IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Cihideung Ilir merupakan salah satu desa dari 13 (tiga belas) desa yang terdapat di kecamatan Ciampea, dan wilayahnya masuk dalam Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Tiga belas Desa tersebut yaitu Desa Ciampea Udik, Desa Cinangka, Desa Cibuntu, Desa Cicadas, Desa Tegal Waru, Desa Bojong Jengkol, Desa Cihideung Udik, Desa Cihideung Ilir, Desa Cibanteng, Desa Bojong Rangkas, Desa Cibadak, Desa Benteng, dan Desa Ciampea. Desa Cihideung Ilir memiliki luas wilayah sekitar 192.5 ha dengan lahan sawah seluas 165 ha. Jumlah penduduk Cihideung Ilir pada tahun 2009 adalah 9,425 jiwa, yang terdiri atas 4,486 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 4,539 jiwa berjenis kelamin perempuan. Desa Cihideung Ilir terletak di kawasan dataran rendah (180-220 m dpl), dan memiliki suhu rata-rata 29-30˚C. Batas-batas wilayah Desa Cihideung Ilir adalah sebagai berikut (i) sebelah utara berbatasan dengan Desa Cibanteng, (ii) sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cihideung Udik, (iii) sebelah timur berbatasan dengan Desa Babakan, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cihideung Udik dan Desa Cibanteng. Jarak Desa Cihideung Ilir dari ibu kota kecamatan adalah 1 km, dari ibu kota kabupaten adalah 35 km, dan dari ibu kota popinsi adalah 132 km. Pada tahun 2009, jumlah panen padi di Desa Cihideung Ilir dengan luas lahan panen ± 283 ha mencapai 1,694.19 ton GKP atau 10.6% dari total panen keseluruhan di Kecamatan Ciampea, dengan produktivitas rata-rata lahan 5.99 ton GKP/ha.
Gambar 6. Fasilitas bangunan giling dan lantai jemur Di desa Cihedeung Ilir, hanya terdapat 1 (satu) unit penggilingan padi, yaitu unit penggilingan padi yang di miliki Bapak H. Sulaiman. Sistem penggilingan padi di Desa Cihideung Ilir tergolong sistem penggilingan padi kecil (PPK) sederhana. Tempat berdirinya penggilingan termasuk strategis, karena dekat dengan sawah sehingga mempermudah dalam hal transportasinya pada saat panen, dan letak penggilingan juga dekat dengan perumahan penduduk, sehingga memudahkan para konsumen datang ke penggilingan untuk menggiling gabahnya. Unit penggilingan padi yang dimiliki Bapak H. Sulaiman tergolong tua. Fasilitas yang dimiliki terdiri dari bangunan, lantai jemur/ lamporan, mesin penggilingan, timbangan duduk, dan alat pengangkut karung beras. Bangunan dibangun pada tahun 1984, dengan luas bangunan penggilingan 6x5 m2. Lantai jemur juga dibangun bersamaan dengan bangunan penggilingan. Untuk biaya awal pembangunan bangunan dan lantai jemur menghabiskan biaya Rp 5,000,000,-. Lantai jemur/ lamporan berukuran 10x7 m2 yang dapat
27
menampung sekitar 800-900 kg GKP untuk dijemur. Untuk menjemur biasanya tidak dikenai biaya karena petani yang menjemur di penjemuran ini akan menggiling padinya di penggilingan ini. Selama penggilingan beroperasi pada awal berdirinya tahun 1984, telah berganti mesin penggilingan (huller, polisher, dan 1 motor penggerak) sebanyak 1 kali. Mesin penggilingan (huller, polisher, dan 1 motor penggerak) di beli pada tahun 2000 seluruhnya senilai Rp 14,700,000,- dan telah beroperasi selama 10 tahun. Unit penggilingan terdiri dari 1 unit huller, 1 unit polisher, dan 1 motor penggerak yaitu motor diesel KUBOTA 22 PK untuk menggerakkan huller (merk RM tipe LM24-2C(H)) dan polisher (merk ICHI tipe N-70). Untuk menjemur biasanya tidak dikenai biaya karena petani yang menjemur padinya di penjemuran ini akan menggiling padinya di penggilingan ini juga. Namun ada juga petani yang membawa gabah yang sudah siap untuk digiling menjadi beras. Namun tidak terlalu banyak dibandingkan dengan petani yang menjemurkan padi terlebih dahulu di penggilingan ini.
