IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Pertumbuhan Bobot dan Biomasa Benih Ikan Gurame Data pengamatan pada Tabel 1 menunjukkan nilai pertumbuhan bobot mutlak (GR) tertinggi (P<0,05) pada perlakuan perendaman dengan larutan BSA+rGH selama 30 menit jika dibandingkan dengan lama waktu perendaman lainnya dengan nilai 0,060 g/hari. Nilai pertumbuhan spesifik (SGR) juga menunjukkan perendaman 30 menit dengan rGH+BSA memiliki nilai tertinggi (P<0,05) sebesar 12,60%, dan nilai SGR terendah pada perlakuan kontrol E (tanpa rGH) dengan nilai 11,86%. Nilai kelangsungan hidup menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan D (perendaman rGH+BSA selama 30 menit), perlakuan F (NaCl 0,9%+ rGH+BSA) selama 1 jam, perlakuan E (tanpa rGH) dengan nilai 100%, sedangkan perlakuan perendaman rGH+BSA selama 3 jam dan 2 jam memberikan nilai SR terendah (95%). Bobot rataan pada tiap ekor ikan menunjukkan perlakuan perendaman rGH+BSA selama 30 menit memiliki nilai bobot tertinggi hingga 2,54 g, sedangkan nilai terendah sebesar 1,93 g pada perlakuan kontrol E (tanpa rGH). Nilai biomasa rataan tertinggi pada perlakuan perendaman rGH+BSA selama 30 menit sebesar 126,88 g dan untuk biomasa rataan terendah senilai 96,29 g pada kontrol tanpa rGH.
4.1.2 Grafik Biomasa Rata-Rata dan SR Pemeliharaan selama 7 minggu pada benih ikan gurame yang diberi perlakuan rGH menunjukkan (Gambar 2) terjadinya peningkatan pada semua perlakuan setiap minggu. Peningkatan biomasa rata-rata tertinggi pada perendaman rGH+BSA (Tanpa NaCl 0,9%) selama 30 menit yang menunjukkan pertambahan biomasa hingga 126,88 g, sedangkan untuk perendaman dalam larutan rGH+BSA selama 3 jam, 2 jam, 1 jam, dan perlakuan F (NaCl 0,9%+rGH+BSA) memiliki nilai pertambahan biomasa yang relatif sama sekitar 106-112,00 g. Perlakuan perendaman yang tidak menggunakan rGH (BSA dan NaCl 0,9%) memiliki nilai akhir biomasa terkecil (96,29g).
.
Tabel 1. Pertumbuhan bobot mutlak (growth rate/GR), laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate/SGR), kelangsungan hidup (survival rate/SR), bobot dan biomasa rataan benih ikan yang direndam dengan menggunakan rekombinan hormon pertumbuhan (rGH) dengan lama perendaman yang berbeda dan kontrol tanpa menggunakan rGH. Perlakuan Parameter
A
B
C
D
E (Kontrol)
F
GR (g/hari)
0,050±0,0004a
0,050±0,0005a
0,053±0,001a
0,060±0,0005b
0,050±0,0001a
0,050±0,0004a
SGR (%)
12,34±0,020a
12,24±0,028c
12,33±0,052a
12,60±0,022b
11,86±0,009d
12,27±0,020c
SR (%)
95±1,60a
95±1,90a
98±0,80b
100±0,00b
100±0,00b
100±0,00b
Bobot (g/ekor)
2,30±0,018c
2,22±0,023b
2,30±0,045c
2,54±0,021d
1,93±0,007a
2,25±0,017b
Biomasa (g)
109,78±2,08bc
106,04±3,68b
112,96±4,48c
126,88±1,06d
96,29±0,33a
112,35±0,85c
Keterangan: GR, SGR, SR, bobot dan biomasa ikan pada akhir penelitian merupakan nilai rataan dari 3 ulangan, untuk 50 ekor setiap ulangan. Perlakuan A: benih ikan gurame direndamn dalam larutan BSA+rGH (Tanpa NaCl 0,9%) selama 3 jam; Perlakuan B: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH (Tanpa NaCl 0,9%) selama 2 jam; Perlakuan C: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH (Tanpa NaCl 0,9%) selama 1 jam; Perlakuan D: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH (Tanpa NaCl 0,9%) selama 30 menit; Perlakuan E: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+NaCl 0,9% (Tanpa rGH) selama 1 jam; Perlakuan F: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH+NaCl 0,9% selama 1 jam. Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05). Huruf superskrip yang sama pada baris yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05).
