INTEGRASI ORANG CHINA DENGAN PENDUDUK LOKAL DI KOTA KENDARI THE INTEGRATION OF CHINESE PEOPLE WITH LOCAL PEOPLE AT KENDARI Joni Lisungan Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Handphone: 081342552763 Diterima: 11 Februari 2015; Direvisi: 13 Maret 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT This paper aims to reveal and describe about the integration chinese people with local people at Kendari. The method used in this paper is a descriptive qualitative method with used indepth interview and observation technic. In the paper showed that local people seen that chinese people at Kendari is closed and just hanging with them self. They have seen that chinese people is also stingy. In the another side, chinese people just thinking how to be success in bussiness because that is their heritage. Therefore, they have already studied when they were children to do bussiness. Meanwhile, the relationship bore a limited integration.The integration between chinese peolpe and local people happen in mix merriage, relation between employer and employees, and relation between seller and buyers. Keywords: integration, Chinese people, local people ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan dan menjelaskan tentang integrasi orang China dengan penduduk lokal di Kota Kendari. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan pengamatan. Dalam tulisan menunjukkan bahwa penduduk lokal memandang bahwa orang China di Kendari sangat tertutup dan hanya bergaul dengan sesamanya saja. Mereka juga memandang bahwa orang China itu pelit. Di sisi lain orang China hanya memikirkan cara agar bisa sukses dalam berdagang karena merupakan warisan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Oleh sebab itu mereka telah dididik dari kecil untuk berdagang. Kendati demikian, hubungan tersebut melahirkan integrasi yang sifatnya terbatas. Integrasi antara orang China dan penduduk lokal terjadi dalam perkawinan campuran, relasi antara majikan dan karyawan serta relasi antara penjual dan pembeli. Kata kunci: integrasi, orang China, penduduk lokal
PENDAHULUAN Orang China atau sering pula disebut dengan orang Tionghoa (Vassanty 1971:353) merupakan sekelompok masyarakat di Indonesia yang proses pembaurannya dengan kelompok masyarakat lainnya belum tuntas hingga hari ini. Orang China mengelompok dengan sesama kalangannya sendiri dan mereka cenderung tertutup dengan warga masyarakat lokal lainnya. Padahal jika dilihat dari segi waktu, mereka telah hidup berdampingan dengan penduduk lokal di mana mereka berada dalam waktu yang cukup lama. Kenyataan seperti ini terjadi pada hampir semua daerah di Indonesia di mana terdapat
orang China, termasuk di Kota Kendari. Orang China telah memiliki kebudayaan yang sangat kuat yang diturunkan oleh nenek moyang mereka, menjadikan hambatan terbesar bagi pembauran kaum minoritas yaitu lemahnya orientasi kaum minoritas kepada Indonesia. Orang China di Indonesia yang terdiri dari kaum Tionghoa totok dan peranakan memilih caranya sendiri di tengah masyarakat Indonesia, di antaranya mempertahankan budaya nenek moyang dan atau meninggalkan identitas budaya sepenuhnya agar diterima oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Akulturasi pun menjadi jalan dalam proses pertukaran budaya tersebut, 197
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 197—210 sehingga mengarah pada integrasi sosial. Di Kota Kendari, keberadaan orang China telah cukup lama. Diperkirakan orang China yang ada sekarang merupakan generasi ke empat hingga ke lima. Bahkan dari penelusuran sejarah, mereka telah datang di Kota Kendari sebagaimana juga halnya di daerah lain di Indonesia bersamaan dengan kedatangan pedagang-pedagang dari Arab dan India di masa sebelum Pemerintahan Kolonial. Walaupun orang China telah begitu lama tinggal dan hidup di Kota Kendari, namun dalam membangun relasi sosial mereka tidak begitu akrab bergaul dengan penduduk lokal. Dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya seperti orang Arab, orang China jauh lebih tertutup terhadap penduduk lokal. Sementara itu, orang Arab cukup kental pergaulannya dengan penduduk lokal, baik dalam konteks hubungan persahabatan, hubungan dagang, keagamaan, maupun melalui perkawinan. Orang Arab juga banyak yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah di mana penduduk lokal mengenyam pendidikan. Oleh karena itu, terkadang dalam membangun relasi sosial antara orang China dengan penduduk lokal seringkali mengalami hambatan karena relasi sosial sering mengandung perbedaan persepsi, makna, dan kepentingan di antara individu dan kelompok (Susan, 2012:4). Hambatan-hambatan dalam membangun relasi sosial seperti antara orang China – penduduk lokal seringkali menjadi pemicu munculnya NRQÀLN WHUXWDPD WLPEXOQ\D EHUEDJDL NRQÀLN horisontal di masyarakat yang berbasis pada NRQÀLN DQWDUHWQLN GDQ MXJD NRQÀLN DQWDUDJDPD VHSHUWL \DQJ WHUMDGL SDGD NRQÀLN 3RVR /L 2010:15; Sangaji, 2010:32) Orang China kebanyakan hanya bergaul dengan sesamanya orang China. Mereka hanya melakukan kontak dengan penduduk lokal dalam 3 (tiga) urusan, yaitu dagang, perkawinan, dan buruh. Dalam urusan dagang mereka hanya membutuhkan penduduk lokal sebagai pemasok berbagai barang komoditas. Selain itu mereka hanya bergaul dengan penduduk lokal dalam hubungan dagang atau bisnis, di mana orang China berperan sebagai pembeli (konsumen) barang dagangan yang dijual oleh penduduk 198
lokal. Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak ada integrasi sosial yang tercipta dalam relasi sosial orang China dengan penduduk lokal. Relasi perkawinan merupakan salah satunya. Selain itu, juga tampak dalam relasi majikan dan karyawan yang dalam beberapa kasus tampak berjalan dengan baik. Walau masih sangat kecil jumlahnya, namun beberapa lelaki orang China telah terjalin ikatan perkawinan dengan penduduk lokal. Hal ini khususnya terjadi pada kalangan orang-orang China tua atau orang China generasi pertama di Kota Kendari. Tetapi walaupun mereka telah kawin dengan SHQGXGXN ORNDO LGHQWL¿NDVL LGHQWLWDV PHUHND sebagai orang China masih sangat kental, namun dalam beberapa kasus lainnya identitas tersebut perlahan-lahan memudar. Dalam bentuk lainnya, ada pula relasi antara majikan dan karyawan atau pekerja. Di mana orang China menjadi majikan bagi penduduk lokal dalam urusan pekerjaan bangunan, pekerjaan pengangkutan, sopir, pelayan toko, dan pembantu rumah tangga. Dalam konteks ini, terjalin pula bentuk interaksi yang intens antara keduanya. Berdasarkan kenyataan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji mengenai integrasi sosial orang China dan penduduk lokal di Kota Kendari, meskipun ditemukan banyaknya kendala-kendala kultural yang menghambat proses pembauran tersebut. Oleh karena itu, dalam kajian ini ditekankan pada nilai budaya dan pandangan apakah yang digunakan oleh orang China terhadap penduduk lokal sehingga menghambat proses pembauran serta bagaimana pandangan penduduk lokal terhadap orang China di Kota Kendari. Berbicara mengenai integrasi sosial, maka tidaklah terlepas dari paradigma fungsional struktural. Paradigma fungsional-struktural sering pula disebut sebagai teori konsensus yang melihat bahwa aturan-aturan kebudayaan suatu masyarakat, atau struktur, menentukan perilaku anggotanya, menyalurkan tindakan-tindakan mereka dengan cara-cara tertentu yang mungkin berbeda dengan masyarakat yang lain. Individu akan berperilaku sama dalam latar sosial yang sama karena mereka dibatasi oleh aturan-aturan kebudayaan yang sama. Struktur-struktur sosial
Integrasi Orang China ... Joni Lisungan
