23
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sejarah Perkembangan Kawasan Empang Perkembangan
Kawasan
Empang
tidak
dapat
dipisahkan
dari
perkembangan Kota Bogor itu sendiri. Kawasan Empang sebagai salah satu kampung atau pemukiman awal yang menjadi inti dari pertumbuhan Kota Bogor telah mengalami perubahan besar dan penggunaan lahan yang berbeda-beda sejak masa Kerajaan Pajajaran (1482-1579), masa Kolonial Belanda (1754-1945), dan masa Kemerdekaan (1945-sekarang). Letak kawasan Empang yang strategis karena dekat dengan pusat kota Bogor menyebabkan kawasan ini dipengaruhi oleh perkembangan yang cepat baik secara fisik maupun non fisik.
4.1.1 Periode Kerajaan Pajajaran (1482-1579) Pada masa Kerajaan Pajajaran terhitung sejak tahun 1482-1579, jauh sebelum kawasan Empang menjadi salah satu kawasan pemukiman padat di Kota Bogor, wilayah yang berada di daerah sempit yang diapit oleh Sungai Cisadane dan Sungai Cipakancilan ini menjadi bagian dari pusat pemerintahan sekaligus ibukota Kerajaan Hindu yang cukup berkuasa pada masanya di Jawa Barat. Ibukota kerajaan Pajajaran itu dikenal dengan nama Pakuan.
a) Kondisi Fisik Posisi Pakuan sebagai kota pusat Kerajaan Pajajaran ditandai dengan adanya benteng yang berfungsi sebagai pertahanan dan sekaligus batas kota. Pakuan dikelilingi benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya, sedangkan di bagian selatan batas kota Pakuan berlahan datar dan terdapat benteng kota yang paling besar. Pintu gerbang Pakuan terletak di sisi sebelah Utara dan Selatan. Sebagai ibukota kerajaan, Pakuan dilengkapi oleh berbagai komponen fisik kota yang terletak di dalam dan di luar benteng Pakuan. Kelengkapan kota Pakuan yang berada di dalam benteng meliputi Keraton dan Alun-alun Dalam Kotaraja. Sedangkan kelengkapan di luar benteng kerajaan meliputi Bukit Badigul, Tajur Agung, dan Alun-alun Luar Kotaraja.
24
Berdasarkan berita Cerita Parahiyangan dalam Danasasmita (1983), pada masa pemerintahan Ratu Dewata (1535-1543) seorang pemimpin Pajajaran yang merupakan cucu Prabu Siliwang, dituturkan bahwa “Datang na bencana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung”. Hal ini diartikan bahwa “Datang bencana serangan laskar musuh yang tidak diketahui asalnya. Terjadilah perang di alun-alun”. Cerita Parahiyangan diperkuat oleh laporan hasil ekspedisi Abraham van Riebeck, seorang orientalis Belanda pada tahun 1709. Dalam ekspedisinya, van Riebeck menemukan alun-alun setelah ia melewati Cipakancilan dari arah Panaragan. Ia pun mencatat bahwa terdapat tiga batang pohon beringin yang menjadi salah satu kelengkapan alun-alun tradisional. Alun-alun itu membentang dari tepi Cisadane sampai ke parit yang membentang dari Lolongok sampai ke Cipakancilan. Setelah melewati parit inilah terdapat jalan masuk yang mendaki menuju benteng Kota Pakuan. Denah benteng Kota Pakuan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada masa itu, alun-alun luar berfungsi sebagai medan latihan keprajuritan bagi para laskar Pajajaran. Segala jenis acara keramaian umum di luar protokol keraton juga dilaksanakan di alun-alun ini, sebelum akhirnya alun-alun tersebut menjadi palagan (medan pertempuran) saat melawan laskar Banten yang ingin menguasai wilayah Pajajaran di tahun 1579 (Danasasmita, 1983).
b) Kondisi Sosial Masyarakat Tahun 1521, menurut sensus yang dilakukan oleh petugas Keraton Demak tercatat bahwa penduduk Kerajaan Pajajaran berjumlah 48.271 jiwa (Danasasmita, 1983). Pada masa itu, ibu kota Kerajaan Pajajaran merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Demak apabila dilihat dari jumlah penduduknya. Penduduk Kerajaan Pajajaran menganut agama Hindu. Hal tersebut mengikuti kepercayaan yang dianut oleh raja-raja Pajajaran. Pengaruh agama Hindu mempengaruhi pola tata letak dan pola kehidupan masyarakat Pajajaran pada masa itu. Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama dari perladangan. Namun demikian, Pajajaran juga melakukan kegiatan perdagangan dengan daerah atau negara lain. Diketahui bahwa Pajajaran memiliki enam buah bandar yang
25
cukup ramai dan penting. Salah satu bandar Kerajaan Pajajaran yang terpenting dan terbaik adalah Kalapa yang dapat ditempuh kira-kira dua hari perjalanan dari pusat kota Pajajaran dengan menggunakan kapal atau perahu melalui Sungai Ciliwung.
Gambar 4. Denah Benteng Kerajaan Pajajaran (Sumber : Danasasmita, 1983)
4.1.2
Periode Kolonial Belanda (1754-1945) Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, bekas ibu kota Kerajaan
Pajajaran telah berkembang menjadi sebuah wilayah pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru atau Regentscape Buitenzorg yang menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Bogor terhitung sejak tahun 1754-1872. Karesidenan
26
tersebut merupakan gabungan dari sembilan buah kampung dan dikepalai oleh seorang bupati pribumi yang diberi gelar Demang. Setelah dihapuskannya Karesidenan Kampung Baru oleh pemerintah Kolonial Belanda, kawasan Empang mulai berkembang menjadi konsentrasi pemukiman bagi warga keturunan Arab (1835-1945).
a) Kondisi Fisik Awal perkembangan kawasan Empang sebagai ibu kota kabupaten dimulai sejak bupati Kampung Baru, Demang Wiranata, mengajukan permohonan penyewaan Tanah Sukahati kepada Gubernur Jendral Mossel untuk dijadikan sebagai tempat kediamannya. Semula, pusat pemerintahan yang berada di Tanah Baru merupakan daerah tandus dengan ketersediaan air yang terbatas. Demang Wiranata menilai bahwa Tanah Sukahati merupakan lahan yang subur dengan ketersediaan air yang melimpah serta pemandangan Gunung Salak yang indah. Itulah alasan mengapa kawasan ini diberi nama Sukahati karena dapat membuat hati seseorang menjadi senang apabila berada di kawasan tersebut. Sejak tahun 1754, pusat pemerintahan Kampung Baru resmi berpindah dari Tanah Baru ke Sukahati. Sebuah sketsa yang melukiskan kunjungan Gubernur Jenderal Van der Parra (1761-1775) kepada bupati Kampung Baru di Sukahati memberikan informasi bahwa bila seseorang berdiri di bawah jembatan kereta api sekarang akan tepat berhadapan dengan rumah bupati tersebut (Gambar 5).
Gambar 5. Alun-alun Empang Abad Ke-18 (Sumber : Danasasmita, 1983)
27
Dokumen tanggal 18 Januari 1776 memberitakan bahwa kediaman bupati di Sukahati terletak di sebelah timur Sungai Cisadane dekat dengan muara Sungai Cipakancilan. Rumah sang bupati berdiri pada lahan yang termasuk dalam kawasan rumah Buitenzorg. Hayatullah (dalam Balebat, 2007) menyebutkan bahwa bangunan pendopo yang menjadi kediaman Bupati Kampung Baru merupakan dua bangunan besar yang dihubungkan oleh sebuah galeri dari kayu dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Bangunan pendopo bupati dibatasi oleh : Sebelah Utara
: berupa lapangan luas yang difungsikan sebagai alun-alun kabupaten. Disetiap sisi alun-alun ditanami pohon beringin (Ficus elastica). Diluar pagar alun-alun, terdapat kolam ikan besar (vijver). Masyarakat saat itu menyebut kolam ini dengan nama empang.
Sebelah Timur
: berupa parit besar dan tebing terjal sisa peninggalan benteng alam Kerajaan Pajajaran. Parit tersebut dikenal dengan nama Parit Cibalok. Sementara jalan sempit yang memisahkan tebing dengan parit dikenal dengan nama Lolongok.
Sebelah Selatan
: merupakan kolam yang dibuat disisi sebelah barat Parit Cibalok. Kolam tersebut kemudian dikenal dengan nama Kolam Jaya. Di seberangnya, terdapat rumah bagi penghulu dan para kerabat bupati. Tidak jauh dari sana, lebih ke arah selatan, terdapat Kampung Rawa Balong yang dijadikan tempat interniran (tahanan) yang melawan pemerintah Belanda. Diantara yang ditawan itu adalah Gusti Arsyad atau lebih dikenal dengan nama Ratu Saleh dari Banjarmasin beserta keluarganya. Sampai saat ini, bekas pemukiman para tawanan Belanda diabadikan menjadi nama sebuah gang, yaitu Gang Banjar.
Sebelah Barat
: berupa mushola tempat melakukan ibadah shalat secara bersama-sama. Di belakang mushola sebelah timur
28
Sungai Cisadane terdapat Kampung Kaum sebagai tempat tinggal para petugas masjid (marbot).
Tanggal 28 Oktober 1763 dikeluarkan akte resmi pembentukan Karesidenan Kampung Baru (Regentscape Buitenzorg) yang setingkat dengan kabupaten. Sejak tahun 1770, nama Empang sudah mulai muncul dan masyarakat lebih sering menyebut kawasan ini dengan nama Empang. Sebutan ini berangsurangsur mendesak nama Sukahati. Dokumen tanggal 28 November 1815 secara resmi sudah menyebut kawasan ini dengan nama Empang (Soelaeman, 2004). Kegiatan pemerintahan Kampung Baru berpusat di alun-alun Empang. Konsep alun-alun berkembang sebagai identitas pusat pemerintahan bagi kota-kota di Jawa pada masa Kolonial Belanda (Mustapa, 2010). Pada masa pemerintahan Demang Aria Natanegara (1761-1789) dibangun saluran air dari Empang menuju Kedungbadak yang sangat penting bagi perkembangan pertanian. Demang Aria Natanegara membangun bendungan pada muara Sungai Cipakancilan dan menyalurkan alirannya melalui kanal buatan. Sejak tahun 1775 aliran Sungai Cisadane dipecah menjadi dua dengan Sungai Cipakancilan. Pengalihan aliran air membentuk Empang Pulo. Aliran Sungai Cipakancilan dipecah kembali dengan kanal Cidepit dan selanjutnya aliran air tersebut disalurkan menuju Sungai Ciliwung. Saluran air dan bendungan yang diselesai dibuat tahun 1776 merupakan penerapan teknologi maju pengelolaan air karya bangsa pribumi yang dibangun tanpa campur tangan pemerintah kolonial Belanda (Danasasmita, 1983). Pada awal abad ke-19, belum terdapat bangunan megah berupa masjid yang berada di sebelah barat alun-alun. Dari lukisan karya R. Toelar yang dibuat tanggal 18 April 1847 (Gambar 6), didapat informasi bahwa di wilayah Empang, yang dicirikan oleh Gunung Salak, saat itu baru terdapat bangunan kecil dengan atap berundak yang diidentifikasi sebagai sebuah surau (Iskandar, 2010). Surau tersebut merupakan cikal bakal Masjid Agung Empang yang ada sekarang. Kepindahan pusat pemerintahan Kampung Baru membangkitkan kegiatan perekonomian, sampai terbentuk sebuah pasar di arah utara Empang yang saat ini dikenal dengan nama Pasar Bogor. Keberadaan pasar tersebut menarik minat para
29
pedagang asing untuk ikut berdagang di Buitenzorg. Oleh pemerintah Belanda para pedagang asing dimasukan ke dalam golongan timur asing (vreemde oosterlingen) yang kedudukannya lebih tinggi dari golongan pribumi (inlanders) (de Jonge, 2000).
Gambar 6. Lukisan R. Toelar Tahun 1843 (Sumber : Tropenmuseum, 2010) Perbedaan penggolongan ini bertujuan untuk menjaga agar bangsa pribumi tidak mendapatkan pengaruh berbahaya dari keberadaan bangsa timur asing. Untuk itu, maka pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan yang mengatur pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis. Kebijakan tersebut dikenal dengan wijkenstelsel yang mulai berlaku sejak ditetapkan oleh Gubernur Jendral Belanda J.J Rochussen tahun 1835. Mereka membagi tanah jajahan kedalam tiga zona, yaitu zona satu untuk bangsa Eropa, zona dua untuk bangsa Timur Asing, dan zona tiga untuk bangsa Pribumi (Gambar 7). Kawasan Empang khususnya Pekojan, diperuntukkan bagi orang Arab yang bermukim di Buitenzorg. Para pedagang Arab diharuskan untuk bermukim di dalam Pekojan dan tidak diijinkan keluar kawasan pemukimannya tanpa adanya surat ijin (wijken-en passenstelsen) dari pemerintah Belanda. Sementara bangsa pribumi mendiami bagian selatan Empang dan wilayah lain di pinggiran Buitenzorg.
30
Gambar 7. Pembagian Zona Etnis di Buitenzorg Tahun 1745-1845 (Sumber : Universitas Parahyangan, 1985/86) Pekojan merupakan kawasan dataran rendah berupa lembah di sebelah selatan pemukiman orang Cina dan berbatasan dengan pusat pemerintahan Kampung Baru. Menurut Prof Dr LWC van den Berg yang pernah meneliti perkampungan komunitas Arab pada tahun 1884-1886, sebelum dihuni oleh orang Arab dari Hadramaut, Pekojan lebih dulu menjadi pemukiman bagi orang Benggali yang berasal dari India. Kata Pekojan berasal dari kata koja, sebutan untuk muslim India yang datang dari Benggali. Berdasarkan kesamaan profesi dan kepercayaan, para imigran Arab dan Benggali hidup berdampingan dalam perkampungan yang sama. Dalam perkembangannya jumlah orang Arab semakin banyak jumlahnya. Lama kelamaan Pekojan yang awalnya di huni oleh orang Benggali digantikan oleh orang Arab (van den Berg, 2010).
31
Bersamaan dengan diberlakukannya zona pemukiman di Buitenzorg, pemerintah Belanda juga mengeluarkan peraturan yang melarang mendirikan warung, toko, ataupun pasar di kawasan Empang. Akibat peraturan tersebut, para pedagang Arab menjual barang dagangannya secara berkeliling dari rumah ke rumah. Mereka tidak memiliki toko seperti orang Cina di wilayah pemukimannya (de Jonge, 2000). Tahun 1870, Ratu Belanda mengeluarkan besluit (keputusan) yang menyebutkan bahwa pusat pemerintahan Hindia-Belanda dipindahkan dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor). Dengan adanya keputusan tersebut, tata pemerintahan pun berubah. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1872 Karesidenan Kampung Baru dihapuskan. Sejak itu, banyak dari para kerabat bupati memilih untuk pindah dan bermukin di kawasan luar Empang seperti di Batutulis (Hayatullah, 2007). Masjid Kabupaten dipugar pada tahun 1873 menjadi bangunan permanen berbentuk joglo yang memiliki menara berundak dua tingkat. Dalem Shalawat menghibahkan tanah miliknya untuk menambah lahan masjid, alun-alun, dan lahan untuk pemakaman bagi para bupati dan kerabatnya yang telah wafat. Tanah wakaf tersebut terletak tidak jauh dari pintu air Pulau Empang. Salah satu tokoh agama keturunan Arab bernama Ismail bin Alaydrus, mewakafkan tanahnya untuk membangun masjid baru yang saat ini dikenal dengan nama Masjid At Taqwa, guna menampung jamaah Masjid Kabupaten yang jumlahnya semakin meningkat. Tanah wakaf tersebut terletak 200 M arah utara Masjid Kabupaten. Pada tahun 1915, kebijakan pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis dihapuskan. Perkembangan selanjutnya kawasan Empang menjadi pemukiman bagi keturunan Arab-Sunda serta jalan masuk bagi imigran Arab yang baru datang dari Hadramaut (Gambar 8). Pemukiman orang Arab semakin meluas ke arah yang dahulu menjadi pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru dan menyebar ke daerah lain di sekitar Pekojan, seperti ke Empang Pulo, Kebon Kelapa, Lolongok, dan Bondongan. Orang Arab tinggal di rumah yang bergaya sama dengan rumah pribumi atau bagi mereka yang kaya tinggal di rumah besar atau kecil bergaya villa seperti orang Eropa (van den Berg, 2010).
32
Gambar 8. Perkembangan Pemukiman di Buitenzorg Tahun 1845-1945 (Sumber : Universitas Parahyangan, 1985/86) Penyebaran agama Islam di Empang sangat kuat. Salah satu tokoh penting yang memiliki pengaruh dalam penyebaran Agama Islam adalah Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas. Beliau membangun masjid di atas tanah rawa dan berjarak 100 M ke arah timur Masjid Kabupaten. Bangunan masjid memiliki gaya arsitektur khas karena mengadopsi bentuk masjid yang ada di Yaman. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama Masjid An Nur. Setelah Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas wafat pada tanggal 29 Djulhijjah 1351 H, dibangun cungkup di sebelah barat masjid. Di dalam cungkup tersebut terdapat tujuh makam yang merupakan makam dari Habib Abdullah bin Moekhsin al-Attas, lima orang putranya, dan seorang murid kesayangan beliau.