140.00
Biomasa rata-rata (g)
120.00 100.00
3 jam
80.00
2 jam 1 jam
60.00
30 menit
40.00
tanpa rGH (BSA+NaCl) NaCl+rGH+BSA
20.00 0.00 1
2
3
4 5 Minggu ke-
6
7
Gambar 2. Perubahan biomasa rata-rata benih ikan gurame yang dipelihara selama 7 minggu antara perlakuan yang diberi rGH dan kontrol (tanpa rGH). 3 jam: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH selama 3 jam; 2 jam: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 2 jam; 1 jam: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 1 jam; 30 menit: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 30 menit; tanpa rGH (BSA+NaCl): benih ikan gurame direndam dengan BSA+NaCl 0,9% (tanpa rGH) selama 1 jam; NaCl+rGH+BSA: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH+NaCl 0,9% selama 1 jam. 101
Kelangsungan Hidup (%)
100 99
3 jam
98 2 jam
97 1 jam
96 95
30 menit
94
tanpa rGH (NaCl+BSA) NaCl+rGH+BSA
93 92 1
2
3
4 5 Minggu ke-
6
7
Gambar 3. Kelangsungan hidup benih ikan gurame setelah 7 minggu pemeliharaan pada setiap perlakuan rGH dan kontrol. 3 jam: benih ikan gurame direndam dalam larutan BSA+rGH selama 3 jam; 2 jam: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 2 jam; 1 jam: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 1 jam; 30 menit: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH selama 30 menit; tanpa rGH (NaCl+BSA): benih ikan gurame direndam dengan BSA+NaCl 0,9% (tanpa rGH) selama 1 jam; NaCl+rGH: benih ikan gurame direndam dengan BSA+rGH+NaCl 0,9% selama 1 jam
Tingkat kelangsungan hidup dari setiap perlakuan menurun di minggu ke2 hingga pemeliharaan terakhir pada minggu ke-7 pada perlakuan perendaman rGH+BSA selama 3 jam, 2 jam, dan 1 jam dengan SR mencapai 95-98% (Gambar 3). Pada perendaman rGH+BSA selama 30 menit, kontrol (tanpa rGH), dan perlakuan dengan rGH+NaCl 0,9%+BSA tidak terjadi penurunan kelangsungan hidup dengan persentase sebesar 100% hingga akhir pemeliharaan.
4.2 Pembahasan Pertumbuhan merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan suatu organisme akuatik yang dapat dilihat berdasarkan pertumbuhan bobot dan pertambahan panjang. Pertumbuhan merupakan hasil regulasi yang kuat antara faktor yang terdapat dalam lingkungannya, seperti ketersediaan pakan, suhu, fotoperiode yang akan memperngaruhi pengaturan ataupun metabolisme dalam tubuh ikan. Selain faktor eksternal, faktor internal juga sangat berperan dalam pertumbuhan ikan yang diatur oleh hormon yang sebagian besar dikendalikan oleh otak untuk sekresi hormon, seperti hormon pertumbuhan. Hormon pertumbuhan disekresikan oleh kelenjar pituitari bagian anterior yang sekresinya dirangsang oleh growth hormone releasing hormone (GHRH) dan somatostatin (Wongthai, 2010). Hormon pertumbuhan memberikan efek pertumbuhan somatik dan berperan dalam reproduksi pada ikan bertulang belakang (Mecera et al., 2002). Penggunaan rGH pada ikan gurame terbukti dapat meningkat pertumbuhan ikan gurame (Tabel 1). Terdapat perbedaan nilai GR, SGR, bobot, dan biomasa rataan antara ikan yang direndam dalam larutan dengan rGH dan tanpa rGH. Ikan yang diberi perlakuan perendaman rGH+BSA selama 3 jam, 2 jam, 1 jam, dan 30 menit memiliki nilai GR, SGR, bobot, dan biomasa rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol yang tanpa pemberian rGH. Pada perlakuan perendaman dengan rGH+BSA selama 30 menit menunjukkan (Tabel 1) pertambahan nilai GR tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang mencapai 0,06 g/hari. Hasil SGR tertinggi dicapai pada perendaman ikan dalam rGH+BSA selama 30 menit dengan nilai 12,60%, dimana hasil ini berbeda nyata (P<0,05) dari perlakuan lainnya yang memiliki SGR rata-