(a) Huller (merk RM tipe LM24-2C(H))
(b) Polisher (merk ICHI tipe N-70)
(c) Motor diesel KUBOTA 22 PK
Gambar 7. Fasilitas mesin penggilingan padi Proses pemecahan kulit sekam pada penggilingan padi ini menggunakan mesin pemecah kulit kelompok friksional, tipe rubber roll husker karena memecahkan sekam dengan dua buah rol karet yang dipasang berdekatan. Kedua rol karet tersebut diputar dengan kecepatan yang berbeda dan arah yang berlawanan. Agar lebih ekonomis setelah rol utama mengalami keausan, maka akan ditukar posisinya dengan rol pembantu. Setelah kedua rol itu mengalami keausan, maka baru dibeli rol yang baru. Di penggilingan ini penggantian rol dilakukan setelah kira-kira melakukan giling padi sebanyak 35 ton GKG. Setelah gabah mengalami proses pecah kulit, maka beras yang keluar masih belum bersih, belum mengkilap, dan cenderung masih berwarna kecoklatan. Untuk menghasilkan beras yang putih dan mengkilap, maka setelah digiling, beras di sosoh di polisher. Prinsip pemisahan sekam sangat sederhana, yaitu memisahkan sekam dari beras pecah kulit dan gabah utuh berdasarkan perbedaan berat jenisnya. Pada umumnya mesin pemisah sekam dilengkapi dengan kipas untuk menghisap sekam dan debu. Beras pecah kulit dan gabah akan tetap mengalir ke bawah karena tidak terisap oleh kipas akibat daya beratnya. Polisher juga dilengkapi ayakan untuk memisahkan beras pecah kulit dan dedak kasar sebelum proses pemisahan sekam. Hal ini perlu dilakukan karena beras patah dan dedak kasar memiliki nilai ekonomis. Ayakan polisher merupakan bagian dari polisher yang sering diganti
28
agar kualitas hasil ayakan menjadi semakin baik. Di penggilingan padi ini ayakan polisher diganti pada saat telah menggiling sekitar 30 ton GKG. Hasil limbah sisa dari penggilingan yaitu sekam dan dedak/ bekatul. Sekam boleh diambil secara gratis oleh masyarakat sekitar dan dimanfaatkan sendiri oleh pemilik penggilingan, biasanya dipakai untuk media tanam, abu gosok, dan sebagainya. Jika tertumpuk sekam dibuang dan dibakar. Proses dihasilkannya dedak/ bekatul yaitu, dimulai dari beras pecah kulit yang dimasukkan ke dalam mesin penyosoh/ polisher untuk diputihkan, kemudian menghasilkan beras sosoh dan dedak. Dedak tersebut diambil oleh pemilik untuk pakan ternak, dan sisanya jika ada yang menginginkan biasanya diambil secara gratis di penggilingan, dan jika dijual dihargai Rp 1500,-/kg, tetapi itupun tidak tentu, tergantung dari musim ternak, atau ada tidaknya peternak ayam yang ingin membelinya. Di penggilingan padi juga selain mempunyai fasilitas seperti bangunan giling, lantai jemur, mesin giling (huller), mesin sosoh (polisher), dan motor penggerak. Penggilingan juga mempunyai fasilitas penunjang lainnya, diantaranya timbangan duduk (merk : Nam Wo Batavia) dan alat penangkut karung beras. Timbangan duduk ini berguna sekali untuk mengetahui berat gabah yang akan digiling dan berat beras yang dihasilkan. Alat pengangkut karung beras berfungsi untuk mengangkut karung dengan prinsip mendorong alat tersebut, agar mempermudah dalam memindahkan karung beras tanpa menggunakan banyak tenaga.
(a) Timbangan duduk Merk : Nam Wo Batavia
(b) Alat pengangkut karung beras
Gambar 8. Fasilitas penunjang penggilingan Musim tanam di Desa Cihideung Ilir tidak tentu, umumnya petani menanam padi 2-3 musim dalam setahun dan digilir dengan menanam tanaman palawija. Biasanya padi yang dijemur tidak semuanya digiling, karena sebagian disimpan dan digiling jika perlu. Penggilingan beroperasi selama 6 (enam) bulan selama 1 (tahun) dengan perkiraan hari kerja 26 hari dalam satu bulan . Pada saat penelitian, jumlah panen yang tinggi biasanya pada musim panen diantaranya bulan Juli, Agustus, dan mendekati lebaran karena masyarakat sekitar membutuhkan beras untuk zakat dan persiapan lebaran karena harga kebutuhan bahan pokok, khususnya beras meningkat harganya menjelang lebaran. Jadi masyarakat mempersiapkan gabah yang telah disimpan sebelumnya untuk digiling menjelang lebaran karena harganya lebih terjangkau masyarakat. Jenis padi yang biasanya digiling di penggilingan ini yaitu Ciherang dan IR 64.
