IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL Pada penelitian pendahuluan-1 digunakan beberapa jenis bahan untuk proses degradasi anaerobik. Jenis bahan tersebut diantaranya adalah kulit pisang, kol, sampah pasar-1 (sampah pasar Gunung Batu, Bogor), sampah pasar-2 (sampah pasar Laladon, Bogor), dan kulit nenas. Pertimbangan mengenai pemakaian beberapa jenis bahan di atas adalah karena keberadaan bahan tersebut melimpah dalam bentuk sampah dan beberapa komoditas pertanian biasa digunakan dalam industri pengolahan hasil pertanian, diantaranya kulit pisang limbah hasil industri keripik dan sale pisang, kulit nenas limbah hasil industri koktail dan selay nenas, demikian juga sampah pasar yang banyak kita jumpai di pasar-pasar tradisional. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa bahan yang digunakan didominasi oleh kandungan air yang tinggi yaitu berkisar antara 82.57-94.05%. Kandungan air bahan tertinggi dimiliki oleh jenis bahan sampah pasar-2 sebanyak 94.05%. Berkaitan dengan produksi biogas, Price and Paul (1981) menjelaskan bahwa perbedaan kadar air dari 36-99% akan meningkatkan produksi biogas sebesar 670%. Peningkatan yang paling nyata ditunjukkan oleh bahan yang memiliki kadar air 60-78%. Kadar air bahan sangat berperan penting dalam produksi biogas yang dihasilkan. Kriteria lain yang sering digunakan pada proses fermentasi anaerobik ini adalah kandungan Volatile Solid atau padatan organik bahan. Misi dan Foster (2001) menjelaskan bahwa kriteria untuk menilai keberhasilan degradasi limbah pertanian secara anaerobik adalah penurunan padatan organik (VS), produksi total biogas, dan menghasilkan metan. Padatan organik atau volatile solid dari hasil analisis menunjukkan nilai yang cukup besar berkisar antara 84.6795.07% basis kering. Potensi yang cukup besar untuk dikonversikan menjadi sejumlah biogas hasil proses fermentasi anaerobik. Penjelasan lebih rinci mengenai karakteristik bahan awal yang digunakan disajikan dalam Tabel 6. Dan sebagai pembandingnya disajikan karakteristik sampah buah dan sayuran dari Alvarez dan Liden (2007). Tabel 6. Karakteristik bahan awal penelitian pendahuluan-1 Kadar Kadar Padatan total Jenis Biomasa Abu (%) Air (%) (%) Kulit pisang 1.90 Kol 0.48 Sampah Pasar-1 2.23 Sampah Pasar-2 0.83 Kulit nenas 0.66 Sampah buah dan sayur *) 0.80 *) Sumber : Alvarez dan Liden, (2007)
87.61 93.00 82.57 94.05 86.61
12.39 7.00 17.43 5.95 13.39
87.30
12.70
Padatan organik (% w.b) (% d.b) 10.49 84.67 6.52 93.14 15.20 87.21 5.12 86.05 12.73 95.07 11.90
93.70
Semua bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam fasa padat. Dengan demikian sampah yang digunakan adalah sampah organik padat yang tidak mengalami pengenceran atau penambahan air. Wahyuni (2008) menjelaskan bahan baku isian berupa bahan organik seperti kotoran ternak, limbah pertanian, sisa dapur, dan sampah organik harus terhindar
19
dari bahan anorganik seperti pasir, batu, plastik, dan beling. Bahan isian ini harus mengandung bahan kering (padatan total) sekitar 7-9%. Dari hasil analisis yang dilakukan, bahan yang digunakan mengandung 5.95-17.43% padatan total. Untuk mengatur kandungan padatan total bahan, usaha yang biasanya dilakukan adalah dengan penambahan air atau pengenceran. Beberapa jenis bahan yang digunakan dalam penelitian ini seperti kol, kulit pisang, sampah pasar, dan kulit nanas adalah termasuk pada jenis sampah organik yang mudah membusuk (garbage). Hanya saja nanti dilihat komposisi kandungan terbanyaknya, apakah termasuk bahan yang memiliki rantai kimia panjang dan kompleks seperti lignin dan selulosa atau rantai kimia pendek sehingga mudah untuk diuraikan dan dikonversi menjadi biogas.
4.2. PENENTUAN JENIS BAHAN YANG BISA MEMPRODUKSI BIOGAS TERTINGGI Setelah diketahui jenis bahan yang digunakan dan karakteristik dari setiap bahan. Tahapan selanjutnya adalah proses identifikasi produksi biogas dari setiap bahan. Bahan difermentasi pada suhu ruang tanpa dilakukan kontrol suhu. Sebanyak 500 gram bahan yang telah dijelaskan sebelumnya, dirajang sampai berukuran 2-5 cm. Kemudian difermentasi anaerob selama 45 hari. Setiap harinya dicek jumlah biogas yang terbentuk dan dicatat. Jumlah akumulasi biogas yang terbentuk bisa dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Akumulasi biogas pada penelitian pendahuluan-1 Dari hasil pengamatan selama 45 hari fermentasi anaerobik pada penelitian pendahuluan-1 ini menyimpulkan bahwa jenis bahan sampah pasar-1 (sampah pasar Gunung Batu, Bogor) bisa menghasilkan jumlah biogas terbanyak diantara jenis bahan lainnya. Jumlah biogas yang terbentuk dari jenis bahan sampah pasar-1 adalah sebanyak 2244.5 ml. Jumlah biogas dari bahan lain selain jenis sampah pasar-1 adalah sebagai berikut, kulit pisang 1237.5 ml, kol 761.5 ml, sampah pasar-2 1158.5 ml, dan kulit nanas 856.0 ml. Untuk lebih jelasnya Gambar 9 menyajikan grafik akumulasi biogas yang terbentuk dari setiap bahan yang diuji pada penelitian pendahuluan-1. Dari informasi tersebut bisa ditentukan besarnya produksi biogas secara spesifik. Produksi biogas secara spesifik maksudnya besaran volume gas yang terbentuk dibandingkan dengan besaran lain yang erat kaitannya dengan produksi biogas. Produksi gas spesifik hasil
20
fermentasi selama 45 hari pada penelitian pendahuluan-1 menggunakan beberapa jenis bahan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Produksi gas spesifik dari setiap bahan Produksi Gas Spesifik Bahan Biomasa (mL/kg Biomassa) Kulit pisang 2480 Kol 1520 Sampah Pasar-1 4500 Sampah Pasar-2 2320 Kulit nenas 1720 Dari percobaan ini dapat diambil kesimpulan bahwa jenis bahan sampah pasar-1 merupakan bahan yang bisa menghasilkan biogas tetinggi. Sehingga untuk penelitian selanjutnya yaitu penelitian pendahuluan-2 dan penelitian utama, jenis bahan ini yang digunakan. Adapun penelitian pendahuluan-2 merupakan proses identifikasi korelasi penurunan bahan organik dengan jumlah biogas yang terbentuk dan penelitian utama adalah uji coba kinerja kondisi optimum pada skala 10 l dengan penambahan feed baru.
