Un
iver sity
INFO MURIA e tur Cul
Media Komunikasi Antar Sivitas Akademika UMK
www.umk.ac.id
S
Cerdas dan Santun
ISSN: 2088-2920
Memandirikan Generasi Emas Indonesia
ejak ditegaskan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia, M. Nuh pada Mei 2012, pada momen Hari Pendidikian Nasional, bahwa menjelang 100 tahun Indonesia Merdeka, pada 2045, Indonesia akan mendapatakan bonus demograsi (demographic dividen). Jumlah penduduk usia produktif, akan mendominasi jumlah penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia usia muda lebih banyak dibandingkan dengan usia tua. Usia 0-9 tahun sebesar 45 juta, pada tahun 2045 akan berusia 35-45 tahun dan Usia 10-19 tahun berjumlah 43 juta jiwa, pada tahun 2045 akan berusia 45-54 tahun. Menurut Mndikbud, M. Nuh, usia tersebut merupakan generasi emas Indonesia. Untuk bisa memanfaatkan bonus demograsi menjadi asset nasional, maka kunci strategisnya adalah masalah pendidikan. Terutama pendidikan berbasis kemandirian bangsa. Hal ini diungkap oleh pendiri Kelompok Belajar Qaryah Tayyibah, Salatiga, Ahmad Bahruddin, waktu menyampaikan presentasi dalam Seminar Nasional bertajuk “Merajut Generasi Emas Indonesia” yang digelar oleh Universitas Muria Kudus (UMK) pada Sabtu (15/06) di Auditorium UMK. “Generasi emas adalah generasi mandiri. Jadi pendidikan yang diberikan juga harus berbasis lokalitas,” ujar Bahruddin menyarankan. Sumber daya lokal dapat dimanfaatkan secara maksimal. Ia mengaku prihatin dengan kondisi Indonesia yang limpahan sumber daya alamnya rusak oleh eksploitasi yang dilakukan perusahaan asing. Komunitas belajar Qaryah Tayyibah misalnya, dalam pembelajaran mereka memanfaatkan sumberdaya lokal. Meski begitu, teknologi modern juga tidak ditinggalkan sebagai media berkarya. Melalui pendidikan berbasis lokal dan kemandirian dalam pembelajaran, tambah Bahruddin, secara otomatis akan terbentuk komunitas belajar, masyarakat pembelajar. Bahkan, dalam jangka lebih panjang akan terwujud masyarakat yang cerdas. Senada dengan Burhanuddin, Prof. Dr. Ki Suprijoko, M.Pd. (Ketua Pendidikan dan Kebudayaan Majlis Luhur
Taman Siswa Yogyakarta) menunjukkan tokoh lokal sebagai inspirator dalam pendidikan, misalnya Ki Hajar Dewantoro. Mempersiapkan generasi emas tentunya tidak terlepas dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Konsep pendidikan anak sebenarnya telah dikembangkan oleh KH Dewantoro pada 1922 melalui Taman Indria. Pembelajan dilakukan dengan cara bermain (dolanan). “Pemikiran dan praktik pendidikan yang dijalankan tokoh pendidikan nasional tersebut perlu ditiru untuk mewujudkan gagasan Generasi Emas Indonesia,” ujar Suprijoko. Merujuk pada pemikiran Ki Hajar Dewantoro, kemajuan pendidikan, menurutnya, bukan hanya tanggung jawab pendidikan. Ada tiga pusat pendidikan sebagaimana dikenal dalam konsep Trisentra, yakni keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat. “Peran keluarga dan masyarakat inilah yang perlu dimaksimalkan,” katanya. Sementara itu, Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons. (Kepala Badan Standar Pendidikan Nasional/BSNP) berpendapat bawah untuk mewujudkan generasi emas mendatang, paradigma pendidikan juga harus diubah. “Bukan teaching tapi learning, guru bukan hanya mengajar akan tetapi mampu membangkitkan siswa untuk belajar mandiri,” tutur Prof Mungin. Aktivitas mendidik, oleh Prof Mungin diartikan sebagai seni agar siswa dapat menikmati pemelajaran yang dihadapi. Ia khawatir dengan paradigma yang muncul pada sebagian oknum guru. Pasalnya, guru yang seharusnya dimaknai sebagai mendidik akan tetapi dipahami sebagai sekadar profesi. “Tidak sedikit pendidik karbitan, karena seleksinya saja sekadar kognitif bukan kepribadian. Namun begitu, tidak sedikit pula guru yang baik dan pantas menjadi teladan,” katanya. Gagasan Generasi Emas muncul lantaran kondisi jumlah penduduk Indonesia yang lebih banyak dibandingkan usia tua. Pasalnya, saat ini terdapat 88 juta penduduk Indonesia usia 0-19 tahun. Hal ini disebut sebagai demography bonus atau demography deviden. Sehingga 100 tahun kebangkitan nasional, pada 2045, generasi muda Indonesia diharapkan mampu bersaing secara global. (Hoery/Farih-Info Muria)
Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013
Fokus
Tajuk
Mengelola Generasi Emas
S
aat ini, jumlah penduduk Indonesia usia muda lebih banyak dibandingkan dengan usia tua. Usia 0-9 tahun sebesar 45 juta, pada tahun 2045 akan berusia 35-45 tahun dan Usia 10-19 tahun berjumlah 43 juta jiwa, pada tahun 2045 akan berusia 45-54 tahun. Hal inilah yang menjadi background munculnya identitas generasi emas. Jika kita lihat data dari Biro Pusat Statistik (BPS) jumlah usia muda dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2005 usia 15-39 tahun, pada tahun 2005 berjumlah 93.865.303, pada tahun 2010 sudah meningkat menjadi 100.418.626 orang. Hal ini tentu menjadi potensi dan energi besar dalam membangun bangsa. Mengelola generasi emas akan menjadi tantangan terbesar bangsa Indonesia. Karena populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa tersebut merupakan bonus demografi (demographic dividen) yang sangat berharga. Namun, sebaliknya bila pengelolaannya tidak baik, kesempatan emas tersebut akan menjadi bencana demografi (demographic disaster). Kunci untuk mengelola generasi emas tersebut adalah pendidikan. Karena itu, mulai tahun 2010 sampai tahun 2035, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan investasi besar-besaran dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai upaya menyiapkan generasi 2045. Mulai dari pencanangan gerakan nasional Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), penuntasan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan SIswa Miskin (BSM), Pendidikan Menengan Universal (PMU), hingga program Adem (Afirmasi Pendidikan Menengah) dan Adik (Afirmasi Pendidikan Tinggi) untuk anak Papua dan daerah 3 T (terpencil, terluar, dan terbelakang), kurikulum 2013, peningkatan kualitas pendidikan tinggi, BOPTN, bidik misi, Akademi Komunitas, dan lainlain. Semua pihak pasti menyadari bahwa proses pendidikan dalam rangka membentuk generasi emas, tidak cukup hanya terjadi dalam lingkup dan hanya dibebankan pada lembaga pendidikan. Lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan kerja dan semua tempat yang menjadi bahan paparan peserta didik harus berperan serta. Tanpa itu, sulit rasanya berharap cita-cita membangkitkan generasi emas bisa terwujud. Karenanya, mengelola generasi emas, adalah mengelola masa depan kita semua. Sulit rasanya memahami bahwa pengelolaan generasi emas akan behasil jika tidak menjadi kesadaran bersama. Apalagi mengelola generasi emas direduksi maknanya hanya sebatas terlaksananya sebuah proyek pembangunan yang lebih bersifat birokratis. ***
Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013
Community Learning Model FKIP
K
eberadaan lembaga Qoryah Toyyibah Salatiga dan Kampung English Kudus sebagai model proses pendidikan alternatif yang efektif mulai diapreasiasi masyarakat. Agaknya, hal tersebut menjadai salah satu latar belakang pemikiran bagi Universitas Muria Kudus (UMK) untuk turut mengembangkan pendidikan alternatif melalui model Community Learning (Kelompok Belajar). Model Community Learning tersebut oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMK dilaksanakan melalui program yang diintegrasikan dengan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). “KKN FKIP kedepan akan dijadikan awal pembentukan Community Learning, “ ujar Dekan FKIP UMK, Dr. Slamet Utomo, M.Pd. Menurut Slamet, kegiatan KKN akan tetap menggunakan model KKN Tematik, namun peserta KKN juga melaksanakan kegiatan Community Learning dengan cara merekrut warga masyarakat minimal lima untuk membentuk Community Learning. “Dalam pelaksanaannya, mahasiswa Progdi PBI bisa saja mengajar di komunitas dewasa yang memang membutuhkan Bahasa Inggris untuk bisnis, sekolah dan lain sebagainya,” kata Slamet. Sedangkan untuk PGSD bisa lebih fokus kepada anak-anak Sekolah Dasar (SD) di lingkungannya agar kedepan bisa menjadikan generasi emas di Indonesia. “Kalau PGSD bisa mengajar seperti matematika dasar dan pengetahuan umum dasar lainnya,” terang Slamet. Masih menurut penjelasan Slamet, setelah KKN selesai, mahasiswa masih akan dibebankan untuk membentuk komunitas di setiap desa yang mereka menjalankan KKN. “Kami berharap mahasiswa bisa KKN di desanya sendiri agar komunitas ini bisa berjalan meski program KKN sudah selesai,” tambah Slamet. Memang, menurut Slamet, program ini baru sampai tingkat fakultas. Slamet berharap program ini sesuai dengan program universitas dalam rangka implementasi program community learning gagasan Rektor UMK, Prof. Dr. dr.Sarjadi, Sp.PA. (Harun-Info Muria)
Fokus
S
Membaca Karakter Pendidikan Kartini
iapa yang tidak mengenal RA Kartini? Tentu, hampir semua orang mengenalnya. Kartini sendiri lahir pada tanggal 28 Rabiulakhir tahun Jawa 1808 (21 April 1879) di Mayong, Kabupaten Jepara, kemudian sekolah Belanda di Jepara, tempat kedudukan bapaknya menjadi Bupati. Dimasa sekolah itu Kartini merasa bebas. Sampai usia 12 tahun Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda, tetapi setelah usia 12 tahun ia harus tinggal di rumah karena sudah biasa dipingit (http://wikipedia.Org/wiki/ Kartini, diunduh 10 April 2013). Kartini mahir berbahasa Belanda, maka ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda, salah satunya Rosa Abendanon. Dari buku-buku, Koran dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul kemauan untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu berada pada status sosial yang rendah. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Broos Hooft, ia juga menerima Leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Diantaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di Hollandsche Lelie. Perhatian Kartini bukan hanya soal emansipasi, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini berjuang agar wanita memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum. Diantara buku yang dibaca sebelum berumur 20 tahun, terdapat judul Max Havelaar dan surat-surat cinta karya Multatuli yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (kekuatan gaib) karya Louis Coperus, kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta De Witt yang sedang-sedang saja, Roman Feminis karya Nyonya Goekoop de-jong Van Beek dan sebuah roman anti perang karangan Berta Van Stuttner, Sie Waffen Nieser (letakkan senjata) semuanya berbahasa Belanda. (http://wikipedia.Org/wiki/ Kartini, diunduh 10 April 2013). Pada jamannya, Kartini telah mendobrak kebekuan akses pendidikan. Kemampuannya berbahasa Belanda, memungkinkan beliau bisa mengakses pengetahuan dari
surat kabar, majalah, dan buku-buku berbahasa Belanda. Pengetahuan R.A. Kartini tentang dunia luar dibandingkan dengan kenyataan yang dialaminya, terutama mengenai nasib kaum wanita, segera disadari ada kesenjangan yang demikian menganga. Segala keluhan, ide, dan gagasannya disampaikan melalui kegiatan korespondensi pribadi dengan Rosa Abendanon dan kenalan Belanda lainnya. Tujuh tahun setelah R.A. Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A. Kartini pada teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Buku kumpulan surat Kartini ini baru diterbitkan tahun 1911. Sebelas tahun kemudian, yakni pada tahun 1922, Balai Pustaka menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Melayu dan menerbitkannya; judulnya menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Suratsurat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit. Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, an Indonesian Feminist 19001904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. I a tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon, Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer (Muhsin, 2010). Buku-buku dan model pendidikan yang beragam tersebut menjadi ‘pelecut’ dan menggugah banyak pihak untuk melakukan progresifitas akan pendidikan, baik secara formal atau non formal yang muaranya tentunya menjadikan anak didik menjadi ‘melek’ pendidikan, berdaya guna, kritis, dan memiliki karakter yang positif. (Mochamad Widjanarko, Staf Pengajar Fakultas Psikologi di Universitas Muria Kudus).
