7
kemudian akan digunakan untuk menduga sebaran keuntungan/kerugian kotor (gross margin) pada tiga kondisi (El Niño, Normal dan La Nina). Indikator ENSO yang digunakan dalam analisis ini adalah fase SOI. Keuntungan/kerugian kotor tiga bulanan yang dihitung dari anomali produksi dikorelasikan dengan fase SOI pada periode yang sama. Kemudian disusun sebaran peluang untuk masing-masing kondisi (El Niño, La Nina dan Normal). Fase SOI tiga bulanan ditentukan dari nilai rata-rata SOI tiga bulanan periode tertentu dengan nilai rata-rata SOI tiga bulanan periode sebelumnya. Dengan menggunakan Gambar 3, fase SOI pada periode tiga bulanan dapat ditentukan dengan membandingkannya dengan nilai fase SOI tiga bulan sebelumnya. Sebagai contoh apabila SOI tiga bulan tertentu bernilai -10, dan pada tiga bulan sebelumnya bernilai 10, maka titik pertemuan berada pada fase SOI “rapidly falling” atau menurun cepat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kegiatan Usaha Tambak Udang Kecamatan Cantigi yang merupakan salah satu sentra produksi udang terletak di pesisir Laut Jawa, dengan luas wilayah 5.096 Ha dan 2.192 Ha diantaranya adalah tambak dan jumlah penduduk 23.453 jiwa. Mayoritas penduduk di kecamatan tersebut bermatapencaharian sebagai petani tambak dan nelayan. Benih yang digunakan petani di wilayah tersebut adalah benur yang telah diadaptasi atau biasa disebut oslah. Beberapa pengusaha benih mengambil benur dari berbagai daerah seperti Tasikmalaya, Pati, dan beberapa daerah lain untuk kemudian diadaptasi selama beberapa hari untuk menyesuaikan dengan kondisi di wilayah Indramayu baru kemudian dijual sebagai benih oslah. Sebagian besar petani memilih teknik tradisional untuk budidaya tambaknya karena modal yang diperlukan untuk teknik lain seperti intensif dan semi intensif sangatlah tinggi. Kepadatan rata-rata penanaman pada teknik budidaya tradisional adalah 2 – 3 ekor/m². Udang biasanya dipanen dalam usia 3 – 4 bulan, ukuran rata-rata 30 ekor/kg (33 gram per ekor) dengan harga jual per kilogramnya mencapai RP. 55.000,-. Variasi harga jual udang sangat dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika karena
udang merupakan salah satu komoditas ekspor. Variasi harga udang dalam sepuluh tahun terakhir sekitar 10%, kecuali pada tahun 1998 saat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika terpuruk. Harga jual udang melonjak hingga Rp. 125.000,-/kg pada tahun tersebut. Hasil analisis menunjukkan usaha tambak udang memiliki Benefit Cost ratio (B/C) 1,02, Perhitungan tersebut menggunakan harga jual Rp. 55.000,- per kilogram. Biaya tetap meliputi sewa tanah, pembuatan kolam dan instalasi saluran air, sebesar Rp.7.400.000,-, penyusutan biaya tetap diasumsikan sebesar Rp.740.000,-, serta biaya operasional yang meliputi pemakaian benur, pakan, tenaga kerja, obat-obatan dan pupuk sebesar Rp.1.255.000,- produksi udang sebanyak 175 kg. Nilai B/C tersebut menunjukkan bahwa usaha tambak udang masih menguntungkan, tetapi resiko mengalami kerugiannya cukup tinggi jika dilihat dari kemungkinan perolehan keuntungan yang hanya 2,45% dari biaya produksi. Resiko kerugian bisa lebih tinggi lagi mengingat usaha udang sangat rentan terhadap penyakit dan perubahan kualitas air. Apabila harga jual udang hanya Rp.49.500,per kilogram maka titik impas (Break Event Point) usaha budidaya tambak udang akan tercapai bila produksi per hektar paling tidak mencapai 189,8 Kg (rasio hidup 35% apabila penebaran benih 2 ekor/m²). Rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 5 4.2. Kalender Aktifitas Petani Udang Berdasarkan hasil survey, dalam setahun petani biasanya melakukan hingga tiga kali penanaman benih udang yaitu pada bulan Maret, Juli dan November (Tabel 2). Produksi cenderung tinggi pada musim pertama yaitu tebar bulan Februari dan panen bulan Juni serta musim ketiga yaitu tebar bulan Oktober dan panen bulan Februari, sedangkan pada musim kedua yaitu tebar bulan Juni produksi cenderung menurun karena pada bulan-bulan tersebut bertepatan dengan musim kemarau. Curah hujan yang sedikit dan evaporasi yang tinggi di musim kemarau menyebabkan tingginya salinitas tambak. Di samping itu tidak ada cadangan air tawar yang dapat digunakan untuk mengurangi tingginya salinitas.