29
B. Performansi Teknis Mesin Penggilingan Padi Performansi teknis mesin penggilingan padi yang diukur pada penelitian ini adalah rendemen penggilingan, kapasitas giling, dan pemakaian bahan bakar. Pengamatan dilakukan untuk huller dan polisher yang digerakkan oleh 1 (satu) motor diesel. Kapasitas huller dilihat dari jumlah gabah yang dapat digiling per jamnya dan kapasitas polisher dilihat dari jumlah beras yang dihasilkan per jamnya
Nilai
Maksimum Rata-Rata Minimum
Tabel 6. Performansi teknis mesin penggilingan padi Pemakaian Kapasitas Kapasitas Bahan Bakar Huller Polisher Huller+Polisher (kg GKG/jam) (kg Beras/jam) (liter/jam) 203.78 220.69 1.27 196.85 201.52 1.16 186.74 190.50 1.05
Rendemen Giling % 67.04 59.44 52.29
Dari pengamatan di penggilingan dapat diketahui faktor-faktor yang menentukan besarnya kapasitas yaitu kondisi gabah yang digiling, kondisi mesin, dan keterampilan operator. Kondisi gabah yang digiling berpengaruh pada kapasitas penggilingan karena apabila gabah yang digiling kadar airnya belum optimal, maka proses penggilingan akan dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan beras pecah kulit dan beras sosoh yang baik. Pengulangan proses tersebut akan membutuhkan waktu yang lebih banyak dan otomatis membutuhkan bahan bakar yang lebih banyak pula. Kondisi mesin juga menyebabkan rendahnya kapasitas giling pada usaha penggilingan padi ini, makin tua kondisi mesin, maka akan menyebabkan semakin rendah kapasitas penggilingannya. Keterampilan operator juga berpengaruh dalam menentukan besar kecilnya kapasitas karena semakin terampil operator, maka semakin besar kapasitas penggilingan, dan sebaliknya, jika operator kurang terampil maka akan menyebabkan menurunnya kapasitas penggilingan. Dari Tabel 6 di atas dan data giling harian (Lampiran 1), nilai konsumsi bahan bakar juga dapat dianalisis. Sesuai dengan pengamatan yang dilakukan berulang-ulang, konsumsi bahan bakar tersebut termasuk boros, karena pemakaian bahan bakar maksimum tidak terjadi saat kapasitas huller dan kapasitas polisher mempunyai nilai maksimum. Dari Tabel 6 di atas juga dapat dilihat, rendemen giling rata-rata yang dihasilkan pada unit penggilingan tersebut adalah 59.44%, dimana nilai rendemen maksimum adalah 67.04% dan nilai rendemen minimum adalah 52.29%. Nilai rendemen maksimum tersebut sangat jarang terjadi. Nilai rendemen tersebut terdiri dari beras kepala, beras patah, dan menir. Jika menir tidak dimasukkan dalam perhitungan rendemen, maka nilai rendemen giling yang dihasilkan akan lebih rendah lagi. Rendahnya rendemen giling tersebut dipengaruhi oleh keadaan mesin-mesin yang tidak dapat lagi bekerja secara maksimal, varietas padi yang digiling, dan berpengaruhnya kondisi gabah yang akan digiling (kadar air, kemurnian gabah, dan sebagainya). Susut (losses) penggilingan terjadi pada huller dan polisher. Pada huller, banyak gabah yang belum terkupas kulitnya ikut terbuang bersama sekam dan gabah muda yang disebabkan kerja blower dan rubber roll husker yang tidak maksimal. Pada polisher, sistem one pass yang diterapkan menyebabkan beras pecah kulit yang disosoh dipaksa untuk mejadi beras putih (beras slyp), sehingga beras yang dihasilkan banyak mengandung beras patah dan menir. Dari Tabel 6, mesin huller mampu menggiling gabah dengan kapasitas giling rata-rata gabah sebesar 195.95 kg gabah/jam dan kapasitas giling rata-rata polisher sebesar 201.52 kg beras/jam, sehingga menurut sistem penggilingan padi, penggilingan ini tergolong dalam penggilingan padi kecil
30
(PPK) sederhana karena mempunyai kapasitas giling lebih kecil dari 2 (dua) ton per jam, selain itu disebut tipe sederhana karena hanya melalui proses pecah kulit, proses pemisahan gabah dengan beras pecah kulit secara sederhana, dan proses pemutihan beras pecah kulit.
C. Performansi Ekonomi Mesin Penggilingan Padi Berdasarkan data teknis dari pengamatan harian yang dilakukan dan survey di Kecamatan Ciampea, maka analisis ekonomi dari sistem penggilingan padi dapat di bahas sebagai berikut :
1. Biaya Penggilingan Suatu usaha bertujuan untuk memperoleh suatu keuntungan. Keuntungan diperoleh dari selisih pendapatan dan biaya yang dikeluarkan. Agar dapat memperoleh biaya produksi, maka dilakukan suatu analisis biaya dari proses produksi, sehingga didapat biaya pokok, yaitu biaya produksi persatuan output produksi. Biaya pokok diperoleh dengan menjumlahkan biaya tetap dengan biaya tidak tetap. Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa biaya tetap adalah jenis-jenis biaya yang selama satu periode akan tetap jumlahnya. Biaya tetap sering juga disebut biaya kepemilikan (owning cost) yaitu biaya yang selama satu periode kerja, jumlah biayanya tetap dan tidak tergantung dari produk yang dihasilkan. Unsur biaya tetap di penggilingan padi ini yaitu penyusutan, bunga modal, dan pajak. Biaya tidak tetap adalah biaya yang besar dan kecilnya tergantung dari produk yang dihasilkan untuk pemakaian alat atau mesin produksi. Untuk mesin penggilingan padi, biaya tidak tetap diantaranya biaya perbaikan dan penggantian suku cadang untuk huller, polisher dan motor penggerak, biaya bahan bakar (solar), biaya perbaikan dan perawatan motor penggerak, biaya pelumas, upah montir, upah tenaga kerja. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Mesin penggilingan (huller, polisher, dan 1 motor penggerak) di beli seharga Rp 14,700,000,-. Unit penggilingan terdiri dari 1 unit huller, 1 unit polisher, dan 1 motor penggerak yaitu motor diesel KUBOTA 22 PK untuk menggerakkan huller (merk RM tipe LM24-2C(H)) dan polisher (merk ICHI tipe N-70). Motor penggerak menggunakan bahan bakar solar yang pada saat penelitian harga solar Rp 4500,-/liter. Untuk menjaga mesin agar tidak slip, maka diperlukan pelumas. Total pemakaian pelumas per bulan untuk huller, polisher, dan motor penggerak sekitar 8.5 liter/bulan, harga pelumas yang dipakai Rp 20,000,-/liter. Rubber roll pada huller perlu diganti untuk menjaga hasil, efektivitas dalam proses pemecahan kulit, sistem penggantian rol yaitu pada saat rol utama aus sehingga posisi rol utama ditukar dengan rol pembantu, dan pada saat sudah aus semua, maka rubber roll diganti dengan yang baru. Rubber rol diganti satu kali per 35 ton gabah yang digiling, dengan harga satu set rubber roll sebesar Rp 180,000,-/set. Sedangkan pada polisher, komponen yang secara periodik perlu diganti yaitu ayakan polisher karena sangat berpengaruh untuk kualitas ayakan. Polisher diganti satu kali per 30 ton gabah yang digiling, dengan harga ayakan polisher yaitu Rp 80,000,/set. Penggantian untuk suku cadang yang lain, misal as besi dan puli penggerak diperkirakan diganti setiap 35 ton gabah yang digiling, dimana sekali penggantian membutuhkan biaya Rp 250,000,-. Untuk perbaikan dan perawatan motor penggerak dilakukan setiap dua kali dalam setahun dengan perkiraan biaya Rp 250,000,-/perbaikan, dan membutuhkan montir untuk memperbaiki bagian mesin yang sulit dan rumit untuk diperbaiki sendiri, maka dalam setahun membutuhkan dua kali perbaikan oleh montir dengan upah montir Rp 50,000,-/perbaikan. Dalam
31
melaksanakan penggilingan pada hari kerja, dalam mempertimbangkan aspek efektivitas dan dapat mempercepat dalam operasional penggilingan, maka pemilik usaha penggilingan padi ini menggunakan dua operator, dengan upah harian Rp 25,000,-/orang/hari kerja atau Rp 650,000,/orang/26 hari kerja untuk 1 (satu) bulan. Sebenarnya jika mengunakan standar upah minimum regional (UMR) masih kurang layak, karena upah minimum kabupaten bogor pada tahun 2010 sebesar Rp 987.000,- untuk tahun 2011 UMR meningkat menjadi Rp 1.056.914,-, sehingga perlu dilakukan kenaikan upah bagi operator penggilingan yang sesuai dengan kondisi yang ada. Perkiraan jumlah gabah yang digiling, diperkirakan berdasarkan jumlah panen dan petani yang menggiling padinya ke penggilingan ini selama satu tahun. Dari data teknis rata-rata menggiling padi per hari 356.75 kg/hari kerja, dengan rata-rata hari kerja 26 hari, penggilihan hanya beroperasi selama 5 (lima) bulan atau 130 hari kerja selama 1 (satu) tahun yaitu pada waktu musim panen padi dan menjelang hari raya lebaran, maka dalam 1 (satu) tahun penggilingan mampu menggiling sebanyak 46,378 kg GKG/tahun atau 46.38 ton GKG/tahun atau dengan rata-rata giling sebesar 9.27 ton GKG/bulan. a. Biaya pokok penggilingan Biaya pokok penggilingan (Rp/kg gabah) dapat dianalisis dari komponen biaya tetap (Rp/tahun) dan biaya tidak tetap (Rp/jam), kapasitas perontokan (kg/jam) dan jam kerja ratarata per tahun (jam/tahun). Dari hasil perhitungan diperoleh biaya pokok untuk setiap kilogram GKG yang digiling adalah sebesar Rp 189,-/kg GKG atau Rp 318,-/kg beras yang dihasilkan. Untuk biaya pokok penggilingan Rp 318,-/kg beras dicari dengan menggunakan patokan rendemen giling rata-rata sebesar 59.44% atau 100 kg GKG menghasilkan 59.44 kg beras. Dalam penentuan biaya pokok sebaiknya disesuaikan dengan rendemen giling yang ada supaya petani yang mempunyai rendemen giling yang rendah tidak dirugikan dalam hal pemberian upah jasa giling. (Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4). Semakin tinggi jumlah giling, maka semakin rendah biaya pokok penggilingan padi. Untuk mendapatkan keuntungan maksimal, biaya pokok harus diusahakan serendah mungkin (Pramudya dan Dewi, 1992). Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengusahakan volume giling untuk mesin penggilingan padi semaksimal mungkin dalam setahun, sehingga mesin tersebut mencapai jam kerja yang tinggi. b. Upah jasa giling Upah jasa giling yang diterapkan di penggilingan ini dibayar dengan menggunakan perbandingan 10 : 1. Maksudnya adalah untuk 10 kilogram beras yang dihasilkan, maka upah jasa giling adalah 1 kilogram beras. Jika diuangkan dengan harga beras Rp 6000,-/kg, maka diperoleh harga giling per kilogram beras yaitu Rp 600,-/kg beras. Jika harga giling dikonversi ke satuan gabah dengan rendemen giling rata-rata adalah 59.44% maka 10 kg beras dihasilkan dari 16.82 kg gabah. Jika diuangkan dengan harga minimum gabah kering giling (GKG) Rp 2800,-/kg GKG maka upah jasa giling adalah Rp 357,-/ kg GKG (Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3). Ditinjau dari biaya pokok yang diperoleh, maka usaha penggilingan ini telah dijalankan dengan tepat, karena upah penggilingan yang dikenakan pada setiap gabah yang digiling lebih tinggi dari pada biaya pokok.