LQL WLGDN QDPSDN GDODP KDO VWUXNWXU ¿VLNQ\D (seperti sebuah lingkungan sekolah dimana setiap siswa yang berada di dalamnya akan memiliki pola-pola perilaku yang relatif teratur), orangorang yang disosialisasikan ke dalam aturanaturan ini menemukan hal yang menentukan. Tetapi perlu diingat, teori konsensus juga menerima bahwa terdapat perbedaan kebudayaan di antara kelompok-kelompok atau sub-budaya dalam satu kesatuan besar kebudayaan, tetapi dalam semua masyarakat konsensus itu selalu ada. Ini dimungkinkan karena masyarakat memiliki nilai-nilai yang mantap mengenai suatu arti penting yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sosialisasilah yang memantapkan setiap orang untuk tunduk pada nilai-nilai (Jones, 2009:8-12). Paradigma fungsional struktural membahas perilaku manusia dalam konteks masyarakat dan bagaimana perilaku tersebut berada dalam atau dapat mempertahankan kondisi keseimbangan dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, paradigma fungsional struktural memberi perhatian utama pada struktur-struktur sosial dan lembaga-lembaga masyarakat, antarhubungannya, dan efek-efeknya yang memaksa kepada para aktor (Ritzer, 2012:402). Dalam konteks masyarakat, teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem dari strukturstruktur sosial. Struktur dalam hal ini adalah pola-pola nyata hubungan atau interaksi antara berbagai komponen masyarakat. Pola-pola yang secara relatif bertahan lama karena interaksiinteraksi tersebut terjadi dalam cara yang kurang lebih terorganisir (Saifuddin, 2005:156). Pembauran menurut Edy dan Calgary University adalah suatu proses membuang sebagian kebudayaan yang dianggap jelek dan menerima kebudayaan lain yang dianggap baik. Pengertian ini khususnya relevan digunakan dalam konteks pembauran antara orang China dengan orang Indonesia, dan dengan ini pula maka pembauran sesungguhnya lebih bersifat EXGD\D GDULSDGD ¿VLN (http://humline.edu/ HTML.2002). Di kalangan para ahli ilmu sosial di Indonesia, seperti Purwanto (2000:23-33), sering membahas masalah pembauran berkenaan dengan proses akulturasi dan asimilasi di mana
dua konsep dalam ilmu sosial yang digunakan untuk menggambarkan keadaan hubungan atau kontak antara dua kelompok atau lebih dengan etnis dan budaya yang berbeda. Menurut Koentjaraningrat (dalam Prabowo, 1996:56), akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu diperhadapkan dengan suatu kebudayaan asing sehingga unsurunsur tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan tersebut. $NXOWXUDVL VHSHUWL GLGH¿QLVLNDQ ROHK 6WRLQN (dalam Berry dkk, 1996:197), adalah proses di mana individu mengadopsi suatu kebudayaan baru termasuk juga mengasimilasikan dalam praktek kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai. Perkembangan penting dari studi tentang akulturasi yaitu pada tingkat individu dan pada tingkat kelompok. Dia merujuk pada akulturasi psikologis (psychological acculturation), mengindikasikan perubahan yang dialami pada tingkat individu dan perilaku serta identitas sebagai hal yang dihubungkan dalam perubahan sosial pada tingkat kelompok (dalam Berry etal, 1996; 199). Berkaitan dengan masalah pembauran orang China dengan penduduk lokal di Indonesia, berbagai penelitian yang pernah dilakukan, salah satunya adalah Suparlan (2002:23). Suparlan (2002:23) melihat masalah pembaruan orang China di Indonesia dengan menyoroti dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia sebagai masyarakat pribumi dan kesukubangsaan China sebagai masyarakat asing. Berbeda dengan jati diri lainnya yang bisa dibuang atau disimpan, kesukubangsaan tidak dapat dibuang atau diganti. Kesukubangsaan tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Meskipun jati diri suku bangsa dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan. Lebih lanjut Suparlan (2002:27-30) mengemukakan,bahwasetiapanggotamasyarakat dilahirkan, dididik dan dibesarkan dalam suatu askriptif primodial kesukubangsaannya. Dalam suasana tersebut, pembedaan antara siapa ‘saya’ dan siapa ‘dia/kamu’, dan antara siapa ‘kami’ 199
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 197—210 dan siapa ‘mereka’ jelas batasnya, selalu diulang dan dipertegas. Dalam ruang lingkup batas-batas kesukubangsaan ini, stereotip dan prasangka berkembang dan menjadi mantap dalam suatu kurun waktu hubungan antara suku bangsa yang tidak terbatas. Akibatnya banyak saling salah pengertian dalam komunikasi antar suku bangsa sehingga semakin lebar jarak dan mantapnya batas-batas hubungan antara dua suku bangsa atau lebih. Akibat lebih lanjut adalah terwujudnya tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan kewajiban oleh suku bangsa yang dominan terhadap mereka yang tergolong lemah non pribumi atau minoritas di dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Suryadinata (2002:1), proses pembauran orang China di Indonesia pernah dilakukan secara keras dalam bentuk asimilasi yang dipaksakan oleh pemerintah orde baru dengan cara mematikan tiga pilar kebudayaan orang China di Indonesia, yakni: 1) pers berbahasa Tionghoa; 2) sekolah-sekolah menengah Tionghoa, dan; 3) organisasiorganisasi Tionghoa. Liliweri (2005:75) mengatakan bahwa kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam masyarakat merupakan kelompok yang memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol. Konsep tentang mayoritas juga sering kali dihubungkan dengan dominant culture. Dengan menggunakan analisis Gollnick dan Chinn (dalam Liliweri, 2005:79), konsep ini dipahami sebagai sebuah aspek yang berhubungan dengan kehidupan kita terutama dalam interaksi antarmanusia. Kita hidup dalam negeri yang memiliki suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai seperangkat nilai dan standar kehidupan yang mempengaruhi semua unsur kehidupan kita. Nilai-nilai seperti persaingan, individualisme, dan kebebasan, mungkin bagi kelompok dominan tidak berarti apa-apa. Mungkin pula kelompok dengan budaya dominan lebih mengutamakan etika kerja sebagai kunci sebuah peran untuk mengartikan norma dari kelompok dominan. Sementara itu, konsep minoritas menurut Wirth (dalam Liliweri, 2005:80), diartikan sebagai kelompok yang karena memiliki 200
NDUDNWHULVWLN ¿VLN GDQ EXGD\D \DQJ VDPD kemudian ditunjukkan kepada orang lain di mana mereka hidup dan berada. Akibatnya kelompok tersebut diperlakukan secara tidak adil sehingga mereka merasa bahwa kelompoknya dijadikan objek sasaran diskriminasi. Keberadaan minoritas dalam suatu masyarakat mewujudkan pula hubungan mereka dengan eksistensi kelompok mayoritas yang lebih kaya, lebih sehat, lebih berpendidikan sehingga mempunyai privilese yang lebih besar. Perilaku dan karakteristik dari kelompok dan minoritas selalu diplesetkan oleh kelompok dominan atau kelompok mayoritas. Namun demikian, dalam konteks penelitian ini. Kondisi tersebut di atas tidak sepenuhnya benar karena orang China di Kota Kendari justru digambarkan sebagai kelompok yang lebih kaya, lebih sehat, lebih berpendidikan, lebih eksklusif, dan sebagainya dibandingkan penduduk lokal. METODE Dalam rangka pengumpulan data penelitian, metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu wawancara secara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (observation). Kedua cara ini digunakan secara simultan pada saat berlangsung hingga selesainya proses penelaan. Proses pengumpulan data melalui kedua cara ini akan terus dilakukan hingga mencapai data jenuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Endraswara (2003:71), yang mengatakan bahwa proses pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara terus menerus tanpa membatasi jumlah informan hingga mencapai data jenuh yaitu keadaan di mana tidak ditemukan informasi berarti. Sedangkan dalam memilih informan mengacu pada apa yang diungkapkan Qudsy dalam Denzin dan Lincoln (eds) (2011:xix), bahwa salah satu metode yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah pengambilan GDWD HWQRJUD¿V 0HWRGH LQL PHPIRNXVNDQ GLUL pada penggalian tekstur dan alur pengalamanpengalaman selektif dari informan melalui proses interaksi peneliti dengan subjek yang ditelitinya dengan teknik wawancara mendalam secara bebas.