8
Tabel 2 Kalender aktifitas petani udang di kabupaten Indramayu
Sumber: Hasil Survey
Kesibukan petani udang tinggi di bulan Februari, Juni dan Oktober. Pada bulan tersebut pemanenan berlangsung dan sekaligus mulai melakukan persiapan untuk musim tanam berikutnya. Hingga tiga bulan selanjutnya kegiatan petani hanya mengelola pakan, pemantauan terhadap hama penyakit serta pemantauan kualitas udang. Pada bulan lain petani melakukan usaha sampingan. Diantaranya banyak yang melaut, berdagang dan lain-lain. Hasil survey menunjukkan sebagian besar petani mengeluhkan kesulitan membudidayakan udang di musim kemarau. Akan tetapi setiap tahunnya petani selalu memaksakan diri untuk tanam udang sebanyak tiga kali karena merasa tidak punya pilihan lain. Selain itu respon terhadap informasi iklim cukup baik. Selama ini iklim dirasakan besar pengaruhnya, akan tetapi mereka tidak mengetahui akses untuk memperoleh informasi tersebut dan bagaimana mengaplikasikan informasi iklim pada usaha mereka. Ini menunjukkan masih rendahnya tingkat adopsi petani terhadap informasi iklim. 4.3. Kegiatan Usaha Tani Garam Daerah yang dikenal sebagai sentra produksi garam di wilayah Indramayu adalah kecamatan Kandanghaur, Losarang dan Krangkeng. Luas penggaraman di tiga kecamatan tersebut menurut data Departemen Perindustrian dan Perdagangan tahun 2004 berturut-turut adalah 488 Ha, 923 Ha dan 165 Ha. Dipilih kecamatan Losarang sebagai lokasi survey karena memiliki wilayah
penggaraman paling luas dari ketiga sentra produksi garam di Indramayu tersebut. Luas wilayah Losarang adalah 1230.9 Ha dengan penduduk sebanyak 55.915 jiwa (BAPEDA, 2004). Usaha tani garam di Losarang cenderung hanya merupakan usaha sampingan selama musim kemarau, sementara usaha utamanya adalah pertanian tanaman pangan (padi). Karena lokasinya yang sering tidak terjangkau air irigasi, maka di musim kemarau mereka menyewa lahan untuk digarap menjadi ladang garam. Sehingga usaha tani garam ini hanya berlangsung sekitar 4 – 5 bulan dalam setahun. Garam yang dihasilkan setiap hari disetorkan kepada tengkulak untuk kemudian tengkulak tersebut yang akan menjualnya ke pabrik-pabrik atau menimbun di gudang untuk persediaan musim hujan. Tidak seperti garam Madura yang banyak digunakan untuk konsumsi, garam yang dihasilkan dari Indramayu sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri seperti tekstil, baja, sepatu, termasuk industri strategis seperti kilang minyak. Usaha garam merupakan usaha yang memiliki resiko kerugian relatif kecil karena tidak banyak faktor yang mengganggu produksi garam. Selain itu variasi harga jual setiap tahunnya juga kecil. Biaya operasional yang dikeluarkan juga hanya ongkos angkut saja. Hasil analisis menunjukkan B/C ratio untuk bertani garam mencapai 1.65. Perhitungan tersebut menggunakan harga jual garam sesuai bulan berjalan yang kisarannya antara Rp. 90,- dan Rp. 300,- per kg. Biaya
9
tetap yang meliputi sewa lahan dan pembelian alat-alat menggaram ialah sebesar Rp.7.452.000,-, dengan penyusutan modal investasi Rp. 745.200,-, sedangkan biaya tidak tetap atau operasional sekitar Rp.3.000.000,-. Ini menunjukkan bahwa usaha tani garam menguntungkan, dengan kemungkinan perolehan keuntungan adalah 65% dari biaya total yang dikeluarkan untuk produksi. Angka tersebut cukup tinggi dan mengindikasikan bahwa resiko kerugian usaha tani garam kecil. Rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 6. Harga