Susunan Redaksi Info Muria Penanggung Jawab: Rektor UMK, Pengarah: Wakil Rektor I, Wakil Rektor II, Wakil Rektor III, Wakil Rektor IV Pimpinan Redaksi: Zamhuri, Redaktur Pelaksana: M Widjanarko, Sekretaris Redaksi: Noor Athiyah, Staf Redaksi: Much Harun, Milla, Anggi, Faisal, Nabila, Atik, Anik, Sofi, Desi. Diterbitkan oleh Humas Universitas Muria Kudus. Alamat: Gondangmanis PO. Box 53 Bae Kudus 59352 (0291) 438229. Redaksi menerima artikel, foto dan tulisan lainnya dilampiri kartu identitas melalui email:
[email protected]. atau
[email protected]. Epaper Info Muria bisa diunduh di www.infomuria.umk.ac.id
Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013
Fokus
Kudus Siapkan Tiga Program Andalan
P
otret generasi emas di Kabupaten Kudus menurut Sudjatmiko, selaku Kepala Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Kabupaten Kudus sangat melimpah. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan penduduk yang menunjukkan prosentase kenaikan. Pertumbuhan penduduk inilah yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten sehingga terwujudlah generasi emas yang dicita-citakan. Menurut Sudjatmiko, generasi emas bisa menjadi ancaman jika salah dalam pengelolaan. Menurutnya, melimpahnya SDM harus dipersiapkan secara matang dan baik sehingga memiliki daya dorong untuk maju. Selain itu, peluang generasi emas juga berpotensi mewarnai peradaban dunia dengan kekayaan kultur daerah dan nasional. Karenanya, jika tidak dikelola dengan baik justru akan menimbulkan persoalan. “Misalnya kebutuhan pendidikan diabaikan,” jelas Sujatmiko. Masih menurut Sujatmiko, Kabupaten Kudus sendiri telah mempersiapkan generasi emas sejak empat tahun terakhir. Diantaranya melalui beberapa gagasan seperti “Kudus Menuju Dunia”, penguatan budaya lokal dan nasional, serta penanaman karakter peserta didik. “Kudus Menuju Dunia” adalah program baru di Kabupaten Kudus. Belakangan sudah menampakkan hasilnya. Sebagai bukti, jelas Sujatmiko, beberapa siswa dari beberapa sekolah negeri maupun swasta berhasil menjuarai kejuaraan internasional dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). “Program ini akan kita lanjutkan dengan cara menyediakan kelas unggulan yang mewadahi bakat-bakat anak yang mampu mengikuti kejuaraan atau olimpiade internasional. Dengan demikian, proses ‘penggodokan’ jadi lebih intensif,” tambah Sujatmiko. Sujatmiko memaparkan adanya peningkatan mutu pembelajaran yang telah menjadi prioritas dalam proses pembelajaran bagi pelajar SMA dan SMK. “Dinas Dikpora Kudus memfokuskan agar lulusan SMK dapat terserap di dunia kerja. Sehingga beberapa SMK bekerjasama dengan sertifikasi internasional dalam beberapa hal. Misalnya, SMK 1 Kudus bekerja sama dengan Prancis dalam hal tata busana, dan SMK Muhammadiyah bekerja sama dengan Amerika dalam hal komputer. Selain itu, beberapa guru pun mendapat pelatihan-pelatihan yang dibiayai oleh dinas untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya. Guru-guru yang mengikuti pelatihan dapat menularkan ilmu pada guru lainnya,” jelas Sujatmiko. Lebih jauh Sujatmiko menjelaskan, program lain adanya penguatan budaya lokal dan nasional agar dikenal dan tetap
Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013
eksis di level nasional maupun internasional. Hal ini bisa diraih dengan memadukan iptek dan budaya. Menurut Sudjatmiko hal ini bisa menjadi ciri unik yang mudah dikenali dan menarik. Sehingga, berpotensi untuk lebih memperkaya khasanah kepada peserta didik dan memperkenalkannya kepada dunia luar. Meski diakui oleh Sudjatmiko, budaya Jawa Tengah dikalangan generasi muda mulai menurun. Sebagai contoh, ia menyebutkan tidak banyak generasi muda yang paham bahasa jawa baik dalam bahasa praktis (lisan) maupun tulis (aksara jawa). Sebagai upaya pelestarian, Gubernur Jawa Tengah telah menelurkan peraturan tentang mata pelajaran bahasa Jawa. Selain itu, di Kudus juga tengah disiapkan Javanesse Day. Yakni program penggunaan bahasa jawa secara total di sekolah pada hari tertentu. “Program ini diharapkan dapat membantu proses pembentukan generasi emas,” ujar Sujatmiko. Program yang terakhir yakni penguatan karakter peserta didik. Menurut Sujatmiko, karakter dapat menunjang pembentukan generasi emas. Untuk itu, Sujatmiko menekankan perlunya menyamakan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, keluarga, dan disekolah. “Sebagai contoh, dalam hal etika makan, antara norma yang berlaku di sekolah harus sama dengan yang di rumah. Di sekolah diajarkan A, tapi di rumah berbeda. Ini membuat yang diajarkan di sekolah menjadi tidak berarti,” tegas Sujatmiko. Diakui oleh Sudjatimiko, pelaksanaan ketiga program tersebut menemui kendala. Misalnya, keinginan untuk selalu belajar dan up date informasi para peserta didik masih kurang. Selain itu, membangun iklim mutu masih dijumpai hambatan. Hambatan lain yang dirasa oleh Sudjatmiko ialah kurangnya kesadaran bersama bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan. “Kesadaran antara pemerintah sebagai pelaksana pendidikan, praktisi pendidikan, dan masyarakat pengguna jasa pendidikan sangat diperlukan untuk menciptakan iklim yang baik,” tegas Sujatmiko. Sudjatmiko berharap, di Kudus akan terbangun suatu kondisi adanya layanan pendidikan yang bagus didukung oleh tenaga pendidik yang kompeten. “Kami pun mengapresiasi UMK yang telah turut membantu dalam menyediakan jasa pendidik yang baik melalui FKIP,” terang Sujatmiko. Disamping itu, Sujatmiko berharap kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan. “Banyak yang masih belum menyadari betapa pendidikan itu dapat berpengaruh besar dalam kehidupan. Semoga di Kudus juga dapat mencapai generasi emas,” harapnya menutup pembicaraan. (IpudNabila/Portal)
Pakar
Generasi Emas dan Daya Saing Bangsa Oleh Ahdi Riyono *
I
stilah generasi emas menjadi ramai dibicarakan banyak tokoh dan pengamat pendidikan setelah Mendikbud, M.Nuh, dalam pidato peringatakan Hardiknas 2012 lalu. Sejak tahun 2010 sampai 2035 Indonesia mendapatkan bonus demografi, yakni populasi usia produktif paling besar sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Diperkirakan pada saat HUT Emas 2045 penduduk Indonesia akan mendekati setengah milyar, dan sekitar 100 juta tergolong dalam usia produktif. Saat ini, mereka masih atau sedang duduk di PAUD, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar, dan bahkan yang akan lahir lima tahun mendatang. Lalu pertanyaannnya bagaimana kita dapat menyiapkan generasi tersebut siap menghadapi persaingan global?
mengurangi pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Ketiga, IT dan kolaborasi. Pemerintah perlu mendorong agar proses belajar di lembaga pendidikan formal dan informal menggunakan perangkat IT dan dilakukan secara berkelompok agar peserta didik dapat mengakses bahan-bahan belajar secara madiri dan dapat mengkonstruksikan pemahamannnya sesuai dengan konteks sosial yang berkembang. Patut disayangkan saat ini masih banyak guru yang “gagap teknologi” (gaptek) teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena itu, pemerintah seyogyanya membangun investasi dalam bidang TIK di seluruh Indonesia dengan menyediakan tenaga listrik dan jaringan sampai ke pelosok-pelosok desa. Dan kempat adalah kreativitas. Kreativitas merupakan dasar lahirnya sikap entrepreneur yang sangat dibutuhkan oleh negara maju. Berkaca dari Negara Finlandia yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia menekankan pada personalize learning and creative teaching as important component of schooling.
