IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Identifikasi Persistensi Regional Subbab berikut bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan persistensi
pengangguran di tingkat provinsi di Indonesia. Secara teoretis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Regresi ADF (persamaan 4) dengan pendekatan intercept dan trend menghasilkan probabilitas sebesar 0,000 sehingga diputuskan bahwa H 0 di mana data panel mengandung unit root ditolak dan disimpulkan bahwa data panel tersebut bersifat stasioner. Di samping itu, untuk memperkuat keyakinan bahwa data panel pada periode tersebut stasioner, pengujian juga dilakukan dengan metode panel unit root lain seperti LL, dan Breitung yang menunjukkan bahwa data panel pada rentang waktu tersebut stasioner (Lampiran 2).
Tabel 1 Pengujian Persistensi Pengangguran Regional di Indonesia Statistic
Probabilitas
-5,91667
0,0000
Sumber: Lampiran 1
Selanjutnya adalah menghitung koefisien persistensi dengan menggunakan persamaan 2 untuk memastikan bahwa koefisien tersebut lebih kecil dari satu (near unit root). Hasil estimasi Hausman diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,000 yang berarti tolak H 0 sehingga fixed effect merupakan model yang terbaik(Lampiran 3) . Dengan menggunakan pendekatan fixed effect nilai koefisien yang diperoleh adalah sebesar 0,8753 (near unit root) dengan probabilitas 0,000. Hasil analisis secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 2 berikut dan ini merupakan
indikasi
yang
relatif
kuat
mengenai
terjadinya
persistensi
pengangguran. Dengan demikian, berdasarkan dua pengujian tersebut dapat
30
disimpulkan bahwa selama periode analisis, pengangguran pada 26 provinsi yang terjadi di Indonesia secara umum bersifat persisten. Tabel 2 Koefisien Persistensi Pengangguran Regional Indonesia. Koefisien
Probabilitass
t-stat
R2
0,8753
0,0000
19,33
0,863
Sumber: Lampiran 4
4.2.
Analisis Determinasi Pengangguran Regional Sub bab berikut bertujuan untuk menganalisis faktor determinasi
pengangguran regional. Uji Hausman digunakan untuk memilih metode terbaik antara fixed effects dengan random effects. Hasil uji Hausman menunjukkan nilai probabilitas 0,000 yang berarti tolak H 0 sehingga dapat disimpulkan fixed effects lebih baik dari random effect (Lampiran 5). Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa estimasi parameter dalam model regresi bersifat Best Linier Unbiased Estimate (BLUE) maka var (u i ) harus sama dengan σ2 (konstan) atau semua error mempunyai varian yang sama. Heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan membandingkan sum squared resid pada GLS (weighted) dengan OLS (unweighted). Berdasarkan uji dan pengamatan hasil pengolahan, ditemukan adanya heteroskedastisitas (Lampiran 6). Hal ini disebabkan karena sum square resid pada GLS (weighted) lebih kecil dibandingkan dengan OLS (unweighted). Untuk mengatasi pelanggaran ini dilakukan estimasi GLS dengan whiteheteroscedasticity (Lampiran 7). Pendeteksian dengan adanya autokorelasi juga dilakukan pada model dengan melihat nilai statistik Durbin-Watson. Hasil estimasi pada output didapatkan DW hitung sebesar 1,545 yang berarti berada di daerah dU dan 4-dU (tidak ada korelasi). Berdasarkan estimasi dan evaluasi dengan menggunakan uji OLS klasik terhadap model fixed effect dengan perlakuan cross section weights dan white heteroscedasticity, maka model estimasi tersebut merupakan model terbaik dalam penelitian ini. Setelah mengestimasi model maka selanjutnya adalah interpretasi terhadap persamaan regresi. Pada Tabel 3 hasil estimasi memberikan nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,87. Hal ini menunjukkan bahwa 87 persen
31