4.3. KORELASI ANTARA PEMBENTUKAN BIOGAS DAN PENURUNAN PADATAN ORGANIK Penelitian pendahuluan-1 memberi kesimpulan bahwa jenis sampah pasar-1 merupakan jenis bahan yang bisa memproduksi biogas terbanyak dibandingkan dengan jenis bahan lainnya yang diujikan. Dari kesimpulan ini maka jenis bahan yang digunakan untuk penelitian pendahuluan-2 dan penelitian utama adalah jenis bahan sampah pasar-1. Tabel 8 menjelaskan komposisi sampah pasar-1 yang akan digunakan pada penelitian pendahuluan-2, dan penelitian utama. Tabel 8. Komposisi sampah pasar-1 KomposisiSampah Pasar-1 % (bobot:bobot) 7.5 o Daun pisang 24.2 o Kulit jagung 14.8 o Pare 19.9 o Kol 6.2 o Sosin 8.0 o Kangkung 8.0 o Sawi 11.5 o Wortel Selanjutnya bahan pada penelitian pendahuluan-2 dan penelitian utama adalah bahan yang dibuat menyerupai komposisinya dengan sampah pasar-1. Hal ini dilakukan karena jika bahan diambil dari pasar yang sama yaitu pasar Gunung Batu, Bogor dengan waktu pengambilan bahan yang berbeda maka bisa dipastikan komposisi dari sampah tersebut berbeda dengan sampah yang diambil untuk penelitian pendahuluan-1. Jika dilihat dari komposisi sampah pasar-1 yang digunakan, terdapat 7.5% daun pisang, 24.2% kulit jagung, dan sisanya sebesar 68.4% (b:b) adalah sampah yang tergolong dalam sampah sayuran. Unus (1976) di dalam Hamzah (1980) menjelaskan bahwa
21
mikroorganisme sangat menyukai sayuran karena kandungan airnya 68.5-96.1%, karbohidrat 2.7-27.9%, protein 6.5-6.7%, lemak 0.1-1.2% dan abu 0.3-1.5%. Dengan demikian media fermentasi sampah pasar-1 ini merupakan media yang termasuk cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme pengurai. Adapun sistem yang digunakan dalam penguraian bahan pada penelitian ini adalah sistem fermentasi anaerobik. Penelitian pendahulan-2 ini merupakan evaluasi dari penelitian pendahuluan-1. Beberapa hal yang menjadi poin penting pada penelitian pendahuluan-1 adalah dari kurva akumulasi biogas penelitian pendahuluan-1, kondisi steady state tercapai pada hari ke-17. Selain itu hasil pengamatan menunjukkan bahwa produksi biogas pada siang hari lebih banyak di banding malam hari, hal ini berkaitan dengan kondisi suhu ruang yang berbeda saat siang hari dan malam hari. Temperatur siang hari (25-30oC) lebih panas daripada malam hari (20-25oC). Dari hasil temuan ini maka ada beberapa kondisi pada penelitian pendahuluan-2 yang berbeda dengan penelitian pendahuluan-1. Temperatur fermentasi anaerobik pada penelitian pendahuluan-2 dibuat konstan yaitu pada suhu 32oC. Selain itu fermentasi dilakukan selama 17 hari dengan pertimbangan kondisi steady state sudah tercapai dalam rentang waktu tersebut. Selama proses fermentasi anaerobik berlangsung dilakukan pengamatan mengenai jumlah biogas yang terbentuk dan penurunan padatan organik bahan. Dari hasil pengamatan selama 17 hari diperoleh data akumulasi gas yang terbentuk adalah 837 ml biogas dengan penurunan VS sebesar 22.24 g. Dengan demikian dari informasi tersebut bisa ditentukan keterkaitan antara volume gas yang terbentuk dengan penurunan VS bahan pada penelitian pendahuluan-2 ini. Tabel 9 menyajikan keterkaitan antara produksi biogas dan penurunan padatan organik bahan. Tabel 9. Hubungan Produksi Biogas dengan Penurunan Padatan Organik Bahan Penurunan VS Volume Biogas (ml) Laju Pembentukan (g) biogas (ml/g VS) 22.24 837 37.63
4.4. PENGARUH PENAMBAHAN FEED TERHADAP KINERJA KONDISI PADA REAKTOR 10 LITER Percobaan ini dilakukan pada reaktor skala 10 liter, sebanyak 2.5 kg bahan yang telah dirajang dimasukkan ke dalam reaktor dengan penambahan kotoran sapi segar sebanyak 277 gram. Perbandingan bahan (sampah) dengan penambahan kotoran sapi sebanyak 9:1 pada proses anaerobik sampah kota pernah dilakukan oleh Macias-Corral et al. (2008). Penambahan kotoran sapi segar ini dimaksudkan sebagai inokulum mikroorganisme anaerob yang terdapat di dalam perut sapi. Kotoran sapi segar mengandung banyak bakteri pembentuk asam dan metan, hal ini yang menjadi alasan kenapa kotoran sapi segar banyak digunakan sebagai inokulum fermentasi anaerobik. Anglo dan Alicbusan (1980) di dalam Palupi (1994) menjelaskan penggunaan inokulum pada proses anaerobik dapat mempercepat produksi biogas. Secara umum kondisi operasi yang dilakukan pada reaktor anaerobik skala 10 liter adalah menggunakan temperatur konstan pada suhu 35-40oC, setiap dua hari sekali lindi yang tertampung diresirkulasi untuk mengembalikan mikroorganisme yang terbawa di lindi, dan fermentasi anaerobik dihentikan sampai hari ke-30. Ada 3 kali running fermentasi batch dalam penelitian utama ini, yang pertama merupakan fermantasi 2.5 kg bahan baru ditambah 277 g kotoran sapi segar sebagai inokulum mikroorganismenya. Batch kedua, perlakuan penambahan
22