33
Keberadaan makam Habib Abdullah bin Moehsin al-Attas menarik banyak peziarah dari luar Buitenzorg berdatangan ke kawasan Empang. Perkembangan kawasan Empang sejak awal abad ke-20 sampai dengan akhir masa pemerintahan Belanda dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.
b) Kondisi Sosial Masyarakat Sampai dengan awal abad ke-20, keberadaan komunitas Arab walaupun dalam jumlah sedikit membentuk komunitas khas yang berbeda dengan komunitas lainnya di Buitenzorg. Orang Arab menjalin hubungan baik dengan pemerintahan Kampung Baru. Mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan kehidupan orang pribumi dan menyatukan diri dengan lingkungan sekitarnya. Dalam komunitas Arab, terdapat dua golongan masyarakat yang dibedakan berdasarkan statusnya, yaitu golongan sayyid dan golongan nonsayyid. Golongan sayyid adalah golongan yang memiliki kekerabatan dengan Nabi Muhammad SAW dari keturunan al-Husein. Orang Arab yang masuk dalam golongan sayyid tidak berprofesi sebagai pedagang ataupun petani. Mereka aktif berperan dalam penyebaran Agama Islam dan bergelar Habib (untuk laki-laki) dan Hababah (untuk perempuan). Kata sayyid digunakan sebagai keterangan pada nama seorang Arab dan bukan merupakan sebuah gelar (van den Berg, 2010). Salah satu tokoh penting dari golongan sayyid yang memiliki pengaruh dalam penyebaran Agama Islam di Empang adalah Habib Abdullah bin Mukhsin alAttas. Jamiatul Khair merupakan perhimpunan bagi golongan sayyid yang terbentuk sejak tahun 1905. Orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang umumnya merupakan golongan non-sayyid. Di bidang perdagangan, komoditas barang dagangan mereka yang utama adalah bahan pakaian, seperti kain katun impor dan batik. Komoditas lainnya yang mereka jual adalan bahan bangunan/material, furniture, batu berharga, parfum, barang-barang dari kulit hewan, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari (de Jonge, 2000). Golongan non-sayyid berhimpun dalam organisasi Al Irsyad. Sejak tahun 1915, perhimpunan Al Irsyad cabang Bogor sudah melaksanakan aktivitas sosial dan dakwah (Batarfie, 2003).
34
Gambar 9. Peta Kawasan Empang Tahun 1900
35
Gambar 10. Peta Kawasan Empang Tahun 1920
36
Kebijakan pemerintah Belanda yang memberlakukan zona pemukiman (wijkenstelsel) dan surat ijin keluar kawasan pemukimannya (passen-stelsel) membatasi ruang gerak orang Arab. Pengurusan surat ijin dilakukan oleh kepala kelompok komunitas Arab berpangkat Kapiten yang bertanggung jawab langsung kepada
Gubernur
Jendral
Belanda.
Kebijakan
tersebut
menghambat
perkembangan bisnis para pedagang Arab. Pada tahun 1885, dilakukan sensus khusus dan rinci oleh pemerintah Belanda pada setiap Karesidenan tempat bermukim orang Arab di Jawa dan Madura. Saat itu, wilayah Buitenzorg secara administratif masih berada di bawah pemerintahan karesidenan Batavia. Sehingga sensus yang dilakukan pada tahun 1859, 1870, dan 1885 merupakan jumlah dari Karesidenan Batavia yang meliputi wilayah Batavia (sekarang Jakarta), Mr. Cornelis (sekarang Jatinegara), Buitenzorg (sekarang Bogor), dan Tanggerang (Tabel 5).
Tabel 5. Jumlah Orang Arab di Batavia Tahun 1859-1885 No. Tahun Jumlah Orang Arab 1. 1859 312 jiwa 2. 1870 952 jiwa 3. 1885 1662 jiwa Sumber : van den Berg (2010)
Dari sensus tahun 1885, didapat data yang lebih terperinci. Diketahui bahwa jumlah orang Arab yang bermukim di Karesidenan Buitenzorg sebesar 97 jiwa. Orang Arab yang lahir di Arab berjumlah 31 jiwa dan semuanya adalah lakilaki. Sementara orang Arab yang lahir di Indonesia berjumlah 66 jiwa, dengan rincian 12 orang laki-laki, 15 orang perempuan, dan 39 orang anak-anak (van den Berg, 2010). Jumlah orang Arab semakin bertambah karena adanya pernikahan dengan orang pribumi dan banyaknya orang Arab baru yang datang langsung dari Arab. Istilah muwalad digunakan untuk keturunan Arab yang keluarganya telah lama tinggal di Indonesia dan wulaiti digunakan untuk orang Arab yang baru datang dari negeri asalnya. Sejak kebijakan zona pemukiman dihapuskan pada tahun 1915, orang Arab memiliki kebebasan untuk bermukim di luar zona yang telah ditentukan. Hal
37
tersebut menyertai pergeseran batas sosial dan budaya. Setelah beberapa generasi, terjadi asimilasi budaya Arab dan Sunda. Budaya Arab yang pertama mulai luntur adalah penggunaan bahasa Arab, kemudian ciri khas berpakaian, dan terakhir penggunaan nama keluarga (van den Berg, 2010).
4.1.3
Periode Kemerdekaan (1945-sekarang) Setelah
Indonesia
merdeka,
Buitenzorg
mengalami
tiga
fase
perkembangan kota yaitu fase pertama (1945-1965), fase kedua (1965-1995), dan fase ketiga (1995-sekarang) yang berpengaruh pada perkembangan kawasan Empang.
a) Fase Pertama Periode Kemerdekaan (1945-1965) Fase pertama periode kemerdekaan, Buitenzorg berubah nama menjadi Kota Besar Bogor berdasarkan UU No. 16 tahun 1950 dan pada tahun 1957 berubah menjadi Kota Praja Bogor berdasarkan UU No. 1 tahun 1957. Kota Praja Bogor meliputi 2 sub-distrik dan tujuh desa. Empang merupakan salah satu dari tujuh desa yang ada terbentuk pada fase pertama periode kemerdekaan.
(1) Kondisi Fisik Berdasarkan peta tahun 1946 (Gambar 11), dapat diketahui keberadaan lahan terbangun di kawasan Empang mulai mengalami peningkatan dari periode sebelumnya. Pemukiman penduduk yang awalnya terpusat di sekitar alun-alun mengalami perkembangan. Pembangunan pemukiman baru bergerak ke arah selatan dan berorientasi ke jalan. Selain pemukiman, penggunaan lahan terbangun mulai beragam seperti adanya bangunan sebagai sarana pendidikan, sarana peribatan, dan jalan. Pada periode ini, terdapat tiga masjid besar di kawasan Empang, yaitu Masjid Agung Empang, Masjid At Taqwa, dan Masjid An Noer. Sampai dengan tahun 1970 Masjid Agung Empang merupakan masjid terbesar yang ada di Kota Praja Bogor (Detiknews, 2009). Tahun 1962, Yayasan Al Irsyad cabang Bogor menerima hibah lahan di Jalan Sadane dari Allahyarham said Abubakar. Di atas tanah wakaf tersebut dibangun Sekolah Perguruan Al Irsyad (Batarfie, 2003).
38
Gambar 11. Peta Kawasan Empang Tahun 1946
39
(2) Kondisi Sosial Masyarakat Letak Empang yang dekat dengan pusat kota dan pusat perdagangan pada fase pertama periode kemerdekaan menjadi daya tarik bagi penduduk untuk bermukim di kawasan ini. Hal tersebut memberikan pengaruh bagi perkembangan penduduk baik dari segi sosial maupun ekonomi. Selain itu lancarnya komunikasi dan transportasi antara Kota Praja Bogor dengan kota lain seperti Jakarta mendukung kelancaran kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh orang Arab.
b) Fase Kedua Periode Kemerdekaan (1965-1995) Fase kedua periode kemerdekaan, Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor menggantikan nama Kota Praja Bogor sejak berlakunya UU No.18 Tahun 1965 dan UU No.5 tahun 1974. Pada fase ini, Kotamadya DT II Bogor terdiri atas 5 Kecamatan dan 16 lingkungan/desa.
(1) Kondisi Fisik Secara administratif, Empang masuk dalam wilayah Kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya DT II Bogor. Luas wilayah Empang adalah 83,4 Ha dan terdiri atas 61 RT dan 10 RK. Batas administrasi Lingkungan Empang sebagai berikut : Sebelah Utara
: Sungai Cipakancilan
Sebelah Timur
: Lingkungan Bondongan
Sebelah Selatan
: Lingkungan Batutulis
Sebelah Barat
: Sungai Cisadane
Komponen fisik yang terdapat di Lingkungan Empang meliputi pemukiman, fasilitas pendidikan, kesehatan, perdagangan dan jasa, peribadatan, serta jaringan jalan. Pada awal fase kedua periode kemerdekaan, di kawasan Empang masih banyak ditemui kebun-kebun campuran diantara pemukiman penduduk. Namun, kebutuhan pemukiman semakin meningkat akibat naiknya jumlah penduduk di kawasan Empang. Pemukiman penduduk meluas ke arah selatan dengan mengalihfungsikan kebun-kebun campuran yang ada sebelumnya menjadi bangunan tinggal.
40
Pembangunan fasilitas pendidikan formal ataupun non formal banyak dilakukan. Tahun 1966 dan 1970 secara resmi dibuka SMP Al Irsyad menyusul kemudian SMA Al Irsyad. Balai Pengobatan Umum yang terletak di Jalan Lolongok berdiri pada tahun 1980. Pada fase kedua kemerdekaan mulai bermunculan industri berskala kecil hingga menengah. Industri kerupuk (saat ini diabadikan menjadi nama sebuah gang yaitu Gang Kerupuk) dan kain tenun sebagai bahan dasar kain batik merupakan industri kecil hingga menengah yang ada di Empang. Masjid At Taqwa mengalami perombakan dan penambahan luas lahan. Bangunan masjid lama digantikan dengan bangunan baru yang modern. Hal tersebut telah menghilangkan nilai sejarah yang terdapat pada bangunan lama. Wakaf tanah untuk perluasan Masjid At Taqwa diperoleh dari hibah almarhum Ali Azzan Azdat yang terletak di belakang masjid dengan luas 100 M2 (Batarfie, 2003).
(2) Kondisi Sosial Masyarakat Jumlah penduduk Empang pada fase kedua periode kemerdekaan, menurut data tahun 1980 (BPS, 1980) adalah 17.415 jiwa. Kepadatan penduduk berdasarkan luas wilayah administrasi adalah 209 jiwa/Ha. Lingkungan Empang tergolong memiliki kepadatan penduduk tertinggi. Hal tersebut dikarenakan adanya kecenderungan masyarakat untuk bermukim mendekati pusat kota. Keberadaan orang Arab memberikan pengaruh dalam perkembangan kawasan Empang. Orang Arab membangkitkan kegiatan perekonomian dengan adanya industri rumah tangga, seperti industri kain tenun dan industri kerupuk. Saudagar Arab yang kaya akan menyumbangkan kelebihan uangnya kepada masjid, sekolah, atau yayasan keagamaan untuk pembangunan lingkungannya (van den Berg, 2010).
c) Fase Ketiga Periode Kemerdekaan (1995-sekarang) Fase ketiga periode kemerdekaan, Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor mengalami perluasan wilayah dari 2.156 Ha menjadi 11.850 Ha. Berdasarkan UU No.22 tahun 1999 nama Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor berubah nama
41
menjadi Kota Bogor. Pada fase ini, Kota Bogor terdiri atas 6 Kecamatan dan 68 Kelurahan (Bappeda, 2005).
(1) Kondisi Fisik Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Berdasarkan Data Monografi Kelurahan Empang Tahun 2009, diketahui bahwa Kelurahan Empang terletak antara 106047’40” BT sampai 6036’26” LS. Kelurahan Empang berjarak 2 km dari pusat pemerintahan Kota Bogor. Luas wilayah Kelurahan Empang sebesar 79 Ha, terdiri atas 20 RW dan 116 RT (Gambar 12), dengan batas administrasi wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Sungai Cipakancilan
Sebelah Timur
: Kelurahan Bondongan
Sebelah Selatan
: Kelurahan Batutulis
Sebelah Barat
: Sungai Cisadane
Gambar 12. Peta Wilayah Kelurahan Empang
42
Iklim Kondisi iklim di Kelurahan Empang memiliki suhu rata-rata tiap bulan 0
26 C dengan suhu tertinggi 30,40C dan kelembaban udara 70%. sedangkan suhu terendah 21,80C dan curah hujan rata-rata sekitar 4000-4500 mm/tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli.
Ketinggian dan Topografi Kelurahan Empang terletak pada ketinggian antara 200-300 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kelurahan Empang sebagian besar atau 81 % (64 Ha) terletak pada ketinggian antara 201-250 m di atas permukaan laut. Sementara 18 % (15 Ha) dari luas wilayah keseluruhannya terletak pada ketinggian antara 251300 m di atas permukaan laut. Kelurahan Empang berada di dataran rendah dengan keadaan topografi berlembah dan datar. Topografi Kelurahan Empang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Topografi Kelurahan Empang No. Kemiringan Kategori Lahan 1. 0-2 % Datar 2. 25-40 % Curam Sumber : BPS Kota Bogor (2009)
Luas (Ha) 52,24 26,26
Jumlah (%) dari Luas Keseluruhan 66 % 34 %
Tanah dan Geologi Jenis tanah di wilayah Kelurahan Empang terbagi kedalam dua jenis, yaitu tanah aluvial kelabu dan tanah latosol coklat kemerahan. Seluruh wilayahnya memiliki kepekaan tanah terhadap erosi yang termasuk dalam kategori agak peka dengan tekstur tanah halus (2,96 Ha) dan agak kasar (76,04 Ha). Kelurahan Empang ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan Gunung Api Pangrango di bagian utara dan timur serta Gunung Api Salak di bagian utara dan barat wilayahnya. Dari struktur geologinya, Kelurahan Empang memiliki jenis batuan tufaan seluas 68,42 Ha serta lanau breksi tufan dan capili seluas 10,58 Ha (BPS, 2009).
43
Tata Guna Lahan Tata guna lahan untuk Kelurahan Empang (Gambar 13) terbagi dalam dua peruntukan, yaitu lahan terbangun dan lahan tidak terbangun. Kawasan lahan terbangun pada prinsipnya terbagi untuk jenis penggunaan lahan meliputi area pemukiman, perdagangan, perkantoran, industri, jalan, fasilitas umum dan sosial, serta fasilitas olahraga. Sementara lahan tidak terbangun meliputi kuburan, pekarangan, jalur hijau, dan tanah kosong.
Tabel 7. Tata Guna Lahan Kelurahan Empang No.
Tata Guna Lahan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pemukiman Pertokoan/Perdagangan Perkantoran Industri Lapangan Olahraga Kuburan Kebun Campuran Tanah Kosong 9. Jalur Hijau 10. Jalan Jumlah Sumber : Kelurahan Empang (2009)
Luas (Ha) 42,8 5,5 0,5 0,5 0,4 11 4,0 0,5 3,5 10,3 79
Jumlah (%) dari Luas Keseluruhan 54,2 7,0 0,6 0,6 0,5 14 5,1 0,6 4,4 13
100
Tata guna lahan pada fase ketiga periode kemerdekaan mengalami perubahan yang cukup pesat. Lahan pemukiman mulai beralih fungsi menjadi wilayah perdagangan dan jasa, terutama pada sisi Jalan Pahlawan, RA Wiranata, dan Jalan Raden Saleh. Kawasan tersebut tumbuh dan berkembang sebagai kawasan perdagangan yang unik karena diramaikan oleh toko yang menjual peralatan beribadah bagi umat Islam maupun toko yang menjual oleh-oleh khas Haji. Selain itu, pedagang hewan kurban meramaikan kawasan Empang terutama disekitar alun-alun saat menjelang Hari Idul Adha. Fungsi alun-alun saat ini telah berubah menjadi lapangan olah raga. Sementara kebutuhan akan pemukiman yang terus meningkat mengakibatkan pembangunan pemukiman di sepanjang bantaran Sungai Cisadane semakin banyak.
44
Gambar 13. Tata Guna Lahan Kelurahan Empang
45
Rencana Tata Ruang Kecamatan Bogor Selatan Kecamatan Bogor Selatan diarahkan untuk mewujudkan fungsi sebagai kawasan pemukiman ber-KBD rendah, kawasan perdagangan dan jasa, serta kawasan konservasi ekologis sungai (Gambar 14), sehingga pembentukan struktur ruang didasarkan pada fungsi tersebut (Pemda Kota Bogor, 2002). Berdasarkan Buku Rencana Pemerintah Kota Bogor 2002, Kelurahan Empang termasuk dalam wilayah perencanaan Sub BWK A bersama dengan Kelurahan Bondongan, Batutulis, dan Lawanggintung. Sub BWK A memiliki laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk yang tinggi sehingga ditetapkan sebagai Ibu Kota Kecamatan Bogor Selatan. Kegiatan perdagangan dan jasa yang mendominasi adalah kegiatan perbelanjaan dan aneka industri kecil/rumah tangga. Kegiatan pertanian sangat sedikit presentasenya, dan hanya terdapat di Kelurahan Lawanggintung. Ketersediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum merata di keempat kelurahan. Jalur angkutan kota melintasi dan melayani keempat kelurahan secara menyeluruh dan merata dengan ditunjang oleh sarana prasarana jalan yang relatif baik dan menghubungkan wilayah Sub BWK A dengan pusat kota Bogor. Dengan potensi dan kendala yang dimiliki wilayah perencanaan Sub BWK A Kecamatan Bogor Selatan, meliputi Kelurahan Empang, Kelurahan Bondongan, Kelurahan Batu Tulis, dan Kelurahan Lawanggintung, maka ditetapkan Rencana Penggunaan
Lahan
untuk
wilayah
Sub
BWK
A
Tahun
2002-2012
mengakomodasi fungsi perdagangan dan jasa sebagai kegiatan utama serta fungsi pemukiman, pendidikan, dan konservasi ekologis sungai sebagai kegiatan pendukung. Rencana Penggunaan Lahan untuk Kelurahan Empang periode tahun 2002-2012 mengalokasikan lahan sepanjang penggal Jalan Pahlawan, Jalan Raden Saleh, dan Jalan RA Wiranata diperuntukkan bagi kegiatan perdagangan dan jasa. Sebagian besar wilayah di Kelurahan Empang diperuntukkan bagi pemukiman. Sementara kawasan konservasi diterapkan pada kawasan di sepanjang bantaran Sungai Cisadane dan Sungai Cipakancilan.