32
2. Analisis Titik Impas (Break Event Point) Analisis titik impas digunakan untuk mengetahui hari kerja dan jumlah giling minimum setiap tahun agar usaha penggilingan padi ini tidak mengalami kerugian. Komponen-komponen analisis titik impas dalam usaha penggilingan padi ini adalah biaya tetap (Rp/tahun), biaya tidak tetap (Rp/jam) dan upah penggilingan. Setelah dilakukan perhitungan (Lampiran 4), dengan jumlah giling tahunan 46.38 ton GKG/tahun, maka diperoleh volume giling pada titik impas untuk usaha penggilingan padi, yaitu sebesar 38,504.75 kg GKG/tahun atau 38.50 ton GKG/tahun atau dengan jam kerja 195.60 jam/tahun pada titik impas. Jika dilihat dari jumlah giling dari penggilingan ini yaitu sebesar 46.38 ton GKG/tahun, maka usaha penggilingan padi ini layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan karena volume giling per tahun pada usaha penggilingan padi ini lebih besar dari volume giling yang ada pada titik impas. Jadi dapat dikatakan, usaha penggilingan padi tersebut harus menggiling padi dengan volume giling minimal pada titik impas yaitu 38.50 ton GKG/tahun agar usaha penggilingan tidak mengalami kerugian.
3. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penggilingan Padi Perhitungan analisis finansial dilakukan dengan tiga macam analisis, yaitu : 1. Net Present Value (NPV) 2. Internal Rate of Return (IRR) 3. B/C Ratio Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan pada analisis biaya, upah untuk penggilingan, jam kerja per tahun dan jumlah gabah yang digiling per tahun pada tingkat bunga sebesar 15%/tahun. Setelah dilakukan perhitungan (lampiran 19), maka diperoleh nilai NPV sebesar Rp14,447,356,-, nilai IRR sebesar 27.03 % dan B/C ratio 1.68. Jadi dapat diketahui bahwa usaha penggilingan padi ini dari segi finansial layak dengan jumlah giling 46.38 ton GKG/tahun. Hal ini disebabkan karena nilai NPV, IRR, dan B/C ratio memenuhi syarat kelayakan, yaitu nilai NPV lebih besar dari 0 (nol), nilai IRR lebih besar dari discount rate yang berlaku (15%), dan B/C ratio yang lebih besar dari 1 (satu).
4. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas pada usaha penggilingan padi dilakukan untuk mempelajari kemungkinan bila terjadi perubahan pada salah satu atau lebih komponen biaya. Sebelum dilakukan analisis sensitivitas, perlu ditentukan terlebih dahulu variabel kritis yang diperkirakan dapat dengan cepat berubah karena pengaruh dari keadaan sosial, politik, dan ekonomi saat itu dan dapat mengakibatkan perubahan biaya serta timbulnya resiko pada usaha. Untuk penelitian ini, variabel kritis yang dipilih untuk dimasukkan dalam perhitungan analisis sensitivitas adalah harga solar, upah tenaga kerja, dan jumlah giling tahunan. Dari situasi yang terjadi selama ini, harga bahan bakar minyak (BBM) selalu saja mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan berkurangnya cadangan minyak di dunia karena minyak merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, dan keberadaannya semakin hari semakin berkurang, sehingga mempengaruhi harga minyak di pasaran internasional. Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor minyak, sehingga perubahan harga minyak dunia juga
33
sengat mempengaruhi sektor perekonomian. Kenaikan harga BBM di pasaran juga menyebabkan naiknya harga-harga kebutuhan sehari-hari, termasuk upah tenaga kerja. Perubahan harga kedua komponen tersebut dapat berpengaruh terhadap biaya operasional penggilingan. Karena itu dilakukan analisis sensitivitas untuk memperkirakan perubahan biaya dan resiko apa saja yang terjadi. Selain harga bahan bakar dan kenaikan upah tenaga kerja, jumlah giling tahunan juga dapat mempengaruhi kelayakan suatu usaha penggilingan. Jumlah giling tahunan yang tinggi akan memperkecil biaya pokok, sehingga keuntungan yang diperoleh akan lebih besar, dan begitu juga sebaliknya. Tabel 7. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 10% dan upah tenaga kerja dengan NPV Kenaikan Harga Solar Kenaikan Upah NPV (%) (%) (Rp) 10 10 8,909,603 10 20 4,471,847 10 30 373,829 10 40 -3,894,058 Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa apabila terjadi kenaikan harga solar sebesar 10% (dari harga normal solar yang berlaku Rp 4,500,-) dan diikuti dengan kenaikan upah hingga 40% (dari upah normal yang berlaku Rp 25,000,-/orang/hari kerja), maka akan mempengaruhi usaha penggilingan tersebut. Pada saat kenaikan harga solar 10% dan diikuti dengan kenaikan upah dari 10%, 20%, dan 30%, maka NPV yang dihasilkan masih positif dan bila kenaikan upah mencapai 40%, maka usaha penggilingan padi ini menjadi tidak layak karena NPV bernilai negatif. Tabel 8. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 10% dan upah tenaga kerja dengan IRR Kenaikan Harga Solar (%)
Kenaikan Upah (%)
IRR (%)
10 10 10 10
10 20 30 40
22.67 19.01 15.41 11.88
Pada Tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa kenaikan harga solar 10% dapat mempengaruhi nilai IRR. Pada saat kenaikan upah dari 10% hingga 30% maka didapat nilai IRR yang menunjukkan usaha layak untuk dijalankan karena nilai IRR tidak kurang dari suku bunga yang berlaku, yaitu 15%. Sedangkan pada saat kenaikan harga solar 10% dengan kenaikan upah 40%, maka didapatkan IRR sebesar 11.88% yang kurang dari tingkat suku bunga yang berlaku (15%), dengan demikian usaha penggilingan padi menjadi tidak layak.