rata sekitar 12,34-12,27%. Penggunaan rGH dengan metode perendaman ini diduga dapat memacu pertumbuhan benih ikan gurame. Menurut Forsyth (2002) bahwa hormon pertumbuhan merupakan suatu polipeptida yang penting dan diperlukan untuk mencapai pertumbuhan normal. Selain itu efek dari hormon pertumbuhan pada pertumbuhan somatik hewan vertebrata (bertulang belakang) memiliki peranan dalam sistem reproduksi, metabolisme (Gomez et al., 1999), dan osmoregulasi pada ikan euryhaline (Mancera et al., 2002). Hasil bobot rata-rata pada benih ikan gurame (Tabel 1) menunjukkan nilai tertinggi (P<0.05) dihasilkan dari perlakuan dengan perendaman rGH+BSA selama 30 menit sebesar 2,54 g dan nilai terendah dari kontrol tanpa penggunaan rGH (1,93 g). Peningkatan ini juga diimbangi dengan nilai biomasa rata-rata yang lebih tinggi (Gambar 2) pada akhir pemeliharaan selama 7 minggu yang memperlihatkan kenaikan nilai biomasa rata-rata perendaman rGH+BSA selama 30 menit yang mencapai 126,88 g dan hasil terendah dari ikan tanpa direndam dengan rGH mencapai 96,29 g. Terjadi kenaikan sebesar 32% pada ikan gurame yang direndam dengan rGH dan tanpa perendaman rGH (kontrol) selama 7 minggu pemeliharaan. Penggunaan rGH telah banyak diuji untuk meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis ikan, seperti dapat meningkatkan bobot ikan nila sebesar 53,1% dibandingkan dengan kontrol (Li et al., 2003) dan peningkatan bobot ikan nila yang diberi Pichia pastoris mengandung rGH hingga 171% (Acosta et al., 2007).
(A)
(B)
Gambar 4. Ukuran benih ikan gurame pada akhir pemeliharaan selama 7 minggu pada ikan yang direndam dengan rGH+BSA selama 30 menit (A), dan ikan yang tidak direndam dengan rGH (NaCl 0,9%+BSA) (B).
Peningkatan biomasa bisa terlihat dari ukuran tubuh ikan perlakuan (gambar 5), dimana ikan yang direndam dengan rGH memiliki tubuh yang lebih lebar dan panjang jika dibanding dengan ikan tanpa direndam rGH (kontrol). Ukuran ikan yang direndam dengan rGH mencapai panjang tubuh sekitar 5-6 cm, dan ikan kontrol (tanpa rGH) memiliki panjang tubuh 4-5 cm. Menurut Haghighi et al., (2010) bahwa terjadi penambahan total panjang ikan sebesar 3,46% pada ikan rainbow trout yang diberi recombinant bovine somatotropin (RBS), dan penambahan total panjang sebesar 5,7% dibandingkan kontrol pada ikan rainbow trout dengan dosis 20 µg/g BW RBS (Garber et al.,1995 dalam Haghighi et al., 2010). Selain itu terjadi peningkatan panjang pada dua jenis ikan catfish yang diinjeksi dengan recombinant bovine somatotropin (Posilac) (Peterson et al., 2004 dalam Haghighi et al., 2010). Penggunaan rGH untuk memacu pertumbuhan juga dilaporkan pada ikan rainbow trout dapat meningkatkan pertumbuhan 50% lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol (Sekine et al., 1985), peningkatan pada ikan mas sebesar 120% (Mahmous et al., 1998), peningkatan bobot dengan pemberian rGH juga dilaporkan Promdonkoy et al., (2004) pada ikan mas koki sebesar 43% dan pada ikan nila sebesar 171% (Acosta et al., 2007). Pada penelitian ini, terjadi kenaikan bobot ikan gurame sebesar 32% dari kontrol (tanpa rGH). Dimana hasil peningkatan bobot terbaik diperoleh dari perendaman benih ikan gurame dalam larutan rGH+BSA selama 30 menit. Nilai akhir bobot rata-rata pada perlakuan D (perendaman rGH+BSA selama 30 menit) yang diperoleh lebih baik daripada nilai perlakuan F (rGH+BSA+NaCl 0,9% selama 1 jam) yang menjadi perlakuan dan memberikan hasil terbaik pada Syazili et