keragaman variabel terikat (tingkat pengangguran) dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model sebesar 13 persen. Hasil uji ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik sebesar 0,000 yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Tabel 3 Hasil Estimasi Persamaan Tingkat Pengangguran Regional Variabel Angkatan Kerja 15-24(YOU) Angkatan Kerja High-educated (HEDU) Angkatan Kerja Pria (MALE) PDRB Perkapita (PDRBK) Dependency Ratio (DEPEND) Pangsa Sektor Pertanian terhadap PDRB (AGRI) Pangsa Sektor Manufaktur terhadap PDRB ( MANU) Upah Minimum Provinsi (UMP) Angkatan Kerja (AK) Tingkat Kepemilikan Rumah (OWN) Sumber: Lampiran 7
Koefisien
Probabilitas
0,209217 0,013130 0,173306 -0,128572 -0,120253
0,0003 0,0016 0,0001 0,0928 0,0019
-0,035573
0,0074
-0,055265 1,842472 1,545013 -0,000329
0,0199 0,0002 0,1404 0,9925
Angkatan Kerja Usia Muda (15-24 Tahun) Variabel angkatan kerja usia muda (15-24 tahun) berpengaruh nyata terhadap tingkat pengangguran dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan satu persen jumlah angkatan kerja berusia muda akan menyebabkan tingkat pengangguran regional meningkat sebesar 0,20 persen. Hal ini disebabkan tingginya frekuensi pencarian atau pergantian pekerjaan pada kelompok usia tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian. InterCAFE (2008) menyatakan bahwa sebuah proses yang natural ketika kelompok ini kalah bersaing dalam kesempatan kerja. Kesempatan kerja jelas akan mendahulukan tenaga kerja yang memiliki pengalaman. Lipsey et al (1997) menyatakan bahwa angkatan kerja muda yang baru memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan merupakan sumber utama penyebab pengangguran friksional. Terdapat beberapa fenomena yang terjadi pada angkatan kerja kelompok usia tersebut. Pertama, BPS (2008) menyatakan bahwa kelompok usia muda
32
umumnya masih bersifat idealis termasuk dalam memilih pekerjaan misalnya sesuai keinginan, keahlian, hobi, standar gaji dan gengsi. Selain itu, kelompok usia ini belum memiliki banyak beban tanggungan ekonomi keluarga dan masih ada jaring pengaman ekonomi baginya yaitu keluarga. Berdasarkan penelitian Jones dan Supraptilah (1979) di Ujung Pandang dan Palembang ditemukan bahwa keluarga
dengan
kepala
rumah
tangga
bekerja
cenderung
melindungi
pengangguran muda. Para penganggur tersebut cenderung bergantung hidup dari orang tuanya dan memilih untuk menganggur secara sukarela untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Fenomena kedua, yaitu BPS (2008) menyatakan bahwa penduduk pada kelompok umur ini (15-24 tahun) merupakan penduduk usia sekolah yang selayaknya masih melakukan kegiatan pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Terdapat banyak hal yang melatarbelakangi mengapa kelompok usia muda itu ikut terjun ke pasar kerja, antara lain kesulitan ekonomi keluarga sehingga memaksa mereka untuk berhenti sekolah atau kuliah dan terpaksa memasuki dunia kerja. Di lain pihak, sulitnya mendapatkan pekerjaan karena terbatasnya lapangan pekerjaan serta kurangnya pengalaman dan keahlian menyebabkan mereka ikut terjebak dalam kelompok pengangguran sehingga menambah akumulasi jumlah penganggur menjadi lebih banyak lagi. Fenomena selanjutnya adalah efek ‘downskilling’, efek ini muncul ketika tenaga kerja dengan keahlian dan pendidikan yang lebih tinggi (high-skilled) belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan ia bersedia menerima pekerjaan yang bersifat low-skilled (Collard et al. 2003). Fenomena ini terjadi mayoritas pada kelompok usia muda, tanpa pengalaman, yang membutuhkan pekerjaan pertama sebagai on-the-job training. Setelah beberapa saat, mereka akan pindah ke pekerjaan lain yang membutuhkan keahlian yang lebih tinggi dari sebelumnya (temporary stop-gaps). Di sisi lain, perusahaan akan merekrut high-skilled untuk posisi low-skilled, misalnya untuk menghindari biaya pelatihan atau karena mereka memiliki produktivitas yang lebih tinggi.