46
Gambar 14. Rencana Penggunaan Lahan Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2002-2012
47
(2) Kondisi Sosial Masyarakat Penduduk Kelurahan Empang pada awal tahun 2009 berjumlah 16.414 jiwa, terdiri dari 8.354 penduduk laki-laki dan 8.060 penduduk perempuan. Berdasarkan data monografi Kelurahan Empang tahun 2009, apabila dilihat dari golongan umur, maka 58,17 persen penduduk berada pada kelompok umur 15-49 tahun, 36,38 persen pada kelompok 0-14 tahun dan 5,45 persen pada kelompok umur 50 tahun keatas. Kepadatan penduduk per km persegi menunjukkan bahwa Kelurahan Empang menempati urutan tertinggi di Kecamatan Bogor Selatan, dengan kepadatan penduduk sebesar 207 jiwa/ km2. Mayoritas penduduk di Kelurahan Empang memeluk agama Islam sebesar 88,30 % dari jumlah penduduk dan merupakan etnis Sunda dan keturunan ArabSunda yang telah sejak lama mendiami kawasan ini. Kemudian menyusul berturut-turut agama Protestan dianut oleh 5,85 %, agama Katholik 4,45 %, agama Budha 0,65 %, agama Hindu 0,39 %, dan Konghuchu 0,36 % dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk menurut agama atau penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat dilihat pada Tabel 8. Untuk memenuhi kebutuhan beribadah, sarana peribadatan di Kelurahan Empang pada tahun 2009 tercatat memiliki 14 buah Masjid dan 14 Musholla.
Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Agama No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Agama
Islam Protestan Katholik Budha Hindu Konghuchu Jumlah Sumber : Kelurahan Empang (2009)
Jumlah (jiwa) 14.494 960 730 106 64 60 16.414
Jumlah (%) dari Jumlah Penduduk 88,30 5,85 4,45 0,65 0,39 0,36 100
Saat ini mata pencaharian penduduk Kelurahan Empang terbilang beragam. Bidang pekerjaan masyarakat sebagian besar bergerak pada sektor perdagangan dan jasa. Wilayahnya yang sebagian besar merupakan area terbangun tidak memungkinkan untuk bekerja pada sektor pertanian langsung (on
48
farm). Rincian jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 9. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian No.
Jenis Pekerjaan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PNS TNI Polri Pegawai Swasta/BUMN Wiraswasta/Pedagang Pertukangan Pensiunan Jasa/lain-lain Jumlah Sumber : Kelurahan Empang (2009)
Jumlah (jiwa) 180 178 210 1.392 2.620 35 245 2.600 7.460
Jumlah (%) dari Jumlah Usia Produktif 2,41 2,39 2,82 18,66 35,12 0,47 3,28 34,85 100
Tabel 10. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No. Tingkat Pendidikan 1. Taman Kanak-Kanak 2. Sekolah Dasar/MI 3. SMP/MTs 4. SMA/Aliyah 5. Akademi/D1-D3 6. Sarjana/S1-S3 Jumlah Sumber : Kelurahan Empang (2009)
Jumlah (jiwa) 210 1.079 4.174 5.401 660 462 11.986
Masyarakat kawasan Empang saat ini merupakan mayarakat multi etnis karena komponen masyarakatnya terdiri dari berbagai latar belakang budaya seperti Sunda, Jawa, Arab, dan Cina. Akulturasi dan asimilasi antar etnis yang terjadi sejak masa kolonial Belanda menghasilkan ragam budaya yang unik. Namun perpaduan kebudayaan antara etnis Arab dan Sunda terasa paling menonjol dan tercermin melalui beragam aktivitas budaya dan ekonomi yang terjadi di kawasan Empang saat ini.
49
4.2 Identifikasi Lanskap Sejarah Kawasan Empang Identifikasi karakter lanskap sejarah bertujuan untuk mengetahui tatanan lanskap yang menjadi ciri khas dan identitas bagi kawasan Empang. Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap elemen lanskap sejarah sebagai elemen pembentuk kawasan. Identifikasi karakter dan elemen lanskap sejarah kawasan Empang akan dijelaskan pada uraian berikut.
4.2.1
Karakteristik Lanskap Sejarah Kawasan Empang Kawasan Empang telah mengalami beberapa tahapan periode sejarah
dalam perkembangan kawasannya, meliputi masa Kerajaan Pajajaran (14821579), masa Kolonial Belanda (1754-1945), dan masa Kemerdekaan (1945sekarang). Aspek politik, sosial-budaya, dan ekonomi yang berlaku pada setiap periode berpengaruh terhadap bentukan lanskap kawasan Empang. Setiap periode meninggalkan berbagai elemen yang menjadi karakter dari lanskap sejarah yang terbentuk saat ini. Pada awalnya, kawasan Empang merupakan bagian dari sebuah alun-alun luar Kota Pakuan yang membentang dari tepi Sungai Cisadane sampai ke Cipakancilan. Seperti alun-alun tradisional pada umumnya, alun-alun tersebut berupa lapangan terbuka yang dilengkapi oleh pohon beringin pada setiap tepinya sebagai salah satu ciri dari kelengkapan sebuah alun-alun tradisional. Sejak masa Pemerintahan Belanda, kawasan Empang mulai membentuk pola-pola ruang yang menjadi dasar perkembangan kawasan selanjutnya. Pola ruang terbagi berdasarkan fungsi kawasan yaitu zona I berupa zona pusat pemerintahan Kampung Baru, zona II berupa zona pemukiman Arab, dan zona III berupa zona pemukiman Pribumi (Gambar 15). Kawasan Empang sebagai pusat pemerintahan Kampung Baru/Regentscape Buitenzorg (1745-1872), memiliki pola ruang konsentrik dimana kegiatan pemerintahan berpusat di sekitar alunalun. Hal tersebut mengikuti konsep pusat kota tradisional Jawa dengan pola tata letak yang dapat dilihat pada Gambar 16. Berdasarkan Ekadjadi (2003), pola tata letak elemen lanskap menurut konsep pusat kota tradisional Jawa menempatkan posisi pendopo bupati, masjid, pasar, dan penjara dalam satu komunitas yang berpusat pada alun-alun. Pendopo bupati terletak di sebelah selatan, masjid di sebelah barat, pasar di sebelah utara, dan penjara di sebelah timur alun-alun.
50
Gambar15
51
Gambar 16. Konsep Pusat Kota Tradisional Jawa
Konsep pusat kota tradisional Jawa juga dapat diidentifikasi pada pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru. Namun penetapan kawasan Empang khususnya Pekojan sebagai zona pemukiman bagi etnis Arab, menghasilkan suatu tatanan lanskap yang khas pada pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru. Alun-alun sebagai pusat berbatasan dengan pendopo bupati disisi selatan, Masjid Agung Empang disisi barat, dan Pasar Bogor disisi utara. Perbedaan terletak pada elemen lanskap disisi timur alun-alun. Penjara tidak ditempatkan disana, melainkan terletak di dalam wilayah zona pemukiman pribumi, yaitu di Rawa Bolang dekat dengan Sungai Cisadane. Sementara pada sisi timur alun-alun, terdapat kediaman bagi Kapiten Arab. Pola pusat pemerintahan Kampung Baru dapat dilihat pada Gambar 17. Kawasan Empang sebagai tipe lanskap pemukiman memiliki nilai sejarah bagi perkembangan Kota Bogor karena merupakan suatu produk khas dari sistem politik dan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah Belanda serta sistem sosialbudaya suatu kelompok/suku masyarakat (etnik) pada masa lalu. Masyarakat etnis Arab dan Sunda yang telah lama bermukim di kawasan ini memberi pengaruh terhadap tatanan khas lanskap sejarah kawasan Empang.
52
Gambar 17
53
Sejak diberlakukannya kebijakan wijkenstelsel tahun 1835-1915, kawasan Empang diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman bagi bangsa Arab dan Pribumi. Kawasan Empang khususnya Pekojan, Kaum, dan Lolongok menjadi wilayah pemukiman bagi bangsa Arab. Sementara bangsa Pribumi menempati kawasan selatan pemukiman Arab yang berada di sekitar bantaran Sungai Cisadane. Pola pemukiman bangsa Arab dan Pribumi memiliki perbedaan karakter. Namun pada hakekatnya pola pemukiman tumbuh dan berkembang karena perkembangan individu dari setiap rumah. Pola tata ruang pemukiman Arab menempatkan masjid sebagai pusat pemukimannya (Gambar 18). Keberadaan masjid sebagai simbol masyarakat Arab yang beragama Islam menduduki posisi penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena masjid merupakan pusat pertemuan orang-orang beriman dan menjadi lambang persatuan dan kesatuan umat (Widodo, 1996). Mengingat fungsi penting yang dimiliki masjid, maka masjid menempati hierarki ruang paling tinggi di dalam pemukiman Arab serta berfungsi menentukan arah orientasi dari rumahrumah yang ada dan perkembangan pemukiman selanjutnya. Tipe pola pemukiman Arab seperti yang telah dijelaskan dapat diidentifikasi pada pemukiman Arab di Empang. Masjid Agung Empang, Masjid At Taqwa, dan Masjid An Noer menjadi pusat bagi pemukiman Arab yang ada di sekelilingnya.
Gambar 18. Pola Pemukiman Arab
54
Masjid Agung Empang menjadi pusat bagi perkampungan Kaum, Masjid At Taqwa menjadi pusat bagi perkampungan Pekojan, dan Masjid An Noer menjadi pusat bagi perkampungan Lolongok. Perkembangan pola pemukiman juga dipengaruhi oleh adanya hubungan pertalian keluarga diantara penghuni dalam kawasan pemukiman komunitas Arab. Tipe seperti ini dapat dilihat pada Masjid An Noer yang dikelilingi oleh rumah-rumah warga keturunan Arab bermarga alAttas. Berdasarkan Widodo (1996), ruang terbuka merupakan elemen pendukung bagi pemukiman Islam. Ruang terbuka berfungsi sebagai perluasan masjid ketika melaksanakan aktivitas tambahan yang tidak dapat ditampung dalam masjid. Hubungan fungsional seperti yang telah dijelaskan dapat dilihat pada pemukiman Arab Empang dimana alun-alun sebagai ruang terbuka merupakan perluasan dari Masjid Agung Empang. Pola pemukiman Arab di kawasan Empang serta hubungan fungsional antara alun-alun dan masjid secara spasial dapat dilihat pada Gambar 19. Pola tata ruang pemukiman Pribumi masyarakat Empang tidak memiliki acuan atau orientasi tertentu sehingga perkembangannya cenderung tidak tertata dengan baik. Tidak seperti pemukiman Arab yang menempatkan masjid sebagai pusat pemukimannya, dalam pemukiman pribumi tidak terdapat elemen lanskap yang menjadi pusat pemukiman. Rumah-rumah penduduk pribumi umumnya merupakan bangunan semi atau non-permenen yang awalnya berkembang secara linear di daerah aliran Sungai Cisadane. Pemukiman pribumi selanjutnya berkembangan mengikuti pola jalan dengan alasan praktis untuk mendapat kemudahan terhadap akses jalan
4.2.2
Elemen Lanskap Sejarah Kawasan Empang Perkembangan kawasan Empang dari dulu sampai sekarang meninggalkan
jejak-jejak sejarah dalam bentuk fisik dan budaya. Identifikasi elemen lanskap sejarah dalam bentuk fisik dianalisis dengan menelusuri sejarah perkembangan kawasan dan melihat peta kawasan Empang tahun 1920, sehingga diketahui fitur lanskap yang berperan dalam pembentukan karakteristik kawasan. Kondisi elemen lanskap sejarah saat ini diketahui dengan melakukan pengecekan lapang.
55
19Gambar
56
Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kota Bogor tahun 2007 dan hasil analisis dengan menggunakan kriteria pada UU Republik Indonesia tahun 1992 tentang BCB, teridentifikasi 32 elemen lanskap sejarah pembentuk kawasan Empang (Tabel 11) meliputi Alun-alun Empang, Masjid Agung Empang, Pasar Bogor, Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru, dan Kediaman Resmi Kapiten Arab sebagai elemen pembentuk zona I, Pemakaman Arab, Masjid At Taqwa, Masjid An Noer, Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas, serta Pemukiman Arab di Pekojan (4 bangunan), Kaum (1 bangunan), dan Lolongok (6 bangunan) sebagai elemen pembentuk zona II, Makam Keluarga Dalem Shalawat, Pemukiman Pribumi di Sadane (10 bangunan), serta Bendungan Empang sebagai elemen pembentuk zona III. Sebaran lokasi elemen lanskap sejarah kawasan Empang dapat dilihat pada Gambar 20. Dari 32 elemen lanskap sejarah yang telah teridentifikasi, lima belas elemen lanskap sejarah (Gambar 21) masuk dalam kategori Benda Cagar Budaya menurut UU No. 5 Tahun 1992 (Disbudpar Kota Bogor, 2007). Masjid Agung Empang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Surat Penetapan BCB Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No : PM.26/PW.007/MKP/2007. Sementara tujuh belas elemen lanskap sejarah lainnya belum ditetapkan secara resmi melalui legislasi di tingkat pusat ataupun daerah. Perkembangan beberapa elemen lanskap sejarah pembentuk kawasan Empang akan dijelaskan secara singkat dalam uraian berikut.
a) Alun-alun Empang Alun-alun Empang merupakan sisa peninggalan Alun-alun Luar Kerajaan Pajajaran (1482-1579) yang telah ada sejak sekitar abad ke-15. Dahulu, alun-alun tersebut terbentang dari sisi Cisadane sampai ke Cipakancilan dan berfungsi sebagai medan latihan keprajuritan bagi para laskar Pajajaran. Segala jenis acara keramaian umum di luar protokol keraton juga dilaksanakan di alun-alun ini, sebelum akhirnya alun-alun tersebut menjadi palagan (medan pertempuran) saat melawan laskar Banten yang ingin menguasai wilayah Pajajaran di tahun 1579. Sejak kawasan Empang dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kampung Baru
57
Gambar 20
58
Gambar 21
59
Tabel 11. Identifikasi Elemen Lanskap Sejarah Pembentuk Kawasan Empang No.
Kategori
Jenis
Elemen/Lanskap
Tipe Arsitektur
Kondisi Fisik
Fungsi
Tahun Pembangunan
Dahulu
Sekarang Ruang terbuka publik yang tidak memiliki makna khusus. Digunakan sebagai lapangan olahraga oleh warga dan tempat penggembalaan kambing oleh pedagang makanan olahan yang ada di sekitarnya. Masjid Agung dan majlis ta’lim, pusat berbagai aktivitas keagamaan seperti dakwah dan pengajian rutin. Tidak ada keterkaitan fungsi antara masjid dan alun-alun.
Belum BCB
Yayasan At Tohirriyah
BCB
Yayasan At Tohirriyah dan Pemerintah Kota
Status
Pengelola
Zona I. Pusat Pemerintahan 1.
Ruang Terbuka
Alun-alun
Alun-alun Empang
2.
Bangunan
Sarana Ibadah
Masjid Agung Empang
3.
Perdagangan dan Jasa
Pasar Bogor
4.
Rumah Tinggal
Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru
5.
Rumah Tinggal
Zona I. Pemukiman Arab 6. Ruang Pemakaman Terbuka
Mengalami degradasi fisik akibat penambahan elemen lanskap yang tidak sesuai dengan karakter awal sebagai sebuah alun-alun tradisional. Kondisi fisik alun-alun saat ini kurang terawat. Terletak di Jl. Empang No. 1. Kondisi fisik bangunan kurang terawat, terkait kebersihan dan beberapa bagian bangunan yang rusak tidak segera diperbaiki. Kepadatan di lingkungan pasar diramaikan oleh pedagang kaki lima dan terminal angkutan umum. Karakter pasar dengan ruko khas pedagang cina masih terasa kuat. Terletak di Jl. Empang No. 2A-C. Struktur dan elemen pada bangunan masih asli dan kokoh. Kondisi fisik bangunan cukup terawat.
Alun-alun tradisional Jawa.
Sisa alun-alun luar Kerajaan Pajajaran (1482-1579). Alunalun yang ada saat ini terbentuk sejak tahun 1754.
Ruang terbuka yang memiliki makna khusus sebagai simbol kekuasaan dan identitas pusat pemerintahan karesidenan Kampung Baru.
Perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional Jawa.
