IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling baik. Pemilihan buah dilakukan dengan kriteria besarnya seragam, tidak cacat atau rusak dan warna kulit hitam mengkilat. Hasil pengujian selanjutnya digunakan sebagai data awal untuk melanjutkan penelitian utama. Hasil penelitian pendahuluan disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4. Hasil uji karakterisasi awal buah salak segar Padangsidimpuan No Uji Nilai Uji Satuan 1 Vitamin C 1,87 mg/100 g buah 2 Total Asam Tertitrasi 6,34 % o 3 Total Padatan Terlarut 15 Brix 4 Kadar Air 78,12 % Berat buah 1 kg Kondisi awal buah 100% utuh Tabel 5. Hasil uji awal organoleptik buah salak segar Padangsidimpuan No Uji Organoleptik Skala 1 Warna 4 2 Aroma 4 3 Rasa 3 4 Tekstur 3 5 Penerimaan Umum 3 4.2.
PENELITIAN UTAMA Penelitian utama dilakukan dengan menyimpan 1 kg buah salak segar Padangsidimpuan yang telah dilapisi lilin lebah (konsentrasi 6%) untuk setiap perlakuan. Pengemasan dilakukan menggunakan kemasan karton (A1), kemasan besek (A2), kemasan plastik PE dengan karton (A3) dan kemasan plastik PE dengan besek (A4). Penyimpanan dilakukan pada suhu 15 oC (B1) dan suhu kamar (B2). Penyimpanan pada suhu 15oC ini, dilakukan atas dasar penelitian Masniary (2008). Hasil pengamatan pada penelitian utama disajikan pada Lampiran 3 (susut bobot), Lampiran 4 (total kerusakan), Lampiran 5 (kadar air), Lampiran 6 (total asam tertitrasi), Lampiran 7 (total padatan terlarut), Lampiran 8 (vitamin C), Lampiran 9 (warna), Lampiran 10 (aroma), Lampiran 11 (rasa), Lampiran 12 (tekstur) dan Lampiran 13 (penerimaan umum). 4.2.1. Susut Bobot Susut bobot adalah pengurangan atau penurunan bobot (massa) bahan setelah menerima beberapa penanganan pasca panen. Pada penelitian ini, bobot bahan awal (buah salak) yang digunakan adalah sebesar 1 kg, dan bobot bahan yang dihasilkan setelah 30 hari masa penyimpanan menurun sebesar 5,31% (A1B1), 5,35% (A2B1), 5,39% (A3B1), 5,51% (A4B1), 8,42% (A1B2), 8,57% (A2B2), 8,27% (A3B2), 8,38% (A4B2) dan 8,41% (K). Dari hasil perhitungan, variasi data susut bobot buah salak yang dihasilkan adalah 5,31 - 8,57%. Setelah dilakukan analisis ragam susut bobot (Lampiran 14), hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata faktor kemasan dan interaksi antar faktor, tetapi terdapat pengaruh yang nyata (α = 0,05) pada faktor suhu penyimpanan
14
Susut Bobot (%)
14 12 10 8 6 4 2 0
Susut Bobot (%)
terhadap susut bobot buah. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa jenis kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3), maupun plastik PE dengan besek (A4) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan susut bobot, sedangkan pada faktor suhu penyimpanan, sedikitnya ada satu taraf yang berpengaruh terhadap perubahan susut bobot buah. Setelah dilakukan uji lanjut “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 14), dinyatakan bahwa suhu penyimpanan 15oC (B1) berbeda nyata terhadap suhu penyimpanan kamar (B2). Grafik penurunan susut bobot buah selama masa penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.
14 12 10 8 6 4 2 0
Suhu 15oC
0
3
6
9
12
15
18
21
24 27 30 Suhu Kamar
Lama Penyimpanan (Hari) Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K)
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lama Penyimpanan (Hari) Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K) Gambar 4. Penurunan susut bobot buah selama penyimpanan pada suhu 15oC dan suhu kamar Selama penyimpanan 30 hari bobot buah mengalami penurunan. Sesuai dengan pernyataan Wills et al. (1981), yaitu selama penyimpanan, bobot buah mengalami pengurangan bobot karena buah salak mengalami proses respirasi dan transpirasi, sehingga senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam sel seperti karbohidrat dipecah menjadi molekul-molekul sederhana seperti CO2 dan H2O yang mudah menguap. Penguapan inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan bobot pada buah salak. Penguapan ini dapat disiasati dengan menyimpan buah pada suhu 15oC. Seperti yang disajikan pada (Gambar 4) di atas, susut bobot pada suhu 15oC (B1) lebih rendah dibandingkan suhu kamar (B2). Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh selama 30 hari, buah salak baik yang dikemas dengan kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1), masih layak untuk dikonsumsi. Hal ini dikarenakan bobot (massa) yang diperoleh masih di bawah batas tingkat susut bobot tertinggi pada praktek perdagangan yaitu sebesar 12,00% (Rulianto, 1993).
