DAYA EFEK JERA DARI SANKSI PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)
Oleh: Zaki Tsani 105045101505
Konsentrasi Kepidanaan Islam Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1432 H / 2011 M
Skripsi ini aku persembahkan Untuk kedua orang tua ku Yang telah mendidik dan membesarkan aku hingga sekarang ini
Ummi.... Aba....
Hanya tulisan seperti ini yang bisa aku persembahkan untuk Ummi dan Aba Walaupun tidak sesempurna yang lain, tapi... Inilah hasil buatan ku sendiri yang maksimal dari pendidikan ku selama ini Semoga kepuasan dan kebanggaan tercipta di hati Ummi dan Aba...
Do’a ku..semoga Ummi dan Aba selalu panjang umur Sehat wal afial Dan dimurahkan rizkinya oleh
Ya...
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang...
Berilah perlindungan dan ampunan serta kemurahan rizki Untuk Ummi dan Aba ku Kakak-kakak ku Adik ku Dan seluruh keluarga ku...
Amin........
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “DAYA EFEK JERA DARI SANKSI PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN (KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam. Jakarta, 21 Maret 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP: 195505051982031012 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH 1. Ketua
: Dr. Asmawi, M.Ag. : NIP. 197210101997031008
(..…....…….……………)
2. Sekretaris
: Afwan Faizin,MA : NIP: 197210262003121001
(..…....…….……………)
3. Pembimbing I :
: Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum : NIP. 196509081995031001
(..…....……….…………)
4. Pembimbing II
: Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag : NIP. 150326893
(..…........…….…………)
5. Penguji I : :
: Dr. Asmawi, M.Ag : NIP. 197210101997031008
(..…........…….…………)
6. Penguji II
: Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum : NIP. 196111011993031002
(..…....……….…………)
:
:
i
DAYA EFEK JERA DARI SANKSI PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuh Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Zaki Tsani 105045101505 Disetujui dan untuk dipertahankan di hadapan dewan penguji
Di bawah bimbingan: Pembimbing-I
Pembimbing-II
Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. NIP. 196509081995031001
Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag NIP. 150326893
Konsentrasi Kepidanaan Islam Jurusan Syariah Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1432 H / 2011 M
ii
KATA PENGANTAR
, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata-I di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat beserta salam tetap tercurah penulis sampaikan kepada Baginda Besar Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabat, yang telah menyelamatkan umat manusia dari alam yang sesat ke alam yang penuh petunjuk, dari zaman jahiliyah ke zaman berbudi pekerti. Beliau telah menegakan hukum di tengah-tengah kaum yang zhalim, dan menyelamatkan dari azab dan siksa yang pedih. Sehubungan telah selesainya penyusunan skripsi ini yang membahas tentang “Daya Efek Jera Dari Sanksi Pidana Kejahatan Perkosaan (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MH., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. 2. Dr. Asmawi, M.Ag., dan Afwan Faizin, MA., Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, yang banyak membantu penulis dalam penyelesaian kuliah, tidak lupa juga kepada Sri Hidayati, M.Ag., Mantan SekJur Jiyanah Siyasah.
iv
3. Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum., dan Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik penulis sejak awal kuliah hingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 5. Kedua Orang tua ku (Ummi & Aba) yang terus menerus tiada bosan mendidik & membesarkan ku hingga sekarang ini. 6. Kakak dan Adik ku, Kak Wardah Balady, SE., Kak Nisyyah Balady, S.Ikom., dan Adiku Millaty „Ayny Balady, yang telah membantu penulis baik berupa material maupun dorongan moral, demi selesainya pendidikan ku dan selesainya penyusunan skripsi ini. 7. Zulhia Muslihah Ama, yang banyak memberikan support dalam semua hal demi selesainya pendidikan ku :-*... 8. Teman-teman Poppy Rocky, Faisal, Fadjar, Rudi, Luhur, Kahfi, yang banyak memberikan inspirasi dan pengalaman hidup yang banyak. 9. Teman-teman seperjuangan Pidana Islam 2005, Asharyanto, Yazid, Trezal, Sayidi, Nashori, Asep, Adi, Siti Widya, Dewi, Layla, Layli, Nafisah, Pipit, Rina, Yayah, Indah, Ifada, sukses buat kalian semua. Khususnya buat Syeh Jabil, bang Uci, Bang Fais al-Muchtar, Raizak, Lukman, Malik, Deni, Jaelani, kalian pasti bisa...!!!! 10. Seluruh Crew ALF Video Studio (THE LOOK AND SOUND OF PERFECT). v
Penulis sadar, tanpa kalian semua penulis bukanlah apa-apa, dan tidak bisa berbuat banyak. Do‟a penulis, semoga jasa dan amal baik kalian semua mendapatkan balasan dari Allah SWT. Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa, penulis sadar akan kekurangan, karya ilmiah ini tentulah tidak sempurna karena keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan dari pembaca, sehingga dapat menjadi masukan dan dorongan untuk penulis di kemudian hari.
Jakarta, 21 Februari 2011M 18 Rabi‟ul Awal 1432H
Penulis
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................………………. i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH……………….. ii HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………….. iii KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv DAFTAR ISI .......................................................................................................... vii BAB I
PENDAHULUAN........................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................... 9 D. Metode Penelitian....................................................................... 11 E. Sistematika Penulisan................................................................. 15
BAB II
TINDAK PIDANA PERKOSAAN.................................................. 17 A. Pengertian Tindak Pidana .......................................................... 17 B. Pengertian Perkosaan.................................................................. 20 C. Sejarah Singkat Perkosaan.......................................................... 24 D. Jenis-jenis Perkosaan.................................................................. 26 E. Unsur-unsur Tindak Pidana Perkosaan....................................... 27 F.
Korban Perkosaan....................................................................... 29
G. Dampak Bagi Korban Perkosaan................................................ 29 a. Dampak Medis...................................................................... 29
vii
b. Dampak Sosial....................................................................... 30 c. Dampak Psikis....................................................................... 32 BAB III
PERKOSAAN DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM.................................... 34 A. Pandangan Hukum Pidana Positif ............................................. 34 B. Pandangan Hukum Pidana Islam................................................ 38
BAB IV
ANALISIS DAYA EFEK JERA DARI SANKSI TINDAK PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN......................................... 45 A. Pengertian Efek Jera dan Sanksi................................................ 45 1. Efek Jera................................................................................ 45 2. Sanksi.................................................................................... 46 B. Sanksi Pelaku Perkosaan Perspektif Hukum Pidana Positif...... 48 C. Sanksi Pelaku Perkosaan Perspektif Hukum Pidana Islam........ 55 D. Jumlah atau Besaran Mahar Sebagai Ganti Kerugian Kepada Korban Perkosaan Menurut Hukum Islam................................. 64 E. Manfaat Efek Jera....................................................................... 67 F. Tingkat Kriminalitas Perkosaan Tahun 2003-2007…………… 68
BAB V
PENUTUP......................................................................................... 70 A. Kesimpulan................................................................................. 70 B. Saran........................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 72
viii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum. Kesadaran hukum merupakan faktor yang penting dalam tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia, karena tanpa adanya kesadaran hukum sangatlah mustahil dapat ditegakkannya hukum dan keadilan. Kejahatan merupakan masalah sosial dan pemerintah telah melakukan berbagai macam cara untuk mengatasinya. Salah satu cara yang dapat mencegah dan mengendalikannya adalah dengan menggunakan hukum pidana yang sanksinya berupa pidana. Hukum pidana sering disebut sebagai hukum dengan sanksi istimewa karena hukum pidana mengatur tentang perbuatan apa yang diancam pidana serta di mana aturan pidana itu menjelma.1 Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau di televisi diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat
1
Amdi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, Di Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan, Cet.II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.11.
2
walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tetapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Tindak pidana perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis.2 Dewasa ini kasus perkosaan kerap kali terjadi, baik itu perkosaan yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah ataupun yang belum menikah. Mirisnya lagi, perkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang atau ayah terhadap anaknya. Masalah seperti ini sudah sepatutnya ditinjau kembali. Perlu adanya pembaharuan hukum yang maksimal hingga seseorang merasa takut atau setidaknya berfikir kembali untuk melakukan perbuatan pidana. Bagaimana tidak, dalam KUHP Indonesia tindak pidana perkosaan hanya diancam dengan hukuman paling lama 12 tahun. Itupun paling lama, belum lagi adanya pengurangan-pengurangan hukuman dan lain sebagainya. Padahal kalau ditinjau dari segi sosiologis dan psikis, perkosaan sangatlah berdampak buruk 2
Ira Dwiyati, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana, (Tesis S2 Sistem Peradilan Pidana, Megister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro Semarang, 2007), h.16.
3
dan fatal bagi si korban ataupun keluarganya. Korban akan mengalami gangguan jiwa dan mental yang besar dan berkepanjangan, sedangkan keluarga turut menanggung malu akan keadaan si korban. Dengan menjatuhkan hukuman, pelaku kejahatan sekurang-kurangnya dihambat untuk melakukan kejahatan. Pengalaman penderitaan akibat hukuman dapat membuatnya jera untuk mengulangi kejahatannya (special deterrence). Hukuman bahkan dapat menciptakan efek jera bagi pihak lain (publik) sehingga kejahatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif secara umum dapat ditekan atau dikendalikan.3 Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.4 Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tetapi kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan
3
Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, artikel diakses pada 02 Oktober 2010 dari http://www.books.google.com, h.108. 4 Laden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h.81.
