15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham (Ajamu 2) dan Kebun Panai Jaya (Ajamu 3). Kebun Meranti Paham terletak di Kelurahan Meranti Paham, Kecamatan Panai Hulu Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara dan terletak pada koordinat 02o11’18”– 02o21’24” LU dan 100o09’13”-100o12’02” BT. Pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit ini dimulai sejak tahun 1970-an. Lokasi ini terdiri atas tahun tanam antara tahun 1980 sampai tahun 1999 dan dilakukan replanting pada tanaman yang mulai tidak produktif. Varietas yang mendominasi adalah Varietas Marihat. Sedangkan Kebun Panai Jaya terletak di kecamatan Panai Tengah, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara dan terletak pada koordinat 02o22’40”–02o26’23” LU dan 100o15’26”-100o17’30” BT. Pembukaan lahan ini dimulai sejak tahun 2005. Lokasi ini terdiri atas tahun tanam antara tahun 2006 sampai tahun 2008 dan direncanakan masih ada penanaman baru. Varietas yang digunakan adalah Varietas Socfin. Pada tanaman kelapa sawit umur 3 tahun (TBM) dilakukan di Kebun Panai Jaya, sedangkan pada tanaman kelapa sawit usia TM 6, TM 12, dan TM 18 dilakukan di Kebun Meranti Paham. Kematangan gambut dari kedua kebun tersebut beragam dari saprik sampai fibrik. Keberagaman kematangan gambut pada Kebun Meranti Paham cenderung secara vertikal, dimana bagian permukaan memiliki kematangan saprik karena lahan ini telah lebih dari 25 tahun dibuka dan telah mengalami berbagai pengolahan lahan, drainase dan pemupukan yang intensif sehingga mempercepat proses dekomposisi. Sementara itu kematangan pada Kebun Panai Jaya sangat beragam baik secara vertikal maupun horisontal disebabkan lahan ini baru mengalami pembukaan sekitar 4 tahun sehingga belum mengalami dekomposisi lanjut (Yulianti, 2009).
16 4.2. Pengukuran Fluks GRK 4.2.1. Pengukuran Fluks CO2 Pengukuran fluks GRK merupakan pengukuran berdasarkan pengambilan sampel gas dari sungkup tertutup dengan frekuensi 10, 20, 30, dan 40 menit sekali kemudian dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP4900. Hasil analisis, akan didapat konsentrasi ambient CO 2 untuk mengetahui fluks CO2 (Tabel Lampiran 1). Pengukuran fluks ini dilakukan di lahan gambut pada berbagai umur tanaman kelapa sawit berdasarkan perbedaan waktu pengambilan sampel dan jarak dari saluran drainase. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai fluks CO 2 pada lahan gambut adalah kedalaman air tanah. Penelitian yang dilakukan Batubara (2009) dan Handayani (2009) menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase berpengaruh terhadap fluks CO 2. Pada Tabel 2 ditunjukkan hubungan hasil pengukuran nilai fluks CO2 dan kedalaman air tanah di lahan gambut dengan penggunaan lahan kelapa sawit di berbagai jarak dari saluran drainase. Tabel 2. Fluks CO2 dari Lahan Gambut berdasarkan Kedalaman Air Tanah dan Jarak dari Saluran Drainase pada Berbagai Umur Tanaman di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 Umur Tanaman TBM
TM 6
TM 12
TM 18
Jarak dari drainase (m) 50 m 100 m 150 m 50 m 100 m 150 m 50 m 100 m 150 m 50 m 100 m 150 m
Rata-rata kedalaman air (cm) 46 39 48 48 51 51 61 62 62 65 70 76
Fluks CO2 (mg/m2/jam)
Rata-rata Fluks CO2 (mg/m2/jam)
443 530 477 390 415 486 601 466 440 700 515 496
483
431
502
570
Sumber : PPKS (2010) Keterangan: Rata-rata fluks CO2 dari pengukuran 5 kali dari setiap jarak dari saluran drainase
