Un
iver sity
INFO MURIA e tur Cul
Media Komunikasi Antar Sivitas Akademika UMK
www.umk.ac.id
S
Cerdas dan Santun
ISSN: 2088-2920
Memahami Hulu Korupsi
kandal korupsi mantan Ketua MK, Akil Mochtar kian membuat jeblok potret korupsi di Indonesia. Publik dibuat terhenyak, karena perilaku korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara negara sudah sempurna. Mulai dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, aparatnya sudah terlibat korupsi. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Menurut pendapat dosen pengampuPendidikan Anti Korupsi ini, tindakan pencegtahan tidak kalah penting, terutama mulai dari diri sendiri, keluarga, institusi pendidikan dan pemerintah.
M. Widjanarko, S. Psi, M. Si, Dosen Fakultas Psikologi UMK menuturkan bahwa, korupsi terjadi karena adanya “sesat pikir”, merasionalisasikan tindakannya dengan alasan pembenaran. Untuk menganainya, menurut Widjanarko, dalam perspektif psikologi sosial, diperlukan model punishment yang kuat kepada koruptor agar tidak ditiru orang lain. Efek punishment ini akan membuat orang berpikir dua kali untuk meniru. Namun, menurut Henny Susilowati, S.H., M.H, Dosen Fakultas Hukum, mengatakan bahwa fenomena korupsi dapat ditilik dari dua sisi, yaitu sisi pelaku dan korban. Dari sisi pelaku, merasa perilaku koruptif bukan perbuatan salah. Hal ini karena sejak anak-anak, sudah terbiasa melihat dan melakukan perilaku koruptif dari soal kecil sampai besar dengan aman. Sementara dari sisi korban, tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban perilaku koruptif. Masyarakat berpikir kasus korupsi adalah urusan negara karena yang dirugikan adalah negara. Hal ini berdampak pada respon masyarakat yang tidak peduli dengan peristiwa korupsi.
Istimewa
efek jera.
Dalam mengatasi korupsi, menurut Henny, sementara hanya dapat dilakukan dengan mengeleminasi atau mengurangi perilaku korupsi yang terjadi. Menurut Henny, hukuman yang berat pantas diberikan agar menimbulkan
Sementara itu, pandangan berbeda diberikan oleh Fajar Kartika S. Sos., M.Hum, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMK. Menurut Fajar, korupsi disebabkan karena selama ini dunia pendidikan hanya berfokus pada sisi kognitif saja. “Padahal dalam dunia pendidikan, ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Akibatnya, ketika berhadapan dengan suatu kewajiban yang berkaitan dengan integritas, mereka gagal, kata Fajar. Fajar sependapat dengan Henny bahwa korupsi sendiri tidak bisa dihilangkan, hanya bisa diminimalisir. Fajar lebih menekankan tindakan pencegahan. Seperti mengajarkan anak untuk berbuat jujur sejak dini. Seperti praktik kantin kejujuran di sekolah. “Cara tersebut dinilai cukup efektif untuk mengajarkan kejujuran pada anak,” tambah Fajar
“Lihat saja, perilaku koruptif di sekitar kita seperti saat mengurus sesuatu yang sebenarnya gratis. Ini termasuk korupsi. Tapi masyarakat tidak sadar,” jelas Henny.
Cara lain menurut Fajar, orang tua harus menjadi model pembelajaran kejujuran anak. “Sering orang tua justru marah ketika anaknya jujur. Misalnya ketika anak mengaku memecahkan gelas tetapi malah dimarahi. Sehingga anak berpikir lebih baik berbohong agar tidak dimarahi,” jelas Fajar.
Henny menilai kasus korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan dan menyebabkan Indonesia menjadi sorotan dunia karena lembaga yang berperan untuk menegakkan hukum justru menjadi pelaku.
Fajar sendiri berharap agar penegakan hukum terus menerus berjalan. Dengan demikian para pelaku korupsi mampu menahan keinginan atau tindakan korupsi. (Anggi/ Nabila – Info Muria)
Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
Fokus
Tajuk
Berharap Prahara Korupsi Berhenti
H
Korupsi dan Pemilu Berkualitas
S
arian kompas edisi Senin (24/12/2011) memberitakan bahwa mulai dari ‘Aceh sampai Papua tersandera korupsi’. Berdasarkan data tersebut hanya lima (5) dari 33 provinsi yang ada di Indonesia bebas dari kasus korupsi. Pada edisi 25 Oktober 2013, harian yang sama memberitakan sejak era reformasi (1998-2013) hingga Oktober, rata-rata diproduksi berita korupasi 3.223 buah. Ini berarti setiap bulan berita tentang korupsi menghiasi media massa sebanyak 267 berita korupsi.
urvei Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) yang dilakukan menjelang pemilu 2014 bertajuk “Survei Persepsi Masyarakat terhadap Integritas Pemilu (SPM Integritas Pemilu) tahun 2013” memperlihatkan gambaran persepsi, tingkat pemahaman, sikap dan kecenderungan perilaku masyarakat terhadap integritas para peserta pemilu, termasuk agenda pemberantasan korupsi.
Menurut data Kementrian Dalam Negeri terdapat 309 kepala daerah korupsi sejak diterapkan pemilihan langsung mulai 2005. Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) juga telah menjerat puluhan anggota atau mantan anggota DPR RI, DPRD, maupun pimpinan partai politik yang terlibat korupsi. Aparat penegak hukum juga telah menjerat teman sejawatnya, mulai dari polisi, jaksa, hakim, hingga ketua Mahkamah Konsitusi.