50% feed baru (bobot:bobot), yaitu sebanyak 1.25 kg digestat hasil fermentasi pertama dijadikan starter dengan penambahan 1.25 kg bahan baru. Batch ketiga adalah perlakuan penambahan 75% feed baru, yaitu sebanyak 625 g digestat ditambahkan 1.875 kg bahan baru. Hasil analisis bahan awal menunjukkan bahwa campuran antara sampah pasar dengan kotoran sapi segar (w.b) memiliki kadar air 87.51%, kadar abu 0.87%, total solid 12.49%, padatan organik 11.62% atau 92.97% (d.b), pH 5.10, C/N 48.50. Kemudian jika dibandingkan dengan beberapa kondisi optimum untuk kondisi fermentasi anaerobik produksi biogas seperti, bahan kering sekitar 7-9%, C/N 25-30 (Wahyuni, 2008), dan pH 6.8-7.4 (Romli, 2010). Untuk lebih memperjelas perbandingan antara karakteristik bahan awal umpan dan kondisi optimum fermentasi disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Perbandingan karakteristik bahan awal umpan dengan kondisi optimum fermentasi Nilai Parameter Bahan Awal Kondisi Optimum Kadar air (%) 87.51 Kadar abu (%)
0.87
-
Total Solid (%)
12.49
7-9 a
Padatan Organik (%)
11.62
-
pH
5.10
6.8-7.4b
C/N
48.50
25-30 a
Sumber : a) Wahyuni (2008), b) Romli (2010).
Berdasarkan penjelasan Tabel 10 di atas dapat diketahui bahwa: Total Solid atau padatan kering bahan awal lebih tinggi dari kondisi optimum fermentasi. 2. Nilai pH bahan awal yaitu 5.10 lebih asam dari kondisi optimum fermentasi yang lebih cenderung dalam range pH netral. 3. Nilai C/N bahan awal di atas nilai C/N optimum pembentukkan biogas antara 25-30. 1.
4.4.1 Produksi Biogas Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari penguraian bahan organik dalam keadaan tanpa udara (anaerob). Menurut Wahyuni (2009) biogas merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang dapat menjawab kebutuhan energi alterrnatif. Dalam proses pembentukannya terdapat 4 proses yang harus dilalui sehingga menghasilkan biogas. Proses tersebut adalah hidrolisa, asidifikasi, asetofikasi, dan metanisasi. Penting untuk diperhatikan bahwa proses hidrolisis umumnya menjadi tahap pembatas laju pada degradasi anaerobik bahan-bahan organik kompleks (Romli, 2010). Pengamatan produksi biogas dilakukan selama 90 hari atau 3 kali batch fermentasi anaerobik selama 30 hari. Pengamatan 30 hari pertama (batch ke-1) merupakan produksi biogas dari komposisi bahan awal yaitu 2.5 kg bahan sampah yang ditambahkan dengan 277 g kotoran sapi segar. Pengamatan 30 hari ke-2 (batch ke-2) adalah pengamatan produksi biogas dari campuran bahan 50% digestat dan 50% bahan baru (bobot:bobot), dan 30 hari ke-3 (batch ke-3)
23
adalah pengamatan produksi biogas dari bahan 25% digestat dan 75% bahan baru (bobot:bobot). Volume akumulasi biogas sampah pada uji coba skala 10 l disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Volume akumulasi biogas sampah skala 10 l Dari hasil pengamatan akumulasi produksi biogas dari setiap batch sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 10 memperlihatkan bahwa batch pertama (100% bahan awal) menghasilkan 16707 ml, batch kedua (feed 50%) menghasilkan 10908 ml, dan batch ketiga (feed 75%) menghasilkan 12378 ml biogas. Atau jika dirata-ratakan terhadap lamanya proses fermentasi maka produksi biogas batch ke-1 menghasilkan 557 ml biogas/hari, batch ke-2 menghasilkan 364 ml biogas/hari, dan batch ke-3 sebanyak 413 ml biogas/hari. Alvarez dan Liden (2007) dalam percobaannya menggunakan sampah sayur dan buah-buahan, fermentasi selama 30 hari, suhu operasi konstan pada 35oC, dan volume digester 2 liter menghasilkan 316 ml biogas/hari. Produksi biogas akan lebih optimum jika fermentasi anaerobik yang dilakukan benarbenar pada kondisi tanpa O2. Beberapa kondisi yang memungkinkan masuknya O2 pada reaktor adalah ketika dilakukan pengambilan sampel bahan padat dari dalam reaktor. Sampel bahan padat diambil dari lubang sampel yang terdapat pada reaktor. Pada proses resirkulasi lindi juga memungkinkan O2 masuk ke dalam reaktor. Lindi yang tertampung dalam tabung penampungan lindi dikeluarkan dari tabung dan dimasukkan kembali ke dalam reaktor melalui lubang penyaluran lindi. Proses lainnya yang berpotensi masuknya O2 ke dalam sistem fermentasi adalah ketika pemanenan digestat diakhir fermentasi. Solusi yang mungkin bisa dilakukan adalah memperbaiki sistem reaktor yang memungkinkan untuk tidak masuknya O2 ketika pengambilan sampel padat, yaitu dengan sistem buka-tutup otomatis pada lubang sampel. Pada proses resirkulasi lindi sebaiknya digunakan pompa peristaltik untuk menghindari masuknya O2 ke dalam reaktor. Untuk menghindari masuknya O2 pada bahan saat pemanenan digestat, sebaiknya dilakukan penyemprotan gas nitrogen pada reaktor sebelum reaktor dibuka. Korelasi antara produksi biogas dengan banyaknya bahan baru (feed) yang dimasukkan maka adanya hubungan yang linear dimana semakin banyak bahan baru (feed) yang dimasukkan semakin banyak pula biogas yang dihasilkan. Grafik hubungan antara keduannya disajikan pada Gambar 11.
