IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan bejana berjungkit sebagai alat pengukuran memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan pengggunaan alat pengkuran konvensional. Kelebihan alat ini memberikan kemudahan dalam melakukan pengukuran di lapang. Bejana berjungkit dirancang untuk melakukan pengiriman sinyal secara otomatis ke dalam alat perekam data. Sehingga, tidak perlu melakukan peritungan manual untuk mengetahui jumlah air yang jatuh sebagai curahan tajuk dan aliran batang. Penggunaan alat ini saat di lokasi penelitian tidak memiliki masalah yang signifikan, sehingga sangat efisien dan efektif digunakan untuk melakukan penelitian. 4.1 Kalibrasi bejana berjungkit Kalibrasi statik Bejana berjungkit yang digunakan dalam penelitian dilakukan kalibrasi terlebih dahulu untuk mendapatkan data perhitungan yang akurat. Kalibrasi yang dilakukan yaitu kalibrasi statik dan dinamik. Kalibrasi dilakukan terhadap semua bejana berjungkit untuk melihat karakteristik dari masing-masing alat tersebut. Kapasitas tampung bejana saat awal pembuatan alat di rancang memiliki kapasitas yang sama dengan menentukan bentuk, panjang dan sudut yang sama pada setiap bucket. Namun, dari hasil kalibrasi statik ternyata terdapat perbedaan kapasitas tampung pada masing-masing sisi bejana. Kapasitas awal yang diinginkan setiap sisi bejana pada bejana berjungkit aliran batang adalah sebesar 40 ml dan untuk bejana berjungkit curahan tajuk adalah 300 ml. Hasil kalibrasi statik pada bejana berjungkit aliran batang menunjukkan kapasitas bejana pada masing-masing sisi dengan nilai yang bervariasi berkisar dari 34 ml sampai dengan 43 ml (Lampiran 1) Perbedaan ini dapat disebabkan beberapa hal diantaranya bentuk bejana, posisi dan sudut dari peletakkan bejana pada pipa T pada masing-masing bejana berjungkit. Walaupun tampak sama secara kasat mata, dimungkinkan ada sedikit perbedaan yang menyebabkan kapasitas yang berbeda pada masing-masing sisi bejana. Kapasitas tampung bejana pada bejana berjungkit curahan tajuk juga memiliki variasi
nilai , yaitu berkisar antara 216 ml sampai dengan 303 ml (Lampiran 2). Perbedaan yang ada pada masing-masing sisi bejana tidak menjadi masalah, dikarenakan nilai kalibrasi ini akan disertakan dalam perhitungan dan analisis hasil pengukuran. Sehingga perhitungan yang dilakukan dapat menghasilkan data yang akurat. Kalibrasi statik dapat menunjukkan kekonsistenan alat pengukuran, kapasitas tampung pada masing-masing sisi bejana tidak memiliki perbedaan nilai yang jauh pada setiap ulangan. Ditunjukkan pada kisaran nilai standar deviasi yang relatif kecil. Nilai ini menunjukan penyimpangan data hasil kalibrasi pada setiap ulangan (Lampiran 1). Kalibrasi dinamik Kalibrasi dinamik merupakan suatu cara untuk mereduksi besarnya air yang tidak terhitung sebagai akibat dari mekanisme bejana berjungkit saat terjadi jungkitan. Air yang masuk ke dalam lubang bejana berjungkit tidak terhitung ketika posisi bejana yang terisi air kembali ke posisi istirahat (tidak terisi air). Kalibrasi dinamik dilakukan untuk menghitung jumlah air yang tidak terhitung. Namun hasil kalibrasi dinamik ini efektif untuk aliran air yang sangat tinggi saat pengukuran (Calder dan Kidd, 1978). Hal ini dapat dimaksudkan pada aliran yang tinggi, dinamika jungkitan pada bejana berjungkit bernilai maksimal. Artinya waktu antar jungkitan sangat cepat sehingga air yang tidak terhitung akan lebih besar. Kalibrasi dinamik dilakukan dengan memberikan laju aliran yang berbeda menggunakan pompa air berdaya rendah. Aliran air yang diberikan untuk bejana berjungkit aliran batang yaitu : 19 ml/detik, 13 ml/detik, 9 ml/detik, 8 ml/detik dan 5 ml/detik. Sedangkan aliran air untuk bejana berjungkit curahan tajuk dilakukan dengan aliran yang bervariasi yaitu ; 77 dan 83 ml/detik, 63 dan 67 ml/detik, 42-50 ml/detik, 24-29 ml/detik dan 10- 14 ml/detik (Lampiran 3 dan 4). Kalibrasi dinamik menghasilkan nilai aliran air (Q) dan waktu antar jungkitan (T) yang secara grafik dapat diplotkan antara 1/Q dan T, sehingga akan didapatkan persamaan kalibrasi dinamik yang dapat digunakan untuk melakukan perhitungan hasil pengukuran dengan persamaan 1.
