KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH
I. Pendahuluan. Misi yang diemban dalam rangka reformasi hukum adalah terciptanya hukum yang tertib dan berkeadilan, hukum yang senantiasa tetap mampu mendorong pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam kerangka reformasi hukum adalah tegaknya supremasi hukum dalam masyarakat. Dengan tegaknya supremasi hukum maka hukum akan benar-benar berfungsi sebagai rambu-rambu dan sekaligus pedoman bagi semua pihak, baik penyelenggara negara maupun pemerintahan, penegak hukum,
pelaku usaha serta masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam menanggulangi korupsi diperlukan seorang Hakim yang tegas dalam memutus suatu perkara sehingga menimbulkan efek jera. Sejarah dibentuknya KPK merupakan reformasi terhadap lembaga pemerintah yang menangani perkara tidak pidana korupsi yang belum berfungsi secara efektif dan efisien. 1 Sejalan dengan tujuan pembentukan KPK untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna2, maka KPK berfungsi sebagai lembaga penggerak dan pemberdaya instansi yang sudah ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (trigger mechanism).3 Selama 3 (tiga) periode kepengurusan KPK, pada periode 2 dan 3, KPK lebih fokus melakukan tindakan represif daripada melakukan fungsi penggerak dan pemberdaya. Akibatnya, KPK relatif menjadi pesaing dari penegak hukum lainnya, sehingga menimbulkan
terjadinya perseteruan
antara KPK dan Polri. Hal ini terjadi karena tidak adanya koordinasi antar instansi penegak hukum. Dalam melaksanakan kewenangannya, saat ini KPK lebih memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
1
Pertimbangan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 4 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 3 Penjelasan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 2
penuntutan, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan penanganan perkara tindak pidana korupsi. Fungsi KPK sebagai trigger mechanism akan mendorong para penegak hukum korupsi lainnya untuk lebih efektif dan lebih efisien dalam melaksanakan tugasnya, dengan mengutamakan fungsi pencegahan.
II. Permasalahan Kondisi di atas menunjukkan bahwa, KPK harus benar-benar melakukan fungsinya sebagai trigger mechanism yaitu, penggerak dan pemberdaya instansi yang telah ada, maka yang menjadi permasalahan adalah ; A. Bagaimana
strategi
merevitalisasi
fungsi
KPK
sebagai
lembaga
penggerak dan pemberdaya instansi lain dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. B. Putusan Bebas terhadap para terdakwa dalam kasus korupsi C. Apakah pemberlakuan hukuman mati pada seorang yang terbukti bersalah melakukan kejahatan korupsi dapat menimbulkan efek jera? III. Pembahasan A. Strategi Merevitalisasi Fungsi KPK Sebagai Lembaga Penggerak Dan Pemberdaya Instansi Lain Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi
Pemberantasan
meningkatkan
daya
guna
Korupsi dan
dibentuk
hasil
guna
dengan
tujuan
terhadap
upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. 4 Pembentukan KPK dilatar belakangi karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien. Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 memberikan legitimasi sebagai lembaga penggerak dan pemberdaya
fungsi KPK
instansi yang sudah
ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (trigger mechanism). Dalam menjalankan perannya KPK diberikan tugas melakukan koordinasi,
menjalankan
supervisi,
melakukan
penyelidikan,
penyidikan dan penunutan, serta melakukan tindakan pencegahan dan
4
Op., Cit, Pasal 4.
monitoring
penyelenggaraan negara. 5 Dalam hal ini KPK harus
menjadi pendukung bagi lembaga kepolisian dan kejaksaan serta lembaga penegak hukum lainnya dalam membangun sistem yang bersih dan akuntabel. Dalam melaksanakan fungsinya KPK memiliki ruang gerak kewenangan yang lebih leluasa untuk melakukan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara. 6 Untuk mengoptimalkan koordinasi KPK dapat membuat jaringan kerjasama dengan institusi yang telah ada sebagai sebagai “counterpartner”, sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif 7 . Dalam melaksanakan fungsi supervisi KPK memantau tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan oleh Polri dan/atau Kejaksaan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penanganan perkaranya. Undang-undang telah memberikan kewenangan kepada KPK untuk secara berhati-hati menjalankan kewenangannya agar tidak terjadi tumpang tindih dengan instansi lain seperti kejaksaan dan kepolisian. KPK tidak boleh memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian seharusnya tidak akan terjadi komplik antar penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Dalam pelaksanaannya, sebaiknya KPK segera menyerahkan kewenangan penyidikan kepada Polri dan/atau Jaksa apabila pada tingkat penyelidikan telah diperoleh dua alat bukti. Dalam rangka pencegahan tindak pidana korupsi, KPK selain harus melibatkan instansi terkait lainnya, harus pula melibatkan seluruh komponen
masyarakat.