17 Tabel 2 menunjukkan rata-rata kedalaman permukaan air tanah pada berbagai umur tanaman kelapa sawit dan kaitannya dengan besar fluks CO 2 di lahan gambut pada berbagai umur tanaman kelapa sawit. Data tersebut menjelaskan bahwa di lahan gambut yang ditanami kelapa sawit usia TBM berada pada rata-rata kedalaman air tanah paling dangkal yaitu 44-45 cm dari permukaan tanah gambut. Sedangkan kedalaman air tanah paling dalam terdapat di lahan gambut dengan tanaman kelapa sawit usia TM 18 yaitu berkisar 65-70 cm dari permukaan tanah. Nilai fluks CO2 di lahan gambut dengan kelapa sawit TM 18 yaitu sebesar 570 mg/m2/jam, paling tinggi dibanding umur tanaman lain. Besarnya fluks CO2 tersebut berhubungan dengan kedalaman air tanah. Menurut penelitian Handayani (2009), kedalaman muka air tanah akibat drainase ini menentukan suasana oksidasi dan reduksi yang sangat berkaitan dengan laju dekomposisi dan menentukan nilai fluks CO2. Semakin dalam muka air tanah berarti dekomposisi bahan organik besar dan menyebabkan fluks CO2 semakin tinggi karena gas CO2 merupakan produk akhir dari proses dekomposisi. Pernyataan tersebut tidak konsisten di lahan gambut dengan kelapa sawit TBM yang menunjukkan kedalaman air paling dangkal tetapi fluks CO2 yang dihasilkan justru lebih besar dari lahan gambut dengan kelapa sawit TM 6. 4.2.2. Pengukuran Fluks CH4 Pengambilan contoh gas untuk pengukuran fluks CH4 ini dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh gas CO2 di lapang. Pengukuran CH4 di kebun Panai Jaya dan Meranti Paham hanya dimulai pada pengamatan kedua sampai dengan pengamatan kelima (November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009) dan hanya satu kali waktu pengukuran, yaitu siang hari. Hasil pengukuran juga dianalisis dengan mikro GC CP-4900 untuk mendapatkan konsentrasi ambient CH4 yang terinci dalam Tabel Lampiran 2. Seperti pada pengukuran fluks CO2, pengukuran fluks CH4 ini juga dilakukan di lahan gambut pada 4 umur tanaman kelapa sawit, yaitu kelapa sawit usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18. Mekanisme rosot gas metan (CH4) yang diketahui saat ini hanya terjadi melalui serapan bakteri metanotrop dan reaksi dengan senyawa radikal bebas yang ada di lapisan ionosfir bumi. Oleh karena itu, meskipun bentuk CH4 secara angka
18 nilainya lebih kecil daripada CO2, namun kemampuan CH4 dalam menyebabkan pemanasan global lebih besar (Handayani, 2009). Kelembaban udara dan muka air tanah merupakan faktor penting yang mempengaruhi fluks CH4. Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap terbentuknya gas CH4 sangat jelas terlihat pada penelitian ini. Data pada Tabel 3 menunjukkan nilai fluks CH4 yang terkecil di lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18 sebesar 8.59 mg/m2/jam dengan kedalaman muka air tanah terdalam berkisar 63-68 cm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin dalam muka air tanah dari permukaan gambut menyebabkan terciptanya kondisi aerob, sehingga produksi CH4 semakin menurun karena gas CH 4 lebih mudah terbentuk pada kondisi anaerob. Tabel 3. Fluks CH4 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Air Tanah dan Jarak dari Saluran Drainase pada Berbagai Umur Tanaman di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 Umur Tanaman TBM TM 6 TM 12 TM 18
Jarak dari drainase (m) 50 m 100 m 50 m 100 m 50 m 100 m 50 m 100 m
Rata-rata kedalaman air (cm) 48 42 50 52 61 62 63 68
Rata-rata Fluks CH4 (mg/m2/jam) 1.385 0.997 1.847 0.859
Sumber : PPKS (2010)
4.3. Emisi GRK Emisi CO2 merupakan perhitungan berdasarkan rata-rata fluks CO2 di beberapa titik pengambilan contoh gas dikalikan dengan jumlah hari dalam satu tahun dan diekstrapolasi ke dalam luas satu hektar. Sedangkan fluks CO2 dihitung berdasarkan pengukuran insitu CO2 dengan menggunakan portable gas chromatography. Hasil pengukuran fluks CO2, untuk mengetahui besarnya emisi CO2 di lahan gambut pada berbagai umur tanaman kelapa sawit dijelaskan secara rinci dalam Tabel Lampiran 3. Besarnya emisi ini dilakukan di lahan gambut yang