4
Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang menyatakan: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Di dalam hukum Islam memang tidak ada ketentuan khusus yang membahas tentang masalah tindak pidana perkosaan. Namun, jika kita lihat definisi dari perkosaan itu, sepintas hampir menyerupai definisi zina. Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat.5 perbedaannya terletak pada kekerasan dan ancaman kekerasan. Dari definisi tersebut perkosaan tergolong kepada jarimah takzir karena tidak memenuhi unsur-unsur jarimah zina. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Dalam kasus perkosaan seperti ini yang dalam hukum Islam tergolong kepada jarimah takzir dan hukum Islam memberikan hukuman yang berat bagi pelaku perkosaan, karena secara tidak langsung pelaku telah berzina dengan menyebabkan korban yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Oleh sebab itu, hukuman yang ditetapkan sangat berat, bahkan bisa mencapai hukuman mati.
5
Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: hlm. 109
5
Firman Allah SWT dalam surat an-Nuur ayat 2:
:
/
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S. an-Nuur ayat 24:2) Hadits Rasulullah SAW ke-1232 dalam Tarjamah Bulughul Maram:6
”Dari Ubadah bin Shamit ia berkata: “Rasulullah bersabda : Terimalah (hukum) dariku, terimalah (hukum) dariku, sesungguhnya Allah telah menunjukkan kepada kamu jejaka dan gadis yang berbuat zina (hukuman) seratus kali dera dan pengasingan satu tahun dan laki-laki yang telah kawin dengan wanita yang telah kawin (hukumannya) dera dan rajam.” (HR. Muslim) Ayat dan Hadits di atas merupakan ketentuan hukum pidana Islam untuk jarimah zina. Karena perkosaan hampir serupa dengan zina maka penulis merujuk kepada ayat dan hadits di atas sebagai tolak ukur takzir untuk tindak pidana perkosaan. Zina di lakukan tanpa adanya paksaan, Allah dan Rasul-Nya telah menentukan hukuman yang berat, bagaimana mungkin perkosaan yang di dalam unsurnya terdapat kekerasan dapat dihukum lebih ringan. Dalam
6
h.550.
Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002),
6
pandangan sebagian besar fuqaha, bentuk sanksi dalam tradisi pemikiran hukum Islam sudah final dan tidak ada ruang kreasi manusia di dalamnya. Bentuk itu sudah sedemikian rupa diberikan oleh Allah. Sementara, dalam pemikiran pemidanaan dalam perspektif ilmu hukum (dan kriminologi), sanksi itu dapat dimodifikasi tergantung pada apakah pijakan pikiran tentang sanksi itu bersifat rehabilitatif atau tekanannya pada pemberian hukuman yang berat dan berupa fisik yang arahnya menimbulkan efek jera bagi si pelaku sekaligus peringatan bagi manusia yang lain (bersifat fisik dan personal).7 Sayangnya selama ini banyak kalangan yang menganggap bahwa hukum pidana Islam adalah hukum yang kejam, tidak manusiawi dan tidak menghormati hak-hak atas manusia. Karena hukum pidana Islam hanya dipelajari secara parsial, belum menyeluruh sehingga menimbulkan persepsi bahwa dera, rajam, dan lain sebagainya adalah hukum yang tidak berperikemanusiaan. Hukum pidana Islam tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan juga oleh masyarakat Islam sendiri. Masyarakat umum hanya menangkap dan memperoleh kesan bahwa sanksi hukum pidana Islam, bila dilaksanakan kejam dan mengerikan. Sikap pembelajaran yang demikian sudah saatnya ditinjau kembali dengan menempatkan semua sistem hukum yang ada sebagai sistem hukum yang sejajar dan sebanding untuk kemudian dipelajari dan seperlunya sampai diperoleh norma hukum yang sejalan dengan nilai kebenaran dan keadilan yang 7
JM. Muslimin, Ilmu Syari’ah dan Aplikasi Umum, (Senin 22 Desember 2008), h.3.
7
akan dapat memberikan sumbangan positif bagi perkembangan hukum di Indonesia. Sering kita dengar pelaku tindak pidana yang telah tertangkap lalu diberi pidana, baik itu berupa penjara, kurungan, denda, bahkan sampai pidana mati. Namun, bisa kita perhatikan hukuman-hukuman yang dijatuhkan hakim kepada pelaku tindak pidana malah bukan membuat jera para pelaku, tetapi membuat pelaku menjadi semakin membabi buta dan menjadi pelajaran buruk bagi yang belum pernah berbuat pidana untuk melakukan pidana. Dari kejadian seperti itu timbulah pertanyaan, apakah sistem hukum kita yang kurang baik karena banyaknya makelar-makelar kasus di peradilan? Atau karena kesadaran mayarakat yang masih minim? Atau mungkin hukuman yang kurang setimpal dengan perbuatan dan tidak menciptakan efek jera, sehingga membuat para pelaku meremehkan hukuman yang diberikan hakim. Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan hingga seorang pelaku tindak pidana tidak juga merasa jera untuk melakukan kejahatan yang berikutnya. Namun, Salah satu tujuan dari pemidanaan kepada pelaku tindak pidana adalah diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventie,),8 sehingga tidak menjadi pelajaran
8
h.4.
Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
8
buruk bagi yang belum pernah melakukan tindak pidana sampai melakukan tindak pidana karena melihat hukuman yang begitu ringan dengan kejahatan yang akan dilakukan.9 Hal inilah yang menjadi dorongan pada penulis untuk menulis skripsi tentang daya efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengambil judul Skripsi: Daya Efek Jera Sanksi Pidana Kejahatan Perkosaan (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif).
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah Karena semakin banyaknya kasus tindak pidana perkosaan, yang dilakukan oleh terpidana lama maupun terpidana baru yang dewasa ini kian muncul di Negara Indonesia, seperti yang sudah penulis jabarkan di atas, padahal pemerintah sudah sedemikian rupa membangun dan membentuk hukum demi kenyamanan dan ketenteraman masyarakat, namun sepertinya ada beberapa masalah yang harus dibenahi atau ditinjau kembali jalan keluarnya. Tindak pidana perkosaan bukanlah hal yang tabu bagi masyarakat umumnya, tindak pidana seperti ini sudah ada sejak dahulu. Berbagai macam modus operandi yang
9
Hukuman yang tidak setimpal dengan perbuatan, sehingga pelaku menganggap hukuman tersebut biasa saja, tanpa ada rasa takut untuk di hukum kembali dan mengulangi perbuatannya lagi. Dan orang lain yang tidak melakukan perbuatan pidana melihat hal tersebut malah merasa ingin melakukan pidana, karena kenyataan yang mereka lihat pelaku-pelaku pidana yang telah divonis dan diberi hukuman yang di putuskan majelis hakim sepertinya tidak membuat para pelaku kejahatan jera atau hingga tidak mengulanginya lagi.
9
dilakukan pelaku berbagai macam. Masalah yang dialami sistem hukum pun berbagai macam, dari proses penyidikannya, proses pembuktiannya, sampai dengan proses pengadilan dan putusannya. Oleh karena banyaknya permasalahan dan dikhawatirkannya pembahasan melebar atau terjadi kesimpang siuran pembahasan, maka masalah akan dibatasi dan dirumuskan sebagai berikut: 1. Penulisan skripsi ini akan membahas seputar tindak pidana perkosaan perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif. 2. Membahas kekuatan efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif. Dari pembahasan di atas munculah beberapa permasalahan dan pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang tindak pidana kejahatan perkosaan? 2. Apa sanksi yang ditetapkan oleh hukum pidana Islam dan hukum pidana positif kepada pemerkosa? 3. Apa efek jera yang ada pada sanksi-sanksi yang ditetapkan? 4. Apa manfaat dari efek jera bagi pelaku, korban, dan masyarakat?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari tujuan penulis, beberapa tujuannya adalah sebagai berikut:
10
1. Untuk mengetahui kuatnya efek jera dari sanksi pidana perkosaan yang diatur di dalam KUHP Indonesia dan Hukum Pidana Islam. 2. Untuk mengetahui perbandingan kekuatan efek jera dari sanksi pidana perkosaan antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif. 3. Mengetahui dampak kekuatan efek jera dari sanksi tindak pidana perkosaan khususnya bagi terpidana dan umumnya masyarakat luas. 4. Memperdalam Ilmu Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif terutama pada tujuan pemidanaan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembaharuan hukum di Indonesia, yang ketentuannya berdasarkan KUHP peninggalan Belanda tidak harus mendasarkan pada konsepsi-konsepsi hukum Barat, melainkan kita juga dapat merujuk dari hukum pidana Islam yang saat ini sudah banyak dipelajari dan dipahami oleh masyarakat Indonesia. 2. Secara praktis, Hasil penelitian yang berfokus pada kekuatan efek jera terhadap pelaku tindak pidana perkosaan ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi kongkrit bagi para legislator dalam upaya menciptakan efek jera terhadap pelaku tindak pidana perkosaan. Selebihnya, semoga menjadi bahan pertimbangan hukum di Indonesia dalam memutuskan perkara dan memberikan hukuman dengan seadil-adilnya hingga menciptakan efek jera
11
bagi pelaku kejahatan perkosaan terlebih yang banyak meresahkan dan merugikan masyarakat luas.
D. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang akan digunakan adalah: 1. Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif untuk menemukan kaidah-kaidah dan norma-norma hukum yang merupakan kebijakan hukum pidana dalam menetapkan sanksi kejahatan perkosaan, melakukan penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. 2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dipergunakan terdiri dari bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang berupa dokumen atau risalah perundang-undangan, konsep (rancangan) undangundang, hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah para ahli serta ensiklopedi. 3. Metode Pengumpulan Data Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, oleh karena itu dikategorikan sebagai penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Pengumpulan data
12
dalam penelitian ini dengan menggunakan studi dokumen atau bahan pustaka, terhadap data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier: a) Bahan hukum primer yang dipergunakan adalah: Bahan-bahan yang mengikat terdiri dari, al-Qur’an dan al-Hadits, bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). b) Bahan hukum sekunder yang dipergunakan adalah: Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum seperti, karya tulis, tesis, disertasi, ensiklopedi, dan wacana dari para ahli yang berhubungan dengan ilmu hukum Islam dan hukum positif pada pembahasan mengenai pemidanaan. c) Bahan hukum tersier yang dipergunakan adalah: Bahan-bahan bacaan yang membantu dan memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus bahasa Indonesia, internet, buku-buku tentang tata cara dalam melakukan penelitian hukum dan penulisan karya ilmiah serta hand-out yang dibuat atau dijelaskan oleh pemberi kuliah.
