IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada semua perlakuan, konsentrasi TAN tertinggi pada kepadatan 40 ekor yaitu 4,40±0,30 mg/l dan terendah pada kepadatan 20 ekor yaitu 4,10±0,19 mg/l. Sedangkan pada kepadatan 25 ekor dan 30 ekor sebesar 4,16±0,27 mg/l dan 4,12±0,26 mg/l (Lampiran 1).
Gambar 2. Total Amonia Nitrogen Rata-rata setiap Perlakuan pada Media Air Pengangkutan Gambar
2
menjelaskan
peningkatan
konsentrasi
TAN
terhadap
pertambahan waktu. Pola peningkatan konsentrasi TAN relatif sama pada semua perlakuan.
4.1.2 Amonia tak Terionisasi (NH3) Konsentrasi NH3 media diukur setiap 48 jam dimulai jam ke-0 hingga jam ke-120. Konsentrasi NH3 tertinggi pada kepadatan 40 ekor 0,0148±0,0024 mg/l disusul kepadatan 25 ekor 0,0147±0,0028 mg/l, sedangkan terendah pada perlakuan 20 ekor/L sebesar 0,0140±0,0010 mg/l (Lampiran 2).
Gambar 3. Amonia tak terionisasi rata-rata setiap perlakuan pada media air pengangkutan Amonia tak terionisasi (NH3) rata-rata pada keempat perlakuan memiliki pola yang relatif sama. Konsentrasi NH3 rata-rata berfluktuasi selama 120 jam (Gambar 3).
4.1.3 Suhu Pengukuran suhu dilakukan setiap 48 jam selama 120 jam. Selama pengamatan, pada jam yang sama baik kepadatan 20, 25, 30 maupun 40 ekor memiliki suhu yang sama. Suhu tertinggi terjadi pada jam ke-0 sebesar 26,6 oC dan terendah 20 oC pada jam ke-120 (Lampiran 3).
Gambar 4. Suhu rata-rata setiap perlakuan pada media air pengangkutan Suhu untuk semua perlakuan mengalami penurunan hingga jam ke-120. Penurunan drastis terjadi pada jam ke-48, selanjutnya stabil sampai jam ke- 96 dan terjadi penurunan kembali hingga jam ke- 120 (Gambar 4).
4.1.4 Oksigen Terlarut (DO) Pengukuran DO dilakukan setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Konsentrasi DO tertinggi adalah 7,48±0,79 mg/l pada perlakuan kepadatan 20 ekor/L dan terendah sebesar 4,90±0,96 mg/l pada perlakuan kepadatan 40 ekor/L (Lampiran 4).
Gambar 5. Oksigen terlarut rata-rata setiap perlakuan pada media air pengangkutan Hubungan oksigen terlarut terhadap waktu disajikan pada Gambar 5. Pada awal perlakuan konsentrasi oksigen terlarut masing-masing perlakuan adalah sama yaitu 6,1 mg/L. Peningkatan konsentrasi oksigen terlarut terjadi pada jam ke-48 dan terjadi penurunan pada jam ke-96 dan 120.
4.1.5 pH Pengukuran pH media pengepakan dilakukan setiap 48 jam selama 120 jam. Nilai pH media pengepakan pada setiap perlakuan berkisar antara 6,89±0,06 dan 7,35±0,00 (Lampiran 5).
Gambar 6. pH rata-rata setiap perlakuan pada media air pengepakan
Nilai pH rata-rata media pengepakan keempat perlakuan kepadatan mengalami penurunan pada jam ke- 0 sampai jam ke- 96, kemudian terjadi peningkatan pH sampai jam ke- 120. Pola hubungan pH terhadap pertambahan waktu memiliki kesamaan untuk semua pengangkutan (Gambar 6).
4.1.6 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup ikan maanvis diamati setiap 6 jam selama 120 jam. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi sebesar 100±0,00% pada perlakuan kepadatan 25 ekor sedangkan terendah pada perlakuan kepadatan 20 ekor sebesar 96,67±2,89% (Lampiran 6).
Gambar 7. Tingkat Kelangsungan Hidup (%) Rata-rata Setiap Perlakuan Tingkat kelangsungan hidup untuk semua perlakuan disajikan dalam Gambar 7. Grafik tersebut diambil dari data tingkat kelangsungan hidup rata-rata setiap perlakuan pada (Lampiran 6). Pada jam ke-0 hingga jam ke-96, tingkat kelangsungan hidup dari masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang sama yaitu 100±0,00%. Kematian ikan uji mulai terjadi pada jam-ke 108.