Integrasi Orang China ... Joni Lisungan
PEMBAHASAN ,GHQWL¿NDVLGDQ6HMDUDK2UDQJChina Orang China yang ada di Indonesia dan begitu pula yang ada di Kota Kendari sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang asal dari satu daerah di negara China, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya. Ada empat bahasa China, di Indonesia yaitu Hokkien, Teo-Chin, Hakka, dan Kanton yang demikian besar perbedaannya sehingga pembicara dari bahasa yang satu tak dapat mengerti pembicara dari yang lain (Vassanty, 1971: 353). Para imigran yang tersebar ke Indonesia mulai abad ke 16 sampai kira-kira pertengahan abad ke 19 berasal dari suku bangsa, Hokkien. Mereka berasal dari Provinsi Fukien bagian Selatan. Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang China ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini yang ada di dalam kebudayaan suku bangsa Hokkien telah terendap berabadabad lamanya dan masih tampak jelas pada orang China di Indonesia. Di antara pedagangpedagang China, merekalah yang paling berhasil. Hal itu juga disebabkan karena sebagian besar dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin (Vassanty, 1971: 354). Di sebelah Barat dan Selatan daerah asal orang Hakka di Provinsi Kwantung, tinggallah orang Kanton (Kwong Fu). Serupa dengan orang Hakka, orang Kanton terkenal di Asia Tenggara sebagai kuli pertambangan. Mereka berimigrasi dalam abad ke- 19 ke Indonesia. Umumnya mereka datang dengan modal yang lebih besar dan mereka datang dengan keterampilan teknis dan pertukangan yang tinggi. Orang Kanton ini jauh lebih tersebar merata di seluruh kepulauan Indonesia, kalau dibandingkan dengan orang Hokkien, Teo-Chiu, dan Hakka (Vassanty, 1971: 355). Orang China telah bermukim. di Kota Kendari semenjak beberapa waktu yang lalu
yakni semenjak zaman Belanda. Diperkirakan kedatangan orang China di Kota Kendari terjadi lebih kurang 200 tahun yang lalu. Orang China yang kini bermukim di Kota Kendari merupakan orang China yang pernah bermukim di Makassar Sulawesi selatan dan Salabangka Sulawesi Tengah. Pada awalnya ketika pertama kali datang dari Makassar, mereka membangun pemukiman di Wawotobi Kabupaten Konawe. Kegiatan utama mereka adalah berdagang pakaian. Kemudian mereka menyebar ke berbagai daerah di Kabupaten Konawe, yakni di Lasolo dan Asera dan termasuk yang paling penting yaitu ke Kota Kendari. Sementara itu orang China yang datang dari Salabangka bermukim langsung di Kota Kendari tepatnya di Sodohoa dan Kandai dengan aktivitas utama sebagai berdagang. Hingga kini, perkembangan orang China begitu pesat baik dilihat dari segi persebaran pemukiman maupun perekonomian di Kota Kendari. Dari segi persebaran pemukiman, orang China tidak saja bermukim di Kelurahan Kandai dan Kelurahan Sodohoa sebagaimana pemukiman mereka pertama kali di Kota Kendari. Pemukiman mereka telah meluas hingga ke wilayah Kecamatan Mandonga dan Kecamatan Baruga di sepanjang kiri dan kanan jalan protokol. Sedangkan dari segi perekonomian, mereka telah cukup berkembang. Kini mereka tidak saja menggeluti perdagangan kain dan sembako sebagaimana awalnya ketika mereka menginjakkan kaki di Kota Kendari, tetapi telah pula merambah kedunia usaha lainnya. Di antara usaha yang digeluti orang China di Kendari selain dagang, adalah berbisnis ruko, kontraktor, perbengkelan, dealer kendaraan, dan perdagangan antarpulau. Usaha ini cukup berkembang dan bahkan telah menjadi miniatur perekonomian di daerah ini. Baik perluasan wilayah permukiman maupun usaha perekonomian orang China cukup berkembang khususnya pada dekade 1990-an hingga sekarang. Di Sulawesi Tenggara hingga kini belum ada data resmi mengenai populasi orang China, bahkan pun termasuk persentase antara orang China yang hidup di kota dan di desa-desa. Berdasarkan pengamatan peneliti dan hasil 201
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 197—210 wawancara dengan beberapa informan dalam penelitian ini ditemukan informasi bahwa orang China yang ada di Sulawesi Tenggara selain bermukim di daerah-daerah kota juga terdapat sebagian orang China yang bermukim di desa. Mereka yang bermukim di kota-kota umumnya adalah pedagang dan pekerja bengkel serta konstruksi. Sedangkan mereka yang hidup di desa, adalah orang China yang telah terintegrasi dengan penduduk lokal melalui hubungan perkawinan dan mereka bekerja sebagai pedagang perantara orang China yang ada di Kota dengan penduduk lokal di pedesaan. Di Kota Kendari, seperti halnya data mengenai orang China di Sulawesi Tenggara, tidak ada data resmi hingga kini. Namun menurut Bapak Nindya, Ketua Asosiasi Orang China, sebuah lembaga perhimpunan orang China yang khususnya memfokuskan diri pada kegiatan-kegiatan keagamaan, persaudaraan dan ekonomi, diperkirakan jumlah orang China yang ada di Kota Kendari sekitar 5000 jiwa dan hidup tersebar di daerah Kota Mandonga, dan WuaWua. Pusat pemukiman orang China paling padat dan merupakan pemukiman tua orang China di Kota Kendari adalah di daerah kota meliputi Kelurahan Kandai dan Kelurahan Sodohoa (dalam paparan data-data kependudukan oleh BPS Kota Kendari tidak ditemukan distribusi penduduk Kota Kendari berdasarkan suku bangsa, sehingga hal ini merupakan kesulitan tersendiri untuk mengetahui angka pasti orang China di Kendari, sementara itu sumber lainnya misalnya hasil penelitian hingga kini belum ada).