Masjid pertama yang dibangun tahun 1817 di Buitenzorg.
Masjid. Memiliki keterkaitan fungsi antara masjid dan alun-alun.
Arsitektur Cina.
Terbentuk pada tahun 1777.
Pasar kelontong para pedagang cina sekaligus sebagai tempat petani menyerahkan semua hasil buminya kepada pemerinah Belanda.
Pasar tradisional yang menjual segala keperluan rumah tangga dan bahan makanan.
Belum BCB
Pemerintah Kota
Perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional Jawa.
Tahun 1754, ketika pusat pemerintahan Kampung Baru berpindah dari Tanah Baru ke Sukahati (Empang.).
Rumah tinggal resmi bagi Bupati Kampung Baru.
Rumah tinggal seorang keturunan Arab-Sunda bernama Abdul Aziz al Wahdi.
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
Kediaman Resmi Kapiten Arab
Terletak di Jl. Empang Masjid No. 15. Kondisi fisik bangunan terawat dengan baik. Sampai saat ini bentuk bangunan tidak mengalami perubahan struktur, elemen, dan detail ornamennya.
Perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur Arab.
Ada sebelum tahun 1900.
Rumah tinggal resmi Kapiten Arab dari keluarga Bajenet bernama Ahmad bin Syaid Bajenet.
Masih menjadi rumah tinggal salah seorang keturunan dari keluarga besar Bajenet bernama Ibu Titi Bajenet.
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
Pemakaman Arab
Merupakan tanah wakaf dari Keluarga Bajenet seluas 2,5 Ha. Pemakaman ini dikenal dengan nama los.
Digunakan sebagai pemakaman sejak tahun 1898.
Pemakaman khusus orang Arab beserta keturunannya.
Pemakaman khusus orang Arab beserta keturunannya yang tinggal di Kota Bogor.
Belum BCB
Pribadi
59 58
60
Tabel 11. Lanjutan No. 7.
Kategori Bangunan
Jenis
Elemen/Lanskap
Sarana Ibadah
Masjid At Taqwa
8.
Sarana Ibadah
Masjid An Noer
9.
Sarana Ibadah
10.
Kondisi Fisik
Tipe Arsitektur
Fungsi
Tahun Pembangunan
Dahulu
Sekarang
Status
Pengelola
Arsitektur modern
1900-an
Masjid
Masjid serta pusat kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah para tokoh agama dari golongan non sayyid yang berhimpun dalam organisasi Al Irsyad.
Belum BCB
Yayasan Al Irsyad Bogor
Perpaduan arsitektur Arab negeri Yaman dan arsitektur tradisional.
1909
Majid
BCB
Yayasan An Noer Tauhid dan Pemerintah Kota
Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas
Kondisi fisik bangunan cungkup makam terawat dengan baik. Kebersihan bagian dalam cungkup terjaga untuk memberi kenyamanan bagi para peziarah.
Arsitektur Arab
1933
Komplek makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas beserta lima orang anak dan seorang murid kesayanganya.
Masjid dan pusat kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah para tokoh agama dengan gelar Habib, pusat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, serta pelaksanaan tradisi khatam Al-Quran setiap tanggal 21 Ramadhan. Makam yang dikeramatkan oleh sebagian masyarakat sehingga banyak dikunjungi peziarah baik dari dalam ataupun luar Kota Bogor.
BCB
Yayasan An Noer Tauhid dan Pemerintah Kota
Perdagangan dan Jasa
Jl. Raden Saleh No. 19
Atap bangunan toko masih dapat menunjukkan gaya arsitektur khas dengan kondisi yang masih kokoh.
Arsitektur Cina
1946-an
Toko kelontong pedagang Cina.
Toko kitab dan wewangian khas bangsa Arab.
Belum BCB
Pribadi
11.
Rumah Tinggal
Jl. Raden Saleh No. 12
Arsitektur tradisional
1920-an
Rumah tinggal
Rumah tinggal
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
12.
Rumah Tinggal
Jl. RA. Wiranata No.18
Struktur, elemen, dan detail ornamen bangunan relatif tidak mengalami perubahan. Bangunan saat ini berada di tengah lingkungan perdagangan padat di tepi jalan Empang Beberapa elemen seperti jendela dan detail ornamen bangunannya mengalami penurunan kualitas fisik akibat pengelolaan yang kurang intensif terhadap kondisi bangunan.
Arsitektur Arab (Moor)
Akhir abad 19.
Rumah tinggal
Rumah tinggal yang bagian bawah rumahnya digunakan sebagai toko onderdil dan kois pulsa telepon selular.
Belum BCB
Pribadi
60
Nilai sejarah pada bangunan masjid sudah hilang karena pembangunan masjid baru yang lebih mengutamakan nilai fungsional dan efisiensi pada bangunan masjidnya. Kondisi fisik bangunan terawat dengan baik. Sampai saat ini bentuk bangunan tidak mengalami perubahan struktur dan elemen, termasuk detail ornamennya.
59
61
Tabel 11. Lanjutan No.
Kategori
Jenis
Elemen/Lanskap
Kondisi Fisik
Tipe Arsitektur
Tahun Pembangunan
Fungsi Dahulu
Rumah Tinggal
Jl. Pekojan No. 31
Merupakan salah satu bangunan dengan struktur, elemen, dan detail ornamen yang masih asli sejak awal dibangunnya. Kondisi fisik bangunan cukup terawat.
Arsitektur tradisional
1932
Rumah tinggal
Rumah tinggal milik Zakiyyah Abdullah.
14.
Rumah Tinggal
Jl. Masjid No. 5
Penggunaan dinding bilik dan pondasi bangunan bekas rumah panggung menunjukan arsitektur khas tradisional Jawa Barat. Kondisi fisik bangunan cukup terawat.
Arsitektur tradisional
1920-an
Rumah tinggal
15.
Rumah Tinggal
Jl. Masjid No. 7
Struktur, elemen, dan detail ornamen bangunan masih asli. Mengalami degradasi lingkungan fisik akibat penataan warung dan lapak dagang pada bagian depan bangunan.
Arsitektur tradisional
1920-an
16.
Rumah Tinggal
Jl. Kaum No. 17
Merupakan tipe bangunan yang mengadopsi pola ruang dalam bangunan khas bangsa Timur Tengah yang membagi ruang berdasarkan jenis kelamin.
Arsitektur Arab
17.
Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No. 1
Kondisi fisik bangunan saat ini tidak terawat. Kerusakan berat terjadi pada beberapa elemen bangunan seperti atap, jendela, dan dinding.
18.
Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No. 3
19.
Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No. 5
13.
Bangunan
Status
Sekarang Ibu
Pengelola Pribadi
Rumah tinggal
Belum BCB
Pribadi
Rumah tinggal
Rumah tinggal
Belum BCB
Pribadi
1960-an
Rumah tinggal
Rumah tinggal milik Bapak Achmad bin Ali Abdad sekaligus sebagai industri rumah tangga yang membuat roti konde khas Arab.
Belum BCB
Pribadi
Perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional.
1935
Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas.
Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas saat ini tidak dihuni dan dibiarkan kosong.
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
Struktur, elemen, dan Arsitektur kolonial detail ornamen pada bangunan asli dan tidak mengalami kerusakan, namun cat dinding kusam sehingga secara visual kurang menarik. Memliki kesamaan tipe Arsitektur kolonial dan bentuk bangunan dengan rumah di Jl. Lolongok No.3. Namun penambahan ruang pada bagian depan bangunan mengurangi tingkat keaslian bangunan.
1940
Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas.
Tetap menjadi rumah tinggal milik keluarga besar al Attas.
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
1940
Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas.
Tetap menjadi rumah tinggal milik keluarga besar al Attas.
Belum BCB
Pribadi
61
Belum BCB
60
62
Tabel 11. Lanjutan No. 20.
Kategori Bangunan
Jenis Rumah Tinggal
Elemen/Lanskap
Kondisi Fisik
Tipe Arsitektur
Tahun Pembangunan
Fungsi Dahulu
Sekarang
Status
Pengelola
Jl. Lolongok No. 7
Struktur, elemen, dan Arsitektur detail ornamen pada kolonial bangunan asli dan tidak mengalami kerusakan. Kondisi fisik bangunan saat ini terawat dengan baik.
1956
Rumah tinggal milik Keluarga besar al Attas.
Tetap menjadi rumah tinggal milik Keluarga besar al Attas.
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
Makam Keluarga
Kondisi lingkungan Arsitektur makam dan bangunan tradisional utamanya terpelihara dengan baik, dalam keadaan bersih, terawat, dan dijaga oleh dua orang penjaga dari Yayasan At Tohirriyah.
1882
Makam Bupati Kampung Baru beserta keluatganya.
Komplek makam keluarga besar Dalem Shalawat. Merupakan makan yang juga dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Bogor sehingga dikunjungi oleh peziarah.
Belum BCB
Yayasan At Tohirriyah
1955
Rumah tinggal
Rumag tinggal
Belum BCB
Pribadi
Arsitektur tradisional
1960-an
Rumah tinggal
Rumag tinggal
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
Arsitektur tradisional
1960-an
Rumah tinggal
Rumag tinggal Nunung.
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
Arsitektur tradisional
1960-an
Rumah tinggal
Rumag tinggal milik Bapak Salie al Batatie.
Belum BCB
Pribadi
Zona III. Pemukiman Pribumi 21.
Ruang Terbuka
Pemakaman
Bangunan
Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.10
Kondisi fisik bangunan Arsitektur saat ini terawat dengan kolonial baik dengan struktur, elemen, dan ornamen pada bangunan yang masih asli sejak awal dibangunnya.
23.
Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.13
24.
Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.14
25.
Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.20
Bangunan mengalami asilimilasi struktur pondasi dan dinding. Namun elemen dan ornamen detail pada jendela dan pintu masih asli. Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan mengalami asimilasi namun tidak mengubah karakter tradisional sebagai ciri bangunan masa lalu. Memliki kesamaan tipe bangunan dengan rumah di Jl. Lolongok No. 20. Namun kondisi fisiknya saat ini kurang terawat.
22.
Dalem Shalawat
milik
ibu
62 61
63
Tabel 11. Lanjutan No. 26.
Kategori
Elemen/Lanskap
Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.22
27.
Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.31
28.
Rumah Tinggal
Jl. Lolongok No.38
29.
Rumah Tinggal
Jl. Sadane No. 13
30.
Rumah Tinggal
Jl. Sadane No. 23
31.
Rumah Tinggal
Jl. Sadane No. 71
Bendungan
Bendungan Empang
32.
Bangunan
Jenis
Bangunan
Kondisi Fisik Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan saat ini asli dan terawat. Serambi depan yang ditopang kolom dan halaman depan yang luas berfungsi sebagai private open space. Bekas pondasi rumah panggung masih dapat terlihat walaupun sudah mengalami asimilasi. Pintu dan jendela masih menggunakan elemen bangunan asli. Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan masih asli sejak awal dibangun. Kondisi fisiknya saai ini terawat dengan baik.
Tipe Arsitektur
Tahun Pembangunan
Fungsi Dahulu
Sekarang
Status
Pengelola
Arsitektur kolonial
1958
Rumah tinggal
Rumag tinggal
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
Arsitektur tradisional
1960-an
Rumah tinggal
Rumag tinggal
Belum BCB
Pribadi
Arsitektur kolonial
1960-an
Rumah tinggal
Rumag tinggal milik keluarga RD. Koesoemapradja.
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
Tampak bangunan yang simetris menunjukkan arsitektur khas kolonial. Namun kondisi fisik bangunan tidak terawat. Bagian atap, jendela, dan pagar rusak mengalami kerusakan ringan.
Arsitektur kolonial
1935
Rumah tinggal
Rumag tinggal
Belum BCB
Pribadi
Tampak depan bangunan tradisional terhalangi oleh penggunaan elemen tambahan seperti atap terpal sehingga mengalami penurunan kualitas secara visual. Struktur bangunan mengalami asimilasi, namun elemen dan detail ornamen pada bangunan masih dapat menunjukkan kekhasan masa lalunya. Kondisi fisiknya saai ini terpelihara dengan baik. Struktur fisik bendungan sampai sekarang masih utuh dan dalam keadaan kokoh.
Arsitektur tradisional
1946
Rumah tinggal
Rumah tinggal milik Ibu Jumilah saat ini juga berfungsi sebagai rumah makan makanan khas bangsa Timur Tengah.
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
Arsitektur tradisional
1 Januari 1938
Rumah tinggal
Rumah tinggal milik Bapak Ali Ahuway. Halaman depan rumahnya digunakan sebagai area parkir penyewaan mobil.
BCB
Pemilik dan Pemerintah Kota
Arsitektur kolonial
1776 atas prakarsa Bupati Kampung Baru Aria Natanegara
Pengontrol debit air sungai Cisadane untuk kepentingan saluran irigasi pada lahan pertanian.
Pengontrol debit air Sungai Cisadane untuk mengetahui debit air sungai saat terjadi curah hujan yang tinggi.
Belum BCB
Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air
63
(Sumber : Disbudpar 2007 dan Survey Lapang 2010)
62
64
oleh Demang Wiranata, Alun-alun Empang menjadi bagian dari kediaman Bupati Kampung Baru.Pada masa Pemerintahan Belanda alun-alun berfungsi sebagai identitas pemerintahan Karesidenan Kampung Baru/Regentscape Buitenzorg dalam bentuk fisik. Selain itu, alun-alun memiliki fungsi sosial sebagai ruang terbuka publik dimana masyarakat melakukan berbagai aktivitas sosialnya. Pada masa itu masyarakat dapat menikmati pemandangan Gunung Salak dari alun-alun. Pada awal masa kemerdekaan, alun-alun Empang sewaktu-waktu berfungsi untuk menampung jamaah masjid apabila Masjid Agung Empang sudah tidak dapat menampung jamaahnya. Selain itu, setiap perayaan Hari Raya Idul Firti alun-alun Empang berubah menjadi kawasan bermain bagi anak-anak dimana mereka dapat naik delman dan kuda-kudaan. Saat ini, Alun-alun Empang mengalami pergeseran fungsi menjadi tempat bermain bola bagi warga sekitar dan tempat penggembalaan kambing milik pedagang makanan olahan yang berada di sekeliling alun-alun. Perbandingan situasi Alun-alun Empang pada masa Kolonial Belanda dan saat ini dapat dilihat pada Gambar 22.
(a)
(b) Gambar 22. (a) Alun-alun Empang Tahun 1880 dan (b) Tahun 2010 (Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010)
Alun-alun
Empang
terletak
pada
lokasi
strategis,
berada
pada
persimpangan Jalan Pahlawan-Raden Saleh-Raden Aria Wiranata. Hal tersebut menjadikan alun-alun sebagai penanda dan gerbang masuk wilayah Kecamatan Bogor Selatan. Alun-alun Empang merupakan lapangan berbentuk persegi dengan luas lahan sebesar 3660,54 m2. Di setiap sisinya ditanam sebuah pohon beringin. Pohon beringin terbesar sudah berusia sekitar dua puluh tahun merupakan jenis beringin karet (Ficus elastica).
65
Kondisi fisik Alun-alun Empang saat ini semakin lama semakin memburuk. Penambahan elemen fisik berupa pagar yang dipasang disekeliling alun-alun membatasi keterkaitan fungsi dan hubungan kesejarahan antara alunalun dan masjid. Selain itu, penambahan vegetasi yang tidak sesuai, seperti pinus (Pinus merkusii) dan palem raja (Roystonea regia) mengakibatkan pudarnya karakter alun-alun. Eksistensi Alun-alun Empang sebagai suatu alun-alun bersejarah di Kota Bogor semakin tenggelam akibat tertutup oleh para pedagang kaki lima yang berjualan disekelilingnya (Gambar 23). Setelah Indonesia Merdeka, status kepemilikan tanah alun-alun berada di pihak yayasan At Tohirriyah yang juga mengelola Masjid Agung Empang.
Gambar 23. Kondisi Lingkungan di Sekitar Alun-alun Empang (Sumber : Survey Lapang 2010) b) Masjid Agung Empang Masjid Agung Empang merupakan masjid pertama yang dibangun di Buitenzorg pada masa pemerintahan Kampung Baru. Sebelum tahun 1817, sudah terdapat bangunan kecil berupa surau dengan struktur bangunan yang belum permanen. Letak surau berada di sisi sebelah barat alun-alun Empang sesuai dengan konsep pusat pemerintahan tradisional di masa kolonial Belanda. Bangunan surau dengan struktur permanen mulai dibangun tahun 1817 oleh Bupati RH.Muhammad Tohir, yang terkenal sebagai buyut Kampung Baru. Beliau menghibahkan tanah seluas 5462,10 m2 untuk perluasan tanah masjid yang juga
66
mencakup lahan alun-alun dan lahan dekat Empang Pulo. Pembangunan masjid diteruskan oleh putra beliau yang bernama Dalem Wiranata. Pembangunan selanjutnya dilakukan oleh bupati Regentscape Buitenzorg terakhir yang masih berkedudukan di Empang bernama RA Wiranata (1854-1872) atau lebih dikenal dengan nama Dalem Shalawat. Gaya bangunan masjid mendapat pengaruh dari arsitektur kolonial Belanda. Sementara pengaruh gaya arsitektur tradisional terlihat dari bentuk atap menara berundak tiga. Terdapat empat pilar penyangga bangunan utama masjid yang dikenal dengan saka guru (Fitri, 2006). Tiang-tiang ini memiliki filosofi yaitu 4 mashaf islam dan 4 jaman keislaman. Dalam perkembangannya, Masjid Agung Empang mengalami beberapa tahap pemugaran. Pada tahun 1873, masjid ini dipugar dari sebuah mushola kecil menjadi bangunan permanen berupa pendopo bergaya arsitektur tradisional yang memiliki atap menara berundak dua tingkat (Gambar 24). Kompleks masjid yang merupakan tanah wakaf dari RH Muhammad Tohir mengalami penambahan luas dengan adanya tambahan wakaf dari Sayyid Alwi Bin Ismail Alayidrus (1927) dan Habib Abdillah Assegaf (1937). Beliau mewakafkan tanahnya untuk menambah lahan masjid, alun-alun, dan lahan untuk pemakaman yang letaknya tidak jauh dari Pintu Air Pulau Empang. Kompleks pemakaman ini diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan terakhir para kerabat bupati. Untuk keperluan urusan agama seperti pernikahan atau perceraian, di samping masjid didirikan Kantor Pengadilan Agama. Selain itu, dibangun ruangan untuk berkumpul dan melakukan pengajian bersama.