Menurut Tilaar (2013) ada empat strategi yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan strategi proses pembelajaran dalam mempersiapkan bonus demografi 2045. Pertama, pengembangan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme di sini dimaknai sebagai pemertanahan identitas bangsa sebagai bangsa yang berkebudayaan. Dalam buku Creative People Must Be Stopped, David A. Pendidikan adalah aspek kebudayaan yang menjadi motor Owens (2012) mengatakan upaya-upaya kreativitas dalam penggerak maju mundurnya suatu kebudayaan. Seperti masyarakat tidak mudah dilakukan karena berbagai hambatan. apa yang dikemukakan oleh Akio Morita salah satu Hambatan-hambatan tersebut muncul dari individu, peletak dasar perusahaan Sony, masyarakat, organisasi, industri, teknologi, dia mengatakan perubahan global Skills abad ke-21. Masyarakat masa dan kelompok. Lihat saja kasus mobil SMK, dimulai dari kemampuan lokal. Kita depan ditandai dengan masyarakat saat ini nasibnya tidak jelas karena banyak dapat memiliki ide-ide global yang yang berilmu pengetahuan pihak yang menghambatnya termasuk mendunia namun setiap perubahan (Knowledge-based society). aturan birokrasi. Begitu juga kebijakan UN, dimulai dari lokalitas. Ini juga berarti telah membius semua masyarakat seolah mempersipakan bonus demografi manusia yang pintar dan sukses adalah yang harus dimulai dengan perubahan mendapat nilai UN yang tinggi, tidak perduli pendidikan pada tingkat lokal. cara-cara yang dilakukan justru merusak moral dan kreativitas Dengan strategi ini pendidikan harus mampu memecahkan sang anak sendiri. masalah-masalah lokal seperti kemiskinan, dan bagaimana Mari belajar dari sistem pendidikan Finlandia yang cara memanfaatkan potensi-potensi lokal untuk kemajuan masyarakatnya. Sehingga globalisasi dimulai dari glokalisasi, membuat kebijakan-kebijakan transformasi pendidikan guru dengan mengubah program pendidikan guru secara radikal, think globally, act locally. merubah kurikulum berlawanan dengan kurikulum yang Kedua, Skills abad ke-21. Masyarakat masa depan ditandai menekankan pada fakta dan ujian yang hanya menambah dengan masyarakat yang berilmu pengetahuan (Knowledgebeban siswa. Pada tingkat sekolah menengah ditekankan based society). pengembangan karya dan teknis, menekankan belajar secara Salah satu ketrampilan yang dibutuhkan adalah bebas. Siswa diberi kebebasan memilih program studinya, penguasaan teknologi informasi dan komunikasi dalam dan menerapkan inovasi-inovasi dalam mengajar pada semua berbagai segi kehidupan manusia. Dewasa ini sebagian tenaga tingkat pendidikan. kerja Indonesia hanya memiliki ketrampilan sederhana yang * Ahdi Riyono, Staf Pengajar di FKIP Universitas Muria pasti tidak akan laku di masa depan. Selain itu lingua franca Kudus dunia masa depan, yaitu bahasa Inggris perlu dikuasai tanpa Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013
Fokus
HARKITNAS DI MATA MAHASISWA Soetamto, anggota BEM FP UMK Hari kebangkitan nasional yang jatuh pada 20 Mei harus dimaknai sebagai moment to keep moving forward. Negara Indonesia kita, sudah lama terpuruk terutama dalam hal etikanya yang tidak sesuai dengan Pancasila. Sebagai contoh, etika perilaku wakil kita di pemerintahan yang tidak pantas seperti perilaku korupsi. Sebagai bagian dari generasi muda, mahasiswa memang harus terus belajar untuk memberikan kontribusi nyata kepada Negara. Sebab, SDM yang kompeten dan beretika khas Indonesia (Pancasila) akan sangat diperlukan untuk membenahi dan menjaga semangat keep moving forward. Lebih dari itu, mahasiswa yang aktif di organisasi pun dapat mengadakan kegiatan yang berguna di masyarakat. Itu salah satu cara untuk berkontribusi semangat kebangkitan nasional. Hening Apzelon Hadi Pradita, mahasiswi semester IV PBI Hari kebangkitan nasional bisa dimulai dari pembenahan sistem pendidikan nasional yang konsisten. Kalaupun ada perubahan kurikulum, sosialisasinya harus dipastikan sudah merata ke seluruh pelosok nusantara. Utamanya guru harus mengerti karena beliau yang harus menyampaikan ilmu secara langsung kepada peserta didik. Mahasiswa pun dapat membantu pergerakan Harkitnas. Misalnya dengan turut mengajar masyarakat khususnya di daerah perdesaan atau pelosok yang kurang menerima akses pendidikan scara luas. Dengan pendidikan yang maju dan merata, kebangkitan nasional bisa diraih.
Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013
Dwi Fauziyah, peserta Heritage Camp 2013, mahasiswa FH UMK Semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme harus tetap dijaga dan ditingkatkan untuk meraih kebangkitan nasional. Kebangkitan nasional yang tiap tahun diperingati, masih belum diimbangi dengan perilaku yang positif untuk meningkatkan kemajuan bangsa. Perilaku KKN misalnya. Peran mahasiswa sebagai agent of change sudah saatnya ditunjukkan. Mahasiswa dituntut untuk dapat berkontribusi melalui ide kreatifnya untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Salah satunya, dengan rajin mengikuti diskusi ataupun camp, training yang dapat memunculkan solusi dari berbagai permasalahan bangsa. Moh. Agus Prasetiyo, Presiden BEM FH 2012/2013 Harkitnas yang ke-105 jangan dipandang hanya sebagai seremonial saja. Akan tetapi harus dipandang sebagai moment kebangkitan bangsa yang berdasarkan nilai-nilai sejarah, amanat founding father. Terlebih di zaman globalisasi ini persatuan dan kesatuan bangsa diperlukan untuk membentengi diri dari pengaruh budaya dari luar. Kita sebagai pemuda juga harus memperkaya diri dengan banyak ilmu. Ini bukan tugas berat, tetapi untuk motivasi diri agar semakin maju. Sebagai anak bangsa, pegang selalu komitmen dan semangat kebangkitan nasional untuk mewujudkan citacita bangsa. (Nabila-Info Muria)
Fokus
Generasi yang Putus Sekolah bisa menerima keadaan yang tidak ia inginkan karena tidak bisa berbuat apa-apa. “Harus bagaimana lagi, orang tua tidak memperbolehkan,” ucapnya. Muna panggilan akrabnya, merupakan anak ke-2 dari empat bersaudara, ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan di Jakarta, dan ibunya sebagai ibu rumah tangga yang bekerja sebagai buruh potong-potong kain Industri rumahan milik tetangganya. Jika dilihat dari riwayat sebelumnya kakak Muna juga tidak menamatkan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), padahal ketika itu sudah kelas dua SMA, keluar dengan alasan orang tua tidak sanggup membiayai sekolahnya. Hal yang sama juga ikut dirasakan Muna yang tidak mendapatkan ijin untuk melanjutkan ke tingkat selanjutnya dengan alasan yang sama, hingga ijazah tingkat SMP tidak ia ambil karena merasa kecewa dengan hal yang menimpa Salah seorang siswa sedang melintas pulang sekolah (Dok. Istimewa) dirinya. Terkadang ia merasa iri dengan teman-temannya ermasalahan pendidikan masih menggayungi bumi yang dapat melanjutkan ke jenjang selanjutnya, mereka pertiwi. Pemandangan kumuh