19 ditanami kelapa sawit dengan berbagai umur, yaitu umur TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18 berdasarkan waktu pengambilan sampel dan jarak pengambilan contoh gas dari saluran drainase. Hasil perhitungan emisi CO 2 pada penelitian ini merupakan gabungan penglepasan CO2 ke atmosfer dari dekomposisi dan respirasi tanah gambut. Berdasarkan penelitian Handayani (2009) dalam pengukuran emisi CO2 dengan menggunakan metode sungkup paralon pada daerah rhizosfer kelapa sawit umur 10 tahun dan non rhizosfer di lahan gambut dengan 15 titik pengamatan, diketahui rata-rata respirasi akar adalah sebesar 12,6 ton/ha/tahun. Hasil respirasi akar tersebut jika dibandingan dengan total emisi CO2 pada umur tanaman yang mendekati dalam penelitian ini (TM 6) maka hasil respirasi akar ± 30% dari total emisi CO2. Sedangkan menurut penelitian Melling et al. (2005) di lahan gambut kelapa sawit Sarawak, Malaysia, perhitungan nilai respirasi akar ± 29% dari total emisi CO2. 4.3.1. Emisi CO2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Umur Tanaman Kelapa Sawit Emisi CO2 dari lahan gambut di kebun kelapa sawit dengan berbagai umur kelapa sawit (TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18) disajikan pada Tabel 4. Selama 5 kali pengambilan contoh gas, terdapat beberapa kesamaan pola emisi CO2, di mana lahan gambut dengan kelapa sawit yang semakin tua usia tanamannya, emisi CO2 yang dihasilkan juga semakin tinggi, walaupun pola tersebut tidak konsisten. Lahan gambut dengan kelapa sawit usia TM-18 memiliki rata-rata emisi CO2 yang paling tinggi, yaitu sebesar 45.45 ton/Ha/tahun. Hal ini disebabkan karena adanya kaitan antara usia tanaman kelapa sawit di lahan gambut dan kedalaman muka air tanah. Lahan gambut yang ditanami kelapa sawit dengan usia yang semakin tua memiliki kedalaman muka air tanah semakin dalam sehingga proses dekomposisi semakin meningkat yang akan menghasilkan CO2 lebih banyak. Berdasarkan Tabel 4, nilai rata-rata emisi CO2 dari lahan gambut dengan kelapa sawit usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18 berturut-turut yaitu sebesar 41.79 , 38.52 , 43, dan 45.45 ton/Ha/tahun. Rata-rata emisi CO2 meningkat pada di lahan gambut dengan umur tanaman kelapa sawit yang semakin tua seperti pada TM 6, TM 12, dan TM 18. Namun terjadi perbedaan pola emisi CO 2 dari lahan gambut dengan kelapa sawit umur TBM, dimana emisi CO2 di lahan gambut dengan
20 kelapa sawit pada usia ini lebih tinggi dibanding dari lahan gambut dengan kelapa sawit TM 6. Hal ini dikarenakan emisi di lahan gambut dengan kelapa sawit TBM memiliki variasi keragaman yang cukup besar saat pengambilan contoh gas kedua yang diulang pada November 2009 yang menghasilkan emisi CO2 paling tinggi dari keempat pengambilan contoh gas lainnya yaitu sebesar 75.43 ton/Ha/tahun (Tabel 4). Nilai emisi yang mencolok ini diduga karena selang waktu dari pengukuran II (November 2008) dan verifikasi (November 2009) yang sangat lama menyebabkan proses dekomposisi gambut meningkat sehingga emisi CO2 menjadi sangat tinggi. Selain itu, diduga lokasi pengambilan contoh gas dengan sungkup pada verifikasi tidak sama persis dengan yang dilakukan pada pengukuran II. Tabel 4. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 Emisi CO2 Umur Tanaman
I
II
III
IV
V
Rata-rata
……… ton/ha/tahun ………
TBM
29.35
75.43
32.49
37.32
34.37
41.79
TM 6
37.52
41.66
36.30
35.60
41.54
38.52
TM12
31.92
44.18
42.19
41.04
55.64
43.00
TM18
37.38
56.01
41.94
48.34
43.59
45.45
Sumber: PPKS (2010) Keterangan: I, II, III, IV, dan V adalah pengukuran bulan Agustus 2008, November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009
