarkan jenis materi yang dikonsumsi Rotifera merupakan jenis materi yang paling tinggi kontribusinya sebagai makanan ikan. Rotifera merupakan zooplankton yang dominan di lokasi penelitian, sehingga ikan cenderung memanfaatkannya.
Detritus dan insekta air merupakan
materi makanan yang tinggi kontribusinya setelah Rotifera. Detritus memiliki kontribusi yang tinggi (53,5 %) karena detritus merupakan materi yang melimpah di rawa lebak dan
dimanfaatkan
ikan
pada
saat
makanan
lain
terbatas
ketersediaannya.
Makrozoobenthos di lokasi penelitian didominasi oleh insekta air, sehingga insekta air cenderung memiliki kontribusi yang tinggi sebagai makanan ikan dibandingkan cacing. Fitoplankton dan alga filamen memiliki kontribusi rata – rata 47,2 % dan 49,3 %. Ikan yang memanfaatkan alga adalah ikan herbivora dan ikan omnivora. Bagian tumbuhan tingkat tinggi memiliki kontribusi rata-rata 36,3 %. Insekta darat memiliki kontribusi rata – rata 25,1%.
Insekta darat terutama berasal dari hutan yang jatuh ke perairan.
Insekta darat melimpah terutama pada saat musim hujan.
74
Ikan digolongkan ke dalam tingkat trofik herbivora, omnivora, karnivora tingkat 1 dan karnivora tingkat 2.
Ikan digolongkan herbivora jika memanfaatkan materi
tumbuhan / nabati sebagai makanan utama, seperti : fitoplankton, alga filamen, dan bagian tanaman tingkat tinggi (daun, buah, biji, batang). Ikan omnivora adalah ikan yang memanfaatkan materi dari tumbuhan maupun hewan sebagai makanan utama. Sedangkan ikan yang memanfaatkan hewan sebagai makanan utama digolongkan sebagai karnivora.
Ikan karnivora tingkat 1 adalah ikan yang memanfaatkan
invertebrata kecil sebagai makanan utama, seperti : rotifera, cladocera, copepoda, insekta, dan cacing. Sedangkan ikan karnivora tingkat 2 memanfaatkan ikan kecil atau udang sebagai makanan utama. Tingkat trofik tiap species ikan yang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 13. Komunitas ikan di stasiun 1 terdiri dari 7 species ikan herbivora, 13 species ikan omnivora, 9 species ikan karnivora tingkat 1 dan 10 species ikan karnivora tingkat 2. Komunitas ikan di stasiun 2 terdiri dari 6 species ikan herbivora, 10 species ikan omnivora, 4 species ikan karnivora tingkat 1 dan 8 species ikan karnivora tingkat 2. Komunitas ikan di stasiun 3 terdiri dari 5 species ikan herbivora, 12 species ikan omnivora, 9 species ikan karnivora tingkat 1 dan 9 species ikan karnivora tingkat 2. Persentase jumlah species ikan berdasarkan tingkat trofik disajikan pada Gambar 31. Stasiun 1
Stasiun 2 17.9%
25.6%
Stasiun 3 21.4%
14.3% 25.7%
32.1%
34.3%
33.3%
23.1%
10.7%
Herbivora
Omnivora
35.7%
25.7%
Karnivora Tk 1
Karnivora Tk 2
Gambar 31. Proporsi jumlah species ikan berdasarkan tingkat trofik Golongan ikan herbivora paling rendah persentase jumlah spesiesnya di seluruh stasiun.
Sedangkan ikan omnivora paling tinggi persentase jumlah speciesnya di
seluruh stasiun.
Jenis ikan omnivora cenderung mendapat keuntungan, karena
75
memiliki relung makanan yang lebih lebar dibandingkan kelompok lain.
Oleh karena
itu ikan omnivora cenderung lebih besar proporsi jumlah speciesnya. Menurut Deus & Petrere Jr (2003), ikan rawa lebak cenderung bersifat pemakan generalis, karena ketersediaan makanan bervariasi menurut musim. Proporsi kelimpahan ikan (bobot) berdasarkan tingkat trofik disajikan pada Gambar 32. Stasiun 2
Stasiun 1
Stasiun 3
23.6%
28.1%
34.1%
8.8%
28.8%
26.9%
57.8% 11.1%
12.9%
2.9%
33.5%
Herbivora
Omnivora
Karnivora Tk 1
31.3%
Karnivora Tk 2
Gambar 32. Proporsi kelimpahan ikan (bobot) berdasarkan tingkat trofik Proporsi kelimpahan ikan karnivora tingkat 2 di stasiun 2 cenderung lebih tinggi, karena ikan karnivora tingkat 2 lebih mudah memangsa di stasiun 2 yang merupakan rawa terbuka.
Perairan di stasiun 2 juga memiliki kecerahan yang lebih tinggi.
Semakin tinggi kecerahan air, maka pemangsa lebih mudah melihat mangsa. Menurut Poully & Rodriguez (2004), kecerahan air 20 cm merupakan batas terendah untuk ikan predator melihat mangsa. Ketersediaan jenis makanan yang sesuai tingkat trofik tiap jenis ikan merupakan faktor yang mendukung keanekaragaman ikan di perairan tersebut. Semakin tinggi keragaman jenis makanan ikan yang tersedia, maka semakin banyak jenis ikan yang dapat didukung oleh ekosistem tersebut . Kelimpahan karnivora tk 1 paling rendah untuk seluruh stasiun. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan pakan alami hewan renik di rawa lebak berfluktuatif berdasarkan musim, sehingga ikan cenderung untuk bersifat omnivora. Ikan yang termasuk herbivora di lokasi penelitian antara lain : Belontia hasselti, Helostoma temminckii,
Leptobarbus hoevenii,
Labiobarbus ocellatus, Osteochilus
kalabau, Osteochilus triporos, Puntioplites waandersi, Thynnichthys polylepis, dan Trichogaster leerii. Ikan herbivora di lokasi penelitian pada umumnya memanfaatkan
76
alga sebagai makanan utamanya. Ikan yang memanfaatkan bagian tumbuhan tingkat tinggi sebagai makanan utama adalah : Belontia hasselti dan Leptobarbus hoevenii. Ikan yang termasuk omnivora antara lain : Amblyrhynchichthys truncatus, Bagrichthys macracanthus, Barbodes schwanenfeldii, Cyclocheilichthys apogon, Cyclocheilichthys enoplos, Cyclocheilichthys heteronema, Cyclocheilichthys janthochir, Hampala macrolepidota, Luciosoma trinema (di stasiun 2), Macrognathus aculeatus, Mastacembelus erythrotaenia, Pangasius micronemus, Parachela hypophthalmus, Parambassis
macrolepis
(di
stasiun
2),
Pristolepis
grooti,
Pseudeutropius
brachypopterus, Puntius lineatus, Rasbora argyrotaenia, Rasbora borneensis, Rasbora cephalotaenia.
Terdapat dua species yang di stasiun 1 dan 3 merupakan ikan
karnivora tingkat 1, namun di stasiun 2 merupakan ikan omnivora yaitu Luciosoma trinema dan Parambassis macrolepis. Ikan Luciosoma trinema di danau Sabuah, Kapuas (Buchar 1998) dan di danau Sentarum (Giesen 1987 dalam Mackinnon 2000) merupakan ikan omnivora, tetapi cenderung pemakan zooplankton. Ikan Parambassis di danau Cala Sumatera Selatan merupakan pemakan perifiton maupun serangga (Nurdawati & Prasetyo 2006). Keterbatasan materi makanan berupa hewan renik di stasiun 2, mengakibatkan ikan Luciosoma trinema
dan Parambassis macrolepis
memakan materi dari tumbuhan juga. Ikan yang termasuk karnivora tingkat 1 antara lain : Anabas testudineus, Botia macracanthus, Ceratoglanis scleronema, Chonerhinos modestus, Clarias batrachus, Kryptopterus lais, Kryptopterus macrocephalus, Kryptopterus limpok (di stasiun 3), Luciosoma trinema, Nandus nebulosus, Parambassis macrolepis, Pristolepis grooti (di stasiun 3) dan Puntius lineatus (di stasiun 3). Ikan Kryptopterus limpok di stasiun 1 dan 2 merupakan karnivora tingkat 2, namun di stasiun 3 cenderung merupakan karnivora tingkat 1. Perbedaan tingkat trofik ini disebabkan oleh terbatasnya mangsa berupa ikan kecil di stasiun 3 dibanding di stasiun 2. Ikan Kryptopterus limpok di danau Sentarum merupakan ikan karnivora tingkat 2 (Giesen 1987 dalam Mackinnon 2000). Ikan Pristolepis grooti dan Puntius lineatus sebenarnya merupakan ikan omnivora, tetapi ternyata di stasiun 3 cenderung menjadi karnivora tingkat 1. Ikan Puntius di danau Sabuah, Kapuas memakan herbivora pemakan fitoplankton (Buchar 1998) dan di danau Sentarum pemakan tumbuhan tingkat tinggi (Giesen 1987 dalam Mackinnon 2000). Ikan Pristolepis di danau Sabuah, Kapuas merupakan omnivor yang terutama
77
memakan insekta dan zooplankton (Buchar 1998) Di stasiun 3 ikan Pristolepis grooti dan Puntius lineatus memanfaatkan ketersediaan insekta darat yang melimpah sebagai makanan ikan.
Dengan demikian ketersediaan hanyutan insekta darat cenderung
dipilih sebagai makanan oleh kedua species ikan tersebut dibanding materi dari tumbuhan.
Ikan yang termasuk karnivora tingkat 2 antara lain : Belodontichthys
dinema, Channa pleurophthalmus, Channa lucius, Coius quadrifasciatus, Kryptopterus apogon, Kryptopterus limpok, Kryptopterus micronema, Lycothrissa crocodiles, Hemibagrus nemurus, Hemibagrus nigriceps, Ompok hypophthalmus, Oxyeleotris mormorata, dan Wallago leerii. 4.7. Karakteristik keluarga nelayan Jumlah penduduk Petuk Ketimpun dan Marang disajikan pada Tabel 7. Pada umumnya masyarakat Petuk Ketimpun dan Marang telah menempuh pendidikan formal. Penduduk yang tidak bersekolah dan tidak tamat SD di Petuk Ketimpun 12,48 %
dan di Marang 14,57 % dari jumlah penduduk. Rata-rata tingkat pendidikan
masyarakat Petuk Ketimpun dan Marang adalah SLTP. Umur kepala keluarga dari responden berkisar antara 30 hingga 65 tahun, dengan rata – rata 41,7 tahun. Jumlah jiwa dalam keluarga berkisar antara 3 hingga 6 jiwa dengan rata – rata 4 jiwa (Lampiran 14). Tabel 7. Jumlah penduduk Petuk Ketimpun dan Marang No 1.
2.
Keterangan Jumlah penduduk (2006) - Jumlah total (jiwa) - Laki – laki (%) - Perempuan (%) - Keluarga (KK) Jumlah nelayan (KK)
Petuk Ketimpun 1785 48,29 51,71 411 113
Marang 844 51,90 48,10 244 133
Nelayan Petuk Ketimpun dan Marang termasuk suku Dayak Ngaju yang tinggal di hilir sungai Kahayan.
Nelayan marang dan Petuk Ketimpun mengakui bahwa
mereka masih berkerabat,
bahkan kekerabatan mereka sering diikat dengan
perkawinan.
78
Beberapa karakteristik budaya yang dimiliki nelayan Petuk Ketimpun dan Marang sebagai suku Dayak Ngaju antara lain : 1.
Bertempat tinggal di rumah berbentuk panggung dan dalam satu rumah dapat dihuni oleh beberapa keluarga.
2.
Mata pencaharian masih bergantung pada memanen hasil alam seperti mencari ikan. Pemanenan hasil alam dilakukan secukupnya atau tidak berlebihan. Perempuan berperan aktif dalam aktivitas mata pencaharian.
3.
Sistem kemasyarakatan berdasarkan kekerabatan.
Tolong menolong dalam
kehidupan sehari hari terutama berdasarkan ikatan kekerabatan.
Keturunan
berdasarkan ambilineal, sehingga masyarakat luar desa, baik laki – laki maupun perempuan, apabila menikah dengan orang Petuk Ketimpun dan Marang, dapat memiliki tempat tinggal dan mata pencaharian menangkap ikan di desa tersebut. 4.
Sebagian besar beragama Islam.
Meskipun mereka beragama Islam, namun
upacara adat tetap digunakan pada saat perkawinan. Pada umumnya mereka juga masih mempercayai bahwa air, hutan dihuni oleh roh – roh. 5.
Bahasa yang digunakan sehari hari adalah bahasa Dayak Ngaju.
6.
Teknologi penangkapan ikan masih sederhana.
Metode penangkapan yang
tradisional menggunakan alat tangkap yang dibuat sendiri oleh nelayan, yang terbuat dari bahan baku dari alam seperti kayu, bambu dan rotan. 4.7.1. Konsumsi rumah tangga Tingkat konsumsi beras rata –rata mencapai 128,16 kg / orang / tahun dengan frekuensi makan pada umumnya 2 - 3 kali sehari (Lampiran 15). Rata-rata tingkat konsumsi beras nelayan lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi beras nasional tahun 2005 berdasarkan data BPS yaitu 136,3 kg / orang. Lauk makan utama berasal dari ikan hasil tangkapan sendiri. Sayur dibeli dari pedagang sayur keliling yang setiap pagi berkeliling di pemukiman nelayan. Lauk bukan ikan seperti telur, ayam, daging, tempe, kadang – kadang dibeli sebagai lauk alternatif. Beras dibeli dari warung bahan makanan pokok yang berada di sekitar pemukiman. Sekitar 86,67 % responden menggunakan kayu bakar untuk memasak pada tahun 2006.
Hal ini
disebabkan oleh lonjakan harga minyak tanah dan semakin sulitnya untuk mendapatkan minyak tanah di sekitar pemukiman nelayan. Kayu bakar diperoleh dari
79
mencari kayu di hutan oleh masing – masing keluarga nelayan. Mereka meluangkan hari tertentu untuk mencari kayu bakar. Kayu yang terkumpul dapat digunakan untuk konsumsi 1 - 2 minggu. Pengeluaran nelayan untuk kepentingan rumah tangga meliputi pengeluaran pangan dan non pangan. Komponen pengeluaran pangan meliputi : beras, mie instant, lauk pauk, bumbu, minyak goreng, gula, kopi, teh, susu dan kue.
Komponen
pengeluaran non pangan meliputi : bahan bakar (minyak tanah/kayu bakar), sabun cuci, sabun mandi, pasta gigi, listrik, rokok, sekolah anak, kesehatan, transportasi, pemeliharaan rumah, alat rumah tangga dan pakaian. Pengeluaran perkapita nelayan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pengeluaran rumah tangga responden No 1 2 3
Keterangan
Petuk ketimpun
Pengeluaran pangan Rata – rata (Rp/orang/bulan) Kisaran (Rp/orang/bulan) Pengeluaran non pangan Rata – rata (Rp/orang/bulan) Kisaran (Rp/orang/bulan) Pengeluaran total Rata – rata (Rp/orang/bulan) Kisaran (Rp/orang/bulan)
Marang
124.850 93.750 – 190.500
126.285 89.167 – 169.417
112.405 52.167 – 206.458
120.973 48.600 – 217.278
237.255 152.042 – 369.333
247.258 140.500 – 380.806
Pengeluaran nelayan hampir berimbang antara untuk pangan dan non pangan. Pengeluaran pangan berperan
52,62 % (Petuk Ketimpun) dan 51,07 % (Marang)
terhadap total pengeluaran. Sedangkan pengeluaran non pangan berperan 47,38 % (Petuk Ketimpun) dan 48,93 % (Marang) terhadap total pengeluaran.
Tingginya
proporsi pengeluaran pangan menunjukkan bahwa pendapatan nelayan masih terfokus untuk memenuhi kebutuhan primer, sedangkan kebutuhan yang sekunder belum mendapat pemenuhan yang cukup.
Pemenuhan kebutuhan sekunder seperti alat
rumah tangga, perumahan dan pakaian hanya mendapatkan proporsi kurang dari 1 % dari total pengeluaran. Pada masyarakat yang kesejahteraannya rendah, sebagian besar pengeluaran digunakan untuk pangan dibandingkan untuk non pangan. Sebagai perbandingan masyarakat pesisir di kota Kendari memiliki pengeluaran pangan 63,33% (Departemen Kelautan dan Perikanan RI 2003). Komposisi pengeluaran responden disajikan pada Gambar 33.
80
17
Petuk Ketimpun
16
Marang
15 14
Jenis Pengeluaran
13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
Proporsi (% )
Keterangan : Pengeluaran pangan Beras (1) Mie instant (2) Lauk dan bumbu (3) Minyak goreng (4) Kopi, teh, susu (5) Kue (6) Gula (7)
Pengeluaran non pangan Minyak tanah/ kayu bakar (8) Sabun cuci, sabun mandi, pasta gigi (9) Listrik (10) Rokok (11) Sekolah anak (12) Kesehatan (13) Transportasi (14) Pemeliharaan rumah (15) Alat rumah tangga (16) Pakaian (17)
Gambar 33. Komposisi pengeluaran responden
Pengeluaran pangan didominasi untuk pembelian beras, selanjutnya untuk membeli lauk. Beras merupakan sumber karbohidrat utama bagi nelayan. Belanja untuk lauk lebih rendah dari beras, karena nelayan cenderung memanfaatkan ikan hasil tangkapannya sendiri untuk lauk.
Pemanfaatan hasil tangkapan sebagai sumber
protein utama juga ditemukan pada nelayan rawa lebak di Bangladesh. Sekitar 98 % keluarga nelayan mengkonsumsi ikan paling sedikit 1 hari dari 5 hari survey di semua musim. Sekitar 48 % keluarga nelayan mengkonsumsi ikan setiap hari pada bulan Oktober (Roos et al. 2006). Pengeluaran non pangan terutama untuk rokok, sekolah
81
anak dan transportasi.
Pengeluaran non pangan yang proporsinya besar tersebut
ternyata merupakan jenis pengeluaran yang memiliki keharusan untuk dipenuhi. Biaya transportasi harus dikeluarkan, karena tanpa itu setiap kepentingan hidup mereka akan terhambat.
Biaya sekolah anak merupakan pengeluaran sebagai wujud tanggung
jawab orang tua terhadap masa depan anaknya. 4.7.2. Tingkat kemiskinan Tingkat kemiskinan yang ada di lokasi penelitian diukur dengan menggunakan kriteria yang diformulasikan oleh BPS, Sayogyo, dan Bank Dunia. Garis kemiskinan perkotaan pada bulan Maret 2006 Rp 175.324 / kapita / bulan (BPS
2006).
Pendekatan pengeluaran perkapita setara beras digunakan oleh Sayogyo untuk mengukur tingkat kemiskinan (Suryawati 2005).
Untuk daerah perkotaan, disebut
miskin apabila pengeluaran lebih kecil dari setara 480 kg beras perorang pertahun. Bank dunia memiliki kriteria kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan 1 US $ perhari (Sumedi & Supadi
2004).
Perbedaan hasil
pengukuran jumlah nelayan miskin berdasarkan tiga kriteria tersebut di atas disajikan pada Tabel 9. Jumlah proporsi nelayan miskin lebih tinggi menggunakan kriteria Sayogyo dibandingkan dengan kriteria BPS. Jumlah orang miskin terbanyak apabila mengunakan kriteria Bank Dunia. Ketiga kriteria tersebut secara konsisten menjelaskan bahwa jumlah nelayan miskin di Petuk Ketimpun lebih tinggi dibandingkan dengan Marang. Pada tahun 2005 seluruh nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang termasuk sebagai keluarga yang mendapat bantuan dari program raskin (beras murah untuk masyarakat miskin). Tabel 9. Proporsi jumlah responden yang miskin (%) No 1.
2.
Keterangan Petuk Ketimpun -Responden miskin -Responden tidak miskin Marang -Responden miskin -Responden tidak miskin
BPS
Kriteria Sayogyo
Bank Dunia
33,33 66,67
43,33 56,67
66,67 33,33
26,67 73,33
33,33 66,67
50,00 50,00
82
Analisis diskriminan stepwise digunakan untuk mengidentifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi
perbedaan tingkat kemiskinan
nelayan. Dalam analisis ini
menggunakan tingkat kemiskinan dari BPS. Faktor – faktor yang dianalisis ada 17 faktor yang dijelaskan pada Tabel 10. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor – faktor yang signifikan mempengaruhi tingkat kemiskinan nelayan Petuk ketimpun (nilai p = 0,0001) adalah : jumlah pemilikan jaring insang dan jala, jumlah jiwa/KK, hari kerja/minggu saat tidak musim ikan, dan luas pemilikan karamba. Faktor – faktor yang signifikan membedakan tingkat kemiskinan nelayan Marang (nilai p = 0,0001) adalah: jumlah pemilikan perahu mesin, perahu dayung dan jaring insang, jumlah jiwa/KK, dan luas pemilikan karamba. Tabel 10. Faktor – faktor yang dianalisis pengaruhnya terhadap tingkat kemiskinan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Faktor Jumlah Perahu mesin (buah) Jumlah Perahu dayung (buah) Jumlah Jaring insang (buah) Jumlah Jala (buah) Jumlah Rawai (mata pancing) Jumlah Anco (buah) Jumlah Jebakan (buah) Jumlah Selambau (buah) Umur responden (tahun) Jumlah jiwa / keluarga (orang) Hari kerja/minggu saat musim ikan (hari) Hari kerja/minggu saat tidak musim ikan (hari) Jam kerja/hari (jam) Harga jual ikan saat musim ikan (ribu rupiah) Harga jual ikan saat tidak musim ikan (ribu rupiah) 2 Luas Karamba (M ) 3 Volume tebangan kayu (M )
Berdasarkan analisis ini, maka faktor – faktor penyebab kemiskinan yang diidentifikasi di Petuk ketimpun dan Marang adalah : 1. Jumlah kepemilikan perahu dan alat tangkap Sektor penangkapan ikan memiliki peranan terbesar terhadap total pendapatan nelayan.