24
Gambar 11. Grafik hubungan antara produksi biogas dengan % penambahan feed baru Volume biogas harian sampah awal (30 hari pertama), feed 50% (30 hari ke-2), dan feed 75% (30 hari ke-3) disajikan pada Gambar 12. Volume biogas tertinggi pada batch pertama diperoleh pada hari ke-2 dan hari ke-7 yaitu sebesar 1413 ml. Volume biogas tertinggi pada batch kedua diperoleh pada hari ke-19 sebesar 1074, dan batch ketiga diperoleh pada hari ke-12 sebesar 1221 ml biogas.
Gambar 12. Volume biogas harian dari masing-masing perlakuan
25
Alvarez dan Liden (2007) pada percobaan fermentasi dengan menggunakan sampah sayuran dan buah-buahan menunjukkan volume biogas tertinggi diperoleh pada hari ke-3 dengan volume sekitar 1900 ml. Produksi biogas terus menurun pada 10 hari pertama fermentasi seiring dengan menurunnya nilai pH dan kandungan metan. Selain itu, Sahidu (1983) pada percoban fermentasi biogasnya pada volume 62.8 liter dengan menggunakan tinja sapi (kelompok I) dan tinja sapi dengan penambahan jerami 5% dari beratnya (kelompok II) menunjukkan volume biogas tertinggi untuk kelompok I diperoleh pada hari ke-21 dengan volume 12 liter biogas, dan kelompok II diperoleh pada hari ke-21 dengan volume sekitar 16 liter biogas. Perbedaan produksi biogas harian ini dipengaruhi beberapa faktor kondisi fermentasi anaerobik, diantaranya adalah jumlah mikroorganisme pengurai di dalam digester, baik itu bakteri asidogen maupun bakteri metanogen, pH subtrat, ketersediaan nutrisi untuk perkembangan mikroba, dan kondisi lainnya yang berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup mikroba pengurai.
4.4.2 Penurunan Total Volatile Solid (TVS) Pendegradasian bahan organik bisa ditandai dengan perubahan kandungan Volatile Solid suatu bahan. Proses degradasi bahan organik diimbangi dengan pembentukkan biogas sebagai hasil proses fermantasi. Bahan organik pada suatu bahan yang merupakan senyawa kompleks diuraikan menjadi senyawa sederhana pada proses hidrolisis, dari senyawa sederhana ini dibentuk bahan yang merupakan bahan utama biogas yaitu asetat, CO2 dan H2. Seberapa banyak bahan organik yang bisa didegradasi akan berbanding lurus dengan jumlah biogas yang dihasilkan. Menurut Boullaghui et al. (2003) dalam Rahman (2007) menjelaskan bahwa pada proses produksi biogas secara anaerobik, terjadi penurunan kandungan TVS dengan efisiensi pendegradasian antara 58-75% pada akhir proses. Penurunan nilai TVS menunjukkan bahwa kandungan padatan organik telah dirombak menjadi senyawa volatile fatty acid, alkohol, CO2 dan H2 pada tahap asidogenesis, kemudian menjadi CH4 dan CO2 pada tahap metanogenesis. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa padatan organik bahan hanya sedikit yang terdegradasi yaitu 0.35% (8.75 g dari 2500 g bahan) pada batch pertama, 0.23% bahan organik pada batch kedua, dan 1.66% pada batch ketiga. Jika dihubungkan dengan volume biogas yang dihasilkan maka akan diperoleh laju pembentukkan biogas. Tabel 11 menyajikan laju pembentukkan biogas pada setiap batch perlakuan penambahan feed. Tabel 11. Laju pembentukkan biogas Perlakuan Awal Feed 50% Feed 75%
Produksi biogas (ml) 16707 10908 12378
Penurunan TVS (g) 8.75 5.75 41.50
Laju pembentukkan biogas (ml/g VS) 1909.37 1897.04 298.26
Jika dilihat TVS bahan sebelum difermentasi yaitu berkisar antara 91.9-93.8% (d.b) merupakan potensi yang cukup besar untuk dikonversi menjadi biogas. Tetapi dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa hanya sedikit bahan organik yang dikonversi menjadi biogas, hal ini berkaitan dengan keberadaan dan jumlah mikroorganisme dalam digester sebagai pelaku pengurai bahan organik menjadi biogas. Jumlah dan keberadaan mikroorganisme dipengaruhi oleh
26