34
Tabel 9. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 10% dan upah tenaga kerja dengan B/C Ratio Kenaikan Harga Solar Kenaikan Upah B/C (%) (%) Ratio 10 10 1.42 10 20 1.21 10 30 1.02 10 40 0.82 Pada Tabel 9 dapat diketahui pada saat kenaikan harga solar sebesar 10% dengan kenaikan upah 10%, 20%, dan 30% dapat diketahui usaha penggilingan padi masih layak untuk dijalankan. Sedangkan pada saat kenaikan upah mencapai 40% didapat B/C Ratio yang nilainya kurang dari 1 (satu), sehingga pada saat kenaikan upah mencapai 40% usaha penggilingan padi menjadi tidak layak. Tabel 10.
Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 10% dan upah tenaga kerja denganNPV, IRR, dan B/C Ratio. Kenaikan Harga Solar Kenaikan Upah NPV IRR B/C (%) (%) (Rp) (%) Ratio 10 10 8,909,603 22.67 1.42 10 20 4,471,847 19.01 1.21 10 30 373,829 15.41 1.02 10 40 -3,894,058 11.88 0.82
Tabel 10 di atas merupakan gabungan dari hasil analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap kenaikan bahan bakar solar sebesar 10% dari harga yang berlaku (harga solar yang dipakai Rp 4,500/liter) dengan kenaikan upah giling 10%, 20%, 30%, dan 40%, dari upah normal (upah Rp 25,000/orang/hari) dan dihasilkan nilai NPV, IRR, dan B/C Ratio seperti pada Tabel 10, hasil perhitungannya dapat juga dilihat pada Lampiran 20-23. Tabel 11. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 20% dan upah tenaga kerja dengan NPV KenaikanHarga Solar Kenaikan Upah NPV (%) (%) (Rp) 20 10 7,639,735 20 20 3,371,849 20 30 -896,038 20 40 -5,163,925 Selanjutnya kita lakukan analisis sensitivitas dengan kenaikan harga solar 20% (dari harga normal solar yang berlaku Rp 4,500,-) dengan kenaikan upah 10%, 20%, 30%, 40% (dari upah normal yang berlaku Rp 25,000,-/orang/hari kerja). Dari Tabel 11 di atas, dapat kita lihat bahwa jika terjadi kenaikan harga solar 20% dari harga normal, dengan diikuti kenaikan upah 10% dan 20%, maka NPV masih positif atau usaha penggilingan padi masih layak untuk dijalankan, tetapi pada saat kenaikan upah 30% dan 40% didapatkan NPV negatif sehingga usaha penggilingan padi menjadi tidak layak untuk dijalankan.
35
Tabel 12. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 20% dan upah tenaga kerja dengan IRR Kenaikan Harga Solar Kenaikan Upah IRR (%) (%) (%) 20 10 21.60 20 20 18.17 20 30 14.32 20 40 10.45 Pada Tabel 12, dapat dilihat nilai IRR pada saat kenaikan harga solar 20% dengan diikuti kenaikan upah 10% dan 20%, nilai IRR masih diatas nilai suku bunga yang berlaku (15%), sehingga usaha penggilingan padi masih layak untuk dijalankan. Pada saat kenaikan upah mencapai 30% dan 40% yang mengakibatkan nilai IRR di bawah nilai suku bunga, maka usaha menjadi tidak layak untuk dijalankan. Tabel 13. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 20% dan upah tenaga kerja dengan B/C Ratio Kenaikan Harga Solar Kenaikan Upah B/C Ratio (%) (%) 20 10 1.36 20 20 1.16 20 30 0.96 20 40 0.76 Dari tabel di atas dengan kenaikan harga solar 20%, usaha penggilingan padi masih layak jika mengalami kenaikan upah dari 10% dan 20%, karena nilai B/C Ratio > 1, sedangkan usaha penggilingan padi menjadi tidak layak jika mengalami kenaikan upah sebesar 30% dan 40%. Tabel 14. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 20% dan upah tenaga kerja dengan NPV, IRR, dan B/C Ratio Kenaikan Harga Solar Kenaikan Upah NPV IRR B/C Ratio (%) (%) (Rp) (%) 20 10 7,639,735 21.60 1.36 20 20 3,371,849 18.17 1.16 20 30 -896,038 14.32 0.96 20 40 -5,163,925 10.45 0.76 Tabel 14 di atas merupakan gabungan dari Tabel 11,12, dan 13. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga bahan bakar solar sebesar 20% dengan harga yang berlaku Rp 4,500/liter, dengan kenaikan upah giling 10%, 20%, 30%, dan 40% dari upah normal Rp 25,000/orang/hari. Hasil perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan 20% harga bahan bakar solar dapat dilihat pada Lampiran 24-27.