33
Tabel 4 Struktur Pengangguran Berdasarkan Usia (Persen) Kategori Usia Tingkat pengangguran usia muda (usia 15-24 tahun)
1996
2000
2006
2008
71,0
68,00
62,00
54,00
Tingkat pengangguran usia produktif (25-55)
28,4
31,4
33,0
44,50
Tingkat pengangguran usia tua (diatas 55 tahun)
0,60
0,60
5,00
2,00
Sumber: BPS (1996-2008), diolah
Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa tipikal penduduk Amerika (usia muda) rata-rata akan berganti pekerjaan hingga tujuh kali ketika memasuki dunia kerja. Di Indonesia data menunjukkan bahwa sejak tahun 1996 pengangguran usia muda lebih besar dibandingkan pengangguran usia dewasa walaupun nilai ini telah menurun pada tahun 2006 (Tabel 4). Mutu dan kompetensi sumberdaya manusia dalam pasar tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui sarana transformasi pendidikan. Kartasasmita (1996) menyatakan bahwa sistem pendidikan yang terbangun selama ini tampaknya masih menghasilkan angkatan kerja usia muda dengan pengetahuan yang terlalu umum dan kemampuan yang terbatas (lack of skill) karena minim praktek. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pengalaman (lack of experience) angkatan kerja usia tersebut. Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi Variabel pangsa angkatan kerja yang berpendidikan tinggi berpengaruh nyata terhadap pengangguran dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan satu persen jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi akan menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 0,013 persen. Menurut definisi BPS kelompok berpendidikan tinggi merupakan seseorang yang berpendidikan tingkat atas (SLTA) dan yang setara ditambah dengan yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi (perguruan tinggi atau universitas). Data
menunjukkan
bahwa
angkatan
kerja
berpendidikan
rendah
merupakan mayoritas dari total angkatan kerja yaitu mencapai 70 persen
34
(Gambar 9) yang seharusnya berimplikasi pada tingginya tingkat pengangguran angkatan kerja kelompok tersebut. 90 80 70 Persen
60 50 40 30 20 10 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Pendidikan Rendah (Belum pernah sekolah-SMP)
2005
2006
2007
2008
Pendidikan Tinggi (SMA>)
Sumber: BPS (2008), diolah
Gambar 9 Perbandingan Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi dan Rendah Hasil ini tampaknya bertentangan dengan teori yang dinyatakan oleh Elhorst (2003) bahwa semakin tinggi pendidikan angkatan kerja akan berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan terhadap PHK dan menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang serta cenderung lebih kompetitif. Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai berikut, pertama mayoritas tenaga kerja (lebih dari 70 persen) yang terserap di berbagai bidang pekerjaan termasuk ke dalam kategori berpendidikan rendah (Gambar 10). Tingginya tingkat pengangguran pendidikan tinggi (Tabel 5) dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah menunjukkan terbatasnya penyediaan kesempatan kerja di sektor formal yang hanya mencapai sekitar 30 persen. Sementara itu, tingkat pengangguran pendidikan yang lebih rendah menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja informal lebih banyak. Hal ini diperkuat dengan
35
adanya fakta bahwa pendidikan rendah berasosiasi dengan kemiskinan sehingga mereka tidak bisa menanggung pengangguran (too poor to be unemployed). 90 80
79,41
78,54
77,70
78,00
78,00
77,00
76,00
76,00
76,00
74,88
70 Persen
60 50 40 30 20
20,59
21,46
22,30
22,00
22,00
23,00
24,00
24,00
24,00
25,12
10 Dari total penganggur, 90% diantaranya merupakan angkatan kerja yang 0 1998
1999
2000 2001 2002 TK Pendidikan Rendah
2003 2004 2005 TK Pendidikan Tinggi
2006
2007
Sumber: BPS (2008), diolah