Pendapatan dari sektor penangkapan dipengaruhi oleh jumlah
pemilikan perahu dan alat tangkap. Keterbatasan jumlah pemilikan alat tangkap maupun perahu akan mengakibatkan nelayan tidak mampu mendapatkan
83
pendapatan yang layak. Bene & Neilard (2004) menemukan kecenderungan keterkaitan yang sama antara pemilikan alat tangkap dengan tingkat kemiskinan di perikanan subsisten danau Chad, Afrika. Nelayan yang memiliki alat tangkap sedikit cenderung lebih miskin dibandingkan yang alat tangkapnya lebih banyak. Demikian juga nelayan yang lebih miskin cenderung menggunakan jenis alat tangkap yang lebih sedikit. 2. Jumlah anggota keluarga Besar jumlah anggota keluarga menjadi salah satu penyebab kemiskinan. Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak, akan menyebabkan beban tanggungan nelayan yang semakin berat untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Menurut Darwis & Nurmanaf (2001) rumah tangga miskin memiliki rata – rata jumlah anggota rumah tangga yang lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak tergolong miskin. 3. Luas pemilikan karamba Memelihara ikan di karamba merupakan alternatif pekerjaan yang memberi kontribusi penting terhadap pendapatan nelayan. Hasil panen karamba dapat menambah pendapatan nelayan terutama pada saat pendapatan dari sektor penangkapan ikan berkurang akibat tidak musim ikan. Sebagian besar nelayan telah memiliki karamba.
Semakin kecil luas pemilikan karamba, akan
menyebabkan semakin sedikitnya tambahan pendapatan pada saat tidak musim ikan. Pendapatan dari memelihara ikan di karamba juga untuk mengatasi sifat ketidakpastian pendapatan dari penangkapan ikan. Menurut Darwis & Nurmanaf (2001) rendahnya penguasaaan aset produktif merupakan salah satu ciri rumah tangga miskin. Dengan demikian keterbatasan luas pemilikan karamba menjadi faktor penyebab kemiskinan. 4.8. Karakteristik mata pencaharian nelayan Mata pencaharian nelayan terdiri dari mata pencaharian utama dan mata pencaharian sampingan. Mata pencaharian utama yaitu menangkap ikan di perairan umum, sedangkan mata pencaharian sampingan yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang adalah memelihara ikan di karamba dan mencari kayu di hutan.
Kecenderungan nelayan memiliki mata
84
pencaharian sampingan disebabkan oleh : (1) pendapatan sektor penangkapan ikan saat tidak musim ikan tidak mencukupi kehidupan sehari – hari, (2) ketidak pastian pendapatan dari sektor menangkap ikan di rawa lebak, dan (3) adanya sumberdaya alam selain ikan di lingkungan rawa lebak yang dapat dieksploitasi. 4.8.1. Mata pencaharian menangkap ikan Mata pencaharian menangkap ikan dilakukan dengan kerja sama
seluruh
anggota keluarga. Tenaga kerja untuk menangkap ikan hanya menggunakan anggota keluarga.
Bentuk kerja sama bervariasi meliputi : bersama-sama suami dan isteri
menangkap ikan, suami menangkap ikan dan isteri menjual ikan hasil tangkapan, atau masing-masing menangkap ikan, yaitu isteri menangkap ikan pada lokasi yang berdekatan dengan tempat tinggal, sedangkan suami menangkap ikan di tempat yang lebih jauh. Anak mereka yang sudah tidak sekolah lagi pada umumnya ikut membantu juga dalam menangkap ikan.
Anak yang masih sekolah tidak dilibatkan dalam
menangkap ikan. Waktu yang digunakan untuk menangkap ikan berkisar antara 4 – 7 jam / hari. Aktifitas menangkap ikan dilakukan 2 periode dalam satu hari, yaitu : sore hari dan pagi hari. Alat tangkap sudah dipasang sebelumnya dan tidak diambil lagi dari perairan sepanjang musim ikan. Aktifitas yang dilakukan hanya memungut ikan yang tertangkap pada alat tangkap.
Pada umumnya alat tangkap berupa jaring insang dan rawai
ditinggalkan oleh nelayan di perairan setelah musim ikan selesai.
Nelayan akan
membeli alat tangkap yang baru lagi untuk musim ikan berikutnya. Penangkapan ikan yang dilakukan nelayan tidak memerlukan waktu yang panjang. Beberapa penyebab pendeknya jam kerja tersebut adalah : (1) Lokasi penangkapan tidak jauh dari tempat tinggal nelayan. Jarak tempuh tidak lebih dari 30 menit dari tempat tinggal. (2). Alat tangkap tidak diangkat setelah terpasang selama musim ikan, sehingga tiap hari aktivitas nelayan hanya mengambil ikan yang tertangkap, tanpa bongkar pasang alat tangkap. (3) Nelayan mengambil ikan yang tertangkap hanya 1 – 2 kali dalam satu hari yaitu pagi dan sore. (4) Nelayan telah memiliki ketrampilan yang baik dalam menangkap ikan, sehingga dapat bekerja dengan cepat dan efisien. Mata pencaharian penangkapan ikan yang dilakukan di Petuk Ketimpun dan Marang bersifat subsisten. Beberapa karakteristik subsisten berdasarkan Berkes et al.
85
(2001) yang terdapat pada nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang dijelaskan pada Tabel 11. Karakteristik usaha penangkapan ikan subsisten merupakan kondisi yang umumnya terjadi pada perikanan di perairan pedalaman di seluruh negara berkembang, seperti di Afrika (Bene & Neiland 2001; Ngochera 2001), Laos (Lorenzen & Sultana 2003) , Bangladesh (Thompson et al. 2000), Brazil (Almeida et al. 2004). Perikanan rawa lebak terbesar di dunia terdapat di kawasan Amazon.
Perikanan
subsisten di wilayah ini berperan 65 % hasil tangkapan, sedangkan di Santarem Brazil, perikanan subsisten mencapai 84 % dari jumlah nelayan (Almeida et al.
2004).
Perikanan di rawa lebak cenderung subsisten karena nelayan yang menangkap ikan berasal dari penduduk desa yang bermukim di sekitar rawa lebak yang umumnya memiliki modal yang terbatas dan alat tangkap komersial seperti trawl, purse seine tidak dapat dioperasikan dengan efektif di lingkungan rawa lebak (Moss 1998). Tabel 11. Karakteristik perikanan subsisten di Petuk Ketimpun dan Marang No
Karakteristik subsisten berdasarkan Berkes et al. (2001) yang dijumpai di Petuk Ketimpun dan Marang
1. 2. 3.
Unit perikanan dioperasikan sendiri atau keluarga Pemilik berperan sebagai operator unit perikanan Alat tangkap dibuat oleh nelayan sendiri seperti jaring insang, rawai, jebakan, selambau. Investasi rendah Tangkapan per unit usaha perikanan rendah Perahu kecil, dengan motor tempel (outboard), dan sebagian tanpa motor Pengoperasian alat tangkap secara manual Ikan tangkapan sebagian dikonsumsi keluarga sendiri sesuai kebutuhan harian. Ikan tangkapan tanpa diproses, untuk tujuan langsung dikonsumsi. Namun sebagian kecil nelayan ada yang memproses menjadi ikan kering. Pemasaran hasil tangkapan hanya di tingkat lokal, bahkan hanya di wilayah kota Palangkaraya saja. Tidak ada pengorganisasian untuk pemasaran hasil tangkapan. Pekerjaan bersifat informal, part time dan multioccupation. Sumberdaya ikan tidak ada pengelolaan dari pihak Pemerintah. Tidak ada pengumpulan data perikanan yang akurat
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
4.8.1.1. Kepemilikan alat tangkap Perahu yang digunakan oleh nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu perahu bermotor dan perahu dayung (tanpa motor). Sekitar 93,33 % nelayan responden telah memiliki perahu bermotor. Perahu dayung
86
yang dimiliki nelayan Petuk Ketimpun berkisar antara 0 – 2 buah / nelayan, sedangkan nelayan Marang memiliki perahu dayung berkisar antara 1 – 6 buah / nelayan. Perahu yang dimiliki pada umumnya jenis perahu kayu dengan ukuran panjang
4 meter.
Mesin motor perahu yang digunakan ada dua jenis yaitu mesin motor bensin (merek Yamaha 100 cc) dan mesin diesel solar (merek dongfeng). Sebagian besar nelayan menggunakan motor bensin karena lebih mudah pemeliharaannya dan dapat dibongkar pasang dengan cepat di perahu. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang sangat beragam jenis dan spesifikasinya. Besarnya variasi habitat dan species ikan di rawa lebak merupakan penyebab utama bervariasinya alat tangkap yang digunakan oleh nelayan (Hoggarth-Vicki et al. 1999). Alat tangkap tersebut antara lain : jaring insang (rengge), jala, pancing, rawai, anco, selambau dan beberapa jenis jebakan seperti tempirai, lukah dan bubu. Jumlah rata – rata kepemilikan alat tangkap tiap nelayan disajikan pada Tabel 12. nelayan adalah jaring insang.
Alat tangkap utama yang dimiliki hampir semua
Alat tangkap lain yang dominan dimiliki oleh nelayan
adalah rawai, jebakan dan anco. Tabel 12. Kepemilikan alat tangkap oleh responden Responden
Jaring insang
Jumlah kepemilikan alat tangkap / nelayan Rawai * Jebakan Anco Jala
Petuk Ketimpun Rata – rata (buah) 12,13 5,53 20,33 Kisaran (buah) 0 - 20 0 - 20 0 - 100 Jumlah nelayan 93,33 80,00 76,67 pemilik (%) Marang Rata-rata (buah) 14,07 2,03 10,00 Kisaran (buah) 6 - 20 0 - 10 0 - 60 Jumlah nelayan 100,00 43,33 50,00 pemilik (%) * Keterangan : satu rawai terdiri dari 50 mata pancing
Selambau
1,53 1-4 73,33
0,20 0-2 16,67
0,30 0–1 30,00
1,63 0-4 73,33
0,20 0-2 16,67
0,23 0–1 23,33
Jaring insang dapat dioperasikan baik pada musim air tinggi maupun air rendah. Pada saat musim air tinggi, jaring insang dapat dipasang di rawa terbuka, di rawa berhutan, maupun anak sungai. Pada musim air rendah, jaring insang tidak dapat dipasang di rawa berhutan maupun anak sungai yang surut. Ukuran mata jaring yang
87
digunakan bervariasi antarai 1 inci hingga 6 inci. Dinas Perikanan Kota Palangkaraya merekomendasikan ukuran mata jaring untuk jaring insang yang digunakan minimal 2,5 inci. Rekomendasi ini bertujuan untuk melindungi ikan berukuran masih kecil (benih ikan) dari penangkapan. menggunakan
Namun sebaliknya justru nelayan lebih dominan
ukuran mata jaring 1 s/d 2,25 inci (Tabel 13).
Alasan nelayan
menggunakan ukuran mata jaring yang kecil adalah untuk menangkap ikan berukuran kecil yang dapat dijual seperti ikan saluang dan puhing. Tabel 13. Ukuran mata jaring dari jaring insang yang digunakan oleh responden
Jumlah responden pemakai - Petuk Ketimpun (%) - Marang (%)
Ukuran mata jaring (inci) 1s/d 2,25 2,5 s/d 4 5 s/d 6 93,33 100,00
73,33 76,67
76,67 56,67
Rawai merupakan pancing yang dipasang secara bersambungan. Tiap rawai terdiri dari sekitar 50 - 100 mata pancing. Umpan yang digunakan untuk rawai adalah ikan – ikan kecil. Rawai digunakan hanya pada saat musim air tinggi. Rawai dipasang di rawa hutan maupun di sungai rungan. Ikan sasaran untuk rawai adalah ikan – ikan berukuran besar dan bersifat karnivora seperti baung, tapah, haruan, dan toman. Alat tangkap jebakan pada umumnya dibuat sendiri oleh nelayan dengan bahan baku dari alam sekitar seperti bambu, dan rotan. Sebagian nelayan membuat lukah dan bubu menggunakan ram kawat. Jebakan lukah dan bubu digunakan baik pada musim air tinggi maupun air rendah. Pada saat musim air tinggi, lukah atau bubu diletakkan di sungai atau rawa berhutan. Sedangkan pada musim air rendah, terbatas diletakkan di sungai Rungan. Lukah dan bubu menggunakan umpan dalam pengoperasiannya. Umpan yang diberikan berupa dedak yang dimasukkan dalam bambu. Ikan yang tertangkap terdiri dari ikan omnivora maupun karnivora.
Ikan omnivora masuk ke
dalam jebakan karena daya tarik umpan. Jenis ikan yang terjebak antara lain : sepat, kapar, biawan. Ikan karnivora seperti ikan lais, baung, lele, toman dan haruan, masuk jebakan karena daya tarik mangsa berupa ikan omnivora yang telah terjebak sebelumnya. Tempirai adalah jebakan yang menjebak ikan yang sedang melakukan migrasi dari perairan rawa ke sungai atau sebaliknya. Tempirai dioperasikan pada saat
88
kondisi ketinggian air meningkat maupun pada saat menurun. Tempirai diletakkan di anak sungai dan menjebak ikan yang lewat anak sungai tersebut. Jenis ikan yang tertangkap adalah jenis ikan yang migrasi melewati anak sungai tersebut, seperti ikan lais, kelabau. Anco dioperasikan di perairan rawa terbuka.
Pemilik anco pada umumnya
adalah pemilik karamba, karena anco digunakan terutama untuk mencari ikan sebagai pakan ikan toman yang dibudidayakan dalam karamba. Oleh karena itu jumlah nelayan pemilik anco seiring dengan jumlah pemilik karamba. Ikan yang tertangkap terutama ikan-ikan species kecil seperti saluang, puhing, sepat dan beberapa jenis anak ikan. Alat tangkap yang jarang dimiliki oleh nelayan adalah selambau dan jala. Selambau
adalah
jaring
yang
membendung
anak
sungai.
Pada
umumnya
menggunakan ukuran mata jaring yang kecil sekitar 0,75 – 1,25 inci.
Selambau
dipasang pada saat ketinggian air naik maupun pada saat air turun.
Prinsip kerja
selambau adalah membendung anak sungai, sehingga semua jenis ikan baik ikan species kecil maupun besar yang melewati anak sungai tersebut akan tertangkap ketika selambau dioperasikan.
Jumlah nelayan pemilik selambau terbatas, karena
lokasi yang bisa dipasang selambau terbatas jumlahnya.
Pada suatu lokasi yang
sudah dipasang selambau oleh nelayan, maka lokasi tersebut tidak boleh dipasang selambau oleh nelayan lain. Jala merupakan alat tangkap yang jarang dimiliki oleh nelayan (hanya 16 % nelayan yang memilikinya). Jala tidak efisien digunakan untuk mencari ikan di rawa lebak, karena di dasar perairan banyak batang kayu dan akar yang akan merusak jala yang digunakan. Hasil analisis regresi stepwise menunjukkan bahwa alat tangkap yang signifikan berperan terhadap hasil tangkapan ikan di Petuk Ketimpun adalah jaring insang dan selambau. Alat tangkap yang lebih signifikan berperan di Marang adalah jaring insang dan rawai (Tabel 14). Jaring insang merupakan alat tangkap utama yang dimiliki oleh nelayan. Jaring insang memiliki kontribusi relatif yang lebih tinggi dibanding dengan selambau dan rawai, sehingga merupakan alat tangkap yang paling tinggi berperan terhadap hasil tangkapan di Petuk Ketimpun maupun Marang. Alat tangkap ini memiliki keuntungan dibandingkan menggunakan alat tangkap lain, yaitu : (1) dapat dioperasikan baik musim hujan maupun kemarau, (2) mudah dipasang dan dipindah – pindahkan dari lokasi satu ke lokasi lain, (3) dapat selektif memilih ukuran ikan target,
89
melalui pemilihan ukuran mata jaring yang digunakan dan (4) alat tangkap tersebut mudah diperoleh dengan harga yang dapat dijangkau oleh nelayan. Jaring insang juga memiliki peranan penting di perikanan rawa lebak negara lain.
Jaring insang
merupakan alat tangkap yang dominan di rawa lebak Tonle Sap, Kamboja terutama untuk perikanan subsisten (Lambert 2001).
Selambau dimiliki oleh orang – orang
tertentu, biasanya keluarga yang sudah lama menjadi nelayan di daerah tersebut. Selambau dipasang di anak sungai penghubung antara sungai besar dengan rawa terbuka maupun rawa berhutan, atau penghubung antar rawa terbuka. Lokasi penempatan selambau merupakan lokasi yang dikuasai secara pribadi/ personal secara terus menerus.
Akibatnya nelayan yang lebih
menguasai lokasi tersebut.
lama akan lebih dahulu
Selambau merupakan alat tangkap yang tidak selektif.
Semua jenis ikan dengan berbagai ukuran tertangkap dengan selambau ini. Bahkan ikan yang sedang migrasi untuk memijah di rawa berhutan akan tertangkap menggunakan alat ini. Demikian juga anak ikan yang belum dewasa akan tertangkap ketika migrasi ke nursery ground di rawa. Alat tangkap selambau seharusnya dilarang digunakan untuk menangkap ikan, karena akan mengancam kelestarian berbagai jenis ikan rawa lebak. Rawai terutama digunakan pada saat musim air tinggi, ketika alat tangkap lain kurang efektif untuk menangkap ikan. Rawai merupakan alat tangkap yang selektif yang diatur oleh besarnya mata pancing. Tabel 14. Hasil analisis regresi stepwise antara jumlah tiap alat tangkap dengan hasil tangkapan ikan No 1
Keterangan Petuk Ketimpun - Model regresi - Nilai R dan p - Kontribusi relatif
2
Marang - Model regresi - Nilai R dan p - Kontribusi relatif
Keterangan :
Ya X1a X1b X2a X2b
Hasil analisis
Ya = 1,443 + 0,101X1a + 0,486X2a R = 0,658 ; nilai p = 0,0001 Jaring insang (X1a) = 68,98 % Selambau (X2a) = 31,02 % Ya = 1,617 + 0,076X1b + 0,104X2b R = 0,529 ; nilai p = 0,0120 Jaring insang (X1b) = 51,33 % Rawai (X2b) = 48,67 %
= Hasil tangkapan (ton/tahun) = Jaring insang nelayan Petuk Ketimpun (unit) = Jaring insang nelayan Marang (unit) = Selambau nelayan Petuk Ketimpun (unit) = Rawai nelayan Marang (unit)
90
4.8.1. 2. Lokasi penangkapan Nelayan Petuk Ketimpun dan Marang melakukan penangkapan ikan di sungai, rawa berhutan dan rawa terbuka (disebut danau oleh masyarakat setempat). Lokasi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Petuk Ketimpun meliputi sungai Rungan, rawa berhutan, dan danau Hanjalantung, Rasak, Hambubut, Burung. Nelayan di Marang menangkap ikan di sungai Rungan, rawa berhutan, dan danau Marang, Madang, Dapur, Cangkir, Rasau, Bajawak
(Lampiran 16). Sungai Rungan
dimanfaatkan sebagai lokasi penangkapan oleh 86,67 % responden (Petuk Ketimpun) dan 90,00 % responden (Marang).
Sungai Rungan digunakan sebagai lokasi
penangkapan terutama pada musim kemarau, ketika perairan rawa lebak menjadi dangkal atau kering. Alat tangkap yang digunakan meliputi jaring insang, rawai, dan jebakan (bubu, lukah). Nelayan yang memanfaatkan rawa berhutan sebagai lokasi penangkapan sekitar 80,00 % responden di Petuk Ketimpun dan 40 % responden di Marang. Alat tangkap yang digunakan di rawa berhutan biasanya pancing atau rawai. Rawa terbuka dimanfaatkan sebagai lokasi penangkapan ikan oleh 96,67 % responden di Petuk Ketimpun dan 100 % responden di Marang. Rawa terbuka menjadi lokasi utama untuk penangkapan ikan di kedua wilayah tersebut.
Rawa terbuka menjadi
lokasi utama penangkapan ikan karena alat tangkap jaring insang mudah digunakan, lokasi mudah dimasuki dengan perahu dan merupakan tempat yang memberikan hasil tangkapan ikan yang lebih banyak dibanding tempat lain. Hasil tangkapan ikan di Kota Palangkaraya terutama berasal dari perairan rawa terbuka. sekitar 50,50 % hasil tangkapan berasal dari rawa terbuka, dan sisanya dari sungai, dan rawa hutan (Tabel 15). Rawa terbuka merupakan tempat penangkapan ikan yang utama yang dilakukan oleh nelayan Kota Palangkaraya. Penangkapan ikan di rawa hutan dan sungai lebih sulit dilakukan, karena jaring insang sulit dioperasikan di kedua perairan tersebut. Penangkapan di sungai terutama dilakukan menggunakan jebakan, dan rawai, sedangkan di rawa hutan menggunakan pancing.
91
Tabel 15. Rata – rata hasil penangkapan ikan berdasarkan tipe perairan tahun 2001 s/d 2005 di Kota Palangkaraya No
Keterangan
1. 2. 3.
Hasil tangkapan (ton/th) Hasil tangkapan (kg/hektar/tahun) Persentase hasil tangkapan (%)
Sungai 488,61 48,86 25,23
Tipe perairan Rawa Rawa terbuka berhutan 977,91 470,05 729,05 10,22 50,50 24,27
Seluruh perairan 1936.57 33,77 100
Sumber : Dinas Pertanian Kota Palangkaraya (2002 - 2006) 4.8.1.3. Hasil tangkapan ikan Jumlah hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan bervariasi bergantung pada kondisi perairan.