9
Tabel 5. Persamaan hasil kalibrasi dinamik setiap bejana berjungkit Bejana berjungkit curahan No. Tajuk 1
TBB 1
y = 264.7x + 0.856
2
TBB 2
y = 289.2x + 0.455
3
TBB 4
y = 296.3x + 0.625
4
TBB 5
y = 276.3x + 0.496
5
TBB 8
y = 263.8x + 0.833
Bejana berjungkit Aliran Batang
Nilai resolusi dari masing-masing bejana berjungkit curahan tajuk berkisar antara 0.1-0.2 mm. Hal ini menunjukkan perbedaan kapasitas tidak bepengaruh besar terhadap resolusinya. Nilai tersebut digunakan untuk perhitungan curahan tajuk dengan asumsi jungkitan yang pertama merupakan sisi 1 dan selanjutnya adalah sisi 2. Tabel 7. Resolusi bejana berjungkit aliran batang (dalam mm) No. TBK
Sisi 1
Sisi 2
6
TBK 1
y = 33.93x + 1.361
TBK 1
0.007
0.008
7
TBK 2
y = 26.13x + 1.843
TBK 2
0.004
0.005
8
TBK 3
y = 33.77x + 1.579
TBK 3
0.004
0.004
9
TBK 4
y = 26.91x + 2.155
TBK 4
0.004
0.004
TBK 5 y = 32.28x + 1.841 10 Nilai yang diperoleh dari kalibrasi statik dan dinamis digunakan untuk melakukan perhitungan dengan menentukan resolusi tiap bejana berjungkit. 4.2. Resolusi tiap bejana berjungkit Nilai yang diperoleh dari hasil kalibrasi statik dan dinamik merupakan nilai kapasitas tampung tiap sisi bucket pada masing-masing bejana berjungkit. Nilai ini sangat penting untuk menentukan besarnya resolusi (dalam satuan mm) yang digunakan dalam perhitungan data hasil pengukuran. Perhitungan resolusi untuk alat pengukuran curahan tajuk didapatkan dari persamaan 2 dengan menghitung luas permukaan dari talang penampung tersebut. Kemiringan sudut yang dibentuk sangat kecil, sehingga luas permukaan tidak berkurang sesuai dengan dimensi dari talang penampung tersebut. Resolusi bejana berjungkit disesuaikan dengan kondisi sisi masing-masing bucket yang berbeda dan hasil dari kalibrasi dinamik. Tabel 6. Resolusi bejana berjungkit curahan tajuk (dalam mm) No. TBB
Sisi 1
Sisi 2
TBB 1
0.2
0.1
TBB 2
0.2
0.2
TBB 4
0.2
0.2
TBB 5
0.1
0.2
TBB 8
0.2
0.1
TBK 5 0.004 0.004 Bejana berjungkit yang digunakan untuk pengukuran aliran batang dengan resolusi berkisar 0.004-0.007 mm. Tiga dari lima bejana berjungkit yang digunakan untuk pengukuran ini memiliki resolusi masing-masing sisi yang seragam yaitu 0.004 mm. Tabel
8.
Resolusi dengan kalibrasi dinamik
persamaan
T (detik) 3 4 5
TBB 1 0.2 0.2 0.2
3 4 5
TBK 1 0.011 0.009 0.008
TBB 2 0.2 0.2 0.2
TBB 4 0.2 0.2 0.2 Stem Flow TBK TBK 2 3 0.009 0.007 0.006 0.006 0.005 0.005
TBB 5 0.2 0.2 0.2
TBB 8 0.2 0.2 0.2
TBK 4 0.009 0.005 0.004
TBK 5 0.008 0.006 0.005
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa resolusi tertinggi ketika waktu antar jungkitan (T) adalah 3 detik. Selain itu juga waktu antar jungkitan (T) pada data hasil pengukuran curahan tajuk dan aliran batang nilainya tidak lebih kecil dari 3 detik. Nilai waktu antar jungkitan (T) yang lebih besar dari 3 detik menggunakan resolusi kalibrasi statik untuk perhitungan curahan tajuk dan resolusi kalibrasi statik (Tabel 7) untuk perhitungan aliran batang. Hal ini sesuai dengan pendapat Calder dan Kidd (1978) yaitu ketika aliran air rendah dan nilai waktu T lebih besar
10
yaitu sebanyak 13 kejadian hujan. Sedangkan intensitas lebih besar atau sama dengan 30 mm/jam sebanyak 2 kejadian hujan.
dari nilai t dari hasil persamaan dinamik maka nilainya setara dengan kalibrasi statik.
Tanggal
Gambar 2. Distribusi curah hujan selama penelitian (20 Okt-11 Des 2007) Distribusi Intensitas Curah Hujan di Cangkuang
14 12 10 8 6
Intensitas
4 2
Tabel 9. Kelas hujan berdasarkan total curah hujan harian (mm/hari) Kategori Hujan Jeluk (mm/hari) Hujan sangat ringan <5 Hujan ringan 5-20 Hujan normal 20-50 Hujan Lebat 50-100 Hujan sangat lebat >100 (Sumber: Sosrodarsono, 2003)
Hal ini sesuai dengan pengamatan selama penelitian bahwa hujan yang terjadi di daerah pegunungan termasuk hujan ringan dan terjadi dalam waktu yang lama. Kejadian ini akibat terbentuknya awan hujan sebagai akibat pengaruh dari orografis yang disebut sebagai hujan orografik. Tipe hujan seperti ini terjadi karena naiknya udara lembab secara paksa oleh pegunungan sehingga membawa udara sampai tahap kondensasi. Udara stabil yang naik menghasilkan awan tipe stratus dengan indikasi curah hujan ringan yang dan jatuh dalam waktu yang lama (Handoko, 1995) Berdasarkan distribusi intensitas hujan harian selama penelitian (Gambar 3) menunjukkan intensitas hujan selama penelitian lebih banyak pada selang kurang dari 5 mm/jam
9-Des
5-Des
3-Des
30-Nov
27-Nov
17-Nov
15-Nov
13-Nov
9-Nov
11-Nov
7-Nov
31-Oct
29-Oct
27-Oct
25-Oct
23-Oct
80 70 60 50 40 30 20 10 0 20-Oct
Curah Hujan (mm)
Grafik Curah Hujan di Cangkuang
Frekuejnsi
4.3. Komponen Intersepsi 4.3.1 Curah hujan Tercatat 34 kejadian hujan yang teramati selama penelitian. Total curah hujan harian bervariasi dari 1.6 mm sampai 72.4 mm (Gambar 2). Curah hujan diamati dengan penakar hujan tipe bejana berjungkit dengan resolusi 0.2 mm dan perekaman data otomatis berinterval 6 menitan (Lampiran 11). Total curah hujan selama penelitian adalah 760.2 mm dengan total lama hujan sebesar 83.6 jam. Intensitas tertinggi (34.4 mm/jam) terjadi pada tanggal 15 November 2007 dengan curah hujan sebesar 37.8 mm dan terjadi selama 1.1 jam. Sedangkan intensitas terendah sebesar 2 mm/jam yang terjadi pada tanggal 17 November 2007 dengan curah hujan sebesar 1.6 mm. Distribusi curah hujan (Gambar 2) menunjukkan bahwa curah hujan kurang atau sama dengan 20 mm/hari lebih sering terjadi selama penelitian yaitu 20 kejadian hujan. Jadi selama penelitian menunjukkan kelas hujan sangat ringan dan ringan lebih sering terjadi.