Dengan survei ini KPK berharap masyarakat berperan menciptakan pemilu yang berintegritas dan bisa membantu kinerja KPK dalam upaya mewujudkan sistem politik yang berintegritas sebagai salah satu poin penting strategi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Lengkap sudah, korupsi telah menjangkiti penyelenggara negara mulai dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Satu-satunya lembaga negara yang masih “imun” dari wabah korupsi adalah KPK. Kejahatan korupsi sampai sekarang masih menjadi momok besar bangsa ini. Indonesia memang memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah, namun juga kaya dengan koruptor. Jangan-jangan tingkat kesejahteraan rakyat yang melambat karena dampak dari banyaknya koruptor menggerogoti kekayaan negara? Secara etimologis korupsi berasal dari bahasa latin, corruptio atau corruptus yang mempunyai arti merusak, tidak jujur, dapat disuap (J. S Badudu Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam bahasa Indonesia, 2003, 199). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994: 527) korupsi mempunyai arti buruk, busuk, dapat disogok (melalui kekuasannya untuk kepentingan pribadi). Sementara menurut pakar patologi sosial Kartini Kartolo mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi dan merugikan kepentingan umum dan Negara (Potologi Sosial, 1981: 80). Korupsi yang buruk, busuk, tidak bermoral, bejat dan tentu merusak, tapi anehnya untuk Indonesia banyak penggemarnya. Celakanya perilaku tersebut digemari oleh sebagian besar para penyelenggara negara. Dan sudah pasti penyelenggaraan negara tidak memiliki sikap pengabdian maksimal dalam memberikan pelayanan kepada warganya. Lalu, mengapa koruptor itu masih saja tega berbuat di tengah seabrek masalah bangsa yang perlu ditangani? Jika ini prahara bangsa, kita berharap segera berakhir dan koruptor suka rela mengembalikan harta jarahannya. ***
Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
Menurut KPK adanya korupsi di Legislatif dan Eksekutif menunjukkan bahwa pemilu belum efektif dalam menghasilkan politisi-politisi yang berintegritas. Pada tahun 2013 ada 16 Provinsi, 80 Kabupaten/ kota yang melaksanakan Pemilukada. Agar lebih fokus pada hasil yang diharapkan dan keterbatasan waktu yang dimiliki, pengambilan sampel ditujukan kepada daerah yang akan dan telah melaksanakan pemilukada provinsi pada tahun 2013 di Indonesia dan mewakili Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. Survei ini menyimpulkan bahwa pengetahuan dan kesadaran pemilu yang berintegritas adalah variabel yang paling perlu menjadi perhatian bagi KPK karena masyarakat masih memiliki pemahaman yang rendah terhadap definisi integritas, politik uang, dan referensi dalam memilih calo pemimpin dan partai politik. Selain itu, untuk variabel memilih pemimpin yang berintegritas, hasilnya ternyata cukup positif. Secara umum masyarakat sepakat menginginkan figur calon pemimpin yang berintegritas. Hal ini terlihat ketika responden dihadapkan pada beberapa contoh perilaku negatif kandidat, maka jawaban responden cenderung tidak mendukung kandidat yang bersangkutan. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dasar dalam menyusun strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam wilayah sistem politik, khususnya mewujudkan pemilu berintegritas. (Harun, sumber KPK, 2013)
Fokus
A
Korupsi di Mata Mahasiswa
ndai saja korupsi tidak ada,maka tidak akan ada orang miskin di Nusantara. Awal kata ini mewakili gambaran bangsa Indonesia saat ini. Pedas rasanya mata kita setiap hari membaca berita-berita kasus suap dan korupsi di media massa. Sungguh ironis, korupsi merajalela dimana-mana dan gampang ditemui dalam segala aspek. Lantas, Bagaimana mahasiswa menyikapinya? Said Abdul Muthalib, Menteri Humas Badan Eksekutif Mahasiswa UMK, memandang korupsi mengakibatkan kekacauan dimanamana. Menurut Said, jika korupsi dibiarkan menyebabkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Menurut penilaian Said, krisis moralitas dan spiritualitas menjadi faktor-faktor yang mengakibatkan Said Abdul Muthalib. (Dok. timbulnya sifat serakah manusia Info Muria) dan ingin hidup enak dengan bergelimang harta. “Hal ini mengakibatkan mereka tidak mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Yang dipikirkan hanya yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok tertentu dan menampikkan kepentingan bersama,” tambah Said. Mahasiswa asal Kalimantan tersebut mengaskan, kunci utama pemberantasan korupsi adalah kejujuran pada diri sendiri. “Jangankan korupsi, untuk berbohong sekecil apapun sulit jika terbiasa hidup jujur,” tegas Said. Hampir senada dengan Said, Fanny Cahyaningtyas, mengungkapkan pandangannya tentang korupsi. Menurut Fanny hukum di Indonesia harus dipertegas lagi. Hukuman para koruptor harus sepadan dengan dampak yang diakibatkan oleh perilaku korupsi. Anam, sapaan Malik Kairul Anam mahasiswa asal kabupaten pesisir selatan Jawa Tengah; Purworejo, turut memberikan opininya tentang korupsi. Menurut Anam, semua hal yang Fanny Cahyaningtyas (Dok. Info Muria)
berbau korupsi tidak baik, tetapi korupsi yang benar-benar berat adalah korupsi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. “Hajat hidup orang banyak dikorbankan para koruptor yang hanya menguntungkan diri sendiri atau satu kelompok tertentu, jelas Anam. Menurut Anam, semua berpangkal dari pendidikan, karena pendidikan sudah kehilangan ruh. “Pendidikan yang dulunya mengajarkan moral kepada anak didik, tetapi realita hari ini hanya berbau teknis. Mulai awal, seharusnya muatan moral harus menjadi fokus utama. Selain itu ada peran orang tua, sehingga guru dan orang Malik kairul Anam (Dok. Info Muria) tua dapat memastikan produk pendidikan memiliki komptensi moral yang bagusl, tambah Anam. Menyinggung soal pemberantasan korupsi, menurut Anam, pemberantasan korupsi dimulai dari kerjasama antara keluarga-masyarakat dan pemerintah. Peran KPK hanya sebagai penggerak atau motivator rakyat Indonesia untuk berperan dalam memberantas korupsi. Menurut penilaian Anam, korupsi seperti membudaya, masyarakat malah menantikan adanya “transaksi” yang sering disebut dengan money politic di setiap pemilihan umum. “Saya mengutip kata-kata Bung Karno, penjajahan yang terjadi di muka bumi ini bukan soal kolonialisme, imperialisme, kapitalisme melainkan soal perut”. Orang akan berusaha agar perutnya selalu kenyang sehingga nafsunya akan meningkat dan muncullah keinginannya terhadap berbagai hal, inilah yang memicu korupsi merajalela, tambah Anam. Mahasiswa yang dulunya gondrong ini berpesan, agar mahasiswa menjadi motor penggerak perubahan. “Saatnya ilmu-ilmu yang kita miliki digunakan untuk mensejahterakan masyarakat. Marilah kita mendukung penegakan hukum di Indonesia, tegas Anam mengakhiri perbincangan dengan Info Muria. (Atik-Mila/Info Muria).