13
4. Tehnik Pengolahan Data Pengolahan data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisa dan konstruksi. Pengolahan, analisa dan konstruksi data penelitian normatif, pada skripsi ini meliputi: a.
Menarik asas-asas hukum: dilakukan terhadap hukum positif tertulis dan tidak tertulis serta hukum Islam. Permasalahan yang muncul berkisar pada dari manakah asas-asas hukum tersebut berasal, atau hal-hal apa yang mempengaruhi adanya asas-asas hukum tersebut.
b.
Menelaah sistematika peraturan perundang-undangan: mengumpulkan peraturan di bidang tertentu, atau beberapa bidang yang saling berkaitan yang menjadi pusat perhatian penelitian. Selanjutnya diadakan analisa dengan mempergunakan, pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum, yang mencakup: subyek hukum; hak dan kewajiban; sejarah hukum; hubungan hukum; dan, obyek hukum.
c.
Penelitian terhadap taraf sinkhronisasi dari peraturan perundangundangan: dilakukan dengan dua titik tolak taraf sinkhronisasi vertikal (berdasarkan hierarki) dan horisontal (peraturan setara yang mempunyai hubungan fungsional), adalah konsisten.
d.
Perbandingan hukum: menelaah dan membandingkan antara hukum pidana positif dengan hukum pidana Islam, sehingga dapat diketahui
14
perbedaan pandangan, kekuatan hukum, serta sanksi yang diberikan kepada terpidana. e.
Sejarah hukum: menelaah hubungan antara hukum dengan gejala sosial lainnya, dari sudut sejarah. Peneliti dapat menjelaskan perkembangan dari bidang hukum yang diteliti. Kegunaan dari penggunaan metode ini adalah mengungkapkan fakta hukum masa lampau dan hubungannya fakta hukum pada masa kini.
5. Metode Analisis Data Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa secara kualitatif dengan cara deskriptif analisis. Penelitian ini bermaksud menggambarkan data yang diperoleh dan memberi penjelasan terhadap data yang ada, sehingga dapat memberikan argumentasi tentang daya efek jera dari sanksi kejahatan perkosaan. Sesuai dengan data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang kemudian dianalisa, sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran dan penjelasan khususnya mengenai daya efek jera pada sanksi pidana yang ditinjau dari segi hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.
15
E. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II
TINDAK PIDANA PERKOSAAN Bab ini menjelaskan pengertian tindak pidana, pengertian perkosaan, sejarah singkat perkosaan, jenis-jenis perkosaan, unsur-unsur tindak pidana perkosaan, korban perkosaan dan dampak bagi korban perkosaan, dijelaskan juga dampak medis, sosial, dan psikis.
BAB III PERKOSAAN
DALAM
PANDANGAN
HUKUM
PIDANA
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM Bab ini menjelaskan seputar pandangan mengenai perkosaaan yang ditinjau dari hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. BAB IV ANALISIS DAYA EFEK JERA DARI SANKSI PIDANA PERKOSAAN Pada bab ini secara singkat dijelaskan pengertian dari efek jera, dan sanksi. Selain itu penulis menjelaskan sanksi yang diberikan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam terhadap pelaku perkosaan, dan
16
bagaimana kekuatannya. Dijelaskan juga ganti rugi untuk korban perkosaan menurut hukum pidana Islam, dan sedikit manfaat dari efek jera. BAB V PENUTUP Bab ini merupakan akhir dari pembahasan yang berisi kesimpulan dari uraian yang telah dibahas berikut saran-saran yang diberikan oleh penulis. DAFTAR PUSTAKA
17
BAB II TINDAK PIDANA PERKOSAAN
A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Istilah ini terdapat dalam Wetboek van Strafrecht Belanda, tetapi tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit.1 Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Moeljatno berpendapat “Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan” 2 Hazewinkel-Suringa seperti dikutip oleh Lamintang mengartikan Strafbaar feit sebagai “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya”. Dalam buku yang sama Profesor Pompe menyebutkan bahwa Strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan 1
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
2
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 56.
h. 67.
18
terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.3 Menurut hukum Islam, pidana adalah terjemahan dari kata Jinayat. Jinayat adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari al-Qur‟an dan Hadits.4 Sebagian fuqaha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jinayat adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ mengenai jiwa dan anggota badannya, yaitu pembunuhan, pelukaan, pemukulan, penjerumusan. Sebagian fuqaha lain mengatakan bahwa jinayat adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ mengenai jarimah hudud dan qishas diyat. 5 Kejahatan (jarimah/jiyat/dam) didefinisikan oleh Abd al-Qadir Audah sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya berakibat pada hukuman yang ditentukan-Nya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak
3
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), h. 181-182 4 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), h. 86. 5 Marsum, Jinayat (Yogyakarta: Universitas Indonesia Press, 1978), h. 1-2.
19
melakukan (ommission) suatu perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan. Definisi kejahatan di atas mengandung arti bahwa tiada suatu perbuatan baik secara aktif (komisi) maupun secara pasif (omisi) dihitung sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran, kecuali hukuman yang khusus untuk perbuatan atau tidak berbuat itu telah ditentukan dalam syariat. Singkatnya, jika komisi atau omisi dari suatu perbuatan tidak membawa kepada hukuman yang ditentukan, maka perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai suatu kejahatan. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa konsep kejahatan dalam hukum Barat dan dalam syariat tidak memiliki perbedaan yang jauh. Para ahli hukum menggunakannya pada setiap perbuatan yang dinyatakan melawan hukum oleh syariat, baik dilakukan terhadap hidup dan hak milik seseorang atau terhadap hal lainnya. Mayoritas ahli hukum menerapkan istilah jinayat ini dalam arti kejahatan yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan, melukai orang, kekerasan fisik, atau aborsi dengan sengaja. Ahli-ahli hukum lain keberatan jika istilah ini dipakai untuk kejahatan yang dihukum dengan hudud atau qishash. Bilamana syariat menyatakan suatu perbuatan sebagai kejahatan dan mengancamnya dengan hukuman? Perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah perbuatan aktif atau pasif yang dapat merusak (mengganggu) terwujudnya ketertiban sosial, keyakinan, kehidupan individu, hak milik kehormatan, dan ide-ide yang diterima. Hukuman ditentukan bagi suatu kejahatan sehingga orang akan menahan diri dari hal itu, karena dengan
20
semata-mata melarang atau memerintahkan tidak menjamin akan ditaati. Tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi apa-apa. Dengan hukuman, perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti yang legal untuk kepentingan publik. Syariat menentukan hukuman, lebih banyak sebagai sarana untuk mencapai kebaikan kolektif dan menjaganya.
B. Pengertian Perkosaan Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi.6 Pada zaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang isteri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum.7 Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan.
6
Haryanto, Dampak sosio-psikologis korban tindak perkosaan terhadap wanita, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada, 1997) dalam Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, Dampak Sosial Psikologis Perkosaan, (Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002), h.3. 7 Wignjosoebroto, Kejahatan Perkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau IlmuIlmu Sosial, Kejahatan dalam Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, ed., Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 1997) ibid., h.4.
21
Menurut Warshaw (1994), definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental. Beberapa negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitif gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan.8
8
Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yurisprudensi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), ibid., h.5.
22
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk: 1. Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut. 2. Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur-unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut. 3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan isterinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hampir sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285. Perkosaan adalah suatu bentuk pernyataan akan adanya dominasi, kekuatan dan penghinaan. Rape is also a crime of extreme violence. It is an expression of dominance, power and contempt, a rejection of the woman’s right to self determination ,
23
a denial of heir being. Rape is not passion or lust gone wrong. It is first and foremost an act of aggresion with a sexual manifestation.9 (perkosaan juga merupakan tindak pidana kekerasan ekstrem. Itu adalah ekspresi dari dominasi, kekuasaan dan penghinaan, penolakkan terhadap wanita untuk menentukan nasib sendiri, penyangkalan terhadap dirinya. Perkosaan adalah gairah atau nafsu yang tidak beres. Pertama-tama dan terutama dan bertindak agresif dengan manifestasi sexual). Di dalam Hukum Pidana Islam jangankan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, bersetubuh di luar pernikahan saja sudah tergolong hadd zina, apalagi disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat.10 Di dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Ibnu „Abbas, bisa dikatakan zina jika seseorang telah terjadi penetrasi kelamin laki-laki ke dalam vagina perempuan. Hadits Rasulullah SAW dalam Tarjamah Bulughul Maram Hadits ke 1234:
“Dari Ibnu „Abbas. Ia berkata: Tatkala datang Ma‟iz bin Malik kepada Rasulullah (dan mengaku berzina) ia bersabda kepadanya: “Barang kali engkau cium atau engkau remas atau engkau lihat?” ia jawab: “tidak ya Rasulullah” (HR. Bukhari).11
9
Chaterine N. Niarchos, “Women, War, and Rape : Challenges Facing The International Tribunal for the Former Yugoslavia”, dalam Skripsi, Tindak Pidana Perkosaan di waktu Perang, (Universitas Sumatra Utara, 2002), h.20. 10 Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: hlm. 109. 11
h.552.
Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002),
24
Menurut Riwayat yang lengkap bahwa Ma‟iz itu datang kepada Rasulullah SAW dan mengaku beberapa kali bahwa ia berzina. Di antara itu Rasulullah ada bersabda: “Barang kali engkau cium saja? Barang kali engkau pegang saja? Barang kali engkau lihat saja?” sesudah ia menolak semua “barangkali” itu baru Rasulullah SAW bertanya: “Apakah betul-betul engkau telah setubuhi dia?” Ia jawab: Betul-betul. Sabdanya: “Apakah seperti masuknya batang celak di lobang cepunya dan seperti masuknya tali timba di perigi?” Ia jawab: Betul. Sabdanya:”Apakah engkau mengetahui apa zina itu?” Jawabnya: tahu, saya telah kerjakan terhadap perempuan itu dengan cara haram apa yang seseorang kerjakan terhadap perempuan itu dengan cara halal. Sabdanya:”Engkau mau apa?” Jawabnya: Saya mau paduka tuan bersihkan saya. Maka rasulullah SAW perintah supaya rajam dia.12 Dalam hal kejahatan perkosaan, hanya orang yang melakukan pemaksaan saja (si pemerkosa) yang dijatuhi hukuman. Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa hukuman si pemaksa itu bisa dijatuhkan baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.13 Namun sejauh pengetahuan penulis jarang sekali ditemukan yang pelakunya adalah wanita, bahkan tidak mungkin terjadi penetrasi, bila ia (laki-laki) benar-benar dipaksa oleh pihak wanita.
C. Sejarah Singkat Perkosaan Di zaman kuno hingga akhir abad pertengahan, pemerkosaan pada umumnya tidak dianggap sebagai kejahatan terhadap seorang gadis atau perempuan,
melainkan
lebih
kepada
pribadi
sang
laki-laki
yang
"memilikinya". Jadi, hukuman atas pemerkosaan seringkali berupa denda, yang harus dibayarkan kepada sang ayah atau suami yang mengalami "kerugian" karena "harta miliknya" "dirusak". Posisi ini kemudian diubah di 12
Ibid Safwat, Op.Cit., h.65. dalam Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (penegakan syari’at dalam wacana dan agenda), (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h.25. 13
25
banyak lingkungan budaya karena pandangan bahwa, seperti halnya sang "pemilik", si perempuan itu sendiripun mestinya ikut mendapatkan ganti ruginya.14 Pemerkosaan dalam peperangan juga pernah terjadi di zaman kuno sehingga disebutkan pula di dalam Alkitab, misalnya di dalam kisah tentang kaum perempuan yang diculik sebagai hadiah kemenangan. Tentara Yunani, kekaisaran Persia dan kekaisaran Romawi, secara rutin memperkosa kaum perempuan maupun anak-anak lelaki di kota-kota yang ditaklukkan. Perilaku yang sama masih terjadi bahkan hingga tahun 1990-an, ketika pasukan-pasukan Serbia yang menyerang Bosnia dan Kosovo, melakukan kampanye yang penuh perhitungan dengan memperkosa kaum perempuan dan anak-anak lelaki di daerah-daerah yang mereka kuasai.15 Hal yang sama pun terjadi di Indonesia. Kabarnya di Timor Timur, ketika masih menjadi bagian Indonesia, kaum perempuannya seringkali diperkosa sebagai bagian dari perang psikologis untuk menekan semangat untuk berontak. Demikian pula dalam kerusuhan Mei 1998, dilaporkan banyak kaum perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan dibunuh sebagai bagian dari strategi untuk mengancam mereka.16 Pemerkosaan, sebagai strategi perang, dilarang oleh hukum militer yang disusun oleh Richard II dan Henry V (masing-masing tahun 1385 dan 14
http://www.wikipedia.com-definisi-perkosaan.html, artikel diakses pada sabtu, 08 Januari 2011, pukul 22.03 15 Ibid. 16 Ibid.
26
1419). Hukum-hukum ini merupakan dasar untuk menjatuhkan hukuman dan mengeksekusi para pemerkosa pada masa Perang Seratus Tahun (13371453).17
D. Jenis-Jenis Perkosaan Ada beberapa macam tipe perkosaan yang dikenal, hal ini juga dapat menggambarkan alasan-alasan dilakukannya perkosaan terhadap perempuan:18 1. Sadistic Rape
Dalam jenis ini seksualitas dan agresi bercampur menjadi satu rasa geram dan kekejaman, serta tindakan-tindakan merusak. 2. Anger Rape
Adalah penyerangan seksual di mana seksualitas menjadi sara untuk mengekspresikan dan melaksanakan hasrat kemarahan yang tertahan, dan ini ditandai dengan kebrutalan secara fisik. 3. Domination Rape
Motif dari pemerkosa adalah untuk mendemontrasikan kekuatannya dan kekuasaannya atas si korban. 4. Seduction-turned Intor-rape
Penyerangan seksual timbul dalam situasi menggairahkan yang “diterima” tetapi di mana korban memutuskan atau sebelumnya telah memutuskan bahwa keintiman pribadi akan dihentikan segera sesudah “coitus”.
17
Ibid. Steven Box, Power, Crime and Mystification (New York : Tavistock Publications, 1983), p. 127-129. Dalam, Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana (Jakarta: IND-HLL CO, 1997), h.22-23. 18
27
5. Exploitation Rape
Merujuk pada suatu tipe di mana si pria memperoleh keuntungan dari mudah diserangnnya si perempuan karena perempuan tersebut tergantung secara ekonomi atau bantuan sosial, atau karena kurangnya perlindungan hukum bagi si perempuan. Berdasarkan kelima tipe perkosaan tersebut diatas, tiga dari kelima tipe
tersebut
menggambarkan
bahwa
perkosaan
dilakukan
sebagai
pelampiasan dari rasa marah, kekejaman, kegeraman dan penunjukkan kekuatan dari pelakunya.
E. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perkosaan Jika kita lihat dari KUHP Indonesia, unsur-unsur tindak pidana perkosaan terdiri sebagai berikut: 1. Perbuatannya: Memaksa Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tersebut menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. 2. Caranya: a) Kekerasan kekerasan dalam pengertian Pasal 285 (kekerasan yang disebut pertama) dapatlah didefinisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat
28
(sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Karena dalam keadaan yang tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri. b) Ancaman Kekerasan Ancaman kekerasan adalah ancaman kekerasan fisik yang ditujukan kepada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukannya perbuatan fisik yang besar atau lebih besar, berupa kekerasan yang akan dan mungkin segera dilakukan/diwujudkan, kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku. 3. Objek: Seorang perempuan bukan isterinya Perempuan yang tidak terikat pernikahan olehnya, siapapun perempuan tersebut, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. 4. Bersetubuh Melakukan hubungan kelamin layaknya suami isteri.
29
F. Korban Perkosaan Pada kasus perkosaan sering kali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut.19 Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat lakilaki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya. Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal. Alasan lainnya yang menyebabkan perempuan sangat rentan terhadap tindak kekerasan perkosaan dalam perang adalah karena adanya pandangan bahwa perempuan adalah milik kaum laki-laki20
G. Dampak Bagi Korban Perkosaan a. Dampak Medis Perkosaan bisa menimbulkan lecet pada vagina perempuan atau luka fisik lain yang menyakiti. Ini terjadi bila perbuatan tersebut dilakukan dengan jangka waktu yang lama dan bila seseorang sedang terpengaruh
19
Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, Dampak Sosial Psikologis Perkosaan, (Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002), h.6. 20 Sulistyowati Irianto, “Menumbuhkan Budaya Hukum Baru Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” (makalah disampaikan dalam Sesi tentang Kesukubangsaan dan negara” dalam Seminar Jubileum ke-30 Jurnal Antropologi Indonesia “Memasuki Abad ke-21 : Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya Bangsa”, di Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok, 6-8 Mei 1999), hal 7.
30
oleh minuman keras atau obat.21 Dalam beberapa kasus, perempuan bahkan bisa saja mengalami memar wajah, luka kepala, pecah bibir, patahnya gigi depan, dan perihnya pendarahan vagina. Ini biasanya diakibatkan perlakuan kasar dalam sebuah hubungan seks. Akibat lain dari hubungan seks yang dipaksakan adalah sulitnya proses persalinan, bayi lahir premature, dan bahkan keguguran.22 b. Dampak Sosial Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual.
21
Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape, h. 71, dalam Milda Marlia, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 24. 22 Khairuddin NM, Pelecehan seksual terhadap isteri, (Yogyakarta: PPK UGM, 1998), h. 72-74.
31
Situasi dalam masyarakat seringkali dapat memperburuk trauma yang dialami oleh korban. Media massa juga memiliki pengaruh terhadap keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus perkosaan, media massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang korban perkosaan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi oleh cara penulisan berita tersebut. Selama ini, para wartawan cenderung menggunakan bahasa denotatif dalam mendeskripsikan runtutan peristiwa perkosaan, termasuk deskripsi tentang korban sehingga posisi korban dalam pandangan masyarakat semakin lemah. Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan yang hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dalam sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan. Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda” dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa. Hal seperti ini akan membuat korban semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga, sehingga ia cenderung akan melakukan self-blaming yang justru akan semakin memperburuk keadaannya. Seringkali rasa bersalah ini juga
32
membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima “vonis” dari lingkungan. c. Dampak Psikis Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri. Secara Psikis Perkosaan bisa menimbulkan kekecewaan yang berkepanjangan atau ketakutan dan trauma berhubungan seks. Akibat lain perempuan tidak lagi percaya diri. Pada tingkat yang luar biasa, perempuan akan mengalami ketakutan yang luar biasa (semacam paranoia), sampai-sampai ia merasa terus terancam oleh lingkungannya. 23 Selanjutnya, perkosaan juga bisa membuat perempuan mengalami dampak psikis jangka pendek (short term effect) dan jangka panjang (long term effect). Dampak psikis jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Korban biasanya marah, jengkel, merasa malu, dan terhina. Gangguan emosional ini pada beberapa kasus ditandai 23
Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape, h. 70-71, dalam Milda Marlia, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 25.