Dalam
rangka
pelaksanaan
monitoring
terhadap penyelenggaraan negara perlu ditingkatkan pelaksanaannya secara efektif dan efesien. Tindakan ini merupakan bagian dari upaya pencegahan terhadap terjadinya tindak pidana korupsi yang mungkin
5
Ibid, Pasal 6. Ibid, Pasal 8. 7 Op.Cit, Penjelasan 6
akan
dilakukan
oleh
penyelengara
negara.
Dengan
adanya
pencegahan awal, pemberantasan tindak pidana korupsi akan lebih efektif dan efisien. Koordinasi merupakan pembuka jalan bagi berjalan fungsi supervisi, pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang efektif, serta pencegahan yang efisien. Kurangnya koordinasi antar lembaga penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi, mengakibatkan adanya tumpang tindih penanganan perkara. Hal ini seharusnya tidak akan terjadi, apabila KPK benar-benar konsisten menjalankan undang-undang. KPK dan instansi penegak hukum lainnya harus berkoordinasi dan berkolaborasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga
menjadi
satu
kesatuan
tim
yang
bersinergi
dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
telah
menempatkan
KPK
sebagai lembaga yang
memiliki posisi dominan dan memiliki peranan yang strategis yaitu, menjadi lembaga penggerak dan pemberdaya instansi yang sudah ada dalam
pemberantasan
korupsi. Apabila fungsi ini benar-benar
dilaksanakan secara optimal, maka pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi pun akan berjalan optimal pula. Berangkat dari faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keberadaan KPK, dengan memanfaatkan peluang yang ada untuk meningkatkan kekuatan internal, maka strategi yang perlu ditempuh adalah merevitalisasi fungsi KPK sebagai “Tigger Mekanism”. Hal ini menjadi penting untuk diaktualisasikan mengingat, pada saat ini kondisi keberadan fungsi KPK sebagai penggerak dan pemberdaya instansi penegak hukum lain sudah kehilangan arah tujuannya. Oleh karena itu perlu ditentukan kebijakan dan konsep yang jelas untuk mendukung visi dan misi KPK sebagai trigger mechanism. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu tugas dan kewenangan, kepemimpinan dan cara bertindak dari suatu institusi. Merupakan komitmen dan cita,
tujuan, prinsip, maksud sebagai
pedoman untuk memanajemen dalam rangka
usaha mencapai
sasaran.8 Konsep revitalisasi fungsi KPK sebagai “Trigger Mechanism” dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dilandasi oleh asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
Fakta menunjukkan bahwa asas-asas yang
seharusnya melandasi kinerja KPK dan unsur penegak hukum pemberantasan tindak pidana korupsi belum optimal dilaksanakan. Antara KPK dan aparat penegak hukum lainnya telah terjadi tumpang tindih kewenangan. Selain itu, upaya
pemberantasan tidak pidana
korupsi lebih difokuskan pada tindakan represif yang dimonopoli oleh KPK. Dalam kaitannya dengan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penunutan telah banyak menimbulkan ambiguitas dan kontroversi. Padahal undang-undang telah mengatur sedemikian rupa tugas dan kewenangan
masing-masing
dari
unsur
penegakan
hukum
pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, kebijakan yang seharusnya diambil yaitu dengan mengembalikan pada ketentuan undang-undang sebagai landasan untuk terjadinya “kepastian hukum”, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Asas kepastian hukum sangat urgen diimplementasikan dalam kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan agar tidak tumpang tindih kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 dan Pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 bahwa kewenangan KPK dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi hanya terhadap yang:9 1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau 8 9
kamusbahasaindonesia.org Pasal 11 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Selebihnya kewenangan tersebut diberikan kepada Polisi dan Jaksa. Sekalipun demikian KPK dapat melakukan pengambilalihan penyidikan dan penuntutan dari Kepolisian dan Kejaksaan dengan alasan:10 1. laporan
masyarakat
mengenai
tindak
pidana
korupsi
tidak
ditindaklanjuti; 2. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; 3. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; 4. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; 5. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau 6. keadaan
lain
yang
menurut
pertimbangan
kepolisian
atau
kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain dari pelaksanan asas kepastian hukum, alasan pelaksanaan pengambil allihan penyidikan dari Kepolisian dan/atau Kejaksaan lebih kepada
pelaksanaan
proposionalitas”.
Asas
asas
“kepentingan
kepentingan
umum
umum” ,
yaitu
dan
“asas
asas
yang
mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Melalui asas proporsionalitas
akan
mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi, baik dalam intern KPK itu sendiri maupun proposionalitas dengan aparat penegak hukum lain dalam hal ini Polisi dan/atau Kejaksaan. Hasil penyelidikan, penyidikan dan penuntutan maupun tindakan pre emptif dan preventif perlu di informasikan sebagai pelaksanaan “asas keterbukaan” , yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan 10
Pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
tugas dan fungsinya. Dengan pelaksanaan asas keterbukaan tersebut, maka
dengan
sendirinya
diharapkan
akan
terbentuk
integritas
tanggungjawab yang tinggi dari aparat penegak hukum sebagai bagian dari akuntalibitas. “Akuntabilitas”
merupakan asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan melaksanakan tugas pemberantasan korupsi sesuai dengan fungsi dan wewenang masing masing penegak hukum, maka akan terjadi sinkronisasi yang harmonis antara KPK dengan institusi Polri dan Kejaksaan.