Susunan Redaksi Info Muria Penanggung Jawab: Rektor UMK, Pengarah: Wakil Rektor I, Wakil Rektor II, Wakil Rektor III, Wakil Rektor IV Pimpinan Redaksi: Zamhuri, Redaktur Pelaksana: M Widjanarko, Sekretaris Redaksi: Noor Athiyah, Staf Redaksi: Much Harun, Milla, Anggi, Faisal, Nabila, Atik, Anik, Sofi, Desi. Diterbitkan oleh Humas Universitas Muria Kudus. Alamat: Gondangmanis PO. Box 53 Bae Kudus 59352 (0291) 438229. Redaksi menerima artikel, foto dan tulisan lainnya dilampiri kartu identitas melalui email:
[email protected]. atau
[email protected]. Epaper Info Muria bisa diunduh di www.infomuria.umk.ac.id
Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
Pakar Pemberantasan Korupsi Dari Aspek Sosilogi Hukum
M
Oleh : Ristamadji*
embicarakan masalah korupsi di Indonesia tidak ada habisnya, ibarat dipangkas satu tumbuh seribu. Betapa tidak, berita korupsi baru hampir selalu ada, sedangkan perkara korupsi yang masih dalam proses penanganganan masih banyak belum terselesaikan. Bahkan, modus korupsi semakin lama semakin canggih sehingga para penegak hukum harus meningkatkan kualitas kemampuannya dalam menjerat koruptor ke meja hijau. Sampai 31 Oktober 2013 dari 578 perkara, yang sampai pada tahap ekseskusi 240 atau 41% saja. Ini menunjukkan bahwa modus korupsi semakin canggih sehingga mencari dua alat bukti susahnya bukan main. Belum lagi perkara korupsi yang ditangani Polri dan yang terjadi di daerah-daerah. Pendek kata bahwa perkara korupsi sudah menggurita dari tingkat pusat sampai ke daerah. Mantan Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta menilai tindak pidana korupsi harus masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan. Dalam konferensi PBB korupsi itu masuk dalam kategori extra ordinary crime. PBB juga telah menerbitkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) berdasarkan Resolusi 58/4 tanggal 31 Oktober 2003, dan Indonesia telah meratifikasinya dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003. Indonesia mempunyai seperangkat hukum (baca undangundang dan peraturan pelaksanaannya) yang cukup handal. Tetapi mengapa korupsi cenderung terus bertambah secara kuantitas dan kualitas. Lalu, hal-hal apakah yang perlu diperhatikan sehingga pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan optimal? Usaha Preventif Guna mencegah korupsi, sosialisasi dampak buruk korupsi terhadap masyarakat bangsa dan negara perlu dilakukan. Demikian pula pendidikan anti korupsi perlu masuk dalam kurikulum setiap jenjang pendidikan. Masyarakat akan sadar hukum tentang bahaya korupsi karena tahu hukum (law awareness), punya rasa hormat terhadap hukum (legal attitude), paham akan isinya (law acquantance), sehingga taat hukum tanpa dipaksa (legal behaviore). Hasilnya sangat bagus sebagai penyiapan masyarakat dan generasi mendatang untuk tidak melakukan korupsi. Usaha preventif lainnya, kita punya perangkat undangundang tentang pajak mengenai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Setiap tahun para penyelenggara negara menyerahkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kepada kantor pajak. Di halaman terakhir
tercantum jumlah harta. Tinggal setiap akhir tahun atau sesuai periodisasinya atau pada akhir masa jabatannya selalu dievaluasi/diaudit sehingga tahu penambahannya berapa, sesuai dengan penghasilan yang sah. Usaha lain yaitu mengefektifkan pelaksanaan wewenang KPK dalam meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Maksudnya bahwa setiap kepala instansi bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan korupsi di lingkungan kerja masing-masing. Tentu saja beban kerja KPK semakin berat sehingga perlu pemikiran agar ditambah unitunit kerja yang ada didalam lembaga ini, dan jika dimungkinkan kelembagaan KPK kedudukannya juga berada di daerah. Selama ini, hukuman yang djatuhkan kepada koruptor pada umumnya belum pernah penjatuhan hukuman maksimum seumur hidup atau pidana mati, hal ini mencederai rasa keadilan masyarakat. Nilai-nilai rasa malu tidak dimiliki oleh koruptor, mereka berhitung bahwa setelah keluar dari penjara masih untung karena uang hasil korupsi masih bermilyar-milyar rupiah. Segera diberlakukan sistem pembuktian terbalik. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik adalah sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum didakwakan. Jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya. Hal ini tentu akan berdampak pada pemiskinan koruptor dan keluarganya, sehingga untuk melakukan korupsi orang akan lebih berpikir panjang. Lebih memberdayakan fungsi Komisi Yudisial. Fungsi Komisi Yudisial (KY) tidak hanya soal pengawasan semata. Fungsi pengawasan hanyalah salah satu bagian dari tugas KY. Ada tugas yang lebih besar dari itu, yaitu menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Pemberantasan korupsi utamanya menjadi tanggungjawab Negara, tetapi perlu juga dengan melibatkan masyarakat. Karena itu, upaya pemberantasan korupsi tidak realistis jika tidak mengikutsertakan masyarakat sebagai stakeholder.
Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
*Staf pengajar Fakultas Hukum UMK
S
Fokus Jadilah Bersih, Supaya Bumimu Baru, Negerimu Tak Lagi Sendu
ejenak, aku melihatnya dari jarak yang tak jauh. Saat itu, siluet sepertiga senja yang melukisnya. Dan ketika temaram senja telah habis, dia masih berdiri dalam bias-bias cahaya lain. Selangkah demi selangkah, aku mulai mendekatinya. Dia tidak berlari meninggalkanku, hingga aku berdiri di depannya beberapa centimeter saja. “Duduklah,” katanya menawari. Aku menurut saja. Dia duduk bebarengan denganku. “Ceritakanlah padaku tentang apa yang tak ku tahu.” lanjutnya. “Tidak ada.” kataku. “Jangan bohong,” keluhnya. “Tidakkah kamu tau bahwa aku tahu semua rahasiamu?” tanyanya seolah menelanjangiku. “Memangnya apa yang kamu tahu?” tanyaku putus asa. “Bukankah dulu di gedung ini kamu selalu duduk di bangku paling depan?” tanyanya tanpa ragu. Dan aku tidak perlu berpikir keras tentang bagaimana dia tahu semua itu. “Ingatkah kamu ketika salah seorang dosenmu yang kini menjadi rekan kerjamu memberi pertanyaan tentang apa itu korupsi?” “Mengapa?” “Apa kamu ingat apa jawabanmu saat itu?” “Tidak,” kilahku. “Jangan sok tahu tentang aku!” hardikku. “Hahahaha. Kamu bilang aku sok tahu? Lantas mengapa seolah kamu takut?” “Karena itu bukan urusanmu!” “Coba ingat-ingat lagi. Kalau kamu memang tidak ingat dengan kejadian itu, mari sekali lagi aku kembalikan ingatanmu.” “Tidak perlu!” “Saat itu, kamu mengatakan bahwa korupsi adalah hal paling hina, yang seharusnya dimusnahkan dari muka bumi. Kamu begitu mengutuki koruptor-koruptor negeri ini. Jawaban yang kamu beri begitu menggebu-gebu, hingga satu kelas memberimu tepuk tangan seolah mereka takjub dengan apa yang kamu kemukakan,” katanya terpotong. Dia menghela nafas, sedangkan aku ingin sekali menutup telingaku. “Tetapi, kamu pembohong!” lanjutnya dengan nada suara yang cukup berat. “Memang apa yang aku lakukan sampai kamu mengatakan bahwa aku seorang pembohong?! Aku tidak pernah berbohong!” “Begitukah cara penjahat berbicara?” “Maksudmu?” “Mengertilah, aku bukan orang lain. Aku bukan orang asing. Jika saja kamu berani mengatakan semuanya, paling tidak aku bisa memberimu jalan keluar untuk masalahmu saat ini.” Aku tidak mengerti mengapa aku harus bercerita tentang semuanya pada dia. Tetapi apa boleh buat? Aku bukan seorang pahlawan seperti yang dulu orang lain kira. Aku bukan orang suci seperti yang orang lain pikirkan. Aku sudah menyerah dengan semua hidupku. Aku sudah banyak kehilangan dan aku tak ingin lagi menambah dukaku. “Aku menyesal,” ucapku lirih. Lirih sekali. Barangkali dia tidak mendengar. Tetapi aku tidak mau mengulangi kata-kataku sekali