36
Tabel 15. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 30% dan upah tenaga kerja dengan NPV Kenaikan Kenaikan Harga Solar NPV Upah (%) (Rp) (%) 30 10 6,369,868 30 20 2,134,720 30 30 -2,165,905 30 40 -6,433,792 Pada Tabel 15 di atas perubahan variabel kritis yaitu kenaikan harga solar dan kenaikan upah bisa dilihat bahwa dengan kenaikan solar 30% (dari harga normal solar yang berlaku Rp 4,500,-) dan diikuti dengan kenaikan upah 30% dan 40% (dari upah normal yang berlaku Rp 25,000,-/orang/hari kerja) dapat mempengaruhi kelayakan pada usaha penggilingan padi ini. Pada saat kenaikan upah 10% dan 20%, usaha penggilingan padi masih layak untuk dijalankan karena NPV masih positif, sedangkan pada saat mengalami kenaikan upah sebesar 30% dan 40% usaha penggilingan padi menjadi tidak layak untuk dijalankan karena NPV negatif. Tabel 16. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 30% dan upah tenaga kerja dengan IRR Kenaikan Harga Solar Kenaikan Upah IRR (%) (%) (%) 30 10 20.43 30 20 17.13 30 30 13.22 30 40 9.39 Pada Tabel 16, dengan kenaikan harga solar 30% mengakibatkan pada saat kenaikan upah 10% dan 20% menghasilkan nilai IRR yang lebih besar dari pada suku bunga yang ditetapkan (15%) sehingga usaha penggilingan padi layak untuk dijalankan. Hal ini berbeda pada saat kenaikan upah mencapai 30% dan 40% yang menyebabkan nilai IRR yang lebih kecil dari tingkat suku bunga yang ditetapkan (15%) yang mengakibatkan usaha penggilingan padi menjadi tidak layak untuk dijalankan. Tabel 17. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 30% dan upah tenaga kerja dengan B/C Ratio Kenaikan Harga Solar Kenaikan Upah B/C Ratio (%) (%) 30 10 1.30 30 20 1.10 30 30 0.90 30 40 0.70 Pada tabel 17, menunjukkan nilai B/C Ratio yang dihasilkan. Dengan kenaikan harga solar 30% dengan kenaikan upah 10% dan 20% akan menyebabkan usaha penggilingan padi
37
menjadi layak untuk dijalankan karena B/C Ratio > 1, sedangkan kenaikan upah 30% dan 40% menyebabkan usaha penggilingan padi tidak layak untuk dijalankan karena B/C Ratio < 1. Tabel 18. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 30% dan upah tenaga kerja dengan NPV, IRR, dan B/C Ratio Kenaikan Harga Kenaikan Upah NPV IRR B/C Solar (%) (Rp) (%) Ratio (%) 30 10 6,369,868 20.43 1.30 30 20 2,134,720 17.13 1.10 30 30 -2,165,905 13.22 0.90 30 40 -6,433,792 9.39 0.70 Tabel 18 merupakan gabungan dari Tabel 15, 16, dan 17. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 28-31. Jadi, kenaikan harga solar dengan diikuti kenaikan upah tenaga kerja dapat menaikkan biaya operasional usaha penggilingan padi, sehingga keuntungan yang didapat juga berkurang. Kenaikan harga yang tinggi juga dapat menyebabkan usaha penggilingan padi tersebut menjadi tidak layak.
10
NPV (Juta Rp)
5 Kenaikan Harga Solar 10% 0 10
20
30
Kenaikan Harga Solar 20% Kenaikan Harga Solar 30%
-5
-10
40
Kenaikan Upah (%)
Gambar 9. Grafik perbandingan antara kenaikan harga solar dan upah dengan NPV
38
25
IRR (%)
20 15
Kenaikan Harga Solar 10%
10
Kenaikan Harga Solar 20%
5
Kenaikan Harga Solar 30%
0 10
20
30
40
Kenaikan Upah (%)
B/C Ratio
Gambar 10. Grafik perbandingan antara kenaikan harga solar dan upah dengan IRR
3.0 2.8 2.6 2.4 2.2 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
Kenaikan Harga Solar 10% Kenaikan Harga Solar 20% Kenaikan Harga Solar 30%
10
20
30
40
Kenaikan Upah (%)
Gambar 11. Grafik perbandingan antara kenaikan harga solar dan upah dengan B/C Ratio Dari grafik pada Gambar 9, 10, dan 11 terlihat grafik linier untuk berbagai perubahan variabel kritis yaitu kenaikan harga solar 10%, 20%, dan 30% dengan diikuti nilai masing-masing untuk NPV, IRR, dan B/C Ratio. Dari ketiga grafik dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai variabel kritis yang berubah yaitu bahan bakar solar dan upah tenaga kerja, akan mengakibatkan semakin kecil nilai NPV, IRR, dan B/C Ratio yang didapatkan. Selain analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan upah juga dilakukan analisis sensitivitas untuk perubahan jumlah giling tahunan. Penurunan jumlah giling tahunan mungkin dapat disebabkan karena gagal panen, warga lebih memilih bertanam palawija, tumbuhnya usaha penggilingan lain, dan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk. Untuk analisis sensitivitas, dilakukan untuk penurunan jumlah giling tahunan sebesar 10% dan 20%.