Emisi CO2 terendah terdapat di lahan gambut dengan kelapa sawit usia TM 6, yaitu sebesar 38.52 ton/Ha/tahun. Hal ini berhubungan dengan kedalaman muka air tanah di lahan gambut kelapa sawit TM 6 yang lebih dangkal dibandingkan pada TM 12 dan TM 18. Emisi CO2 semakin meningkat dengan semakin dalam muka air tanah gambut. Tingkat dekomposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah, semakin dalam muka air tanah maka semakin cepat terjadinya dekomposisi gambut. Dalam penelitian Rumbang et al. (2007) dikemukakan bahwa semakin jauh turunnya permukaan air tanah maka emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut semakin besar. Hal ini disebabkan karena perubahan kondisi anaerob
21 menjadi aerob akibat menurunnya permukaan air tanah memicu meningkatnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut. 4.3.2. Hubungan Emisi CO2 dengan Jarak dari Saluran Drainase dan Waktu Drainase di lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit berakibat perubahan kedalaman muka air tanah, sehingga kondisi fisik gambut berubah dan terjadi percepatan dekomposisi bahan organik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa drainase di ekosistem gambut untuk tujuan agribisnis akan berdampak pada kesinambungan global. Pada penelitian ini dijelaskan hubungan emisi CO2 dari lahan gambut dengan pengaruh jarak dari drainase dan waktu pengukuran pada berbagai umur kelapa sawit yaitu pada usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18. Pengambilan contoh gas berdasarkan jarak dari pokok tanaman kelapa sawit merupakan ulangan dalam analisis statistik. Hasil rata-rata emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM berdasarkan pengaruh waktu pengukuran dan jarak dari saluran drainase disajikan dalam Tabel 5 dan diilustrasikan pada Gambar 3. Berdasarkan Tabel 5, rata-rata emisi CO2 di lahan gambut pada pagi hari sebesar 43 ton/Ha/tahun dan pada siang hari sebesar 41 ton/Ha/tahun. Dapat dikatakan bahwa hasil pengukuran emisi CO 2 di lahan gambut pada pagi hari lebih tinggi daripada pengukuran pada siang hari. Hal ini diduga karena pengambilan sampel yang dilakukan pada jam 6 pagi, masih ada akumulasi CO2 hasil respirasi tanaman pada malam hari. Tanaman banyak mengeluarkan CO2 pada malam hari sehingga pengukuran emisi CO2 dari lahan gambut di kebun kelapa sawit usia TBM pada pagi hari menjadi lebih tinggi daripada siang hari. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh secara nyata berdasarkan jarak dari saluran drainase dan waktu pengukuran terhadap emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM (Tabel 5 dan Tabel Lampiran 5).
22 Tabel 5. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TBM berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase
Waktu
Jarak dari pokok tanaman bawah naungan ujung kanopi antar tanaman bawah naungan ujung kanopi antar tanaman
Pagi
Siang Rata-rata
Emisi CO2 berdasarkan jarak dari saluran drainase (ton/Ha/tahun) 50 m 100 m 150 m 60 28 49 34 28 34 39 a
31 18 28 43 24 81 46 a
43 27 52 66 21 42 42 a
rata-rata emisi CO2 43 a
41 a
Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%)
Akibat dari drainase yang berlebihan, maka terjadi penurunan permukaan air tanah, dan ketebalan gambut mulai enipis. Adanya proses tersebut menyebabkan berubahnya suasana drainase dari anaerobik menjadi aerobik, sehingga terjadi dekomposisi bahan organik dengan adanya proses oksidasi. Dekomposisi bahan organik tersebut akan menghasilkan emisi CO2 ke atmosfer (BPPT, 2010) Seperti yang telah terinci pada Tabel 5, bahwa rata-rata emisi CO2 pada jarak 50 m dari drainase yaitu sebesar 39 ton/Ha/tahun cenderung mengalami peningkatan emisi pada jarak 100 m menjadi sebesar 46 ton/Ha/tahun, namun emisi justru menurun kembali pada jarak 150 m menjadi 42 ton/Ha/tahun. Faktor yang mempengaruhi peningkatan emisi CO2 pada jarak 100 m dari saluran drainase adalah perbedaan jarak titik pengambilan sampel gas dari saluran drainase yang menyebabkan semakin dangkal muka air tanah dengan semakin jauhnya dari saluran drainase utama. Seperti yang telah ditunjukkan pada Tabel 2, pada jarak 50 m dari saluran drainase dengan kedalaman muka air tanah sebesar 46 cm menghasilkan fluks CO2 sebesar 443 mg/m2/jam. Sedangkan kedalaman muka air tanah pada jarak 100 m dari saluran drainase cenderung semakin dangkal (39 cm) dan fluks CO2 meningkat menjadi 530 mg/m2/jam. Penurunan muka air tanah tersebut menyebabkan proses dekomposisi yang lebih lanjut dari tanah gambut sehingga emisi CO2 yang dihasilkan di titik yang lebih dekat dengan