4.2 Pembahasan Konsentrasi TAN rata-rata (Gambar 2) meningkat seiring bertambahnya waktu. Konsentrasi TAN rata-rata setiap perlakuan pada jam ke-120 berkisar antara 4,10±0,19 – 4,40±0,30 mg/L (Lampiran 1). Menurut Riza (2007) laju ekskresi TAN maanvis ukuran 2 gram adalah 0,004 mg/L/jam, sehingga dapat diduga laju ekskresi TAN maanvis ukuran 2 gram selama 120 jam ± 0.48 mg/L dan laju ekskresi TAN maanvis ukuran 2 gram sebanyak 40 ekor adalah 19,2 mg/L. Rendahnya nilai TAN selama penelitian ini disebabkan oleh daya serap zeolit dan karbon aktif terhadap amonia. Menurut Supendi (2006) salah satu cara untuk mengurangi konsentrasi amonia adalah dengan menggunakan zeolit dan karbon aktif, dimana zeolit dan karbon aktif ini mampu mengadsorbsi sejumlah amonia dalam waktu tertentu. Menurut Boyd (1990), di dalam perairan amonia terdapat dalam dua bentuk yaitu, amonium (NH4+) dan amonia yang tidak terionisasi (NH3). NH3 adalah bentuk amonia yang lebih beracun dibanding NH4+ bagi organisme perairan. NH3 sangat berbahaya bagi ikan, namun NH4+ relatif lebih aman. Dari grafik amonia rata-rata di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi NH3 meningkat pada 48 jam pertama, kemudian menurun sampai jam ke- 96 dan naik kembali sampai jam ke- 120. Pola peningkatan NH3 tersebut berhubungan dengan konsentrasi TAN serta dipengaruhi oleh suhu dan pH air. Konsentrasi NH3 setiap perlakuan pada jam ke 120 berkisar antara 0,0140±0,0010 - 0,0148±0,0024 mg/L (Lampiran 2). Konsentrasi tersebut masih aman untuk kehidupan ikan. Menurut Efendi (2003) kadar NH 3 pada perairan tawar sebaiknya tidak melebihi 0,02 mg/L. Konsentrasi NH3 pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Riza (2007) sebelumnya. Berdasarkan penelitian sebelumnya pada jam ke 120 konsentrasi NH 3 pada pengangkutan sistem tertutup ikan maanvis sebanyak 20 ekor/L dengan penambahan zeolit 20 gram/L adalah 0,0159±0,0051 mg/L (Lampiran 7). Hal ini disebabkan adanya perbedaan penambahan 10 gram/L karbon aktif pada penelitian ini. Berdasarkan penelitian Riza (2007) konsentrasi NH3 untuk perlakuan kontrol tanpa penambahan zeolit ataupun karbon aktif adalah 0,0663±0,0021
mg/L (Lampiran 7). Jika dilihat dari konsentrasi NH3 perlakuan kontrol tanpa penambahan zeolit dan karbon aktif pada penelitian sebelumnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan konsentrasi NH3 pada penelitian ini, penambahan zeolit sebanyak 20 gram/L dan karbon aktif 10 gram/L sangat efektif dalam menekan kenaikan konsentrasi NH3 sehingga nilainya masih dalam kisaran yang layak bagi kehidupan ikan maanvis pada pengepakan sistem tertutup sampai kepadatan 40 ekor/L selama 120 jam. Rendahnya fraksi NH3 terhadap TAN pada penelitian ini disebabkan oleh rendahnya pH dan suhu pada media air pengepakan, yaitu suhu 20-21º C (Lampiran 3) dan pH 6,73-7,35 (Lampiran 5) serta daya serap zeolit dan karbon aktif. Menurut Effendi (2003) bentuk kandungan (NH3 dan NH4+) tergantung pada konsentrasi ion hidrogen pada air. Air dengan pH rendah memiliki ion hidrogen lebih banyak sehingga bentuk NH4+ lebih dominan. Jika pH meningkat diatas 7,2 maka jumlah ion hidrogen akan berkurang dan mengakibatkan bentuk NH3 lebih dominan. Peningkatan suhu air juga dapat menyebabkan meningkatnya NH 3 yang bersifat toksik sehingga dapat membahayakan ikan. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan laju metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendie 2003), untuk menghindari hal tersebut maka suhu dalam kemasan diturunkan (sampai batas tertentu) dengan penambahan batu es ke dalam kotak styrofoam. Penurunan suhu (sampai batas tertentu) juga menyebabkan peningkatkan kelarutan oksigen dalam air. Menurut Boyd (1990) kelarutan oksigen terlarut paling tinggi pada suhu 0º C dan turun dengan meningkatnya suhu. Suhu air media pengepakan pada umumnya berkisar antara 20-21 oC (Lampiran 3), suhu tersebut masih di dalam kisaran optimum kehidupan ikan maanvis. Menurut Susanto (2000) suhu optimum maanvis berkisar antara 20-25 o