al. (2011a). Dengan demikian, perendaman benih ikan gurame dalam air tawar (tanpa NaCl 0,9%) yang mengandung rGH lebih baik daripada dalam air yang mengandung NaCl 0,9%. Peningkatan bobot, SGR, dan biomasa rataan ikan gurame dipicu dari penambahan hormon pertumbuhan rekombinan yang dapat memacu percepatan pertumbuhan. Penggunaan metode perendaman pada penelitian ini dianggap lebih efisien dan efektif dalam pemberian rGH pada fase benih, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penyerapan rGH untuk meningkatkan laju pertumbuhan. Menurut Acosta et al., (2009) pemberian tiGH dengan metode
perendaman pada benih ikan mas koki dengan frekuensi perendaman sebanyak 3 kali dalam seminggu meningkatkan bobot tubuh sebesar 3,5 kali lipat dari kontrol setelah pemeliharaan 15 hari. Perendaman rGH pada ikan lebih efisien dan aman dalam aplikasinya, sehingga dapat mengurangi stres pada ikan selama perlakuan (Acosta et al., 2007). Masuknya hormon pertumbuhan belum diketahui secara pasti, tetapi diduga melalui insang, yang berkaitan dengan sistem osmoregulasi pada ikan. Menurut Smith (1982) dalam Moriyama (1990) bahwa ditemukan radiolabeled-BSA pada insang dan epidermis ikan rainbow trout setelah perendaman dalam larutan, sehingga diduga masuknya larutan tersebut melalui insang. Pemberian gonadotropin releasing hormone cepat terlihat pada plasma ikan mas setelah pemberian melalui insang (Sherwood & Harvey, 1986 dalam Moriyama, 1990). Sistem osmoregulasi pada ikan memiliki peranan penting dalam mengatur tekanan osmotik dan mekanisme keluar masuknya cairan dari luar ke dalam tubuh. Pada ikan gurame yang merupakan ikan air tawar dengan kondisi lingkungan hipotonik maka air dari media eksternal cenderung menembus masuk kedalam bagian-bagian tubuh yang berlapis tipis seperti insang dan kulit. Menurut Affandi (2002) menyatakan bahwa pada ikan teleostei mekanisme pertukaran ion terjadi pada sel klorida yang terdapat pada epithelium insang. Sistem adaptasi yang dilakukan ikan air tawar dengan sedikit minum dan banyak mengeluarkan cairan (urin). Cairan tubuh ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik yang lebih besar daripada lingkungannya sehingga garam-garam tubuh cenderung keluar dan air cenderung masuk kedalam tubuhnya secara osmotik melalui permukaan yang permiabel (Gilles dan Jeaniaux, 1979 dalam Nugahaningsih, 2008). Aplikasi metode perendaman dengan menggunakan shock salinity sebesar 2,5% selama 2 menit dan kemudian memindahkan ikan ke dalam larutan berisi rGH (Putra, 2011) dapat mempengaruhi sistem osmoregulasi ikan. Fungsi pemberian shock salinity pada ikan adalah untuk membuka jalur masuknya rGH melalui insang, dengan memanfaatkan mekanisme pertukaran cairan tubuh. Insang merupakan organ yang berperan penting dalam mengatur tekanan osmotik, hal ini dikarenakan insang memiliki permukaan yang lebih luas/besar dan
didukung dengan permeabilitasnya yang tinggi (Affandi, 2002). Kondisi lingkungan hipertonik untuk ikan air tawar akan menyebabkan air dari cairan tubuh cenderung untuk bergerak keluar, sehingga filamen-filamen insang akan terbuka karena harus mengatur pengeluaran ion-ion monovalen Na dan Cl. Ikan gurame yang telah direndam pada media shock salinity (NaCl 2,5%) kemudian dipindahkan ke media larutan perlakuan yang memiliki kadar garam 0 ppt, sehingga ikan akan beradaptasi dengan menyerap air media karena tubuh ikan bersifat hiperosmotik daripada media. Dari sistem osmoregulasi ini diduga rGH masuk melalui insang dan disebarkan melaui pembuluh darah (Gambat 5).