23 saluran drainase menjadi lebih tinggi. Namun pada jarak 150 m justru mengalami penurunan fluks CO2 menjadi sebesar 477 mg/m2/jam sehingga emisinya juga menurun dan kedalaman muka air tanahnya cenderung lebih dalam menjadi 48 cm (Tabel 2). Mempertimbangkan nilai penurunan emisi pada jarak 150 m, ternyata angka peningkatan lebih besar daripada angka penurunan emisi, maka dapat dikatakan bahwa emisi CO2 semakin menurun dengan semakin jauh dari saluran drainase. Pola yang menunjukkan peningkatan emisi CO2 dengan semakin jauh jarak dari saluran drainase pada kelapa sawit TBM ternyata tidak konsisten karena terjadi penurunan emisi pada jarak 150 m dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah. Untuk mengetahui kecenderungan emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TBM berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase Hasil rata-rata emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 6 berdasarkan jarak dari saluran drainase menunjukkan bahwa emisi CO2 tertinggi pada jarak 150 m dari drainase yaitu sebesar 43 ton/Ha/tahun kemudian diikuti dengan jarak 100 m sebesar 36 ton/Ha/tahun dan terkecil pada jarak 50 m sebesar 34 ton/Ha/tahun. Dengan kata lain, semakin jauh dari saluran drainase, emisi CO2 yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh kondisi di lapangan pada saat pengambilan sampel gas dimana pada jarak 50 m dari saluran drainase, kondisi gambut masih dalam keadaan lebih tergenang. Namun pada jarak 100 m dan 150 m dari saluran drainase, muka air tanah berangsur-angsur semakin dalam. Muka air tanah yang dalam pada titik pengamatan yang semakin jauh dengan saluran drainase menyebabkan terciptanya suasana aerob yang memacu laju
24 proses dekomposisi yang melepaskan CO2 dari dalam tanah ke atmosfer sehingga emisi CO2 pun meningkat (Tabel 6). Seperti yang telah disajikan pada Tabel 2, kedalaman muka air tanah semakin meningkat pada jarak 50 m ke 100 m dari saluran drainase dan emisi CO 2 yang dihasilkan semakin tinggi. Begitu pula dengan emisi CO2 dari lahan gambut pada jarak 150 m dari saluran drainase semakin meningkat walaupun kedalaman airnya sama dengan jarak 100 m yaitu sebesar 62 cm. Hal ini berbeda dengan emisi dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM, pola emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 6 justru konsisten semakin meningkat dengan semakin jauh jarak dari saluran drainase. Tabel 6. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TM 6 berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase
Waktu
Pagi
Siang
Rata-rata
Jarak dari pokok tanaman bawah naungan
Emisi CO2 berdasarkan jarak dari saluran drainase (ton/Ha/tahun) 50 m 100 m 150 m 43
37
37
ujung kanopi
34
37
35
antar tanaman
31
33
43
bawah naungan
27
46
58
ujung kanopi
34
36
30
antar tanaman
37
30
53
34 a
36 a
43 a
rata-rata emisi CO2 37 a
39 a
Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%)
Oksidasi bahan gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO2 (Hooijer et al., 2006). Gas CO2 yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan gambut, dan tergantung pada faktor lingkungan. Berdasarkan data pada Tabel 6, rata-rata emisi CO2 saat pengukuran pada pagi hari yaitu sebesar 37 ton/Ha/tahun, sedangkan hasil pengukuran pada siang hari
mengalami peningkatan emisi CO2 menjadi sebesar 39 ton/Ha/tahun.