garam biasanya terus menurun sepanjang musim menggaram. Penurunan harga jual petani ke tengkulak setiap harinya sekitar Rp. 2.1,-/Kg dalam satu musim menggaram (kurang lebih 4 bulan). Berdasarkan hasil survey, untuk tahun 2006, harga di awal musim adalah Rp. 300,-/kg dan berangsur turun seiring dengan bertambah banyaknya produksi hingga mencapai Rp. 90,/kg di akhir musim). Apabila harga jual rata-rata selama penambangan garam hanya Rp.90,- per kg maka titik impas (Break Event Point) usaha tani garam akan tercapai apabila produksi per hektar minimal 124 ton/ha per musim. 4.4. Kalender Aktifitas Petani Garam Aktifitas menggaram hanya dilakukan selama 4 - 5 bulan saja dalam setahun (Tabel 3). Sejak masuk musim kemarau hingga masuk musim hujan. Kegiatannya meliputi penandatanganan kontrak dengan pemilik modal atau pemilik lahan, persiapan ladang Tabel 3 Kalender aktifitas petani garam di Indramayu
Sumber: Hasil survey
garam dan drainase air asin untuk pendulangan garam. Karena hampir seluruh petani menjadikan aktifitas menggaram hanya sebagai usaha sampingan, maka biasanya lahan penggaraman yang mereka garap adalah lahan sewaan. Besarnya biaya sewa bervariasi sesuai kesepakatan. Pada lahan milik pemerintah biasanya lahan sewa sudah memiliki harga sewa tertentu, sedangkan lahan milik pemodal biasanya disewakan dengan sistem bagi hasil. Besarnya nilai sewa untuk sistem bagi hasil adalah 1/3 dari produksi garam yang dihasilkan. Pada musim hujan petani biasanya kembali ke aktifitas utamanya. Sebagian besar mereka adalah petani tanaman pangan (padi) sehingga ketika musim hujan tiba mereka mulai mempersiapkan sawahnya dan meninggalkan garam. Sementara itu ladang garam yang mereka tinggalkan umumnya pada musim hujan dijadikan tambak baik untuk bandeng maupun udang oleh pemilik lahan. Terkecuali untuk lahan milik pemerintah yang tetap dibiarkan kosong selama musim hujan. Sebagian petani lain yang bukan petani tanaman pangan seperti pedagang, kuli angkut, dan lain-lain juga kembali pada aktifitas utamanya. Beberapa petani yang mempunyai modal untuk membangun gudang akan menyimpan sebagian produksi garamnya untuk dijual di musim hujan supaya bisa mendapat harga tinggi.
10
4.5. Keragaman Iklim dan Produksi Tambak Udang serta Tani Garam Produksi udang kabupaten Indramayu mengikuti pola peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 5). Ini bisa disebabkan oleh perluasan areal tambak, perkembangan teknologi yang diaplikasikan dalam budidaya udang atau bertambahnya tingkat pengetahuan petani. 4000
y = 46.147x + 699.72
Produksi Udang (ton)
3500
R 2 = 0.4307
3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Triwulan ke-i
Gambar 5 Produksi udang kabupaten Indramayu tahun 1997 – 2006
Awal tahun 1990-an teknik budidaya intensif yang bermodal besar dan berteknologi tinggi sempat diterapkan. Pada awalnya produksi memang sangat tinggi tapi 1-2 tahun berikutnya malah merosot tajam karena tingkat pengetahuan petani yang tidak sama serta masalah permodalan. Selain itu muncul permasalahan endapan pakan dan obat-obatan kimia yang banyak digunakan pada teknik budidaya intensif di lahan tambak mereka. Hal ini juga banyak memicu kecaman dari pihak pemerhati lingkungan, usaha tambak udang dianggap membawa resiko ekologis, merusak keanekaragaman hayati dan sebagainya. Hingga kemudian teknik tersebut ditinggalkan dan petani kembali ke teknik tradisional. Selain teknologi, iklim merupakan faktor lain yang cukup mempengaruhi produksi udang. Tambak udang merupakan jenis usaha perikanan yang sangat peka terhadap