1. Perkawinan Orang China memilih pasangan hidupnya dari kalangan mereka sendiri (sesama orang China). Sangat sedikit orang China yang memilih menikah dengan penduduk lokal di Kota Kendari. Menikah dengan penduduk lokal dianggap bukan merupakan pilihan yang tepat. Salah satu alasannya adalah adanya pandangan orang China yang menganggap bahwa jika orang China baik laki-laki maupun perempuan menikah dengan penduduk lokal, maka kehidupan rumah tangga mereka akan berlangsung “biasa-biasa” saja. Kata tersebut merujuk pada keyakinan orang China secara turun temurun bahwa pasangan tersebut akan hidup dalam kemiskinan, atau pun jika memiliki usaha tertentu, tidak akan sebaik dan sesukses seperti orang China pada umumnya yang menikah di kalangan mereka sendiri. Sehingga orang tua dari kalangan China akan mengupayakan sedapat mungkin anakanak mereka dapat menikah dengan orang China pula. Alasan lainnya adalah kecenderungan orang tua dari orang China merasa dapat mengajarkan lebih cepat tentang bisnis kepada anak-anak mereka dari pasangan yang keduanya orang China, karena keduanya telah digembleng sebelumnya oleh orang tua mereka sehingga ketika keduanya telah menikah, tugas mereka tinggal mengarahkan mereka untuk memulai bisnis sesuai dengan minat mereka masingmasing, atau melanjutkan bisnis orang tua. Bisnis perdagangan merupakan jenis usaha yang paling banyak digeluti oleh orang China.
Pandangan Penduduk Lokal terhadap Orang China di Kota Kendari Orang China itu Eksklusif Penduduk lokal di Kota Kendari umumnya mengenal orang China itu eksklusif. Sikap tersebut relatif menutup diri dari pergaulan sosial terhadap orang lain atau kelompok lain. Mereka hanya bergaul secara intens dengan kelompok mereka sendiri. Interaksi dengan penduduk lokal di luar ruang bisnis nyaris jarang terjadi. Dalam kenyataannya di lapangan, sikap ini ditunjukkan secara beragam, antara lain :
2. Interaksi Sosial Sehari-hari Dalam relasi sosial sehari-hari atau pergaulan sehari-hari, orang China akan memilih bergaul dengan sesama orang China. Hal ini disebabkan karena aktivitas keseharian mereka memang lebih banyak dilakukan di dalam ruko atau rumah toko, sejak pagi hingga malam hari. Aktivitas di luar yang berkaitan dengan bisnis tetap dijalankan tetapi oleh karyawan. Mereka hanya mengawasi dari dalam toko atau rumah. Hal tersebut membuat mereka tidak begitu banyak mengenal lingkungan sosial diluar area bisnis mereka. Kebiasaan bercengkerama dengan
202
Integrasi Orang China ... Joni Lisungan
tetangga yang biasanya sering dilakukan oleh penduduk lokal, dalam pergaulan orang China relatif tidak terjadi. Aktivitas mereka lebih banyak dilakukan di dalam ruko yang biasanya selalu dua lantai. Aktivitas bisnis berlangsung di lantai bawah, sedangkan area untuk aktivitas keluarga dilakukan di lantai atas (lantai 2, 3 dan seterusnya). Sejak pagi hingga malam hari mereka melakukan aktivitas dalam area bisnis di lantai bawah, sedangkan ketika malam hari di mana mereka harus istirahat, aktivitas lebih banyak dilakukan di lantai atas (loteng). Nyaris tidak ada waktu bagi mereka untuk berinteraksi dengan tetangga atau pun masyarakat dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Interaksi dengan penduduk lokal umumnya hanya terjadi dalam ruang bisnis (dalam toko) atau pun ketika mereka beribadah di gereja. 3. Ekslusif dalam Pendidikan Sifat eksklusif lainnya adalah dalam hal pendidikan. Orang China cenderung menyekolahkan anak-anak mereka di sekolahsekolah tertentu seperti, SD Katolik Pelangi, SMP dan SMA Frater. Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi, orang China lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke Surabaya atau luar negeri. Hal ini dilakukan agar anakanak tersebut tetap berada dalam komunitas pergaulan mereka. Dengan demikian, orang China telah membentengi anak-anak mereka sejak dini dalam pergaulan di kalangan mereka sendiri. Ketika pulang sekolah sekalipun, anakanak China yang bersekolah selalu diantar dan dijemput oleh pengasuh, atau oleh keluarga mereka masing-masing. Dengan demikian, interaksi antara anak-anak orang China dan anak-anak penduduk lokal hanya terjadi di lingkungan sekolah saja. Hal tersebut tentu saja tidak cukup mengakrabkan satu sama lain, karena dalam kenyataannya, anak-anak China relatif lebih memilih pertemanan di kalangan mereka sendiri. Kondisi ini tentu saja relatif menghambat terjadinya interaksi sosial yang lebih dalam antara anak-anak China dan anakanak penduduk lokal.