25 Peningkatan emisi CO2 ini disamping peranan dari mikroorganisme aerobik juga, disebabkan karena suhu pada siang hari lebih tinggi dibandingkan suhu pada pagi hari sehingga proses dekomposisi gambut pun menjadi lebih tinggi. Namun hasil analisis sidik ragam pada lahan gambut dengan kelapa sawit TM 6 menunjukkan bahwa emisi CO2 yang dihasilkan tidak dipengaruhi secara nyata berdasarkan jarak dari saluran drainase maupun berdasarkan waktu pengambilan sampel gas (Tabel Lampiran 6) dan kecenderungan emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 6 yang diilustrasikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 6 berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase Berbeda dengan emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 6, hasil pengukuran emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase ternyata menunjukkan penurunan emisi pada jarak 100 m dan 150 m dari saluran drainase. Pada Tabel 7 dirinci secara jelas rata-rata emisi CO2 pada jarak 50 m, 100 m, dan 150 m dari saluran drainase masing-masing yaitu sebesar 53, 41, dan 39 ton/Ha/tahun. Data tersebut menunjukkan penurunan emisi CO2 pada jarak yang semakin jauh dari saluran drainase. Hal ini dikarenakan titik pengambilan contoh gas yang dekat dengan saluran drainase utama memiliki muka air tanah yang lebih dangkal dibandingkan yang jauh dari saluran drainase. Semakin jauh dari saluran drainase utama, kedalaman muka air tanah semakin dalam. Pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa pada jarak 50 m dengan kedalaman air 61 cm meningkat pada jarak 100 m dan 150 m menjadi sedalam 62 cm. Kemudian emisi CO 2
26 menurun seiring dengan semakin jauh jarak dari saluran drainase. Jarak yang lebih dekat dengan saluran drainase mengalami penurunan muka air tanah yang menyebabkan proses dekomposisi yang lebih lanjut sehingga menghasilkan CO 2. Oleh karena itu, emisi CO2 pada titik yang lebih dekat dengan saluran drainase menjadi lebih tinggi. Tabel 7. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TM 12 berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase
Jarak dari pokok tanaman bawah naungan Pagi ujung kanopi antar tanaman bawah naungan Siang ujung kanopi antar tanaman Rata-rata Waktu
Emisi CO2 berdasarkan jarak dari saluran drainase (ton/Ha/tahun) 50 m 100 m 150 m 60 37 50 42 27 47 60 60 23 42 42 47 56 37 36 56 42 38 a a 53 41 39 a
rata-rata emisi CO2 45 a
43 a
Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%)
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pengukuran emisi CO 2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 juga dilakukan pada dua waktu pengukuran yaitu pada pagi dan siang hari. Rata-rata emisi CO2 pada pengukuran pada pagi hari sebesar 45 ton/Ha/tahun dan pengukuran pada siang hari sebesar 43 ton/ha/tahun. Hasil pengukuran emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 memiliki kesamaan dengan hasil pengukuran dari lahan gambut pada kelapa sawit TBM (Tabel 5), dimana emisi CO2 hasil pengukuran pada pagi hari lebih tinggi daripada pengukuran siang hari. Hal ini diduga karena hasil emisi pada pagi hari (jam 6.00) masih terjadi transisi dari malam hari dimana tanaman banyak mengeluarkan CO2 . Hasil rata-rata emisi CO2 tersebut dirinci pada Tabel 7 dan diilustrasikan pada Gambar 5. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak berpengaruh secara nyata terhadap emisi CO2 berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase dan waktu pengambilan sampel (Tabel Lampiran 7). Kecenderungan besarnya emisi yang dihasilkan dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 dapat dilihat pada Gambar 5.