perubahan kualitas air, terutama perubahan salinitas. Perubahan salinitas tambak udang sangat dipengaruhi oleh kontinuitas, pola dan durasi curah hujan serta evaporasi di kawasan tambak. Pada saat survey (Agustus 2006) usia udang masih muda sekitar 1-2 bulan dan dari pengukuran di enam lokasi berbeda diketahui salinitasnya rata-rata sudah mencapai 40-50 ppt, sangat jauh dari kondisi ideal yang dibutuhkan udang muda yaitu pada kisaran 15-25 ppt (Suyanto dan Mujiman, 2004). Diakui petani, kondisi ini sering terjadi hampir disetiap musim kemarau. Air tambak menjadi hipersalin karena sedikit atau bahkan tidak adanya curah hujan serta tingginya evaporasi, sementara itu lokasi tambak di Indramayu kesulitan memperoleh pasokan air tawar. Setelah dilakukan analisis, data anomali produksi tiga bulanan diketahui menunjukkan trend hubungan dengan curah hujan-evaporasi tiga bulan sebelumnya. Gambar 6 menunjukkan apabila evaporasi lebih tinggi dari curah hujan (CH-E negatif) maka anomali produksi semakin negatif atau produksi udang cenderung lebih rendah dari rata-rata. Demikian pula sebaliknya, jika selisih curah hujan dan evaporasi positif maka anomali produksi udang positif atau produksi udang lebih tinggi dari rata-rata. Persamaan regresi yang mewakili hubungan anomali produksi dengan CH dan evaporasi adalah: y = 0.5759x + 19.1955 dimana y : Anomali produksi pada triwulan ke-i (ton) x : Nilai CH dikurangi evaporasi pada triwulan ke i-1 (mm) 2000
Anomali Produksi Udang (ton)
Hasil survey menunjukkan sebagian petani berpendapat aktifitas bertani garam sesungguhnya menjanjikan hasil yang lebih pasti daripada bertani tanaman pangan karena banyak sekali faktor yang mempengaruhi produksi pertanian tanaman pangan. Respon petani terhadap informasi iklim cukup baik. Petani mengakui usaha tani garam hampir sepenuhnya tergantung pada kondisi iklim. Bila musim kemarau cukup panjang dalam satu tahun produksi garam bisa sangat tinggi terlebih lagi bila curah hujan di musim kemarau tidak banyak dan evaporasi tinggi.
1500 1000 500 0 -800
-600
-400
-200
0
200
400
600
800
1000
1200
-500 -1000 -1500
Lag-1 CH-Evaporasi (mm)
Gambar 6 Hubungan anomali produksi udang dengan CH-Evaporasi tiga bulan sebelumnya
11
CH-Evap OND (mm)
400
200
0
-200
-400 -20
-10
0
10
20
SOI JAS
Gambar 7 Korelasi nilai rata-rata indeks osilasi Selatan dengan selisih curah hujan dan evaporasi
Peluang Terlampaui(%)
100 80
El Nino La Nina
60
Normal
40
100 Peluang Terlampaui (%)
Selisih curah hujan dan evaporasi wilayah Indramayu pada bulan Oktober-NovemberDesember berkorelasi positif dengan nilai rata-rata SOI Juli-Agustus -September atau rata-rata SOI tiga bulan sebelumnya (Gambar 7). Dari analisis tersebut dapat dis usun peluang memperoleh selisih curah hujan dan evaporasi pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal). Sebaran peluang memperoleh selisih curah hujan dan evaporasi pada triwulan pertama atau periode Januari-Februari-Maret dalam tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal) dapat dilihat pada gambar 8. Peluang selisih curah hujan dan evaporasi pada triwulan pertama dalam kondisi El Niño selalu lebih rendah dari peluang dalam kondisi La Nina dan Normal, selain itu nilainya juga selalu positif atau dengan kata lain curah hujan selalu lebih tinggi dari evaporasi.