4. Ekslusif dalam Agama Orang China di Kota Kendari ada yang menganut Agama Islam dan Kristen, sebagaimana yang mayoritas dianut oleh panduduk lokal. Namun demikian, mereka cenderung mengisolasi diri dalam merayakannya. Hal tersebut tampak dalam perayaan hari-hari besar Agama Kristen seperti Natal dan perayaan Tahun Baru. Pada perayaan Natal, mereka hanya berkunjung ke sanak keluarga dan kolega yang juga orang China. Pertemuan dengan penganut Agama Kristen yang merupakan penduduk lokal umumnya hanya terjadi dalam ibadah Natal bersama di Gereja. Orang China yang menganut agama Islam juga relatif tidak banyak berinteraksi dengan penganut agama Islam dari penduduk lokal. Mereka relatif mengisolasi diri dalam aktivitas mereka sendiri. Meski telah menganut Agama Kristen dan Islam, mereka juga masih mempertahankan warisan agama tradisional yakni Konghucu. Hal tersebut tampak ketika pagi hari atau menjelang membuka toko, mereka masih melaksanakan ritus agama tradisional mereka. 5. Tinggal di Ruko Sifat eksklusif orang China yang lainnya adalah bahwa mereka memilih tinggal di ruangruang yang relatif terpisah dari pemukiman penduduk lokal. Mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah toko (ruko) atau rumah loteng mereka. Biasanya rumah tersebut bergandengan dengan toko yang menjadi bisnis mereka. Aktivitas bisnis umumnya dilakukan di lantai dasar (lantai 1), sementara itu, aktivitas keseharian keluarga dilakukan di lantai 2 atau tiga yang oleh mereka lebih dikenal sebagai loteng. Kondisi tersebut menyebabkan mereka cenderung eksklusif, karena sepanjang hari jika tidak ada kesibukan di luar, maka mereka akan lebih memilih menghabiskan waktu di lantai 2 dan 3 tersebut. Tidak ada aktivitas berkunjung ke rumah tetangga yang merupakan penduduk lokal. Orang China biasanya bersifat efektif, berbicara seperlunya dan tidak terlalu banyak basa basi. Orang China lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengurus bisnis mereka, dan hal tersebut dilakukan selama
203
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 197—210 6 hari dalam seminggu. Tinggal di rumah toko memberikan manfaat tersendiri bagi mereka. Setiap saat mereka dapat mengontrol barang dagangan mereka di lantai satu rumah toko. Orang China Pelit atau Kikir Salah satu pandangan penduduk lokal terhadap orang China adalah bahwa mereka itu orangnya pelit atau kikir. Hal tersebut tampak dalam beberapa ungkapan-ungkapan perihal orang China: “.....pelitmu, kayak orang China saja”. Ungkapan tersebut ditujukan kepada seseorang (penduduk lokal) yang pelit atau kikir menyerupai orang China. Ungkapan penduduk lokal adalah “.....seperti saja China Hitam”. Ungkapan ini dikenakan kepada setiap penduduk lokal yang kaya tetapi sangat kikir sama saja dengan orang China, bahkan terkadang lebih China dalam perkara pelitnya. Sifat pelit, dianggap sebagai stereotip bagi orang China dalam pandangan penduduk lokal di Kota Kendari. Sifat kikir atau pelit tersebut biasanya berkaitan dengan sukarnya orang China untuk memberikan barang atau uang secara sukarela atau tanpa pamrih. Pemberian kepada orang lain selalu ada maksud dan pamrihnya. Pamrih yang dimaksud adalah jika mereka telah memberikan uang atau barang, maka yang bersangkutan harus memberikan sesuatu berupa jasa, barang atau hal yang nilainya kurang lebih sama. Sikap tersebut didasari keyakinan bahwa memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa pamrih sama dengan membuat diri menjadi rugi. H. Budi (55) salah seorang informan mengatakan bahwa: Orang China itu pelitnya bukan main, uang satu sen saja dihitung. Saya sudah lama berbisnis dengan orang China yakni menjual hasil bumi seperti kopra, cengkeh, jambu mente, dan kakao. Tapi kalau mau dibilang bonus itu tidak ada sama sekali nilainya. Padahal kalau mau dihitung sudah banyak sekali saya bawakan hasil bumi di sini, artinya keuntungan yang mereka peroleh sudah banyak. Tapi kadang saya hanya dikasi bonus kalender, susu satu kaleng. Kadang juga indomie satu dos. Jadi kalau dihitung-hitung setiap minggu
204
misalnya saya bawa kopra 10 ton saya dikasi bonus kalender harganya Rp. 2.500,, kalau susu harganya Rp. 9.000 dan kalau indomie harganya Rp. 17.000,- adalah nilai yang tidak seimbang. Berdasarkan kutipan wawancara di atas, orang China tidak memberikan nilai tambah terhadap seseorang yang telah lama menjalin bisnis dengan mereka. Dalam hal ini, orang China tetap berpegang teguh pada kesepakatan bisnis yang dibangun sejak awal, di mana barang atau hasil bumi yang dibawa oleh relasi mereka baik sesama orang China maupun penduduk lokal akan dihargai sebagaimana kesepakatan harga yang telah disepakati. Tidak ada penambahan nilai berupa uang yang disertakan dalam proses bisnis tersebut, bahkan untuk relasi yang telah berlangsung lama sekalipun. Orang China biasanya hanya memberikan bonus berupa barang berupa selembar kalender, sekaleng susu dan satu dos mie instant yang harganya relatif murah. Pernyataan di atas, semakin mempertegas pandangan penduduk lokal yang menganggap bahwa orang China memiliki sifat yang kikir atau pelit. Dalam kasus di atas, tampak bahwa jam kerja yang berlebih tidak diperhitungkan untuk diberikan upah yang sesuai dengan beban kerja yang mereka lakukan. Realita tersebut menunjukkan bahwa uang bagi orang China merupakan segalanya yang mengalahkan kerja keras dan pengabdian setiap orang terhadap usaha dagangnya. Sifat pelit orang China juga tampak dalam wujud lainnya yang lebih sederhana, seperti ketika berbelanja ke pasar atau membeli komoditi. Orang China sangat pandai menawar harga sayur di pasar, walaupun harganya sudah sangat rendah, apa lagi jika dibandingkan dengan kekayaannya. Kenyataan tersebut tampaknya kontras dengan keadaan ekonomi mereka yang relatif mampu dan berlimpah. Namun hal tersebut tidak menjadikan orang China bersikap murah hati. Mereka justru merasa tetap harus menghemat sebaik mungkin anggaran belanja untuk keperluan rumah tangga.
Integrasi Orang China ... Joni Lisungan
Nilai Budaya dan Pandangan Orang China Terhadap Penduduk Lokal Yang Menghambat Pembauran Orientasi Nilai Budaya Orang China yang hidup di Kota Kendari memiliki orientasi hidup yang jelas yakni menekankan masalah ekonomi sebagai masalah utama atau pokok dalam hidupnya. Oleh karena itulah segala perilaku dan tindakannya harus selalu mempertimbangkan faktor ekonomi, yakni apakah perilaku atau tindakan tersebut menguntungkan secara ekonomi atau tidak. Dalam konteks ini apabila perilaku atau tindakan tersebut diperkirakan dapat mendatangkan manfaat secara ekonomi maka hal tersebut akan dilakukan. Tetapi begitu pula sebaliknya apabila dipandang tidak bermanfaat, maka hal tersebut akan ditinggalkan. Orang China memandang usaha dagang sebagai cara paling efektif untuk memperoleh kekayaan, menjadi terkenal, dan dengan demikian menjadi termasyhur. Kenyataan ini memang sangat tampak dalam kehidupan sehari-hari apabila kita mengamati dengan seksama kehidupan orang China, khususnya yang ada di Kota Kendari. Orang China tidak gemar melakukan kegiatan lainnya selain hanya dagang di sekitar pasar-pasar dan terminal atau pusat-pusat perekonomian di Kota Kendari dan hidup bersama barang dagangannya. Menurut mereka dengan hidup seperti ini mereka akan lebih menjiwai dan menyatu dengan usaha dagangannya, dan hal ini merupakan kunci sukses menjadi seorang pedagang. Dagang serta segala keyakinan yang menyertainya merupakan tradisi nenek moyang orang China yang terus dipelihara dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Orang China akan merasa durhaka terhadap nenek moyangnya apabila meninggalkan tradisi leluhur mereka. Berkaitan dengan hal tersebut, orang China berkewajiban untuk mengajarkan atau mendidik anak-anak mereka semenjak kecil dalam keluarga untuk menjadi pedagang, sehingga tampak bahwa proses pewarisan tradisi nenek moyang tersebut berjalan secara kultural. Berkaitan dengan peranan penting