0 <5
5-10
10-20
20-30
>30
Intensitas (m m /Jam )
Gambar 3. Intensitas hujan selama penelitian 4.3.2 Curahan tajuk Data hasil pengukuran selama penelitian menunjukkan besarnya nilai curahan tajuk pada masing-masing kejadian hujan yang berkisar dari 0.66 mm sampai 38.36 mm. Total keseluruhan curahan tajuk selama penelitian yaitu 435.62 mm dari total curah hujan (760.2 mm) atau sekitar 57.3 %. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaimuddin (1994) dengan persentase curahan tajuk pada tegakan yang sejenis yaitu sebesar 79.5 % dengan total curah hujan 871.9 mm. Persentase curahan tajuk pada masingmasing curah hujan yang terjadi selama penelitian bervariasi dari 28.39 % sampai 76.13 %. Nilai ini merupakan persentase yang cukup tinggi, sehingga menunjukkan bahwa curahan tajuk merupakan bagian yang paling besar dari curah hujan yang menyentuh lantai hutan. Penggunaan 5 buah talang dibawah tajuk untuk mengukur curahan tajuk dapat dikatakan
11
keadaan miring keatas dan kebawah yang menyebabkan air hujan tidak tertahan lama pada tajuk. Faktor lain dari curah hujan yang berpengaruh terhadap besarnya curahan tajuk adalah intensitas hujan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menentukan besarnya intensitas hujan dari data 6 menitan. Intensitas curahan tajuk meningkat dengan meningkatnya intensitas hujan. Hal ini juga menunjukkan peningkatan jumlah curahan tajuk yang jatuh ke lantai hutan (Gambar 4).
cukup mewakili kondisi tajuk sesuai dengan penelitian Leyton dan Carlisle (1959) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan jumlah curahan tajuk dalam satu tajuk vegetasi. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kondisi tajuk dalam satu vegetasi Karakteristik daun dari tanaman A.loranthifolia Sal. dengan bentuk yang kecil menjadikan luas permukaan tajuk tanaman ini kecil. Selain itu letak percabangan yang tidak beraturan juga menjadikan posisi daun dalam
Intensitas Curah Hujan dan Curahan Tajuk 16 November 2007
a)
Intensitas ( mm/ 6 menit )
16 14 12 10 8 6 4
Tf
2
Pg 23:12
22:48
21:42
21:18
20:54
20:30
20:06
19:42
19:18
18:54
18:30
18:06
17:42
17:18
16:54
16:30
16:06
15:42
15:18
14:54
0
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit) Intensitas Curah Hujan dan Curahan Tajuk 15 November 2007
16
Intensitas ( mm/ 6 menit )
14 12 10 8 6 Tf
4
Pg
2 16:54
16:48
16:42
16:36
16:30
16:24
16:18
16:12
16:06
16:00
15:54
15:48
15:42
15:36
15:30
15:24
15:18
15:12
15:06
15:00
0
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit)
Gambar 4. Intensitas curah hujan dan curahan tajuk untuk melihat pengaruh intensitas hujan terhadap besarnya curahan tajuk ; (a) 16 November 2007 ; (b) 15 November 2007
12
Asdak et al (1998a) menyebutkan bahwa jumlah aliran batang meningkat dengan bertambahnya diameter batang. Hal ini terjadi karena batang utama memiliki waktu yang lebih lama hingga batang tersebut menjadi kering, dapat dimaksudkan bahwa air hujan yang mengalir pada batang dengan diameter yang lebih besar jumlahnya lebih banyak hingga batang tersebut kering setelah hujan berhenti. Intensitas hujan tidak berpengaruh terhadap intensitas aliran batang (Gambar 5) dikarenakan kecilnya air yang mengalir melalui batang dan pengaruh tinggi pohon. Air hujan butuh waktu lebih lama untuk mencapai pangkal batang seiring dengan bertambahnya tinggi pohon (Ford dan Deans, 1978)
4.3.3 Aliran batang Aliran batang yang terjadi selama penelitian yaitu sebesar 7.17 mm dari total hujan sebesar 760. 2 mm atau sebsar 0.94 %. Nilai ini sangat kecil dibandingkan dengan curahan tajuk. Nilai aliran batang pada kejadian hujan bervariasi dari 0 sampai 1.12 mm dengan persentase sebesar 0 sampai 2.28 %. Nilai aliran batang yang kecil terjadi karena air hujan yang jatuh di atas tajuk tanaman yang kecil, sehingga air yang mengalir di batang sedikit. Diameter batang tanaman dalam penelitian ini besarnya tidak jauh berbeda, sehingga aliran batang yang dihasilkan tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Sf
23:06
21:54
21:24
20:54
20:24
19:54
19:24
18:54
18:24
17:54
17:24
16:54
16:24
15:54
15:24
Pg 14:54
Intensitas (mm/menit)
Intensitas Aliran Batang Rataan 16 November 2007
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit)
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Sf
16:54
16:48
16:36 16:42
16:30
16:18 16:24
16:12
16:00 16:06
15:48 15:54
15:42
15:30 15:36
15:24
15:12 15:18
15:06
Pg 15:00
Intensitas ( mm/ 6 menit )
Intensitas Curah Hujan dan Aliran Batang 15 November 2007
Waktu Kejadian (Interval 6 M enit) Gambar 5. Intensitas curah hujan dan aliran batang untuk melihat pengaruh intensitas hujan terhadap besarnya aliran batang ; (a) 16 November 2007 ; (b) 15 November 2007
13