15
4.2.2. Total Kerusakan Total kerusakan merupakan jumlah persentase buah yang rusak selama masa penyimpanan. Kerusakan buah dikategorikan atas karakteristik seperti buah lembek, busuk, basah, luka (memar), ditumbuhi mikroba dan daging buah berwarna coklat-kehitaman. Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1981), salah satu penyebab meningkatnya kerusakan pada buah yang disimpan dipengaruhi oleh proses metabolisme dan aktivitas-aktivitas biokimia yang masih berlangsung setelah pemanenan. Selain itu, penanganan yang kurang tepat juga turut berperan dalam menentukan jumlah kerusakan saat masa penyimpanan. Misalnya, proses pemindahan bahan dengan membanting kemasan akan memberikan luka (memar) pada buah, yang nantinya akan mempercepat proses pembusukan buah itu sendiri. Setelah dilakukan penyimpanan (maksimal) selama 30 hari dan pengamatan, variasi data pengamatan total kerusakan buah yang dihasilkan adalah 26 - 70%. Setelah dilakukan analisis ragam total kerusakan buah (Lampiran 15), hasil analisis ragam tersebut menyatakan bahwa faktor kemasan, faktor suhu dan interaksi antar faktor memberikan pengaruh yang sangat nyata (α = 0,05) terhadap peningkatan total kerusakan buah. Grafik peningkatan total kerusakan buah salak dapat dilihat pada Gambar 5.
Total Rusak (%)
100
Suhu 15oC
80 60 40 20 0
Total Rusak (%)
100
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27 30 Suhu Kamar
Axis Title
80 60
Karton (A1)
Besek (A2)
40
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
20
Kontrol (K)
0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lama Penyimpanan (Hari) Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K) Gambar 5. Peningkatan total kerusakan buah salak pada suhu 15oC dan suhu kamar Hasil uji pembanding berganda Duncan (α = 0,05) terhadap faktor kemasan (Lampiran 15), menunjukkan bahwa kemasan karton (A1) tidak memiliki beda nyata terhadap kemasan plastik PE dengan besek (A4). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh kemasan karton (A1) dan kemasan plastik PE dengan karton (A3). Kemasan besek (A2) memiliki beda yang sangat nyata terhadap kemasan
16
plastik PE dengan besek (A4), kemasan karton (A1), kemasan plastik PE dengan karton (A3) dan kontrol (K). Berdasarkan hal tersebut diduga karakteristik kemasan karton (A1), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) dalam menjaga kerusakan buah salak adalah sama. Hal ini dapat dilihat pada grafik peningkatan total kerusakan buah salak, bahwa kecenderungan ketiga kemasan dalam menjaga peningkatan kerusakan buah salak hampir sama. Hasil uji lanjut “t” (0,05) terhadap faktor suhu (Lampiran 15), menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 15oC (B1) berbeda nyata dengan penyimpanan pada suhu kamar (B2) terhadap total kerusakan buah. Berdasarkan hal tersebut perbedaan suhu penyimpanan buah salak, berpengaruh terhadap total kerusakannya. Hal ini membuktikan bahwa buah salak sangat bersifat transpiratif dan respiratif pada suhu lingkungan tinggi, yang mempersingkat umur simpan. Setelah dilakukan uji pembanding berganda Duncan terhadap faktor kemasan dan uji lanjut “t” terhadap faktor suhu penyimpanan, selanjutnya dilakukan uji pembanding berganda Duncan (α = 0,05) terhadap interaksi antar faktor. Hasil uji lanjut tersebut dapat dilihat pada Lampiran 15. Dari hasil tersebut diduga bahwa buah salak yang dikemas dengan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1) berbeda sangat nyata terhadap buah yang disimpan pada suhu kamar (B2), dengan tingkat kerusakan yang lebih kecil pada suhu 15oC. Jika dilihat dari jenis kemasannya, kemasan besek (A2) dan kemasan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1), tidak terdapat beda nyata sehingga diduga tidak ada perbedaan peningkatan total kerusakan buah yang terjadi. Tetapi antara kemasan besek (A2) pada suhu 15 oC (B1) terdapat beda nyata terhadap kemasan plastik PE dengan karton (A3) baik pada suhu 15oC (B1) maupun kamar (B2), karton (A1) baik pada suhu 15oC (B1) maupun kamar (B2), besek (A2) pada suhu kamar (B2), plastik PE dengan besek (A4) pada suhu kamar (B2) dan kontrol (K), sehingga diduga total kerusakan buah pada kemasan karton (A2) suhu15 oC (B1) berbeda nyata dengan total kerusakan buah pada perlakuan lainnya. Rendahnya total kerusakan buah yang dikemas pada kemasan besek (A2) dan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1), diperkirakan karena kemasan dan suhu tersebut mampu melindungi buah dari faktor-faktor penyebab kerusakan. Kemasan besek memiliki kontruksi yang kaku dan berongga. Kemasan yang kaku seperti ini memungkinkan bahan terlindung dari tekanan lingkungan luar yang bisa menimbulkan kerusakan. Rongga-rongga yang kecil ini berfungsi sebagai ventilator pada kemasan untuk menyalurkan udara panas akibat proses metabolisme. Kemasan plastik PE dengan besek (A4) mampu menghambat kerusakan. Peningkatan total kerusakan buah (Gambar 5), dimana kecenderungan kemasan besek (A2) dan plastik PE dengan besek (A4) pada suhu 15oC (B1) hampir sama. Hal ini dikarenakan permeabillitas kemasan plastik PE terhadap uap air sangat kecil. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh selama 30 hari, buah salak yang dikemas pada A2B1 dan A4B1 memiliki rata-rata total kerusakan sebesar 26% dan 28,5%, sudah tidak bisa diterima. Hal yang sama terjadi pada buah perlakuan yang lainnya. Karena dalam praktek perdagangan toleransi kerusakan hanya sebesar 20% (Rulianto, 1993). 4.2.3. Kadar Air Kadar air merupakan jumlah molekul air bebas dan terikat yang terdapat pada suatu bahan (Fardiaz dan Winarno, 1989). Berdasaran hasil analisis awal, diperoleh nilai rata-rata kadar air buah salak adalah 78,12%. Nilai kadar ini tidak berbeda jauh dengan standar mutu buah salak yang ditetapkan oleh Departemen Keseharan RI (1981) dalam 100 g buah yaitu 78%. Setelah dilakukan penyimpanan (maksimal) selama 30 hari dan pengamatan, variasi data kadar air buah salak yang dihasilkan adalah 79,13% - 79,79%. Setelah dilakukan analisis ragam kadar air buah salak (Lampiran 16), hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh
17
yang nyata dari faktor kemasan. Faktor suhu penyimpanan dan interaksi antar faktor terdapat pengaruh yang nyata (α = 0,05). Diduga bahwa jenis kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan kadar air, sedangkan pada faktor suhu penyimpanan dan interaksi antar faktor, setidaknya ada satu taraf yang berpengaruh terhadap perubahan kadar air. Setelah dilakukan uji lanjut “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 16), ditunjukkan bahwa suhu penyimpanan 15 oC (B1) berbeda nyata terhadap suhu penyimpanan kamar (B2).
Kadar Air (%)
82
Suhu 15oC
81 80 79 78 77
Kadar Air (%)
82
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27 30 Suhu Kamar
Pengamatan Ke- (Hari)
81 80
Karton (A1)
Besek (A2)
79
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
78
Kontrol (K)
77 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lama Penyimpanan (Hari) Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K)
Gambar 6. Perubahan kadar air buah salak pada suhu 15oC dan suhu kamar Selanjutnya dilakukan uji pembanding berganda Duncan (α = 0,05) terhadap interaksi antar faktor. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 16. Dari hasil tersebut diduga bahwa buah salak yang dikemas dengan besek (A2) pada suhu 15 oC (B1), berbeda nyata dengan kemasan besek (A2) pada suhu kamar (B2) dan kontrol (K), sedangkan perlakuan lainnya tidak berbeda nyata. Grafik perubahan kadar air buah salak selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 6 di atas. Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan kadar air yang besar pada suhu kamar (B2) diperkirakan karena suhu yang diberikan tidak mampu menghambat proses kerja enzim melakukan perombakan komponen-komponen dalam bahan. Dimana suhu kamar (B2) memiliki laju respirasi yang lebih besar daripada suhu 15oC (B1). Sehingga buah lebih cepat mengalami kerusakan dan busuk yang mengakibatkan kadar air meningkat pada suhu kamar (B2). Buah salak yang disimpan pada suhu 15oC (B1) memiliki kualitas daya tahan yang lebih baik daripada buah salak pada suhu kamar (B2).