lingkungan tempat mikroorganisme tersebut hidup. Selain itu, kemungkinan bahan yang difermentasi adalah bahan yang termasuk memiliki rantai kimia panjang sehingga proses degradasi membutuhkan waktu yang cukup panjang. Perlakuan mixing (pengadukkan) juga bisa menjadi aternatif untuk mengoptimumkan proses degradasi bahan, karena dengan adanya pengadukkan subtarat yang diuraikan menjadi lebih merata sehingga bakteri pengurai lebih mudah mendegradasi bahan. Jika proses degradasi bahan optimum, harapannya adalah produksi biogas hasil fermentasi anaerobik juga optimum hal ini ditandai dengan meningkatnya produksi biogas. Grafik megenai penurunan bahan organik (TVS) pada setiap batch disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Penurunan TVS pada masing-masing batch Gambar 13 menunjukkan penurunan kandungan padatan organik dari setiap bahan pada masing-masing batch. Hasil pengamatan menunjukkan adanya data yang fluktuatif atau naikturun pada persentase TVS yang diukur, hal ini sangat erat kaitannya dengan bahan yang dianalisis. Bahan yang dianalisis adalah bahan padat yang diambil dari dalam digester anaerob. Bahan tersebut mengandung banyak kadar air. Besarnya TVS dihitung dari hasil pengurangan berat total bahan dari kadar air dan kadar abu, sehingga perhitungan mengenai TVS sangat tergantung pada perhitungan kadar air dan kadar abu bahan.
4.4.3 Penurunan Chemical Oxygen demand (COD) Salah satu cara untuk mengetahui adanya penurunan bahan organik dalam suatu bahan adalah dengan menghitung COD bahan tersebut. Menurut Romli (2010), Chemical Oxygen demand (COD) adalah ukuran kandungan bahan organik (dalam limbah) yang dapat dioksidasi secara kimiawi, dengan menggunakan oksidator kimia kuat dalam medium asam. Harikishan (2008) menjelaskan bahwa produksi metan bisa diperkirakan dari COD berdasarkan percobaan menyebutkan bahwa 1 kg COD yang diuraikan bisa memproduksi 0.35 m3 CH4 (5.62 ft3/lb COD
27
terurai) pada kondisi ruang (Standart Temperature Pressure). Gambar 14 menunjukkan grafik penurunan kandungan COD bahan dari setiap batch selama fermentasi anaerobik berlangsung.
Gambar 14. Penurunan COD bahan selama fermentasi anaerobik Nilai COD bahan dan lindi sampah selama proses fermentasi mengalami penurunan walaupun beberapa hasil analisis menunjukkan kenaikkan, tetapi secara umum menunjukkan trend menurun. Adapun degradasi bahan organik menurut perhitungan kandungan COD bahan sampah adalah pada batch pertama sebesar 68%, batch kedua 75%, dan 75.7% untuk batch ketiga. Semakin banyak COD yang diuraikan maka semakin banyak biogas yang terbentuk. Menurut Widjaja et al. (2008) semakin besar reduksi COD, berarti bahan organik yang terdegradasi menjadi asam-asam organik (TVA) juga semakin besar. Asam-asam organik inilah yang kemudian terkonversi menjadi gas metan, sehingga jika reduksi COD semakin besar maka laju pembentukkan gas metan juga semakin besar. Gambar 15 menyajikan penurunan kandungan COD lindi selama fermentasi anaerobik berlangsung.
28
Gambar 15. Penurunan COD lindi selama fermentasi anaerobik Pada fase hidrolisis dan asidifikasi berlangsung, bahan yang didegradasi masih sedikit dan menyebabkan penurunan COD yang tidak terlalu signifikan. Proses lanjutan setelah asidifikasi adalah metanasasi, fase ini ditandai dengan penurunan COD secara signifikan dan proses selanjutnya menuju steady operation (Widjaja et al. 2008). Kandungan COD pada lindi sebenarnya lebih erat kaitannya dengan fungsi lindi sebagai pupuk cair organik, dimana kandungan COD lindi adalah gambaran berapa banyak kandungan bahan organik pada pupuk cair. Tetapi jika dilihat pada Gambar 15, kandungan COD lindi pada setiap batch semuanya mengalami penurunan seiring dengan pembentukkan biogas selama fermentasi berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa COD lindi pun memiliki pengaruh terhadap pembentukkan biogas, semakin banyak biogas yang terbentuk maka semakin banyak COD lindi yang tereduksi. Selain itu, kondisi operasi penelitian yang setiap 2 hari sekali mengharuskan meresirkulasi lindi yang terbentuk untuk mengembalikan mikroba pada lindi, hal ini yang mungkin menjadi salah satu penyebab kenapa kandungan COD pada lindi pun mengalami penurunan.
4.4.4 Produksi dan Karakteristik Pupuk Cair Organik (Leachate) Selain biogas sebagai produk utama pada proses fermentasi anaerobik, ada juga produk samping yang memiliki banyak manfaat untuk kehidupan manusia, yaitu pupuk cair. Menurut Wahyuni (2009) limbah biogas merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsurunsur yang dibutuhkan oleh tanaman. Dari hasil pengamatan, volume lindi sampah awal (batch ke-1) menghasilkan 337 ml lindi, 455 ml lindi pada fermentasi feed 50% (batch ke-2) dan 335 ml pada fermentasi feed 75% (batch ke-3). Grafik akumulasi lindi pada setiap batch disajikan pada Gambar 16.