lembaga keluarga dalam mereproduksi tradisi dan jiwa dagang terhadap setiap pribadi orang China, maka tampak pula bahwa perekonomian orang China baik orang China pada umumnya maupun yang ada di Kota Kendari dibangun atau dibentuk atas dasar kekeluargaan. Dengan kata lain perekonomian orang China berdasarkan pada asas kekeluargaan. Hal ini nampak dari segi permodalan dan manajemen usaha dagang. Selain dari segi permodalan yang berbasis keluarga, begitu pula dari segi manajemen juga berbasis keluarga. Manajemen usaha orang China sebagaimana dikemukakan sebelumnya tampak dikelola secara kekeluargaan. Hal ini nampaknya bertentangan dengan prinsip manajemen usaha modern yang didasarkan pada profesionalisme. Tetapi walaupun demikian, dalam kenyataannya usaha dagang orang China, yang berbasis keluarga tersebut cukup sukses, khususnya di Kota Kendari. Apa yang dinyatakan dalam teori manajemen usaha modern bahwa sebuah perusahan apabila dikelola berdasarkan kekeluargaan hanya akan mampu bertahan paling lama 4 generasi tidak terbukti karena bisnis orang China telah berlangsung dari generasi ke generasi tanpa pernah mengalami kebangkrutan yang berarti. Etos Kerja/ Sikap Mental Dalam konteks ini, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara orang China dan penduduk lokal dalam hal etos kerja ini. Menurut penilaian orang China, mereka memiliki etos kerja yang tinggi sedangkan penduduk lokal memiliki etos kerja yang rendah dan inilah yang membuat orang China enggan berhubungan dengan penduduk lokal. Munculnya sikap atau mentalitas kerja yang tinggi di kalangan orang China merupakan sesuatu yang lahir karena besarnya harapan untuk menjadi pedagang sukses. Orang China yakin bahwa hanya dengan semangat dan kemauan yang tinggi sajalah maka usaha dagang yang dijalankan akan berhasil dengan baik. Di kalangan orang China anggapan seperti ini sudah sedemikian melekat dalam pandangan hidup orang China, etos kerja ini telah menjadikan orang China sebagai pedagang yang sukses
205
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 197—210 \DQJ VHWLDS KDULQ\D KDQ\D EHU¿NLU GDQ EHNHUMD untuk dagang. Sebagai akibatnya, orang China mengabaikan urusan-urusan lainnya yang dianggap kurang relevan dengan urusan dagang. Hal ini dengan sendirinya menghambat proses pembauran orang China dengan penduduk lokal. Gaya Hidup/Perikelakuan Gaya hidup dalam konteks pembahasan ini adalah berupa perilaku yang ditampilkan dan nampak dalam kehidupan sehari-hari baik yang terdapat di kalangan orang China maupun di kalangan masyarakat pribumi. Dari segi gaya hidup ini nampak, bahwa kedua kelompok masyarakat ini terdapat perbedaan cukup menonjol. Orang China menganggap dirinya berpenampilan sederhana, tidak boros, hemat dalam menggunakan uang, dan tidak suka hurahura kecuali dalam waktu-waktu tertentu ketika mereka membutuhkan hiburan, menyesuaikan pengeluaran dengan tingkat pendapatan atau menerapkan prinsip dagang setiap saat. Sementara itu penduduk lokal boros, besar pasak dari tiang, suka hura-hura, dan lebih mengutamakan prinsip sosial dalam kehidupannya sehari-hari daripada prinsip dagang yang mengajarkan sikap hemat dan hidup sederhana. Dapat disimpulkan bahwa hidup hemat merupakan salah satu identitas budaya orang China. Dalam konteks ini yang dimaksud hemat adalah mengeluarkan uang tidak melampaui pendapatan dan berpenampilan biasa-biasa saja, tidak menunjukkan kesan mewah kepada orang lain. Atau dengan kata lain mengeluarkan uang sesuai kebutuhan hidup yang terlihat standar saja. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja mereka memenuhi kebutuhan hidup lainnya seperti kebutuhan untuk rekreasi misalnya pergi bersama keluarga atau koleganya di restoran yang dianggap mewah. Dengan sikap dan perilaku yang demikian, orang China di Kota Kendari menganggap penduduk lokal sebagai seorang yang sangat boros. Dari segi keuangan walaupun belum punya pendapatan tetap atau tidak ada sama sekali tetapi pengeluaran mereka tetap besar. Dan dari segi penampilan, penduduk lokal jauh lebih mewah daripada orang China yang kaya. 206
Penduduk lokal berpakaian serba glamour, mewah, tetapi sesungguhnya hanya itu sajalah yang dimilikinya. Sikap dan perilaku demikian sangat dibenci kalangan orang China sehingga demikian orang China merasa enggan untuk mengikuti tradisi warga masyarakat pribumi dan lebih cenderung menutup diri. Bentuk Integrasi Orang China dan Penduduk Lokal di Kota Kendari Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda dalam satu wilayah, akan memungkinkan terjadinya proses integrasi. Dalam proses pembauran tersebut, memungkinkan kedua pihak akan saling menerima kebudayaan satu sama lain, tetapi tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan masing-masing. Di Kota Kendari, orang China telah lama hidup berdampingan dengan penduduk lokal. Proses tersebut berlangsung karena adanya interaksi antara kedua belah pihak yang berbeda kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan orang China di satu sisi, dan kebudayaan penduduk lokal di sisi lain. Dalam penelusuran penelitian ini, tidak banyak pola interaksi yang menyebabkan terjadinya integrasi di antara keduanya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian-bagian sebelumnya menunjukkan bahwa ada kendala-kendala kultural yang menyebabkan orang China dan penduduk lokal relatif sukar untuk membaur lebih dalam. Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak terjadi interaksi antara keduanya karena dalam beberapa hal interaksi tersebut tetap terjadi, baik dalam bentuk perkawinan campuran maupun relasi kerja antara sebagai majikan dan pekerja. 1. Perkawinan Campuran Perkawinan campuran antara orang China dan penduduk lokal relatif jarang terjadi di Kota Kendari. Namun demikian, hal tersebut terjadi pada segelintir orang China dan penduduk lokal yang akhirnya memutuskan melangsungkan ikatan perkawinan. Umumnya pernikahan campuran tersebut disepakati oleh kadua belah pihak pasangan, yang kemudian disetujui pula oleh orang tua mereka. Meskipun melalui berbagai rintangan yang datang dari kedua belah pihak. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan
Integrasi Orang China ... Joni Lisungan
oleh Rina (60 tahun) sebagai berikut: Dulu waktu mau menikah sama bapak tidak mudah nak, karena ada keluarga yang menentang. Waktu itu saya dan keluarga masih di semarang. Bapak waktu itu mash jadi pelaut sampai ke daerah semarang. Sampai akhirnya kami ketemu. Saya lihat bapak itu laki-laki yang bertanggung jawab, karena kelihatan dari caranya memperlakukan perempuan. Bapak kan orang Muna. Setelah kenalan berapa lama, Bapak ingin langsung ketemu sama kakeknya elda. Tapi kan waktu itu masih di penjara gara-gara togel. Cuma kakeknya elda tidak mau ketemu, katanya suruh tunggu sampai dia bisa keluar dari penjara. Karena waktu itu kan hanya 5 bulan di penjara. Setelah keluar, entah kenapa kakeknya elda, langsung setuju saya menikah sama bapak. Padahal biasanya saudara-saudara saya tidak di kasi begitu. Apa lagi ini kan orang Muna yang saya tidak begitu kenal latar belakang keluarganya. Saudara-saudara saya menikah dengan sesama orang China. Keluarga tidak setuju awalnya, karena mau mereka saya menikah dengan sesama orang China juga. Tapi karena Bapaknya juga gigih perjuangkan saya. Yaa akhirnya kakeknya elda setuju. Berdasarkan kutipan di atas, menunjukkan bahwa pernikahan campuran antara orang China dan penduduk lokal umumnya dilakukan bukan melalui proses perjodohan yang biasanya kerap terjadi di kalangan keluarga orang China, tetapi melalui proses perkenalan terlebih dahulu, saling menyukai, hingga akhirnya memtuskan untuk meminta persetujuan kepada pihak keluarga kedua belah pihak. Tetapi proses ini bukan tanpa hambatan, karena keluarga kedua belah pihak kerap menentang. Pilihan menikah dengan sesama orang China tetap merupakan pilihan yang terbaik untuk komunitas mereka. Namun pada akhirnya mereka tetap menyetujui pernikahan tersebut. Ada pandangan orang China yang berkembang turun-temurun, bahwa jika orang
China menikah dengan penduduk pribumi, maka kehidupan keluarga mereka akan biasabiasa saja. Kehidupan biasa-biasa saja yang GLPDNVXGEHUNDLWDQGHQJDQ¿QDQVLDOHNRQRPL semata. Di mana mereka dinilai tidak akan memperoleh harta kekayaan yang cukup apalagi melimpah seperti kebanyakan orang China yang berdomisili di Kota Kendari. Beberapa kasus keluarga menunjukkan kecenderungan seperti itu, di mana kehidupan keluarga baru tersebut tidak meningkat sebagaimana keluarga orang China pada umumnya. Mereka tetap saja hidup dalam keterbatasan ekonomi. Namun demikian, dalam beberapa kasus ada penjelasan yang lebih rasional mengenai hal tersebut. keterbatasan ekonomi yang dialami oleh keluarga hasil pernikahan campuran, umumnya disebabkan karena anak yang sebelumnya hidup bersama keluarga besar tidak mendapatkan didikan tentang cara berbisnis orang tua mereka ataupun pola berbisnis orang China pada umumnya. Namun demikian, pandangan tersebut di atas tidak sepenuhnya berlaku pada semua perkawinan campuran di Kota Kendari. Dalam beberapa kasus, ada pula orang China yang menikah dengan penduduk lokal, tetapi mampu mengelola usaha yang cukup berhasil di Kota Kendari. Salah satu rumah makan yang telah dikenal luas di Kota Kendari, pemiliknya pasangan suami istri yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Sang istri adalah orang China, sedangkan prianya penduduk lokal. Mereka saat ini telah mampu mengelola sebuah rumah makan yang cukup tenar di Kota Kendari. Mereka memiliki dua orang anak yang tampaknya siap mengikuti jejak orang tuanya. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemiliknya, terungkap bahwa pada dasarnya pasangan menikah ini telah memiliki pengetahuan tentang bisnis rumah makan yang mereka peroleh dari orang tua mereka, khususnya dari orang tua sang istri. Dengan modal yang telah mereka miliki, mereka memutuskan untuk memilih jenis usaha rumah makan. Keunikan dari rumah makan ini adalah menggabungkan antara selera nusantara dengan beberapa menu masakan khas China.
207
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 197—210 2. Relasi Antara Majikan dan Karyawan Orang China yang berdomisili di Kota Kendari mayoritas menggeluti kegiatan ekonomi perdagangan/bisnis. Mereka meram-bah di hampir semua sektor perdagangan tersebut., sehingga ketika kita berjalan di sepanjang jalan di Kota Kendari, maka akan tampak rukoruko (rumah toko) milik orang China. Mereka umumnya mempekerjakan penduduk pribumi di toko-toko mereka. Dalam proses tersebut terjalin interaksi sosial yang lebih intens. Berdasarkan pengamatan, para majikan orang China relatif memperlakukan karyawan mereka dengan baik. Setiap kegiatan karyawan diawasi dengan ketat oleh majikan mereka sehingga meminimalisir kesalahan yang mungkin dilakukan oleh karyawan. Sifat yang penurut dan mau melakukan perintah dari majikan merupakan sikap yang harus dipertahankan oleh seorang karyawan karena majikan sangat tidak menyukai karyawan yan terlalu sering membantah. Dalam beberapa kesempatan pengamatan, tampak bahwa relasi yang terbangun antara majikan dan karyawan tersebut di dalam ruang bisnis berlangsung dengan baik, di mana majikan berada dalam posisi yang dominan mengawasi setiap kerja karjawannya. Majikan telah memberikan tugas masing-masing bagi karyawan tersebut. Karyawan yang lebih lama bekerja menempati posisi yang lebih kompleks dibandingkan karyawan masih baru. Sehingga di sini kelihatan majikan memperlakukan karyawan mereka berdasarkan kemampuannya masing-masing. Relasi yang terbangun di antara majikan dan karyawan sebenarnya hanya berlangsung searah, di mana majikan mengarahkan karyawannya sesuai dengan keahlian dan keterampilannya masing-masing. Proses tersebut dimulai tahap demi tahap. Namun demikian, karyawan relatif tidak berkomunikasi dengan majikan di luar dari tugas dan pekerjaan yang diberikan. Sehingga relasi antara majikan dan karyawan umumnya hanya berlangsung di area bisnis atau kerja tersebut. Tidak banyak obrolan pribadi yang dibahas dalam area bisnis tersebut. Meskipun demikian, relasi antara majikan dan karyawan tetap berjalan lancar tanpa hambatan. Hambatan terhadap proses interaksi sosial di antara mereka 208