18
Hal ini sejalan dengan yang dituliskan Fardiaz dan Winarno (1989), pada suhu dingin aktivitas respirasi menurun dan pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dapat dihambat. 4.2.4. Total Asam Tertitrasi Total asam merupakan jumlah asam yang terdapat dalam suatu bahan. Prinsip dasar pengukuran total asam tertitrasi adalah penetralan asam dalam dalam bahan oleh basa (NaOH 0,1 N) melalui cairan titrasi. Dari hasil analisis awal diperoleh nilai total asam buah salak adalah 6,34%. Nilai total asam tertitrasi tersebut merupakan semua jenis senyawa atau asam organik yang mengandung asam. Setelah dilakukan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari dan pengamatan, variasi data total asam buah salak adalah 6,31 - 6,39%. Setelah dilakukan analisis ragam total asam (Lampiran 17), hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata faktor kemasan, fakktor suhu penyimpanan dan interaksi antar faktor terhadap total asam. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan total asam tertitrasi. Hal yang sama terjadi pada faktor suhu penyimpanan, baik penyimpanan pada suhu 15 oC (B1) maupun penyimpanan pada suhu kamar (B2). Tidak ada perubahan nilai total asam tertitrasi yang signifikan. Menurut Kumalaningsih dan Hidayat (1995), peningkatan nilai total asam pada suatu bahan dikarenakan aktivitas bakteri pemecah gula yang menghasilkan asam, seperti bakteri Acetobacter, Clostridium, Propionibacteriun dan Bacillus. Jadi pada penyimpanan ini, buah salak belum dicemari oleh bakteri-bakteri tersebut, karena nilai total asam yang diperoleh masih cenderung sama. 4.2.5. Total Padatan Terlarut Total padatan terlarut merupakan gambaran jumlah senyawa-senyawa makromolekul yang terlarut menjadi gula pada suatu bahan. Prinsip pengukurun total padatan terlarut adalah adanya pembiasan dengan penyinaran yang menembus dua macam media dengan kerapatan yang berbeda. Dari hasil analisis awal diperoleh nilai total padatan terlarut buah salak adalah 15 oBrix. Nilai total padatan terlarut tersebut merupakan semua jumlah senyawa makromolekul seperti karbohidrat yang dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana atau gula (Winarno dan Wirakartakusumah, 1981). Setelah dilakukan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari dan pengamatan, variasi data total padatan terlarut buah salak adalah 17,25 – 20,41oBrix. Setelah dilakukan analisis ragam total padatan terlarut (Lampiran 18), hasil analisis menunjukkan bahwa faktor kemasan, faktor suhu dan interaksi antar faktor memberikan pengaruh yang sangat nyata (α = 0,05) terhadap perubahan total padatan terlarut. Grafik perubahan total padatan terlarut buah salak dapat dilihat pada Gambar 7.
19
Padatan Terlarut (oBrix)
23.0
Suhu 15oC
21.5 20.0 18.5 17.0 15.5 14.0
Padatan Terlarut (oBrix)
23.0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27 30 Suhu Kamar
Pengamatan Ke- (Hari)
21.5 20.0 18.5 17.0
Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
15.5 Kontrol (K) 14.0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lama Penyimpanan (Hari) Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K) Gambar 7. Perubahan total padatan terlarut buah salak pada suhu 15oC dan suhu kamar Hasil uji pembanding berganda Duncan (α = 0,05) terhadap faktor kemasan (Lampiran 18), menunjukkan bahwa kemasan besek (A2) memiliki beda nyata terhadap kemasan plastik PE dengan besek (A4), kemasan karton (A1), kemasan plastik PE dengan karton (A3) dan kontrol (K). Hal yang sama terjadi pada kemasan yang lain, ada beda nyata antara satu sama lain. Berdasarkan hal tersebut, ternyata karakteristik dari setiap kemasan dalam menjaga perubahan total padatan terlarut buah salak berbeda. Hal ini juga digambarkan pada grafik perubahan total padatan terlarut, kecenderunngan dari semua kemasan berbeda nyata. Hasil uji “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 18), menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 15oC (B1) berbeda nyata terhadap penyimpanan pada suhu ± 27 oC (B2). Dimana nilai rata-rata total padatan terlarut lebih besar pada suhu kamar (B2) yaitu 19,09oBrix. Berdasarkan hasil tersebut, ternyata semakin tinggi