Hasil tangkapan lebih banyak pada saat terjadi perubahan
ketinggian air. Beberapa kondisi perairan yang dapat memberikan hasil tangkapan yang lebih banyak antara lain : (1) Awal musim hujan, (2) awal musim kemarau, (3) akhir musim kemarau (puncak kekeringan). Kondisi ini umum terjadi pada perikanan rawa lebak di daerah tropis (Welcomme 1983; 2003b). Junk and Wantzen (2004) menyatakan bahwa siklus alam dalam sistem rawa lebak dikontrol oleh kondisi hidrologi. Perubahan hidrologi yang berulang (pulse) mempengaruhi siklus biofisik dan kimia di perairan tersebut. Ikan sebagai biota yang bergantung pada lingkungannya akan menyesuaikan ritme kehidupannya dengan perubahan hidrologi tersebut. Nelayan memanfaatkan pengetahuan tentang ritme kehidupan ikan untuk kepentingan penangkapan ikan. Hasil tangkapan ikan tiap nelayan pada saat musim ikan rata – rata 11,53 kg / hari dan pada saat tidak musim ikan rata – rata 4,73 kg / hari untuk responden di Petuk Ketimpun. Responden di Marang rata – rata memperoleh hasil tangkapan ikan sebesar 12,17 kg / hari (musim ikan) dan 4,03 kg / hari (tidak musim ikan). Dengan demikian perolehan ikan pada saat tidak musim ikan berkisar 33,11 % – 41,02 % dari musim ikan. Hasil tangkapan ikan di Kota Palangkaraya tahun 2001 - 2005 disajikan pada Tabel 16. Rata-rata hasil tangkapan ikan di Petuk Ketimpun 2,812 ton / nelayan dan di Marang 2,893 ton / nelayan. Estimasi hasil tangkapan ikan total tahun 2005 di Petuk Ketimpun sekitar 374,12 ton dan di Marang sekitar 326,91 ton. Dengan demikian hasil tangkapan di Petuk Ketimpun dan Marang memberi kontribusi 36,68 % dari hasil tangkapan ikan total dari seluruh Kota Palangkaraya.
92
Tabel 16. Jumlah nelayan dan hasil penangkapan ikan di Kota Palangkaraya No
Tahun
1. 2. 3. 4. 5.
2001 2002 2003 2004 2005 Rata rata
Jumlah nelayan (orang) 929 880 852 843 856 972
Hasil tangkapan (ton) 1967,80 1960,70 1925,80 1917,57 1910,98 1936,57
Hasil tangkapan tiap nelayan (ton/orang) 2,12 2,23 2,26 2,27 2,23 2,22
Sumber : Dinas Pertanian Kota Palangkaraya (2002 - 2006)
Rata-rata jumlah nelayan dari tahun 2001 – 2005 sekitar 972 orang. Dari tahun 2001 – 2004, jumlah nelayan cenderung menurun sekitar 3,09 % / tahun, namun pada tahun 2005 kembali meningkat sekitar 1,54 %. Kepadatan nelayan di Palangkaraya masih rendah yaitu sekitar 1,52 nelayan / km2 luas perairan, sedangkan kepadatan nelayan rawa lebak di Sumatera Selatan berkisar 3 – 4 nelayan / km2 (Hoggarth et al. 1999). Hasil tangkapan ikan tiap nelayan di Kota Palangkaraya dari tahun 2001 – 2005 berkisar antara 2,12 – 2,27 ton / nelayan / th. Hasil tangkapan ikan oleh nelayan Kota Palangkaraya tidak jauh berbeda dengan hasil tangkapan ikan di rawa lebak pada umumnya di Indonesia yaitu berkisar antara 2,2 – 3,3 ton / orang / th (Hoggarth et al. 1999). Menurut Kapetsky & Barg (1997), pada perikanan tangkap skala kecil biasanya hasil tangkap sekitar 1 – 2 ton / orang / th. Jika kurang dari itu maka merupakan indikasi terjadinya penangkapan berlebih atau penurunan kualitas lingkungan yang menyebabkan penurunan potensi perikanan. Jenis ikan hasil tangkapan bervariasi, terdiri dari ikan yang bernilai ekonomi dan ikan yang tidak dapat dijual. Kondisi ini merupakan ciri khas perikanan di daerah tropis yang bersifat multispecies (Welcomme
1983).
Beberapa jenis ikan yang bernilai
ekonomi yang sering tertangkap oleh nelayan disajikan pada Tabel 17. Jenis ikan yang lebih sering diperoleh dalam jumlah banyak (ikan tangkapan yang dominan) antara lain : puhing, kalabau, lais, baung, pantik, dan kapar (Lampiran 16). Jenis ikan yang paling diharapkan dapat tertangkap oleh nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang adalah ikan baung dan lais, karena harganya lebih mahal dibanding jenis ikan lain, banyak disukai konsumen, dan untuk ikan baung dapat dijual dalam keadaan hidup. Jenis ikan tangkapan yang tidak dapat dijual karena tidak bernilai ekonomi menjadi ikan sisa tangkapan. Jenis ikan yang tidak bernilai ekonomi meliputi ikan yang
93
tidak biasa dikonsumsi orang, atau jenis ikan yang bernilai ekonomi, namun ukurannya terlalu kecil waktu ditangkap. Sebagian besar sisa tangkapan adalah termasuk pada jenis ikan yang bernilai ekonomi, namun ukurannya terlalu kecil waktu ditangkap. Alat tangkap yang memiliki peranan besar
menghasilkan ikan sisa tangkapan adalah :
jaring insang berukuran mata jaring kecil (1 – 1,5 inci) dan selambau. Berdasarkan penangkapan eksperimen dengan jaring insang ukuran 1 inci ternyata sekitar 40 % hasil tangkapan merupakan ikan yang tidak bernilai ekonomi.
Pengamatan pada
penangkapan dengan selambau yang dilakukan oleh nelayan, jumlah ikan sisa tangkapan sekitar 60 %. Ikan sisa tangkapan dari jaring insang dibuang oleh nelayan ke perairan. Ikan sisa tangkapan dari selambau pada umumnya masih hidup, dan dikembalikan oleh nelayan ke perairan. Sebagian nelayan menggunakan ikan sisa tangkapan tersebut untuk pakan ikan toman di karamba. Tabel 17. Jenis – jenis ikan tangkapan nelayan yang bernilai ekonomi No
Nama lokal
Nama ilmiah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Puhing Saluang Kalabau Biawan Kapar Patung Sepat Papuyu Karandang Toman Baung / pantik Tapah Pipih Lele Lais
Cyclocheilichthys apogon Rasbora (beberapa jenis) Osteochilus kalabau Helostoma teminckii Belontia hasselti Pristolepis grooti Trichogaster leerii Anabas testudineus Channa pleurophthalmus Channa micropeltes Hemibagrus nemurus Wallago leerii Citala borneensis Clarias (beberapa jenis) Kryptopterus dan Ompok (beberapa jenis)
4.8.1.4. Pemasaran hasil tangkapan ikan Sistem pemasaran ikan hasil tangkapan masih sederhana.
Ikan dipasarkan
dengan beberapa sistem pemasaran yang dilakukan oleh nelayan, antara lain : (1) dijual di sungai kepada pedagang ikan yang datang ke kampung nelayan (2) dijual ke pasar kepada pedagang (3) dijual sendiri dengan cara dijual di pasar atau berkeliling menggunakan motor / sepeda. Pemasaran dengan menjual ikan pada pedagang yang
94
datang ke kampung nelayan, merupakan sistem utama pemasaran ikan. Hal ini karena belum adanya pengorganisasian dalam pemasaran ikan.
Masing- masing individu
nelayan berusaha memasarkan ikan hasil tangkapannya tanpa bantuan lembaga pemerintahan. Sebagian pemasaran.
besar
nelayan
Petuk
Ketimpun
tidak
mengalami
Hambatan pemasaran dialami oleh nelayan Marang.
hambatan Hambatan
pemasaran ikan hasil tangkapan dinyatakan oleh 40 % responden di Petuk Ketimpun dan 86,67 % responden di Marang.
Beberapa faktor hambatan pemasaran yang
dikemukakan oleh nelayan dideskripsikan pada Tabel 18. Hambatan pemasaran di Marang terutama disebabkan oleh pedagang yang tidak tiap hari datang ke kampung nelayan di Marang. Lokasi Marang yang lebih jauh dari kota (23 km) menyebabkan pedagang lebih memilih datang ke Petuk Ketimpun yang lebih dekat dari kota (10 km). Perbedaan jarak ke kota mempengauhi rata – rata harga jual ikan di tingkat nelayan. Rata – rata harga jual ikan di Petuk Ketimpun Rp 6.592 / kg , sedangkan di Marang lebih rendah yaitu Rp 5.600 / kg (Lampiran 16). Nelayan Marang terpaksa mengawetkan ikan hasil tangkapan yang tidak terjual dengan cara menjadi ikan asin. Pemasaran dengan cara dijual ke pasar atau dijual berkeliling hanya dilakukan sebagian kecil nelayan. Hanya 23,34 % responden di Petuk Ketimpun dan 6,67 % responden di Marang yang memasarkan ikan secara langsung kepada konsumen dengan berjualan di pasar atau dijual keliling (Lampiran 16).
Perbedaan persentase
ini disebabkan oleh jarak pemukiman nelayan dengan kota yang berbeda. Nelayan Marang untuk memasarkan sendiri ikan hasil tangkapannya ke kota menjadi tidak efisien, karena jaraknya terlalu jauh. Tabel 18. Beberapa faktor hambatan pemasaran ikan No 1. 2. 3. 4. 5.
Faktor hambatan Saat musim ikan, hasil tangkapan kurang laku dijual, terutama ikan yang berukuran kecil Saat musim ikan, harga ikan terlalu rendah Harga ditentukan oleh pembeli Pembeli tidak rutin datang, sehingga ikan tidak dapat dijual tiap hari Pembeli jumlahnya terbatas
95
4.8.1.5. Pendapatan dari menangkap ikan Pendapatan dari menangkap ikan disajikan pada Tabel 19. Pendapatan harian dari penangkapan ikan dipengaruhi oleh musim ikan. Musim ikan terjadi pada bulan April sampai dengan November. Rata – rata pendapatan harian nelayan pada saat tidak musim ikan lebih rendah dibandingkan pada saat musim ikan.
Rata – rata
pendapatan harian untuk responden di Petuk Ketimpun pada saat tidak musim ikan 41,95 % dari pendapatan harian saat musim ikan. Sedangkan di Marang pendapatan harian saat tidak musim ikan 32,69 % dibanding pendapatan harian saat musim ikan. Perbedaan pendapatan antara musim ikan dengan tidak musim ikan disebabkan oleh hasil tangkapan ikan pada saat tidak musim ikan sekitar 43,30 % (Petuk Ketimpun) dan 34,79 % (Marang) dibanding saat musim ikan. Perbedaan pendapatan antar musim ini mengakibatkan pada saat tidak musim ikan terjadi kerawanan kemiskinan, karena pendapatan saat tidak musim ikan tidak lebih dari separuh pendapatan saat musim ikan. Pendapatan rata-rata sektor penangkapan ikan di Petuk Ketimpun lebih tinggi dibanding dengan nelayan Marang, meskipun rata-rata hasil tangkapan ikan per nelayan di Marang dan Petuk Ketimpun tidak jauh berbeda yaitu sekitar 2,8 ton / nelayan / th. Kondisi ini disebabkan oleh harga rata-rata ikan di Marang lebih rendah yaitu sekitar 84,1 % dibanding harga ikan di Petuk Ketimpun. Biaya yang dikeluarkan untuk penangkapan ikan di Petuk Ketimpun dan Marang meliputi biaya untuk perahu, alat tangkap, bahan bakar (bensin atau solar), umpan.
dan
Biaya untuk penangkapan disajikan pada Tabel 19. Proporsi biaya bahan
bakar mencapai 69,29 % di Petuk Ketimpun dan 74,45 % di Marang dari total biaya penangkapan. Hal ini menunjukkan perubahan harga bahan bakar akan sangat berpengaruh terhadap pengeluaran nelayan untuk penangkapan ikan. Pemerintah pada tahun 2005 dan 2006 melakukan tindakan menaikkan harga BBM yang mengakibatkan harga bensin di lokasi pemukiman nelayan mengalami kenaikan harga bensin sebesar Rp 1.500 / liter yaitu dari Rp 4.500 / liter menjadi Rp 6000 /liter.
Kenaikan ini
mengakibatkan nelayan menghemat pemakaian BBM dengan lebih membatasi wilayah penangkapan dan mengurangi pemakaian perahu motor.
Pembatasan wilayah
penangkapan cenderung mengakibatkan peningkatan tekanan penangkapan di wilayah yang dekat pemukiman.
96
Tabel 19. Biaya dan pendapatan mata pencaharian menangkap ikan No
Keterangan
1.
Rata – rata biaya - Perahu (rupiah/tahun/nelayan) - Alat tangkap (rupiah/tahun/nelayan) - Bahan bakar (rupiah/tahun/nelayan) - Umpan (rupiah/tahun/nelayan) - Total (rupiah/tahun/nelayan)
2.
Rata – rata Pendapatan - harian - Musim ikan (rupiah/hari/nelayan) - Tidak musim ikan (rupiah/hari/nelayan) - Total kotor (rupiah/tahun/nelayan) - Total bersih (rupiah/tahun/nelayan)
Lokasi Responden Petuk Ketimpun Marang 406.667 475.000 5.915.000 1.739.400 8.536.067
473.333 570.000 5.522.400 851.500 7.417.233
34.167 14.333 17.245.000 8.709.933
34.767 11.367 15.690.000 8.272.767
Rasio pendapatan total kotor dengan biaya (B/C rasio) sektor penangkapan ikan di Petuk Ketimpun sekitar 2,02 dan di Marang sekitar 2,11. B/C rasio lebih dari 1, menunjukkan bahwa pendapatan dari usaha ini masih sangat menguntungkan. Perhitungan biaya tenaga kerja tidak dimasukkan, karena menangkap ikan merupakan mata pencaharian yang dilakukan sendiri oleh nelayan, tanpa ada tenaga upahan
4.8.2. Mata pencaharian memelihara ikan di karamba Salah satu alternatif matapencaharian nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang adalah memelihara ikan di karamba. Karamba diletakkan di tepi sungai Rungan sekitar pemukiman nelayan. Karamba diletakkan tidak jauh dari rumah nelayan pemilik untuk memudahkan dalam pengawasan. Nelayan yang rumahnya tidak dekat sungai, biasanya meletakkan karamba di perairan sungai dekat rumah kerabatnya yang berada di pinggir sungai. Karamba dibuat sendiri oleh nelayan dengan bahan baku dari kayu hutan atau bambu. Usaha budidaya ikan di karamba yang dilakukan oleh nelayan memiliki peranan penting sebagai penyedia pangan maupun pendapatan terutama pada saat hasil tangkapan ikan dari alam tidak mencukupi atau ketika tidak musim ikan (Phillips 2002). Berdasarkan data perikanan Kota Palangkaraya, terjadi peningkatan jumlah pemilik karamba di Kota Palangkaraya sekitar 49,1 % / tahun (Tabel 20). Produksi ikan
97
karamba mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2001 hingga 2005. Produktifitas karamba di Kota Palangkaraya berkisar antara 53,69 – 103,69 kg / m2. Jenis ikan yang tercakup dalam data produksi ikan adalah : ikan toman, mas, bawal tawar, nila, dan patin. Budidaya ikan di karamba yang dilakukan oleh nelayan Petuk Ketimpun dan Marang terbatas pada ikan toman saja. Pada tahun 2005 produksi ikan toman di Palangkaraya sekitar 139,35 ton. Produksi ikan toman hanya sekitar 15,73 % dari total produksi ikan dari karamba.
Rendahnya produksi ikan toman, karena
pemeliharaan ikan ini hanya dilakukan oleh nelayan yang bermukim di pinggir sungai Rungan saja. Tabel 20. Produksi ikan dari karamba di Kota Palangkaraya tahun 2001 s/d 2005 No
Tahun
1. 2. 3. 4. 5.
2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah pemilik karamba (orang) 225 370 521 856 1086
Produksi ikan (ton) 192,00 216,90 252,20 378,24 851,12
Estimasi luas 2 karamba (m ) 1851,75 3045,10 4287,83 7044,88 8937,78
Produktifitas 2 (kg/m ) 103,69 71,23 58,82 53,69 95,23
Sumber : Dinas Pertanian Kota Palangkaraya (2002 – 2006) 4.8.2.1. Luas pemilikan karamba Tidak semua nelayan memiliki karamba, karena tidak semua nelayan memiliki cukup modal untuk memelihara ikan di karamba. Menurut Smith et al. (2005), kegiatan budidaya memerlukan lebih banyak sumberdaya dibandingkan menangkap ikan, sehingga lebih sulit digunakan oleh masyarakat miskin. Jumlah responden di Petuk Ketimpun yang memiliki karamba sekitar 86,67 % dan di Marang 80,00 %. Jumlah kepemilikan karamba tiap nelayan berkisar antara 1 – 6 karamba. Ratarata luas karamba yang dimiliki tiap nelayan 8,69 m2 (Petuk Ketimpun) dan 7,75 m2 (Marang). Gambar 34 dan 35 mendiskripsikan luas kepemilikan karamba di Petuk Ketimpun dan Marang. Ukuran kotak karamba yang dimiliki oleh nelayan berkisar antara 2 – 6 m2. Luas total karamba yang berada di Petuk Ketimpun sekitar 851,1 m2 dan di Marang sekitar 824,6 m2.
98
Gambar 34. Luas karamba yang dimiliki responden di Petuk Ketimpun
Gambar 35. Luas karamba yang dimiliki responden di Marang 4.8.2.2. Teknik pemeliharaan ikan Jenis ikan yang dipelihara di karamba oleh nelayan adalah ikan toman (Channa micropeltes). Beberapa kelebihan memelihara ikan toman adalah ikan ini sangat disukai oleh masyarakat dan harganya lebih mahal dibandingkan harga ikan budidaya lainnya. Sebagai perbandingan harga eceran ikan mas, dan patin Rp 15.000 / kg, sedangkan ikan toman mencapai Rp 20.000 / kg (harga Januari 2007). Kelebihan lainnya adalah ikan ini merupakan ikan lokal dari perairan black water sehingga dapat
99
beradaptasi dengan baik.
Sungai Rungan termasuk sungai black water, sehingga
memiliki pH yang rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, pH sungai Rungan di stasiun 2 berkisar antara 5,4 – 7,5 (Tabel 3). Pada umumnya ikan dapat hidup dengan baik pada pH 6,5 – 8,5
(Boyd 1982). Ikan patin dan ikan mas merupakan
ikan introduksi yang tidak mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi asam seperti sungai Rungan. Ikan lokal telah memiliki adaptasi terhadap kondisi sungai Rungan. Ikan toman merupakan jenis ikan lokal di perairan sungai Rungan. Menurut Boonyaratpalin et al. (1985) ikan toman dapat hidup di perairan dengan pH 4 – 5. Dengan demikian ikan ini dapat toleran dengan kondisi keasaman sungai Rungan. Ikan toman juga biasa dipelihara di karamba oleh nelayan di perairan black water di Kapuas hulu Kalimantan Barat (Dudley 2000), di Thailand (Allan 2004), dan di sungai Mekong, Kamboja (Nam et al. 2005). Penebaran benih Waktu penebaran benih ikan toman bergantung pada musim anak ikan toman di alam. Benih ikan toman diperoleh dari penangkapan di perairan rawa berhutan. Nelayan memperoleh benih dengan cara menangkap sendiri di alam atau membeli dari pengumpul anak ikan toman. Anak ikan toman yang berukuran panjang 3 - 5 cm ditangkap menggunakan serok. Anak ikan tersebut masih mengelompok bersama induknya.
Nelayan disamping menangkap anak ikan, juga menangkap induk ikan
tersebut. Induk ikan yang sedang memelihara anaknya sering kali tertangkap oleh alat tangkap selambau. Padat penebaran benih ikan di karamba bervariasi dari tiap nelayan. Rata - rata padat penebaran ikan di karamba yang dilakukan oleh nelayan 132 ekor / m2 (Petuk Ketimpun) dan 263 ekor / m2 (Marang). Padat penebaran yang dilakukan oleh nelayan di sungai Mekong Kamboja rata-rata 145 ekor / m2 dengan produksi ikan 138 kg / m2 / th (Nam et al. 2005), sedangkan di Vietnam dengan padat penebaran 80 – 150 ekor / m3 (Phillips 2002). Apabila tingkat kematian 20 %, dan ikan yang dijual berukuran 0,5 kg / ekor, maka jumlah benih ikan toman yang digunakan untuk produksi ikan toman di Palangkaraya pada tahun 2005 sekitar 334.440 ekor.
Satu gerombolan anak ikan
toman yang sedang dijaga induknya biasanya dapat ditangkap sekitar 1000 ekor benih ikan toman.
Dengan demikian jumlah gerombolan anak ikan beserta induk yang
ditangkap sekitar 335 tiap tahun.
100
Pakan ikan Budidaya ikan toman di karamba memanfaatkan ikan-ikan kecil sebagai pakan. Ikan – ikan kecil yang dimanfaatkan untuk pakan, terutama ditangkap dari rawa terbuka menggunakan anco dan ikan – ikan kecil dari hasil tangkapan alat tangkap lain yang tidak dapat dijual. Jenis ikan kecil yang tertangkap menggunakan anco seperti saluang, puhing, sepat, darap, biawan. Pemberian pakan bergantung pada perolehan ikan kecil dari anco. Apabila ikan mudah diperoleh, maka ikan diberi pakan 1 kali sehari. Namun apabila tidak diperoleh ikan kecil pada suatu hari, maka ikan toman tidak diberi pakan. Keuntungan menggunakan ikan kecil sebagai pakan, adalah (1) nelayan tidak perlu membeli pakan buatan, sehingga akan menekan biaya produksi dan (2) ikan budidaya mendapatkan pakan dengan kadar protein tinggi sesuai kebutuhan pertumbuhan ikan karnivora. Budidaya ikan di karamba apabila menggunakan pakan buatan akan menggunakan biaya sekitar 78 % dari total biaya (BPBI Wanayasa 2007). Demikian pula harga pakan buatan untuk ikan karnivora lebih mahal dibandingkan untuk ikan omnivora. Dengan demikian apabila nelayan dapat memperoleh pakan tanpa membeli akan sangat menguntungkan.