Kemiringan cabang (sudut 300) pada batang utama dapat menyebabkan air mengalir menuju batang (Ford dan Deans, 1978). Sehingga pada percabangan yang condong ke bawah, air tidak dialirkan menuju batang. Kulit batang yang licin memberikan peran besar dalam mengalirkan air hujan melalui batang. Air hujan akan mengalir dengan mudah dibandingkan kulit pohon yang kasar. Kondisi kulit yang kasar dan retak-retak menyebabkan air hujan masuk dan tertahan pada kulit batang. Tinggi bebas cabang juga berpengaruh dalam memberikan kontribusi aliran batang. Banyaknya percabangan pada batang utama dapat mengalirkan air menuju batang utama, sehingga semakin besar tinggi bebas cabang akan berpengaruh terhadap kontribusi aliran batang. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Asdak et al (1999) yang menyatakan bahwa jumlah dan posisi percabangan memengaruhi jumlah aliran batang. 4.4. Karakteristik Tajuk 4.4.1. Kapasitas tajuk Air hujan yang jatuh di atas tajuk suatu vegetasi tidak langsung menembus tajuk dan jatuh menyentuh lantai hujan, melainkan tertahan beberapa saat di tajuk dan kemudian akan jatuh sebagai curahan tajuk. Kondisi ini menunjukkan adanya nilai optimum dari suatu tajuk untuk menyimpan air yang tertahan pada tajuk (jenuh). Kemampuan optimum suatu tajuk mengalami penjenuhan akibat hujan di atas tajuk dikenal dengan nama kapasitas tajuk (S). Nilai kapasitas tajuk akan berbeda tiap vegetasi dan hal ini merupakan karakteristik dari tajuk suatu vegetasi (Asdak et al, 1998b). Kapasitas tajuk dapat ditentukan dengan menggunakan metode Leyton et al (1967). Nilai ini diperoleh dengan cara memplotkan nilai curah hujan bruto harian dengan nilai curahan tajuk harian. Kemudian ditarik garis lurus titiktitik terluar (berhadapan dengan sumbu-y) hingga menyentuh sumbu-y melewati sumbu-x dengan nilai curah hujan bernilai 0. Nilai kapasitas tajuk ditunjukkan dengan nilai intersept negatif dari sumbu-y (curahan tajuk). Titik-titik yang berada di sebelah kanan dari garis yang dibentuk menunjukkan nilai evaporasi minimum dimana terjadi hujan yang ringan namun terjadi curahan tajuk. Hal ini terjadi karena adanya proses evaporasi atmosfer yang tidak sempurna (Leyton et al, 1967). Hal ini dapat dimaksudkan hujan ringan jatuh tidak
kontinyu atau terdapat jeda waktu hingga terjadi evaporasi namun sebelum proses itu selesai terjadi hujan kembali. Kondisi di atas juga dapat dikatakan bahwa hujan yang jatuh di atas tajuk tidak mampu untuk menjenuhkan tajuk. Karena terjadi hujan kembali maka tajuk yang basah tertimpa kembali oleh air hujan dan mencapai kapasitas maksimum sehingga air hujan jatuh menyentuh lantai hutan dan menjadi curahan tajuk Nilai kapasitas tajuk A.loranthifolia Sal. yang didapatkan dari hasil plot yaitu sebesar 0.55 mm. Nilai ini juga dapat menunjukkan curahan tajuk akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah hujan terjadi. Nilai curah hujan harian yang terjadi selama penelitian dikatakan dapat menjenuhkan tajuk tanaman ini jika dilihat dari hasil plot dan garis yang dibentuk dari curah hujan dengan curahan tajuk (Lampiran 8 ). Jika dibandingkan dengan nilai kapasitas tajuk hasil penelitian Kaimuddin (1994) pada tanaman sejenis didapatkan nilai sebesar 0.97 mm. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman A.loranthifolia Sal dari hasil penelitian nilai kapasitas tajuk yang lebih rendah menjadikan hujan neto lebih cepat terjadi. Karakteristik tajuk pada tumbuhan ini dengan kondisi tajuk yang kurang rapat, bentuk daun yang kecil dan percabangan yang tidak beraturan berpengaruh terhadap nilai kapasitas tajuk ini. Sehingga air hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman ini lebih kecil dibandingkan tanaman dengan tajuk yang sangat rapat dan permukaan daun yang luas. Kondisi yang diamati ketika terjadi hujan di dalam plot penelitian, air hujan yang masuk dan menyentuh lantai hutan terlihat sangat jelas. Sehingga tajuk tanaman A.loranthifolia Sal. ini dapat dikatakan memiliki kemampuan yang rendah untuk menahan air hujan yang jatuh. 4.4.2. Porositas tajuk Kerapatan tajuk suatu vegetasi merupakan salah satu faktor terjadinya hujan neto. Tajuk yang kurang rapat akan menyebabkan air hujan mudah lolos dan jatuh melalui tajuk. Porositas tajuk menggambarkan kondisi penutupan tajuk yang menentukan besarnya air yang hujan yang lolos hingga menyentuh permukaan tanah. Nilai porositas tajuk ini berkaitan dengan kerapatan tajuk pada suatu vegetasi. Sehingga jumlah percabangan yang banyak dengan penutupan daun-daun yang rapat memberikan nilai porositas tajuk yang berbeda.
14
Nilai porositas tajuk dapat dikatakan memiliki pengaruh berlawanan terhadap besarnya intersepsi, semakin besar porositas tajuk maka semakin kecil intersepsi yang terjadi. Besarnya porositas tajuk dapat diperoleh dari slope persamaan regresi dengan memplotkan curah hujan bruto harian dengan curahan tajuk. Dari data pengukuran curahan tajuk dan curah hujan selama penelitian didapat slope dari persamaan regresi yang menunjukkan nilai porositas tajuk tanaman A.loranthifolia Sal. lorantifolia dalam penelitian ini yaitu sebesar 0.57.