(a)
(b) Gambar 24. (a) Masjid Agung Empang Tahun 1847 dan (b) Tahun 1873 (Sumber : Tropenmuseum 2010, Danasasmita 1983)
67
Masjid Agung Empang kembali mengalami pemugaran pada tahun 1952. Bangunan joglo diubah menjadi bangunan yang mendapat pengaruh gaya arsitektur kolonial oleh Silaban, seorang arsitek yang juga merancang Masjid Istiqlal. Namun bentuk atap bangunan utama masjid mempertahankan gaya tradisional dengan bentuk segitiga sementara atap menara tidak lagi berundak dan digantikan oleh atap menara tinggi yang memiliki kubah. Pada tahun 1955 saat digelar Konferensi Asia Afrika (KAA), Presiden Soekarno besama Presiden Mesir Jenderal Gamal Abdul Naser melaksanakan solat berjamaah di Masjid Agung Empang. Masjid Agung Empang sampai dengan sekarang masih berfungsi sebagai tempat ibadah. Selain sebagai tempat melaksanakan ibadah solat berjamaah, setiap malam di Masjid Agung Empang dilakukan pengajian rutin yang dihadiri oleh warga di sekitar lingkungan masjid. Kondisi fisiknya tidak jauh berubah sejak mengalami renovasi terakhir pada masa awal kemerdekaan (Gambar 25).
(a)
(b) Gambar 25. (a) Masjid Agung Empang Tahun 1952 dan (b) Tahun 2010 (Sumber : Danasasmita 1983, Survey Lapang 2010)
Masjid Agung Empang yang terletak di Jalan Empang No. 1 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Surat Penetapan
BCB
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
RI
No
:
PM.26/PW.007/MKP/2007, sehingga pelestarian Masjid Agung Empang berada di bawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Bogor. Sementara pengelolaan keseharian lingkungan dalam dan sekitar masjid dilakukan
68
oleh penduduk setempat yang tergabung dalam Yayasan Masjid Agung At Tohirriyah. Kondisi fisik bangunan masjid saat ini terlihat kurang terawat, terkait dengan masalah kebersihan dan beberapa bagian bangunan yang rusak tidak segera diperbaiki.
c)
Pasar Bogor Kepindahan pusat pemerintahan Kampung Baru/Regentscape Buitenzorg
membawa kesibukan pemerintahan berlangsung sepanjang jalur Tanah Baru dan Sukahati (Empang). Kawasan ini semakin bertambah ramai dengan adanya kegiatan perekonomian. Pemerintah Belanda mewajibkan para petani mengangkut semua hasil bumi ke gudang yang terletak di arah utara Empang. Setelah menjual hasil buminya, para petani singgah untuk beristirahat sejenak. Keadaan tersebut menciptakan terbentuknya pasar untuk memfasilitasi kebutuhan para petani. Pasar dibuka seminggu sekali sesuai dengan jadwal penyerahan hasil bumi petani kepada pemerintah Belanda. Kemajuan pasar menarik para pedagang untuk menetap dan bermukim di dekat pasar, terutama bagi para pedagang Cina. Melihat potensi kawasan yang bernilai ekonomi tinggi, pemerintah Kolonial Belanda selanjutnya menyewakan tanah Buitenzorg miliknya kepada para pedagang. Tahun 1777, penghasilan tambahan Gubernur Jenderal sebesar 8000 ringgit berasal dari hasil sewa pasar (Danasasmita, 1983). Pasar tersebut kemudian dikenal dengan nama Pasar Bogor karena letaknya yang berdekatan dengan pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru atau Regentscape Buitenzorg. Sampai saat ini, pasar tersebut masih dikenal dengan nama Pasar Bogor. Karakteristik pasar yang sejak dulu didominasi oleh para pedagang Cina masih kuat terasa. Kepadatan lingkungan di sekitar Pasar Bogor semakin ramai dengan adanya terminal dan pedagang kaki lima yang keberadaanya tidak teratur dengan baik (Gambar 26).
69
(a)
(b) Gambar 26. (a) Pasar Bogor Periode Kolonial Belanda dan (b) Tahun 2010 (Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010)
d) Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru Dokumen tanggal 18 Januari 1776 memberitakan bahwa kediaman bupati Kampung Baru/Regentscape Buitenzorg terletak di sebelah timur Sungai Cisadane dekat dengan muara Sungai Cipakancilan. Rumah sang bupati berdiri pada lahan yang termasuk dalam kawasan rumah Buitenzorg. Hayatullah dalam Balebat (2007) menyebutkan bahwa bangunan pendopo yang menjadi kediaman Bupati Kampung Baru merupakan dua bangunan besar yang dihubungkan oleh sebuah galeri dari kayu dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah Regentscape Buitenzorg dihapuskan pada tahun 1872 oleh Pemerintah Belanda, para kerabat bupati berpindah ke daerah sekitar Empang. Selanjutnya, pendopo bekas kediaman Bupati Kampung Baru berpindah tangan pada seorang warga keturunan Arab. Atap bangunan pada awalnya bergaya tradisional berbentuk atap joglo. Penambahan fasad bangunan dari bahan beton yang mengadopsi gaya arsitektur kolonial indische menutupi bentuk atap tradisionalnya. Lantai kayu pada bangunan pendopo digantikan dengan lantai keramik yang lebih kuat dan tahan lama. Namun tampak bangunan yang simetris tidak mengalami perubahan (Gambar 27). Bekas bangunan pendopo sempat beralih fungsi menjadi rumah produksi kain tenun pada awal abad ke 20. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena rumah produksi kain tenun kemudian dipindahkan ke Pekalongan oleh pemiliknya yang merupakan warga keturunan Arab. Selanjutnya bangunan ini
70
kembali menjadi rumah tinggal tanpa mengalami perubahan fisik bangunan walaupun status kepemilikannya berubah-ubah. Status kepemilikan bangunan saat ini berada di tangan Abdul Aziz al Wahdi. Walaupun sudah berusia lebih dari dua ratus tahun, bangunan tua bekas pendopo sampai sekarang kondisinya tetap kokoh dan cukup terawat. Pemeliharaan yang kurang maksimal terlihat pada cat dinding bangunan dan pagar yang mengelupas dan terlihat kusam namun tidak dilakukan pengecetan ulang akibat keterbatasan dana. Perhatian pemerintah daerah terhadap pengelolaan bangunan pun kurang dapat dirasakan walaupun bangunan yang terletak di Jalan Empang No. 2A-C tersebut telah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya Kota Bogor.
(a) (b) Gambar 27. (a) Pendopo Bupati Periode Kolonial Belanda dan (b) Tahun 2010 (Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010) e)
Kediaman Resmi Kapiten Arab Kediaman resmi Kapiten Arab terletak di sisi timur Alun-alun Empang,
tepatnya di Jalan Empang Masjid No. 15. Rumah ini menjadi kediaman resmi bagi Kapiten Arab sejak akhir abad ke-19. Pemimpin komunitas Arab terakhir bernama Ahmad bin Syaid Bajenet (1900-1910) diketahui menempati rumah tersebut (Survey Lapang, 2010). Kondisi fisik bangunan bekas kediaman resmi Kapiten Arab terawat dengan baik. Gaya arsitektur bangunan mengadopsi gaya indische dimana bangunan utama terdiri atas serambi depan, ruang tamu, ruang tengah, ruang tidur, dan serambi belakang. Elemen bangunan seperti jendela, pintu, serta ragam hias pada lubang ventilasi dari dulu sampai sekarang tetap dipertahankan. Bangunan
71
ini dikelilingi oleh dinding setinggi dua meter. Terdapat dua jalur masuk yang terpisah untuk tamu laki-laki dan tamu perempuan. Selain itu, terdapat kamar mandi yang terletak di samping rumah dan terpisah dari bangunan utama dan diperuntukkan bagi tamu laki-laki. Pemisahan ruang berdasarkan jenis kelamin pada bangunan bekas kediaman resmi Kapiten Arab merupakan pola hunian khas bangsa Timur Tengah (van den Berg, 2010). Sampai saat ini, bangunan bekas kediaman Resmi Kapiten Arab tetap berfungsi sebagai bangunan tinggal dan dikelola secara pribadi oleh keturunan Ahmad bin Syaid Bajenet, bernama Titi Bajenet. Pemeliharaan bangunan yang dilakukan meliputi kegiatan pengecetan terutama pada dinding pagar yang sering kali menjadi objek vandalisme masyarakat yang tidak bertanggung jawab (Gambar 28). Perbaikan elemen bangunan yang mengalami kerusakan ringan diperbaiki tanpa merubah karakter fisik bangunan.
(a)
(b) Gambar 28. (a) Vandalisme pada Dinding Pagar (b) Kondisi Tahun 2010 (Sumber : Survey Lapang 2010)
f)
Masjid At Taqwa Masjid At Taqwa dibangun di atas tanah wakaf seorang tokoh agama
keturunan Arab bernama Ismail bin Alaydrus. Namun tidak diketahui kapan tepatnya masjid tersebut didirikan. Pada awalnya Masjid At Taqwa dikenal dengan nama Masjid Pekojan kerana tanah wakaf yang dihibahkan berada di dalam kawasan Pekojan dan berjarak sekitar 200 m ke arah utara Masjid Agung Empang. Sebelum diwakafkan menjadi sebuah masjid, lahan tersebut merupakan tempat untuk memelihara kuda (istal). Para tokoh agama dari golongan non sayyid
72
yang berhimpun dalam organisasi Al Irsyad, memusatkan kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah di Masjid Pekojan. Menurut majalah At Tauhid pada tahun 1933, diketahui bahwa pengurus Al Irsyad menghimpun dana untuk merenovasi Masjid Pekojan. Ahli waris Ismail bin Alaydrus, Salim bin Alaydrus, menyerahkan sepenuhnya akte sertifikat wakaf Masjid Pekojan kepada Yayasan Al Irsyad pada tanggal 27 September 1978, setelah cukup lama menjadi pusat bagi kegiatan dakwah Al Irsyad. Selanjutnya pada tanggal 11 Februari 1982, Yayasan Al Irsyad Bogor membentuk kepanitiaan dalam rangka mendirikan bangunan baru sebagai pengganti bangunan masjid lama. Keputusan tersebut menimbulkan kontroversi internal antar anggota Al Irsyad. Kalangan yang lebih tua menentang didirikannya bangunan baru yang akan menghilangkan nilai sejarah pada bangunan lama. Namun, setelah dilakukan mufakat antar anggota Al Irsyad, maka pembangunan masjid dimulai pada tanggal 1 April 1983. Nama Masjid Pekojan diubah menjadi Masjid At Taqwa. Almarhum Ali Azzan Abdad memberikan tanah wakaf untuk penambahan lahan di bagian barat masjid seluas 100 m2. Tahap awal pembangunan Masjid At Taqwa dibiayai oleh dana hibah yang berasal dari almarhum Ahmad bin Usman Bawahab. Dana pembangunan selanjunya didapat dengan menghimpun dana dari para donatur dari dalam dan luar negeri. Bangunan Masjid At Taqwa cenderung bergaya minimalis dengan mengutamakan fungsi bangunan yang lebih efektif dan efisien (Gambar 29).
(a)
(b) Gambar 29. (a) Masjid At Taqwa Tahun 1933 (b) Tahun 2010 (Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010)
73
g) Masjid An Noer Masjid An Noer didirikan oleh Abdullah bin Mukhsin al-Attas. Beliau merupakan seorang tokoh agama berkebangsaan Arab dari golongan sayyid yang mendapatkan gelar Habib. Pada tahun 1900, Habib Abdullah bin Mukhsin alAttas hijrah ke Empang. Beliau bermukim di dekat pusat pemerintahan tepatnya di kawasan Lolongok. Dahulu, Lolongok merupakan kawasan berawa-rawa. Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas diberi kemampuan oleh Allah SWT untuk mengeringkan daerah rawa tersebut dalam satu malam. Sehingga pemerintah Belanda yang saat itu berkuasa, memberikan tanah Lolongok kepada Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas untuk bermukim. Pada tahun 1909 Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas mendirikan Masjid An Noer (Hayatullah, 2007) yang terletak tidak jauh dari kediamannya. Bangunan Masjid An Noer memiliki gaya arsitektur timur tengah dengan mengadopsi model arsitektur sebuah masjid yang ada di Yaman. Pengaruh arsitektur tradisional terlihat dari bentuk segitiga pada atap masjid. Hal tersebut merupakan bentuk adaptasi arsitektural terhadap iklim tropis yang ada di Indonesia. Awalnya, menara masjid terpisah dari bangunan utama dan serambi disekeliling masjid merupakan area terbuka (Gambar 30).
Gambar 30. Masjid An Noer Tahun 1909 (Sumber : Tropenmuseum 2010)
74
Pada sekitar tahun 1990an, Masjid An Noer mengalami pemugaran. Bangunan masjid diperluas sehingga bangunan utama dan menara masjid bersatu. Selain itu, atap menara masjid yang semula berbentuk segitiga diganti menjadi atap kubah yang pada setiap ujung kubahnya memiliki bentuk yang berbeda-beda (Gambar 31). Saat ini Masjid An Noer telah terdaftar sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) Kota Bogor. Status kepemilikan Masjid An Noer berada di bawah Yayasan An Noer Tauhid yang dikelola oleh keluarga besar al-Attas dan bekerjasama dengan pemerintah daerah Kota Bogor.
(a) (b) Gambar 31. (a) Masjid An Noer Tahun 2010 dan (b) Kaligrafi pada Atap Masjid (Sumber : Survey Lapang 2010) Yayasan An Noer Tauhid secara rutin mengadakan pengajian setiap hari Kamis sore dan dipusatkan di Masjid An Noer. Selain acara pengajian, Masjid An Noer juga menjadi pusat perayaan saat memperiangati Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahunnya. Suasana peringatan Maulid Nabi Muhammad di Kawasan Empang berlangsung khidmat dan meriah. Berbagai seni budaya Islam seperti musik marawis ditampilkan. Tradisi tahunan tersebut juga diisi dengan ceramah dari para Habib terkemuka serta pembacaan shalawat Nabi untuk menghormati dan mengenang Nabi Muhammad SAW. Peringatan Maulid Nabi ditutup dengan acara makan nasi kebuli yaitu nasi khas racikan Arab dengan lauk daging kambing secara bersama-sama. Tradisi tahunan lainnya yang dipusatkan di Masjid An Noer adalah tradisi khatam Al Quran pada malam ke-21 bulan Ramadhan. Tradisi yang berasal dari Hadramaut tersebut sudah berlangsung puluhan bahkan lebih dari satu abad di masjid-masjid tua yang tersebar di Jakarta dan Bogor.
75
h) Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas atau disebut juga Wali Qutub merupakan cucu keturunan ketiga puluh enam Nabi Muhammad SAW. Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas berasal dari Yaman, sebuah negara di tenggara Saudi Arabia. Beliau dilahirkan di Kampung Khuraidah Hadramaut pada bulan Desember tahun 1859. Semasa hidupnya, beliau berkelana ke berbagai penjuru dunia untuk menyebarkan agama Islam, sampai akhirnya menetap di Empang dan membangun Masjid An Noer bersama para kerabatnya. Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas adalah seorang tokoh penyebar agama Islam yang cukup berpengaruh pada masa Pemerintahan Belanda. Beliau menikah dengan seorang wanita keturunan Dalem Shalawat, Bupati Kampung Baru yang terakhir. Pada tanggal 29 Djulhijjah 1351 H atau 26 April 1933 Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas wafat. Jasadnya dimakamkan di bagian barat Masjid An Noer. Sampai saat ini makam Habib Abdullah bin Moehsin al-Attas dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Empang dan Kota Bogor. Keberadaan makam beliau menarik banyak peziarah dari berbagai daerah bahkan luar negeri untuk datang ke kawasan Empang terutama pada hari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ataupun pada peringatan haul wafatnya Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas. Dihari-hari biasa, makam beliau ramai dikunjungi peziarah pada malam jumat dan akhir pekan setiap minggunya. Suasana semakin bertambah ramai dengan kehadiran para pedagang musiman yang menjual perlengkapan ibadah seperti tasbih, sorban, peci dan kerudung, wewangian, kitab, maupun kaset murotal (Gambar 32).