Pemeliharaan ikan toman di negara
Kamboja, Thailand, Laos dan Vietnam juga menggunakan pakan ikan berupa ikan yang bernilai ekonomi rendah (Choulamany 2004; Hung 2004;
Thongrod
et al. 2004).
Pakan buatan pabrik yang beredar di pasar pada umumnya merupakan pakan untuk ikan omnivora, sehingga tidak cocok untuk ikan toman yang bersifat karnivora. Pakan ikan toman memerlukan kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan ikan omnivora. Ikan karnivora membutuhkan pakan dengan kadar protein sekitar 45 % - 52 % (Allan 2004). Menurut Nam et al. (2005) pemberian pakan dengan ikan segar memiliki nilai konversi pakan 4 – 5. Lama waktu pemeliharaan Pertumbuhan ikan toman yang dipelihara di karamba lambat bila dibandingkan dengan ikan konsumsi lainnya yang biasa dipelihara di karamba seperti ikan mas, patin dan nila. Ikan toman siap dipanen pada ukuran 0,5 – 0,7 kg / ekor dan diperlukan masa pemeliharaan selama 1 tahun. Apabila ikan konsumsi lain seperti ikan mas, patin dan nila hanya memerlukan waktu pemeliharaan 4 - 6 bulan untuk mencapai ukuran 0,5 kg/ekor. Waktu pemeliharaan 1 tahun yang dilakukan nelayan sesuai siklus penyediaan benih ikan. Pemeliharaan ikan toman di Thailand dilakukan selama 8 - 11 bulan. Laju
101
pertumbuhan ikan berkisar antara 500 – 800 gr untuk waktu 11 bulan pemeliharaan (Boonyaratpalin et al. 1985). Produktifitas karamba nelayan Petuk Ketimpun sekitar 57,87 kg / m2 / th dan karamba nelayan Marang sekitar 117,99 kg / m2 / th. Produktifitas karamba ini masih lebih rendah dibandingkan dengan karamba nelayan di sungai Mekong Kamboja yaitu 138 kg / m2 /
th (Nam
et al.
2005).
Penyebab
rendahnya produktifitas adalah kepadatan penebaran benih yang lebih rendah dan keteraturan pemberian pakan . 4.8.2.3. Pemasaran hasil panen Hasil panen ikan toman di beli oleh pedagang di lokasi karamba. Harga jual di tingkat nelayan rata rata Rp 10.440 / kg (Petuk Ketimpun) dan Rp 10.000 / kg (Marang). Ikan hasil pemeliharaan di karamba dijual bersama-sana dengan ikan hasil tangkapan dari alam. Ikan dipasarkan dengan beberapa sistem pemasaran yang dilakukan oleh nelayan, antara lain : (1) dijual kepada pedagang ikan yang datang ke kampung nelayan (2) dijual ke pasar kepada pedagang (3) dijual sendiri dengan cara dijual di pasar atau berkeliling menggunakan motor / sepeda. Pemasaran dengan menjual ikan pada pedagang yang datang ke kampung nelayan, merupakan sistem utama pemasaran ikan. Nelayan menjual ikan toman ketika harga ikan secara umum meningkat, yaitu pada saat tidak musim ikan. Ikan dijual dalam keadaan hidup. Ikan yang belum terjual tetap dipelihara di karamba. Ikan dijual pada saat tangkapan ikan di alam sedikit sehingga harga ikan meningkat.
Dengan demikian usaha karamba
menjadi sumber pendapatan alternatif pada saat tidak musim ikan. 4.8.2.4. Pendapatan dari memelihara ikan di karamba Pendapatan dari memelihara ikan di karamba bervariasi bergantung pada karamba yang dimiliki oleh nelayan. Biaya rata – rata dan pendapatan rata – rata nelayan dari usaha memelihara ikan di karamba disajikan pada Tabel 21. Biaya usaha karamba di Marang lebih tinggi dibanding di Petuk Ketimpun. Perbedaan biaya usaha karamba
/ th / m2 antara Petuk Ketimpun dan Marang
disebabkan oleh padat penebaran yang berbeda. Nelayan Marang menebarkan benih dengan kepadatan rata – rata 263 ekor / m2, sedangkan nelayan Petuk Ketimpun menebarkan benih dengan kepadatan rata – rata 132 ekor / m2 atau 50,19 % dari
102
padat penebaran di Marang. Padat penebaran lebih tinggi berakibat meningkatnya biaya pengadaan benih dan biaya mencari ikan untuk pakan. Tabel 21. Biaya dan pendapatan mata pencaharian memelihara ikan di karamba No
Keterangan
Lokasi Responden Petuk Ketimpun Marang (Rupiah) (Rupiah)
1.
Biaya rata-rata usaha karamba - Biaya / th / nelayan 2 - Biaya / th / m karamba - Biaya / kg ikan hasil panen
2.
Pendapatan rata-rata usaha karamba - Pendapatan bersih / th / nelayan 2 - Pendapatan bersih / th / m karamba - Pendapatan bersih / kg ikan hasil panen
1.307.760 160.799 2.871
2.110.500 273.861 2.416
3.917.584 444.524 7.569
5.774.917 737.250 6.543
Rasio antara pendapatan bersih dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 kg ikan untuk Petuk Ketimpun 2,64 sedangkan untuk Marang 2,71. Dengan demikian usaha budidaya ikan karamba di Marang lebih menguntungkan dibandingkan dengan di Petuk Ketimpun.
Perbedaan keuntungan disebabkan oleh
kepadatan penebaran benih yang berbeda.
Penebaran benih di Petuk Ketimpun
sekitar 50,19% dari kepadatan penebaran di Marang.
Hal ini juga menunjukkan
kepadatan penebaran 263 ekor / m2 masih dapat ditoleransi oleh ikan. Ikan toman mampu dipelihara dalam kepadatan penebaran yang tinggi, karena merupakan ikan rawa yang memiliki organ pernafasan tambahan labyrinth dan karamba diletakkan di sungai yang mengalir sehingga memiliki kadar oksigen yang lebih tinggi dibandingkan perairan tidak mengalir. 4.8.3. Mata pencaharian eksploitasi kayu hutan Eksploitasi kayu hutan menjadi salah satu mata pencaharian alternatif yang bersifat musiman bagi sebagian nelayan di lokasi penelitian. Nelayan responden di Petuk Ketimpun yang melakukan eksploitasi kayu hutan sekitar 80 %, sedangkan nelayan responden di Marang sekitar 33,33 %. Nelayan di Marang lebih sedikit yang melakukan eksploitasi kayu dibanding dengan nelayan di Petuk Ketimpun.
Nelayan
Marang yang melakukan eksploitasi kayu terutama nelayan yang tergolong miskin.
103
Persentase nelayan Petuk Ketimpun yang mengeksploitasi kayu lebih tinggi, karena yang melakukan tidak hanya yang tergolong miskin dan pembeli atau pengumpul kayu ada di desa tersebut sehingga nelayan lebih mudah menjual kayu di Petuk Ketimpun. Usaha eksploitasi kayu hutan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan ini termasuk tindakan penebangan liar (illegal logging). Menurut masyarakat nelayan di lokasi penelitian, eksploitasi kayu hutan dilakukan oleh masyarakat desa terutama mulai tahun 1999.
Lokasi eksploitasi terbatas pada hutan di sekitar wilayah desa,
karena apabila mencari kayu terlalu jauh akan berdampak pada peningkatan biaya bahan bakar (bensin atau solar) yang dipergunakan untuk perahu mereka. Kawasan 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat dari danau merupakan kawasan perlindungan setempat. Demikian juga kawasan 100 m kiri dan kanan sungai besar, dan 50 m kiri dan kanan sungai kecil merupakan kawasan perlindungan setempat (Pemerintah Kota Palangkaraya 2004). Kawasan perlindungan setempat ini termasuk wilayah yang menjadi tempat eksploitasi kayu oleh nelayan. 4.8.3.1. Teknik eksploitasi kayu hutan Usaha eksploitasi kayu hutan dilakukan pada waktu musim air tinggi, ketika hutan – hutan di wilayah desa terendam air. Waktu musim air tinggi yang terjadi setiap tahun yang memungkinkan dilakukan eksploitasi kayu, berlangsung tidak lama. Berdasarkan wawancara dengan responden, eksploitasi kayu dapat dilakukan hanya berkisar antara 7 – 20 hari dalam 1 (satu) tahun (Lampiran 17) dan dilakukan antara bulan Desember hingga Februari, tergantung distribusi curah hujan waktu itu. Kondisi air tinggi sangat diperlukan bagi para penebang pohon hutan. Kondisi air tinggi memungkinkan perahu pencari kayu bisa memasuki wilayah hutan dan juga memungkinkan pengangkutan kayu yang sudah dipotong dilakukan melalui jalur air. Kayu yang diperoleh diikat dalam bentuk rakit, kemudian ditarik dengan perahu motor. Penebangan pohon hutan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan menggunakan cara manual dengan kapak dan juga menggunakan gergaji mesin. Jenis kayu yang dieksploitasi meliputi kayu blangiran, meranti, jingah, dan takapas. Saat ini sudah semakin sulit untuk menemukan pohon berukuran besar di hutan rawa sekitar desa. Ukuran diameter batang pohon di hutan rawa sekitar 72,59 % berukuran 10 – 35 cm, sedangkan yang berukuran lebih dari 35 cm sekitar 27,41 %.
104
Diameter batang pohon yang banyak diekploitasi berukuran 20 cm.
Kayu takapas
dieksploitasi hanya digunakan untuk kayu bakar, sedangkan jenis lainnya untuk kayu bangunan dan meubel. 4.8.3.2. Tingkat eksploitasi kayu hutan Lokasi eksploitasi kayu pada umumnya di hutan rawa. Eksploitasi kayu hutan rawa terutama dilakukan mulai tahun 1999. Rata- rata kayu yang diperoleh selama satu tahun sekitar 17 meter kubik / nelayan (Petuk Ketimpun) dan 17,8 meter kubik / nelayan (Marang). Estimasi jumlah kayu yang dieksploitasi di Petuk Ketimpun sekitar 1536,8 kubik / tahun dan di Marang sekitar 789,1 kubik / tahun. Jumlah pohon yang dieksploitasi dari wilayah Petuk Ketimpun sekitar 6508 pohon / tahun dan dari wilayah Marang sekitar 3034 pohon / tahun. 4.8.3.3. Dampak eksploitasi kayu hutan Dampak eksploitasi kayu hutan terhadap habitat ikan meliputi : (1) Perubahan kualitas air terutama meningkatnya suhu perairan.
Selisih suhu rata-rata antara
perairan rawa lebak yang terbuka dengan yang tertutup sekitar 2
0
C. (2) Perubahan
struktur habitat yang mengakibatkan penurunan peranan hutan rawa sebagai tempat perlindungan ikan dari pemangsaan dan penangkapan (Hoggarth et al. 1999). (3) Perubahan ketersediaan pakan alami. Hutan mendukung berlimpahnya pakan alami ikan, terutama makrozoobenthos.
Rawa yang terbuka memiliki kelimpahan
makrozoobenthos yang lebih rendah dibanding rawa yang berhutan (Lampiran 10). Wright & Flecker (2004) menemukan bahwa penggundulan hutan berdampak negatif pada keanekaragaman ikan. Keterkaitan hutan dan materi makanan ikan di rawa lebak sangat erat. Sumber makanan ikan berasal dari hutan baik materi dari tumbuhan (biji, daun, buah) maupun organisme hutan lainnya seperti insekta, kotoran mamalia (Chapman & Chapman
2003).
Beberapa dampak negatif yang dirasakan secara
langsung oleh nelayan akibat aktifitas penebangan pohon hutan adalah : jaring nelayan sering rusak akibat tersangkut ranting-ranting pohon yang ditumbangkan dan terganggu oleh lalulalang perahu para penebang kayu. Demikian juga, perahu nelayan kadang – kadang tidak bisa melewati beberapa anak sungai akibat ditutup oleh kumpulan rakit
105
balok kayu dan sisa tebangan pohon yang ditinggalkan begitu saja di lingkungan perairan. 4.8.3.4. Faktor - faktor pendorong eksploitasi kayu hutan Faktor - faktor pendorong eksploitasi kayu hutan yang dilakukan oleh nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang antara lain : 1.
Kurangnya pendapatan waktu tidak musim ikan Nelayan yang
melakukan kegiatan eksploitasi kayu hutan cenderung yang
memiliki alat tangkap jaring insang yang sedikit. Nelayan yang memiliki jaring insang yang sedikit tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya selama tidak musim ikan, sehinga mereka melakukan eksploitasi kayu hutan. Bene & Neilard (2004) menemukan kondisi yang hampir sama pada nelayan di kawasan delta Chari danau Chad Afrika, yaitu nelayan yang cenderung melakukan kegiatan eksploitasi kayu adalah kelompok nelayan dengan pendapatan paling rendah. 2.
Kurangnya pengetahuan lingkungan rawa lebak Sebagian besar responden tidak mengetahui bahwa penebangan pohon hutan rawa berdampak negatif pada keberlanjutan sumberdaya ikan. Nelayan responden di Petuk Ketimpun yang mengetahui hanya 10 %, bahkan di Marang tidak ada sama sekali responden yang mengetahui. Ketidaktahuan ini merupakan salah satu sebab berlanjutnya eksploitasi kayu hutan yang dilakukan oleh nelayan.
3.
Sikap nelayan tentang pemanfaatan sumberdaya hutan Sikap nelayan terhadap pemanfaatan pohon hutan juga menjadi penyebab berlanjutnya eksploitasi kayu hutan. Sebagian besar responden (90,00 % di Petuk Ketimpun dan 83,33 % di Marang) setuju apabila hutan dimanfaatkan kayunya untuk dijual. Menurut Almeida et al. (2004), nilai ekonomi hasil tangkapan ikan nilainya dua kali lipat dibandingkan kayu hutan pada luasan rawa lebak yang sama. Dengan demikian sebenarnya nelayan lebih diuntungkan apabila mereka tidak melakukan penebangan pohon hutan.
4.
Penggunaan kayu sebagai bahan bakar Mulai tahun 2004 sebagian besar masyarakat nelayan mulai beralih menggunakan kayu bakar untuk menggantikan minyak tanah untuk memasak. Sekitar 90,00 % responden di Petuk Ketimpun dan 86,67 % di Marang menggunakan kayu bakar.
106
Kondisi ini dipicu oleh kelangkaan dan meningkatnya harga minyak tanah di masyarakat pada saat itu. Dampak adanya kebutuhan akan kayu bakar adalah munculnya usaha menjual kayu bakar. Kayu bakar yang dijual berasal dari jenis kayu takapas yang dieksploitasi nelayan di rawa hutan. Eksploitasi dilakukan pada pohon dengan ukuran diameter minimal 15 cm. 5.
Rendahnya penegakan hukum Responden yang melakukan eksploitasi kayu telah mengetahui bahwa tindakan mereka melanggar hukum. Namun mereka jarang mengalami tindakan penegakan hukum oleh aparat pemerintah, karena lemahnya kontrol dari aparat dan adanya oknum aparat yang dapat disuap. Kontrol dari aparat lemah, karena lokasi desa nelayan sulit dicapai karena buruknya jalan, dan wilayah hutan rawa yang luas.
4.8.3.5. Pendapatan dari eksploitasi kayu hutan Kegiatan eksploitasi kayu hutan merupakan mata pencaharian alternatif yang bersifat musiman dan hanya memberikan kontribusi yang kecil saja terhadap pendapatan nelayan. Biaya rata - rata yang dikeluarkan untuk kegiatan eksploitasi kayu Rp 221.739 / th / nelayan (Petuk Ketimpun) dan Rp 175.800 / th / nelayan (Marang). Kayu hutan yang diperoleh nelayan Petuk Ketimpun dan Marang dijual kepada pengumpul yang berada di Petuk Ketimpun. Dengan harga jual berkisar antara Rp 50.000 s/d Rp 60.000,/ m3, nelayan memperoleh keuntungan Rp 743.043 / th (Petuk Ketimpun) dan Rp 847.200 / th (Marang).
Keuntungan eksploitasi kayu hutan
memberikan kontribusi peningkatan pendapatan nelayan dari menangkap ikan pada saat tidak musim ikan sekitar 13,63 % (Petuk Ketimpun) dan 18,87 % (Marang). 4.9. Faktor – faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan Pendapatan yang diperoleh nelayan berasal dari mata pencaharian menangkap ikan dan mata pencaharian sampingan. Pendapatan tiap nelayan responden disajikan pada lampiran 18. Mata pencaharian sampingan yang memiliki kontribusi terhadap pendapatan nelayan adalah memelihara ikan di karamba dan eksploitasi kayu hutan. Rata - rata pendapatan responden disajikan pada Tabel 22.
107
Tabel 22. Rata - rata pendapatan responden No
Keterangan
Responden Petuk Ketimpun
Marang
1.
Pendapatan total (rupiah /th/nelayan)
12.543.253
13.175.100
2.
Pendapatan / kapita (rupiah//th/orang)
2.852.264
3.210.790
3.
Pendapatan bulanan keluarga (rupiah/kel/bulan)
1.045.271
1.097.925
Mata pencaharian yang memberikan kontribusi terbesar pada pendapatan total nelayan adalah sektor penangkapan ikan.
Kontribusi pendapatan dari sektor
penangkapan ikan mencapai 71,07 % di Petuk Ketimpun dan 66,37 % di Marang. Sektor eksploitasi kayu hutan memberi kontribusi yang kecil yaitu kurang dari 5 % dari total pendapatan (Gambar 36). Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi peranan pendapatan sektor penangkapan ikan, semakin rendah pendapatan nelayan. Peranan pendapatan sektor penangkapan ikan berkorelasi negatif dengan pendapatan total dengan r = – 0,428 (p = 0,018).
Dengan demikian terdapat kecenderungan
nelayan dengan pendapatan yang lebih rendah, pendapatannya semakin bergantung pada sektor penangkapan ikan.
Petuk Ketimpun
Marang
4.84%
3.29%
24.09%
30.34%
66.37%
71.07%
Menangkap ikan
Memelihara ikan di karamba
eksploitasi kayu hutan
Gambar 36. Proporsi peranan sumber pendapatan responden
108
Mata pencaharian sampingan berperan membantu meningkatkan pendapatan nelayan pada saat tidak musim ikan. Mereka biasanya menjual ikan hasil dari karamba pada saat tidak musim ikan, sehingga dapat mengatasi kekurangan pendapatan pada saat hasil penangkapan ikan menurun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak menurut standar Bank Dunia, diperlukan pendapatan 1 US $ / orang / hari (Sumedi dan Supadi 2004). Jumlah nelayan responden yang memiliki pendapatan di bawah 1 US $ /orang/hari sebanyak 66,67 % (Petuk Ketimpun) dan 50,00 % (Marang). Dengan demikian sekitar separuh masyarakat nelayan belum mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan layak. Rata – rata pendapatan bulanan keluarga nelayan di atas upah minimum regional (UMR) Kalimantan Tengah tahun 2006 sebesar Rp 736.000,-.
Namun demikian sebagian
nelayan masih memiliki pendapatan di bawah UMR. Jumlah nelayan responden yang memiliki pendapatan di bawah UMR sebanyak 26,67 % (Petuk Ketimpun) dan 10,00 % (Marang). Responden memiliki persepsi bahwa pendapatan mereka cukup untuk kehidupan mereka.
Bahkan pada saat musim ikan, mereka berpendapat bahwa
pendapatan mereka melebihi kebutuhan hidup sehari – hari. Sebaliknya pada saat tidak musim ikan, pendapatan mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari. Untuk mengatasi pendapatan yang kurang, sebagian nelayan mengeksploitasi kayu hutan, menerima upah pekerjaan bangunan atau membersihkan pekarangan. Nelayan yang memiliki karamba, cenderung menjual ikannya pada saat tidak musim ikan, untuk mengatasi pendapatan yang kurang. Pendapatan yang berlebih pada saat musim ikan digunakan untuk membayar hutang di warung bahan makanan, membeli alat tangkap baru, perlengkapan penangkapan ikan lainnya, dan kebutuhan sekolah anak. Faktor – faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat pendapatan nelayan dianalisis pada tiap jenis mata pencaharian nelayan yaitu sektor menangkap ikan, sektor memelihara ikan di karamba dan sektor eksploitasi kayu hutan. 4.9.1. Sektor penangkapan ikan Pendapatan nelayan dari sektor penangkapan ikan tergantung musim ikan sehingga memiliki perbedaan antar waktu dalam satu tahun. Sebagian besar pendapatan diperoleh pada saat musim ikan. Sekitar 68,40 % (Petuk Ketimpun) dan
109
71,38 % (Marang) dari pendapatan sektor penangkapan diperoleh pada saat musim ikan. Musim ikan berlangsung sekitar 7 bulan dalam satu tahun. Pendapatan total sektor penangkapan ikan tiap nelayan bervariasi, berkisar antara Rp 2.998.000 – 21.336.000 / nelayan / th (Petuk Ketimpun) dan Rp 4.604.000 – 12.288.000 / nelayan / th (Marang). Variasi pendapatan ini dipengaruhi beberapa faktor. Beberapa faktor yang dianalisis meliputi pengaruh pemilikan perahu dan alat tangkap, wilayah penangkapan, jam kerja dalam satu hari, sistem penjualan ikan, dan harga jual rata – rata ikan.
Pemilikan perahu meliputi perahu bermotor maupun perahu dayung.