El Nino
80
La Nina Normal
60 40 20 0 -300
-200
-100
0
100
CH - Evaporasi (mm)
Gambar 9 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan kedua (April-Mei-Juni) pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal)
Peluang memperoleh selisih curah hujan dengan evaporasi lebih dari 200 mm pada triwulan pertama atau periode JanuariFebruari-Maret dalam kondisi El Niño hanya 40%, sedangkan dalam kondisi La Nina peluangnya hingga 80% (Gambar 8). Berbeda dengan triwulan pertama, peluang (CH-E) triwulan kedua atau periode April-Mei-Juni dalam kondisi El Niño justru lebih tinggi dari pada kondisi La Nina. Seperti pada gambar 9, peluang mendapatkan (CH-E) kurang dari -200 mm dalam kondisi El Niño 90% sedangkan pada kondisi La Nina hanya 80%. Sementara itu selisih curah hujan dan evaporasi pada triwulan ketiga atau periode Juli-Agustus-September selalu bernilai negatif atau dengan kata lain evaporasi cenderung lebih tinggi dari curah hujan pada bulan-bulan tersebut. Sebaran peluang pada tiga kondisi terlihat paling rendah pada kondisi El Niño, lebih tinggi pada kondisi normal dan paling tinggi pada kondisi La Nina, seperti ditunjukkan pada gambar 10.
20
0
200
400
600
800
1000
1200
CH - Evaporasi (mm)
Gambar 8 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan pertama (Januari-FebruariMaret) pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal)
Peluang Terlampaui(%)
100
0
80
El Nino La Nina
60
Normal
40 20 0 -600
-500
-400
-300
-200
CH - Evaporasi (mm)
Gambar 10 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan ketiga (Juli-AgustusSeptember) pada tiga kondisi E ( l Niño, La Nina dan Normal)
12
El Nino 60
La Nina Normal
40 20 0 -400
-200 0 200 CH - Evaporasi (mm)
400
Gambar 11 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan keempat (OktoberNovember-Desember) pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal)
Peluang memperoleh selisih curah hujan pada triwulan keempat atau periode OktoberNovember-Desember paling rendah dalam kondisi El Niño, lebih tinggi pada kondisi normal dan paling tinggi pada kondisi La Nina bila curah hujan lebih kecil dari evaporasi, sedangkan jika curah hujan lebih besar dari evaporasi peluang paling rendah adalah pada kondisi normal. Sebarannya dapat dilihat pada Gambar 11. Menurut Biro Meteorologi Australia, kemampuan prediksi dengan menggunakan indikator ENSO untuk periode Februari hingga April kurang akurat. Hal ini disebabkan karena adanya “predictability barrier” seperti yang dijelaskan oleh Battisti (1995). Hal ini sejalan dengan Gambar 8-11 dimana pengaruh ENSO dominan hanya pada periode musim kemarau (bulan JuliSeptember). Menurut Boer (2003), fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi juga me mpengaruhi masuknya awal musim kemarau atau akhir musim hujan dan panjang musim kemarau tergantung pada waktu pembentukan, lama dan intensitasnya. Pada umumnya pada saat terjadi El-Niño, awal musim hujan di wilayah bertipe iklim monsoon mengalami keterlamb atan antara satu sampai dua bulan, sebaliknya pada saat berlangsungnya fenomena La-Nina, akhir musim hujan mengalami keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur sekitar satu bulan (Gambar 12 dan 13). Hubungan SOI terhadap awal masuk dan panjang musim kemarau memungkinkan kita menyusun peluang awal masuk musim kemarau (Gambar 14). Peluang masuk musim kemarau mulai dasarian ke-10 pada kondisi El Niño paling kecil yaitu hanya sekitar 40%, pada kondisi normal sekitar 50% dan peluang paling besar adalah pada kondisi La Nina yaitu 60%. Untuk panjang musim kemarau,
20 Awal MK (dasarian ke)
80
peluang memperoleh panjang musim kemarau lebih dari 20 dasarian paling tinggi adalah saat El Niño yaitu kemungkinannya hingga 80% sedangkan pada saat normal peluangnya hanya 70% dan peluang terkecil adalah saat terjadi La Nina yaitu hanya 40%. Hubungan SOI terhadap awal masuk dan panjang musim kemarau memungkinkan kita menyusun peluang awal masuk musim kemarau (Gambar 14). Peluang masuk musim kemarau mulai dasarian ke-12 pada kondisi El Niño paling kecil yaitu hanya sekitar 20%, pada kondisi normal sekitar 25% dan peluang paling besar adalah pada kondisi La Nina yaitu 50%. Untuk panjang musim kemarau, peluang memperoleh panjang musim kemarau lebih dari 20 dasarian paling tinggi adalah saat El Niño yaitu kemungkinannya hingga 80% sedangkan pada saat normal peluangnya hanya 70% dan peluang terkecil adalah saat terjadi La Nina yaitu hanya 40%.