33
dengan gejala sulit tidur (insomnia) dan berkurangnya selera makan (lost apetite).24 Adapun dampak psikis jangka panjang adalah timbulnya sikap atau persepsi negatif terhadap laki-laki dan seks terhadap trauma yang ia tanggung. Trauma adalah “luka jiwa” yang diderita seseorang
usai
mengalami hal-hal yang dirasanya di luar batas wajar atau abnormal.25 Kadangkala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya.
24 25
Elli Nur Hayati, Panduan Untuk Pendamping, h. 45-46. Ibid., h. 46-47.
34
BAB III PERKOSAAN DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pandangan Hukum Pidana Positif Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian perkosaan tidak terlepas dari pengertian kesusilaan karena perkosaan merupakan salah satu kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV Pasal 2851, 2862, dan 2873, dan 2884 KUHP. Istilah kesusilaan berasal dari kata susila yang berarti beradab, sopan, tertib, atau adat istiadat yang baik. Kesusilaan karenanya berarti sesuatu yang terkait dengan adab atau sopan santun.5 Sedangkan delik kesusilaan adalah segala perbuatan yang dapat dikenai hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap aturan undangundang.
1
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memerkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun”. Lihat R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia, 1996), h. 210. 2 “Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selamalamanya 9 tahun”. Ibid., h. 211. 3 “Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun”. Ibid. 4 (1) Barang siapa bersetubuh dengan isterinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa perempuan itu belum masanya untuk dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka. (2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 8 tahun. (3) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian perempuan itu, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Ibid., h. 212. 5 Muyassarotussolichah, Pemanfaatan Perbandingan Hukum Delik Kesusilaan dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Sosio-Religia, Vol. 2:3 (Mei 2003), h. 471.
35
Perkosaan sebagai delik kesusilaan diartikan: pertama, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan untuk bersetubuh di luar perkawinan. Kedua, Kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk melakukan hubungan seksual sebagaimana dalam Pasal 285 KUHP. Oleh karena itu, sebuah perbuatan disebut perkosaan jika di dalamnya terdapat unsur: (1) kekerasan atau ancaman kekerasan yang membuat si perempuan tidak mampu menolak, (2) keterpaksaan perempuan dalam melakukan hubungan biologis, dan (3) hubungan biologis terjadi secara nyata.6 Unsur-unsur perkosaan yang melekat pada Pasal 285 KUHP itu dikembangkan lagi oleh Pasal 389 Rancangan KUHP Nasional. Dalam rancangan KUHP Nasional, perbuatan disebut perkosaan bila: (1) bertentangan dengan kehendak korban, (2) tanpa persetujuan korban, (3) dengan persetujuan korban, tapi persetujuan itu dicapai lewat ancaman, (4) dengan persetujuan korban, sebab korban percaya bahwa pelaku adalah suaminya yang sah atau pelakunya orang yang seharusnya disetujui, dan (5) dengan persetujuan korban, namun korban berumur di bawah 14 tahun.7 Kini, penerapan pasal-pasal delik kesusilaan, khususnya Pasal 285 KUHP dirasa belum sepenuhnya memperdulikan rasa keadilan. Vonis yang dijatuhkan untuk para pelaku perkosaan ternyata sering tidak mencapai setengah dari besarnya sanksi yang terdapat pada pasal-pasal tersebut, padahal penderitaan yang ditanggung korban sedemikian besar dan nyaris tak 6 7
Muyassarotussolichah, Ibid, h. 344. Ibid., h. 345.
36
terbayangkan. Korban mengalami stress, depresi, trauma, dan bahkan kegilaan pada akhirnya. Reformasi hukum di Indonesia antara lain terjadi dengan dikeluarkan dan dibahasnya RUU KUHP. Akan tetapi, pasal-pasal perkosaannya belum juga menunjukan pembelaan pada kesederajatan laki-laki dan perempuan. Kian maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya perkosaan, terkait erat dengan lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan lunaknya ancaman hukuman. Pasal 423 RUU KUHP, sebagaimana dikutip oleh Aroma Almina Martha, menyebutkan ketentuan-ketentuan perkosaan sebagai berikut: 1. Tindak Pidana perkosaan dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun dan paling singkat 3 tahun. Sedangkan tindak pidana perkosaan yang dimaksud adalah: a.
Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan dengan kehendak perempuan.
b. Laki-laki
melakukan
persetubuhan
dengan
perempuan
tanpa
persetujuan. c. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan sedang persetubuhan itu terwujud lewat ancaman pembunuhan atau pelukaan. d. Laki-laki
melakukan persetubuhan dengan perempuan karena
perempuan percaya bahwa ia suaminya yang sah. e. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan berusia 14 tahun, meski dengan persetujuannya.
37
f. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahuinya si perempuan tidak berdaya dan pingsan. 2. Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, bila dalam keadaan sebagaimana dimaksud ayat (1): a. Laki-laki memasukkan penisnya ke anus atau mulut si perempuan. b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuh ke vagina atau anus si perempuan. Selanjutnya bandingkan dengan pasal 285 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memerkosa, dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun”8 Rumusan Pasal 285 KUHP ini dinilai masih sangat sederhana dan tidak memadai. Pasal 423 RUU KUHP karenanya merasa perlu melakukan perubahan mendasar terhadapnya. Pasal 423 RUU KUHP menyebutkan tentang ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Perkosaan terjadi sebab tipu daya atau penyesatan, sehingga si perempuan menduga pelaku adalah suaminya. 2. Perkosaan terjadi sebab mudanya usia korban (dibawah 14 tahun) karena pada usia ini, perempuan dianggap belum bisa menentukan kehendaknya dengan nalar. 3. Perkosaan tidak hanya terkait dengan persetubuhan (sexsual intercourse), tetapi juga dengan bentuk-bentuk kekerasan atau serangan seksual lain. 4. Hukuman minimal bagi tindak pidana perkosaan adalah 3 tahun penjara.9 8
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia, 1996), h. 210.
38
Ketentuan tentang perkosaan dalam Rancangan KUHP di atas sesungguhnya melindungi posisi perempuan sebagai korban. Unsur-unsur pasalnya jauh lebih luas, variatif, dan ampuh dalam menjerat pelaku. Carol Smart, seperti dikutip Nursyahbani Katjasungkana, berpendapat, lemahnya kedudukan perempuan sesungguhnya merupakan konsekuensi perbedaan seksualitas manusia.10
B. Pandangan Hukum Pidana Islam Di dalam hukum pidana Islam perkosaan tergolong ke dalam jarimah takzir, karena tidak memenuhi unsur jarimah zina, hukuman diterapkan kepada pemerkosa dan tidak ada hukuman yang diterapkan kepada orang yang diperkosa. Jika pemerkosa itu budak, maka menjadi tanggung jawab tuannya, kecuali ia mau menyerahkannya. 11 Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengajarkan kesamaan hak. Terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan, Islam mengakui dan mengajarkan kesamaan hak bagi laki-laki dan perempuan (sexual equality).12 Sejumlah ayat al-Qur‟an menegaskan:
9
Aroma Elmina Martha, Perempuan, h. 56-57. Dalam, Milda Marlia, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 39. 10 Dikutip oleh Nursyahbani Katjasungkana, Aspek hukum kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Potret Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 96. 11 Imam Malik ibn Anas, Al-Muwatta‟, (Kumpulan Hadis dan Hukum Islam Pertama), diterjemahkan oleh Dwi Surya Atmaja dari Al-Muwatta of Imam Malik Ibn Anas The First, transleted by Aisha Abdurrahman Bewley, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), h. 416. 12 Milda Marlia, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 42.
39
“Hai Manusia, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa.” (Q.S. al-Hujurat 49:13).
“Siapapun, laki-laki dan perempuan yang beramal shaleh dan beriman, niscaya Kami berikan kehidupan yang baik.13 Dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S al-Nahl 16:97).
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,14 laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Q.S. al-Ahzab 33:35). 13
Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. 14 yang dimaksud dengan muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya. (Qur‟an in Word 2003)
40
Rasulullah SAW juga bersabda tentang kesetaraan ini, yang mana sabdanya:
“Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki.” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).15 Beberapa ayat dan hadits nabi di atas bisa dimaknai sebagai sesuatu yang sangat revolusioner. Ia tidak hendak melestarikan tatanan kesadaran dan sosial masyarakat Arab, tetapi justru mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan,
dan
tradisi
diskriminatif-misoginis
yang
sekian
lama
dipraktikkan. Pada masa pra-Islam, posisi dan derajat perempuan sangat rendah. Mereka dianggap barang atau benda yang dapat dipertukarkan dan diperlakukan seenak-enaknya, bahkan melahirkan seorang anak perempuan pun dianggap memalukan. Kala itu, mengubur hidup-hidup perempuan menjadi kebiasaan masyarakat Arab. 16 Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Islam memandang tindak pidana perkosaan adalah tindak pidana yang tergolong sangat merugikan bagi korban, keluarga dan masyarakat. Sebab, tindak pidana ini bisa menimbulkan kebobrokan moral yang ada pada lingkungan sekitar. Selain sudah merampas hak milik orang lain (kesucian seorang perempuan) tindak pidana ini juga diikuti oleh beberapa perbuatan, seperti kekerasan, ancaman, dan tipu daya.
15
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, tt), I: 61. Lihat Juga atTurmudzi, Sunan at-Turmudzi (Beirut: Dar Ihya at-Turas al-„Arabi, tt), I: 190. Lihat juga Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 163. 16 Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir, ibid., h. 19.