Alat tangkap yang digunakan dalam analisis adalah jaring insang, karena jaring insang merupakan alat tangkap yang memiliki peranan terbesar terhadap hasil tangkapan baik di Petuk Ketimpun maupun Marang (Tabel 14). Wilayah penangkapan yang digunakan oleh nelayan dibagi menjadi sungai, rawa terbuka dan rawa berhutan.
Sistem
penjualan ikan yang digunakan oleh nelayan dibagi menjadi 3 yaitu : dijual kepada pedagang ikan yang datang ke kampung nelayan, dijual ke pasar kepada pedagang, dan dijual sendiri di pasar atau berkeliling menggunakan motor / sepeda. Hasil analisis diskriminan disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Analisis diskriminan pendapatan dari sektor penangkapan ikan
No 1 2 3 4 5 6 7
Faktor-faktor Konstanta Jumlah pemilikan perahu Jumlah pemilikan alat tangkap Wilayah penangkapan Jam kerja/hari Sistem penjualan ikan Harga jual ikan rata-rata
Faktor
yang memiliki
Petuk Ketimpun (p = 0,067) Koefisien Kontribusi diskriminan relatif (%) -8,562 0,391 0,206 0,208 0,309 -0,300 0,497
kontribusi
Marang (p = 0,010) Koefisien Kontribusi diskriminan relatif (%)
13,31 36,51 6,36 12,17 11,57 20,08
terbesar
terhadap
-12,288 0,963 0,175 0,404 0,658 0,292 0,341
33,28 20,65 9,51 18,52 6,04 12,00
pendapatan
sektor
penangkapan ikan di Petuk Ketimpun adalah jumlah pemilikan alat tangkap yaitu 36,51 %. Faktor lain yang memiliki kontribusi pada urutan ke 2 dan 3 adalah harga jual ikan dan jumlah pemilikan perahu.
Faktor yang memiliki kontribusi terbesar terhadap
pendapatan sektor penangkapan ikan di Marang adalah jumlah pemilikan perahu yaitu
110
33,28 %. Faktor lain yang memiliki kontribusi pada urutan ke 2 dan 3 adalah jumlah pemilikan alat tangkap dan jam kerja/hari. Faktor produksi seperti alat tangkap dan perahu merupakan faktor penting penentu pendapatan nelayan. Harga ikan memiliki kontribusi yang besar di Petuk Ketimpun dibandingkan di Marang, karena sebagian nelayan Petuk Ketimpun mampu menjual ikan dengan harga yang lebih tinggi. Nelayan Marang kurang mendapat kesempatan menjual ikan dengan harga yang berbeda, karena mereka sangat tergantung pada sedikit pedagang pengumpul ikan. Nelayan dengan jam kerja / hari yang lebih tinggi cenderung memiliki pendapatan yang lebih tinggi.
Perbedaan jam kerja dipengaruhi oleh jauhnya lokasi penangkapan ikan.
Nelayan yang memerlukan waktu yang lebih lama cenderung menangkap ikan di tempat yang lebih jauh.
Nelayan dengan pendapatan lebih tinggi cenderung lebih
mampu untuk menangkap ikan di tempat yang lebih jauh. Penggunaan wilayah penangkapan dan sistem penjualan memiliki kontribusi yang rendah di Petuk Ketimpun maupun Marang. Dengan demikian dua faktor ini berpengaruh kecil terhadap pendapatan nelayan.
Perbedaan dalam penggunaan
wilayah penangkapan dan sistem penjualan tidak menyebabkan perbedaan besar pada pendapatan nelayan. 4.9.2. Sektor memelihara ikan di karamba Faktor – faktor yang dianalisis pengaruhnya terhadap perbedaan pendapatan sektor memelihara ikan di karamba adalah luas karamba yang dimiliki nelayan (m2), padat penebaran benih ikan (ratus ekor / m2), lama waktu pemeliharaan ikan (bulan), sistem penjualan ikan, dan harga jual ikan (ribu rupiah / kg).
Sistem penjualan ikan
hasil panen karamba ada 3 macam yaitu : dijual di sungai, dijual ke pasar pada pedagang, dan dijual langsung ke konsumen baik di pasar maupun dijual keliling. Hasil analisis disajikan pada Tabel 24. Luas pemilikan karamba merupakan faktor utama yang mempengaruhi perbedaan pendapatan sektor karamba baik di Petuk Ketimpun maupun Marang. Dengan demikian luas karamba yang dimiliki merupakan faktor penentu utama pendapatan sektor karamba. Faktor lain yang memiliki kontribusi yang signifikan di Petuk Ketimpun adalah padat penebaran benih dan tingkat harga jual ikan, sedangkan di Marang faktor lama waktu pemeliharaan. Padat penebaran benih yang dilakukan
111
oleh sebagian nelayan di Petuk Ketimpun masih belum optimal. penebaran benih di Marang kontribusinya rendah.
Sebaliknya padat
Pada umumnya di Marang
cenderung padat penebaran benih yang tinggi, dan sudah tidak dapat ditingkatkan lagi. Padat penebaran di Petuk Ketimpun hanya 50,19 % dibanding di Marang. Lama waktu pemeliharaan mempengaruhi sekitar 38,34 % pendapatan sektor memelihara ikan karamba di Marang. Sebagaian nelayan Marang memelihara ikan terlalu lama yaitu 18 bulan, sedangkan ikan toman bisa di panen pada umur 9 - 12 bulan. Peningkatan waktu pemeliharaan memberikan dampak menurunkan pendapatan. Tabel 24. Analisis diskriminan pendapatan dari sektor memelihara ikan di karamba
No 1 2 3 4 5 6
Faktor-faktor
Petuk Ketimpun (p = 0,0001) Koefisien Kontribusi diskriminan relatif (%)
Konstanta Luas pemilikan karamba Padat penebaran benih Lama waktu pemeliharaan ikan Sistem penjualan ikan Harga jual ikan
-15,431 0,481 0,021 0,095 0,287 0,663
41,92 26,55 1,95 6,25 23,33
Marang (p = 0,0001) Koefisien Kontribusi diskriminan relatif (%) -0,837 0,923 -0,001 -0,430 -0,372 0
52,80 0,92 38,34 7,94 0
4.9.3. Sektor eksploitasi kayu hutan Faktor – faktor yang dianalisis pengaruhnya terhadap perbedaan pendapatan sektor eksploitasi kayu hutan adalah jumlah waktu menebang (hari / tahun), kapasitas menebang (kubik / hari), ukuran kayu yang ditebang (batang / m3), dan harga jual kayu (rupiah / m3). Hasil analisis diskriminan disajikan pada Tabel 25. Faktor utama yang memiliki kontribusi relatif yang tinggi di Petuk Ketimpun maupun Marang adalah kapasitas menebang, jumlah waktu menebang dan harga jual kayu. Kapasitas menebang tergantung dari kemampuan fisik pribadi nelayan, alat yang digunakan, serta jarak lokasi penebangan dengan pemukiman nelayan. Jumlah waktu menebang bergantung pada tingkat genangan hutan rawa dan musim ikan. Penebangan pohon hanya dilakukan bila kedalam air mencukupi untuk membawa kayu ke sungai. Apabila penangkapan ikan masih memberikan hasil yang mencukupi, maka nelayan cenderung tidak melakukan penebangan, meskipun hutan rawa sudah
112
tergenang.
Faktor ukuran kayu hanya memberikan kontribusi yang rendah, karena
ukuran kayu yang dieksploitasi tidak jauh berbeda antar nelayan yang mengeksploitasi kayu.
Harga jual kayu bervariasi bergantung pada jenis kayu dan pembeli kayu.
Sebagian nelayan menjual kayu kepada nelayan lain yang memiliki hubungan dengan pembeli kayu. Tabel 25. Analisis diskriminan pendapatan dari sektor eksploitasi kayu hutan
No 1 2 3 4 5
Faktor-faktor Konstanta Jumlah waktu menebang Kapasitas menebang Ukuran kayu Harga jual
Petuk Ketimpun (p = 0,0001) Koefisien Kontribusi diskriminan relatif (%) -26,166 0,306 5,703 0,111 2,444
21,41 40,96 2,93 34,70
Marang (p = 0,031) Koefisien Kontribusi diskriminan relatif (%) -32,946 1,700 1,831 0,063 2,196
46,06 21,53 2,11 30,30
4.10. Faktor Sosial yang berperan pada keberlanjutan ekosistem rawa lebak 4.10.1. Nilai dan norma sosial Nilai - nilai sosial yang dimiliki oleh masyarakat nelayan merupakan nilai yang berasal dari budaya yang dimiliki. Nilai – nilai sosial yang dimiliki masyarakat nelayan tidak jauh berbeda dengan nilai – nilai yang dimiliki oleh suku Dayak pada umumnya. Nilai-nilai sosial masyarakat nelayan Petuk Ketimpun dan Marang tidak berbeda, karena kedua kelompok masyarakat nelayan tersebut masih berkerabat dan menempati lokasi yang berdekatan.
Nilai – nilai yang berhasil diungkap selama
penelitian antara lain : 1.
Kekerabatan merupakan ikatan sosial yang utama. Masyarakat nelayan menjunjung tinggi kekerabatan.
Kekerabatan menjadi dua
bagian yaitu kekerabatan sempit yaitu dari keluarga inti, serta kekerabatan luas. Kekerabatan luas meliputi satu desa, bahkan antar desa.
Kekerabatan
mempengaruhi perilaku tolong menolong serta norma - norma penguasaan teritorial perairan.
Nelayan Petuk Ketimpun dan Marang beranggapan bahwa
mereka masih berkerabat. Ikatan kekerabatan, mengakibatkan tidak terjadi konflik
113
antar nelayan baik antara nelayan satu desa, maupun antara nelayan Petuk Ketimpun dan Marang. Mudiyono (1994) menyatakan bahwa kesatuan sosial pada masyarakat Dayak terbentuk oleh faktor keturunan. 2.
Penguasaan teritorial perairan untuk penangkapan ikan Penguasaan teritorial perairan dilakukan oleh masyarakat nelayan untuk kepentingan melindungi keberlanjutan mata pencaharian mereka.
Penguasaan
teritorial perairan dilakukan oleh satu keluarga atau secara komunal oleh seluruh nelayan desa. Penguasaan hanya terbatas untuk kepentingan penangkapan ikan, sehingga masyarakat lain dapat melewati teritorial tersebut.
Penguasaan oleh
suatu keluarga dilakukan dengan mencari teritorial baru yang belum dimanfaatkan untuk penangkapan ikan oleh nelayan lain. 3.
Hidup menyatu dengan lingkungannya Masyarakat Dayak menganggap hidupnya merupakan bagian dari alam itu sendiri, sehingga lingkungan sekitarnya harus dipelihara dan dihormati (Florus 1994). Eksploitasi kayu hutan hanya untuk keperluan sendiri seperti untuk membangun rumah dan tidak untuk dijual. Pemanfaatan kayu hutan untuk kayu bakar hanya dengan mengumpulkan ranting-ranting kayu.
4.
Hidup sederhana. Prinsip hidup sederhana mempengaruhi pola masyarakat dalam menangkap ikan. Mereka menangkap ikan secukupnya, yaitu hanya 4 jam per hari. sumberdaya ikan tidak terkuras.
Akibatnya
Mereka kurang memikirkan hari kedepan,
sehingga tidak punya kebiasaan menabung. 5.
Sikap saling tolong menolong Kebersamaan yang tinggi dilandasi oleh adanya ikatan kekerabatan dalam satu desa. Sikap tolong menolong juga dilakukan pada mata pencaharian, misalnya pada saat memasang alat tangkap, menjaga alat tangkap nelayan lain yang ditinggal di perairan, saling memberi hasil tangkapan (untuk keperluan konsumsi).
6.
Kesetaraan gender dalam bekerja Tingkat keterlibatan perempuan dalam bekerja pada umumnya sangat tinggi. Keterlibatan perempuan tidak dibatasi pada satu jenis pekerjaan.
Perempuan
dijumpai melakukan pekerjaan : menangkap ikan, membuat alat tangkap, bahkan ikut dalam pekerjaan menebang pohon hutan rawa. Keterlibatan perempuan pada
114
mata pencaharian menangkap ikan juga terjadi di perikanan rawa lebak di Asia Tenggara lainnya (Kusakabe 2003). Norma – norma pemanfaatan sumberdaya ikan dan hutan di rawa lebak yang dimiliki oleh masyarakat nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Norma – norma pemanfaatan sumberdaya ikan dan hutan yang dimiliki oleh masyarakat nelayan Petuk ketimpun dan Marang No
Norma – norma
1.
Perairan rawa lebak di desa, merupakan tempat penangkapan ikan hanya untuk nelayan desa tersebut. Orang luar dapat menangkap ikan di desa tersebut, apabila melakukan ikatan kekerabatan dengan cara perkawinan. Penguasaan danau atau anak sungai oleh suatu keluarga diturunkan pada keturunannya Orang luar desa boleh menangkap ikan di sungai Rungan Masyarakat luar desa dapat menggunakan wilayah perairan untuk rekreasi memancing. Masyarakat luar desa dapat menggunakan wilayah perairan untuk rekreasi memancing, kecuali di rawa terbuka saat musim air rendah. Apabila ada nelayan yang telah menempatkan alat tangkap selambau di suatu anak sungai, maka nelayan lain tidak boleh menangkap ikan di anak sungai tersebut. Ketentuan ini berlaku hingga nelayan atau keluarga pemilik selambau tidak menggunakan anak sungai itu lagi. Nelayan tidak menempatkan alat tangkap di dekat wilayah yang sudah dipasang alat tangkap nelayan lain. Tiap nelayan memiliki penguasaan wilayah pinggir sungai depan rumah masing-masing, untuk menempatkan karamba. Hutan rawa lebak di wilayah desa hanya boleh dieksploitasi oleh masyarakat desa. Tidak menggunakan jaring rempak di seluruh perairan Tidak menggunakan jaring rempak di danau Marang & Bajawak Tidak menangkap ikan dengan racun dan listrik
2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11. 12.
Nelayan yang memiliki Petuk Marang Ketimpun V V
V
V
V -
V
V
-
V
V
V
V
V
V
V
V
V V
V V
Terdapat aturan formal yang dibuat Pemerintah Kota Palangkaraya yang mengatur penangkapan ikan (Tabel 27). Nelayan pada umumnya sudah mengetahui aturan formal yang dibuat oleh Pemerintah yang berupa Perda Kota Palangkaraya. Sekitar 90% nelayan Petuk Ketimpun mengetahui adanya aturan perda tersebut,
115
sedangkan nelayan Marang sekitar 63,33%.
Pemerintah Kota Palangkaraya
mensosialisasikan aturan formal tersebut melalui Kelurahan, Subdinas Perikanan Kota Palangkaraya, dan melalui pemasangan rambu aturan di perairan rawa lebak baik di Petuk Ketimpun maupun Marang. Aturan Perda tersebut dapat diterima dengan baik oleh nelayan, karena sesuai dengan norma yang dimiliki nelayan. Aturan dalam bentuk himbauan dari Subdinas Perikanan untuk pembatasan mata jaring belum efektif dan belum diketahui oleh nelayan. Tabel 27. Aturan formal penangkapan ikan di Petuk Ketimpun dan Marang No 1 2
Aturan
Sumber Aturan
Tidak boleh menangkap ikan dengan racun dan listrik Penggunaan jaring insang dengan mata jaring minimal 2,5 inci
Perda Kota Palangkaraya Himbauan subdinas Perikanan
4.10.2. Perilaku nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan hutan Perilaku masyarakat nelayan didasari oleh nilai, norma, serta pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat. Sikap nelayan mengenai pemanfaatan ekosistem rawa lebak disajikan pada Tabel 28. Sikap nelayan terhadap sumberdaya hutan di rawa lebak, mempengaruhi tingkat eksploitasi kayu hutan.
Nelayan tidak memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai pengaruh penebangan pohon hutan terhadap sumberdaya ikan. Mereka tidak memahami, bahwa tindakan mereka menebang pohon hutan akan merugikan mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Sebagian besar masyarakat nelayan (Petuk Ketimpun 90 %, Marang 83,33 %), setuju apabila kayu hutan rawa lebak dimanfaatkan untuk dijual.
Hanya sebagian kecil nelayan yang
menyetujui hutan rawa lebak sebaiknya dibiarkan menjadi hutan alam. Masyarakat nelayan tidak memiliki pengetahuan mengenai dampak penambangan emas di sungai terhadap sumberdaya ikan. Kondisi ini disebabkan oleh aktivitas penambangan emas masih jarang dilakukan di Petuk ketimpun dan Marang. Aktivitas penambangan emas lebih banyak dilakukan di sungai Kahayan.
116
Tabel 28. Sikap responden terhadap sumberdaya ikan dan perairan rawa lebak No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sikap
Penebangan hutan merusak sumberdaya ikan Penambangan emas di sungai merusak sumberdaya ikan Penangkapan ikan dengan racun dan listrik merusak sumberdaya ikan Penangkapan ikan oleh orang luar desa merusak sumberdaya ikan Penangkapan ikan berlebihan merusak sumberdaya ikan Penangkapan induk ikan yang mau bertelur merusak sumberdaya ikan Menangkap ikan yang masih kecil merusak sumberdaya ikan Hutan di rawa lebak sebaiknya dibiarkan menjadi hutan alam Hutan di rawa lebak sebaiknya dimanfaatkan kayu hutannya yang bisa dijual
Jumlah responden yang setuju (%) Petuk ketimpun Marang 10,00 0,00
0,00 0,00
100,00
100,00
33,33
6,67
60,00
63,33
10,00
0,00
23,33
16,67
10,00
16,67
90,00
83,33
Kearifan lokal masyarakat nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang yang mendukung keberlanjutan ekosistem adalah : 1. Menangkap ikan secukupnya dengan membatasi waktu penangkapan ikan sekitar 4 jam per hari. 2. Membatasi akses orang luar desa untuk menangkap ikan. 3. Mengembalikan benih ikan yang tertangkap ke perairan, terutama pada alat tangkap selambau dan jebakan. 4. Menjaga perairan dari penggunaan alat tangkap racun, listrik, dan rempak. 5. Mencegah hutan rawa lebak dari penebangan oleh masyarakat luar desa. Perilaku yang dijumpai pada masyarakat nelayan yang dapat menyebabkan kerusakan eksositem rawa lebak adalah : 1.
Menangkap ikan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Alat tangkap yang tidak ramah lingkungan meliputi : listrik, racun, selambau, dan jaring insang dengan ukuran mata jaring kecil (1 inci). Alat tangkap yang tidak ramah lingkungan ada dua golongan yaitu alat tangkap yang dilarang oleh
117
masyarakat nelayan dan alat tangkap yang diperbolehkan digunakan oleh nelayan. Alat tangkap yang dilarang oleh masyarakat nelayan, seperti listrik dan racun, sedangkan yang tidak dilarang adalah selambau dan jaring insang dengan ukuran mata jaring kecil.
Kasus penggunaan listrik dan racun untuk menangkap ikan
terutama dijumpai di Petuk Ketimpun. Petuk Ketimpun posisinya dekat dengan Kota Palangkaraya, sehingga pelanggaran lebih sering terjadi.
Perilaku
penggunaan alat tangkap listrik dan racun dilakukan oleh masyarakat luar desa, dan nelayan tertentu di desa. Masih terjadinya penggunaan alat tangkap listrik dan racun, karena lemahnya kontrol masyarakat nelayan di wilayah – wilayah perairan yang sedikit kehadiran nelayan.
Nelayan di Petuk Ketimpun yang dicurigai
menggunakan racun dan listrik cenderung dijauhi dari pergaulan
nelayan.
Selambau digunakan oleh nelayan tertentu yang memiliki penguasaan wilayah anak sungai.
Jaring insang dengan ukuran mata jaring kecil digunakan oleh
seluruh nelayan.
Dampak penggunaan alat tangkap tersebut adalah penurunan
populasi ikan, yang akhirnya dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan dan pendapatan nelayan. Penggunaan selambau dan jaring insang ukuran mata jaring kecil tetap digunakan, karena tidak dilarang, mudah mendapatkan ikan dengan alat tersebut, dan nelayan belum mengetahui dampak negatif penggunaan alat tangkap tersebut. 2.
Penangkapan ikan terfokus di rawa terbuka, sehingga cenderung terjadi penangkapan berlebih di rawa terbuka. Penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Petuk Ketimpun dan Marang terfokus di rawa terbuka, karena jaring insang lebih mudah dioperasikan di lokasi tersebut dibandingkan di rawa berhutan. Dampak dari perilaku ini adalah ikan di rawa terbuka mengalami tekanan penangkapan yang intensif, sedangkan di rawa berhutan tekanan penangkapan sangat rendah. Tekanan penangkapan yang intensif ini mengakibatkan keanekaragaman dan kelimpahan ikan di rawa terbuka lebih rendah dibandingkan rawa berhutan (Gambar 21 dan 22).
3.
Penangkapan anak ikan dan induk ikan toman. Penangkapan anak ikan toman dilakukan untuk memenuhi kebutuhan benih ikan toman pada usaha budidaya ikan toman di karamba. Penangkapan dilakukan oleh masyarakat nelayan desa tersebut yang memiliki karamba maupun yang tidak
118
memiliki karamba.
Meskipun nelayan tidak memiliki karamba, mereka tetap
menangkap anak ikan toman, bila kebetulan menjumpai gerombolan anak ikan toman pada saat menangkap ikan. Anak ikan yang diperoleh dijual kepada nelayan lain yang memiliki karamba. Penangkapan anak ikan toman dilakukan, karena benih ikan ini belum diproduksi melalui teknik budidaya dan biaya pengadaan benih ikan lebih murah bila melalui penangkapan dari alam. Induk ikan toman yang masih menjaga anaknya ikut ditangkap, karena memiliki nilai jual yang tinggi. Penangkapan anak ikan dan induk ikan toman mengakibatkan populasi ikan ini semakin menurun. Bahkan dalam penelitian ini, selama 1 tahun tidak berhasil ditangkap ikan toman. Hal ini menunjukkan populasi jenis ikan ini sudah semakin sedikit. 4.