di setiap lampu merah dapat membahagiakan orang tua dengan mencapai prestasi seakan telah terbiasa dilihat oleh setiap orang. Anak-anak kecil dan mendapatkan pekerjaan yang layak dibandingkan dirinya mengadu nasib di tengah kerasnya hidup dengan membawa kini hanya sebagai tenaga potong-potong kain yang harus gitar kecil dan tutup botol membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan minuman. Senyuman Khoirul Muna hanyalah secuil kisah hidup sehari-hari dan menyekolahkan dua kadangkala terlukis lebar di generasi bangsa yang putus sekolah. Masih adiknya yang masih duduk di bangku sekolah bibir mungilnya saat mendapat banyak anak-anak di luar sana terpaksa kelas 2 SMP dan kelas 5 SD. uang receh. Bahkan dua ribu berhenti menikmati dunia pendidikan Meskipun demikian, ia masih bersyukur rupiah pun disambutnya dan karena terkendala biaya. Gratisnya dapat menamatkan sekolah setingkat SMP. berlari riang ke tepi jalan. biaya sekolah hanya mampu sampai SPP Ribuan bahkan jutaan anak (Sumbangan Pengembangan Pendidikan) “Yang di luar sana masih banyak yang tidak usia sekolah mengalami putus serta buku wajib dari pemerintah. Namun sekolah setingkat SD, bahkan ada yang belum sekolah di negeri ini. Negeri bagaimana dengan biaya penunjang seperti pernah mencicipi dunia sekolah sekalipun” yang katanya makmur. Negeri katanya dengan mantap, dengan berharap. seragam, biaya ketika siswa melakukan yang katanya kaya raya. Masih praktikum, serta berbagai biaya yang harus “Yang penting adik-adik saya nanti bisa menyimpan kepiluan di hati ditanggung ketika sekolah. melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih pemuda – pemudi bangsa. tinggi, tidak seperti saya,” imbuhnya. Permasalahan belum berhenti di sana. Tingginya biaya Khoirul Muna hanyalah secuil kisah generasi bangsa yang sekolah, meskipun telah digadang-gadang pemerintah putus sekolah. Masih banyak anak-anak di luar sana terpaksa dengan sekolah gratis, mengubah pola pikir orang tua untuk berhenti menikmati dunia pendidikan karena terkendala tidak menyekolahkan anaknya. Sehingga muncul sebuah biaya. Gratisnya biaya sekolah hanya mampu sampai SPP rumor di masyarakat, “Buat apa sekolah tinggi? Toh mencari (Sumbangan Pengembangan Pendidikan) serta buku wajib pekerjaan juga sulit!”. Maka, jika mereka memiliki anak dari pemerintah. Namun bagaimana dengan biaya penunjang perempuan, dinasihatilah untuk menikah. Sedangkan jika seperti seragam, biaya ketika siswa melakukan praktikum, memiliki anak laki-laki, diarahkanlah mereka untuk bekerja. serta berbagai biaya yang harus ditanggung ketika sekolah. Adalah Khoirul Muna remaja putrid asal Desa Undaan Sungguh, rasa-rasanya negeri ini akan menangis sepanjang Kabupaten Kudus yang kini tengah berumur 18 tahun, menyatakan bahwa dirinya masih menyimpan keinginan masa melihat anak-anak bangsa berhenti dari sekolah. untuk bersekolah, namun apa daya orang tua tidak Berhenti dari riangnya dunia belajar. Dan mereka pun harus memperbolehkannya hanya karena alasan takut tidak bisa berakting menjadi orang dewasa. Sungguh ironi. (Shofi-Dian/ membiayai. Dengan berat hati dan penuh kecewa ia hanya Info Muria).
P
Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013
Kampus Refleki Perjalanan UMK : Revitalisasi Etos “Gusjigang”
S
uasana mengharukan nampak terasa di wajah Drs. H. Edi Sarjono, salah satu anggota perintis pendirian Universitas Muria Kudus (UMK). Hal sama juga dirasakan juga oleh HD Soenarjo, anggota perintis yang juga pernah menjabat sebagai Rektor UMK di periode awal pendirian. Pagi itu, tengah di helat acara Talk Show “Kilas Balik Perjalanan UMK 33 Tahun dalam Mewujudkan Kampus yang Berakhlakul Karimah dan Membangun Generasi Muda Indonesia yang Cerdas dan Santun, 6 Juli lalu. Keduanya menjadi rasa sumber dalam perspektif historis sebagai pelaku sejarah pendirian UMK. Di samping itu tampil Drs. Abdul Hamid, MPd, pemerhati pendidikan dan Wakil Rektor IV UMK, Dr. Ahmad Hilal Majdi. Menurut Edi Sarjono, UMK berdiri secara resmi mulai Juni 1980. “Namun embrio UMK sudah berdiri sejak 1960 dengan nama Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)” ujar Drs. H. Edi Sarjono. Menurut penutuan Edi Sarjono embrio pendirian UMK mulai menampakkan hasil pada tahun 1963. “Usaha yang dilakukan untuk mendirikan UMK mulai menuai hasil,” tambah Edi. Prinsip Gusjigang Pada saat proses pembahasan, masih menurut Edi, pendirian Sekolah Tinggi lmu Ekonomi (STIE)-- sebagai cikal bakal UMK, berpatokan kepada filosofi masyarakat Kudus
M
Spirit “Gusjigang” pada saat pembahasan dalam merintis pendirian perguruan tinggi di Kudus ini tampaknya sampai sekarang masih menjadi pegangan UMK. Hal ini ditegaskan oleh Hilal Madjdi bahwa program-program yang dikembangkan oleh UMK tidak terlapas spirit “Gusjigang” sebagai local wisdom sebagai penciri UMK. Menurut Wakil Rektor IV ini, etos “Gusjigang” akan diaplikasikan dengan pembentukan lembaga yang menangani UMKM yang terintegerasi dengan seluruh Program Studi di seluruh Fakultas di UMK. Dalam spirit “Gusjigang”, tambah Hilal, peserta didik tidak diajarkan hard skill saja (Ngaji) tapi juga diajarkan softskill (Bagus akhlaknya) serta aplikasi berupa perdagangan (Dagang). Abdul Hamid yang juga menjadi narasumber dalam talkshow tersebut menegaskan bahwa pendidikan tidak akan sempurna apabila hanya diajarkan hardskill saja. “Hardskill itu hanya yang tampak, sementara softskill itu yang di dalam (tidak tampak),” tegasnya. Hamid juga menyarankan agar mahasiswa tidak hanya menunggu ilmu dari dosen tapi juga harus bisa belajar dari luar. (Harun-Info Muria)
Muria Art Fest Unjuk Beragam Kesenian
uria Art Fest kembali digelar di Auditorium Universitas Muria Kudus (UMK) pada Rabu (22/5) lalu. Perjalanan Seni Kampus (Sekam) yang ke-13 tersebut dihadiri oleh Wakil Rektor (Warek) III UMK, Hendy Hendro HS, dua anggota kelompok musik Ki Sanak, seniman Kudus, dan mahasiswa serta perwakilan organisasi mahasiswa (ormawa) UMK. Acara dimulai dengan sambutan Kepala Suku Sekam, Novia Milza Rosiana dan Warek III, berlanjut dengan pemotongan tumpeng bersama. Dalam sambutannya, Hendy berpesan agar kesenian kampus semakin solid. Selain itu, Sekam juga diharapkan mempersiapkan secara matang Pekan Kreativitas Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) di Kalimantan 2014 mendatang. “Sudah saatnya kesenian-kesenian di UMK berbenah dan menyiapkan diri,” terangnya. Acara berlanjut dengan pementasan tari gambyong dan sripaganti. Tarian tradisional tersebut dipentaskan secara gemulai oleh dua penari anggota Sekam divisi tari, Elsy Fitayana Putri dan Rifa Fika Dianti. Kemudian, musik congska (keroncong dan ska) disuguhkan secara apik. Beberapa lagu
yaitu “Gusjigang” (Bagus berperilaku, pintar mengaji, dan terampil berdagang). “Agar orang Kudus yang kebanyakan bisa ngaji (belajar) ilmu di perguruan tinggi di kudus,” tegas Edi.
Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013
ditembangkan untuk menghibur penikmat seni. Sambil menikmati live musik congska, pengunjung dapat melihat lukisan-lukisan asli putra daerah Kudus. 22 lukisan yang dipamerkan tersebut karya Agus Hadiyanto, Saryana, Otong, Hadi Dahlan, Kristianto, dan Mamik S. Mulyono. Ketua panitia Ragil Okto Candra menjelaskan bahwa ulang tahun Sekam ke-13 ini sengaja diperingati dengan berbagai pentas kesenian dan kompetisi. Diantaranya tarian tradisional, dance modern, musikalisasi puisi, lomba nyanyi, dan pentas teater. “Kompetisi ini kami buka untuk umum, disediakan hadiah menarik dan luar biasa,” terangnya. Pemilihan tema Muria Art Fest sendiri menurut Ragil karena pertimbangan Lingkungan Muria yang memiliki bermacammacam tradisi. Selain beragamnya budaya di Muria, lanjut Ragil, divisi Sekam juga terbagi dalam banyak divisi. Yakni kajian budaya, seni rupa, seni musik, seni tari, sastra, dan teater. “Keberagaman tersebut kami wujudkan dalam sebuah festival unik,” imbuh Ragil. (Ulum-Info Muria)
Kampus Dik Doank “Bongkar” Karakter Pendidikan di UMK acceptable untuk semua zaman adalah kurikulum Asmaul Husna. Tanpa perlu diubah tiap pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. “Dengan pedoman nilai Rohman Rohim, antara pendidik dan anak didik tidak ada jarak lagi, saling mengasihi dan menyayangi,” jelas narasumber yang minta dipanggil om ganteng ini. Kandank Jurank Doank
Dik Doank saat tampil mengisi seminar di UMK. (Dok. Info Muria)
M
Dik doank sendiri saat ini memiliki Sekolah Alam Kandank Jurank Doank. Nama Kandank Jurank Doank memiliki filosofi tersendiri bagi Dik Doank. Kandank bermakna cinta yang membebaskan. Sementara Jurank, pertama kali mendirikan bangunannya, Ia belum mampu membeli tanah yang rata dan hanya mendapatkan lahan miring yang mirip jurang. Sedangkan Doank, sekolah alam tersebut hanya bermodalkan doa. Sebelum mendirikan bangunan di atas lahan miring, aku Dik Doank, kegiatan proses belajar anakanak didiknya bertempat dimana saja. Di pinggir rel kereta api, di taman, di lapangan, dan lahan kosong. “Kami memanfaatkan alam terbuka yang memang gratis,” ujarnya.
araknya tawuran antar pelajar, bagi Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muria Kudus (UMK) memunculkan ide untuk mengadakan kegiatan Seminar Nasional dengan tajuk “Membongkar Karakter Bangsa dengan Menyongsong Kearifan Budaya Lokal” tersenggara Kini, lanjut Dik Doank, selain Kandank Jurank Doank kami pada sabtu (4/5) lalu. juga memiliki tempat belajar yang lain. Sekolah sekarang ini menuntut Kegiatan yang bertempat di auditorium anak didik mengasah otak kiri. Bahkan Seperti Studio Doank, Rumah Holcim, Ruang Multimedia Doank, Aula Doank, UMK tersebut menghadirkan praktisi hal awal yang diajarkan adalah halpendidikan karakter. Baharudin, pencetus hal yang sulit seperti berhitung dan Museum Doank, Kampunk Doank, Sawah sekolah Qorwiyah Thoyyibah dan Dik menulis. “Padahal sekolah pertama Doank, Outbond Doank, dan Gunung Doank, pendiri sekolah alam Kandank di Indonesia itu taman siswa, bukan Doank. Jurank Doank. Untuk mengolah rasa mengenai irama sekolah siswa,” tambahnyapnya. alam, sekolah alam tersebut mengunjungi Saat tampil sebagai narasumber, serta menghadirkan objek yang akan pemilik nama asli Raden Rizki Mulyawan digambar di depan anak didik. Misalnya, menggambar sepeda, Kertanegara Hayang Denada Kusuma (Dik Doank) meminta beberapa peserta untuk menemukan gambar ikan pada kuda, rumah adat, dan anatomi tubuh. Bahkan hal yang paling coretan yang disediakan dengan menambahkan mata dan sirip. ekstrim adalah saat menggambar setan menurut imajinasi Dik Doank berasalan antara kemampuan menggambar dan anak-anak. Dik Doank menghadirkan make up artist untuk menulis lebih dulu menggambar. “Menggambar merupakan mendandani beberapa kru Kandank Jurank Doank. “Media kemampuan dasar daripada menulis, berhitung, maupun konkrit ini perlu untuk mendukung imajinasi anak-anak dalam kemampuan-kemampuan lain,” jelasnya pada peserta seminar menggambar, terutama hal-hal detail,” tuturnya. yang diikuti kurang lebih 593 orang tersebut. Lika-liku kehidupan Dik Doank bersama Kandank Jurank Sekolah sekarang ini menuntut anak didik mengasah otak kiri. Bahkan hal awal yang diajarkan adalah hal-hal yang sulit seperti berhitung dan menulis. “Padahal sekolah pertama di Indonesia itu taman siswa, bukan sekolah siswa,” tambahnya. Masih menurut Dik Doank, kurikulum yang paling
Doank diakhiri dengan motivasi dan semangat kepada seluruh peserta yang memenuhi ruang auditorium. Orang yang berkarakter pasti memiliki jati diri. “Miskin hanya pikirin perut, sederhana hanya memikirkan keluarga, kaya dengan memikirkan orang lain,” teriaknya bersemangat. (Ulum-Info Muria) Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013
Profil
TANTANGAN BERBUAH PRESTASI Kendala riset yang dilakukan Avip, masalah keterbatasan alat ukur dan membagi konsentrasi untuk ujian. Avip sendiri mengaku bahwa selama mengikuti kompetisi-kompetisi tersebut, Avip tidak pernah mengeluarkan biaya. Siswa SMA 2 Kudus yang bercita-cita menjadi dosen ini mengaku sangat senang karena ia mendapat banyak pengalaman dan teman dari berbagai daerah, baik itu di Indonesia atau luar negeri. “Alhamdullilah, biaya ditanggung pihak sekolah dan sponsor. Saya hanya mengeluarkan biaya saat mengikuti ICYS kemarin. Itu pun jumlahnya tidak terlalu besar.”