41
Kekerasan pada dasarnya, adalah semua bentuk perilaku orang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, verbal maupun non verbal, yang menimbulkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis.17 Perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual yang dialami laki-laki dan perempuan. Kekerasan seksual bisa dilakukan laki-laki terhadap perempuan, atau sebaliknya. Akan tetapi, umum terjadi, pelakunya adalah laki-laki. Perkosaan, pada hakikatnya merupakan pemaksaan sebuah hubungan senggama terhadap orang lain, baik lewat cara persuasif maupun represif.18 Perkosaan yang dilakukan terhadap perempuan dapat mengakibatkan kehamilan. Kondisi kehamilan perempuan yang diperkosa tentu akan membuat perempuan bersangkutan menanggung rasa malu dan mendapat cemooh dari masyarakat, selain akan merusak sendi susunan masyarakat di bidang kekeluargaan, baik perkawinan maupun kewarisan.19 Surat an-Nuur ayat 33 telah menentukan:
17
Elli Nur Hayati, Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan, (Yogyakarta: Rifka Annisa dan Pustaka Pelajar, 2000), h. 28. 18 Milda Marlia, Ibid, h. 72. 19 Neng Djubaedah, Perzinaan, Dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), h. 212.
42
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka,20 jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.21 dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”22 (Q.S. an-Nuur 24:33) Sebab turunnya surat an-Nuur ayat 33 tersebut, dalam satu riwayat dikemukakan bahwa Shubaih, hamba sahaya Huwaithib bin Abdil „Uzza, meminta dimerdekakan dengan satu perjanjian tertentu. Akan tetapi permohonannya ditolak. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan untuk mengabulkan permintaan hamba sahaya yang ingin merdeka dengan perjanjian tertentu. Diriwayatkan oleh ibnu Sakan di dalam Kitab Ma’rifatush Shahabah, dari Abdullah bin Shubaih yang bersumber dari bapaknya.23
20
salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal. 21 untuk mempercepat lunasnya perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya. 22 Maksudnya: Tuhan akan mengampuni budak-budak wanita yang dipaksa melakukan pelacuran oleh tuannya itu, selama mereka tidak mengulangi perbuatannya itu lagi. 23 K. H. Q. Sahaleh dan H. A. A. Dahlan dkk, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, ed. 2, 2007), h. 384.
43
Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa „Abdullah bin Ubay menyuruh jariyahnya (hamba sahaya wanita) melacur dan meminta bagian dari hasilnya. Maka turunlah kelanjutan ayat ini sebagai larangan memaksa jariyah melacurkan diri dan mencari keuntungan. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nama jariyah „Abdullah bin Ubay itu Masikah dan Amimah, yang keduanya mengadu kepada Rasulullah SAW karena dipaksa melacur. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sufyan yang bersumber dari Jabir bin „Abdillah.24 Dalam ayat tersebut tidak ditentukan hukuman bagi orang yang memaksa Masikah dan Amimah melakukan pelacuran, yaitu „Abdullah bin Ubay. Sedangkan bagi orang yang menikmati pelacuran melalui pembayaran yang ia berikan, dapat dikenakan hukuman takzir. Hal itu karena melakukan hubungan seksual di luar perkawinan dengan pemaksaan. Orang yang menjadi korban pelacuran adalah orang yang dipaksa melakukan pelacuran atau orang yang menjadi korban perkosaan, terhadap mereka bisa ditentukan hak ganti rugi berdasarkan takzir.25 Dari ayat-ayat al-Qur‟an dan hadits di atas, sekiranya penulis dapat mengambil beberapa poin penting bahwa, pertama, perkosaan adalah bentuk kejahatan yang sangat merugikan bagi berbagai pihak walaupun yang banyak terjadi perkosaan yang dilakukan terhadap laki-laki terhadap perempuan,
24
K. H. Q. Sahaleh dan H. A. A. Dahlan dkk, Ibid. Neng Djubaedah, Perzinaan, Dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), h. 213. 25
44
namun hukum Islam dapat mengakui perkosaan yang terjadi antara perempuan terhadap laki-laki karena Islam mengajarkan hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan, dan di antara laki-laki dan perempuan hendaklah ada rasa kasih sayang karena persaudaraan. Kedua, dalam pandangan hukum Islam perkosaan termasuk kepada jarimah takzir, dan hukuman bagi pelaku perkosaan adalah berdasarkan keputusan dan analisa hakim. Ketiga, bagi korban perkosaan dapat ditentukan hak ganti rugi berdasarkan takzir. Keempat, Allah SWT telah berfirman untuk menjaga kemaluan seseorang, yang firman-Nya dalam surat al-Mu‟minun 23:5-6
- :
/
Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. (Q.S. al-Mu‟minun 23:5-6)
45
BAB IV ANALISIS DAYA EFEK JERA SANKSI PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN
A. Pengertian Efek Jera dan Sanksi 1. Efek Jera Telah dijelaskan pada bab I dalam skripsi ini, bahwa hukuman ditetapkan untuk menciptakan efek jera (deterrence effect). Dengan menjatuhkan hukuman, pelaku kejahatan sekurang-kurangnya dihambat untuk melakukan kejahatan. Pengalaman penderitaan akibat hukuman dapat membuatnya jera untuk mengulangi kejahatannya (special deterrence). Hukuman bahkan dapat menciptakan efek jera bagi pihak lain (publik) sehingga kejahatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif secara umum dapat ditekan atau dikendalikan.1 Secara bahasa efek jera berasal dari bahasa inggris yang terdiri dari dua kata, yaitu deterrence dan effect.2 Deterrence berarti menakutkan; supaya jangan. Sedangkan effect berarti hasil atau sesuatu yang timbul akibat sesuatu.3
1
Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, artikel diakses pada 02 Oktober 2010 dari http://www.books.google.com, h.108. 2 Wojo Wasito dan Tito Wasito, Kamus Lengkap, Inggris Indonesia-Indonesia Inggris, (Bandung: Hasta, 1991), h. 42. 3 Ibid., h. 49
46
Jadi secara istilah efek jera adalah rasa ketakutan/ kapok yang timbul akibat adanya hukuman yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana. 2. Sanksi Menurut pemahaman penulis, sanksi adalah sesuatu ganjaran atau hukuman yang diberikan kepada yang melanggar peraturan. Jadi, sanksi pidana adalah hukuman yang diberikan dari yang berwajib kepada seseorang yang melakukan pidana. Istilah hukuman4 adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:5 1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
4
Hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, harus lebih dahulu tercantum dalam undang-undang pidana. Suatu asas yang disebut dengan nullum crimen sine lege, yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Letak perbedaan antara istilah hukuman dan pidana, bahwa suatu pidana harus berdasarkan kepada ketentuan undang-undang (pidana), sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya, meliputi pula misalnya, guru yang merotan murid, orang tua yang menjewer kuping anaknya, yang semuanya didasarkan kepada kepatutan, kesopanan, kesusilaan dan kebiasaan. Kedua istilah ini, juga mempunyai persamaan, yaitu keduanya berlatar belakang tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang, dst. Lihat Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), h. 20. 5 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), h. 4.
47
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); 3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Hukum Islam mendefinisikan sanksi/hukuman yang disebut dengan istilah “uqubat” (
) berasal dari bahasa Arab yang arti harfiyahnya
adalah pembalasan dengan keburukan.6 Sedangkan menurut terminologi:
“Uqubah adalah suatu balasan yang diberikan oleh syara‟ untuk mencegah pelanggaran terhadap larangan dan pengabaian terhadap kewajiban.7 Abdul Qadir Audah mendefinisikan uqubat sebagai berikut:8
“Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat terhadap pendurhakaan perkara yang ditetapkan oleh syar‟i” Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan dengan sengaja ini pula yang
6
Luis Ma‟lup, al-Munjid, (Beirut: Daar al-Masayrik, tt), cet. X, h. 518. Ahmad Fathi Bahnasi, al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Daar al-Zaid alArubah, 1961), cet. Ke-2, h. 9. 8 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jina al-Islamy, (beirut: Mu‟assasah ar-Risalah, 1992), cet. Ke-2, Juz I, h. 609. 7
48
menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.9
B. Sanksi Perkosaaan Perspektif Hukum Pidana Positif Perkosaan dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, ditulis dalam bab ke-XIV, telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana perkosaan adalah paling lama 12 tahun penjara, seperti yang tercantum dalam KUHP Pasal 285: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” Selanjutnya dalam Pasal 291: (1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun; (2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sedangkan dalam RUU-KUHP ada perubahan dan peningkatan ketegasan hukuman, yaitu: (1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun: a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
9
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, (Bandung: Binacipta, 1987), h. 17.
49
b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan wanita tersebut; c. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai; d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah; e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 tahun, dengan persetujuannya; atau f. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. (2) Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya kedalam vagina atau anus perempuan. Jadi, selama ini yang ditegakkan adalah nilai-nilai individualistis, yang mengabaikan prinsip keadilan. Hukum pidana hanya mempersoalkan 3 hal yaitu perbuatan yang dilarang, pertanggung-jawaban (orangnya/pelaku), dan sanksi
50
pidana, sehingga korban tidak menjadi perhatian. Sehubungan dengan kasus perkosaan, kedudukan korban dalam proses peradilan pidana hanyalah sebagai saksi korban. Korban justru dirugikan dan seolah-olah tidak dimanusiakan hanya penting untuk memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku, dan dijadikan barang bukti untuk mendapatkan visum et repertum. Perlindungan korban lebih banyak bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya, dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstrakto secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban. Hal ini tentu tidak memuaskan karena tidak dapat menjadikan pedoman perlindungan korban. Hukum positif menunjukkan pengaturan mengenai korban yang tidak memadai, seperti ketentuan dalam Pasal 14c KUHP, KUHAP (Pasal 98-101 BAB XIII). Padahal, kerugian yang diderita korban sangat berat. Perempuan korban perkosaan menanggung beban mental yang lebih berat dibandingkan hukuman bagi pemerkosanya. Korban akan mengalami cacat seumur hidup dan menerima tekanan dari masyarakatnya. Dampak lain menyangkut gangguan emosi sebagai beban psikologis dan berpengaruh secara psikis (misalnya schizoprenia) dan fisik (physiological disorder), ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidakbahagiaan, merasa terbuang, cacat tubuh, serta kematian. Di samping itu, penghinaan dari masyarakat, perasaan tertekan merasa dirinya telah kotor dan berdosa. Ditambah lagi tekanan-
51
tekanan yang timbul dari proses peradilan baik sebelum sidang, selama sidang, maupun setelah sidang semakin menderitakan korban.10 Jika penulis mengkaji kembali dari dampak kejahatan perkosaan tersebut, nyatalah bahwa beberapa macam pidana yang diatur dan diberikan oleh KUHP Indonesia belum mencapai kemaksimalan hukum. Perkosaan bukan hanya sebagai penyakit masyarakat tetapi juga merusak masa depan serta pemaksaan kehendak terhadap korban dan mengoyak hak asasi manusia. Perkosaan tidak hanya merupakan masalah antar individu, melainkan sebagai problem sosial yang terkait dengan masalah hak-hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat manusia terhadap wanita. Jadi terhadap pelaku kasus perkosaan harus dihukum seberat-beratnya tanpa terkecuali. Lemahnya hukum terhadap para pelaku pemerkosaan menyebabkan jumlah kasus kejahatan ini terus meningkat serta hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku tidak membuat jera.11 Menurut hemat penulis, karena begitu beratnya dampak yang dialami korban dan keluarganya, hukuman dalam KUHP Indonesia belum bisa mengganti, atau setidak-tidaknya membuat tenang hati dan fikiran korban perkosaan.