Penangkapan ikan kecil untuk pakan ikan toman di karamba oleh nelayan pemilik karamba. Penangkapan ikan kecil untuk pakan ikan toman dilakukan menggunakan alat tangkap anco yang diletakkan di rawa terbuka. Perilaku ini dilakukan oleh semua nelayan yang memiliki usaha budidaya ikan toman di karamba. Responden di Petuk Ketimpun yang memiliki karamba sekitar 86,67 % dan di Marang 80,00 %. Dampak dari perilaku ini adalah semakin meningkatnya tekanan penangkapan ikan di rawa terbuka dan cenderung merusak komunitas ikan di rawa terbuka. Ikan kecil yang tertangkap oleh anco ada dua kelompok yaitu ikan species kecil dan benih ikan.
Tekanan penangkapan pada species kecil berdampak negatif pada
jenis ikan lain yang makanannya berupa ikan kecil tersebut.
Apabila ikan
pemangsa tersebut kesulitan memperoleh mangsa, maka species tersebut akan terancam populasinya. Penangkapan benih ikan alam akan berdampak negatif pada
penambahan
anggota
populasi
(rekruitmen)
jenis
ikan
tersebut.
Peningkatan usaha budidaya ikan toman di karamba, mengakibatkan semakin meningkat intensitas dan jumlah nelayan yang melakukan perilaku ini.
Belum
adanya alternatif pakan atau alternatif jenis ikan pengganti untuk dibudidaya menjadi penyebab terus berlanjutnya perilaku ini.
119
5.
Melakukan penebangan pohon hutan rawa untuk dijual sebagai bahan bangunan dan kayu bakar. Pihak yang melakukan penebangan pohon hutan rawa adalah nelayan di desa tersebut.
Nelayan responden di Petuk Ketimpun yang melakukan usaha
eksploitasi kayu hutan sekitar 80 %, sedangkan di Marang
sekitar 33,33 %.
Nelayan Marang yang melakukan eksploitasi kayu terutama nelayan yang tergolong miskin. Persentase nelayan Petuk Ketimpun yang mengeksploitasi kayu lebih tinggi, karena yang melakukan tidak hanya yang tergolong miskin dan pembeli atau pengumpul kayu ada di desa tersebut sehingga nelayan lebih mudah menjual kayu di Petuk Ketimpun. Dampak perilaku ini adalah menurunnya kualitas hutan rawa lebak, yaitu kerapatan pohon yang rendah dan diameter batang pohon yang besar jarang dijumpai lagi. Faktor – faktor yang mendorong perilaku ini dijelaskan pada sub bab faktor – faktor pendorong eksploitasi kayu hutan (halaman 106). 4.10.3. Kontrol sosial Kontrol sosial atas pelanggaran norma-norma yang dimiliki masyarakat nelayan dilakukan oleh masyarakat nelayan sendiri.
Kontrol sosial dilakukan dengan
bekerjasama dengan aparat kelurahan dan kepolisian, terutama pada kasus penangkapan ikan dengan listrik dan racun, serta adanya penebangan pohon hutan rawa oleh masyarakat luar desa. Kasus pelanggaran penangkapan ikan dengan listrik dan racun dilakukan oleh sebagian kecil nelayan dan orang luar desa.
Mereka berusaha melakukan
penangkapan tersebut tanpa sepengetahuan orang lain. Masyarakat nelayan berperan sebagai pihak yang mengontrol atas pelanggaran - pelanggaran tersebut, terutama di teritorial penangkapan ikan mereka. Apabila yang melanggar berasal dari masyarakat nelayan sendiri, maka nelayan lain akan menegor atau menginformasikan ke nelayan lain. Tidak ada sanksi dari pelanggaran tersebut. Mereka yang melanggar normanorma cenderung dijauhi dalam pergaulan masyarakat. Namun apabila pelanggaran dilakukan oleh orang luar desa, kasus tersebut dilaporkan ke pihak Kelurahan. Kontrol sosial yang kuat
terjadi pada teritorial yang dikuasai oleh keluarga
nelayan, rawa terbuka yang merupakan tempat penangkapan ikan utama, dan sungai
120
di depan pemukiman nelayan.
Teritorial yang dimiliki oleh keluarga, secara efektif
dijaga oleh pemiliknya serta dibantu oleh nelayan lain yang menangkap ikan di lokasi tidak jauh dari teritorial tersebut. Rawa terbuka yang merupakan tempat penangkapan ikan utama, berada tidak jauh dari pemukiman nelayan. Frekuensi kehadiran nelayan di rawa terbuka tersebut sangat tinggi, sehingga kontrol dari nelayan efektif. Kontrol sosial lemah terjadi atas pelanggaran yang dilakukan di wilayah perairan yang hanya sedikit nelayan, seperti di perairan rawa lebak dan sungai yang jauh dari pemukiman.
Lemahnya kontrol di wilayah tersebut karena : (1) nelayan tidak
memanfaatkan teritorial tersebut, (2) frekuensi kehadiran nelayan rendah, sehingga pelanggaran sering kali tidak diketahui (3) nelayan tidak merasa dirugikan, karena pelanggaran tidak di tempat penangkapan ikan utama. 4.11. Pengelolaan ekosistem rawa lebak Pengelolaan ekosistem rawa lebak ditujukan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya
ikan
di
rawa
lebak
secara
bertanggungjawab
sehingga
dapat
mempertahankan keanekaragaman ikan dan menjamin pendapatan nelayan yang layak.
Untuk mempertahankan rawa lebak sebagai kawasan yang memiliki
keanekaragaman ikan yang tinggi diperlukan upaya mempertahankan kualitas lingkungan
rawa
lebak
dan
kontrol
terhadap
perilaku
masyarakat
dalam
mengeksploitasi sumberdaya alam di rawa lebak. Model pengelolaan untuk mempertahankan keanekaragaman ikan dan menjamin keberlanjutan pendapatan nelayan yang diajukan dalam tulisan ini meliputi 3 aspek yaitu : 1.
Pengelolaan penangkapan ikan.
2.
Pengelolaan mata pencaharian sampingan.
3.
Strategi peningkatan pendapatan nelayan.
4.11.1. Pengelolaan penangkapan ikan Model pengelolaan penangkapan ikan disajikan pada Gambar 37. Model ini dirumuskan berdasarkan kajian aspek biofisik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat nelayan.
Pengelolaan penangkapan ikan menggunakan pengelolaan bersama (co-
management) tipe cooperative yaitu Pemerintah dan masyarakat nelayan menjadi
121
partner yang seimbang dalam pengambilan keputusan (Pomeroy & Guieb 2006), dengan unit pengelolaan wilayah desa (village management areas / VMAs). Pengelolaan bersama tipe cooperative dipilih untuk digunakan dalam model pengelolaan karena : 1.
Wilayah perairan rawa lebak secara formal hukum merupakan kawasan yang dikuasai oleh negara, namun secara de facto, perairan tersebut dimiliki secara komunal oleh nelayan desa.
Nelayan secara tradisional telah memiliki norma-
norma penangkapan ikan, dan nelayan berpartisipasi aktif melakukan kontrol sosial. Tipe cooperative lebih sesuai karena kepentingan Pemerintah sebagai penguasa secara formal, dan nelayan sebagai penguasa secara de facto, dapat dikolaborasikan. 2.
Adanya keterbatasan kemampuan Pemerintah Kota untuk mengelola kawasan rawa lebak yang luas dan kompleks.
Dengan partisipasi nelayan, maka
Pemerintah dapat menghemat biaya maupun tenaga, terutama untuk kontrol atas pelaksanaan aturan penangkapan ikan.
Tipe cooperative lebih sesuai karena
apabila pengambilan keputusan tidak melibatkan masyarakat nelayan, maka dukungan atau partisipasi masyarakat nelayan dalam pengelolaan akan sulit diperoleh. 3.
Pengelolaan penangkapan ikan di rawa lebak memerlukan pemahaman ekologis perairan yang bersumber dari penelitian ekologis maupun bersumber dari pengetahuan tradisional dan norma – norma yang dimiliki masyarakat nelayan. Tipe cooperative lebih sesuai karena apabila pengambilan keputusan hanya dari Pemerintah, maka pengetahuan tradisional dan norma-norma yang dimiliki masyarakat nelayan belum tentu dapat dimanfaatkan dengan baik. Sebaliknya bila pengambilan keputusan diserahkan pada masyarakat nelayan, maka akan cenderung hanya mengakomodasi kepentingan ekonomi nelayan, sedangkan kepentingan konservasi keanekaragaman ikan akan diabaikan.
122
PENELITIAN
ANALISIS
PERGURUAN TINGGI / LEMBAGA PENELITIAN
PENGUMPULAN DATA PERIKANAN
PENGABDIAN PADA MASYARAKAT ATURAN PENANGKAPAN
MEMBANTU PEMERINTAH
KONTROL ALAT TANGKAP
MELARANG ALAT TANGKAP REMPAK, RACUN, LISTRIK
PERDA
PEMERINTAH KOTA PALANGKARAYA
INFORMASI & PEMBINAAN PENGUATAN INSTITUSI
KONTROL AKSES ORANG LUAR DESA
KELOMPOK NELAYAN
PERDA & PROGRAM KONSERVASI
PEMBAGIAN HAK WILAYAH PENANGKAPAN
MEMBANGUN KAWASAN SUAKA PERIKANAN
KONTROL JENIS IKAN TANGKAPAN
PROGRAM KONSERVASI
ORGANISASI NON PEMERINTAH
TEKNIK PENANGKAPAN DENGAN SELAMBAU DAN JARING
PENGUATAN INSTITUSI
UNTUK KOMERSIAL UNTUK NON KOMERSIAL (REKREASI, RISET) RAWA TERBUKA (DANAU)
RAWA HUTAN & ANAK SUNGAI JENIS IKAN DENGAN POPULASI RENDAH
EVALUASI EFEKTIFITAS ATURAN
Keterangan :
Peran Pemerintah Peran masyarakat nelayan Peran Perguruan Tinggi Peran Organisasi non Pemerintah
Gambar 37. Model pengelolaan penangkapan ikan di Kota Palangkaraya
123
Batas wilayah pengelolaan Unit pengelolaan berdasarkan wilayah desa (VMAs) karena : 1.
Nelayan tiap desa memiliki batas teritorial penangkapan ikan yang jelas, yaitu batas desa.
2.
Anggota masyarakat nelayan yang mengeksploitasi sumberdaya ikan terdefinisi dengan baik, yaitu hanya masyarakat desa tersebut.
3.
Adanya ikatan sosial dalam masyarakat nelayan satu desa yaitu : kesamaan etnik (suku Dayak Ngaju), agama (Islam), dan domisili.
Secara tradisional masyarakat nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang memiliki batas penguasaan wilayah.
Batas wilayah tersebut perlu diakui dan dihormati, karena
masyarakat Dayak memiliki ikatan teritorial yang kuat (Mudiyono 1994). Oleh karena itu unit pengelolaan dalam model ini adalah kampung nelayan dan wilayah perairan yang dikuasai oleh kampung nelayan tersebut. Menurut Hoggarth & Aeron-Thomas (1998), penggunaan unit pengelolaan desa (village management areas / VMAs) hanya dapat mengelola ikan blackfish, sedangkan untuk pengelolaan ikan whitefish diperlukan unit pengelolaan yang lebih luas.
Batas wilayah yang dikuasai oleh nelayan di Petuk
Ketimpun dan Marang adalah seluruh rawa lebak di sekitar sungai Rungan, yang termasuk dalam wilayah kelurahan. Rawa lebak sekitar 3 km di sisi kiri dan kanan sungai. Sungai Rungan tidak termasuk dalam wilayah yang dikuasai. Batas wilayah pengelolaan diperlukan untuk efektivitas pengelolaan. Diperlukan pendokumentasian batas penguasaan wilayah, supaya masa depan tidak terjadi konflik. Wilayah Petuk Ketimpun dan Marang berpotensi mengalami penetrasi masyarakat luar desa, karena posisinya dekat dengan pusat Kota Palangkaraya. Pihak yang terlibat dalam pengelolaan Pengelolaan bersama adalah pembagian kekuasaan untuk mengelola antara Pemerintah dengan masyarakat (Hoggarth et al. 1998). Pihak yang terlibat dalam pengelolaan meliputi Pemerintah Kota Palangkaraya, kelompok nelayan, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan organisasi non Pemerintah. Pemerintah Kota merupakan pihak yang penting dalam pengelolaan, karena memiliki otoritas formal pada wilayah tersebut, serta memiliki kapasitas pada bidang finansial, dan sumberdaya manusia.
Proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan harus dilakukan
124
bersama-sama antara kelompok nelayan dan Pemerintah Kota Palangkaraya. Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian berperan melalui kegiatan penelitian yang menunjang pengelolaan dan kegiatan pengabdian pada masyarakat untuk kelompok nelayan. Organisasi non Pemerintah terutama berperan untuk membantu program konservasi ekosistem dan penguatan institusi nelayan. Masyarakat nelayan secara tradisional telah mengelompok berdasarkan ikatan keturunan dan teritorial, sehingga membentuk kampung nelayan.
Dalam kelompok nelayan ini, orang – orang yang
menjadi tokoh adalah yang berumur lebih tua.
Untuk
pengelolaan yang efektif
diperlukan bentuk kelompok yang lebih formal. Pemerintah Kota perlu memfasilitasi pembentukan kelompok nelayan dan memberikan legitimasi formal. Sebagian besar masyarakat nelayan menyetujui pembentukan organisasi nelayan. Kontrol alat tangkap Kontrol
alat
tangkap
diperlukan
untuk
menjamin
penangkapan
ikan
menggunakan alat tangkap yang tidak cenderung merusak sumberdaya ikan. Kontrol alat tangkap dalam model ini dibagi menjadi 2 yaitu pelarangan jenis alat tangkap dan pembatasan cara penggunaan alat tangkap. Pihak yang berperan dalam kontrol alat tangkap adalah nelayan dan Pemerintah Kota.
Nelayan memiliki peranan penting
dalam kontrol alat tangkap di lokasi penangkapan. Pemerintah Kota berperan dalam membuat peraturan formal penangkapan dan melakukan penegakan hukum. Pelarangan jenis alat tangkap mengacu pada norma – norma yang telah dimiliki oleh nelayan dan Perda Kota Palangkaraya. Alat tangkap listrik, racun, dan rempak merupakan jenis alat tangkap yang dilarang digunakan. Pembatasan cara penggunaan alat tangkap diterapkan untuk alat tangkap selambau dan jaring insang dengan mata jaring < 1 inci.
Kedua alat tersebut cenderung merusak sumberdaya ikan, namun
sudah umum menjadi alat tangkap nelayan. Oleh karena itu diperlukan pembatasan cara pengoperasian alat tangkap tersebut. Alat tangkap selambau prinsip kerjanya adalah membendung anak sungai, sehingga semua jenis ikan, baik ikan species kecil maupun besar yang melewati anak sungai tersebut akan tertangkap ketika selambau dioperasikan. Kondisi ini menghalangi ikan untuk melakukan migrasi lateral dari sungai ke rawa atau sebaliknya dari rawa ke sungai.
Untuk mengatasi dampak negatif selambau, maka dibuat aturan waktu
125
pengoperasian selambau tidak boleh selama 24 jam sehari. Selambau dioperasikan hanya ½ hari. Apabila nelayan mengoperasikan malam hari, maka siangnya selambau harus diangkat dari perairan, dan sebaliknya bila nelayan mengoperasikan siang hari, maka malamnya harus diangkat dari perairan. Dengan demikian ikan masih memiliki kesempatan untuk melakukan migrasi. Ikan yang masih kecil yang tertangkap oleh selambau harus dikembalikan ke alam. Pengembalian ikan yang masih kecil ke alam tidak akan mengalami hambatan karena nelayan secara tradisional telah melakukannya dengan kesadaran sendiri.
Motivasi mereka adalah supaya ikan yang masih kecil
tersebut bisa tumbuh menjadi besar, dan suatu saat dapat ditangkap kembali. Alasan nelayan menggunakan ukuran mata jaring yang kecil adalah untuk menangkap ikan berukuran kecil yang dapat dijual seperti ikan saluang dan puhing. Namun ketika mereka menangkap seluang, anak ikan lainnya ikut tertangkap. Anak ikan tersebut tidak dapat dijual dan akhirnya menjadi ikan yang terbuang (bycatch). Tertangkapnya ikan bukan sasaran juga tidak dikehendaki oleh nelayan, karena akan menyita waktu dan tenaga untuk membuang ikan tersebut dari belitan jaring insang. Untuk mengurangi bycatch pada kasus penggunaan jaring insang dengan mata jaring kecil adalah dengan penggunaan secara selektif berdasarkan lama pengoperasian, lokasi dan musim. Biasanya nelayan menempatkan jaring insang disuatu lokasi dan kemudian tidak diangkat kembali. Akibatnya jaring insang terpasang selama 24 jam / hari dan terpasang hingga lebih dari satu bulan. Perilaku ini menyebabkan tingginya bycatch. Jaring insang seharusnya dioperasikan hanya selama nelayan mencari ikan yaitu sekitar 5 - 6 jam / hari. Lokasi dan musim akan menentukan bycatch. Lokasi pengoperasian jaring insang harus tepat di tempat gerombolan ikan sasaran. Pengoperasian jaring insang juga harus tepat saat musim ikan sasaran. Penebaran umpan berupa dedak akan mempercepat tertangkapnya ikan sasaran, sehingga dapat mempersingkat pengoperasian dan mengurangi bycatch. Kontrol akses orang luar desa Berdasarkan model Bionomic Gordon-Schaefer surplus yield (Sparre dan Venema
1992), hubungan antara hasil tangkapan ikan dengan jumlah nelayan
diperoleh model Y = 3,73299 f – 0,00173 f2 (R = 0,975, nilai p = 0,0046). Y adalah hasil tangkapan ikan (ton / th) dan f adalah jumlah nelayan di Kota Palangkaraya. Rata-rata
126
harga ikan di tingkat nelayan Rp 6.096,-/ kg. Dengan asumsi pendapatan (TR) adalah perkalian antara hasil tangkapan dengan harga jual ikan, maka
diperoleh model
hubungan jumlah nelayan dengan pendapatan yaitu TR = 22,75631 f – 0,01055 f2 (R = 0,975; nilai p = 0,0046). Rata-rata biaya penangkapan ikan adalah Rp 7.536.650,Dengan demikian, hubungan antara biaya total dengan jumlah nelayan adalah TC = 7,536650 f. TR adalah pendapatan total (juta rupiah / th), TC adalah biaya total (juta rupiah/th) dan f adalah jumlah nelayan. Keuntungan sosial maksimal (MScY) adalah tercapainya selisih maksimum antara pendapatan dengan biaya yaitu pada saat jumlah nelayan 721 orang, sedangkan tangkapan lestari maksimum (MSY) terjadi pada titik puncak kurva pendapatan yaitu pada saat jumlah nelayan 1078 orang. Kondisi ekuilibrium antara biaya dan pendapatan tercapai ketika terjadi perpotongan antara kurva pendapatan dengan biaya yaitu pada saat jumlah nelayan 1442 orang (Gambar
Pendapatan & biaya (Juta rupiah)
38). 16000
Pendapatan
14000
MScY
12000
Biaya
MSY
10000
TR = TC
8000 6000 4000 2000 0 0
300
600
900
1200 1500 1800 2100 2400
Jumlah nelayan (orang)
Keterangan :
TR TC MSY MScY
= Pendapatan total (juta rupiah/th/nelayan) = Pengeluaran total (juta rupiah/th/nelayan) = Batas tangkapan lestari maksimum = Batas Keuntungan sosial maksimum
Gambar 38. Model hubungan jumlah nelayan dengan pendapatan dan biaya Jumlah nelayan Kota Palangkaraya telah melebihi keuntungan sosial maksimal (MscY), sehingga keuntungan yang diperoleh nelayan tidak maksimal. Peningkatan jumlah nelayan lebih lanjut, akan semakin menurunkan tingkat keuntungan nelayan.
127
Berdasarkan data statsitik perikanan, pada tahun 2005 pertambahan nelayan Kota Palangkaraya sekitar 1,5 %. Skenario pertambahan jumlah nelayan 1,0 % ; 1,5 % ; dan 2,0 % dan estimasi keuntungan yang diperoleh disajikan pada Gambar 39. Keuntungan nelayan semakin rendah, bila pertambahan jumlah nelayan semakin besar.
Berdasarkan skenario ini, maka dalam pengelolaan perlu dikontrol jumlah
Keuntungan / nelayan (Juta rupiah/th)
nelayan, sehingga keuntungan nelayan tidak menurun.
6.5 6 5.5 Skenario 1 5
Skenario 2 Skenario 3
4.5 4 3.5 2005
2006 2007 2008 2009
2010 2011 2012
2013
2014 2015
Tahun
Keterangan :
Skenario 1 : Tingkat pertambahan jumlah nelayan 1,0 % / tahun Skenario 2 : Tingkat pertambahan jumlah nelayan 1,5 % / tahun Skenario 3 : Tingkat pertambahan jumlah nelayan 2,0 % / tahun
Gambar 39. Skenario pertambahan jumlah nelayan dan dampaknya pada tingkat keuntungan nelayan Norma masyarakat nelayan Petuk Ketimpun dan Marang untuk melarang orang luar desa menjadi nelayan di wilayah mereka merupakan salah satu cara pembatasan jumlah nelayan. Pembatasan jumlah nelayan akan membatasi tekanan penangkapan dan persaingan usaha penangkapan.
Norma yang sudah efektif penerapannya ini
digunakan sebagai instrumen pengelolaan. Kontrol akses orang luar desa dilakukan oleh masyarakat nelayan. Nelayan secara aktif menjaga wilayah penangkapan yang merupakan teritorial yang dikuasai. Orang luar desa boleh menangkap ikan di desa hanya untuk kepentingan non komersial seperti rekreasi memancing dan penelitian.