Gambar 10 Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Kedua, tingginya kelompok angkatan kerja berpendidikan kemungkinan mencerminkan adanya proses mismatch. Mismatch ini merupakan indikasi bahwa sisi penawaran tenaga kerja kita tidak sesuai dengan kebutuhan permintaan industri kita. Hal ini diakibatkan keterampilan tenaga kerja yang belum memenuhi kriteria yang dibutuhkan industri. Keterampilan yang dimaksud disini adalah kesiapan tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di industri dan tingkat kompetensi yang belum memenuhi kriteria industri. Berdasarkan survei yang dilakukan dunia usaha bahwa perusahaan seringkali harus memerlukan pelatihan kembali (training) agar siap untuk bekerja. Faktor lainnya mengapa tenaga kerja berpendidikan tinggi lebih banyak menganggur karena alasan dari tenaga kerja tersebut yang cenderung memilih pekerjaan karena memiliki bargaining position yang tinggi sehingga mereka rela untuk menganggur demi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Perbedaan keahlian, upah, lokasi penempatan, industri dari setiap pekerjaan memungkinkan para penganggur tidak menerima pekerjaan yang pertama kali ditawarkan. Kartasasmita
(1996) menyatakan bahwa sekitar 40 persen dari tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan swasta tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan keahlian yang
36
diinginkan oleh perusahaan tersebut. Selayaknya pemerintah bekerjasama dengan dunia pendidikan dan dunia usaha untuk menyesuaikan kurikulum pendidikan (standar pembelajaran) yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Tabel 5 Pengangguran Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Persen) Pendidikan 1994 1996 1998 SD atau Kurang 24,80 24,43 23,09 SMP 17,13 18,14 19,44 SLTA 49,62 48,15 48,98 Akademi/Diploma /Universitas 8,46 9,28 8,48 Sumber: BPS (1994-2008), diolah
2000 24,71 23,37 43,98 7,94
2002 2004 2006 2008 22,63 18,58 31,74 28,17 23,54 25,87 25,75 21,01 45,95 47,46 36,44 40,58 7,88
8,09
6,05 10,22
Angkatan Kerja Pria Variabel jumlah angkatan kerja berjenis kelamin pria berpengaruh nyata
terhadap pengangguran regional dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan satu persen jumlah angkatan kerja berjenis kelamin laki-laki akan menyebabkan tingkat pengangguran regional meningkat sebesar 0,17 persen. Hal ini disebabkan karena jumlah angkatan kerja pria yang lebih tinggi dibandingkan wanita (Gambar 11) sehingga menyebabkan tingkat pengangguran pria lebih tinggi dibandingkan wanita (Gambar 12). 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 1998
1999
2000
2001
2002 AK Pria
2003
2004
2005
2006
2007
AK Wanita
Sumber: BPS, 2008
Gambar 11 Perbandingan Angkatan Kerja Pria dan Wanita
2008
37
70 60
Persen
50 40 30 20 10 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pengangguran Pria
Pengangguran Wanita
Sumber: BPS (2008), diolah
Gambar 12 Struktur Pengangguran Berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah angkatan kerja pria yang lebih tinggi dibandingkan wanita disebabkan adanya budaya di Indonesia bahwa pria mempunyai tanggung jawab dan tuntutan yang lebih tinggi di dalam menghidupi keluarga dibandingkan wanita. Di sisi lain, banyaknya jumlah wanita yang keluar dari angkatan kerja setelah mereka menikah karena ingin tinggal di rumah dan mengurus anak juga turut berkontribusi terhadap besarnya angkatan kerja pria. PDRB Perkapita Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita dapat didekati dengan PDRB per kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk. PDRB perkapita dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan penduduk. Angka ini menunjukkan ukuran secara agregat, namun sampai sekarang masih dianggap sebagai ukuran yang cukup relevan digunakan, khususnya untuk membandingkan tingkat kesejahteraan wilayah-wilayah di Indonesia. Variabel PDRB perkapita berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen PDRB per kapita akan menyebabkan tingkat pengangguran regional menurun sebesar 0,12 persen. Hal ini sesuai dengan logika ekonomi bahwa semakin besar PDRB pada suatu wilayah
38