Throughfall (m m )
Porositas Tajuk Agathis lorantifolia A.loranthifolia y = 0.57x + 0.16
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
2
R = 0.9374 Tf Linear (Tf)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Curah Hujan (mm)
Gambar 6. Porositas tajuk A.loranthifolia Sal. Penelitian yang dilakukan oleh Asdak et al (1998a) menunjukkan bahwa berkurangnya sejumlah pohon pada area hutan, menyebabkan berkurangnya air hujan yang terintersepsi dan berpengaruh terhadap besarnya nilai porositas tajuk. Nilai porositas tajuk akan bertambah dan kapasitas tajuk akan berkurang pada area hutan yang mengalami penebangan pohon. Berdasarkan hal tersebut karakteristik suatu pohon sangat berpengaruh terhadap nilai kapasitas tajuk, porositas tajuk dan besarnya air yang terintersepsi pada suatu vegetasi dalam areal hutan. 4.5. Intersepsi hujan oleh tajuk A.loranthifolia Sal. Besarnya intersepsi hujan di atas tajuk A.loranthifolia Sal. diperoleh dari selisih curah hujan bruto dengan hujan neto. Curahan tajuk dan aliran batang merupakan curah hujan neto yang masuk hingga menyentuh lantai hutan. Intersepsi selama penelitian dengan total curah hujan 760.2 mm terhitung sebesar 317.41 mm atau sebesar 41.75 % dari curah hujan total. Curah hujan neto paling banyak jatuh sebagai curahan tajuk dibandingkan aliran batang. Hal ini terjadi karena kondisi penutupan tajuk yang
kurang rapat sehingga air hujan akan mudah lolos melalui celah-celah tajuk. Nilai intersepsi menunjukan besarnya air yang berpotensi untuk terevaporasi ke atmosfer. Hujan neto yang menyentuh lantai hutan akan meresap ke dalam tanah dan menjadi sumber bagi peningkatan jumlah air tanah. Sehingga persentase curah hujan neto yang tinggi dapat dikatakan memiliki pengaruh yang positif bagi kontribusi air dalam tanah pada ekosistem hutan. Nilai hujan neto harian yang tercatat dari hasil pengukuran memiliki nilai yang cukup tinggi, sehingga penanaman pohon A.loranthifolia Sal. ini dapat dikatakan tidak berpengaruh negatif terhadap kontribusi air tanah. Tanaman ini memiliki karakteristik tanaman dengan tajuk yang kurang rapat, luas permukaan daun yang kecil dan percabangan yang tidak beraturan. Besarnya intersepsi hujan suatu vegetasi juga dipengaruhi oleh umur tegakan vegetasi yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, bagian-bagian tertentu akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dari bagian-bagian vegetasi memiliki pengaruh terhadap besarnya kecilnya intersepsi adalah perkembangan kerapatan tajuk, batang dan percabangan dari vegetasi. Semakin besar kerapatan tajuk maka semakin banyak air hujan yang dapat ditahan sementara kemudian diuapkan kembali ke atmosfer. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kaimuddin (1994) dengan tanaman yang sejenis dengan penelitian ini namun umurnya lebih tua, didapatkan hasil besarnya intersepsi sebesar 128.31 mm dari total hujan 871.9 mm atau sebesar 14.7 %. Perbedaan ini disebabkan karakteristik tegakan yang berbeda dan telah mengalami perkembangan. Perkembangan cabang yang tumbuh lebih condong ke atas menyebabkan air tidak tertahan pada daun walaupun luas tajuk bertambah. Berdasarkan hasil penelitian jika dibandingkan dengan penelitian Kaimuddin (1994). Intersepsi pada penelitian ini berbeda jauh dan cukup besar. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan kesalahan alat dalam melakukan pengukuran. Sehingga nilai hujan neto lebih rendah dari yang sebenarnya. Analisis regresi terhadap intersepsi harian (I) dengan curah hujan harian (CH) menunjukkan hubungan linier. Peningkatan curah hujan akan menyebabkan terjadinya peningkatan air yang terintersepsi (Gambar 7).
15
In tersep si (m m )
Grafik Hubungan Intersepsi dengan Curah Hujan 40 35 30 25 20 15 10 5 0
I = 0.418 CH + 0.066 R2 = 0.8731 Intersepsi
Linear (Intersepsi)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Curah hujan (mm) Gambar 7. Grafik Hubungan intersepsi dan curah hujan Grafik Kumulatif Hujan Bruto dan Neto Selama Pengukuran 800 700
Kumulatif (mm)
600
I
500 400 300 Pg
200
Pn
100 9-Des
5-Des
3-Des
30-Nov
27-Nov
17-Nov
15-Nov
13-Nov
11-Nov
9-Nov
7-Nov
31-Oct
29-Oct
27-Oct
25-Oct
23-Oct
20-Oct
0
Tanggal
Gambar 8. Grafik kumulatif hujan bruto dan neto yang menggambarkan intersepsi kumulatif selama pengukuran. Gambaran kondisi tajuk hutan tanaman A.loranthifolia Sal. terlihat pada gambar 8, dengan nilai curah hujan neto meningkat dengan bertambahnya curah hujan bruto. Selisih antara hujan bruto dan neto yang menunjukkan nilai intersepsi kumulatif yaitu sebesar 41.75 %.