Akses orang luar desa juga
128
dapat melalui perkawinan dengan nelayan setempat.
Setiap orang luar desa yang
kawin dengan keluarga nelayan setempat dianggap menjadi anggota masyarakat nelayan, sehingga boleh menangkap ikan di desa. Pembatasan kuota tangkap sulit diterapkan di Petuk Ketimpun dan Marang. Pembatasan kuota tangkap di perikanan rawa lebak dilakukan efektif di beberapa tempat di Indonesia, seperti di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat (Koeshendrajana & Hoggarth 1998). Ternyata pembatasan kuota tangkap cenderung dilakukan oleh suku Melayu, sedangkan suku Dayak seperti di desa Meliau, Kapuas Hulu cenderung membatasi orang yang boleh menangkap, yaitu hanya nelayan desa setempat (Koeshendrajana & Samuel 2003) Pembatasan kuota tangkap cenderung tidak dikembangkan secara tradisional oleh suku Dayak, karena suku dayak g memiliki kebiasaan mengeksplotasi sumberdaya alam sesuai kebutuhan sehari hari saja (Bamba 2002). Pembagian hak wilayah penangkapan Dalam satu wilayah pengelolaan, terdapat beberapa rawa terbuka atau danau yang
merupakan
tempat
penangkapan.
Rawa
terbuka
merupakan
tempat
penangkapan utama. Tempat penangkapan tersebut dibagi – bagi penguasaannya, sehingga tiap rawa terbuka dikuasai oleh sejumlah nelayan. Hak kepemilikan rawa terbuka sebagai wilayah penangkapan dimiliki secara komunal oleh kelompok nelayan. Pembagian ini mengakibatkan tiap rawa dimiliki dan dikontrol oleh sejumlah / kelompok nelayan. Konsep ini dapat diterapkan karena nelayan Petuk Ketimpun dan Marang cenderung terbagi wilayahnya dalam menangkap ikan.
Contoh kasus di Petuk
Ketimpun, kelompok nelayan yang menangkap ikan di rawa Burung dan rawa Hanjalantung berbeda. Demikian juga di Marang, kelompok nelayan yang menangkap di rawa Marang dan rawa Bajawak berbeda. Anak sungai dikuasai secara perorangan untuk menempatkan selambau. Jika seorang nelayan telah lebih dahulu menggunakan anak sungai tersebut untuk menempatkan selambau, maka nelayan lain tidak boleh menempatkan selambau di wilayah tersebut.
Tidak ada pembagian wilayah rawa berhutan untuk sekelompok
nelayan seperti pada rawa terbuka. Namun adanya kecenderungan kerusakan hutan
129
rawa akibat penebangan liar, maka diperlukan pembagian wilayah rawa berhutan. Pembagian rawa berhutan berdasarkan anak sungai yang merupakan jalan perahu menuju rawa berhutan. Sejumlah nelayan ditentukan hak penguasaannya atas rawa berhutan di sekitar anak sungai tersebut untuk tempat penangkapan ikan. Kelompok nelayan yang memiliki wilayah rawa berhutan tersebut harus bertanggung jawab atas keutuhan ekosistem rawa berhutan. Pihak yang melakukan kontrol terhadap pembagian wilayah adalah kelompok nelayan, karena pembagian wilayah penangkapan telah dilakukan oleh masyarakat nelayan secara tradisional. Pembagian yang sudah ada saat ini harus dipertahankan. Untuk pengembangan selanjutnya, kelompok nelayan harus bermusyawarah dalam membagi wilayah penangkapan, teruama untuk wilayah penangkapan bagi nelayan baru dan wilayah yang belum dieksploitasi. Nelayan tidak menguasai sungai Rungan, karena mereka menganggap sungai tersebut bukan tempat penangkapan ikan utama, dan merupakan jalur transportasi air antar desa. Peranan Pemerintah Kota diperlukan untuk mengelola sungai Rungan, terutama dalam mengontrol kualitas air sungai. Kontrol jenis ikan tangkapan Kontrol
jenis
ikan
tangkapan
diperlukan
supaya
nelayan
berperan
mempertahankan keberadaan species ikan yang memiliki populasi yang rendah. Untuk mempertahankan kekayaan jenis ikan diperlukan upaya melindungi jenis ikan tersebut. Ikan yang populasinya rendah dan bernilai ekonomi menjadi species ikan yang diprioritaskan dalam upaya perlindungan, karena species tersebut mengalami penangkapan.
cenderung
Upaya mempertahankan species ikan yang populasinya
rendah dilakukan dengan : upaya domestifikasi ikan dan melarang penangkapan induk ikan dan anak ikan dari species ikan tersebut. Kontrol jenis ikan tangkapan belum memiliki dukungan dari nilai-nilai dan norma budaya yang dimiliki oleh masyarakat nelayan. Oleh karena itu diperlukan dukungan dari Pemerintah Kota, supaya kontrol jenis ikan tangkapan dapat diadopsi oleh kelompok nelayan. Dukungan Pemerintah Kota yang diperlukan adalah : penyuluhan, insentif untuk kontrol jenis ikan tangkapan, dan upaya domestifikasi ikan yang
130
dilakukan oleh lembaga penelitian. Jenis ikan yang diidentifikasi populasinya rendah disajikan pada subbab 4.6.4 pada halaman 68. Pihak yang berperan melakukan kontrol jenis ikan tangkapan adalah kelompok nelayan dan Pemerintah Kota. Pemerintah Kota berperan menentukan jenis ikan yang perlu dilindungi populasinya dan menginformasikan kepada kelompok nelayan. Nelayan juga perlu menginformasikan jenis-jenis ikan yang populasinya cenderung semakin sulit terangkap kepada Pemerintah Kota.
Kontrol jenis ikan tangkapan
dilakukan oleh setiap nelayan. Pengumpulan data perikanan Pengelolaan perikanan memerlukan data perikanan yang lengkap dan teratur. Pengumpulan data perikanan di perairan tawar sampai saat ini masih belum efektif, karena penangkapan skala kecil dan penjualan dilakukan tanpa melewati tempat pelelangan ikan. Untuk mengatasi kendala tersebut, maka kelompok nelayan perlu dilibatkan dalam membantu pengumpulan data perikanan. Data perikanan yang harus dikumpulkan meliputi : hasil tangkapan, jumlah alat tangkap, jumlah nelayan, dan kondisi biofisik perairan. Pencatatan hasil tangkapan dan jumlah alat tangkap lebih efektif dilakukan sendiri oleh kelompok nelayan, sedangkan pemantauan kondisi biofisik perairan dilakukan oleh Pemerintah.
Pemantauan kondisi biofisik perairan
dilakukan minimal dengan interval 1 tahun secara teratur.
Apabila pemantauan
dilakukan 1 kali dalam satu tahun, maka dilakukan pada musim kemarau. Membangun kawasan suaka perikanan Kawasan suaka perikanan berfungsi sebagai pemasok bibit dan benih ikan, serta merupakan kawasan perairan yang mewadahi wakil keanekaragaman hayati plasma nutfah perairan disekitarnya (Hartoto et al. 1998). Kawasan yang sesuai untuk suaka perikanan adalah habitat rawa berhutan dan perairan sungai di depan pemukiman nelayan. Pihak yang berperan dalam melindungi suaka perikanan adalah nelayan, Pemerintah Kota, dan organisasi non Pemerintah. mengontrol perilaku masyarakat.
Nelayan berperan
Pemerintah Kota berperan melalui program
pemantauan dan rehabilitasi ekosistem, serta membuat peraturan – peraturan yang melindungi kawasan suaka perikanan. Organisasi non Pemerintah berperan dalam
131
program konservasi ekosistem rawa lebak. Penetapan suatu kawasan menjadi suaka perikanan harus dilakukan bersama-sama antara Pemerintah Kota dengan kelompok nelayan. Pemerintah Kota juga perlu memberikan penyuluhan mengenai fungsi rawa berhutan bagi kehidupan ikan dan nilai penting keanekaragaman ikan bagi nelayan. Rawa berhutan perlu digunakan sebagai suaka perikanan terutama pada saat musim air tinggi. Rawa berhutan dipilih sebagai suaka perikanan karena : 1.
Mendukung keanekaragaman ikan yang lebih tinggi dibanding rawa terbuka dan sungai (Gambar 19, 20 dan 21).
2.
Mendukung kelimpahan ikan yang lebih tinggi dibanding rawa terbuka dan sungai (Gambar 22).
3.
Keanekragaman plankton dan makrozoobenthos cenderung lebih tinggi dibanding rawa terbuka dan sungai.
4.
Pada musim air tinggi, merupakan tempat pemijahan ikan dan pembesaran anak ikan (Welcomme 1983).
5.
Tingkat penangkapan ikan yang rendah dibanding rawa terbuka dan sungai (Tabel 15). Nelayan cenderung menangkap di rawa terbuka.
6.
Memiliki kompleksitas habitat yang lebih tinggi, sehinga ikan terlindung dari pemangsaan dan penangkapan. Perlindungan rawa berhutan untuk suaka perikanan dilakukan dengan menjaga
ekosistem rawa berhutan dari kerusakan. Pembatasan penangkapan di suaka perikanan tidak diperlukan, karena kompleksitas rawa berhutan mampu melindungi ikan dari penangkapan berlebih.
Penangkapan yang dapat berakibat terganggunya fungsi
rawa berhutan sebagai suaka perikanan adalah penggunaan alat tangkap selambau yang menghalangi ikan melakukan migrasi ke rawa berhutan. Untuk mengatasi itu telah diatur metode penangkapan dengan selambau pada bagian kontrol alat tangkap. Kerusakan hutan rawa terutama diakibatkan oleh eksploitasi kayu hutan. Eksploitasi kayu hutan merusak hutan rawa dan hutan di sekitar rawa terbuka dan sungai. Luas hutan rawa di Petuk Ketimpun yang dieksploitasi sekitar 48,66 ha / th, sedangkan di Marang sekitar 22,69 ha / th. Kawasan rawa berhutan di Petuk Ketimpun dan Marang disajikan pada Lampiran 25. Rawa berhutan yang telah berubah menjadi semak atau rusak di Petuk ketimpun lebih luas dibandingkan di Marang. Pemerintah Kota Palangkaraya menetapkan kawasan perlindungan setempat hanya 100 meter dari
132
sisi sungai dan danau (Pemko Palangkaraya 2004), sedangkan rawa berhutan mencapai sekitar 3 km dari sisi sungai (Lampiran 32). Akibatnya sebagian besar hutan rawa tidak termasuk dalam kawasan perlindungan setempat. Pemerintah Kota perlu untuk mengatasi kerusakan ekosistem rawa berhutan melalui : pencegahan perdagangan kayu dari hutan rawa, menetapkan kawasan perlindungan setempat dengan jarak 3 km di sisi sungai oleh Pemerintah Kota Palangkaraya dan penghutanan kembali kawasan hutan rawa yang sudah menjadi semak. Perairan sungai di depan pemukiman nelayan perlu menjadi suaka perikanan pada saat musim air rendah. Perairan sungai di depan pemukiman dipilih sebagai suaka perikanan karena : 1.
Pada saat musim air rendah, ikan rawa lebak bermigrasi ke sungai untuk menghindari kekeringan.
Dengan demikian tipe habitat sungai menjadi tempat
perlindungan ikan pada saat
musim air rendah.
Hal ini diindikasikan dengan
meningkatnya jumlah species ikan di sungai pada saat musim air rendah (Gambar 21). 2.
Perairan sungai di depan pemukiman nelayan dapat dikontrol secara efektif oleh masyarakat nelayan.
Suaka perikanan di depan pemukiman nelayan dibuat terutama untuk melindungi induk ikan dari penangkapan pada saat musim air rendah. Dengan demikian, induk ikan tersebut dapat memijah pada saat musim air tinggi di rawa lebak. Kontrol pada suaka perikanan di depan pemukiman nelayan dilakukan oleh masyarakat nelayan. Kontrol meliputi pelarangan penangkapan ikan di depan pemukiman nelayan selama musim air rendah, dan kontrol terhadap penggunaan racun dan listrik untuk penangkapan ikan di sungai. Sistem penegakan aturan dalam pengelolaan Nelayan dan Pemerintah Kota berperan dalam penegakan aturan. Penegakan aturan di tiap wilayah (misalkan di tiap rawa terbuka) dilakukan oleh kelompok nelayan yang menguasai wilayah tersebut. Di dalam norma – norma masyarakat nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang, tidak ada sanksi seperti denda untuk pelanggar. Di rawa terbuka yang merupakan tempat penangkapan utama biasanya tidak ada pelanggaran norma, karena kontrol dari nelayan kuat. Apabila ada pelanggaran biasanya cukup
133
dilakukan dengan teguran lisan. Pembagian wilayah penguasaan sangat penting bagi penegakan aturan, karena nelayan yang menguasai wilayah tersebut mengontrol wilayahnya.
Pemerintah Kota berperan dalam penegakan aturan, ketika terjadi
pelanggaran-pelanggaran di perairan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum formal, seperti penggunaan racun dan listrik untuk penangkapan, serta ekploitasi kayu hutan rawa secara komersial. Evaluasi terhadap efektifitas aturan diperlukan, supaya apabila ada aturan yang tidak sesuai dapat segera diperbaiki. Evaluasi juga diperlukan untuk pengembangan pengelolaan selanjutnya, sehingga tujuan pengelolaan dapat tercapai. 4.11.2. Pengelolaan mata pencaharian sampingan Pengembangan mata pencaharian sampingan bagi nelayan akan memberikan pilihan sumber pendapatan pada nelayan.
Apabila sampingan tersebut cenderung
lebih menguntungkan dibandingkan menangkap ikan, maka penangkapan ikan akan menurun. Rata – rata pendidikan masyarakat di Petuk ketimpun dan Marang saat ini hanya tingkat SLTP.
Peningkatan pendidikan bagi anak-anak nelayan diperlukan
supaya mereka memiliki daya saing untuk mendapatkan pekerjaan selain menjadi nelayan. Sehingga diharapkan sebagian anak – anak nelayan memasuki lapangan kerja selain menjadi nelayan. Mata pencaharian memelihara ikan di karamba Permasalahan utama pada usaha memelihara ikan toman di karamba yang dilakukan oleh nelayan yaitu ketergantungan benih dari alam dan penggunaan ikan kecil yang ditangkap di alam sebagai pakan ikan. Ketergantungan pada ketersediaan alam menyebabkan ketidakpastian dari usaha ini. Benih ikan diperoleh dari alam 1 tahun sekali yaitu pada saat awal musim hujan. Ketergantungan ini juga dapat mengancam komunitas ikan di alam. Apabila penangkapan anak ikan toman dilakukan dengan intensif, maka akan mengurangi kemampuan berkembang biak ikan tersebut di perairan. Dampak negatif juga diakibatkan oleh perilaku nelayan dalam menangkap anak ikan toman yang selalu menangkap induk ikan yang sedang memelihara anak ikan tersebut. Induk ikan tersebut berukuran mencapai 3 kg / ekor dengan panjang 50 – 60 cm.
134
Berdasarkan statistik perikanan, rata-rata peningkatan produksi ikan toman dari karamba tahun 2001 – 2005 sekitar
32,16 ton / tahun. Peningkatan produksi ini
mengakibatkan peningkatan kebutuhan benih ikan.
Prediksi kebutuhan benih ikan
toman untuk 10 tahun mendatang disajikan pada Gambar 40. Peningkatan kebutuhan benih
ikan
toman
yang
terus
meningkat
akan
mengakibatkan
peningkatan
penangkapan benih ikan toman dan ikan toman di alam tidak memiliki kesempatan
Kebutuhan benih ikan (ekor)
untuk berkembang biak. 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 2005 2006
2007
2008 2009
2010
2011 2012
2013
2014 2015
Tahun
Gambar 40. Prediksi kebutuhan benih ikan toman hingga tahun 2015 Tekanan penangkapan terhadap ikan – ikan kecil untuk pakan ikan toman berpotensi merusak komunitas ikan. Ikan kecil yang tertangkap oleh anco ada dua kelompok yaitu ikan species kecil dan benih ikan.
Tekanan penangkapan pada
species kecil berdampak negatif pada jenis ikan lain yang makanannya berupa ikan kecil tersebut. Apabila ikan pemangsa tersebut kesulitan memperoleh mangsa, maka species tersebut akan terancam populasinya. Penangkapan benih ikan alam akan berdampak negatif pada penambahan anggota populasi (rekruitmen)
jenis ikan
tersebut. Pada tahun 2005 produksi ikan toman di Kota Palangkaraya 139,35 ton. Apabila faktor konversi pakan dengan ikan segar sekitar 4 – 5 (Nam et al. 2005), maka ikan kecil yang digunakan untuk pakan berkisar antara 557,4 – 696 ton / tahun. Jumlah ini sekitar 29,17 – 36,42 % dari hasil tangkapan ikan total di Palangkaraya. Prediksi produksi ikan toman dari karamba dan kebutuhan pakan ikan untuk 10 tahun mendatang disajikan pada Gambar 41. Tekanan penangkapan ikan kecil untuk pakan
135
ikan meningkat tiap tahun, bahkan pada tahun 2015 diprediksi kebutuhan pakan ikan telah melebihi ambang batas MSY.
2500
(ton)
2000 1500 1000 500 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun Produksi ikan
Kebutuhan pakan
Gambar 41. Prediksi produksi ikan toman di karamba di Palangkaraya dan kebutuhan pakan hingga tahun 2015 Strategi pengelolaan untuk budidaya ikan di karamba dikembangkan menjadi 2 alternatif yaitu mengganti jenis ikan yang dipelihara dan tetap menggunakan ikan toman sebagai ikan yang dipelihara. Alternatif 1 : Mengganti jenis ikan yang dipelihara Alternatif 1 adalah mengganti jenis ikan yang dipelihara di karamba dari ikan toman menjadi ikan alternatif. Ikan alternatif yang digunakan harus memiliki kriteria : species lokal, tingkat trofik yang rendah (herbivora atau omnivora), memiliki nilai jual yang tinggi, ketersediaan teknologi produksi benih dan nelayan mudah memperoleh pakan ikan.
Kualitas air di lokasi penelitian memiliki kekhususan yaitu pH rendah,
sehingga pada umumnya ikan introduksi tidak dapat beradaptasi dengan baik. Oleh karena itu ikan budidaya lebih sesuai menggunakan species lokal yang telah beradaptasi dengan baik terhadap kondisi perairan yang masam. Species lokal telah dikenal oleh masyarakat nelayan sehingga lebih mudah diadopsi oleh nelayan. Menurut Phillips (2002), ikan yang dibudidaya harus pada posisi rendah pada jaring makanan seperti ikan herbivora dan omnivora, sehingga secara ekologis lebih efisien. Ikan toman yang dipelihara nelayan merupakan ikan karnivora sehingga tidak efisien.
136
Terdapat 11 jenis ikan lokal yang ekonomis tinggi dan pada tingkat trofik yang rendah (Tabel 29).
Sebagian besar jenis ikan tersebut masih belum ada pembenihannya.
Akibatnya apabila dipilih sebagai ikan budidaya akan mengalami hambatan penyediaan benih. Diperlukan upaya pembenihan ikan ekonomis penting yang menduduki tingkat trofik yang rendah. Jenis ikan yang sudah dapat diproduksi benihnya saat ini, antara lain : jelawat, gurami, biawan, kapar, dan sepat. Jelawat dan gurami memiliki harga yang tinggi, sehingga berpotensi sebagai ikan alternatif pengganti ikan toman. Pakan ikan herbivora dan omnivora dapat diupayakan diperoleh dari lingkungan, sehingga tidak sepenuhnya bergantung pada pakan buatan. Tabel 29. Jenis ikan lokal yang bernilai ekonomi dan menduduki tingkat trofik yang rendah No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jenis ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii) Gurami (Osphronemus gouramy ) Kelabau (Osteochilus kalabau) Biawan (Helostoma temminckii) Kapar (Belontia hasselti) Sepat (Trichogaster leerii) Jelawat batu (Hampala macrolepidota) Salap (Barbodes schwanenfeldii) Lawang (Pangasius micronemus) Saluang (Rasbora argyrotaenia) Patung (Pristolepis grooti)
Tingkat trofik Herbivora Herbivora Herbivora Herbivora Herbivora Herbivora Omnivora Omnivora Omnivora Omnivora Omnivora
Kisaran harga ikan (rupiah/kg) 25.000 – 30.000 15.000 – 20.000 5.000 - 10.000 5.000 - 10.000 10.000 - 15.000 5.000 - 10.000 10.000 – 15.000 5.000 – 10.000 5.000 – 10.000 5000 – 10.000 10.000 – 15.000
Alternatif 2 : Tetap memelihara ikan toman Apabila ikan toman tetap dipertahankan sebagai jenis ikan yang dibudidaya, maka diperlukan strategi untuk mengatasi dampak negatif penangkapan benih ikan toman dari alam dan penangkapan ikan kecil untuk pakan ikan, yaitu : 1. Penggunaan benih toman dari hasil budidaya. Untuk itu harus ada upaya produksi benih ikan toman di balai benih ikan milik pemerintah atau swasta. 2. Memanfaatkan ikan sisa hasil tangkapan yang tidak dapat dijual (bycatch) sebagai pakan ikan. Penangkapan di perairan rawa lebak bersifat multispecies. Jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi hanya terbatas. Species ikan yang tidak berharga dikumpulkan untuk digunakan sebagai pakan ikan toman.
Diperlukan
mekanisme pasar supaya nelayan yang tidak memiliki karamba dapat menjual sisa tangkapannya kepada nelayan yang memiliki karamba.
137
3.