29
Gambar 16. Volume akumulasi lindi sampah Menurut Hadisuwito (2007), lindi atau pupuk organik cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahan-bahan organik yang berasal dari tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur. Kelebihan dari pupuk organik cair ini adalah dapat secara cepat mengatasi defesiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara, dan mampu menyediakan hara secara cepat. Hadisuwito (2007) melanjutkan penjelasannya, sama seperti limbah padat organik, limbah cair banyak mengandung unsur hara (NPK) dan bahan organik lainnya. Penggunaan pupuk dari limbah ini dapat membantu memperbaiki struktur dan kualitas tanah. Pada Tabel 12 dijelaskan karakteristik lindi (pupuk cair organik) hasil samping dari proses fermentasi sampah. Tabel 12. Karakteristik lindi (pupuk cair organik) Bahan Carbon Nitrogen
Posphat
COD
lindi sampah awal
0.46 %
0.17 %
84.60 ppm
12500 mg/l
lindi sampah feed 50%
3.07 %
0.45 %
47.08 ppm
10000 mg/l
lindi sampah feed 75%
54 ppm
473 ppm
149 ppm
8333 mg/l
Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan lindi hasil fermentasi sampah masih memiliki unsur hara esensial yang berguna untuk proses pertumbuhan tanaman. Unsur N misalnya terdapat sekitar 473 ppm-0.45%. Jumlah yang cukup tinggi dan berguna untuk pertumbuhan tanaman. Menurut Hadisuwito (2007) tanaman yang kekurangan N akan terus mengecil, bahkan secara cepat berubah menjadi kuning karena N yang tersedia tidak cukup untuk membentuk protein dan klorofil. Selain nitrogen unsur lain yang dibutuhkan oleh tanaman adalah fosfat. Menurut Romli et al. (2010) fosfat termasuk unsur hara esensial bagi tanaman dengan fungsi sebagai pemindah energi yang tidak dapat diganti dengan hara lain. Ketidakcukupan pasokan P
30
menjadikan tanaman tidak tumbuh maksimal atau potensi hasilnya tidak maksimal atau tidak mampu menyempurnakan proses reproduksi yang normal. Peranan P dalam tanaman sebagai penyimpanan dan pemindahan energi yang berpengaruh terhadap berbagai proses lain dalam tanaman. Adanya P dibutuhkan untuk reaksi biokimiawi penting, seperti pemindahan ion, kerja osmotik, reaksi fotosintesis dan glikolisis.
4.4.5 Nilai pH Secara umum mikroorganisme tumbuh optimal pada kondisi pH netral, hanya beberapa mikroorganisme saja yang hidup pada kondisi ekstrim. Terdapat dua kelompok mikroorganisme penting dalam proses pembentukkan biogas, yaitu kelompok bakteri asidogen dan bakteri metanogen. Menurut Romli (2010) berdasarkan pH optimumnya, ada dua kelompok bakteri anaerobik, yaitu asidogen dan metanogen. Selang pH terbaik untuk asidogen berkisar 5.56.5 dan untuk metanogen 7.8-8.2. nilai selang pH yang baik untuk kombinasi kedua kultur adalah 6.8-7.4 dengan pH netral sebagai kondisi optimum. Hasil analisis bahan awal pH bahan menunjukkan pada pH asam yaitu sekitar 5.1 sama halnya dengan Alvarez dan Liden (2007) yang melakukan percobaan fermentasi anaerobik untuk menghasilkan biogas menggunakan bahan sampah sayuran dan buah-buahan, pada karakteristik bahan awal menunjukkan nilai pH 4.9. Kondisi ini yang mungkin membuat proses fermentasi anaerobik tidak optimal mengingat bahwa bakteri metanogen optimal hidup pada kondisi pH netral. Gambar 17 menyajikan nilai pH sampah padat dari setiap batch selama proses fermentasi berlangsung. Hasil pengamatan menunjukkan pH sampah padat awal (batch ke-1) berkisar antara 5.1-4.6, sementara itu untuk pH sampah padat feed 50% (batch ke-2) berkisar antara 4.2-7.9, nilai pH yang melebihi netral atau bahkan termasuk basa dihasilkan ketika alat pH meter tidak dikalibrasi terlebih dahulu sehingga data yang dihasilkan sedikit error. Kemudian pada pH sampah padat feed 75% (batch ke-3) nilai pH menunjukkan kondisi asam yaitu berkisar antara 2.5-4.2.
31
Gambar 17. pH sampah padat selama fermentasi Dari hasil pengamatan selama fermentasi, nilai pH baik itu nilai pH dari sampah padat maupun pH dari lindi yang terbentuk menunjukkan pada kondisi asam (pH dibawah 7). Menurut Speece (1996) di dalam Khanal (2008) melaporkan bahwa sekelompok bakteri metanogen dapat hidup stabil pada pH di bawah dari nilai optimum. Ketika pH di bawah 5, ditemukan bakteri metanogen yang hidup dan bertahan sekitar 25% dari jumlah pada kondisi pH netral. Alvarez dan Liden (2007) pada percobaanya menggunakan sampah sayur dan buahbuahan, kondisi steady state digester dicapai pada kondisi pH 4.4, dengan produksi biogas 0.3 liter/hari. Total VFA (Volatile Fatty Acid) pada hari ke-1 sampai hari ke-10 meningkat drastis dari 2.5-8.1 g/liter dan meningkat secara perlahan sampai hari ke-25. Kandungan VFA yang paling dominan adalah asam asetat sekitar 50-70% dari total FVA dan sisanya adalah asam propionat dan asam butirat.