C. Grafik konsentrasi oksigen terlarut terhadap waktu di atas diambil dari
data konsentrasi rata-rata oksigen terlarut tiap perlakuan. Pada awal perlakuan (jam ke- 0) konsentrasi oksigen terlarut masing-masing perlakuan adalah sama yaitu 6,1 mg/L. Hal ini disebabkan pada awal penelitian digunakan sumber air yang sama untuk masing-masing perlakuan. Peningkatan konsentrasi oksigen
terlarut terjadi sampai jam ke- 48, hal ini dikarenakan adanya penambahan oksigen murni pada awal pengepakan. Selanjutnya konsentrasi oksigen terlarut rata-rata setiap perlakuan menurun seiring bertambahnya waktu. Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata media air pengepakan menurun seiring dengan semakin tingginya kepadatan ikan. Konsentrasi oksigen terlarut terendah pada akhir perlakuan menunjukkan angka yang masih bisa ditolerir untuk kehidupan ikan yaitu 3,79 mg/L. Kadar oksigen terlarut terendah yang dapat ditolerir ikan dalam pengangkutan adalah 2-3 mg/L (Huet 1971). Nilai pH media pengepakan berkisar antara 6,73-7,35 (Lampiran 6) sehingga masih dalam kisaran optimum kehidupan ikan maanvis yaitu berkisar antara 6,5-7,5 (Susanto 2000). Dari pembahasan kualitas air (NH3, suhu, DO, dan pH) dapat disimpulkan bahwa selama penelitian, kualitas air tersebut masih layak untuk kehidupan ikan maanvis. Hasil tersebut memungkinkan kelangsungan hidup ikan maanvis tetap tinggi. Tingkat kelangsungan hidup ikan maanvis dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan analisa sidik ragam diketahui bahwa pada jam ke- 0 sampai jam ke120 tingkat kelangsungan hidup ikan maanvis pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata (P<0,005). Tingkat kelangsungan hidup ikan maanvis mulai mengalami penurunan setelah jam ke- 96. Kematian yang terjadi pada setiap perlakuan diduga karena kelelahan yang dialami ikan selama penelitian. Proses pengangkutan dapat menimbulkan stress pada ikan. Menurut Wedemeyer (1996) respon stres terjadi dalam 3 tahap yaitu stres, bertahan, dan kelelahan. Ketika terdapat stres dari luar, ikan akan mengeluarkan energinya untuk bertahan. Proses bertahan menyebabkan pertumbuhan dapat menurun dan selanjutnya terjadi kematian. Kematian ikan maanvis mulai terjadi pada jam ke- 108. Pada saat itu ikan maanvis sudah dalam kondisi puasa selama 7 hari. Berdasarkan penelitian Riza (2007) ikan maanvis dengan bobot 2 gram hanya mampu bertahan hidup dalam keadaan puasa sampai 9 hari dalam lingkungan yang terkontrol. Kematian pada ikan uji terkait dengan laju metabolisme yang lebih tinggi selama pengangkutan sehingga energi yang dikeluarkan ikan akan lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi metabolisme rutin, akibatnya ikan akan lebih cepat mengalami kematian akibat kehabisan energi untuk bertahan dari stres. Menurut Frose (1985) di dalam wadah
pengangkutan laju metabolisme ikan lebih cepat sampai tiga kali dari metabolisme rutin. Perlakuan penambahan zeolit sebanyak 20 gram/L dan karbon aktif 10 gram/L dengan kepadatan 40 ekor/L pada penelitian menunjukkan efisiensi teknis dan ekonomis yang paling tinggi diantara perlakuan lainnya. Hal ini terlihat dari hasil akhir jumlah ikan yang masih hidup pada jam ke-120 lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya serta perhitungan biaya pengangkutan rata-rata/ekor pada jam ke-120 yang paling rendah (Lampiran 8). Jumlah ikan yang masih hidup (jam ke-120) pada penelitian ini 2 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Riza 2007) dengan biaya pengangkutan yang lebih rendah 2 kali lipat (Lampiran 8), sedangkan jika dibandingkan dengan kepadatan yang umum digunakan dalam pengangkutan sistem tertutup ikan maanvis jumlah ikan yang masih hidup 4 kali lebih tinggi dengan biaya pengangkutan 3,5 kali lebih rendah (Lampiran 8).