27
Gambar 5. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 12 berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase Hasil emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18 berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase dan waktu pengukuran disajikan dalam Tabel 8 dan diilustrasikan pada Gambar 6. Dengan data tersebut, hasil pengukuran emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 18 pada pagi hari dan siang hari secara berturut-turut sebesar 46 dan 54 ton/Ha/tahun. Dapat dikatakan bahwa pengukuran emisi CO2 dari lahan gambut dengan kelapa sawit usia TM 18 pada siang hari lebih tinggi daripada emisi CO2 pada pagi hari. Pola tersebut senada dengan dengan hasil emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 6 yang menghasilkan emisi CO2 lebih tinggi pada pengukuran di siang hari. Hal ini diduga, disamping peranan dari mikoorganisme aerobik tanah, suhu lingkungan di siang hari yang lebih tinggi juga mempengaruhi terjadinya proses dekomposisi gambut yang lebih banyak. Hasil emisi CO2 berdasarkan jarak pengambilan sampel dari saluran drainase, menujukkan bahwa emisi CO2 tertinggi dihasilkan pada jarak 50 m yaitu 61 ton/Ha/tahun. Penurunan emisi terjadi pada jarak 100 m emisi sebesar 45 ton/Ha/tahun kemudian emisi menurun lagi pada jarak 100 m yaitu menjadi 43 ton/Ha/tahun. Pola emisi CO2 ini sejalan dengan emisi dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 yang menjelaskan bahwa semakin jauh dari saluran drainase maka semakin menurun CO2 yang dilepaskan. Namun pola ini tidak konsisten karena terjadi peningkatan kedalaman air pada jarak 100 m, kemudian menurun kembali pada jarak 150 m (Tabel 2), dengan angka peningkatan lebih besar daripada penurunan.
28 Tabel 8. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 18 berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase
Waktu
Pagi
Siang
Jarak dari pokok tanaman bawah naungan ujung kanopi antar tanaman bawah naungan ujung kanopi antar tanaman
Rata-rata
Emisi CO2 berdasarkan jarak dari saluran drainase (ton/Ha/tahun) 50 m 100 m 150 m 112 40 47 39 31 36 47 34 30 63 69 42 46 42 50 62 55 56 a a 61 45 43 a
rata-rata emisi CO2 46 a
54 a
Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%).
Pada penelitian Handayani (2009) juga mengalami dinamika emisi CO 2 seperti yang terjadi dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18. Pola emisi CO2 tersebut biasa terjadi di lahan gambut yang telah lama diusahakan untuk kebun kelapa sawit dan disertai dengan pendalaman drainase seperti pada lahan gambut dengan kelapa sawit umur TM 18 ini. Menurunnya CO 2 dengan semakin dalamnya muka air tanah karena gas CO2 hasil dekomposisi dari bahan gambut yang lebih matang jauh lebih sedikit dibandingkan gambut mentah. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh secara nyata pada nilai emisi CO2 terhadap jarak dari saluran drainase dan waktu pengambilan sampel yang terinci pada Tabel Lampiran 8, sedangkan kecenderungan emisi CO 2 tersebut diilustrasikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 18 berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase
29 Tabel 9 menunjukkan pengaruh jarak dari pokok tanaman dan waktu pengambilan sampel terhadap emisi CO2. Jarak dari saluran drainase dianggap sebagai ulangan dalam analisis secara statistik dengan pengaruh waktu pengambilan sampel dan jarak dari pokok tanaman. Dengan mengubah bentuk ulangan dan perlakuan, hasil analisis sidik ragam tetap menunjukkan tidak ada pengaruh secara nyata pada jarak dari pokok sawit dan waktu pengambilan sampel terhadap emisi CO2 (Tabel Lampiran 9). Tabel 9. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 18 berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Pokok Tanaman
Waktu
Pagi
Siang Rata-rata
Jarak dari saluran drainase (m) 50 m 100 m 150 m 50 m 100 m 150 m
Emisi CO2 berdasarkan jarak dari pokok tanaman (ton/Ha/tahun) Bawah Ujung Antar naungan kanopi tanaman 112 39 47 40 31 34 47 36 30 63 46 62 69 42 55 42 50 56 a a 62 41 47 a
rata-rata emisi CO2 46 a
54 a
Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%)
Tabel 10 menjelaskan secara rinci emisi CO2 berdasarkan posisi dari pokok tanaman yaitu di bawah naungan, di ujung kanopi, dan di antar tanaman. Pada posisi di bawah naungan, rata-rata emisi CO2 yang dihasilkan adalah emisi tertinggi yaitu sebesar 49 ton/ha/tahun. Emisi CO2 di bawah naungan sangat di pengaruhi oleh adanya respirasi akar pada kelapa sawit dan aktivitas metabolisme dari mikroorganisme di dekat daerah perakaran. Fenomena tersebut menyebabkan emisi CO2 lebih banyak pada daerah di bawah naungan. Pada data juga menunjukkan bahwa Jumlah CO2 yang dihasilkan oleh akar akan lebih besar bila ada akar hidup pada tanah yang semakin dalam. Selain itu, akan ada peningkatan jumlah mikroorganisme tanah yang memanfatkan eksudat akar sehingga meningkatkan proses respirasi akar. (Melling et al., 2005).