32
Gambar 18. pH Lindi sampah selama fermentasi Nilai pH bahan padat tentu erat kaitannya dengan nilai pH lindi, karena lindi adalah cairan rembesan hasil degradasi bahan padat. Jika nilai pH bahan padatnya asam maka pH lindinya pun tidak jauh berbeda dengan nilai pH bahan padatnya. Gambar 18 menunjukkan nilai pH lindi dari setiap batch selama fermentasi berlangsung. Hasil pengamatan menunjukkan nilai pH dari setiap batch berkisar antara 3.9-5.4.
4.4.6 Digestat Menurut Romli (2010) digestat adalah lumpur yang terdiri dari padatan tak tercerna, masa sel, nutrien terlarut, bahan inert, dan air. Digestat dengan kualitas baik dapat digunakan untuk perbaikan struktur tanah dan yang kurang baik dapat digunakan untuk penutup landfill atau bioremediasi tanah. Digestat merupakan hasil samping dari proses fermentasi anaerobik biogas selain lindi (pupuk cair organik). Digestat yang dihasilkan pada suatu digester tergantung proses fermentasi anaerobik yang dilakukan sebelumnya. Jika kondisi fermentasi optimal mungkin digestat yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik, artinya digestat tersebut bisa digunakan untuk memperbaiki struktur hara tanah. Akan tetapi jika kualitas digestatnya kurang bagus maka perlu treatmen terlebih dahulu sehingga kualitas yang diinginkan bisa tercapai, salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan mendekomposisi kembali digestat tersebut. Karakteristik dari digestat hasil fermentasi sampah awal (batch ke-1), sampah feed 50% (batch ke-2), dan sampah feed 75% (batch ke-3) disajikan pada Tabel 13.
33
Tabel 13. Karakteristik digestat dari masing-masing batch Kadar Air Kadar TVS COD Bahan (%) Abu (%) (d.b) (mg/kg) Sampah awal 89.21 0.79 92.62 16000
C (%) 28.43
N (%) 0.72
P (%) 0.16
pH 4.7
Feed 50%
87.99
0.99
91.67
18000
49.08
1.23
0.36
4.3
Feed 75%
90.15
0.77
92.13
16000
38.22
1.67
0.27
4.1
Hasil analisis digestat menunjukkan bahwa kandungan organik bahan (TVS) relatif masih tinggi yaitu berkisar 91.67-92.62 % (d.b) dengan demikian bisa dipastikan bahwa digestat masih banyak mengandung selulosa, lignin, karbohidrat, protein, dan lemak yang belum terdegradasi dengan baik. Jika dilihat indikator lainnya seperti C/N baik pada digestat fermentasi batch ke-1, batch ke-2, maupun batch ke-3 masih memiliki nilai C/N yang tinggi. Nilia C/N masing-masing dari digestat fermentasi batch ke-1, batch ke-2, dan batch ke-3 berturut-turut 39.48, 39.90, dan 22.88. Jika dibandingkan dengan standar kualitas kompos menurut Standar Nasional Indonesia, kualitas digestat masih belum memenuhi syarat. Contohnya adalah nisbah C/N kompos yang mengharuskan masuk pada nilai 10-20, dan nilai pH antara 6.8-7.5. Untuk lebih memperjelas syarat mutu SNI tentang kompos pada Tabel 14 dijelaskan standar mutu kompos menurut SNI dan perbandingannya dengan kualitas digestat yang dihasilkan dari masing-masing batch. Digestat yang dihasilkan pada proses anaerobik ini baru bisa masuk dalam tahap sebagai penutup landfill atau bioremediasi tanah, belum pada tahap kompos yang bisa digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman dan untuk memperbaiki stuktur hara tanah. Penggunaan landfill pada digestat ini akan jauh lebih baik daripada penggunaan landfill pada sampah organik langsung. Hal ini karena sifat digestat yang sudah mengalami penguraian pada proses fermentasi, berbeda dengan sampah organik yang belum mengalami dekomposisi. Beban pencemaran juga akan lebih tinggi sampah jika dibanding digestat. Tabel 14. Perbandingan mutu kompos menurut SNI dengan digestat Standar mutu Digestat Parameter Satuan kompos Batch ke-1 Warna Kehitaman -
Digestat Batch ke-2 -
Digestat Batch ke-3 -
11.02 49.08 1.23 40 87.99 4.3 0.36
9.08 38.22 1.67 23 90.15 4.1 0.27
Bau
-
Berbau tanah
Bahan asing Bahan organik Karbon Total N Nisbah C/N Kadar air pH PO
% % % % % %
1.5 27-58 9.8-32 0.4 10-20 ≤50 6.8-7.5 0.1
10.00 28.43 0.72 39 89.21 4.7 0.16
KO
%
0.2
-
-
-
Meq MPN/g MPN/4 g
-1000 3
-
-
-
2
5
2
KTK Fecal Coli Salmonella sp.
34
Untuk mengubah digestat menjadi kompos, digestat harus mengalami dekomposisi lanjutan. Misalnya dengan pemberian aerasi pada digestat yang dihasilkan. Proses dekomposisi lanjutan ini tentunya tidak membutuhkan waktu yang sama dengan proses dekomposisi bahan sampah segar. Waktu dekomposisi untuk digestat akan lebih cepat jika dibandingkan dengan proses dekomposisi sampah pasar organik segar. Salah satu parameter yang bisa digunakan dalam proses dekomposisi digestat menjadi kompos ini adalah nisbah C/N. Jika setelah dekomposisi nilai nisbah C/N digestat ada pada range antara 10-20 maka bisa dikatakan digestat tersebut telah menjadi kompos yang siap digunakan untuk menyuburkan tanah, tentunya dengan tidak meninggalkan parameter-parameter lainnya yang disyaratkan untuk kompos.