maka akan membutuhkan faktor-faktor produksi yang lebih banyak, termasuk tenaga kerja. Dependency Ratio Variabel dependency ratio berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen dependency ratio akan menyebabkan tingkat pengangguran regional menurun sebesar 0,12 persen. Hal ini berarti bahwa beban tanggungan dalam suatu keluarga (orang tua dan anak-anak) akan membuat seseorang yang termasuk dalam penduduk usia kerja (15-64 tahun) di keluarga tersebut berusaha mencari pekerjaan lebih intensif karena adanya tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga tersebut. Semakin tinggi rasio beban ketergantungan maka semakin rendah tingkat pengangguran regional dalam suatu wilayah. Komposisi Industri Tingkat pengangguran regional juga dipengaruhi oleh komposisi industri di wilayah tersebut. Variabel pangsa sektor pertanian terhadap PDRB berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen pangsa sektor pertanian terhadap PDRB akan menyebabkan tingkat pengangguran regional menurun sebesar 0,03 persen. Variabel pangsa sektor industri terhadap PDRB berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional
dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen pangsa sektor industri terhadap PDRB akan menyebabkan tingkat pengangguran regional
menurun sebesar 0,05 persen. Data menunjukkan bahwa angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian cukup besar, namun memiliki persentase penyerapan tenaga kerja yang terus mengalami penurunan (Tabel 6). Hal ini juga sejalan dengan menurunnya pangsa sektor pertanian terhadap PDB, namun penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB jauh lebih cepat dibanding penurunan pangsa penyerapan tenaga kerja. Persentase penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian yang relatif besar tersebut menunjukkan strategisnya sektor
39
tersebut dalam penciptaan lapangan kerja. Dengan demikian pertumbuhan di sektor ini diharapkan mampu mengurangi masalah pengangguran regional. Tabel 6 Komposisi PDB dan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Indonesia Tahun
Pertanian Industri Pangsa Pangsa Pangsa Pangsa PDB (%) tenaga PDB (%) tenaga kerja (%) kerja (%) 1980 25 55 43 13 1990 22 50 39 17 1995 17 44 42 18 2000 16 44 40 14 2003 15 46 39 13 2007 14 41 43 19 2008 14 42 42 18 Sumber: Statistik Indonesia (1980-2008), diolah
Jasa Pangsa Pangsa PDB (%) tenaga kerja (%) 32 32 39 33 41 38 45 42 46 41 43 40 44 40
Tabel 6 tersebut juga menunjukkan bahwa pangsa sektor manufaktur terhadap PDB pada tahun 2008 mencapai 40 persen, namun persentase penyerapan tenaga kerja di sektor ini hanya mencapai 18 persen. Pada periode 2000-2003 pangsa sektor industri terhadap penyerapan tenaga kerja sempat mengalami penurunan dan meningkat lagi pada tahun 2007. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan orientasi pembangunan dari industri dengan orientasi substitusi impor yang padat modal menjadi industri orientasi ekspor yang relatif lebih padat tenaga kerja. Di sisi lain kontribusi sektor jasa terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja mencapai 40 persen, nilai yang cukup besar dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Namun, terdapat hal yang menarik untuk dikaji. InterCAFE (2008) telah menghitung elastisitas sektoral penyerapan tenaga kerja suatu sektor sebagai akibat adanya 1 persen pertumbuhan ekonomi sektor tersebut. Data yang digunakan mencakup data panel 26 provinsi pada periode 2000-2005. Hasil analisis menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja tertinggi terjadi di sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki kemampuan untuk menyerap tenaga kerja sebanyak 0,61 persen untuk setiap satu persen pertumbuhan PDB sektor tersebut. Sementara sektor jasa memiliki elastisitas yang paling rendah yaitu hanya mencapai 0,25 persen (Tabel
7).
Implikasinya
adalah
semakin
modern
(advanced)
struktur
perekonomian suatu wilayah maka pengangguran di wilayah tersebut makin sulit
40
untuk diturunkan. Dengan demikian perlu reorientasi kebijakan dan inisiatif khusus bahwa sektor yang tumbuh relatif tinggi seyogyanya mampu menyerap tenaga kerja lebih tinggi. Tabel 7 Elastisitas Sektoral Tenaga Kerja Sektor Pertanian Industri (Manufaktur) Jasa
Nilai Elastisitas 0,606*** 0,406*** 0,253***
R2 0.4649 0.7772 0.9984
Catatan: *** signifikan pada taraf nyata 1%
Sumber: InterCAFE (2008)