y = -0.0271x + 10.063 2 R = 0.0178
16
12
8
4 -30
-20
-10
0
10
20
30
SOI April
Gambar 12
Pengaruh ENSO terhadap awal masuk musim kemarau
30 Panjang MK (dasarian)
Peluang Terlampaui(%)
100
25
20
y = 0.0193x + 22.391
15
2
R = 0.006 10 -30
-20
-10
0
10
20
30
SOI April
Gambar 13 Pengaruh ENSO terhadap panjang musim kemarau
13
Peluang Terlampaui (%)
100 El Nino
80
La Nina Normal
60 40 20
0 4
6
8
10
12
14
16
18
Awal MK (dasarian ke)
Gambar 14 Peluang masuk musim kemarau pada tiga kondisi (El-Niño, La Nina dan Normal)
Gambar 15 menunjukkan bahwa pada kondisi El Niño peluang untuk mendapatkan panjang musim kemarau lebih dari normal meningkat. Berdasarkan data seri produksi, total produksi garam di Indramayu cenderung meningkat dengan semakin panjang musim kemarau. Total produksi garam dipengaruhi oleh panjang musim kemarau secara eksponensial (Gambar 16). Peluang Terlampaui (%)
100
EL Nino La Nina Normal
80
60
40
20 0 10
15
20
25
besar dialami sektor kehutanan berikutnya sektor pertanian dan sisanya dari sektor lainnya seperti perikanan, perhubungan dan lain-lain (Boer, 2003). Apabila kejadian iklim ekstrim ini dapat diprediksi lebih awal, maka kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian ini akan dapat ditekan. Budidaya tambak dan usaha tani garam telah diketahui berkorelasi dengan keragaman iklim seperti dalam penjelasan pada bagian sebelumnya, apabila kejadian iklim ekstrim sudah dapat diprediksi dengan baik maka petani dapat melakukan antisipasi dengan untuk menghindari kerugian yang ditimbulkan. Lebih spesifik lagi, dari hasil analisis sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang untuk tiap triwulan menunjukkan hasil berbeda. Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan pertama paling rendah dalam kondisi El Niño, lebih tinggi dalam kondisi normal dan paling tinggi dalam kondisi La Nina. Peluang usaha tambak udang mengalami impas pada kondisi El Niño adalah 30%, kondisi normal 50% dan kondisi La Nina 60% (Gambar 17). Hasil analisa data seri menunjukkan kerugian yang mungkin diderita usaha tambak udang pada triwulan pertama sejumlah Rp. 5 miliar (peluang terjadi kerugian sejumlah tersebut dalam kondisi El Niño 50%, La Nina dan normal diatas 80%).