4.4. RANCANGAN BIOREAKTOR Untuk aplikasi di lapangan, rancangan bioreaktor biogas yang digunakan tentu berbeda dengan bioreaktor skala laboratorium. Untuk skala penelitian mungkin cukup dengan kapasitas reaktor 10 liter, tetapi untuk skala aplikasi di lapangan kapasitas tersebut tidak cukup. Dalam rancangan bioreaktor skala lapang, kapasitas reaktor dibuat untuk 1 ton sampah atau jika di konversi ke dalam satuan volume menjadi sekitar 4000 liter. Gambar 19 menujukkan desain reaktor biogas untuk skala lapang.
Gambar 19. Desain reaktor biogas skala lapang
35
Keterangan : A : Tabung atau wadah penampung biogas B : Tabung Utama, tempat menyimpan bahan yang difermentasi C : Tabung penampung lindi D : Pengaduk Manual E : Lubang inlet F : Lubang outlet G : Pipa resirkulasi lindi Ada beberapa perbedaan desain reaktor skala laboratorium dengan rancangan reaktor skala lapang. Dari tabung penampung gasnya, reaktor skala laboratorium dibuat dengan 2 tabung yang berbeda untuk mempermudah perhitungan jumlah biogas yang terbentuk, sedangkan pada rancangan reaktor skala lapang penampung gas dibuat dalam satu tabung yang berfungsi sebagai tempat penampungan saja. Pada tabung utama yaitu tabung tempat menyimpan bahan yang difermentasi juga ada sedikit perbedaan dari desain reaktor biogas skala laboratorium. Pada rancangan reaktor skala lapang, terdapat 2 lubang utama yaitu lubang inlet dan lubang outlet. Lubang inlet berfungsi sebagai lubang pemasukkan bahan dan lubang outlet untuk pengeluaran digestat. Lubang inlet pada reaktor skala lapang berbeda dengan lubang inlet reaktor skala laboratorium. Pada reaktor skala lapang, inlet dibuat di samping atas reaktor, sementara lubang atas dipermanenkan. Posisi lubang outlet berada di samping bawah reaktor, lubang ini berguna untuk mengeluarkan digestat ketika proses fermentasi selesai. Lubang outlet dibuat di bawah untuk memudahkan proses penggantian bahan yang akan difermentasi sehingga tidak perlu mengeluarkan digestat dari lubang pemasukan seperti halnya pada desain reaktor skala laboratorium. Pada desain rancangan reaktor skala lapang, lubang sampling ditiadakan karena keperluan sampling bahan padat pun tidak ada, hanya ada penambahan alat pada reaktor skala lapang yaitu tuas pengaduk manual. Tuas pengaduk ini digunakan untuk menghomogenkan bahan saat fermentasi berlangsung, prinsip kerjanya dengan membulak-balikkan bahan. Modifikasi pada tabung penampung lindi adalah pemasangan pompa untuk meresirkulasi lindi yang terbentuk sehingga bisa menghindari kontak langsung dengan udara bebas. Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa sampah awal (batch-1) bisa menghasilkan jumlah biogas tertinggi. Perhitungan mengenai neraca massa dari setiap perlakuan atau batch yang diujikan disajikan pada Lampiran 12. Pada perkiraan neraca massa reaktor skala lapang akan mengacu pada neraca massa hasil penelitian dengan bahan sampah awal (batch-1). Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada fermentasi batch-1 dengan menggunakan 2.5 kg bahan bisa menghasilkan 16707 ml biogas, dan 377 ml lindi. Beberapa literatur menyebutkan bahwa densitas biogas adalah 1.227 kg/m3 (http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Density) dan densitas lindi sebesar 1000 kg/m3 atau 1 kg/liter (Beaven et al, 2007). Dari data ini bisa diperkirakan berapa jumah biogas dan lindi yang terbentuk jika umpan yang dimasukkan ke dalam reaktor adalah 1 ton. Perhitungan perkiraan jumlah biogas dan lindi yang terbentuk dari umpan bahan 1 ton. volume biogas umpan 1 ton = bobot umpan 1 ton volume biogas umpan 2.5 kg bobot umpan 2.5 kg volume biogas umpan 1 ton = bobot umpan 1 ton x volume biogas umpan 2.5 kg bobot umpan 2.5 kg volume biogas umpan 1 ton = 1000 kg x 16707 ml = 6682800 ml = 6682.8 liter 2.5 kg
36
volume lindi umpan 1 ton = bobot umpan 1 ton x volume lindi umpan 2.5 kg bobot umpan 2.5 kg volume lindi umpan 1 ton = 1000 kg x 377 ml = 150800 ml = 150.8 liter 2.5 kg Dari hasil perhitungan tersebut maka bisa ditentukan perkiraan neraca massa dengan umpan 1 ton. Gambar 20 menyajikan perkiraan neraca massa dengan umpan 1 ton. Biogas Vol : 6682.8 liter Densitas : 1.227 kg/m3 Bobot gas : 8.2 kg Umpan Sampah : 1000 kg
Digestat Bobot : 841 kg
Lindi Vol : 150.8 liter Densitas : 1 kg/liter Bobot lindi : 150.8 kg Gambar 20. Perkiraan neraca massa dengan umpan 1 ton Perhitungan Penentuan Neraca Massa umpan 1 ton Bobot biogas Bobot biogas
: volume akumulasi biogas x densitas biogas : 6682.8 liter x 1.227 kg/m3 x 1 m3/103liter = 8.2 kg
Bobot lindi Bobot lindi
: volume akumulasi lindi x densitas lindi : 150.8 liter x 1 kg/liter = 150.8 kg
Bobot digestat = bobot umpan – bobot biogas – bobot lindi Bobot digestat = 1000 kg – 8.2 kg – 150.8 kg = 841 kg
37