Avip Noor Yulian saat melakukan uji coba. (Dok. Info Muria)
K
eberuntungan adalah ketika kesempatan bertemu dengan persiapan. Hal inilah yang menjadi prinsip Avip Noor Yulian hingga menghantarkan dirinya menjadi peraih medali perunggu International Conference of Young Scientist (ICYS) 2013 di Bali. ICYS sendiri merupakan suatu ajang kompetisi karya ilmiah yang diikuti oleh 133 siswa dari 23 negara. Avip, begitu ia kerap disapa, merupakan siswa SMA 2 Kudus. Dibalik penampilannya yang sederhana, sederet prestasi tingkat Nasional maupun Internasional telah dikantonginya. Diantaranya medali perak Asia Pasific Future Scientists Conference 2011 di Taiwan, The Champion Go To GEC Japan dalam Asian Enterprise Challengen 2011 di Jakarta, Global Enterprise Challenge 2011 di Jepang, World Physyc Olimpiad 2012 di Mataram, duta sains Indonesia dalam Out Standing Student to The World 2012 di Jepang, medali emas Olimpiade Penemu (Peneliti Belia) bidang Fisika region Jateng dan Jatim 2012 di Semarang yang akhirnya membawa Avip mengikuti seleksi tingkat Nasional di Bandung dan lolos ke ICYS Bali 2013. “Awalnya sudah pesimis bisa dapat medali di ICYS. Soalnya banyak karya dari negara lain yang bagus-bagus. Tapi Alhamdullilah, ternyata bisa dapat medali perak,” ujar Avip sembari tersenyum. Avip mendapatkan medali perak dalam kategori Applied Physics dengan judul “Ocean Waves Energy To Generate Electrical Power In An Island With Steep Cliff Coast”. Ide awalnya sendiri karena Avip dan rekannya, Okki Mihano, ditantang sang guru, Purbo, untuk memanfaatkan energi listrik dari laut. “Dari situ akhirnya muncul ide untuk membuat generator dengan memanfaatkan gelombang laut. Gelombang laut itu nanti yang akan mendorong generator yang kita pasang di tebing pantai. Nantinya listrik yang dihasilkan dapat dipakai oleh para nelayan di sekitar pantai tersebut,” tutur siswa kelas XII, yang saat ini telah melanjutkan ke jenjang perkuliahan.
10 Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013
Bakat dan minat untuk meneliti Avip sendiri sudah dimulai sejak SMP. Saat itu Avip pernah membuat penelitian tentang suku Samin di Kudus. Saat SMA, barulah Avip mendapat wadah untuk mengembangkan minatnya. Bergabung dengan ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja dan masuk ke dalam kelas unggulan yang merupakan bentuk kerjasama SMA 2 Kudus dan Surya Institut, Avip mulai mendapat kesempatan untuk mengikuti berbagai kompetisi di tingkat nasional maupun internasional. Selain di bidang fisika, Avip juga pernah membuat penelitian tentang pengolahan ampas tahu menjadi energi alternatif (biogas dan ethanol), saat itu, sang peneliti belia tersebut berhasil meraih medali perak dalam Asia Future Scientists Conference 2011 di Taiwan. Salah satu penelitian Avip yang lain adalah tentang pembuatan trotoar untuk difabel dan lansia dalam Asian Enterprise Challenge 2011 di Jakarta berhasil menghantarkan Avip untuk mewakili Indonesia ke Global Enterprise Challenge di Jepang. Selain Avip, masih banyak siswa SMA 2 Kudus yang berhasil menyabet penghargaan bergengsi di tingkat nasional maupun Internasional. Dian Hayuningtyas yang berhasil memperoleh medali perak dalam World Mathematic Championship (WMTC) 2012 di Shanghai China serta mewakili Indonesia untuk berpartisipasi dalam Homestay Science Fair 2012 Australia dan Japan Super Science Fair 2012, Huwaida Najla Alaudina yang memperoleh medali perunggu dalam AFSC 2011 Taiwan, Sastia Ardianingtyas juara I dalam Olimpiade Peneliti Siswa Indonesia, Novianita Rizki yang berhasil menjadi runner up dalam Asian Science Enterprise Challenge, dll. Selain memperbanyak kerjasama, menurut Kepala Sekolah, SMA 2 Kudus, Zainuri, juga mengembangkan pembelajaran Quantum Learning yang berprinsip bahwa anak itu unik dan tidak ada anak bodoh. Dengan metode tersebut, guru memang dituntut “berpikir liar” untuk menemukan bakat dan minat terpendam siswa dan kemudian mengembangkannya. Sementara untuk membangkitkan motivasi guru maupun siswa, dipasang banner prestasi-prestasi yang berhasil diraih SMA 2 Kudus di pintu masuk. (Anggi – Info Muria)
Resensi
Memotret Kekayaan Kawasan Muria Judul : Jelajah Muria : CatatanPerjalanan
hanya menjadi cerita lisan yang akhirnya menjadi hilang begitu saja.
Memahami Muria
Pada awalnya buku ini merupakan hasil tim jelajah di Muria Research Penulis : Mochamad Widjanarko Center (MRC) Indonesia selama rentang Penerbit: Nora Media Enterprise waktu Juni – Agustus 2011, di 11 gunung Cetakan: Pertama, April 2013 dan 5 desa di Kudus, Pati dan Jepara. Dalam Jelajah Muria (JM) tersebut Tebal : v + 80 halaman terbagi dalam dua tim, yaitu tim fisik dan ISBN : 978-602-9070-56-9 tim sosial, yang bertujuan melakukan identifikasi sosial, ekonomi dan budaya endengar kata Muria mungkin yang terbesit pertama masyarakat yang ada di pegunungan Muria, kecuali itu juga dipikiran adalah tempat disemayamkan salah satu menginventerisasi keragaman hayati yang ada di kawasan Walisongo, Raden Umar Said yang terkenal dengan sebutan Muria. Sunan Muria. Namun bukan itu saja, ternyata di Muria banyak Dalam buku ini dijelaskan berbagai kebudayaan masyarakat, menyimpan potensi alam dan kearifan masyarakat yang berbagai macam satwa dan tumbuhan khas Kawasan Gunung berselaras dengan alam sehingga terjaga keseimbangan alam. Muria. Penulis mencoba menghidangkan buku ini dalam Banyak masyarakat dari berbagai kalangan ingin melihat bentuk tulisan populer, sehingga mudah dipahami bagi semua Gunung Muria hanya sekedar menikmati keindahan alamnya. kalangan yang ingin membacanya. Tidak hanya sekedar mendokumentasikan perjalanan Bagi anda yang berminat membacanya atau digunakan di kawasan Gunung Muria, penulis juga berbagi info lewat buku “Jelajah Muria: Catatan Perjalanan Memahami Muria”. sebagai referensi, silahkan kunjungi perpustakaan Universitas Sebagai bentuk mengisi kekosongan dokumen atau data- Muria Kudus (UMK) atau langsung ke sekertariat Muria data mengenai banyak hal tentang Muria yang selama ini Research Center (MRC) Indonesia (Anik – Info Muria).