suhu penyimpanan buah salak, maka total padatan terlarutnya semakin meningkat. Hal ini membuktikan bahwa proses perombakan senyawa-senyawa makromolekul seperti karbohidrat menjadi gula pada suhu yang lebih tinggi semakin besar. Setelah dilakukan uji pembanding berganda Duncan (α = 0,05) terhadap interaksi antar faktor (Lampiran 18), hasil uji menunjukkan bahwa buah salak yang dikemas pada kemasan plastik PE dengan karton (A3) suhu 15oC (B1), tidak memiliki beda nyata terhadap kemasan plastik PE dengan besek (A4) suhu kamar (B2). Hasil uji ini menunjukkan bahwa antara kemasan (A3B1 dan A4B2) memiliki kemampuan yang sama dalam menjaga perubahan total padatan terlarut. Hal yang sama juga terjadi untuk A1B1 dan A1B2, sedangkan untuk perlakuan (A4B1, A2B1, A2B2 dan K) memiliki beda nyata dari setiap kemasan terhadap total padatan terlarut. Berdasarkan hasil uji tersebut, diduga
20
bahwa karakteristik kemasan dan suhu penyimpanan dalam menjaga perubahan total padatan terlarut buah salak adalah berbeda. Perubahan nilai total padatan terlarut yang tinggi, ditunjukkan pada buah salak yang dikemas menggunakan plastik PE dengan karton (A3) pada suhu 15oC (B1) yaitu sebesar 19,30oBrix. Sedangkan untuk suhu kamar (B2), ditunjukkan pada buah salak yang disimpan tanpa perlakuan (K). Dimana daya simpan hanya mencapai 6 hari dengan perubahan total padatan terlarut sebesar 20,41oBrix. Kenaikan total padatan terlarut yang tinggi pada buah salak yang dikemas menggunakan plastik PE dengan karton (A3) suhu 15oC (B1), diperkirakan karena kemasan tersebut kurang melindungi buah salak terhadap suhu yang berada di lingkungan maupun di luar lingkungan kemasan. Kemasan karton memiliki sifat yang kaku dan hampir tidak berongga, ditambah dengan plastik PE dengan sifat permeabilitasnya yang tinggi. Hal ini mengakibatkan lingkungan bahan dalam kemasan sedikit lebih panas dan susah untuk disesuaikan dengan lingkungan luarnya. Selain itu, proses penguapan juga akan terperangkap pada permukaan dalam plastik PE, yang mengakibatkan kondisi kemasan lembab. Akibatnya laju perombakan karbohidrat dalam bahan lebih cepat dan total padatan yang terbentuk lebih banyak. Sementara untuk kenaikan total padatan terlarut pada buah salak yang disimpan tanpa perlakuan (K), sudah pasti dikarenakan suhu penyimpanan yang tinggi dan tidak adanya penambahan lapisan lilin. Akibatnya proses perombakan karbohidrat menjadi gula molekul sederhana dalam buah berlangsung cepat. Hal ini mejadikan buah memiliki daya simpan rendah dengan total padatan terlarut yang tinggi. 4.2.6. Vitamin C Vitamin C merupakan salah satu jenis vitamin yang larut dalam air. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C termasuk golongan vitamin antioksidan yang mampu menangkal berbagai radikal bebas ekstraselular. Beberapa karakteristiknya antara lain sangat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam. Buah-buahan, seperti salak, jeruk dan apel merupakan sumber utama vitamin ini. Berdasarkan hasil analisis awal, nilai rata-rata kandungan vitamin C buah salak Padangsidimpuan yang dihasilkan adalah 1,87 mg/100 g buah. Nilai tersebut berada di bawah kandungan vitamin C buah salak yang dikeluarkan oleh Deparetemen Kesehatan RI (1981) yaitu 2 mg/100 g buah. Perbedaan nilai kandungan vitain C ini, diduga karena perbedaan varietas buah salak Padangssidimpuan dengan buah salak yang diuji oleh Departemen Kesehatan RI. Pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, menunjukkan variasi data kandungan vitamin C adalah 1,5 – 1,75 mg/100 g buah. Analisis ragam terhadap kandungan vitamin C (Lampiran 19), menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata faktor kemasan dan interaksi antar faktor terhadap kandungan vitamin C. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan kandungan vitamin C. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, bahwa diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan kandungan vitamin C, sedangkan untuk faktor suhu penyimpanan, hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap perubahan kandungan vitamin C. Grafik perubahan kandungan vitamin C buah salak dapat dilihat pada Gambar 8.