lagi. “Hidupku berantakan.” Lanjutku. “Mengapa?” “Sepele. Mulanya memang sepele, tapi berujung rumit.” “Tentang apa?” “Bukankah kamu tahu?” Dia tersenyum kecil. “Aku tahu, tetapi aku ingin dengar dari mulutmu sendiri. Bukankah itu lebih baik daripada kamu mengatakan bahwa aku sok tahu?” “Lalu, aku harus bercerita darimana?” “Tentu saja dari awal. Aku akan mendengarkannya, selagi kamu berkata sebenarnya.” “Benar katamu, ketika pertama kali masuk kuliah, aku duduk di gedung ini. Suatu hal yang sangat membanggakan untukku,” kataku menghembuskan nafas. “Aku selalu ingin mengejar cita-citaku setinggi mungkin, mewujudkan semua impian yang ku punya. Aku belajar siang dan malam supaya aku dapat menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Tetapi, keinginan itu tiba-tiba menyusut.” lanjutku. “Mengapa?” Kami terdiam lama. Rasanya begitu berat untukku bercerita. Kadang, aku menghindari tatapannya. Aku lebih suka membuang mukaku, sekadar menyembunyikan kegundahan yang aku alami saat ini. Dia tidak mendesakku, meski agaknya menit-menit telah terbuang lama. Dia tetap sabar menunggu kata yang hendak keluar dari mulutku. “Aku mulai hanyut di dunia baruku. Bersama segerombolan anak, kami berlomba-lomba untuk meminta uang orang tua sebanyak-banyaknya. Mengambil untung dalam setiap pembayaran tiap semester,” tuturku pahit. “Mulanya lima puluh ribu, kemudian seratus ribu, dua ratus ribu, hingga… hingga aku lupa kapan terakhir kali aku berbuat jujur saat pembayaran semester.” “Lalu?” “Lalu, aku mulai mengenal kecurangan-kecurangan. Sekadar titip absen ketika perkuliahan, meminjam tugas teman dan menggandakannya. Aku pikir ini hal yang wajar bagi mahasiswa. Benarkan?” “Wajar saja. Wajar bukan?” dia balik bertanya, dengan senyum yang hanya setengah potong. Senyum yang menghina. Aku benci sekali melihat senyum itu! Aku menggeleng untuk beberapa saat. Ada banyak sekali raut penyesalan di wajahku. Seharusnya, hal tersebut bukan wajar bagiku, karena itulah petaka pertama untukku. “Itu tidak wajar,” kataku kemudian. “Seharusnya, hal itu tidak boleh terjadi. Kejujuran tetap kejujuran, dan kebohongan selamanya akan menjadi kebohongan sekalipun seluruh manusia muka bumi melakukannya.” “Hahaha.. Apa itu jawaban hati nuranimu? Ataukah omong kosong belaka?” “Aku sudah lelah. Kebiasaan yang aku anggap wajar begitu susah untuk aku hentikan. Rasanya seperti candu. Hingga suatu
Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
Fokus kali, aku pun bekerja di gedung yang sama. Di bangunan yang sama. Aku merindukan sebuah kenyamanan baru. Gaji yang besar, rumah megah, mobil mewah. Ah, begitu ingin rasanya aku memiliki semua itu.” “Lalu? Apa kamu bisa memiliki semuanya?” “Aku memang bisa memiliki semuanya. Tetapi, masih dengan kepicikan yang membuatku buta. Pertama, aku mengurangi anggarananggaran ketika aku diberi tanggung jawab untuk memegang keuangan. Beberapa dana untuk mahasiswa aku selipkan,” kataku terhenti. Dadaku seolah terasa sesak. Begitu menyakitkan. “Aku menyuap beberapa rekan kerjaku ketika memergoki aku berbuat curang.” “Lalu?” “Aku bisa membeli rumah megah dan mobil mewah dari uang itu, kemudian aku keluar kerja. Aku memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan yang besar dan terkenal. Dan, aku melakukan hal yang serupa. Aku menduduki jabatan yang lebih tinggi. Dan dengan uang yang aku selipkan setiap bulannya, aku bisa membelikan mainan apapun untuk anakku. Aku bisa membelikan istriku berlian yang harganya tidak main-main, bahkan kami sekeluarga sering bertamasya hingga luar negeri.” “Kamu bahagia?” “Kamu pikir?” “Aku tidak tahu.” “Tidak,” jawabku. Setiap hari, aku seperti dikejar-kejar. Entah apa yang mengejarku. Mungkin dosa. Atau mungkin tuntutan tanggung jawab yang telah kuselewengkan.” kataku. “Apa yang terjadi setelahnya?” “Semua itu berlangsung hampir tujuh tahun. Akhirnya aku dipecat.” “Bagaimana bisa?” “Perusahaan telah tahu bagaimana sepak terjangku. Berapa dana perusahaan yang ku selipkan. Mulanya mereka hanya menduga ada kesalahan dalam sistem, namun suatu ketika perusahaan punya bukti untuk menyeretku ke meja hijau.” “Kamu mengelak?” “Tentu saja. Tentu saja aku mengelak. Aku tidak ingin masuk penjara!” “Pengecut.” “Bukan!” “Pembohong.” “Bukan!” “Akuilah bahwa kamu adalah pembohong. Berapa orang yang telah kamu tipu? Apa kamu masih mampu menghitungnya dengan jarimu?” tanyanya. “Aku rasa tidak.” tambahnya sambil tersenyum sinis. Aku menundukkan kepalaku. Dia benar. Aku adalah pembohong. Pendusta. Dan satu lagi, aku adalah seorang koruptor. Tetapi, aku sudah jera dengan semua ini. “Jalanku buntu.” ucapku. “Apa yang terjadi?” “Aku dipecat. Tetapi aku tidak ingin masuk penjara!” “Kamu harus pertanggungjawabkan perbuatanmu.” “Dengarkan aku! Aku sudah banyak kehilangan! Istri dan anakku juga meninggalkanku. Istriku meminta aku menceraikannya. Wanita yang puluhan tahun telah hidup denganku, aku pikir dia begitu setia denganku. Nyatanya, dia justru meninggalkanku begitu tahu
Istimewa
aku diseret ke meja hijau dengan kasus korupsi. Padahal, selama ini uang itu untuk siapa?” ratapku pilu. “Kedua anakku tidak ingin lagi bertemu denganku. Katanya dia malu punya ayah seorang koruptor!” teriakku terisak. “Tetapi syukurlah, kamu masih bisa menyadari semua itu.” katanya. “Kamu tahu rasanya? Begitu menyakitkan! Rumahku, mobilku, segala uangku musnah. Tak satupun bersisa. Kamu bisa bayangkan bagaimana menderitanya aku? Bisa bayangkan??” “Aku tahu dukamu.” Isakku semakin menjadi. Air mataku tak ingin berhenti. Aku malu menjadi diriku sendiri. Pantas saja jika anakku malu mempunyai ayah seperti aku. Ayah yang telah gagal. Ayah yang tidak berguna. Hanya mengejar materi dan kepuasan pribadi. Padahal, aku tahu betapa inginnya mereka hidup baik-baik saja. Makan dengan uang yang halal. Namun, aku justru membuatnya malu. Aku bisa bayangkan betapa malunya dia ketika berada di sekolah. Apakah mereka akan diejek oleh teman-temannya? Atau apakah dia masih diperlakukan istimewa oleh guru-gurunya? Mungkinkah banyak cibiran di luar sana? Bagaimana dengan masa depan mereka? Akankah dia tumbuh menjadi sama seperti ayahnya? Astaga! Istriku? Apa kabar dia sekarang? Wanita yang aku nikahi dua puluh tahun yang lalu. Yang begitu cantik dan anggun. Masihkah dia sama? Mengapa dia tega meninggalkanku? Oh, barangkali memang aku yang tega dengannya. Seharusnya, aku tahu dia ingin hidup dalam ketentraman, bukan hidup mewah dengan segala kecurangan. Apakah dia juga malu bersuami aku? Bersuami seorang koruptor. Apaka di luar sana istriku tahu betapa menderitanya aku sekarang? Atau apakah justru istriku yang begitu menderita di luar sana? Pasti akan ada gunjingan dimana-mana. Masyarakat akan menghina keluargaku. Mereka menertawakan kehancuranku. Tetapi, aku justru tak bisa berbuat banyak. Harus lari kesana-kemari untuk menghindar dari polisi. Aku tidak ingin di penjara!
Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
“Sudahlah,” katanya. “Tidak ada gunanya kamu bersembunyi. Kebenaran akan datang.” “Aku tidak pernah meyangka, bahwa hidupku akan begini.” “Jika kamu tahu hidupmu akan begini, tentu kamu akan memilih opsi kedua. Tetapi, mengertilah, hidup yang kamu jalani saat ini telah membawamu pada duka. Dan kamu tahu sebabnya?” tanyanya. Aku mengerutkan dahi. “Sebabnya? Tentu saja akulah sebab semuanya ini.” “Seharusnya kamu bisa melukis hidupmu dengan warna-warna keindahan. Tetapi jalanmu telah berbelok.” “Aku terlihat begitu menjijikkan.” “Kata siapa?” “Kataku,” jawabku. “Aku telah menggoreskan banyak luka. Aku meyandang gelar seorang koruptor yang hina, yang gelarnya dulu pernah ku kutuki.” “Lalu?” “Bisakah kamu membantuku keluar dari masalah ini?” “Apa kamu akan memberiku imbalan?” sindirnya. “Sudahlah, hanya dirimu sendiri yang dapat menyelesaikan masalahmu.” “Tetapi aku bisa apa?” “Masih ada banyak waktu untuk memperbaiki semua.” “Terlambat.” “Mengapa? Apa kamu akan memikirkan hal konyol?” “Aku sudah tidak tahu bagaiamana memulai hidup, aku sudah putus asa.” “Koruptor seperti kamu memang pantas mati. Tetapi percayalah, bahwa jika kamu ingin mengubah semuanya, kamu bisa menjadi lebih bermanfaat. Jangan pernah ulangi kesalahan yang membuat dukamu hadir.” “Seandainya aku dapat berteriak dari sini, aku akan meminta semua orang untuk tidak menjadi sama denganku. Sebab apa? Penyesalan yang menghantui tak akan pernah usai, meski semua materi dan keluargamu telah usai.” Aku kembali terisak. Seandainya aku memiliki kesempatan untuk menghapus masa ini, mungkin istri dan anakku masih duduk di sampingku. Aku tidak perlu mobil mewah, rumah megah hanya supaya aku terlihat terhormat di luar sana. Jika sudah begini, apa mobil dan rumahku bisa menolongku? Apakah uang haram itu dapat mengembalikan istri dan anakku? Mereka justru yang membuat anak dan istriku pergi. Materi sebanyak apapun yang aku punya, mereka tiada setia. Mereka justru menjadi pengkhianat terbesar dalam hidupku. Seandainya boleh ku tukar nyawa demi materi yang bisa mengangkat derajatku, aku tidak sudi lagi! Justru dialah yang merendahkan derajatku. Tidak ada yang bisa menjunjung tinggi derajat seseorang kecuali dia mempunyai moral yang baik. Yang mampu menjadi teladan bagi orang lain. Oh, betapa bodohnya aku. Betapa hinanya aku sekarang. Barangkali, orang di luar tak akan iba dengan kisahku. Mereka akan memandangku sebelah mata. Mereka akan mencibirku. Dan mungkin saja seorang yang lain, yang tahu tentang kisahku hanya menganggap angin lalu. Membiarkan aku dengan kebodohanku. Atau mungkin, mereka akan berkata bahwa aku seorang koruptor yang bodoh, yang gampang menyerah. Tetapi percayalah, hidup dalam banyak materi tanpa kejujuran akan membuatmu terseok. Akan membuat hidupmu hancur, berantakan.
Istimewa
Fokus
“Selagi kamu ingin, perbaikilah dirimu.” katanya. “Dan aku akan tetap sama? Akan hidup di dalam kesepian?” “Mulailah hidup baru. Bahagiakan orang yang begitu kamu sayangi dengan usaha dan jerih payahmu. Bukan dengan modal uang yang tak jelas asalnya. Bukan dengan menyuap untuk mendapatkan jabatan tertinggi.” “Lalu, apa yang bisa ku perbuat?” “Pertanggungjawabkan apa yang sehausnya kamu pertanggungjawabkan, sebelum semuanya semakin rumit.” “Ya. Aku akan menyerahkan diriku. Supaya aku bisa menanggung kesalahanku. Supaya aku bisa menebus rasa bersalahku. Dan supaya semua orang tahu bahwa menjadi seorang koruptor begitu menyesakkan dan begitu hina.” “Ya. Mungkin memang begitu. Tetapi menjadi dirimu yang kedua adalah kesempatan yang begitu berharga. Masih ada sisa waktu untukmu.” Memang benar. Ketika semua orang seakan memusuhimu, di sana kamu masih menemukan setitik sahabat. Ketika di luar sana banyak yang meninggalkanmu, masih ada sisa orang yang setia. Dan ketika kamu merasa dirimu seorang hina, jangan biarkan menit berikutnya hilang dengan kehinaan-kehinaanmu lainnya. Aku menjadi sadar, bahwa apapun yang dilakukan dengan kebaikan akan menghasilkan buah yang indah, sekalipun nyawamu harus menjadi taruhan. Namun, sesuatu yang buruk sama sekali tak bisa membawa keabadian. Terima kasih, bayangku. Hanya dirimu satu-satunya yang setia saat aku mengalami prahara. Dan aku tak ingin membuat dukaku sekali lagi. Aku harus bisa melukis kebaikan pada hidupku yang kedua. Aku tersenyum, bebarengan dengan dia. Dia.. bayanganku sendiri. Bayangan yang terlukis karena bias cahaya. Aku melangkah menjauhi dia. Tetapi aku yakin, dia masih juga mengikutiku, karena dia dan aku adalah satu untuk kehidupan yang baru. Bumi ini harus baru. Jiwa ini harus bersih. Aku dan dia sepakat bersama, untuk membersihkan apa yang kotor di negeri ini. Jangan menganggap enteng, jangan menghujat mereka, tetapi jadilah dulu kamu bersih, supaya bumimu baru. Supaya negerimu tak lagi sendu. Penulis adalah Mega Ayu, Mahasiswa Psikologi UMK
Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
Kampus
Mahasiswa dan Korupsi
K
orupsi di Indonesia sudah semakin merajalela, tidak hanya terjadi di kalangan penyelenggara pemerintahan, pejabat publik, pengusaha, wakil rakyat saja yang melakukan tetapi sudah menyebar pada tataran masyarakat bawah, misalnya penjual daging memberatkan timbangannya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, kondektur bis menaikkan tarifnya tidak sesuai dengan tarif yang berlaku. Nyaris di semua kehidupan korupsi menggejala, lembaga keagamaan yang asumsinya tidak tersentuh oleh korupsipun sudah melakukan.