30
100
Gambar 15 Peluang memperoleh panjang musim kemarau pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan Normal)
Total Produksi Garam (ton)
120000 100000 y = 1.6835e
80000
Peluang Terlampaui (%)
Panjang Musim Kemarau (dasarian)
La Nina
R = 0.7639
Normal
60 40 20 0 -10000
0.5433x
2
El Nino
80
-5000
0
5000
10000
15000
Keuntungan/Kerugian (juta)
60000
Gambar 17 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan pertama (Januari-Februari-Maret)
40000 20000 0 18
19
20
Panjang Musim Kemarau (dasarian)
Gambar 16 Total Produksi garam berkorelasi dengan panjang musim kemarau secara eksponensial
4.6. Potensi Pemanfaatan Informasi Prakiraan Iklim Kejadian kekeringan yang berasosiasi dengan ENSO telah menimbulkan kerugian yang sangat besar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tingkat global. Kerugian paling
Pada triwulan kedua dan ketiga, karena pengaruh ENSO tidak jelas pada bulan Januari hingga April maka sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang justru menjadi paling tinggi pada kondisi El Niño (Gambar 18 dan 19). Menurut hasil analisis data seri, kemungkinan usaha tambak udang mengalami kerugian pada triwulan kedua adalah nol persen dan keuntungan maksimum yang dapat diperoleh bisa lebih dari Rp. 30 miliar. Sedangkan untuk triwulan ketiga,
14
kerugian maksimum yang mungkin dialami mencapai lebih dari Rp. 40 miliar, keuntungan maksimum yang mungkin dicapai juga Rp. 40 miliar. Peluang Terlampaui (%)
100
El Nino La Nina
80
Normal
60 40 20 0 0
10000
20000
30000
40000
Keuntungan/Kerugian (juta)
Gambar 18 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-2 (April-Mei-Juni)
Peluang Terlampaui (%)
100 80 El Nino La Nina
60
Normal
40 20 0 -6000
-4000
-2000
0
2000
4000
6000
Keuntungan/Kerugian(juta)
Gambar 19 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-3 (Juli-Agustus-Septemberr) Peluang Terlampaui(%)
100 80 El Nino La Nina
60
Normal
40 20 0 -15000 -13000 -11000
-9000
-7000
-5000
Keuntungan/Kerugian (juta)
Gambar 20 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-4 (Oktober-November-Desember)
Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-4 (Gambar 20) menunjukkan paling rendah dalam kondisi El Niño, lebih tinggi dalam kondisi normal dan paling tinggi pada kondisi La Nina. Nilai gross margin pada triwulan ke 4 selalu negatif sehingga usaha tambak udang selalu merugi pada periode ini. Hal ini karena evaporasi periode tiga bulanan sebelumnya (Juli-Agustus -September) selalu lebih tinggi dari curah hujan (Gambar 10), sehingga mempengaruhi kualitas air tambak dan
mengakibatkan produksi di bawah rata-rata. Sebagai contoh, peluang kerugian bisa kurang dari Rp. 13 miliar dalam kondisi El Niño hanya 40%, dalam kondisi normal 60% dan kondisi La Nina hingga 80%. Hasil analisis data seri menunjukkan usaha tambak udang pada triwulan keempat selalu merugi (gross margin negatif). Kerugian maksimum yang mungkin dialami usaha tambak udang pada triwulan keempat mencapai Rp. 15 miliar (peluang terjadinya pada kondisi El Niño hingga 90%). Bagi petani tambak udang, prediksi awal masuk musim kemarau dan panjang musim kemarau menentukan pengambilan keputusan untuk waktu tebar benih. Jika diketahui musim kemarau akan panjang maka petani dapat mengganti komoditas yang ditanam dengan jenis lain yang lebih tahan terhadap kondisi salinitas tinggi, atau petani dapat tetap menanam udang tetapi dikombinasikan dengan komoditas lain yang lebih tahan dengan kondisi salinitas tinggi sehingga kerugian dapat diminimalisir tetapi juga mempunyai kemungkinan mendapat keuntungan jika ternyata harga udang melonjak naik, atau bahkan membatalkan rencana tanam, jadi dalam setahun hanya melakukan dua kali tanam saja. Petani garam yang umumnya usaha utamanya adalah petani tanaman pangan (padi), jika dapat diprediksi musim kemarau akan panjang maka mereka akan segera memutuskan untuk tidak tanam gadu (tanam musim kedua) tapi langsung mempersiapkan lahan untuk menggaram pada awal masuk musim kemarau. Dengan demikian kerugian akibat tanam gadu yang gagal dapat dihindari sekaligus keuntungan bertambah dengan memulai penggaraman pada waktu yang tepat serta mendapatkan produksi dan harga (pendapatan) optimum sepanjang musim kemarau.
V. KESIMPULAN Hasil survey menunjukkan kegiatan tambak udang di Indramayu berlangsung sepanjang tahun hingga tiga kali tebar benih. Sebagian besar petani mengaku kesulitan membudidayakan tambaknya di musim kemarau. Sementara itu kegiatan usaha tani garam hanya berlangsung selama musim kemarau sebagai usaha sampingan. Respon petani tambak udang dan garam di Indramayu cukup baik akan tetapi tingkat adopsi terhadap informasi iklim masih rendah.