30 Pada posisi di antar tanaman dan posisi dibawah kanopi, rata-rata emisi CO2 yang dihasilkan adalah sebesar 47 ton/ha/tahun dan 35 ton/ha/tahun. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah emisi CO2 di bawah naungan. Hal ini diduga karena posisi yang lebih jauh dari akar tanaman kelapa sawit menyebabkan CO2 yang dilepaskan melalui tanah menjadi lebih sedikit. Tabel 10. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Berdasarkan Posisi dari Pokok Tanaman di Berbagai Umur Tanaman
Umur Tanaman Kelapa Sawit TBM TM 6 TM 12 TM 18 Rata-rata emisi
bawah naungan 46 41 46 62 49
Posisi dari pokok tanaman (ton/Ha/tahun) ujung kanopi 24 34 41 41 35
antar tanaman 57 38 45 47 47
4.3.3. Emisi CH4 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit pada Berbagai Umur Tanaman Seperti perhitungan emisi CO2, emisi CH4 pada lahan gambut juga dihitung berdasarkan nilai rata-rata fluks CH4 di beberapa titik pengambilan contoh gas kemudian dikonversikan dalam satu ton/Ha/tahun. Hasil pengukuran fluks CH4 yang digunakan dalam perhitungan emisi CH4 ditampilkan dalam Tabel Lampiran 4. Sedangkan hasil pengukuran emisi CH4 dari lahan gambut pada kebun kelapa sawit usia TBM, TM 6,TM 12, TM 18 (Meranti Paham) dirinci dalam Tabel 11. Berdasarkan data Tabel 11, rata-rata emisi CH4 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18 memiliki emisi yang paling kecil dibandingkan umur tanaman yang lain, yaitu sebesar 5.50 ton/Ha/tahun. Hal ini disebabkan karena pada TM 18 memiliki kedalaman muka air tanah paling dalam. Kedalaman muka air tanah tersebut akan mempengaruhi kelembaban tanah dan produksi CH4. Dalam penelitian Handayani (2009) menyebutkan bahwa faktor lingkungan yang dominan mengendalikan emisi CH4 di lahan gambut adalah kedalaman air. Semakin dalam muka air tanah, jumlah emisi CH4 semakin menurun. Namun pola
31 emisi CH4 tersebut tidak konsisten. Seperti yang sudah ditunjukkan pada data kedalaman air di Tabel 2, bahwa kedalaman air paling dangkal terdapat pada TBM tetapi emisi CH4 yang dihasilkan tidak menunjukkan emisi CH4 terbesar. Data Tabel 11 menjelaskan bahwa emisi CH4 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 12 merupakan penghasil emisi CH4 terbesar. Emisi CH4 cukup nyata di lahan hutan gambut yang tergenang atau yang muka air tanahnya dangkal. Dengan bertambahnya kedalaman muka air tanah, emisi CH4 menjadi tidak nyata. Emisi CH4 pada lahan pertanian relatif kecil karena rendahnya pasokan bahan organik segar yang siap terdekomposisi secara anaerob (Agus dan Subiksa, 2008). Tabel 11. Emisi CH4 dari Lahan Gambut pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009
Umur tanaman
Emisi CH4 berdasarkan pengamatan (kg/Ha/tahun)
rata-rata emisi CH4
II
III
IV
V
TBM
8.132
8.310
3.643
2.784
5.72
TM 6
5.467
2.288
3.175
11.434
5.59
TM 12
8.067
9.238
3.666
9.889
7.71
TM 18
7.594
2.362
5.331
6.714
5.50
Sumber: PPKS dan DITSL, 2010 Keterangan: II, III, IV, dan V adalah pengukuran bulan November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009