21
Vit. C (mg/100 gr)
2.0
Suhu 15oC
1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0
3
6
9
15
18
21
24
Pengamatan Ke- (Hari)
2.0 Vit. C (mg/100 gr)
12
27
30
Suhu Kamar
1.8
Karton (A1)
Besek (A2)
1.6
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
1.4
Kontrol (K)
1.2 1.0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Pengamatan Ke- (Hari) Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K) Gambar 8. Perubahan kandungan vitamin C buah salak pada suhu 15oC dan suhu kamar Hasil uji lanjut “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 19), menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 15oC (B1) memiliki beda nyata terhadap penyimpanan pada suhu kamar (B2). Dimana penyimpanan pada suhu 15oC (B1) lebih baik untuk mempertahankan kandungan vitamin C buah salak dibandingkan penyimpanan pada suhu kamar (B2). Hal ini juga dapat dilihat pada grafik perubahan kandungan vitamin C buah salak, dimana kecenderungan kandungan vitamin C pada suhu 15oC (B1) lebih tinggi (1,74 mg/100 g buah) daripada suhu kamar (B2) (1,52 mg/100 g buah). Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan buah salak, maka kandungan vitamin C nya semakin rendah. Hal ini dikarenakan penyimpanan pada suhu ruang atau suhu yang lebih tinggi, akan menyebabkan penimbunan panas oleh O2 dan keluarnya uap air yang lebih banyak pada bahan. Panas yang timbul ini selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya vitamin C pada buah. Sesuai dengan pernyataan Dwiari (2008), turunnya vitamin C dapat disebabkan oleh rusaknya vitamin C akibat proses oksidasi. 4.2.7. Warna Warna merupakan pantulan tertentu dari cahaya yang dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan bahan atau benda. Warna dapat berfungsi sebagai satu daya tarik terhadap suatu objek. Oleh karena itu, warna pada buah salak digunakan sebagai salah satu objek untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap buah salak setelah dilakukan penyimpanan. Penentuan tingkat kesukaan ini
22
dilakukan dengan uji organoleptik warna. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh skor terhadap warna buah 4 dari 20 panelis. Setelah dilakukan pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, variasi data warna buah salak yang dihasilkan adalah 3 – 4. Setelah dilakukan analisis ragam warna buah salak (Lampiran 20), hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa faktor kemasan dan interaksi antar faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan warna. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan tingkat kesukaan warna. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, bahwa diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan tingkat kesukaan warna, sedangkan untuk faktor suhu penyimpanan, hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap perubahan tingkat kesukaan warna. Grafik perubahan tingkat kesukaan terhadap warna buah salak dapat dilihat pada Gambar 9.
Skala Warna
5
Suhu 15oC
4 3 2 1
Skala Warna
5
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27 30 Suhu Kamar
Pengamatan Ke- (Hari)
4 3 2
Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K)
1 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lama Penyimpanan (Hari) Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K) Gambar 9. Perubahan tingkat kesukaan terhadap warna pada suhu 15oC dan suhu kamar Hasil uji lanjut “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 20), menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 15oC (B1) memiliki beda nyata terhadap penyimpanan pada suhu kamar (B2). Dimana penyimpanan pada suhu 15oC (B1) lebih baik untuk mempertahankan tingkat kesukaan terhadap warna buah salak dibandingkan penyimpanan pada suhu kamar (B2). Hal ini juga dapat dilihat pada grafik perubahan tingkat kesukaan terhadap warna buah salak, dimana
23
kecenderungan tingkat kesukaan terhadap warna pada suhu 15 oC (B1) lebih tinggi (4) daripada suhu kamar (B2) (3). Berdasarkan hasil tersebut, penyimpaan pada suhu 15oC (B1) lebih baik untuk mempertahankan tingkat kesukaan terhadap warna buah daripada penyimpanan pada suhu kamar (B2). Hal ini dikarenakan buah salak yag disimpan pada suhu kamar (B2) menerima suplai O2 yang lebih banyak daripada buah salak yang disimpan pada suhu 15 oC (B1), yang menyebabkan proses pencoklatan oksidatif lebih cepat. Alasan diatas diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa buah yag dikemas tanpa perlakuan (K) pada suhu kamar (B2), menunjukkan warna daging buah yang lebih kecoklatan dibandingkan daging buah salak dengan kemasan lain. Selain itu, aktivitas enzimatis juga menyebabkan proses pencoklatan pada daging buah salak. Aktivitas ini dikarenakan adanya tanin dalam buah. 4.2.8. Aroma Aroma merupakan bau khas yang dikeluarkan dari suatu bahan. Selain warna, aroma juga menjadi satu daya tarik terhadap suatu bahan seperti buah salak. Aromayang dihasilkan buah salak digunakan sebagai salah satu objek untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap buah salak setelah dilakukan penyimpanan. Penentuan tingkat kesukaan ini dilakukan dengan uji organoleptik. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh skor terhadap aroma buah 4 dari 20 panelis. Setelah dilakukan pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, variasi data aroma buah salak yang dihasilkan adalah 3. Setelah dilakukan analisis ragam aroma buah salak (Lampiran 21), hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa faktor kemasan, faktor suhu dan interaksi antar faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan aroma. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan tingkat kesukaan warna. Faktor suhu, penyimpanan pada suhu 15oC (B1) tidak memiliki beda nyata dengan penyimpanan pada suhu kamar (B2) terhadap tingkat kesukaan aroma. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, bahwa diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan tingkat kesukaan aroma. 4.2.9. Rasa Rasa merupakan ekspresi yang timbul akibat adanya rangsangan pada indra perasa setelah melakukan pencicipan pada suatu bahan oleh panelis. Rasa yang dihasilkan buah salak digunakan sebagai salah satu objek untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap buah salak setelah dilakukan penyimpanan. Penentuan tingkat kesukaan ini dilakukan dengan uji organoleptik. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh skor terhadap rasa buah salak 3 dari 20 panelis. Setelah dilakukan pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, variasi data rasa buah salak yang dihasilkan adalah 3. Setelah dilakukan analisis ragam rasa buah salak (Lampiran 22), hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa faktor kemasan, faktor suhu dan interaksi antar faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan rasa. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan tingkat kesukaan rasa. Faktor suhu, penyimpanan pada suhu 15oC (B1) tidak memiliki beda nyata dengan penyimpanan pada suhu kamar (B2) terhadap tingkat kesukaan rasa. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, bahwa diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan tingkat kesukaan rasa.