keuangan negara, kemudian perbuatan curang dijawab 22 % responden dan suap-menyuap oleh 20% responden sedangkan sisanya menjawab penyalahgunaan jabatan, benturan kepentingan dalam mengadaan, pemerasan dan grativikasi atau pemberian hadiah.
Herannya, pelaku korupsi banyak yang mengaku beragama tetapi perilakunya sebaliknya, menghina ajaran-ajaran agama yang dianutnya sehingga banyak orang (baca: masyarakat) berprasangka perilaku korupsi sebagai perilaku yang biasa saja, dibolehkan (permisif), pelaku tidak lagi merasa bersalah apalagi merasa malu bahkan terkesan ‘bangga’ dengan apa yang dilakukan, sudah bisa mencurangi orang lain. Korupsi berevolusi karena pada lampau dilakukan dengan cara-cara sederhana. Dari sekedar suap, korupsi kini sudah masuk kategori kejahatan ‘kerah putih’. Kejahatan ini dilakukan oleh kaum intelektual, terpandang dan pintar. Selain itu, kejahatan korupsi juga mengalami metamorfosis dan mengalami generasi. Sebelumnya koruptor berusia 45 - 50 tahun, sekarang korupsi dilakukan generasi muda yang diharapkan jadi agen perubahan atas kebobrokan bangsa ini (Samad, dalam Kompas 27 November 2013). Korupsi telah menyebabkan perubahan sosial kehidupan masyarakat, masyarakat tidak lagi mengenal proses bertahap, sedikit demi sedikit berusaha, menabung, bekerja keras untuk mencapai tujuan tetapi hanya mengenal ’jalan pintas’ untuk memperoleh sesuatu keinginan dan menimbulkan budaya instan. Polling ini menggambarkan secara sistematika fakta atau karakteristik secara akurat mengenai pengetahuan, perilaku dan sikap mahasiswa di Universitas Muria Kudus berkaitan dengan korupsi dan merupakan penerapan praktis metode survei. Pengumpulan pendapat melalui survei UMK berupa angket yang dilakukan tim Web Universitas Muria Kudus pada tanggal 14 - 26 November 2013 sebanyak 384 responden adalah mahasiswa Universitas Muria Kudus yang dipilih secara acak dengan tingkat kepercayaan 95% dan tingkat kesalahan yang ditoleransi (sampling error) 5%. Dari penelusuran pengetahuan mengenai korupsi sebanyak 23% responden menjawab bahwa korupsi adalah kerugian
Dalam memahami bahwa mencontek atau copy paste merupakan perilaku korupsi, 2% responden tidak menjawab, 63% responden menjawab bahwa mencontek atau copy paste merupakan perilaku korupsi diantaranya dengan alasan merugikan pihak lain dan diri sendiri dengan cara curang, serta tidak menggunakan hasil pemikiran sendiri. Untuk 35% responden yang menjawab bahwa mencontek atau copy paste tidak merupakan perilaku korupsi juga memiliki alasan tersendiri, dikarenakan bukan merugikan keuangan negara, bentuknya bukan kerugian materi atau uang dan tidak merugikan orang lain karena sudah ijin. Hasil polling juga mengungkap sikap curang yang sudah dilakukan oleh responden. 62% responden mengaku pernah melakukan kecurangan dengan cara mencontek atau copy paste, melakukan perbuatan curang dengan meminta uang saku, uang pembelian buku dan uang pembayaran kuliah lebih dari yang semestinya serta waktu kuliah terlambat, tidak tepat waktu. Untuk 36% responden menjawab tidak pernah melakukan korupsi dengan alasan korupsi merugikan orang lain, bertentangan dengan agama dan dosa serta melanggar hukum. 2% responden tidak menjawab. Mencermati hasil polling, tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah
Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
Lanjut ke Hal. 9
Rembug Permisif, Salah Satu Benih Korupsi Oleh Shofi Maylina*
K
orupsi, sebuah kata yang sangat familiar kita dengar akhir-akhir ini. Hampir setiap hari media cetak maupun elektronik memberitakan tentang korupsi yang dilakukan oleh sejumlah pejabat. Kepercayaan publik terhadap pejabat menjadi sirna karena masyarakat akhirnya berpikiran bahwa tidak ada pejabat yang bersih di negeri ini. Yang mengejutkan, justru korupsi telah menjadi kejahatan yang sistematis dan struktural. Semua telah dirancang skenarionya dengan begitu matang. Hal ini bisa kita lihat ketika salah seorang pejabat tertangkap melakukan korupsi, ternyata setelah diselidiki ada banyak pihak di belakangnya. Sebagai generasi muda, kita harus jeli memandang hal ini. Jangan sampai kita terbawa arus pemberitaan sehingga dengan mudahnya kita memberi label buruk pada seseorang yang diduga korupsi. Apakah diri kita sudah terbebas dari korupsi? Atau jangan-jangan tanpa sadar kita telah melakukannya? Korupsi dianggap sebagai hal yang wajar dilakukan. Bahkan mungkin kita secara tidak sadar telah melakukan korupsi. Banyak orang salah persepsi tentang korupsi. Mereka memandang korupsi hanya berkaitan dengan uang. Seseorang yang menggelapkan uang, misalnya uang negara itulah yang dianggap koruptor. Padahal sebenarnya makna korupsi lebih luas dari itu. Misalnya saja yang mungkin kita tidak sadari adalah korupsi waktu. Mencuri-curi waktu untuk melakukan hal lain di jam kerja contohnya. Berawal dari sikap permisif terhadap diri sendiri, hingga akhirnya menjadi sebuah tradisi. Contoh lain, misalnya kebiasaan copy paste tanpa menyebutkan sumber yang dikutip. Sebagai mahasiswa, tentu
istilah ini tidak asing bagi kita. Namun perlu kita ingat, dalam menyalin sebuah kutipan, kita harus menyebutkan siapa penulis aslinya. Hal kecil inilah yang kemudian menjadi benih seseorang untuk melakukan korupsi. Adanya pungutan liar di berbagai birokrasi juga seolah dianggap wajar. Uang pelancar, uang lelah, atau apalah namanya menjadi hal yang lumrah kita berikan saat berhubungan dengan birokrasi. Jika tidak memberikannya, maka akan terdapat pembedaan pelayanan. Demikian halnya dengan politik uang yang juga telah menjadi tradisi. Kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan ini. Sudah menjadi sebuah rahasia umum. Semua level masyarakat dari kelas bawah sampai kelas atas telah memakluminya. Orang yang tidak melakukannya justru disebut aneh dan tidak wajar. Akhirnya, kembali kita permisif terhadap hal ini. Sehingga secara tidak sadar kita telah terlibat di dalamnya. Pendidikan antikorupsi maupun hal lain yang serupa hanya akan memberi dampak yang signifikan jika ada tekad dari masing-masing individu untuk lepas dari sikap permisif yang menjadi benih korupsi. Apabila tidak ada niat yang kuat dari masing-masing individu, tentu saja korupsi menjadi hal yang mustahil diberantas. Walau dianggap sudah menjadi tradisi, namun bukan hal yang mustahil bila suatu saat bangsa ini terbebas dari bahaya laten korupsi. Sebagai generasi muda, tentu kita harus membiasakan diri kita untuk tidak permisif terhadap hal-hal yang akan menjadi benih korupsi. *Reporter Info Muria
Lanjutan Hal. 8 aspek-aspek penyebab berbuat korupsi.