10
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Pelaku%20Pemerkosaan%20Pantas%2 0Dihukum%20Berat&&nomorurut_artikel=452 artikel diakses pada, Rabu, 09-02-2011, pukul 17.38 WIB. 11 http://www.ubb.ac.id/menulengkap, Ibid.
52
Selanjutnya, dapat penulis ambil contoh misalnya, seorang laki-laki yang memperkosa perempuan namun tidak menyebabkan kematian, kemudian pengadilan memberikan vonis hukuman maksimal yaitu 12 tahun penjara. Apakah waktu yang dialami terpidana selama 12 tahun di penjara dapat menutupi dan mengganti hal-hal yang dialami korban pasca perkosaaan? Di antara hal-hal tersebut antara lain: 1. Stres berat, susah tidur, tidak mau berinteraksi; 2. Kehamilan yang tidak diinginkan; 3. Penyakit menular serta pendarahan pada organ vital karena paksaan; 4. Sulit mencari pasangan hidup; 5. Gila (akibat stress yang berkepanjangan); 6. Kehilangan semangat hidup hingga bisa menyebabkan bunuh diri. Menurut penulis, contoh di atas dapat menggambarkan bahwa perkosaan adalah tindak pidana yang seharusnya harus ditindak lebih tegas lagi oleh hukum yang ada di Indonesia saat ini. Belum lagi jika perbuatan tersebut menyebabkan kematian korban, sudah tentu jelas pasca perkosaan keluarga yang menanggung semuanya. Beberapa kalangan menilai, salah satu penyebab kasus pemerkosaan terus-menerus terjadi disebabkan faktor hukuman fisik yang dilakukan sangat ringan. Dalam hitungan tahun atau bahkan bulan, pelaku dapat melenggang bebas dari penjara. Padahal, apa yang dirasakan korban bisa berupa trauma
53
seumur hidup. Seperti yang dijelaskan Zulrizka, 12 "korban tak bisa tidur, sering bermimpi buruk, malas makan, emosi tak terkendali, frigid, dan takut pada lakilaki. Itu semua kemungkinan yang terjadi pada korban. Ini memerlukan terapi. Lama atau tidaknya terapi tergantung setiap kasusnya.13" Menurut Satochid Kartanegara,14 bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar suatu norma yang ditentukan oleh undangundang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan putusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut: 1) Jiwa manusia (leven); 2) Keutuhan tubuh manusia (lyf); 3) Kehormatan seseorang (eer); 4) Kesusilaan (zede); 5) Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
12
http://anjarmoe.multiply.com/journal, artikel diakses pada, Rabu, 09-02-2011, pukul 17.45 WIB. 13 http://anjarmoe.multiply.com/journal, Ibid. 14 Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, h. 275-276.
54
6) Harta benda/kekayaan (vermogen). Persoalan sanksi dalam hukum pidana berkaitan erat dengan pemikiran filsafat pemidanaan, akan tetapi bagaimana sesungguhnya keterkaitan antara filsafat dan pemidanaan? Secara kategorial muncul dua pendekatan yang tampak bertentangan dari fikiran di satu pihak, dan pikiran hukum di pihak lain. Pada satu sisi, para ahli filsafat memusatkan diri pada persoalan mengapa kita memidana, sedangkan pada sisi lain para ahli hukum dan ahli penologi mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah pemidanaan itu berhasil, efisien, mencegah atau merehabilitasi. Meskipun dua pendekatan itu berbeda, namun menurut Gerber dan McAnany15, jalan tengah untuk mempertemukan keduanya dapat di ajukan. Persoalan efisiensi yang menjadi perhatian ahli hukum dan penologi hanya dapat dijawab dari sudut tujuan yang menjadi perhatian para ahli filsafat. Tujuan, pada gilirannya menunjukkan sesuatu pendirian sikap terhadap bidang moral berkenaan dengan keadilan dan ketidakadilan dalam pemidanaan individu tertentu atas perbuatan tertentu dengan cara tertentu. Dengan demikian, argumentasi-argumentasi yang dirumuskan dalam berbagai aliran filsafat, niscaya dapat digunakan oleh para ahli hukum dan penologi sebagai hipotesis
15
Rudolph J. Gerber and Patrick D. McAnany, The Philosophy of punishment, dalam: John Wiley and Sons, The Sociology og Punishment & Correction, (New York: 1970), Inc., h. 360.
55
riset empiris tentang pemidanaan, serta bermanfaat dalam penetaan suatu sanksi (hukum pidana).16 Di samping itu, seorang hakim juga harus jeli melihat berbagai kasus pemerkosaan. Pada banyak kasus, pelaku sering berkilah dengan mengatakan bahwa yang dilakukannya atas suka sama suka. Seperti kasus pembantu dengan majikan. Karena berada di bawah ancaman tidak diberikan gajinya atau ancaman kekerasan, seorang pembantu terpaksa bersedia melayani majikannya. Karena kejadian itu berulang-ulang, orang mengasumsikannya suka sama suka. Dalam hal ini hakim harus jeli melihatnya.17 Di dalam hukum pidana positif pengaturan denda untuk korban perkosaan dapat dilihat pada KUH Perdata Bab III pasal 1365 yang berbunyi. “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. (KUHPerd. 568, 602, 1246, 1447, 1918 dst; Rv. 580-71, 582; Aut. 27; Octr. 43 dst.; KUHP 1382 bis.)”
C. Sanksi Bagi Pelaku Perkosaaan Perspektif Hukum Pidana Islam Pidana Islam atau yang dikenal dengan fiqh jinayah mengkategorikan perkosaan sebagai jarimah takzir. Sebelum menbahas lebih jauh ada baiknya penulis menjabarkan kenapa perkosaan tidak termasuk hadd melainkan takzir. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut.
16
Ibid., h. 360-361.
17
Rudolph J. Gerber and Patrick D. McAnany Ibid., 360-361
56
Unsur-Unsur
Perkosaan
Zina
Perbuatannya
Memaksa
Tanpa paksaan
Cara
Kekerasan / Ancaman kekerasan
Tanpa kekerasan
Obyek
Wanita
Laki-laki dan Wanita
Yang dilakukan
Bersetubuh
Bersetubuh
Hukum Pidana Islam sangat mengecam sekali akan tindak pidana perkosaan. Selain merusak susunan moral masyarakat, juga berdampak sangat buruk bagi korban dan keluarga. Allah SWT sebagai al-Khaliq, Maha Pencipta alam semesta, antara lain manusia, adalah Maha Mengetahui mengenai tabiat atau watak manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal hasrat seksual antara laki-laki dengan perempuan. Oleh karena itu, Allah telah menentukan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perzinaan, sebagai cinta Allah kepada hamba-Nya, agar setiap manusia tetap suci dan memelihara diri dari perbuatan keji, antara lain perkosaan. Khalifah „Umar ibn al-Khattab menghukum seorang lelaki dzimmiy yang memaksa seorang perempuan muslimah berzina dengan hukuman mati yang eksekusinya di kawasan Bait al-Maqdis.18 Jarimah hudud bisa berpindah menjadi jarimah takzir bila ada syubhat, baik shubhat fi al fi‟li, fi al fa‟il maupun fi al mahal. Demikian juga bila jarimah
18
Syams al-Din al-Sarkhasi, al-Mabsut Syarh al-Kafiy, dalam Asmawi, Menelusuri Kebijakan Hukum Pidana Pada Masa Rezim Khulafa‟ Al-Rasyidin, h.3.
57
hudud tidak memenuhi syarat, seperti percobaan pencurian, percobaan pembunuhan dan perkosaan. Takzir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan takzir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqaha‟ mengartikan takzir dengan hukuman yang tidak detentukan oleh al-Qur‟an dan Hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Takzir sering juga disamakan oleh fuqaha‟ dengan hukuman terhadap setiap maksiat yang tidak diancam dengan hukuman hadd atau kaffarat. Abd Qodir Audah membagi jarimah takzir menjadi tiga, yaitu19 : a. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta syirkah, perkosaan, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda. b. Jarimah takzir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari‟ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
19
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/694, artikel diakses pada hari rabu, 23 Maret 2011, pukul 23.15
58
c. Jarimah takzir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya. Dalam menetapkan jarimah takzir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah takzir harus sesuai dengan prinsip syar‟i. Hukuman-hukuman takzir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman-hukuman takzir antara lain. 1. Hukuman mati Pada dasarnya menurut syariah Islam, hukuman takzir adalah memberikan pengajaran (ta‟dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman takzir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa.