Upah Minimum Provinsi Dalam teori ekonomi neo-klasik, penawaran dan permintaan tenaga kerja menentukan tingkat upah yang berlaku, yang pada akhirnya menentukan tingkat upah keseimbangan. Jika upah kaku maka mekanisme market clearing dalam pembentukan upah keseimbangan cenderung tidak berfungsi. Salah satu penyebab kekakuan upah adanya pemberlakuan upah minimum provinsi. Tingkat produktivitas minimum pekerja bagi negara sedang berkembang dipengaruhi oleh upah minimum. Hal ini dikarenakan upah minimum terkait dengan tingkat kebutuhan hidup minimum. Artinya jika kebutuhan hidup (nutrisi) terpenuhi maka pekerja dapat bekerja dengan produktivitas yang diharapkan. Sedangkan bagi negara maju, upah minimum cenderung dijadikan proteksi atau perlindungan untuk kesejahteraan pekerja (Mankiw 2003). Variabel UMP berpengaruh nyata terhadap pengangguran regional dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan satu persen upah minimum provinsi akan menyebabkan tingkat pengangguran regional meningkat sebesar 1,84 persen. Kebijakan upah minimum sering dijadikan pokok permasalahan yang menyebabkan tingkat upah riil menjadi kaku bawah (downward rigidity). Hal ini dikarenakan upah minimum merupakan kewajiban legal dan harus diikuti oleh setiap perusahaan serta memiliki kekuatan hukum, dimana perusahaan tidak boleh memberikan upah di bawah upah minimum. Selain itu, upah minimum sering dijadikan alasan bagi
41
serikat buruh untuk mencegah terjadinya penurunan upah di bawah upah minimum. Semua perusahaan mempunyai tujuan untuk memaksimumkan laba. Perusahaan akan mengganti input lain yang relatif lebih mahal dengan input yang relatif lebih murah. Apabila upah tenaga kerja meningkat akibat upah minimum provinsi maka perusahaan akan berusaha mengganti dengan input lain yang lebih murah atau mengurangi jumlah tenaga kerja agar keuntungan yang diperoleh maksimal. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, upah dipengaruhi oleh struktur biaya, yaitu proporsi biaya untuk pekerja (labor cost) terhadap seluruh biaya produksi (total cost). Pengusaha dapat memutuskan untuk meningkatkan penggunaan tenaga kerja jika Marginal Productivity of Labor (MPL) > w/P atau (upah riil), karena tambahan output masih lebih besar dari tambahan biaya tenaga kerjanya. Sebaliknya jika MPL < w/P (upah riil), maka perusahaan akan mengurangi penggunaan tenaga kerja, karena tambahan output menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tambahan biaya tenaga kerjanya. Perusahaan akan terus menambah tenaga kerja sampai pada titik dimana MPL = w/P. Peningkatan produktivitas tenaga kerja tidak bisa mengimbangi kenaikan upah riil (Gambar 13). Sesuai dengan hipotesis, jika upah riil lebih cepat naik maka seharusnya diimbangi dengan produktivitas. 140
25 20
100
Upah Riil (Ribu Rp)
Produktivitas (Juta Rp)
120
80
15
60
10
40 5
20
0
0 98
99
00
01 02 03 Produktivitas
04 05 Upah Riil
06
07
08
Sumber: BPS (1998-2008), diolah Gambar 13 Produktivitas Tenaga Kerja dan Upah Riil
42
Studi tim Suryahadi (2001) menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum mempunyai pengaruh yang tidak sama terhadap semua jenis pekerja yaitu menguntungkan sebagian kelompok kerja di satu pihak dan merugikan kelompok tenaga kerja pihak lainnya. Pengaruh negatif terutama terjadi pada tenaga kerja dengan tingkat upah yang rendah dan pada mereka yang rentan terhadap perubahan dalam pasar tenaga kerja, misalnya pekerja dengan tingkat pendidikan rendah, angkatan kerja berusia muda dan pekerja kasar. Sebaliknya, pekerja kerah putih adalah satu-satunya kategori pekerja yang mendapat keuntungan dari upah minimum dalam hal penyerapan tenaga kerja. Hal ini juga menunjukkan bahwa setelah adanya kenaikan upah minimum perusahaan mengubah proses produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang lebih padat modal dan lebih menuntut keterampilan. Studi ini juga menyatakan bahwa dengan kebijakan upah minimum, pekerja yang malas dan rajin diberikan upah yang sama. Sehingga hal ini dapat menimbulkan disinsentif bagi pekerja yang tingkat produktivitasnya tinggi.