Gambar 32. Pedagang Musiman di Lingkungan Sekitar Makam Habib (Sumber : Survey Lapang 2010)
76
Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir membangun cungkup pada lokasi komplek makam yang di dalamnya terdapat makam Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas, lima orang putranya, dan seorang murid kesayangannya (Gambar 33). Kondisi fisik komplek makam terawat dengan baik. Kebersihan lingkungan dan dalam komplek makam Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas dikelola oleh Yayasan An Noer Tauhid. Saat ini komplek makam Habib Abdullah bin Moehsin al-Attas telah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya (BCB) oleh pemerintah daerah Kota Bogor.
(a)
(b)
Gambar 33. (a) Cungkup Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas dan (b) Komplek Makam Dalam Cungkup (Sumber : Survey Lapang 2010) i)
Makam Keluarga Dalem Shalawat Makam Keluarga Dalem Shalawat terletak di sisi Jalan RA Wiranata dan
berdekatan dengan Masjid Agung Empang. Pada area pemakaman terdapat satu bangunan persegi dengan atap tradisional berbentuk joglo. Di dalam bangunan tersebut terdapat enam belas makam, terdiri dari tiga belas makam perempuan dan tiga makam laki-laki. Dua diantara enam belas makam merupakan makam dari Bupati Kampung Baru yaitu RH Muhammad Tohir dan putra beliau yang bernama Raden Aria Wiranata atau yang lebih dikenal dengan nama Dalem Shalawat. RA Wiranata merupakan Bupati Kampung Baru terakhir. Beliau meninggal pada tahun 1872 bertepatan dengan tahun dihapuskannya Regentscape Buitenzorg oleh pemerintah Belanda. Keberadaan kedua makam yang telah berusia lebih dari seratus tahun menarik banyak minat peziarah untuk datang berkunjung ke kawasan Empang.
77
Komplek Makam Keluarga Besar Dalem Shalawat berada dalam kondisi terawat. Hal tersebut dapat terlihat pada makam Bupati Kampung Baru RH Muhammad Tohir yang ditutup kain putih dan diberi pagar kayu disekelilingnya sebagai suatu bentuk perlindungan. Dua orang penjaga makam bertugas untuk merawat kebersihan lingkungan makam dan bangunan (Gambar 34). Pengelolaan rutin dilakukan secara mandiri dan berada dibawah pengawasan Yayasan At Tohirriyah. Walaupun secara resmi Komplek Makam belum terdaftar sebagai BCB, namun pemerintah Kota Bogor ikut berperan dalam melestarikan Komplek Makam
Keluarga
Dalem
Shalawat
dengan
memberikan
bantuan
dana
pembangunan pagar disekeliling area pemakaman.
(a)
(b)
Gambar 34. (a) Makam RH Muhammad Tohir (b) Komplek Makam Keluarga Besar Dalem Shalawat (Sumber : Survey Lapang 2010) j)
Bendungan Empang Bendungan Empang dibangun pada masa pemerintahan Bupati Kampung
Baru Aria Natanegara (1761-1789). Pembangunan bendungan bertujuan untuk meningkatkan perkembangan pertanian pada masa itu. Saluran irigasi berupa kanal buatan dibangun dari Empang menuju Kedungbadak dengan memanfaatkan aliran Sungai Cisadane, Cipakancilan, dan Ciliwung. Sejak tahun 1775 aliran Sungai Cisadane dipecah menjadi dua. Muara Sungai Cipakcilan pada tepi Sungai Cisadane dibendung dan disalurkan melalui kanal buatan. Pengalihan aliran air mengakibatkan terbentuknya Empang Pulo. Aliran Sungai Cipakancilan kembali dipecah dengan kanal Cidepit kemudian
78
alirannya disalurkan ke Sungai Ciliwung. Bendungan dan saluran air selesai dibangun pada tanggal 6 Agustus 1776 dengan membuat kanal buatan yang menghubungkan
Ciliwung
dan
Cisadane
melalui
perpanjangan
aliran
Cipakancilan sejauh beberapa kilometer. Penerapan teknologi maju pengelolaan air karya bangsa pribumi dibangun tanpa campur tangan pemerintah kolonial Belanda (Danasasmita, 1983). Selanjutnya, pemerintah Belanda memperbesar saluran air dan memperkokoh bendungan dengan beton (Gambar 35). Bendungan Empang saat ini masih berfungsi. Perbaikan dilakukan tehadap pintu-pintu air agar Bendungan Empang dapat mengontrol debit aliran air Sungan Cisadane dengan baik. Pengelolaan Bendungan Empang berada dibawah pengawasan Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Kota Bogor.
(a)
(b)
Gambar 35. (a) Bendungan Empang Periode Kolonial Belanda (b) Tahun 2010 (Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010)
4.2.3
Lanskap Budaya Kawasn Empang Kawasan Empang sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda telah dihuni
oleh masyarakat dengan latar belakang budaya yang beragam. Selain terdiri dari masyarakat etnis Sunda sebagai penduduk asli, terdapat etnis lain seperti Jawa, Banjar, Arab, dan Cina yang menghuni kawasan ini. Asimilasi dan akulturasi budaya hasil interaksi antar kelompok masyarakat yang telah lama hidup bersama di kawasan Empang membentuk elemen lanskap budaya yang unik. Hal tersebut tercermin dalam beragam corak arsitektur pada elemen bangunan, aktivitas
79
budaya dan keagamaan, serta aktivitas ekonomi yang terdapat di kawasan Empang saat ini. Corak arsitektur pada elemen bangunan dipengaruhi oleh kondisi aspek iklim dan lingkungan kawasan. Meskipun demikian, aspek sosial dan budaya merupakan faktor kuat dalam menentukan bentuk dan gaya arsitektur pada suatu bangunan. Di samping itu, aspek politik pada masa pemerintah Kolonial Belanda serta aspek ekonomi yang didapatkan dari pedagang asing seperti Arab dan Cina menghasilkan keragaman corak arsitektur pada elemen bangunan di kawasan Empang yang dapat dapat dilihat pada Gambar 36.
Gambar 36. Ragam Corak Arsitektur pada Elemen Bangunan di Kawasan Empang Bentuk atap dahi tumpul pada beberapa bangunan rumah tinggal tradisional maupun kolonial di kawasan Empang merupakan pengaruh budaya suku Banjar dari Banjarmasin yang pada masa kolonial Belanda bermukim di kawasan Empang sebagai tawana pemerintah kolonial. Budaya yang dimiliki oleh
80
suku Banjar selanjutnya berakulturasi dengan budaya Sunda dan beradaptasi dengan kondisi lingkungan kawasan Empang menghasilkan bentukan baru yang berbeda dengan bentuk aslinya di Banjarmasin. Pengaruh budaya Arab dapat dilihat pada bentuk bangunan Masjid An Noer. Bentuk bangunan yang mengadopsi bentuk masjid di Timur Tengah mengalami adaptasi bentuk atap yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan budaya Sunda sebagai budaya lokal. Pengaruh budaya Cina dapat dilihat pada beberapa bangunan toko yang ada di kawasan Empang. Bangunan-bangunan yang dipengaruhi budaya kolonial Belanda merupakan bangunan bergaya indische yang sangat baik dapat beradaptasi dengan kondisi lingkung dan iklim tropis. Asimilasi budaya Arab dan Sunda yang terjadi sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda melalui ikatan perkawinan menghasilkan ragam budaya yang unik. Masyarakat keturunan Arab-Sunda yang bermukim di kawasan Empang saat ini sudah jarang menggunakan bahasa Arab dalam kehidupan kesehariannya. Mereka lebih sering menggunakan bahasa Sunda saat melakukan komunikasi dengan anggota keluarga atau masyarakat di lingkungan pemukimannya. Walaupun demikian budaya Arab yang tidak dapat hilang pada masyarakat keturunan adalah kegemaran memakan daging kambing. Pada hari besar keagamaan bagi umat Islam, makanan olahan kambing khas Timur Tengah seperti nasi kebuli dan sayur maraq tersedia di setiap rumah untuk dimakan bersama keluarga besar yang saling bersilaturahmi. Sementara dalam tradisi pernikahan, gadis keturunan Arab yang telah menerima lamaran akan dikurung dalam sebuah kamar bersama dengan teman-teman wanitanya. Di dalam kamar mereka menarikan tarian Arab dengan iringan musik gambus. Tradisi ini dikenal dengan nama malam pacar. Setiap minggunya, kawasan Empang ramai dikunjungi oleh masyarakat dari daerah sekitarnya maupun dari luar Bogor, terutama pada malam Jumat dan hari Minggu atau hari libur. Mereka datang untuk berziarah ke makam-makam tua yang dikeramatkkan, seperti makan Buyut Kampung Baru RH Muhammad Tohir dan makam Dalem Shalawat maupun makam Habib Abdullah bin Mukhsin alAttas beserta para kerabatnya. Kawasan Empang semakin bertambah ramai oleh para peziarah dari berbagai daerah bahkan luar negeri ketika diselenggarakan
81
peringatan wafatnya Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas (Gambar 37). Selain berziarah ke makam-makam tua, pemakaman Arab yang terdapat di selatan kawasan Empang selalu dikunjungi oleh para keturunan Arab untuk berziarah ke makam kerabatnya yang telah meninggal. Tradisi ziarah kubur merupakan salah satu aktivitas keagamaan yang dibawa oleh bangsa Arab.
(a)
(b)
Gambar 37. Peringatan Haul Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas (a) di Dalam Cungkup Makam (b) di Luar Cungkup Makam (Sumber : Survey Lapang 2010)
Saat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, kawasan Empang menjadi bertambah ramai dengan adanya pasar, pertunjukan kesenian, dan tabligh akbar dari para Habib terkemuka. Aktivitas budaya, keagamaan, dan ekonomi bersatu dalam perayaan yang diadakan setiap tahun. Kesenian musik marawis sebagai bentuk ekspresi budaya bangsa Timur Tengah mengiringi puji-pujian saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW (van den Berg, 2010). Aktivitas keagamaan dan kesenian dipusatkan di Masjid An Noer (Gambar 38a). Pasar diramaikan oleh pedagang mulai dari pedagang yang menjual perlengkapan ibadah sampai dengan pedagang yang menjual mainan anak-anak. Aktivitas ekonomi berpusat di sekitar alun-alun, sepanjang jalan dari Masjid Agung Empang sampai ke Masjid An Noer (Gambar 38b). Tradisi lainnya yang terdapat di Empang adalah tradisi khatam Al Quran di bulan Ramadhan. Aktivitas keagamaan yang berasal dari Hadramaut tersebut sudah berlangsung lebih dari satu abad di masjid-masjid tua yang tersebar di Jakarta dan Bogor. Tradisi khatam Al Quran berlangsung di Masjid An Noer pada malam ke-21 Ramadhan.
82
Gambar 38. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kawasan Empang Pemerintahan Kolonial Belanda pada awalnya melarang masyarakat Empang mendirikan
warung, toko,
ataupun pasar
di
dalam kawasan
pemukimannya. Baru setelah masa kemerdekaan, kawasan Empang muncul sebagai kawasan perdagangan dan jasa dengan komoditas barang dagangan khas Timur Tengah. Aktivitas ekonomi yang terbentuk memiliki karakter khusus sebagai bagian dari sejarah perkembangan kawasan Empang dan menjadi ciri dari bangsa Arab yang sejak dulu dikenal berprofesi sebagai pedagang. Beragam bentuk aktivitas ekonomi (Gambar 39) berkembang mulai dari tanjakan Empang dekat Pasar Bogor sampai kawasan di sekitar Alun-alun Empang, tepatnya di sepanjang Jalan Raden Saleh, Jalan Pahlawan, dan Jalan RA Wiranata. Keberagaman elemen lanskap budaya yang terdapat di kawasan Empang dapat memperkuat karakteristik lanskap sejarah kawasan tersebut. Apabila tidak dikelola dengan baik akan berakibat buruk bagi eksistensi elemen lanskap budaya yang ada. Oleh karena itu, upaya pelestarian dan pengembangan kawasan Empang tidak hanya memperhatikan aspek fisik tetapi juga memperhatikan aspek budaya dan ekonomi masyarakat di kawasan Empang.
83
Gambar 39. Ragam Aktivitas Ekonomi di Kawasan Empang
4.2.4
Kebijakan Pelestarian Lanskap Sejarah Kawasan Empang Pemerintah Kota Bogor sampai saat ini belum memiliki peraturan daerah
yang mengatur pelestarian bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya. Dasar hukum yang digunakan dalam pelestarian bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya masih mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB). Namun, upaya pelestarian bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya telah dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor meliputi kegiatan inventarisasi dan pendataan, pembuatan
84
buku, penelitian, seminar, dan workshop terkait BCB yang terdapat di Kota Bogor. Tahun 2007 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor melakukan pendataan benda cagar budaya yang ada di enam wilayah kecamatan di Kota Bogor, termasuk wilayah Kecamatan Bogor Selatan. Kegiatan pendataan yang telah dilakukan menghasilkan 53 bangunan yang masuk kategori benda cagar budaya dan tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Bogor Selatan, 15 diantaranya berada di kawasan Empang. Secara umum, benda cagar budaya tersebut berasal dari periode pra sejarah, periode klasik (Kerajaan Hindu Budha), dan periode Kolonial Belanda meliputi bangunan rumah tinggal, tempat ibadah, bangunan pemerintah, prasarana umum, sekolah, dan prasasti. Masjid Agung Empang merupakan satu-satunya benda cagar budaya yang telah ditetapkan secara resmi melalui Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia tanggal 26 Maret 2007. Penetapan benda cagar budaya lainnya harus melewati proses yang panjang dan dilakukan secara bertahap melalui proses legislasi mulai dari tingkat kota/kabupaten (SK Walikota atau PERDA) sampai tingkat pusat (SK Menbudpar RI). Pengelolaan terhadap benda cagar budaya di kawasan Empang baik yang sudah ditetapkan secara resmi maupun yang belum/sedang dalam proses penetapan melalui SK, mendapatkan perlakuan yang sama. Tindakan pengelolaan yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor meliputi tindakan pengamanan, pemeliharaan, dan pemanfaatan yang tidak merusak karakteristik benda cagar budaya yang dilindungi.
4.3
Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang Kawasan Empang memiliki nilai signifikan sejarah yang berbeda-beda
pada setiap zona yang terbentuk. Dari hasil identifikasi karakteristik lanskap sejarah kawasan Empang, diketahui bahwa kawasan tersebut terbagi ke dalam tiga zona berdasarkan fungsi ruangnya dimasa lalu ( Gambar 15), yaitu Zona I. Pusat Pemerintahan, Zona II. Pemukiman Arab, dan Zona III. Pemukiman Pribumi. Penilaian terhadap ketiga zona dilakukan untuk mengetahui nilai signifikan sejarah dengan tingkat tinggi, sedang, dan rendah, meliputi penilaian keaslian (originality) dan keunikan (uniqueness) lanskap sejarah kawasan Empang.
85
4.3.1 Nilai Keaslian (Originality) Lanskap Sejarah Kawasan Empang Menurut Harris dan Dines (1988), terdapat beberapa kriteria penilaian yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan tingkat keaslian lanskap sejarah. Kriteria yang digunakan dalam penilaian keaslian lanskap sejarah kawasan Empang yaitu pola tata guna lahan, pola pemukiman, tipe bangunan, dan pola sirkulasi (Tabel 3) . Dengan menggunakan kriteria tersebut dapat diketahui tingkat keaslian dari setiap zona yang terdapat di kawasan Empang. Penilaian keaslian (originality) lanskap sejarah kawasan Empang disajikan pada Tabel 12 dan secara spasial dapat dilihat pada Gambar 37.
Tabel 12. Penilaian Keaslian (Originality) Lanskap Sejarah Kawasan Empang Kriteria Zona
Zona I. Pusat Pemerintahan Zona II. Pemukiman Arab Zona III. Pemukiman Pribumi
Pola Penggunaan Lahan
Pola Pemukiman
Pola Sirkulasi
Total
Kategori
Bangunan
3
3
2
3
11
Tinggi
2
2
2
2
8
Sedang
2
1
1
2
6
Rendah
Keterangan : Skor 4-7 = Keaslian Rendah, Skor 8-10 = Keaslian Sedang, Skor 1112 = Keaslian Tinggi. Berdasarkan hasil analisis penilaian tingkat keaslian lanskap sejarah di kawasan Empang, zona I pusat pemerintahan masuk dalam kategori tingkat keaslian tinggi. Pola penggunaan lahan relatif tidak mengalami perubahan penggunaan lahan atau perubahan penggunaan lahan yang terjadi kurang dari 25%, dengan pola penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman. Pola pemukiman dalam zona I merupakan pola pemukiman konsentrik dimana alunalun menjadi pusat orientasi perkembangan pemukiman. Bangunan yang terdapat dalam zona I mengalami asimilasi pada struktur dan elemen bangunannya, namun masih mewakili karakter dan gaya arsitektur masa lalu dengan jumlah bangunan kuno berumur lebih dari 50 tahun cukup banyak.