24
4.2.10. Tekstur Tekstur merupakan kualitas tertentu suatu permukaan yang timbul sebagai akibat dari struktur tiga dimensi suatu bahan. Tekstur dapat memberikan kesan pada persepsi manusia melalui penglihatan visual. Oleh karena itu, tekstur pada buah salak digunakan sebagai salah satu objek untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap buah salak setelah dilakukan penyimpanan. Penentuan tingkat kesukaan ini dilakukan dengan uji organoleptik tekstur. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh skor terhadap tekstur buah salak 3 dari 20 panelis. Setelah dilakukan pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, variasi data tekstur buah salak yang dihasilkan adalah 3 – 4. Hasil analisis ragam (Lampiran 23) menunjukkan bahwa faktor kemasan dan interaksi antar faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan tekstur. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap perubahan tingkat kesukaan tekstur. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, bahwa diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan tingkat kesukaan tekstur. Faktor suhu penyimpanan, hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap perubahan tingkat kesukaan tektur buah salak. Grafik perubahan tingkat kesukaan terhadap tekstur buah salak dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini. Hasil uji lanjut “t” (α = 0,05) terhadap faktor suhu penyimpanan (Lampiran 23), menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 15oC (B1) memiliki beda nyata terhadap penyimpanan pada suhu kamar (B2). Dimana penyimpanan pada suhu 15oC (B1) lebih baik untuk mempertahankan tingkat kesukaan terhadap tekstur buah salak dibandingkan penyimpanan pada suhu kamar (B2). Hal ini juga dapat dilihat pada grafik perubahan tingkat kesukaan terhadap tekstur buah salak, dimana kecenderungan tingkat kesukaan terhadap tekstur pada suhu 15oC (B1) lebih tinggi (4) daripada suhu kamar (B2) (3). Berdasarkan hasil tersebut diduga penyimpaan pada suhu 15oC (B1) lebih baik untuk mempertahankan tingkat kesukaan terhadap tekstur buah daripada penyimpanan pada suhu kamar (B2). Hal ini dikarenakan buah salak yag disimpan pada suhu kamar (B2) mengalami penimbunan panas yang lebih banyak daripada buah salak yang disimpan pada suhu 15 oC (B1). Akibatnya terjadi penurunan ketegangan dinding sel karena air berdifusi keluar sel. Sesuai pernyataan Salunkhe (1976), salah satu faktor yang menentukan tekstur buah-buahan adalah ketegangan sel. Ketegangan sel ini disebabkan adanya energi yang lebih tinggi pada cairan isi sel, sehingga air akan berdifusi ke dalam sel. Apabila energi diluar sel lebih tinggi daripada di dalam sel, maka tekstur buah akan layu atau rusak.