hanya mungkin terjadi jika karyawan melakukan kesalahan beberapa kali. Menyikapi hal ini, majikan akan memberikan peringatan yang agak keras, agar tidak menimbulkan kerugian terhadap usaha mereka dan juga merugikan konsumen. Relasi tersebut yang berlangsung setiap hari sepanjang bulan dan tahun membuat terbangunnya bentuk interaksi sosial yang terpola, sehingga karyawan yang umumnya warga lokal dapat menerima nilai-nilai budaya yang telah dibawa turun temurun, khususnya berkaitan dengan pola kebiasaan majikan mereka, pola relasi bisnis yang di bangun oleh majikan, sehingga mereka sedapat mungkin tidak keluar dari pola-pola tersebut. Dalam hal ini, warga lokal yang harus menyesuaikan kebiasaan majikan mereka, dan pelan-pelan akan terinternalisasi sebagai pola hidup mereka sendiri. 3. Relasi Penjual dan Pembeli Orang China berusaha membangun relasi bisnis dengan siapapun termasuk mempertahankan agar pelanggan tetap setia untuk belanja di tempat mereka. Dalam beberapa kasus pengamatan dan wawancara dengan penduduk lokal, ditemukan realita bahwa orang China memiliki kemampuan agar pelanggan mereka tetap betah dan mau berbelanja di toko mereka. Sikap yang sopan, serta pelayanan yang prima menjadi salah satu nilai tambah yang selalu dipertahankan oleh pemilik usaha di Kota Kendari. Selain itu, para pelayan atau karyawan di toko-toko orang China telah dibekali pengetahuan yang baik mengenai cara melayani pelanggan yang baik. Orang China juga mengetahui cara merawat pelanggan yang setia. Meski tidak dengan memberikan bonus atau tambahan berubah barang, namun mereka memberikan pelayanan yang khusus kepada pelanggan tersebut. Di beberapa toko justru malah diberikan potongan harga yang menarik, meskipun besarannya kecil. Namun akan terasa penting dan tampak jika pelanggan berbelanja barang dalam jumlah yang besar. Orang China mengetahui maintenance (merawat) pelanggan sehingga mereka tetap setia, yakni dengan mempelajari kebiasaan-
Integrasi Orang China ... Joni Lisungan
kebiasaan masing-masing pelanggannya, memberikan pelayanan yang prima kepada semua pelanggan ataupun dengan memberikan potongan harga kepada pelanggan yang setia serta pelayanan khusus kepada kategori pelanggan yang demikian. Salah satu bentuk layanan yang prima dan mempermudah adalah layanan pesanan barang via telepon. Semua pesanan di catat dan akan diambil baik oleh pembeli langsung maupun melalui orang suruhan mereka. 'HQJDQGHPLNLDQDGDÀHNVLELOLWDVGDODPSURVHV jual beli atau jenis transaksi lainnya. Dalam relasi ini, perilaku dominan akan ditampakkan oleh pemilik usaha dan karyawannya di mana mereka akan memberikan pelayanan yang prima dan bentuk layanan lainnya yang memberikan kemudahan kepada pembeli. Kondisi ini membentuk jaringan relasi yang bersifat longgar antara orang China sebagai pemilik usaha dan warga lokal sebagai pembeli atau konsumen. PENUTUP Di Kota Kendari sendiri pandangan penduduk lokal terhadap orang China masih terlihat negatif. Hal ini terbukti bahwa hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pandangan penduduk lokal terhadap orang China adalah bahwa orang China itu eksklusif dalam artian tidak suka berbaur dengan penduduk lokal. Pandangan negatif lainnya dari penduduk lokal terhadap orang China bahwa orang China itu pelit atau kikir. Hal sebaliknya juga terjadi dalam pandangan orang China terhadap penduduk lokal yang juga terlihat negatif. Orang China melihat penduduk lokal memiliki etos kerja yang rendah dalam artian tidak suka bekerja keras dan hanya mau menerima gaji tanpa mau membuka peluang usaha sendiri, sedangkan menurut mereka bahwa orang China memiliki etos kerja yang tinggi karena suka bekerja keras. Pandangan lain orang China terhadap penduduk lokal di Kota Kendari bahwa penduduk lokal sangat boros dan mementingkan penampilan lahiriah saja. Hal ini bertentangan dengan cara hidup orang China yang menurut mereka bahwa mereka harus hidup hemat dan sederhana.
Terlepas dari stereotip atau pandangan negatif antara penduduk lokal dan orang China, ada juga potensi pembauran di antara keduanya. Hal ini terutama terlihat dalam perkawinan, walaupun jumlahnya relatif sangat kecil di mana terjadinya perkawinan campuran, kemudian dalam hal relasi antara majikan dan karyawan karena hampir semua orang China memerlukan tenaga kerja dalam kegiatan bisnisnya, dan kemudian dalam hal relasi antara penjual dan pembeli di mana orang China sering menerapkan strategi “hubungan baik” untuk menarik pembeli dan mempertahankan pelanggannya. Timbulnya pandangan stereotip seperti tersebut di atas adalah hal yang wajar di antara keduanya. Hal ini sebenarnya lebih disebabkan oleh perbedaan budaya terutama perbedaan orientasi hidup dan perbedaan mata pencaharian. Dalam orientasi hidup, penduduk lokal kebanyakan lebih mementingkan kebersamaan dalam masalah-masalah sosial, seperti budaya kebersamaan dalam hal tolong menolong dalam berbagai aktivitas. Sementara orang China lebih berorientasi pada kepentingan-kepentingan ekonomi terutama dagang yang ujungnya adalah mencari keuntungan. Dalam mata pencaharian hidup, penduduk lokal lebih memilih mata pencaharian yang “safety” seperti menjadi PNS yang kepastian pendapatan perbulannya jelas dibandingkan menjadi pedagang yang resikonya adalah untung atau rugi. DAFTAR PUSTAKA Berry, J.W. Etal. 1996. Handbook of Crosscultural Psychology: Social Behaviour and Aplication Volume 3. Cambridge University Press. New York. Denzin, K. Norman. dan Yvonna S. Lincoln. 2011. Handbook of Qualitative Research (edisi ketiga). Penerjemah: Daryanto. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Edy. 2002. Apakah Pembauran itu Bagi Orang China? Dalam (http://hamline,e(iu/HTML. 2002). Diakses pada tanggal 9 Februari 2015. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Jogyakarta: Gajahmada University Press. 209
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 197—210 Jones, P. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial, Dari Teori Fungsionalisme Hingga PostModernisme. Alih Bahasa: Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Li, T. M. 2010. “Adat in Central Sulawesi : Contemporary Deployments” dalam The Revival of Tradition in Indonesian Politics : The Deployment of Adat from Colonialism to Indiginism. Jamie S. Davidson, David Henley (Eds). New York. Routledge Liliweri, A. 2005. 3UDVDQJND GDQ .RQÀN Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. LKIS Pelangi Aksara. Yogyakarta. Prabowo, H. 1996. Pengantar Antropologi. Seri Diktat Kuliah. Gunadarma. Jakarta. Purwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan. Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Ritzer, G. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan terakhir Postmodern. Alih Bahasa : Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adinugraha. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Saifuddin, F. Achmad. 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta. Prenada Media
210
Sangaji, A. 2010. “The Masyarakat Adat Movement in Indonesia : A Critical Insider’s View”. dalam The Revival of Tradition in Indonesian Politics : The Deployment of Adat from Colonialism to Indiginism. Jamie S. Davidson, David Henley (Eds). New York. Routledge. Suparlan, Parsudi. 2002 Kesukubangsaan dan Posisi Orang China dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Tahun XXVII No.71 Mei-Agustus 2003. UI. Jakarta. Suryadinata, Leo. 2002. Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionhoa: dari Asimilasi ke Multikulturalisme ?. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Tahun XXVII No. 71 Mei – Agustus 2003. UI. Jakarta. Susan, N. 2012. Negara Gagal Mengelola .RQÀLN 'HPRNUDVL GDQ 7DWD .HOROD .RQÀLN GL ,QGRQHVLD Yogyakarta. Kerjasama KoPi dan Pustaka Pelajar. Vassanty, Puspa. 1971. Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia. Dalam Koentjaraningrat (ED) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.