M
Perpustakaan UMK Semakin Handal “Everything you need for better future and success has already been written. And guess what? All you have to do is go to the library” (Henri Frederic Amiel). Perpustakaan UMK juga terus menambah koleksi buku-buku terbaru. Di awal 2013 pengadaan buku-buku pendidikan terbitan Oxford University Press, buku-buku teks Perguruan Tinggi terbitan Harvard, McGraw-Hill bertema bisnis, manajemen dan akuntansi dan lain sebagainya. Sampai dengan Mei 2013, Lebih dari 1.500 karya tulis ilmiah sivitas UMK sudah bisa diakses melalui eprints.umk.ac.id. Skripsi, tesis, laporan penelitian, laporan pengabdian masyarakat, buku, artikel dalam prosiding, bisa didapatkan. Begitu juga jurnal terbitan unit-unit di UMK, bisa diakses di jurnal.umk.ac.id. Pada koleksi cetak, Perpustakaan UMK menyajikan untuk mahasiswa Progdi PBI dan PGSD, sejumlah 143 judul (715 eksemplar) buku baru tentang Pendidikan Bahasa Inggris, dengan subjek terbanyak mengenai pengajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak (english for young learners) terbitan Oxford University Press telah tersedia per April 2013. Subjek ini juga dilengkapi dengan alat peraga; poster, flash cards,
permainan papan dan beragam buku cerita berbahasa Inggris untuk anak-anak. Meski demikian, beberapa subjek sosial dan pendidikan pun melengkapi. Tercatat 78 judul buku baru yang termasuk kategori ini. Untuk mahasiswa teknik, terutama sistem informasi dan teknik informatika, buku-buku baru terbitan Penerbit Andi, yang dipercaya sebagai penerbit buku teknologi informasi terkemuka, memperkaya perpustakaan UMK di 2013 ini. Sebut saja buku-buku mengenai teknologi jaringan, komputasi dasar, software, aplikasi, game, sampai dengan cara praktis memanfaatkan teknologi di bahas pada buku-buku teresbut. Terbaru adalah koleksi buku impor untuk sivitas dari Bimbmbingan dan konseling. Buku-buku yang baru datang (pada Juni 2013) tersebut sedang mengantri untuk diolah. Jumlahnya pun tak kurang dari 200 eksemplar. Penelusuran lokasi koleksi tersebut bisa dilakukan secara online melalui www.digilib.umk.ac.id. Untuk informasi koleksi, kegiatan, peraturan terbaru, argumentasi, kritik dan saran ikuti perpustakaan di twitter @PerpustakaanUMK dan gabung di facebook Perpustakaan UMK. (Ath-Info Muria) Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013 11
Kudusan
Pendidikan Berbasis Gender
P
endidikan merupakan hak asasi setiap manusia. Begitu pentingnya sebuah pendidikan, agama pun mengatur bahwa setiap orang, laki-laki maupun perempuan wajib mencari ilmu. Beberapa ahli seperti Frederick J. Mc Donald menyatakan bahwa pendidikan diarahkan untuk merubah tabiat atau kebiasaan. Perubahan kebiasaan tersebut terjadi ketika proses belajar berlangsung. Orang berpendidikan juga mendapat tempat layak di masyarakat. Meski dahulu pendidikan di Indonesia sering didominasi oleh kaum laki-laki. Namun berkat perjuangan R.A. Kartini berhasil memperjuangkan hak kaum perempuan mengenyam pendidikan. Mesiku begitu, sampai saat ini ada beberapa sekolah di Kudus yang hanya menerima satu jenis kelamin saja siswa yang masuk. Sekolah tersebut umumnya berlandaskan Islam. Diantara sekolah khusus perempuan adalah MA NU Banat dan SMP NU Nawa Kartika. Kedua sekolah tersebut masih berada di satu lembaga, yaitu lembaga pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (Ma’arif NU). Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi berdirinya sekolah khusus perempuan tersebut. Pendirian sekolah tersebut, menurut Drs. Moh. Said, Kepala MA NU Banat merupakan inisiatif dari para pendirinya yaitu para kiai untuk mengangkat derajat, harkat dan martabat kaum hawa agar sejajar dengan kaum laki-laki. Pendirian Banat sendiri dimulai dari tingkat RA (Raudhatul Athfal) setingkat Taman KanakKanak (TK) pada tahun 1940. Dua belas tahun setelahnya, yakni pada tahun 1952 mulailah didirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Di tahun-tahun berikutnya, tak berselang lama pada tahun 1957 dan 1972 didirikan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah NU Banat Kudus. Hal ini menunjukkan kepercayaan masyarakat menyekolahkan putrinya di sekolah berbasis gender dan Islami tersebut. Banat mengutamakan kemampuan di bidang IMTAQ (Iman dan Taqwa) – IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan menjadi salah satu sekolah swasta dengan kualitas baik di Kudus. Hal ini dibuktikan adanya Best Quality Class (Kelas Unggulan) untuk masing-masing level (kelas X – XII). Jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dengan bahasa pengantar bahasa Arab dan Inggris. Untuk menjembatani kemahiran siswa berbahasa asing sekolah mewajibkan ekstrakulikuler berupa conversation (percakapan) bagi kelas 10 (Bahasa Arab) dan kelas 11 (Bahasa Inggris). Sementara asal siswa dengan prosentase 50% Kudus, 15% Jepara, 10% Pati, 10% Demak, dan 15% luar kota. Drs. Moh. Said menuturkan bahwa dengan homogenitas siswa ada beberapa dampak positif dan negatif. Dampak
12
positifnya sekolah lebih mudah dalam pengawasan dan meminimalisir permasalahan yang ada. Lain halnya dengan sekolah dengan hetergonitas jenis kelamin siswa. Dampak negatifnya, potensi dan bakat siswa cenderung lebih sedikit. Tidak selamanya seorang perempuan mampu mengikuti ajang olahraga berat seperti halnya kaum laki-laki. Meskipun begitu, Banat jarang absen dari berbagai kompetisi olahraga setingkat kabupaten hingga Nasional. Banat dinaungi oleh BPPMNU (Badan Pelaksana Pendidikan Ma’arif NU) Banat, LP (Lembaga Pendidikan) Ma’arif NU dan Kemenag sehingga memakai kurikulum dari Kementrian Agama (Kemenag) kecuali pada beberapa pelajaran takhashshush (khusus/spesialisasi seperti fiqih, hadits, dan pelajaran agama lainnya). Sedangkan pengangkatan guru selama 10 tahun terakhir diadakan penataan sesuai bidangnya masing-masing. Untuk mata pelajaran umum diambil dari lulusan S1 dan untuk mata pelajaran agama diambil dari lulusan pondok pesantren. Banat terkenal memiliki ciri khas tersendiri di masyarakat,, di antaranya ialah homogenitas, kedisiplinan, karakter/budi pekerti, dan muatan lokal. Hal ini karena Banat mengacu pada 5 pilar menuju madrasah bermutu: penanaman karakter, penguatan kurikulum, pengembangan bahasa asing dan IT (teknologi informasi, pemenuhan target UN (ujian nasional), dan pemenuhan sarana belajar. Selain itu, proses pendidikan di sekolah tidak memperlakukan anak seperti mekanik dan lebih mengutamakan budi pekerti. Sehingga lulusan sekolah ini memiliki sikap santun. Sama halnya dengan Banat, sekolah serupa juga didirikan yakni SMP NU Nawa Kartika. Menurut penuturan M. Misbahus Surur, S.HI selaku kepala sekolah, pendirian sekolah khusus perempuan didasarkan pada nasehat para pendiri yang sebagian besar terdiri dari golongan ulama dan kyai untuk menerima siswa perempuan saja. Meski sempat muncul usulan untuk menerima siswa laki-laki, namun usulan tersebut tidak diterima karena melihat banyak kasus pergaulan yang terjadi di masyarakat. Homogenitas siswa tidak lantas menyurutkan semangat para guru. Disadari oleh kepala sekolah, meskipun sudah ada sekolah khusus perempuan seperti Banat dan Muallimat, SMP NU Nawa Kartika ini terus berkembang. Sehingga sekarang ini telah ada 4 ruang bagi kelas VII. Sekolah dengan visi meningkatkan prestasi dan santun budi pekerti ini mengikuti dua aturan kurikulum yaitu kurikulum umum (dari Pemerintah) dan kurikulum agama yang dikelola sendiri (melanjutkan kurikulum SD Nawa Kartika). Adanya dua kurikulum ini diharapan kan sekolah mampu mencetak siswa unggul namun memiliki bekal ilmu agama yang akan berguna bagi kehidupannya kelak. (Dian/Sofi-Info Muria)
Info Muria / Edisi XIV/ Mei - Juli 2013