Kondisi tajuk yang kurang rapat pada vegetasi ini memudahkan air hujan menembus tajuk dan jatuh ke permukaan tanah sebagai hujan neto. Nilai kapasitas tajuk dan porositas tajuk yang diperoleh dari penelitian ini yaitu sebesar 0.55 mm untuk kapasitas tajuk dan 0.57 untuk
16
porositas tajuk. Nilai tersebut berpengaruh terhadap besarnya air yang terintersepsi yaitu sebesar 317.45 mm dari total curah hujan selama penelitian. Nilai kapasitas tajuk dapat dikatakan sebagai gambaran kondisi suatu tajuk, sehingga perbedaan pada kedua komponen tersebut akan memberikan perbedaan terhadap besarnya air yang terintersepsi. Meningkatnya nilai kapasitas tajuk akan seiring dengan menurunnya nilai porositas tajuk 4.6. Kebasahan Tajuk Data hasil pengukuran curahan tajuk dan aliran batang menggunakan perekaman data otomatis dengan waktu kejadian curahan tajuk dan aliran batang yang dapat dilihat memberikan kemudahan untuk melihat kebasahan tajuk selama terjadinya hujan dan dibandingkan dengan data curah hujan interval 6 menitan. Kebasahan tajuk didapatkan dengan memplotkan besarnya hujan neto dan hujan bruto dalam satu sumbu-x dengan waktu kejadian yang sama. Sehingga dapat dilihat nilai hujan neto dan bruto yang terjadi dalam interval waktu 6 menitan. Data yang diperoleh tidak seluruhnya dianalisa untuk melihat kebasahan tajuk. Data curah hujan bruto diurutkan dari yang terkecil sampai terbesar kemudian dikategorikan menurut kelas hujan (Tabel 9) dan dipilih acak dua kejadian hujan pada masing-masing kelas hujan. Sehingga didapatkan 8 kejadian hujan (Tabel 10). Kebasahan tajuk masing-masing titik pengamatan memiliki pola yang tidak jauh berbeda, sehingga analisis dapat dilakukan menggunakan nilai rataan titik pengamatan. Tabel 10. Kelas kebasahan tajuk No
Tgl
CH
1 2 3 4 5 6 7 8
17-Nov 20-Nov 4-Des 20-Okt 10-Nov 16-Nov 26-Okt 11-Des
1.6 2.2 14.8 18.8 31.8 43.2 56 72.4
Kelas Hujan Sangat Ringan
tajuk dan air hujan yang tertahan pada tajuk dan berpotensi untuk terevaporasi ke atmosfer. Kelas hujan sangat ringan
Hujan sangat ringan (<5 mm/hari) yaitu sebesar 1.6 mm/hari pada tanggal 17 November 2007. Hujan terjadi secara tidak kontinyu, dimana hujan terjadi sesaat yang kemudian berhenti dan kembali lagi hujan. Terlihat tajuk mengalami penjenuhan yang cepat sehingga terjadi hujan neto, kondisi ini disebabkan telah terjadi hujan pada hari sebelumnya. Sehingga tajuk dalam kondisi basah saat terjadi hujan kembali. Ketika hujan berhenti, tetes-tetes tajuk masih terjadi sehingga nilai hujan neto tercatat. Jeda waktu antar kejadian hujan menyebabkan tajuk membutuhkan waktu kembali untuk penjenuhan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya evaporasi ketika hujan berhenti. Kejadian hujan pada tanggal 20 November 2007 sebesar 2.2 mm memiliki pola yang tidak jauh berbeda dimana hujan terjadi tidak kontinyu. Keadaan ini menjadikan besarnya air yang hilang karena intersepsi menjadi besar. Hal ini disebabkan air yang tertahan pada tajuk akan mengalami evaporasi sebelum terjadi hujan kembali dan air yang tertahan pada tajuk akan terevaporasi setelah hujan berhenti. Pada kondisi seperti ini air yang tertahan pada tajuk akan terevaporasi yang dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan kondisi angin saat itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Leyton et al (1967) pada kondisi ini menjadikan tajuk tanaman dalam keadaan basah yang tidak sempurna karena dipengaruhi proses evaporasi ketika periode kering. Sehingga durasi pembasahan tajuk pada curah hujan sangat ringan relatif singkat.
Ringan Normal Lebat
Masing-masing kejadian hujan pada kelas kebasahan tajuk dilihat kondisi kebasahan tajuk yang dapat menunjukkan periode kejenuhan
17
a)
Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 17 November 2007 0,4
0,3 Jelu k (m m )
Pg Pn
0,2
0,1
23:00 23:24 23:48 0:12 0:36 1:00 1:24 1:48 2:12 2:36 3:00 3:24 3:48 4:12 4:36 5:00 5:2 4 5:4 8 6:1 2 6:3 6 7:0 0 7:2 4 7:4 8
0
Pg
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit)
b)
Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 20 November 2007 0.4
Jeluk (m m )
0.3
0.2 Pg Pn
0
0:00 0:24 0:48 1:12 1:36 2:00 2:24 2:48 3:12 3:36 4:00 4:24 4:48 5:12 5:36 6:00 6:24 6:48 7:12 7:36 8:00 8:24 8:48
0.1
Pg
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit) Gambar 9. Pola kebasahan tajuk (hujan sangat ringan) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) 17 November 2007; (b) 20 November 2007
18
1 4 :0 0 1 4 :2 4 1 4 :4 8 1 5 :1 2 1 5 :3 6 1 6 :0 0 1 6 :2 4 1 6 :4 8 1 7 :1 2 1 7 :3 6 1 8 :0 0 1 8 :2 4 1 8 :4 8 1 9 :1 2 1 9 :3 6 2 0 :0 0 2 0 :2 4 2 0 :4 8
J e lu k (m m )