Tabel 8 Penduduk Berdasarkan Status Pekerjaan Utama Status Pekerjaan Utama
2004 18309288
19504632
20324527
20921567
20810300
21512405
19946732
21024297
21772994
21636761
3
Berusaha Sendiri Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar
2965893
2850448
2883832
3015326
2968481
4
Buruh/Karyawan/Pegawai
25459554
26821889
28042390
28183773
28913118
5
Pekerja Bebas di Pertanian Pekerja Bebas di Non Pertanian Pekerja Keluarga/Tak Dibayar Total
4449921
5541158
5917400
5991493
6346122
3732838
4618280
4458772
5292262
5151536
17292137
16173796
17278999
17375335
18659126
93722036
95456935
99930217
102552750
104485444
Formal
30.33
31.08
30.95
30.42
30.51
Informal
69.67
68.92
69.05
69.58
69.49
1 2
6 7
2006 (Agst)
2007 (Agst)
2008 (Agst)
2009 (Feb)
Sumber: BPS (2008), diolah
Dilihat dari status pekerjaan, Tabel 8 menunjukkan bahwa struktur ketenagakerjaan Indonesia masih didominasi oleh pekerja informal. Menurut
43
definisi BPS, secara umum terdapat empat kelompok yang dikategorikan sebagai pekerja informal, yaitu: (a) pengusaha mandiri, (b) pengusaha dibantu buruh tidak tetap/keluarga, (c) pekerja tidak dibayar, dan (d) pekerja bebas di pertanian dan non pertanian. Dengan pengkategorian seperti itu, sekitar 68 persen dari pekerja Indonesia pada tahun 2004 hingga 2008 merupakan pekerja informal. Menurut Priyono (2002) pemahaman tentang struktur pekerja menurut status pekerjaan ini penting untuk dikaitkan dengan kebijakan upah, khususnya upah minimum. Dalam teori maupun praktek, kebijakan upah minimum merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki nasib pekerja dengan status “4” (buruh/karyawan). Akan tetapi di sisi lain, dengan asumsi bahwa kebijakan upah minimum ditegakkan secara baik, dia akan menjadi beban bagi kelompok pekerja status “2” dan “3” (pengusaha yang mempekerjakan buruh). Sementara itu, status “5,6,7” (pekerja tidak dibayar) praktis tidak terpengaruh sama sekali dengan kebijakan tersebut. Jelas bahwa kebijakan upah minimum dalam kondisi dimana proporsi buruh/karyawan terhadap total pekerja relatif kecil, tidak cukup untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja secara keseluruhan. Jika yang menjadi masalah
adalah
bagaimana
meningkatkan
kesejahteraan
pekerja
secara
keseluruhan (bukan hanya buruh/karyawan), maka fokus utamanya seharusnya diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan pekerja informal yang merupakan mayoritas dari pekerja di Indonesia. Upah minimum mengacu berdasarkan inflasi, namun survei InterCAFE (2008) menyatakan bahwa sekitar 74,8 persen responden bahkan mengalami kenaikan upah melebihi tingkat inflasi yang berlaku. Dengan demikian seyogyanya Dewan Pengupahan Nasional (DPN) melakukan kajian sistem upah yang layak bagi pekerja sebelum memberikan rekomendasi penetapan upah minimum. Kekakuan upah ke bawah merupakan social fact of life (InterCAFE 2008), sebuah kenyataan hidup yang tidak terbantahkan dan umum terjadi di mana pun. Ada dua hal yang menyebabkan kekakuan upah ke bawah merupakan social facts of life, yaitu: 1.
Rasa keadilan (fairness). Di mana pun adalah dipandang tidak adil secara sosial jika perusahaan menurunkan upah dan karenanya pekerja bereaksi
44
sangat negatif terhadap penurunan upah tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pemogokan, penurunan produktivitas dan bagi pekerja yang produktif keluar dari perusahaan. Demonstrasi yang dilakukan pekerja kemungkinan besar biayanya lebih besar daripada gain yang akan diterima perusahaan dengan melakukan penurunan upah. Biaya yang harus ditanggung perusahaan jika terjadi demonstrasi adalah: (a) banyak waktu hilang (b) jika tuntutan yang diajukan berlarut-larut, pekerja akan lebih melibatkan faktor emosional dan jika tidak bisa dikelola dengan baik maka akan memicu pekerja untuk menuntut hal lain di luar upah seperti tunjangan, dan insentif transportasi sehingga biaya yang harus ditanggung perusahaan akan bertambah besar (c) menyebabkan terjadinya gangguan produksi sehingga pesanan pelanggan tidak terpenuhi dan (d) citra perusahaan memburuk di mata konsumen karena biasanya perusahaan tidak hanya menjual produk tapi juga image perusahaan. Dengan demikian oportunity cost perusahaan lebih tinggi jika menurunkan upah. 2.