rGH rGH
Organ Target (Hati)
rGH
Pembuluh darah Gambar 5. Mekanisme masuknya rGH pada ikan dengan metode perendaman. Hormon yang masuk pada ikan akan dialirkan oleh peredaran darah dan akan diserap oleh organ target seperti hati, paru-paru, ginjal, dan berbagai organ lainnya (Affandi, 2002). Hormon akan menuju sasarannya melalui pembuluh darah, karena dalam sirkulasi darah hormon dapat tersebar ke semua bagian tubuh, sehingga sel-sel target yang memiliki reseptor dapat menunjukkan respon (Gambar 5). Reseptor hormon terdiri dari beberapa rangkaian molekul protein yang bersifat sangat khusus, sehingga protein reseptor hanya dapat mengenal satu macam hormon saja (Partodihardjo, 1980 dalam Affandi, 2002). Hormon pertumbuhan memiliki beberapa reseptor pada hati, jaringan adipose, lympocyles,
thymocytes, ovary, corpus luteum (Bauliue dan Kelly, 1985 dalam Affandi, 2002). Rekombinan hormon pertumbuhan yang masuk ke dalam tubuh ikan akan langsung ditransportasikan oleh pembuluh darah menuju organ target (hati) untuk memacu produksi insulin-like-growth factor (IGF-1). Hormon pertumbuhan akan terikat pada reseptornya yang berada di hati, kemudian akan menstimulasi sintesis dan pelepasan IGF-1. IGF-1 berperan dalam regulasi metabolisme protein, lipid, karbohidrat, mineral di dalam sel, diferensiasi, dan perkembangan sel yang akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan (Moriyama, 2000). Ikan gurame memiliki laju pertumbuhan yang lambat, dibutuhkan waktu pemeliharaan sekitar 1,5 tahun dari benih ukuran 2-3 cm hingga ukuran konsumsi. Penambahan rekombinan hormon pertumbuhan (rGH) diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan, karena regulasi pertumbuhan pada ikan sebagian besar diatur oleh hormon pertumbuhan dan IGF-1, keduanya bekerja sama dalam mengikat membran reseptor dan mengatur pengikatan serum protein (Duanexu, 2005). Hasil perendaman rGH pada ikan gurame menunjukkan (gambar 2) peningkatan pertumbuhan pada perendaman rGH+BSA selama 30 menit menunjukkan peningkatan biomasa rata-rata hingga 32% lebih tinggi daripada ikan tanpa direndam rGH (kontrol). Penggunaan rGH juga dilaporkan oleh Lesmana (2010) dapat meningkatkan bobot hingga 20,94% dengan mengunakan rGH ikan kerapu kertang (El-GH). Peningkatan bobot terjadi setelah pemberian rGH, hal ini dikarenakan penambahan hormon pertumbuhan dengan melepas IGF1 memiliki efek metabolik dan somatotropik (Muller et al., 2003). Pemberian rekombinan hormon pertumbuhan pada ikan gurame juga memperlihatkan terjadinya peningkatan nafsu makan. Pengamatan pola makan hanya dilakukan secara visual (kualitatif) pada setiap harinya. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa ikan yang direndam dengan rGH memiliki nafsu makan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan yang tidak direndam dengan rGH, dimana pada saat pemberian pakan cacing setiap harinya terdapat sisa cacing yang tidak termakan pada akuarium kontrol (tanpa rGH). Peningkatan nafsu makan ini diduga disebabkan terjadinya peningkatan kerja enzim yang berpengaruh terhadap perubahan aktivitas makan sebagai adaptasi metabolik. Hal ini diduga karena rGH yang masuk kedalam hati akan dipecah oleh enzim yang