25
Skala Tekstur
5
Suhu 15oC
4 3 2 1 0
3
6
9
12
18
21
24
Pengamatan Ke- (Hari)
5 Skala Tekstur
15
4 3
27
30
Suhu Kamar
Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K)
2 1 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Lama Penyimpanan (Hari) Karton (A1)
Besek (A2)
Plastik PE dengan karton (A3)
Plastik PE dengan besek (A4)
Kontrol (K) Gambar 10. Perubahan tingkat kesukaan terhadap tekstur pada suhu 15oC dan suhu kamar Selain itu, faktor lain yang menyebabkan rusaknya tekstur buah salak pada suhu kamar (B2), diduga karena produksi etilen yang lebih banyak pada suhu penyimpanan tersebut. Tingginya hormon etilen yang dihasilkan pada buah yang disimpan, menyebabkan proses pematangan dan pelayuan buah lebih cepat. Dimana pada akhirnya tekstur buah akan lebih cepat mengalami pelunakan dan busuk. Alasan ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa buah salak yang dikemas tanpa perlakuan (K) pada suhu kamar (B2), menunjukkan tekstur daging buah yang lebih lunak dan cepat busuk dibandingkan daging buah salak dengan kemasan lain. 4.2.11. Penerimaan Umum Penerimaan umum merupakan gabungan tingkat kesukaan panelis berdasarkan warna, rasa, aroma dan tekstur terhadap buah salak. Penentuan tingkat kesukaan ini dilakukan dengan uji organoleptik. Berdasarkan hasil analisis awal, diperoleh skor terhadap penerimaan umum buah salak 3 dari 20 panelis. Setelah dilakukan pengamatan dan penyimpanan selama (maksimal) 30 hari, variasi data penerimaan umum buah salak yang dihasilkan adalah 3. Setelah dilakukan analisis ragam penerimaan umum buah salak (Lampiran 24), hasil analisis ragam tersebut menunjukkan bahwa faktor kemasan, faktor suhu dan interaksi antar faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan tingkat kesukaan secara umum. Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa tidak ada pengaruh jenis kemasan, baik kemasan karton (A1), besek (A2), plastik PE dengan karton (A3) dan plastik PE dengan besek (A4) terhadap
26
perubahan tingkat kesukaan secara umum. Faktor suhu, penyimpanan pada suhu 15oC (B1) tidak memiliki beda nyata dengan penyimpanan pada suhu kamar (B2) terhadap tingkat kesukaan secara umum. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antar faktor, diduga tidak ada pengaruh interaksi antar faktor (A1B1, A2B1, A3B1, A4B1, A1B2, A2B2, A3B2, A4B2 dan K) terhadap perubahan tingkat kesukaan secara umum. Tetapi jika diperhatikan tingkat kesukaan terhadap buah salak secara umum, hasil analisis awal mengalami penurunan terhadap rata-rata akhir setelah dilakukan penyimpanan. Hal ini dikarenakan adanya perubahan-perubahan terhadap warna, rasa, aroma dan tesktur buah salak karena proses metabolisme. Sesuai dengan pernyataan Winarno dan Wirakartakusumah (1981), selama jangka waktu antara pemanenan hingga dikonsumsi, buah salak masih terus melangsungkan aktivitas fisiologisnya seperti respirasi, transpirasi dan perubahan biokimia lainnya. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat mengakibatkan penurunan mutu buah, termasuk penurunan mutu terhadap warna, rasa, aroma dan tekstur buah. 4.3.
PEMBAHASAN UMUM Pembahasan umum merupakan pembahasan mengenai semua aspek-aspek yang dilakukan pada penelitian ini, untuk menyimpulkan hasil yang diperoleh. Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mendapatkan suhu dan kombinasi kemasan yang baik dalam penyimpanan buah salak Padangsidimpuan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, perlakuan terbaik dalam setiap faktor percobaan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Perlakuan terbaik terhadap buah salak Padangsidimpuan selama penelitian Faktor Kemasan Suhu Interaksi Antar Faktor o 1 Total Rusak Besek (A2) 15 C (B1) Besek 15oC (A2B1) o 2 Susut Bobot * 15 C (B1) * o o 3 Kadar Air * 15 C (B1) Besek 15 C (A2B1) 4 Total Asam Tertitrasi * * * o 5 Total Padatan Terlarut Besek (A2) 15 C (B1) Plastik PE + Besek 15oC (A4B1) o 6 Vitamin C * 15 C (B1) * 7 Warna * 15oC (B1) * 8 Aroma * * * 9 Rasa * * * o 10 Tekstur * 15 C (B1) * 11 Penerimaan Umum * * * Besek (A2) 15oC (B1) Besek 15oC (A2B1) Total Besek 15oC (A2B1) Perlakuan Terbaik * = Tidak ada beda nyata dari setiap faktor perlakuan terhadap uji yang dilakukan No
Uji
Berdasarkan Tabel 6 di atas, secara umum hasil yang diperoleh untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah penyimpanan buah dengan menggunakan kemasan besek (A2) pada suhu 15 oC (B1). Hal yang sama dituliskan Mudjisihono (1998) pada laporan penelitiannya, bahwa penyimpanan buah salak pondoh pada suhu 15oC mutlak diperlukan.
27