seseorang
Responden dalam polling juga mengusulkan cara memberantas korupsi melalui penegakan hukum dengan memberi hukuman seberat-beratnya yang dapat membuat jera pelakunya tanpa memandang jabatan, yaitu memiskinkan koruptor dan memberi hukuman mati. Kecuali itu, memperkuat kesadaran diri sendiri untuk tidak korupsi dengan menanamkan jiwa disiplin, jujur, bertanggungjawab dan kerja keras pada individu serta menanamkan jiwa keagamaan. Terkait peran aktif mahasiswa dalam meminimalisir korupsi, responden ber-
pendapat untuk menciptakan kesadaran diri dengan membiasakan berbuat jujur dengan tidak melakukan kecurangan dalam mengerjakan tugas, tidak terlambat kuliah dan meminta biaya kepada orang tua sebenarnya, kemudian ikut mensosialisasikan dampak perbuatan korupsi ke masyarakat dengan cara mengadakan penyuluhan ke sekolahsekolah, seminar, demo anti korupsi, menyebar brosur anti korupsi serta memaksimalkan waktu dengan kegiatankegiatan yang positif. Menggairahkan pemikiran kritis dalam diskusi di banyak tempat untuk menolak korupsi dan menyebarkan gagasan-gagasan anti korupsi pada ma-
syarakat serta menumbuhkan perilaku saling mengingatkan diantara kita untuk tidak melakukan korupsi merupakan tindakan preventif yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir korupsi dan solusi alternatif perilaku yang bisa kita sebarkan ke banyak orang, agar tidak melakukan korupsi. Stimulus-stimulus di atas jika direspon dengan baik bisa menumbuhkan dengan cepat penyebaran perilaku-perilaku anti korupsi di masyarakat, setidaknya dimulai dari lingkungan terdekat yaitu di kampus, rumah, saudara dan teman-teman yang nantinya ’virus anti korupsi’ akan menyeruak kemana-mana. (Widjanarko dkk/Info Muria)
Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
Kampus TANGKAL KORUPSI DENGAN BUDAYA INDONESIA
F
enomena korupsi, nampaknya bukan menjadi hal asing lagi bagi generasi muda. Oleh karena itu, diperlukan benteng yang kuat untuk menangkal sikap koruptif khususnya bagi mahasiswa. Berdasar dari ide tersebut, Himpunan Sujiwo Tejo Saat tampil di UMK (Dok. Info Muria) Mahasiswa Jurusan (HMJ) Akuntansi FE UMK bekerja sama dengan Djarum Bakti Foundation, dan Dewan Kesenian Kudus menyelenggarakan seminar nasional bertajuk “Membangun Kesuksesan Generasi Muda Yang Berkarakter Tanpa Korupsi”. Seminar tersebut diselenggarakan pada Minggu (24/11) bertempat di Gedung Auditorium UMK. Seminar nasional menghadirkan Imam Budhi Santoso, sastrawan asal Kota Gudeg Jogjakarta sebagai moderator, Sudjiwo Tedjo yang notabene merupakan budayawan, dan Guntur Kusmeiyano dari Deputi Pendidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai narasumber.