1 8 :0 0 1 8 :3 6 1 9 :1 2 1 9 :4 8 2 0 :2 4 2 1 :0 0 2 1 :3 6 2 2 :1 2 2 2 :4 8 2 3 :2 4 0 :0 0 0 :3 6 1 :1 2 1 :4 8 2 :2 4 3 :0 0 3 :3 6 4 :1 2 4 :4 8 5 :2 4 6 :0 0 6 :3 6 7 :1 2 7 :4 8 8 :2 4 9 :0 0 9 :3 6 1 0 :2 4 1 1 :0 0 1 1 :3 6
Jelu k (m m )
a)
3.5 Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 4 Desember 2007
3
2.5
2 Pg
1.5 Pn
1
0.5
0
b)
2
0
Pg
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit)
Kebasahan Tajuk (Rataan Tiap Pohon) Tanggal 20 Oktober 2007
3,5
3
2,5
Pg Pn
1,5
1
0,5
Pg
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit)
Gambar 10. Pola kebasahan tajuk (hujan ringan) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) 4 Desember 2007; (b) 20 Oktober 2007
19
a)
Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 10 November 2007 5 4,5
Jeluk (m m )
4 3,5 3
Pg
2,5
Pn
2 1,5 1 0
12:00 12:24 12:48 13:12 13:36 14:00 14:24 14:48 15:12 15:36 16:00 16 :24 16 :48 17 :12 17 :36 18 :00 18 :24 18 :48 19 :12 19 :36 20 :00 20 :24 22 :18 22 :42
0,5 Pg
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit) b)
Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 16 November 2007 5 4,5 4 3,5
J e lu k (m m )
3
Pg
2,5
Pn
2 1,5 1 0,5 0
1 3 :0 0 1 3 :2 4 1 3 :4 8 1 4 :1 2 1 4 :3 6 1 5 :0 0 1 5 :2 4 1 5 :4 8 1 6 :1 2 1 6 :3 6 1 7 :0 0 1 7 :2 4 1 7 :4 8 1 8 :1 2 1 8 :3 6 1 9 :0 0 1 9 :2 4 1 9 :4 8 2 0 :1 2 2 0 :3 6 2 1 :0 0 2 1 :2 4 2 1 :4 8 2 2 :1 2 2 2 :3 6 2 3 :0 0 2 3 :3 0 2 3 :5 4
Pg
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit) Gambar 11. Pola kebasahan tajuk (hujan normal) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) 10 November 2007; (b) 16 November 2007
20
16
0
10:00 10:24 10:48 11:12 11:36 12:00 12:24 12:48 13:12 13:36 14:00 14:24 14:48 15:12 15:36 16:00 16:24 16:48 17:12 17:36 18:00 18:24 18:48 19:12 19:36 20:00 20:24 20:48 21:12 21:36 22:00 22:24
Jeluk (mm)
1 2 :0 0 1 2 :2 4 1 2 :4 8 1 3 :1 2 1 3 :3 6 1 4 :0 0 1 4 :2 4 1 4 :4 8 1 5 :1 2 1 5 :3 6 1 6 :0 0 1 6 :2 4 1 6 :4 8 1 7 :1 2 1 7 :3 6 1 8 :0 0 1 8 :2 4 1 8 :4 8 1 9 :1 2 1 9 :3 6 2 0 :0 0 2 1 :1 8 2 1 :4 2
Jelu k (m m )
a)
Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 26 Oktober 2007
16
14
12
10 Pg
8 Pn
6
4
2
0 Pg
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit)
b)
Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 11 Desember 2007
14
12
10 Pg
8 Pn
6
4
2
Pg
Waktu Kejadian (Interval 6 Menit)
Gambar 12. Pola kebasahan tajuk (hujan lebat) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) 26 Oktober 2007; (b) 11 Desember 2007
21
Kelas hujan ringan
Kejadian hujan pada tanggal 4 Desember 2007 menggambarkan kondisi curah hujan dengan total curah hujan yang seragam dalam tiap interval 6 menitan. Hujan ini terjadi dalam waktu yang lama yaitu + 5.5 jam yang terjadi dari pukul 00:00 hingga pukul 05.42 yang kemudian kembali dibasahi air hujan pada pukul 06.12 (Gambar 11). Pada hari sebelumnya (3 Desember 2007) telah terjadi hujan secara kontinyu yang dimulai dari pukul 20.00. Tajuk tanaman ini mengalami kebasahan tajuk yang lama dengan indikasi curahan tajuk terjadi kontinyu selama hujan berlangsung. Pada kondisi ini tajuk dalam keadaan basah total. Sehingga proses evaporasi potensial akan berlangsung selama terjadinya hujan. Hal ini sesuai dengan pendapat Asdak et al (1998b) bahwa proses evaporasi mulai terjadi setelah tajuk mencapai kapasitas maksimumnya atau jenuh dan saat periode kering. Sehingga selama tajuk dibasahi, air yang tertahan pada tajuk akan terevaporasi dalam laju potensial. Kejadian hujan pada tanggal 20 Oktober 2007 terjadi dalam kurun waktu + 2 jam dengan dengan satu kejadian hujan berdurasi cukup lama. Terlihat tajuk membutuhkan waktu lama untuk menjenuhkan tajuk hingga terjadi hujan neto yang menyentuh lantai hutan. Dalam kejadian hujan pada tanggal 20 Oktober 2007 terlihat sangat jelas kondisi pembasahan tajuk tanaman A.loranthifolia Sal. ini. Tajuk dalam kondisi basah total karena hujan terjadi secara kontinyu. Menurut Jackson (1974), proses evaporasi akan terjadi ketika terjadi hujan dan akan berhenti setelah tajuk kering. Air yang tertahan pada tajuk selama hujan akan terevaporasi dalam laju potensial. Setelah hujan berhenti dan kondisi kering menunjukkan tajuk akan segera mengalami proses evaporasi dan tajuk kembali kering Kejadian hujan dengan total curah hujan yang tinggi dan terjadi lebih dari satu kejadian hujan akan menyebabkan adanya jeda waktu. Proses evaporasi akan terjadi pada jeda waktu tersebut. Sehingga kejadian hujan yang pertama akan membasahi tajuk terdahulu kemudian akan terevaporasi dalam laju potesial selama terjadinya hujan dan setelah hujan berhenti.