86
Gambar 40
87
Sementara pola sirkulasi pada zona I mempertahankan karakteristik kawasan pusat pemerintahan yang berpola konsentrik mengelilingi alun-alun dengan jaringan jalan yang tetap dan relatif tidak mengalami penambahan ruas, sehingga karakter jalan yang ada masih asli. Zona II pemukiman Arab masuk dalam kategori tingkat keaslian sedang. Pola penggunaan lahan mengalami perubahan penggunaan lahan antara 25 sampai dengan 50%. Perubahan pola penggunaan lahan terjadi akibat adanya alih fungsi bangunan rumah tinggal menjadi toko, terutama di sepanjang penggal Jalan Pahlawan, Jalan RA Wiranata, dan Jalan Raden Saleh sesuai dengan Rencana Penggunaan Lahan Kecamatan Bogor Selatan tahun 2002-2012 sebagai kawasan perdagangan dan jasa. Walaupun terjadi perubahan penggunaan lahan, namun perubahan penggunaan lahan yang sesuai dapat memperkuat karakter kawasan sejarah pada zona II. Pola pemukiman dalam zona II merupakan pola pemukiman konsentrik-linear karena terdapat masjid sebagai elemen lanskap yang menjadi pusat pemukiman dan arah perkembangan pemukiman selanjutnya berorientasi kepada jalan lingkungan dalam pemukiman seperti Jalan Pekojan, Jalan Kaum, dan Jalan Lolongok. Bangunan yang terdapat dalam zona II mengalami asimilasi pada struktur dan elemen bangunannya, namun masih mewakili karakter dan gaya arsitektur masa lalu dengan jumlah bangunan kuno berumur lebih dari 50 tahun cukup banyak. Sementara pola sirkulasi pada zona II dilengkapi oleh jaringan jalan yang mengalami penambahan ruas namun penambahan ruas jalan tersebut masih mempertahankan karakteristik jalan pada masa lalu. Zona III pemukiman pribumi masuk dalam kategori tingkat keaslian rendah. Pola penggunaan lahan dalam zona III mengalami perubahan penggunaan lahan antara 25 sampai dengan 50%. Perubahan pola penggunaan lahan terjadi dengan adanya alih fungsi lahan terbuka seperti kebun-kebun campuran menjadi lahan terbangun akibat tingginya jumlah penduduk yamg memicu peningkatan kebutuhan akan tempat tingal. Pola pemukiman dalam zona III merupakan pola pemukiman linear karena tidak terdapat elemen lanskap yang menjadi pusat pemukiman dan arah perkembangan pemukiman saat ini lebih berorientasi pada jalan. Bangunan yang terdapat dalam zona III mengalami perubahan pada struktur dan elemen bangunannya, sehingga sudah tidak mewakili karakter dan gaya
88
arsitektur masa lalu dengan bangunan kuno yang berumur lebih dari 50 tahun jumlahnya sedikit. Sementara pola sirkulasi pada zona III dilengkapi oleh jaringan jalan yang mengalami penambahan ruas namun penambahan ruas jalan tersebut masih mempertahankan karakteristik jalan pada masa lalu.
4.3.2
Nilai Keunikan (Uniqueness) Lanskap Sejarah Kawasan Empang Menurut Harris dan Dines (1988), terdapat beberapa kriteria penilaian
yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan tingkat keunikan lanskap sejarah. Kriteria yang digunakan dalam penilaian keunikan lanskap sejarah kawasan Empang yaitu asosiasi kesejarahan, integritas, keragaman yang berbeda dari kebiasaan, dan kualitas estetik (Tabel 4). Dengan menggunakan kriteria tersebut dapat diketahui tingkat keunikan dari setiap zona yang terdapat di kawasan Empang. Penilaian keunikan (uniqueness) lanskap sejarah kawasan Empang disajikan pada Tabel 13 dan secara spasial dapat dilihat pada Gambar 41. Tabel 13. Penilaian Keunikan (Uniqueness) Lanskap Sejarah Kawasan Empang
Zona
Zona I. Pusat Pemerintahan Zona II. Pemukiman Arab Zona III. Pemukiman Pribumi
Asosiasi Kesejarahan
Kriteria Keragaman Berbeda Integritas dari Kebiasaan
Kualitas Estetik
Total
Kategori
3
2
3
2
10
Sedang
3
2
2
2
9
Sedang
2
1
1
2
6
Rendah
Keterangan : Skor 4-7 = Keunikan Rendah, Skor 8-10 = Keunikan Sedang, Skor 11- 12 = Keunikan Tinggi. Berdasarkan hasil analisis penilaian tingkat keunikan lanskap sejarah di kawasan Empang, zona I pusat pemerintahan masuk dalam kategori tingkat keunikan sedang. Asosiasi kesejarahan yang terbentuk dalam zona I merupakan hubungan kesejarahan kuat yang tercermin melalui bukti sejarah dalam wujud fisik,
seperti
alun-alun,
masjid,
dan
bangunan
kuno,
sehingga
dapat
menggambarkan struktur pemerintahan yang terjadi di masa lalu secara nyata.
89
Gambar 41
90
Elemen lanskap sejarah yang terdapat dalam zona I berada di sekeliling alun-alun, namun Pasar Bogor terletak lebih ke arah utara terpisah dari alun-alun, sehingga integritas karakter lanskap sejarah yang terbentuk lemah. Keragaman yang berbeda dari kebiasaan dalam zona I dapat terlihat pada lanskap alun-alun dengan tatanan khas sebagai simbol sebuah pusat kota tradisional pada masa lalu. Elemen lanskap tersebut menjadi satu-satunya perwakilan tipe elemen bersejarah di Kota Bogor. Kualitas estetik dalam zona I masih dapat menunjukkan nilai estetika atau gaya arsitektur masa lalu yang unik pada elemen-elemen pembentuknya. Walaupun pada beberapa elemen seperti alun-alun, Masjid Agung Empang, dan bangunan bekas kediaman Bupati Kampung Baru terjadi penurunan kualitas estetik akibat adanya gangguan internal terkait pengelolaan bangunan dan gangguan eksternal dari lingkungan sekitarnya terkait pengelolaan PKL. Zona II pemukiman Arab masuk dalam kategori tingkat keunikan sedang. Asosiasi kesejarahan yang terbentuk dalam zona II merupakan hubungan kesejarahan kuat yang tercermin melalui bukti sejarah berupa masjid-masjid tua yang berada dalam lingkungannya, sehingga dapat menggambarkan sejarah perkembangan komunitas Arab pada masa lalu di Kota Bogor. Elemen lanskap sejarah yang terdapat dalam zona II tersebar dalam jumlah yang banyak sehingga membentuk integritas karakter lanskap sejarah yang lemah. Keragaman yang berbeda dari kebiasaan dalam zona II dapat terlihat dengan keberadaan Masjid Agung, Masjid At Taqwa, dan Masjid An Noer yang menjadi pusat pemukiman Arab di Empang. Elemen tersebut merupakan perwakilan tipe elemen bersejarah dari suatu tatanan lanskap pemukiman khas masyarakat Arab yang bermukim di Kota Bogor. Kualitas estetik dalam zona II masih dapat menunjukkan nilai estetika atau gaya arsitektur masa lalu yang unik pada elemen-elemen pembentuknya. Walaupun kualitas estetik pada elemen Masjid At Taqwa sudah pudar akibat renovasi bangunan masjid yang merubah total bangunan kuno menjadi bangunan bergaya modern. Zona III pemukiman pribumi masuk dalam kategori tingkat keunikan rendah. Asosiasi kesejarahan yang terbentuk dalam zona III merupakan hubungan kesejarahan lemah, karena elemen lanskap sejarah yang ada saat ini kurang bisa memberikan gambaran kehidupan masyarakat pribumi di kawasan Empang pada
91
masa lalu secara lebih jelas. Elemen tersebut tersebar dalam jumlah yang sedikit sehingga membentuk integritas karekter lanskap sejarah yang lemah. Keragaman yang berbeda dari kebiasaan dapat terlihat dengan keberadaan bangunanbangunan kuno bergaya tradisional maupun kolonial indische yang berfungsi sebagai rumah tinggal dalam pemukiman pribumi. Elemen lanskap tersebut menjadi contoh keragaman perwakilan tipe elemen bersejarah yang khas di Kota Bogor. Kualitas estetik dalam zona III masih dapat menunjukkan nilai estetika atau gaya arsitektur masa lalu yang unik pada elemen-elemen pembentuknya, seperti pada bangunan rumah tinggal di Jalan Sadane No. 71.
4.3.3
Hasil Analisis Overlay peta keaslian dan keunikan lanskap sejarah kawasan Empang
menghasilkan sebuah peta komposit (Gambar 42) yang dapat mencerminkan kualitas dan nilai sejarah dari setiap zona dalam kawasan. Perhitungan gabungan dari kedua aspek dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Penilaian Gabungan Aspek Keaslian dan Keunikan Lanskap Sejarah Kawasan Empang Nilai Nilai Zona Total Kategori Keaslian Keunikan Zona I. Pusat Pemerintahan Zona II. Pemukiman Arab Zona III. Pemukiman Pribumi
11
10
22
Tinggi
8
9
17
Sedang
6
6
12
Rendah
Keterangan : Skor 8-13 = Rendah, Skor 14-18 = Sedang, Skor 19- 24 = Tinggi.
Perhitungan gabungan aspek keaslian dan keunikan menghasilkan klasifikasi zona dengan nilai signifikansi sejarah tinggi, sedang, dan rendah. Zona I memiliki nilai signifikan sejarah tinggi dengan tingkat keaslian tinggi dan tingkat keunikan sedang. Zona II memiliki nilai signifikan sejarah sedang dengan tingkat keaslian dan keunikan sedang. Zona III memiliki nilai signifikan sejarah rendah dengan tingkat keaslian dan keunikan rendah.
92
Gambar 42
93
Rencana Penggunaan Lahan Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2002-2012 dapat memberikan pengaruh terhadap kelestarian lanskap sejarah kawasan Empang. Overlay peta komposit dan Rencana Penggunaan Lahan Kawasan Empang Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2002-2012 (Gambar 43) dilakukan untuk mengetahui ketiga zona di kawasan Empang dengan nilai signifikansi sejarah tinggi, sedang, dan rendah berada pada rencana penggunaan untuk kawasan pemukiman, kawasan perdagangan dan jasa, atau kawasan konservasi ekologis sungai. Zona I dengan nilai signifikansi sejarah tinggi sebagian besar wilayahnya berada pada rencana penggunaan lahan untuk kawasan perdagangan dan jasa. Hal ini dapat menurunkan kualitas nilai signifikansi sejarah pada zona I, karena rencana penggunaan lahan untuk kawasan perdagangan dan jasa secara umum tidak sesuai dengan karakteristik lanskap sejarah yang dimiliki zona I sebagai kawasan bekas pusat pemerintahan pada masa lalu. Rencana penggunaan lahan zona I terutama untuk wilayah Alun-alun Empang sebaiknya diarahkan untuk menjadi sebuah ruang terbuka publik skala kelurahan pada kawasan pemukiman. Namun, rencana penggunaan lahan untuk kawasan perdagangan dan jasa juga dapat mengingkatkan kualitas nilai signifikansi sejarah pada zona I terutama untuk wilayah Pasar Bogor yang terletak di sisi utara kawasan Empang, dengan tetap mempertahankan aktifitas ekonomi sebagai sebuah pasar tradisional dan tidak mengubah karakteristik fisik bangunan bergaya arsitektur cina yang ada. Zona II dengan nilai signifikansi sejarah sedang sebagian besar wilayahnya juga berada pada rencana penggunaan lahan untuk kawasan perdagangan dan jasa walaupun sebagian kecil masuk dalam rencana penggunaan lahan untuk kawasan pemukiman dan kawasan konservasi ekologi sungai. Peruntukan lahan yang sudah direncanakan dapat meningkatkan kualitas nilai signifikansi sejarah pada zona II apabila dalam pelaksanaannya berwawasan pelestarian kawasan bersejarah sehingga dapat mempertahankan karakteristik lanskap sejarah zona II sebagai kawasan pemukiman Arab yang sudah ada sejak masa Kolonial Belanda. Aktivitas perdagangan dan jasa dapat dilakukan untuk memperkuat karakteristik lanskap sejarah zona II dengan merencanakannya sebagai kawasan perdagangan dan jasa khusus yang menjual berbagai komoditi
94
95
barang dagangan khas masyarakat Arab. Wilayah perencanaannya dibatasi hanya untuk kawasan di sisi Jalan Pahlawan, Jalan Raden Saleh, dan Jalan RA Wiranata. Rencana penggunaan lahan untuk kawasan perdagangan dan jasa tidak boleh merusak karakteristik lanskap sejarah baik secara fisik maupun nilai sejarah dan budaya yang dimilikinya. Sedangkan rencana penggunaan lahan sebagai kawasan pemukiman pada zona II tidak boleh merubah karakteristik pola pemukiman Arab dimana masjid tetap dipertahankan sebagai pusat pemukiman. Zona III dengan nilai signifikansi sejarah rendah hampir seluruh wilayahnya berada pada rencana penggunaan lahan untuk kawasan pemukiman walaupun ada sebagian kecil wilayah yang masuk dalam rencana penggunaan lahan kawasan perdagangan dan jasa. Peruntukan lahan pemukiman ini tidak boleh dialih fungsikan menjadi kawasan perdagangan dan jasa, karena rencana penggunaan lahan sebagai kawasan pemukiman sudah sesuai dengan karakteristik lanskap sejarah zona III sebagai kawasan pemukiman Pribumi pada masa Kolonial Belanda. Namun, nilai signifikansi sejarah rendah pada zona III perlu ditingkatkan melalui perbaikan citra kawasan yang dapat memperkuat karakteristik lanskap sejarah. Rencana penggunaan lahan untuk kawasan konservasi ekologis di sepanjang Sungai Cisadane dapat mendukung usaha memperkuat citra lanskap sejarah zona III.
4.4
Persepsi, Pendapat, dan Keinginan Masyarakat Terhadap Lanskap Sejarah Kawasan Empang Masyarakat merupakan komponen penting yang harus dipertimbangkan
dalam kegiatan pelestarian dan pengelolaan lanskap bersejarah. Oleh karena itu dilakukan wawancara kepada masyarakat untuk mengetahui persepsi, pendapat, dan keinginan mereka terhadap kawasan Empang. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner terhadap 60 responden yang terdiri dari 30 responden masyarakat yang bermukim dalam kawasan Empang dan 30 responden masyarakat Kota Bogor di luar kawasan Empang. Hasil wawancara selanjutnya menjadi bahan pertimbangan dalam merencanakan pelestarian kawasan Empang.
96
4.4.1
Masyarakat Empang Pengetahuan terhadap sejarah perkembangan suatu kawasan dan nilai-nilai
berharga yang dimilikinya merupakan aspek penting untuk menunjang keterlibatan masyarakat dalam pelestarian lanskap sejarah. Hasil wawancara menyatakan bahwa 60% responden sudah mengetahui sejarah perkembangan kawasan Empang. Namun 40% lainnya menyatakan tidak mengetahui sejarah perkembangan kawasan Empang. Pengetahuan masyarakat terhadap sejarah perkembangan kawasan ini diperoleh dari cerita orang tua mereka maupun karena pernah mengalaminya secara langsung. Perbedaan pengetahuan terhadap sejarah perkembangan kawasan Empang tidak mempengaruhi persepsi masyarakat, sebesar 100% responden sepakat bahwa kawasan Empang merupakan sebuah kawasan bernilai sejarah dan memiliki budaya yang khas bila dibandingkan dengan daerah lain di Kota Bogor. Selama responden tinggal di kawasan Empang, 56,7% mengatakan bahwa kawasan Empang mengalami banyak perubahan sementara 43,3% lainnya mengatakan bahwa kawasan Empang tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi antara lain terkait dengan perubahan sarana dan prasarana (36,7%) yang dapat menunjang kehidupan masyarakat, perubahan dalam komposisi masyarakat dengan bertambahnya anggota masyarakat baru/pendatang (23,3%) yang bermukim di kawasan Empang, perubahan terkait alih fungsi bangunan tinggal menjadi toko (16,7%), perubahan lingkungan/lanskap (13,3%) seperti perubahan lahan terbuka menjadi pemukiman ataupun area pemukiman yang berubah menjadi area perdagangan, serta perubahan terkait aktivitas masyarakat (10%) yang mulai meninggalkan budaya khas masyarakat Arab dan Sunda. Sejarah kawasan Empang yang pada masa pemerintah Kolonial Belanda dikhususkan sebagai pemukiman bagi etnis Arab masih dapat dirasakan keberadaannya hingga saat ini. Sebesar 60% responden berpendapat bahwa kawasan Empang masih memiliki karakteristik sebagai kawasan pemukiman Arab sedangkan 40% responden lainnya berpendapat bahwa kawasan Empang saat ini merupakan pemukiman campuran antara masyarakat sunda dengan masyarakat keturunan Arab. Beberapa elemen lanskap sejarah yang terdapat di kawasan
97
Empang berperan sebagai penciri atau landmark bagi kawasan tersebut. Sebesar 53,3% responden berpendapat bahwa masjid dan makam merupakan penciri bagi kawasan Empang, 33,3% mengatakan alun-alun, 10% mengatakan bendungan Empang, dan 3,3% mengatakan pertokoan dengan komoditi dagangan yang khas merupakan penciri kawasan Empang. Sosialisasi pada masyarakat terutama yang bermukim di sekitar bangunan kuno sangat penting. Masyarakat harus disadarkan akan pentingnya bangunanbangunan bersejarah yang ada sehingga mereka bisa turut membantu untuk memelihara lingkungan sekitar bangunan itu. Pendapat masyarakat Empang terhadap eksistensi bangunan kuno yang berada di lingkungan kawasan pemukimannya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Pendapat Masyarakat Empang Terhadap Eksistensi Bangunan Kuno di Kawasan Empang No. 1.
Citra bangunan kuno
2.
Jumlah bangunan kuno di kawasan Empang
3.