bertanggung jawab untuk memprakarsai sintesis protein yaitu amino acyl tRNA synthetase yang sebagian besar terkonsentrasi di hati (Affandi, 2002), sehingga perubahan aktivitas enzim ini mempengaruhi kebutuhan energi untuk mensintesis amino acyl tRNA synthetase dengan cara adaptasi perubahan nafsu makan. Promdonkoy (2004) juga melaporkan bahwa pemberian Gc-GH pada ikan mas koki (Carassius auratus) dapat meningkatkan nafsu makan dan tingkah laku makan yang lebih agesif dan lebih energik terhadap pakan yang diberikan. Terjadi kenaikan konsumsi pakan sebesar 6,95% pada ikan rainbow trout yang diinjeksi recombinan bovine somatotrop (RBS) (Haghighi et al., 2010). Hasil pemeliharaan selama 7 minggu memperlihatkan terjadi penurunan tingkat kelangsungan hidup (SR) pada perlakuan perendaman rGH+BSA selama 3 jam, 2 jam dan 1 jam dengan rata-rata SR mencapai 95%, sedangkan SR 100% dicapai pada perendaman rGH+BSA selama 30 menit, kontrol (tanpa rGH), dan perlakuan dengan rGH+NaCl 0,9%+BSA selama 1 jam. Hal ini menunjukkan bahwa ada efek negatif pemberian rGH dengan perendaman yang lebih dari 30 menit. Penurunan nilai SR (Gambar 3) terjadi pada ikan yang direndam rGH+BSA selama 3 jam, 2 jam, dan 1 jam (95%). Hal ini diduga karena ikan mengalami sedikit kerusakan pada bagian insang yang diindikasikan dari terlalu lamanya perendaman ikan dalam larutan rGH. Kerusakan ini berakibat pada menurunnya kemampuan ikan untuk mengambil oksigen di air, karena insang ikan memiliki lembaran-lembaran yang terdiri dari filamen insang yang berfungsi untuk osmoregulasi, mengeluarkan sisa metabolisme dan penyerapan oksigen (Affandi, 2002). Hal tersebut yang diduga dapat menurunkan tingkat kelangsungan hidup ikan karena kurangnya asupan oksigen yang juga akan mempengaruhi proses metabolisme pada tubuh ikan. Menurut Fauconneau (1985) dalam Affandi (2002) bahwa laju sintesis protein didalam jaringan-jaringan aktif seperti hati, insang, dan usus dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti temperatur, oksigen, dan salinitas. Pada penelitian ini digunakan metode perendaman pada benih ikan gurame dengan menggabungkan 4 kali lipat dari dosis optimum 30 mg/L (Putra, 2011) untuk sekali perendaman (Syazili et al., 2011a) sebesar 120 mg/L, dengan perbandingan perendaman menggunakan NaCl 0,9% (Putra, 2011) dan tanpa
NaCl 0,9% dengan lama waktu perendaman rGH yang efektif. Hasil akhir menunjukkan perendaman ikan gurame tanpa menggunakan NaCl 0,9% (BSA+rGH) selama 30 menit memiliki nilai biomasa rata-rata lebih tinggi (P<0,05) sebesar 126,88 g jika dibandingkan dengan perendaman menggunakan NaCl 0,9%+rGH+BSA yang mencapai 112,35 g (Gambar 3). Perendaman tanpa menggunakan NaCl 0,9% relatif lebih murah jika dibandingkan dengan menggunakan NaCl 0,9%. Rincian biaya perlakuan ikan gurame dengan dan tanpa NaCl 0,9% (Lampiran 5), didapatkan dari keseluruhan biaya produksi perendaman dan pemeliharaan ikan gurame selama 7 minggu dengan keuntungan tanpa menggunakan NaCl 0,9% yang mencapai Rp 13.239,5 sedangkan perendaman menggunakan NaCl 0,9% mendapat keuntungan akhir sebesar Rp 4.717,5. Hasil kedua ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan gurame yang tidak direndam dalam rGH (NaCl 0,9% dan BSA) dengan total keuntungan yang paling rendah sebesar Rp 2.500 Dari hasil penelitian ini metode perendaman ikan gurame tanpa NaCl 0,9% hanya BSA+rGH bisa digunakan dan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan menggunakan NaCl 0,9% dan tanpa perendaman rGH dimana dari beberapa parameter seperti SG, GR, biomasa rata-rata, bobot ratarata, dan SR menunjukkan perlakuan tanpa NaCl 0,9% memiliki nilai yang lebih tinggi daripada perlakuan dengan NaCl 0,9% dan kontrol (tanpa rGH). Selain itu dari analisa biaya lebih murah jika tidak menggunakan NaCl 0,9% dengan keuntungan yang lebih besar serta biomasa rata-rata akhir yang mencapai 32% dari kontrol. Pada penelitian ini, ikan gurame dipelihara hingga minggu-7, sehingga berbagai penelitian lanjut perlu dilakukan, seperti pemeliharaan ikan hingga mencapai ukuran konsumsi, sehingga akan memberikan informasi mengenai tingkat keuntungan yang diperoleh pembudidaya dengan menggunakan rGH. Pengamatan kuantitas pakan yang dimakan ikan juga akan memberikan informasi efisiensi biaya pemeliharaan ikan yang diberi perlakuan rGH.