Mengembangkan budidaya ikan species kecil untuk menjadi pakan ikan toman. Jenis ikan yang berpotensi dibudidaya sebagai pakan ikan toman adalah ikan species lokal
pemakan plankton. Ikan pemakan plankton dapat memanfaatkan
pakan alami plankton yang ada di perairan rawa lebak. Beberapa jenis ikan yang berpotensi untuk dibudidayakan sebagai pakan ikan toman antara lain : puyau (Osteochilus triporos), seluang (Rasbora argyrotaenia), dan lembayuk (Puntius lineatus). 4. Ketersediaan pakan buatan yang sesuai untuk ikan karnivora. Penggunaan sumber protein nabati dalam pakan buatan dapat mengurangi jumlah penggunaan protein dari ikan untuk pakan ikan toman. Mata pencaharian eksploitasi hasil hutan Pengelolaan kawasan hutan rawa di Petuk Ketimpun dan Marang perlu diintegrasikan dengan pengelolaan penangkapan ikan, karena wilayah tersebut merupakan tempat penangkapan ikan, dan dijaga oleh nelayan. Penguasaan wilayah yang dilakukan oleh nelayan dapat digunakan sebagai batas wilayah pengelolaan. Selanjutnya pengelolaan ditujukan untuk mengatur eksploitasi yang dilakukan oleh anggota masyarakat desa. Strategi yang harus diterapkan dalam pengelolaan hutan rawa adalah : 1. Hutan rawa tiap desa merupakan kawasan pengelolaan yang dilakukan oleh nelayan desa tersebut. Orang luar desa tidak diperbolehkan melakukan eksploitasi hasil hutan di kawasan pengelolaan. 2. Eksploitasi kayu hutan dilakukan hanya untuk kepentingan sendiri (non komersial) seperti : membangun rumah, dan kayu bakar. 3. Pengembangan eksploitasi hasil hutan bukan kayu seperti : rotan, bambu, madu hutan, dan obat tradisional. 4. Pihak Pemerintah Kota mengambil peranan dalam pemantauan kualitas lingkungan hutan rawa, membuat Perda yang mendukung upaya pengelolaan, dan penegakan hukum atas perdagangan kayu liar. 5. Organisasi non Pemerintah mengambil peranan dalam konservasi hutan dan satwa, serta penguatan lembaga pengelolaan yang dimiliki nelayan.
138
6. Pengembangan aturan untuk membatasi eksploitasi satwa liar di wilayah pengelolaan. Berdasarkan nilai – nilai sosial yang dimiliki nelayan Petuk Ketimpun dan Marang, maka kayu hutan rawa hanya dieksploitasi untuk keperluan sendiri (non komersial). Namun nilai – nilai tersebut sudah dilanggar sebagian besar masyarakat, dengan menjual kayu hutan sebagai kayu bangunan maupun kayu bakar. Oleh karena itu perlu dilakukan penguatan kembali nilai-nilai sosial yang telah dimiliki dan meningkatkan fungsi kontrol masyarakat.
Kesadaran masyarakat nelayan harus
ditingkatkan dengan memberikan penyuluhan mengenai dampak kerusakan hutan rawa terhadap perikanan.
Produk bukan kayu berpotensi dapat dimanfaatkan untuk
peningkatan pendapatan nelayan. Produk bukan kayu tersebut sudah dieksploitasi oleh masyarakat, tetapi untuk keperluan non komersial. Upaya merobah orientasi eksploitasi kayu hutan menjadi eksploitasi produk hutan bukan kayu, memerlukan akses pasar bagi produk bukan kayu tersebut. Satwa liar di rawa berhutan saat ini tidak menjadi sasaran eksploitasi oleh masyarakat nelayan maupun orang luar, namun demikian ada kemungkinan masa depan akan terjadi eksploitasi satwa liar tersebut.
Oleh karena itu perlu sudah
dikembangkan aturan untuk membatasi eksploitasi satwa liar.
Beberapa satwa liar
yang dijumpai di lokasi penelitian ini adalah : monyet, orang utan, tupai, ular, berbagai jenis burung. Pemerintah perlu menginformasikan jenis satwa liar yang dilindungi. 4.11.3. Strategi peningkatan pendapatan nelayan Strategi peningkatan pendapatan nelayan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan sehingga mereka hidup tidak miskin dan upaya tersebut tidak berdampak negatif pada keanekaragaman ikan.
Strategi peningkatan pendapatan
dirumuskan berdasarkan identifikasi faktor-faktor yang memiliki kontribusi relatif yang besar terhadap pendapatan nelayan (Tabel 23, 24, dan 25). Kontribusi relatif masingmasing faktor di Petuk ketimpun dan Marang disajikan pada Gambar 42 dan Gambar 43. Strategi untuk meningkatkan pendapatan nelayan dibagi menjadi (1) peningkatan pendapatan sektor penangkapan ikan, dan (2) peningkatan pendapatan sektor pemeliharaan ikan di karamba.
Pendapatan dari sektor eksploitasi kayu tidak
139
dikembangkan lebih lanjut, karena aktivitas tersebut merusak ekosistem rawa lebak, dan kontribusinya terhadap pendapatan sangat rendah.
Gambar 42. Kontribusi relatif faktor – faktor yang mempengaruhi pendapatan total nelayan Petuk Ketimpun.
140
Gambar 43. Kontribusi relatif faktor – faktor yang mempengaruhi pendapatan total nelayan Marang.
141
Peningkatan pendapatan sektor penangkapan ikan Faktor – faktor yang memiliki kontribusi relatif yang besar (lebih dari 20 %) terhadap pendapatan sektor penangkapan ikan di Petuk Ketimpun, pemilikan alat tangkap dan tingkat harga ikan, sedangkan di Marang pemilikan perahu dan alat tangkap. Faktor yang memberi kontribusi terbesar di Petuk Ketimpun adalah pemilikan alat tangkap dan di Marang adalah pemilikan perahu. Kedua faktor ini adalah sarana utama untuk penangkapan ikan sehingga berperan penting terhadap pendapatan nelayan. Peningkatan pemilikan perahu dan alat tangkap pendapatan sektor penangkapan ikan.
cenderung meningkatkan
Peningkatan jumlah alat tangkap maupun
perahu ditujukan terutama pada nelayan yang tergolong miskin, karena berdasarkan analisis diskriminan (Lampiran 23), diketahui bahwa nelayan yang miskin cenderung memiliki perahu dan alat tangkap yang lebih sedikit.
Peningkatan perahu dan alat
tangkap ditujukan untuk penangkapan ikan di perairan yang masih rendah tekanan penangkapannya yaitu di rawa berhutan.
Rawa berhutan masih belum mengalami
tekanan penangkapan. Penangkapan ikan hanya 10,22 kg / ha / th di rawa berhutan, sedangkan di rawa terbuka mencapai 729,05 kg / ha / th. Produktifitas ikan di rawa lebak sekitar 130 kg / ha / th (Dudley 2000). Penangkapan ikan di Petuk Ketimpun sekitar 91,61 kg / ha / th dan di Marang sekitar 73,17 kg / ha / tahun. Luas rawa lebak di Petuk Ketimpun 4084 ha, dan di Marang 4468 ha (Dinas Perikanan Kota Palangkaraya 1992). Dengan demikian masih ada sekitar 156.785 kg / tahun ikan di Petuk Ketimpun dan 253.916 kg / tahun ikan di Marang
yang berpotensi untuk dieksploitasi. Apabila satu unit jaring insang dapat
menangkap ikan sekitar 1,17 kg / hari (Dudley 2000), maka di Petuk Ketimpun masih dapat ditambah alat tangkap sekitar 367 unit jaring insang, sedangkan di Marang ditambah sekitar 595 unit jaring insang. Perbedaan tingkat harga jual ikan berpengaruh terhadap pendapatan. Beberapa faktor yang diidentifikasi mempengaruhi rendahnya harga jual ikan adalah musim ikan, kesulitan pemasaran yang dialami nelayan, dan jarak pemukiman nelayan dengan pusat kota.
Strategi untuk meningkatkan harga jual hasil tangkapan ikan
adalah :
142
1.
Meningkatkan nilai ekonomi hasil tangkapan melalui : pengolahan ikan hasil tangkapan, terutama pada saat musim ikan. Pengolahan ikan hasil tangkapan dibuat supaya pada saat musim ikan, ikan yang berlebih dapat diolah menjadi produk awetan seperti ikan kering, krupuk ikan, dan abon ikan.
2.
Perbaikan sistem pemasaran dengan cara pembentukan tempat pelelangan ikan (TPI), atau pasar ikan di lokasi yang berdekatan dengan desa, sehingga keluarga nelayan dapat secara langsung memasarkan hasil tangkapannya.
3.
Perbaikan infrastruktur jalan desa sehingga pemasaran ikan lebih lancar. Jalan menuju pemukiman nelayan masih berupa jalan tanah dan pada saat musim hujan terputus oleh banjir, sehingga menghambat pemasaran ikan.
Peningkatan pendapatan sektor memelihara ikan di karamba Faktor – faktor yang memiliki kontribusi relatif yang besar ( lebih dari 20 %) terhadap pendapatan sektor memelihara ikan di karamba di Petuk Ketimpun adalah pemilikan karamba, padat penebaran, dan tingkat harga jual ikan, sedangkan di Marang, faktor pemilikan karamba dan lama pemeliharaan.
Pemilikan karamba
merupakan faktor yang memberikan kontribusi terbesar di Petuk Ketimpun maupun Marang. Strategi peningkatan pendapatan sektor memelihara ikan di karamba adalah : (1) meningkatkan luas pemilikan karamba, (2) perbaikan teknik budidaya, dan (3) meningkatkan harga jual ikan. Peningkatan luas pemilikan karamba akan meningkatkan pendapatan sektor memelihara ikan di karamba. Strategi peningkatan pemilikan karamba dilakukan dengan (1) memberi bantuan / pinjaman modal kerja dan (2) mendorong nelayan meningkatkan alokasi modal yang dimiliki untuk investasi pada budidaya ikan di karamba. Bantuan / pinjaman modal kerja telah diprogramkan oleh pemerintah Kota Palangkaraya.
Namun program tersebut terlalu sedikit menjangkau nelayan.
Tiap
kelurahan hanya 5 nelayan yang mendapat bantuan bergulir untuk dikembalikan selama 2 tahun. Program ini dapat menjangkau semua nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang dalam waktu sekitar 49 tahun. Mendorong nelayan meningkatkan alokasi modal yang dimiliki untuk investasi pada budidaya ikan di karamba dilakukan dengan meningkatkan daya tarik investasi budidaya ikan di karamba. Peningkatan daya tarik dilakukan dengan penyuluhan yang intensif, penyediaan benih dan pakan,
serta
143
kemudahan pemasaran hasil panen. Alokasi modal untuk karamba sangat kecil bila dibandingkan dengan untuk penangkapan ikan.
Rata-rata alokasi modal untuk
budidaya hanya 14,6 %, sedangkan untuk penangkapan ikan mencapai 83,99 % (Tabel 30).
Kecenderungan ini disebabkan oleh budidaya memerlukan modal yang lebih
besar, sehingga nelayan cenderung mengalokasikan modal untuk penangkapan (Baran 2005).
Peningkatan alokasi penggunaan modal kerja untuk memelihara ikan di
karamba dibanding untuk penangkapan ikan dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan nelayan, karena keuntungan memelihara ikan di karamba lebih tinggi dibanding menangkap ikan. Keuntungan bersih usaha penangkapan ikan sekitar 41,54 % keuntungan bersih memelihara ikan di karamba (Tabel 31). Tabel 30. Alokasi penggunaan modal kerja oleh nelayan No 1. 2. 3.
Jenis usaha Penangkapan ikan Budidaya ikan di karamba Eksploitasi kayu hutan
Alokasi penggunaan modal (%) Petuk Ketimpun Marang Rata-rata 87,19 80,78 83,99 11,06 18,15 14,60 1,75 1,07 1,41
Tabel 31. Keuntungan bersih usaha penangkapan ikan dan memelihara ikan di karamba No 1. 2.
Jenis usaha Penangkapan ikan Budidaya ikan di karamba
Keuntungan bersih (%) Petuk Ketimpun Marang Rata-rata 112,13 125,95 119,04 299,56 273,63 286,60
Skenario perubahan alokasi penggunaan modal kerja dilakukan untuk mengetahui dampaknya pada pendapatan yang diperoleh nelayan. Skenario disajikan pada Gambar 44. Skenario dibuat menggunakan ukuran modal kerja rata-rata yang dimiliki nelayan yang tergolong miskin yaitu Rp 6.856.245 / th / nelayan. Standar BPS adalah batas kemiskinan tahun 2006 Rp 175.324,-/ orang / bulan. Batas standar kemiskinan BPS terlampaui jika alokasi modal kerja untuk usaha karamba minimal 17,29 %. Peningkatan alokasi modal kerja untuk usaha memelihara ikan di karamba meningkatkan pendapatan nelayan. Semakin kecil modal kerja yang dimiliki nelayan, maka alokasi modal kerja untuk karamba harus semakin besar. Perubahan alokasi
144
modal kerja untuk menangkap ikan dengan budidaya ikan di karamba, mengakibatkan turunnya tekanan penangkapan ikan di perairan tempat penangkapan ikan.
Pendapatan (Rp/orang/bulan)
250000 225000 200000 Skenario Standar BPS
175000 150000 125000 100000 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Alokasi modal kerja untuk usaha karamba (% )
Keterangan : - Skenario dengan modal kerja rata rata yang dimiliki nelayan miskin (Rp 6.856.245 / th / nelayan) - Standar Garis kemiskinan BPS terlampaui pada alokasi minimal 17, 29 %
Gambar 44. Skenario pengaruh perubahan alokasi penggunaan modal kerja terhadap pendapatan nelayan Pengembangan budidaya karamba ditujukan untuk 2 kelompok sasaran yaitu : (1) nelayan yang belum memiliki karamba, (2) nelayan yang sudah memiliki karamba. Nelayan yang belum memiliki dibantu pendanaan dan penyuluhan untuk memulai usaha karamba. Nelayan yang sudah memiliki karamba, dibantu untuk meningkatkan luas pemilikan karamba. Nelayan membatasi penempatan karamba hanya di sungai di depan pemukiman nelayan.
Penempatan karamba di depan rumah pemilik atau keluarga
pemilik. Masyarakat di luar desa tidak diperbolehkan untuk menempatkan karamba di wilayah desa mereka. Wilayah perairan yang dapat dimanfaatkan untuk penempatan karamba adalah di pinggir sungai depan pemukiman dan pinggir sungai di seberang pemukiman.
Kedua wilayah tersebut sesuai untuk penempatan karamba karena
nelayan mudah mengawasi dan mengelola karamba.
Panjang pemukiman nelayan
Petuk Ketimpun dan Marang diperkirakan sekitar 1000 m. Pinggir sungai sepanjang
145
pemukiman dapat digunakan untuk karamba sekitar 60 %, maka yang dapat digunakan adalah 600 m. Tiap 1 meter panjang sungai dapat ditempatkan 4 m2 karamba. Luas wilayah perairan yang dapat digunakan untuk karamba di Petuk Ketimpun dan Marang disajikan pada Tabel 32. Tingkat pemanfaatan kawasan yang sesuai untuk karamba masih sangat rendah yaitu 17,73 % (Petuk Ketimpun) dan 17,18 % (Marang). Tabel 32. Potensi wilayah perairan sungai Rungan untuk karamba di Petuk Ketimpun dan Marang No
Keterangan
1
Petuk Ketimpun Perairan depan pemukiman Perairan seberang pemukiman Wilayah total
2
Marang Perairan depan pemukiman Perairan seberang pemukiman Wilayah total
Luas wilayah untuk karamba 2 (m )
Tingkat pemanfaatan (%)
2400 2400 4800
35,46 0,00 17,73
2400 2400 4800
34,36 0,00 17,18
Berdasarkan potensi wilayah perairan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya ikan di karamba, maka luas karamba yang dapat dimiliki oleh nelayan Petuk Ketimpun mencapai 36,09 m2 / nelayan, sedangkan nelayan Marang mencapai
42,48 m2 /
nelayan. Dengan demikian pemilikan karamba nelayan Petuk Ketimpun masih dapat ditingkatkan 415 % dan untuk Marang masih dapat ditingkatkan 548 %. Prediksi tingkat pemanfaatan wilayah untuk karamba di Petuk Ketimpun dan Marang menggunakan beberapa skenario disajikan pada Gambar 45.
Dengan skenario penambahan
karamba 300 m2 / desa, pada tahun 2010 penggunaan wilayah mencapai 50 %, sedangkan pada skenario 2, penggunaan wilayah sebesar 50 % tercapai pada tahun 2013. Sedangkan pada skenario 1, penggunaan wilayah sebesar 50 % belum tercapai hingga tahun 2015. Penggunaan wilayah 50 % adalah pengembangan karamba di wilayah 1, sedangkan pemanfaatan di wilayah 2 belum dilakukan.
Apabila biaya
karamba sebesar Rp 200.000,- / m2, maka untuk skenario 2, diperlukan dana sekitar Rp. 40.000.000 / th / desa, sedangkan untuk skenario 3 diperlukan dana Rp. 60.000.000 / th / desa.
146
Pemanfaatan wilayah untuk karamba (%)
90 80 70 60 Skenario 1
50
Skenario 2
40
Skenario 3
30 20 10 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun 2
Keterangan :
Skenario 1 : Peningkatan 100 m karamba / tahun / desa 2 Skenario 2 : Peningkatan 200 m karamba / tahun / desa 2 Skenario 3 : Peningkatan 300 m karamba / tahun / desa
Gambar 45. Prediksi tingkat pemanfaatan wilayah untuk karamba hingga tahun 2015 dengan beberapa skenario Rata-rata keuntungan bersih usaha karamba di Petuk Ketimpun dan Marang sekitar Rp 590.887,- / m2 / th. Potensi keuntungan bersih yang akan diperoleh nelayan dengan peningkatan luas karamba disajikan pada Gambar 46. Potensi keuntungan bersih maksimal yang dapat diperoleh nelayan Petuk Ketimpun sekitar Rp 21,335 juta /
keuntungan bersih (Juta rupiah/th)
th dan untuk nelayan Marang sekitar Rp. 25,101 juta / th. 30 25 20 15 10 5 0
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Luas karamba (m2)
Gambar 46. Hubungan luas karamba dengan keuntungan bersih
147
Faktor teknik budidaya yang mempengaruhi tingkat pendapatan adalah padat penebaran dan
lama pemeliharaan.
Padat penebaran berperan penting di Petuk
Ketimpun, sedangkan di Marang hanya memberi kontribusi 0,92 %.
Padat penebaran
benih di Petuk Ketimpun hanya sekitar 50,19 % dibanding di Marang. Padat penebaran benih di Marang sudah maksimal, yaitu sekitar 263 ekor / m2.
Padat penebaran benih
ikan toman di Marang lebih tinggi dibanding di wilayah lain seperti di sungai Mekong Kamboja rata-rata 145 ekor / m2 (Nam et al. 2005), dan di Vietnam 80 – 150 ekor / m3 (Phillips 2002).
Peningkatan padat penebaran cenderung meningkatkan pendapatan.
Padat penebaran benih di Petuk Ketimpun lebih rendah dibandingkan di Marang, sehingga perlu ditingkatkan. Faktor lama pemeliharaan mempengaruhi tingkat pendapatan di Marang, sedangkan di Petuk Ketimpun hanya memberi kontribusi 1,95 %. Semakin lama waktu pemeliharaan mengakibatkan penurunan tingkat pendapatan. .Lama pemeliharaan di Marang cenderung lebih lama dibanding dengan di Petuk Ketimpun. Lama pemeliharaan di Marang sekitar 12 – 18 bulan, sedangkan di Petuk Ketimpun sekitar 10 – 12 bulan, bahkan di Thailand lama pemeliharaan sekitar 8 - 11 bulan.
(Boonyaratpalin et al. 1985).
Dengan demikian untuk meningkatkan
pendapatan, lama pemeliharaan ikan toman maksimal 12 bulan. Faktor harga jual ikan hasil panen berpengaruh signifikan pada pendapatan di Petuk Ketimpun. Faktor harga jual ikan di Marang tidak dapat dianalisis karena, tidak ada variasi harga jual. Semua nelayan di Marang menjual ikan toman dengan harga Rp 10.000,-.
Sebaliknya beberapa nelayan di Petuk Ketimpun dapat menjual ikan
dengan harga yang lebih tinggi, sehingga mengakibatkan perbedaan pendapatan. Nelayan di Petuk Ketimpun menjual ikan hasil panen berkisar antara Rp 9.000,- / kg – Rp 15.000,- / kg. Nelayan yang menjual dengan harga yang lebih tinggi, cenderung memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Nelayan yang dapat menjual dengan harga yang lebih tinggi adalah nelayan yang memiliki akses menjual ikan di pasar, baik kepada konsumen atau pedagang.
Pemasaran ikan toman di Marang bergantung
pada pedagang yang datang ke pemukiman, sehingga harganya lebih rendah. Strategi untuk meningkatkan harga jual ikan adalah dengan memperbaiki sistem pemasaran ikan seperti yang sudah diuraikan di bagian sub bab peningkatan pendapatan sektor penangkapan ikan.
148
Faktor lain yang mempengaruhi budidaya ikan di karamba adalah fluktuasi kondisi fisik kimia sungai. Kualitas perairan di sungai Rungan berfluktuasi berdasarkan musim. Kondisi ini dapat mempengaruhi ikan yang dibudidayakan dalam karamba. Fluktuasi parameter fisik kimia yang mempengaruhi budidaya ikan di karamba sungai adalah : kedalaman air, kadar TSS, oksigen terlarut, dan pH. Kondisi perairan yang perlu diwaspadai adalah awal musim hujan yaitu sekitar bulan September pada saat penelitian. Kondisi lingkungan perairan yang tidak optimal adalah : Kadar TSS yang tinggi, terjadi penurunan pH, dan perairan sungai masih dangkal.
Strategi untuk
mengatasi perubahan kondisi fisik kimia air sungai adalah panen ikan dilakukan sebelum awal musim hujan dan penebaran benih ikan dilakukan pada saat musim hujan.
149