39
Tabel 19. Analisis sensitivitas terhadap penurunan jumlah giling tahunan dengan NPV Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%) 0 10 20
NPV (Rp) 14,447,356 3,576,215 -7,294,927
Tabel 19 di atas menunjukkan bahwa penurunan jumlah giling tahunan mempengaruhi nilai NPV yang dihasilkan. Dengan penurunan jumlah giling tahunan 10% (dari jumlah giling tahunan sebesar 46,378 kg GKG/tahun atau 46.38 (ton GKG/tahun) usaha penggilingan padi masih layak untuk dijalankan karena NPV positif, sedangkan jika penurunan jumlah giling tahunan menjadi 20% terlihat bahwa NPV negatif, sehingga pada saat penurunan jumlah giling tahunan sebesar 20% akan menyebabkan usaha penggilingan padi menjadi tidak layak untuk dijalankan. Tabel 20. Analisis sensitivitas terhadap penurunan jumlah giling tahunan dengan IRR Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%) 0 10 20
IRR (%) 27.03 18.33 9.94
Pada Tabel 20, menunjukkan bahwa pada saat penurunan jumlah giling tahunan usaha penggilingan padi sebesar 10% (dari jumlah giling tahunan sebesar 46,378 kg GKG/tahun atau 46.38 ton GKG/tahun) menujukkan usaha penggilihan padi masih layak untuk dijalankan karena nilai IRR masih lebih besar dari nilai suku bunga yang ditetapkan yaitu (15%), sedangkan pada saat penurunan jumlah giling tahunan mencapai 20% mengakibatkan usaha penggilingan padi menjadi tidak layak untuk dijalankan karena nilai IRR lebih kecil dari nilai suku bunga yang ditetapkan. Tabel 21. Analisis sensitivitas terhadap penurunan jumlah giling tahunan dengan B/C Ratio Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%) 0 10 20
B/C Ratio 1.68 1.17 0.66
Untuk Tabel 21 menjelaskan pada saat penurunan jumlah giling tahunan 0% dan 10% usaha penggilingan padi masih layak untuk dijalankan karena nilai B/C Ratio > 1. Sedangkan pada saat penurunan jumlah giling tahunan 20% membuat usaha penggilingan padi menjadi tidak layak karena tidak memenuhi syarat kelayakan.
40
Tabel 22. Analisis sensitivitas terhadap penurunan jumlah giling tahunan dengan NPV, IRR, dan B/C Ratio Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%) 0 10 20
NPV (Rp)
IRR (%)
B/C Ratio
14,447,356 3,576,215 -7,294,927
27.03 18.33 9.94
1.68 1.17 0.66
Pada Tabel 22 merupakan gabungan dari Tabel 19, 20, dan 21. Dapat kita lihat bahwa penurunan jumlah giling tahunan akan mempengaruhi kelayakan dari usaha penggilingan padi. Pada saat penurunan jumlah giling mencapai 10 % usaha penggilingan padi masih layak karena NPV > 0, IRR > discount rate (15%), B/C Ratio > 1, tetapi pada saat penurunan jumlah giling tahunan mencapai 20%, maka usaha penggilingan padi menjadi tidak layak. Hal ini dapat dilihat dari NPV, IRR, dan B/C ratio yang tidak memenuhi syarat kelayakan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 32-33.
20
NPV (Juta Rp)
15
14
10 5
4
0 0
10
20
-5 -7 -10
Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%)
Gambar 12. Grafik hubungan antara penurunan jumlah giling tahunan dengan NPV
30 27.03
IRR (%)
25 20
18.33
15 10
9.94
5 0 0
10
20
Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%)
Gambar 13. Grafik hubungan antara penurunan jumlah giling tahunan dengan IRR
41
4.0 3.5
B/C Ratio
3.0 2.5 2.0 1.68
1.5
1.17
1.0
0.66
0.5 0.0 0
10
20
Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%)
Gambar 14. Grafik hubungan antara penurunan jumlah giling tahunan dengan B/C Ratio Grafik pada Gambar 12, 13, dan 14 terlihat grafik linier untuk perubahan variabel kritis yaitu penurunan jumlah giling tahunan 0%, 10%, dan 20% dengan diikuti nilai masing-masing untuk NPV, IRR, dan B/C Ratio. Dari ketiga grafik dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai variabel kritis yang berubah yaitu penurunan jumlah giling tahunan akan mengakibatkan semakin kecil nilai NPV, IRR, dan B/C Ratio yang didapatkan. Dengan jumlah giling tahunan yang tinggi memiliki tingkat sensitivitas yang rendah terhadap perubahan-perubahan faktor kristis. Hal tersebut dikarenakan dengan jumlah giling yang tinggi, biaya pokok akan rendah dan pemasukan yang diperoleh tinggi, sehingga dapat menutupi biaya operasional yang tinggi.
42