P
Riyan Adi Kumara, ketua HMJ Akuntansi FE menuturkan jika kegiatan tersebut diselenggarakan dalam rangka memperingati hari anti korupsi yang jatuh pada 9 Desember 2013. Selain itu, ia menambahkan jika tujuan dari kegiatan ini ialah mengenalkan korupsi serta memberikan pendidikan dasar anti korupsi pada mahasiswa. “Selain itu, kami juga ingin mengembalikan budaya Indonesia yang bebas dari korupsi pada mahasiswa dengan membentengi diri mahasiswa dengan sikap anti korupsi,” tutur mahasiswa Akuntansi FE semester V ini. Ketua panitia kegiatan, Arina Zuniar menambahkan jika dari kegiatan ini nantinya dapat mengulas tuntas mengenai korupsi dari aspek hukum, aspek budaya, serta ekonomi. “Semoga dari seminar nasional ini, peserta dapat memahami korupsi dari berbagai sisi. Sehingga, mahasiswa dapat terhindar dari perilaku koruptif. Dan bagi mahasiswa FE khususnya, dapat melakukan pembukuan yang baik,” harap mahasiswa Semester III FE ini. Launching Buku Acara seminar nasional tersebut, juga dijadikan ajang launching buku berjudul “Tembang Tembakau : Bunga Rampai Geliat Nurani Sang Penyair” karya sastrawan Kudus, Jumari HS. Acara tersebut pun diramaikan oleh pertunjukan musik sastra, Kres, serta pertunjukan monolog pembacaan puisi bertema korupsi oeh beberapa penyair. (Nabila-Anggi/Info Muria)
KKL BEKALI MAHASISWA SIAP TERJUN KE MASYARAKAT
erkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Ipteks), menuntut mahasiswa lebih peka dan kritis sehingga siap terjun ke masyarakat. Untuk membekali ilmu ‘lapangan’ tersebut, FH UMK mengajak 97 mahasiswa reguler dan non reguler, serta delapan orang dosen untuk mengikuti Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2013 pada Senin – Jumat (11-15/11) lalu. Adapun Jakarta yang menjadi tujuan dari KKL tahun 2013 tersebut. Program KKL yang berlangsung selama empat hari, mengajak mahasiswa dan dosen FH mengunjungi empat lembaga negara, dan berdiskusi dengan satu Non Government Organisation (NGO) bernama International Legal Resource Center (ILRC). Keempat lembaga negara tersebut yakni Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), lembaga pengawas hakim Komisi Yudisial (KY), dan lembaga pengawas kebijakan publik Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Lensa Sylviani Prasetyo, salah seorang peserta KKL mengaku senang dapat mengikuti program KKL. “KKL ini sangat berkesan. Karena kami dapat mengenal tempat atau
instansi-instansi penting khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik. Paling tidak ada beberapa tambahan ilmu sekaligus pengalaman langsung di kawasan pemerintahan.” Aku mahasiswi hukum yang juga ketua UKM Jurnalistik tersebut. Pembekalan Sebelum mengikuti KKL, seminggu sebelumnya mahasiswa mendapat pembekalan dari dosen terkait. Diantaranya Mekanisme dan Proses Beracara di MK oleh Subarkah SH. Mhum, Peran dan Fungsi Komisi III DPR RI Dalam Pengawasan dan Penegakan Hukum Indonesia oleh Sumono SH, Peran dan Fungsi KY Dalam Pengawasan dan Penegakan Hukum Terhadap Hakim di Indonesia oleh Anggit Wicaksono SH MH, dan Peran Lembaga Ombudsman Republik Indonesia Dalam Menjamin Terpenuhinya Pelayanan Publik Oleh Lembaga Negara oleh Dr. Suparnyo. Serta penguatan materi bertajuk Penguatan Clinic Legal Education Pada Kampus Hukum Sebagai Upaya Penguatan Perspektif HAM Dan Keadilan Sosial oleh Dr. Hidayatullah. (Nabila/Info Muria).
10 Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
Resensi Penyair Menolak Korupsi kegeraman atas perilaku korupsi yang ada di Indonesia. Coba Penyunting : Sosiawan Leak, Rony Azza, Rini Tri Puspohardini simak nukilan puisi yang ditulis Penerbit : Forum Sastra Surakarta Abdurrahman El Husaini. Mengapa masih ada korupsi? sedang tsunami Cetakan : Pertama, Mei 2013 sudah berkali-kali terjadi. Mengapa Tebal : XXIV + 450 halaman masih ada korupsi? Sedang gempa ISBN : 978-602-183-026-0 bumi sudah berkali-kali terjadi. Mengapa masih ada korupsi? Sedang banjir besar sudah berkali-kali terjadi. Mengapa masih ada korupsi? uku berisi puisi ini menarik untuk dibaca, ditelaah Sedang presiden sudah enam kali berganti (halaman 5). dalam-dalam dan disebarkan oleh orang di sekitar Penulis puisi dalam buku ini tidak saja memperlihatkan kita agar pesan yang ada di dalam buku bisa tersampaikan. Puisi di dalamnya mengkatarsiskan berbagai tema korupsi kepada pembaca akibat korupsi yang merajalela di semua diantaranya mengenai kondisi negeri akibat korupsi, genetika bidang aktivitas kehidupan masyarakat tetapi juga berani korupsi, kematian koruptor, pengakuan seorang wakil rakyat, bersikap untuk melawan korupsi dengan mengalang kesatuan dari seorang istri koruptor, jaksa, KPK, Hambalang dan tema- penyair. Baca puisi Ayu cipta berjudul berwsatulah penyair tema lain, yang tentunya berkaitan dengan korupsi. tolak korupsi…bersatulah penyair ayunkan pena kalian Buku kompilasi puisi ditulis oleh 85 penyair yang memiliki torehkan sejarah bahwa kata-kata adalah mantra sakti bermacam latar belakang di Indonesia ini merupakan membumihanguskan korupsi dari negeri ini (Widjanarko/Info bentuk keprihatinan, kepedulian untuk menolak korupsi dan Muria). Judul Buku : Puisi Menolak Korupsi, Penyair Indonesia
B
STRATEGI BARU MENJERAKAN KORUPTOR Judul Buku
: Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Penulis
: Dr. Muhammad Yusuf
Penerbit
: Penerbit Buku Kompas
Cetakan
: Pertama, April 2013
Tebal
: XXI + 274 halaman
ISBN
: 978-979-709-703-5
S
oal korupsi jamak kita dengar dan saksikan. Bukan mengendur arus informasinya, sebaliknya justru semakin mengencang. Ibarat semakin kencang berteriak, justru arus korupsi semakin membesar. Besarnya isu korupsi bukan hanya soal volume tetapi juga cakupan arena semakin meluas. Hampir semua pilar sistem ketatanegaraan, mulai dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif terjangkiti demam korupsi. Mirip “gaya hidup”, perilaku korupsi seakan menjadi trend dan banyak penggemar. Pelaku korupsi tak mengenal kata kapok, sebaiknya semakin menjadi-jadi. Padahal dari sisi peraturan dan regulasi sudah lengkap. Penanganannyapun
sudah ada sistem peradilan khusus mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai sistem peradilan ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Koruspi (Tipikor). Namun, nampaknya belum membuat jera pelaku. Mengapa vonis hakim tidak membuat takut pelaku korupsi? Apakah karena belum maksimalnya vonis untuk menghukumnya?
Dalam buku yang berjudul “Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, Dr. Muhammad Yusuf, memberi alternatif solusi menjerakan pelaku. Melalui metode perampasan asset tanpa tuntutan pidana atau NonConvictim Based (NCB) Asset Forfeiture, kepala PPATK yang berpengalaman 20 tahun sebagai jaksa ini menawarkan solusi penindakan perampasan aset. Penegakkan hukum cukup dilakukan dengan menelusuri harta kekayaan yang dimiliki tersangka. Fokus sistem peradilan dimaksudkan untuk mengembalikan harta negara. Dalam sistem ini, pelaku kejahaan yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan bukan persyaratan yang harus dipenuhi guna melakukan perampasan aset (hal. 19). (Zamhuri/Info Muria).
Info Muria / Edisi XVI/ November 2013 - Januari 2014
11
- Jika pendaftaran CBT dilakukan setelah tanggal 18 Juni 2014 maka masa Her-Registrasi CBT dan pembayaran sisa Biaya Pendidikan adalah tanggal 21 - 28 Agustus 2014 dan dikenakan Biaya Pendidikan Gelombang II.
Gratis T-Shirt Untuk Jalur CBT
Infomelalui Muria / PMB Edisi XVI/ November 2013 12 * Pendaftaran Seleksi Tulis Gelombang I dan II dapat Kantor gedung Rektorat Lantai 1 atau online - Januari 2014