Tajuk membutuhkan waktu kembali untuk menjenuhkan tajuk ketika terjadi hujan kembali dikarenakan kondisi tajuk yang sudah kering. Kelas hujan normal
Kejadian hujan kedua pada tanggal 10 November 2007 menjadikan tajuk dalam kondisi pembasahan kembali dengan durasi yang tidak lama yaitu sekitar + 1.5 jam. Dalam jeda waktu yang singkat, tajuk membutuhkan waktu kembali untuk jenuh. Hal ini menunjukkan telah terjadi evaporasi dalam laju potensial selama hujan pertama dan pada kondisi kering. Kejadian hujan pada tanggal 16 November 2007 yang terjadi dengan satu kejadian hujan berdurasi cukup lama menggambarkan pula kondisi pembasahan tajuk secara kontinyu. Tajuk dalam kondisi basah total sehingga evaporasi akan terjadi dalam laju potensial selama terjadinya hujan Hujan yang terjadi secara terus-menerus memberikan kondisi pembasahan tajuk yang optimum, sehingga hujan neto juga akan terjadi secara kontinyu seiring dengan bertambahnya intensitas hujan dalam kurun waktu yang relatif singkat. Hujan neto akan mencapai puncaknya seiring dengan meningkatnya hujan bruto. Kelas hujan lebat
Pada tanggal 26 Oktober 2007 dan 11 Desember 2007 terlihat kondisi tajuk yang mengalami penjenuhan dalam waktu yang sangat lama sementara curah hujan jatuh dalam jumlah yang besar (Gambar 13). Kondisi ini dapat dimungkinkan tajuk tanaman ini dalam kondisi yang sangat kering sehingga tajuk membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terjadi penjenuhan hingga terjadi hujan neto. Sebab lain dimungkinkan data pengukuran tidak terekam, namun dari hasil kalibrasi dinamik menunjukkan bahwa bejana berjungkit yang digunakan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengalirkan air yang masuk dalam jumlah besar yaitu sebesar + 83 ml/s. Nilai ini setara dengan curah hujan sebesar 4.98 mm yang terjadi selama 1 menit (Lampiran 4). Sehingga terdapat sebab lain di luar kesalahan alat dalam mencatat data. Terjadi dua kejadian hujan pada tanggal 11 Desember 2007 dimana hujan yang kedua terjadi lebih lama dari hujan yang pertama. Jeda waktu antar kejadian hujan sekitar + 2 jam,
22
sehingga tajuk membutuhkan waktu kembali untuk menjenuhkan tajuk karena tajuk yang telah mengalami proses evaporasi. Pada hujan yang kedua penjenuhan tajuk tidak membutuhkan waktu lama sementara hujan jatuh dalam jumlah yang kecil. Keadaan pada masing-masing kelas kebasahan tajuk dalam penelitian ini menunjukan bahwa tajuk A. loranthifolia Sal berespon cepat untuk mengalami kejenuhan. Namun intensitas hujan sangat berpengaruh dalam hal ini. Lamanya pembasahan tajuk akan meningkat seiring dengan lama terjadinya hujan, ditambah dengan waktu setelah terjadi curah hujan dimana tetesan-tetesan air dari tajuk masih terjadi. Kejadian hujan yang terjadi dengan durasi yang cukup lama menggambarkan kondisi tajuk yang mengalami pembasahan tajuk yang optimum. Sehingga tajuk dalam keadaan basah total dan evaporasi akan terjadi dalam laju potensial. Meningkatnya curah hujan dalam kurun waktu singkat berpotensi untuk membasahi seluruh permukaan daun dikarenakan terjadinya air yang saling menimpa pada daun-daun tersebut hingga terjadi hujan neto. Sehingga air yang tertahan sebelumnya akan jatuh. Air yang terintersepsi pada tajuk selama dan setelah terjadinya hujan dan merupakan besarnya air hujan yang berpeluang akan terevaporasi dalam laju potensial dan tergantung dari kondisi atmosfer saat itu. Jeda waktu yang besar antar kejadian hujan akan memberikan peluang yang lebih besar untuk tajuk terevaporasi ke atmosfer. Dari hasil penelitian diperoleh jeda waktu sekitar + 1.5 jam dapat menjadikan kondisi tajuk kering dengan indikasi tajuk membutuhkan waktu kembali untuk jenuh hingga terjadi hujan neto. Namun hal ini tergantung dari kondisi atmosfer pada saat terjadinya hujan. Hal ini sesuai dengan pendapat Leyton dan Carlisle (1959) yang menyatakan bahwa pada periode kering, air yang tertahan pada tajuk akan mengalami evaporasi dengan lajunya yang tergantung dari kondisi atmosfer seperti temperatur, kelembaban udara, angin dll. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1. Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan ini, pengukuran curahan tajuk dan aliran batang menggunakan bejana berjungkit memiliki beberapa kelebihan, salah satunya dalam melakukan pencatatan dan pengolahan data..
Kalibrasi statik dan dinamik sangat penting dilakukan terhadap bejana berjungkit untuk mendapatkan perhitungan data yang akurat. Persentase komponen intersepsi yaitu curahan tajuk sebesar 57.3 % dan menunjukkan curahan tajuk merupakan bagian terbesar dari hujan yang mencapai lantai hutan. Sedangkan aliran batang memiliki persentase yang sangat kecil yaitu sebesar 0.94 % dari curah hujan total. Hasil pengukuran didapatkan persentase intersepsi pada tanaman ini sebesar 41.75 % dari total hujan selama penelitian (760.2 mm). Hal ini berbeda jauh dengan hasil penelitian Kaimuddin (1994) di Hutan Gunung Walat Sukabumi. Diperoleh besarnya intersepsi selama pengukuran sebesar 14.7 % dari total hujan 871.9 mm. Kondisi ini menunjukkan adanya kehilangan air yang cukup besar akibat intersepsi. Perbedaan nilai ini dapat disebabkan kondisi tajuk yang berbeda karena terdapat perbedaan umur dan kondisi cuaca saat pengukuran. Selain itu juga dimungkinkan adanya perbedaan penerimaan curah hujan pada plot penelitian dan penakar hujan. Hal lain dapat sebabkan adanya kesalahan alat saat pengukuran curahan tajuk dan aliran batang di lokasi penelitian, yang menyebabkan perhitungan hujan neto lebih rendah dari yang sebenarnya. Besarnya intersepsi pada tanaman A.loranthifolia Sal. ini dipengaruhi oleh jumlah curah hujan dan karakteristik dari tajuk. Intensitas hujan memengaruhi besarnya curahan tajuk, meningkatnya intensitas hujan akan meningkatkan besarnya curahan tajuk. Air yang terintersepsi pada tajuk selama dan setelah terjadinya hujan dan merupakan besarnya air hujan yang berpeluang akan terevaporasi dalam laju potensial ketika tajuk dalam kondisi basah total dan tergantung dari kondisi cuaca saat itu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jeda waktu antar kejadian hujan dapat menyebabkan tajuk kering kembali sehingga tajuk hutan tanaman ini membutuhkan waktu untuk jenuh kembali. Besarnya jeda waktu antar kejadian hujan berpeluang lebih besar untuk air yang terintersepsi akan terevaporasi. 5. 2. Saran Bertambahnya umur suatu vegetasi akan meningkatkan pertanaman dan perkembangan dari bagian-bagian vegetasi tersebut seperti
23