Nilai bangunan kuno bagi masyarakat Empang
4.4.2
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Indah Tidak indah Unik Tidak unik Masih cukup banyak Sedikit
18 12 25 5 9 21
60 40 83,3 16,7 30 70
Budaya tinggi
30
100
Tidak bernilai budaya
0
0
Sejarah Tinggi Tidak bernilai sejarah Membanggakan Tidak Membanggakan Fungsional Tidak fungsional
30 0 25 5 30 0
100 0 83,3 16,7 100 0
Model Wawancara
Masyarakat Kota Bogor Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner diperoleh data identitas responden
yang sangat beragam. Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini berasal dari berbagai tempat di Kota Bogor dan diklasifikasikan kedalam enam
98
kelompok berdasarkan Kecamatan tempatnya tinggal, yaitu 6,7% masyarakat berasal dari Kecamatan Bogor Tengah, 10% masyarakat berasal dari Kecamatan Bogor Utara, 10% masyarakat berasal dari Kecamatan Bogor Timur, 26,7% masyarakat berasal dari Kecamatan Bogor Selatan, 36,7% masyarakat berasal dari Kecamatan Bogor Barat, dan 10% masyarakat berasal dari Kecamatan Tanah Sareal. Aktivitas yang dilakukan masyarakat Kota Bogor saat mengunjungi kawasan Empang bervariasi, antara lain sebesar 43,4% masyarakat Kota Bogor melakukan kegiatan belanja kebutuhan beribadah, 20% masyarakat mekalukan kegiatan terkait aktivitas keagamaan yang berlangsung di Empang seperti berziarah ke makam Habib Abdullah bin Mukhsin Al Attas, pengajian, atau menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan 6,7% masyarakat mengunjungi kawasan Empang untuk bersilaturahmi pada sanak saudara yang bermukim di kawasan ini. Sementara sisanya, sebanyak 30% masyarakat Kota Bogor mengaku hanya sering melewati kawasan ini karena kawasan Empang dilalui oleh rute angkot dari/menuju kediamannya. Waktu kunjungan masyarakat Kota Bogor ke kawasan Empang terkait dengan aktivitas yang dilakukan masyarakat di kawasan ini. 73,3 % masyarakat menyatakan berkunjung ke kawasan Empang pada hari kerja, 16,7% masyarakat berkunjung pada akhir pekan, dan 10% masyarakat berkunjung hanya pada saat hari besar keagamaan. Beragamnya aktivitas yang dilakukan masyarakat Kota Bogor di kawasan Empang merupakan potensi yang dimiliki oleh kawaan ini. Namun, hal tersebut tidak diiringi oleh pengetahuan masyarakat terhadap sejarah perkembangan kawasan Empang sebagai suatu kawasan pemukiman awal yang menjadi inti dari pertumbuhan Kota Bogor. 23,3% responden sudah mengetahui sejarah perkembangan kawasan Empang dan 76,7% lainnya menyatakan tidak mengetahui sejarah perkembangannya. Perbedaan pengetahuan terhadap sejarah perkembangan kawasan Empang tidak mempengaruhi persepsi masyarakat, sebesar 76,7% responden sepakat bahwa kawasan Empang merupakan sebuah kawasan bernilai sejarah dan memiliki budaya yang khas bila dibandingkan dengan daerah lain di Kota Bogor.
99
Perubahan yang terjadi di Kawasan Empang turut dirasakan oleh masyarakat Kota Bogor. Sebesar 33,3% responden mengatakan bahwa kawasan Empang mengalami banyak perubahan sementara 66,7% lainnya mengatakan bahwa kawasan Empang tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Perubahan yang paling menonjol antara lain terkait dengan perubahan perubahan lingkungan/lanskap (40%) seperti perubahan lahan terbuka menjadi pemukiman ataupun area pemukiman yang berubah menjadi area perdagangan, sarana dan prasarana (26,7%) yang dapat menunjang kehidupan masyarakat saat ini, perubahan terkait alih fungsi bangunan tinggal (23,3%) menjadi toko, perubahan terkait aktivitas masyarakat (6,7%) yang mulai meninggalkan budaya lokalnya yang khas, serta perubahan dalam komposisi masyarakat dengan bertambahnya anggota masyarakat baru/pendatang (3,3%) yang bermukim di kawasan Empang. Masyarakat Kota Bogor sepakat bahwa kawasan Empang memiliki karakteristik dominan sebagai kawasan pemukiman bagi masyarakat keturunan Arab. Saat ini, 86,7% responden masih dapat merasakan nuansa pemukiman Arab di kawasan Empang. Bagi masyarakat Kota Bogor, elemen lanskap sejarah di kawasan Empang berperan sebagai penciri atau landmark kawasan. Sebesar 40% responden memilih masjid dan makam sebagai penciri bagi kawasan Empang, alun-alun (26,7%), pertokoan dengan komoditi dagangan yang khas (20%), dan bendungan Empang (13,3%). Sosialisasi pada masyarakat luas akan pentingnya bangunan kuno pada suatu kawasan bersejarah diperlukan agar bangunan tersebut bisa dijadikan sebagai obyek pendidikan. Pendapat masyarakat Kota Bogor terhadap eksistensi bangunan kuno yang berada di kawasan Empang dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Pendapat Masyarakat Kota Bogor Terhadap Eksistensi Bangunan Kuno di Kawasan Empang No. 1.
Model Wawancara Citra bangunan kuno
Indah Tidak indah Unik Tidak unik
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
15 15 30 0
50 50 100 0
100
Tabel 17. Lanjutan No.
Model Wawancara
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
2.
Jumlah bangunan kuno di kawasan Empang
Masih cukup banyak Sedikit
12 18
40 60
3.
Nilai bangunan kuno bagi masyarakat Kota Bogor
Budaya tinggi
30
100
Tidak bernilai budaya
0
Sejarah Tinggi Tidak bernilai sejarah Membanggakan Tidak Membanggakan Fungsional Tidak fungsional
30 0 25 5 21 9
0 100 0 83,3 16,7 70 30
Persepsi dan pendapat masyarakat terhadap kawasan Empang sangat beragam, namun dukungan masyarakat Kota Bogor baik yang bermukim di dalam maupun di luar kawasan terhadap pelestarian kawasan Empang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara, yaitu 100% mengatakan setuju apabila dilakukan tindakan pelestarian terhadap kesejarahan dan kebudayaan kawasan Empang. Dukungan masyarakat yang sangat besar diwujudkan dengan kesediaan masyarakat berpartisipasi secara aktif dengan turut menyumbang pikiran (45%), tenaga (10%), dana (1,67%), dan bahkan 11,67% responden bersedia untuk mendukung dan berpartisipasi aktif dengan menyumbang segala yang mereka miliki baik pikiran, tenaga, dan dana. Namun 31,67% responden masih memberikan dukungan secara pasif. Hal tersebut merupakan potensi yang harus diarahkan pada peran serta aktif masyarakat. Keinginan masyarakat dalam upaya pelestarian kawasan Empang antara lain keinginan untuk melestarikan dan mempertahankan nilai historis kawasan dengan penataan yang lebih baik, melestarikan dan mengembangkan aktivitas ekonomi dan budaya yang ada, pengelolaan kawasan terkait pemeliharaan elemen lanskap sejarah, kebersihan, dan PKL di lingkungan sekitar alun-alun, serta penetapan kawasan Empang sebagai kawasan cagar budaya Kota Bogor. Untuk mewujudkan pelestarian dan pengembangan lanskap sejarah kawasan Empang yang berkelanjutan dibutuhkan kerjasama holistik antara pemerintah daerah, pihak swasta, serta masyarakat Empang dan masyarakat Kota Bogor pada umumnya.
101
V.
REKOMENDASI PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH KAWASAN EMPANG
5.1 Konsep Pelestarian Berdasarkan hasil analisis penelusuran sejarah yang telah dilakukan, diketahui bahwa Kawasan Empang mempunyai nilai sejarah penting yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan Kota Bogor. Kawasan Empang merupakan tipe lanskap pemukiman dengan tatanan khas karena merupakan produk dari suatu sistem politik dan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah Belanda serta sistem sosial-budaya suatu kelompok/suku masyarakat (etnik) pada masa lalu. Masyarakat etnis Arab dan Sunda yang telah lama bermukim di kawasan ini memberi pengaruh terhadap tatanan lanskap sejarah kawasan Empang. Hal tersebut tercermin dalam pola tata ruang, keragaman corak arsitektur, serta aktivitas budaya khas yang berlangsung di kawasan Empang dan tidak dapat ditemukan pada area pemukiman lainnya di Kota Bogor. Kawasan Empang saat ini telah berkembang menjadi
kawasan
perdagangan yang diramaikan oleh komoditi barang dagangan khas bangsa Timur Tengah. Kegiatan perdagangan berkembang di bagian utara dan timur, sedangkan kawasan pemukiman meluas ke arah barat dan selatan. Pengembangan tata ruang kawasan Empang tidak lepas dari arahan kebijaksanaan Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor, dimana pembentukan struktur ruang diarahkan untuk dapat mewujudkan fungsi sebagai kawasan pemukiman yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan jasa serta merupakan kawasan konservasi ekologis sungai. Keberadaan lanskap sejarah kawasan Empang memberikan kontribusi positif bagi keragaman wajah kota Bogor. Upaya pelestarian suatu lanskap sejarah tidak hanya mempertimbangkan kepentingan estetika semata, namun harus diarahkan pada peningkatan nilai produktif baik secara fungsional maupun ekonomi. Sehingga konsep pelestarian yang diusulkan terhadap lanskap sejarah kawasan Empang agar dapat mendukung perencanaan tata ruang Kota Bogor adalah dengan melindungi, memelihara, serta meningkatkan integritas dan karakter sejarah kawasan melalui strategi pelestarian yang bersinergi dengan aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat lokal di kawasan Empang.
102
4.5.1
Tindakan Pelestarian Berdasarkan hasil analisis pada pembahasan sebelumnya (Tabel 14),
diketahui bahwa zona I dengan karakter sejarah sebagai tipe lanskap pusat pemerintahan tradisional Jawa memiliki nilai signifikansi sejarah tinggi, namun sebagian besar wilayahnya berada pada rencana penggunaan lahan untuk kawasan perdagangan dan jasa. Strategi pelestarian yang dilakukan pada zona I adalah revitalisasi, yaitu upaya memperbaiki kualitas fisik dan lingkungan suatu kawasan ke kondisi semula guna mengangkat kembali fungsi awal kawasan tersebut atau dengan memberikan fungsi baru yang lebih sesuai dengan kondisi masa kini tanpa menghilangkan nilai dan karakter sejarah yang dimilikinya. Untuk itu dilakukan usaha perbaikan terutama pada Alun-alun Empang sebagai elemen utama pembentuk citra pada zona I yang saat ini mengalami penurunan kualitas fisik dan pergeseran fungsi ke arah private space. Perbaikan fisik yang dilakukan harus dapat mempertahankan keaslian bentuk dan karakter sebuah alun-alun tradisional. Melalui perbaikan infrastruktur Alun-alun Empang dengan menghilangkan pagar pembatas dan tiang gawang, relokasi pedagang kaki lima di sekelilingnya, penggantian vegetasi yang tidak sesuai dengan karakter alun-alun tradisional, serta membangkitkan kembali kegiatan masyarakat yang dilakukan di alun-alun. Usaha ini dimaksudkan untuk mengangkat eksistensi Alun-alun Empang sebagai ruang terbuka publik bersejarah di Kota Bogor yang dapat di akses oleh seluruh masyarakat sekaligus dapat menjadi wadah bagi aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat kota pada masa sekarang. Penambahan fungsi dan aktivitas baru pada alun-alun dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hubungan fungsional antara alun-alun dengan Masjid Agung Empang yang saling mendukung untuk memperkuat karakter sejarah pada zona I, misalnya dengan peningkatan volume kegiatan yang memiliki kaitan sejarah, ekonomi, dan budaya seperti kegiatan dakwah yang dipadukan dengan kegiatan kesenian tradisional masyarakat Sunda ataupun kegiatan komersial secara insidental seperti bazar atau sentra jajanan tajilan pada bulan Ramadhan. Selain itu, elemen lanskap sejarah lainnya seperti bangunan bekas kediaman resmi Bupati Kampung Baru dan kediaman resmi Kapiten Arab perlu mandapat perhatian dan perlindungan agar dapat meningkatkan integritas sejarah zona I.
103
Gambar 43
104
Tindakan pelestarian yang dilakukan berupa kegiatan pemeliharaan terkait kebersihan, perbaikan elemen bangunan yang rusak, serta pengecetan dinding bangunan akibat aksi vandalisme masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Zona II dengan karakter sejarah sebagai tipe lanskap pemukiman Arab memiliki nilai signifikansi sejarah sedang dan sebagian besar wilayahnya berada pada rencana penggunaan lahan untuk kawasan perdagangan dan jasa. Strategi pelestarian yang dilakukan pada zona II adalah konservasi, yaitu upaya untuk mencegah kerusakan lebih jauh dengan mengarahkan perkembangan di masa depan untuk menjaga agar kawasan tidak dihancurkan atau diubah dengan cara yang tidak sesuai dengan karakter sejarah yang dimilikinya. Untuk itu dilakukan upaya perlindungan dan pemeliharaan terhadap ketiga masjid yaitu Masjid Agung Empang, Masjid At Taqwa, dan Masjid An Noer yang masing-masing menjadi pusat dari pemukiman Arab Kaum, Pekojan, dan Lolongok. Eksistensi masjid sebagai identitas sebuah pemukiman Arab penting untuk dijaga kelestariannya. Keberadaan Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas yang dapat menarik banyak peziarah untuk berkunjung ke kawasan Empang merupakan potensi untuk diarahkan menjadi kawasan wisata sejarah, budaya, dan religi bagi pengembangan zona II di masa yang akan datang. Pengembangan yang dilakukan akan bersinergi dengan peningkatan aktivitas ekonomi bagi masyarakat Empang. Kawasan perdagangan yang ada di sepanjang Jalan Pahlawan, Raden Saleh,dan RA Wiranata dapat diintegrasikan dengan kawasan perdagangan di Pasar Bogor sehingga menjadi kesatuan jaringan perdagangan yang memiliki nilai dan karakter sejarah kuat. Hal tersebut akan mendukung kegiatan pengembangan apabila direncanakan dengan baik sehingga tidak merusak karakter sejarah zona II. Untuk itu diperlukan perencanaan lanskap yang lebih cermat agar pengembangan yang dilakukan tetap berwawasan pelestarian dengan mengacu pada konsep pelestarian yang telah diusulkan. Bangunan tinggal dan komersial yang mewakili gaya arsitektur masa lalu keberadaannya dilindungi, dipelihara, dijaga, dan dipertahankan karakter sejarahnya. Pada beberapa elemen bangunan kuno yang mengalami kerusakan ringan dilakukan perbaikan tanpa mengubah bentuk dan karakter asli bangunan. Apabila akan dimanfaatkan sesuai fungsi baru yang lebih adaptif dengan kegiatan
105
pengembangan yang direncanakan, maka penggunaan bangunan kuno harus dilakukan secara selektif dan bijaksana tanpa menghilangkan nilai sejarah dan karakter asli dari bangunan tersebut. Sedangkan pemakaman tua los yang dikhususkan bagi warga keturunan Arab harus dilindungi dan dipertahankan keberadaannya untuk memperkuat karakteristik pemukiman Arab pada zona II . Zona III dengan karakter sejarah sebagai tipe lanskap pemukiman pribumi memiliki nilai signifikansi sejarah rendah dan hampir seluruh wilayahnya berada pada rencana penggunaan lahan untuk kawasan pemukiman. Maka, strategi pelestarian yang dilakukan pada zona III adalah rehabilitasi, yaitu upaya memperbaiki
kawasan
ke
arah
standar-standar
modern
dengan
tetap
mempertahankan karakter lanskap sejarah sebagai pemukiman masyarakat pribumi yang awalnya berkembang di sepanjang aliran sungai. Upaya perbaikan dilakukan dengan mengarahkan pemukiman sepanjang Jalan Sadane agar berorientasi ke Sungai Cisadane (waterfront). Selain itu dilakukan perbaikan utilitas, fungsi, serta penampilan lanskap secara fisik dan visual agar dapat memberikan kenyamanan lingkungan bagi masyarakat. Seluruh bangunan kuno keberadaannya dilindungi, dipelihara, dijaga, dan dipertahankan bentuk dan karakter aslinya. Sedangakan perbaikan elemen bangunan yang rusak dan pembangunan baru yang dilakukan harus dikendalikan oleh peratuaran yang jelas agar selaras dan harmonis dengan karakter sejarah kawasan sehingga dapat meningkatkan integritas lanskap sejarah. Makam Keluarga Dalem Shalawat juga dapat menarik peziarah untuk berkunjung ke kawasan Empang. Untuk itu dilakukan upaya perlindungan dan pemeliharaan terhadap komplek makam tersebut. Bendungan Empang harus dilindungi dan diberdayakan sebagai elemen lanskap sejarah yang membanggakan karena merupakan sebuah karya anak bangsa dalam menerapkan teknologi pengelolaan air yang dibangun tanpa campur tanagan pemerintah Kolonial Belanda. Makam Dalem Shalawat dan Bendungan Empang merupakan objek yang dapat dilihat, dipelajari, dan dimanfaatkan oleh generasi sekarang dan generasi di masa yang akan datang apabila kegiatan pelestarian pada zona III diarahkan untuk pengembangan kegiatan wisata sejarah, budaya, dan religi.