B. Putusan Bebas terhadap para terdakwa dalam kasus korupsi. Terdakwa dalam korupsi pelaku korupsi pada prinsipnya mempunyai hak untuk membela dan membuktikan dirinya bahwa dia tidak bersalah. Sekalipun ia dituduhkan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka apabila hakim tidak menemukan meyakini bahwa dia adalah pelakunya, maka demi keadilan hakim tersebut harus membebaskannya dari segala tuntutan. Dalam pasal 32 undang-undang no.31 tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan undang-undang no 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, menyatakan : 1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. 2) Putusan
bebas
dalam
perkara
tindak
pidana
korupsi
tidak
menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara”
adalah
kerugian
yang
sudah
dapat
dihitung
jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. (penjelasan ayat 1) Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. (penjelasan ayat 2) Berdasarkan pasal tersebut , maka cukup jelas nahwa, apabila hakim menemukan unsur-unsur pasal yang tidak terpenuhi, hakim dapat membebaskan terdakwa.
C. Pemberlakuan Hukuman Mati Pada Seorang Yang Terbukti Bersalah Melakukan Kejahatan Korupsi Dapat Menimbulkan Efek Jera Dalam hal hakim menemukan bahwa seorang terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi yang berat, maka hakim tersebut harus berani menerapkan hukuman mati, karena hal ini sudah diatur dalam undang-undang no.31 tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan undang-undang no 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Pemberlakuan
hukuman
mati
terhadap
seseorang
yang
terbukti
melakukan kejahatan korupsi berat sangatlah akan efektif karena akan menimbulkan efek jera, sehingga masyarakat lainnya akan takut melakukan korupsi. Indonesia telah memiliki Undang-Undang anti korupsi yaitu UndangUndang No 31 Tahun 1999, yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. “keadaan tertentu” dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi
dan moneter. 11 Pengenaan pidana mati bagi koruptor itu sendiri dapat menjadi efek jera bagi masyarakat. Masyarakat akan berpikir ulang apabila hendak berbuat korupsi. Oleh sebab itu, pidana mati perlu dijatuhkan kepada para koruptor terutama kepada koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dan koruptor kelas kakap untuk mengurangi jumlah tindak pidana korupsi yang merajalela dalam rangka mewujudkan Indonesia yang lebih bersih. Apabila dihubungkan dengan rasa keadilan, maka jika dibandingkan dengan seseorang yang telah melakukan korupsi sekian triliun, maka perbuatan tersebut sama dengan membunuh ratusan jiwa, untuk itu dia harus mempertanggungjawabkan perbuatanya dengan hukuman pidana mati. Hukuman mati merupakan upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat dari gangguan terhadap ketentraman yang sangat ditakuti masyarakat umum misalnya kejahatan yang dinyatakan sebagai extra ordinary crime. Penghapusan hukuman mati diatur dalam KUHAP melalui pengajuan peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana jika diterima Mahkamah Agung. Selain itu, terpidana dapat mengajukan grasi kepada Presiden sepanjang dikabulkan. Namun jika tidak, maka pelaksanaan eksekusi hukuman mati harus tetap dilakukan.
IV. Penutup
A. Kesimpulan 1. KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 memberikan legitimasi fungsi KPK berperan sebagai lembaga penggerak dan pemberdaya instansi yang sudah ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (trigger mechanism). Dalam menjalankan fungsinya,KPK diberikan tugas melakukan koordinasi, Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 yo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 11
menjalankan supervisi, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penunutan, serta melakukan tindakan pencegahan dan monitoring penyelenggaraan negara. 2. Terdakwa dalam korupsi pelaku korupsi pada prinsipnya mempunyai hak untuk membela dan membuktikan dirinya bahwa dia tidak bersalah. Sekalipun ia dituduhkan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka apabila hakim tidak menemukan meyakini bahwa dia adalah pelakunya, maka demi keadilan hakim tersebut harus membebaskannya dari segala tuntutan. 3. Pemberlakuan hukuman mati terhadap seseorang yang terbukti melakukan kejahatan korupsi berat sangatlah efektif karena akan menimbulkan efek jera, sehingga masyarakat lainnya akan takut melakukan korupsi. Menurut saya, Hukuman mati merupakan upaya terakhir dan hanya dijatuhkan terhadap koruptor yang sangat berdampak luas. Alternatif lain untuk menimbulkan efek jera, koruptor dapat diberikan sanksi pemiskinan dan sanksi sosial.
B. Saran Perlu merevitalisasi Fungsi KPK sebagai trigger mechanism guna mendorong para penegak hukum korupsi lainnya untuk lebih efektif dan lebih efisien dalam melaksanakan tugasnya, dengan mengutamakan fungsi pencegahan.
Jakarta, 4 Desember 2015
Irjen.Pol. Basaria Panjaitan.S.H.,M.H.