Upah relatif yaitu upah rata-rata perusahaan lain yang sejenis. Artinya perusahaan takut jika perusahaan lain tidak ikut menurunkan upah. Bisa jadi perusahaan tidak takut. tetapi pekerja yang produktif akan keluar dan perusahaan akan rugi. Perbedaan upah minimum antarprovinsi seharusnya bisa memicu adanya
migrasi. Namun, keputusan untuk melakukan migrasi bagi penduduk tidaklah mudah (Bellante dan Jackson 2000). Di sisi lain, data migrasi yang ditunjukkan oleh BPS (2008) menunjukkan peningkatan migrasi dari tahun ke tahun. Apabila data migrasi neto dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja tiap provinsi maka pangsa migrasi mencapai rata-rata 21 persen dari total angkatan kerja. BPS (2008) menyatakan bahwa gejala migrasi antarprovinsi di Indonesia meningkat pesat dalam dua dasarwarsa terakhir sebagai konsekuensi logis dari perubahan besar dalam bidang sosial dan ekonomi. Selain itu mobilitas terjadi karena ada perbaikan sarana transportasi ekonomi. Namun dari data migrasi pada Lampiran 8 tersebut, terdapat hal yang menarik untuk dikaji. Menurut Murillo (2005) untuk mengurangi tingkat pengangguran suatu wilayah maka mobilitas seharusnya diarahkan menuju wilayah yang mempunyai
45
tingkat pengangguran yang rendah. Namun, data pada tahun 2005 menunjukkan bahwa migrasi yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan karena adanya teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) dimana pemusatan ekonomi suatu wilayah akan menjadi faktor penarik orang yang tinggal di luar wilayah tersebut untuk bekerja di sentra perekonomian. Sebagai contoh, data menunjukkan bahwa migrasi masuk merupakan mobilitas yang dominan di provinsi DKI Jakarta. Hal ini kurang sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa seharusnya mobilitas yang dominan adalah migrasi keluar mengingat tingginya tingkat pengangguran di provinsi tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada provinsi Jawa Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Sebaliknya data menunjukkan bahwa migrasi keluar merupakan mobilitas yang dominan di provinsi NTB dan NTT, mengingat kedua provinsi tersebut memiliki tingkat pengangguran yang cukup rendah maka mobilitas yang seharusnya dominan adalah migrasi masuk. Hal ini akan semakin memperparah tingkat pengangguran karena akan terjadi penumpukan angkatan kerja pada wilayah dengan tingkat pengangguran tinggi. Dari uraian tersebut kemungkinan migrasi belum berperan sebagai equilibrating mechanism, namun untuk memastikan apakah migrasi sudah berperan ssebagai equilibrating mechanism maka variabel migrasi perlu diregresikan ke dalam model, namun hal ini menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini dikarenakan keterbatasan data yang dimiliki oleh BPS. Berdasarkan pembahasan faktor penyebab pengangguran regional di atas maka perlu mengintegrasikan berbagai temuan interpretasi variabel yang telah dibahas sebelumnya. Analsis menunjukkan bahwa pengangguran provinsi di Indonesia tergolong persisten. Hal ini berarti bahwa mengidentifikasi faktor penyebab pengangguran regional berarti mengidentifikasi faktor penyebab persisten. Di samping itu, berbagai faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran regional tersebut secara simultan mengarah kepada kondisi pencarian kerja yang lebih panjang serta kekakuan upah yang berkepanjangan sehingga berimplikasi terjadinya persistensi. Pertama, karena adanya kekakuan upah. InterCAFE (2008) menyatakan bahwa kekakuan upah sering dipandang sebagai penyebab utama kenaikan tingkat pengangguran secara berkepanjangan.
46
Kekakuan upah menjadi lebih kompleks ketika upah minimum diindeksasi terhadap inflasi bahkan sering melebihi tingkat inflasi. Faktor kedua penyebab persistensi pengangguran adalah pencarian kerja. Tingkat pengangguran semakin sulit diturunkan jika waktu yang dibutuhkan untuk pencarian kerja menjadi lebih lama. Pencarian kerja ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti migrasi akibat growth pole (berimplikasi pada penumpukan angkatan kerja), pengangguran friksional (bersumber dari angkatan kerja muda (15-24 Tahun), dan tingginya angkatan kerja berpendidikan tinggi.