Akan tetapi
beberapa
fuqaha‟
memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan
59
membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, perkosaan residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqaha‟ yang lain dalam jarimah takzir tidak ada hukuman mati. 2. Hukuman Jilid Dikalangan fuqaha‟ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam takzir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman takzir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta‟zir adalah 39 kali, dan menurut Abu yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan madzhab Syafi‟i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada takzir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah takzir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud. Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya sama dengan pendapat madzhab Imam Syafi‟i. pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya.
60
Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman takzir tidak boleh melebihi 10 kali. 3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan) Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi, ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan
dalam
jarimah
zina.
Sementara
ulama‟-ulama‟
lain
menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya. 4. Hukuman Salib Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirabah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut merupakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah takzir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan menjalankan shalat cukup
61
dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqaha‟ tidak lebih dari tiga hari. 5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tahbih) dan Peringatan Ancaman juga merupakan salah satu hukuman takzir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancaman jilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi. Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rasulullah saw berkata : “wahai Abu Dzar, engakau menghina dia dengan menjelek-jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat-sifat masa jahiliyah”. Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al-Qur‟an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz. 6. Hukuman Pengecualian (Al Hajru) Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman takzir yang disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah.
62
7. Hukuman Denda (Tahdid) Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Asas perlindungan bagi korban perkosaan juga dapat diketahui dari pendapat Imam Syafi‟i dan Imam Hanbali, bahwa barang siapa yang memerkosa seorang wanita, maka ia harus membayar mahar misil.20 Imam Malik berpendapat yang sama dengan Imam Syafi‟i dan Imam Hanbali. Yahya (murid Imam Malik) mendengar Malik berkata, bahwa: “Apa yang dilakukan di masyarakat kita mengenai seseorang yang memerkosa seorang wanita, baik perawan atau bukan perawan, jika ia wanita merdeka, maka pemerkosa harus membayar maskawin dengan nilai yang sama dengan orang seperti dia. Jika wanita tersebut budak, maka pemerkosa harus membayar nilai yang dihilangkan. Hadd (sanksi) hukuman dalam kasus-kasus seperti ini diterapkan kepada pemerkosa, dan tidak ada hukuman yang diterapkan bagi yang diperkosa. Jika pemerkosa adalah budak, maka itu menjadi tanggung jawab tuannya kecuali ia menyerahkannya.” 21
20
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab [al-Fiqh al-Mazahib al-Khamsah] diterjemahkan oleh Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idris al-Kaff, cet-1 (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h. 367. Lihat juga, Neng Djubaedah, Perzinaan, Dalam peraturan Perundangundangan di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), h. 216. 21 Imam Malik ibn Anas, al-Muwatta‟ (Kumpulan Hadits dan Hukum Islam Pertama) (al-Muwatta‟ of Imam Malik ibn Anas the First Formulation of Islamic Law) diterjemahkan oleh dwi Suri Atmaja, cet-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 416., Ibid., h. 217.
63
Imam Sulaiman Al-Baji Al-Maliki mengatakan, “Wanita yang diperkosa, jika dia wanita merdeka (bukan budak), berhak mendapatkan mahar yang sewajarnya dari laki-laki yang memperkosanya. Sementara, pemerkosa dijatuhi hukuman had (rajam atau cambuk). Ini adalah pendapat Imam Syafi‟i, Imam AlLaits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu „anhu. Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, „Dia berhak mendapatkan hukuman had, namun tidak wajib membayar mahar.‟” Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, “Dalil pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua kewajiban untuk pemerkosa, adalah bahwa untuk hukuman had ini terkait dengan hak Allah, sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk ….” (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa‟, 5:268). Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan tindak pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had, jika terdapat bukti yang jelas, yang mengharuskan ditegakkannya hukuman had, atau pelaku mengakui perbuatannya. Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di atas maka dia berhak mendapat hukuman (selain hukuman had). Adapun terkait wanita korban, tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar diperkosa dan dipaksa oleh pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan tolongnya.” (AlIstidzkar, 7:146) Syeikh Muhammad Shalih Munajid memberikan penjelasan untuk keterangan Ibnu Abdil Bar di atas, “Jika tidak terdapat bukti yang menyebabkan dia berhak mendapat hukuman had, baik karena dia tidak mengakui atau tidak ada empat orang saksi, maka (diberlakukan) pengadilan ta‟zir (selain hukuman had), yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut darinya.”22 Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas jelas bahwa hukum Islam telah mengenal asas perlindungan terhadap korban sejak awal, yaitu sejak Rasulullah SAW masih hidup melalui wahyu Allah yang terdapat dalam surat al-Baqarah
22
Disarikan dari Fatawa Al-Islam, Tanya-Jawab, diasuh oleh Syekh Muhammad Shaleh Munajid, fatwa no. 72338, dalam http://konsultasisyariah.com/hukum-kasus-pemerkosaan, artikel diakses pada selasa, 22 Maret 2011, pukul 18.40 WIB.
64
ayat 172 dan surat an-Nisa ayat 92 juncto surat an-Nuur ayat 33 dan pendapat para Imam Mazhab sebagaimana tersebut di atas. Ketentuan hukum tersebut sering mendapat penilaian sebagai hukum yang tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia, atau disebut sebagai hukuman yang hanya dapat diterapkan pada masa turunnya ayat dan Hadits hukum tersebut, karena saat ini hukum Allah, menurut kalangan yang menolak hukum Allah tentang perzinaan, sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan hukum Allah sering disebutkan atau mendapat predikat sebagai hukum yang kejam dan sadis.23 Jika dilihat dari bentuk hukuman zina semata, tanpa melihat dan mengkaji aspek lain yang berkaitan dengan perkosaan berdasarkan syari‟at Islam maupun nilai-nilai Islam, tentu melihat perkosaan akan menjadi lain dan berbeda. Misalnya, dampak dari perbuatan perkosaan terhadap pihak lain maupun sususan kemasyarakatan tanpa menghubungkannya dengan hukum kekeluargaan sesuai syari‟at Islam tentu akan berbeda dengan kalangan sekuler.24
D. Jumlah Atau Besaran Mahar Sebagai Ganti Kerugian Kepada Korban Perkosaan Menurut Hukum Islam Menurut Imam Malik, terhadap korban dari pemaksaan hubungan seksual (perkosaan), pemerkosa berkewajiban membayar dana sebesar nilai mahar. Pendapat Imam Malik yang disampaikan oleh Ibn Shihab, bahwa „Abd. Al-Malik 23
Neng Djubaedah, Perzinaan, Dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), h. 7. 24 Neng Djubaedah, Ibid., h. 8.
65
Ibn Marwan memberikan keputusan terhadap pemerkosa agar membayar perempuan yang diperkosa senilai mahar atau maskawinnya. 25 Menurut As-Shan‟ani dalam Subulussalam, bahwa mahar yang diberikan Rasulullah kepada isterinya, menurut „Aisyah r.a. adalah sebesar 12,5 uqyah.26 Besaran satu uqyah sama dengan 40 dirham, sedangkan menurut „Aisyah r.a., satu uqyah sama dengan 50 dirham.27 Dengan demikian, maka 12,5 uqyah x 40 dirham = 500 dirham. Jika satu uqyah sama dengan 50 dirham, maka 12,5 uqyah x 50 dirham = 625 dirham. Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa sunah penetapan mahar maskawin yang diberikan kepada isteri adalah sebesar 500 dirham. 28 Besaran atau nilai satu dirham = 2,975 gram perak. Maka besaran atau jumlah 500 dirham dikalikan 2,975 gram perak, maka jumlahnya sebesar 1.487,5 gram perak. Jika satu gram perak murni berharga sekitar Rp. 150.000,00, maka 1.487,5 gram perak x Rp. 150.000,00 = Rp. 223.125.000 (dua ratus dua puluh tiga juta seratus dua puluh lima ribu rupiah). Rasulullah SAW pernah memberikan mahar kepada Ummu Habibah sebesar 4.000 dirham. Maka jika dihitung dengan menggunakan perak murni, adalah sebagai berikut. Satu dirham = 2,975 gram perak x 4.000 dirham = 11.900 gram perak. Jika 11.900 gram perak itu dihitung dalam uang rupiah Republik
25
Imam Malik ibn Anas,. Op.,cit, h. 416. Ibid., h. 535. 27 Ibid. 28 Imam Malik ibn Anas,. Op.,cit, h.535 26
66
Indonesia, maka jika harga perak murni sekitar Rp. 150.000,00/gram, berarti 11.900 gram perak murni x Rp. 150.000,00 = Rp. 1.785.000.000,00 (satu milyar tujuh ratus delapan puluh lima juta rupiah). Menurut Shan‟ani, selain membayar mahar kepada Ummu Habibah sebanyak 4.000 dirham, Rasulullah SAW juga membayar 4.000 dinar. Harga satu dinar sama dengan 4,25 gram emas. 4.000 dinar dikalikan 4,25 gram emas sama dengan 17.000 gram emas. Jika
harga
emas
murni
sekitar
Rp.
300.000,00
sama
dengan
Rp.
5.100.000.000,00 (lima milyar seratus juta rupiah). Batasan maksimal mahar yang wajib diberikan suami kepada isterinya adalah tidak terbatas, berdasarkan surat an-Nisa ayat 20, “sedang kamu sudah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (qinthar)”.29 Yang dimaksud dengan qinthar, menurut para fuqaha, ada yang mengartikan sebanyak: 1. 1.200 uqyah emas; 2. Emas sepenuh kulit sapi; 3. Emas seberat 100 kati. Satu kati sama dengan 6,5 ons. Jadi 100 kati sama dengan 650 ons emas. Jika dihitung lagi, 1 ons sama dengan 100 gram. Maka, 650 ons emas sama dengan 6.500 gram emas atau 65 kg emas.
29
Imam Malik ibn Anas,. Op.,cit, h.535
67
Jika saat ini harga emas 1 gram murni sebesar Rp. 300.00,00/gram, maka 6.500 gram emas murni dikalikan Rp. 300.000,00 sama dengan Rp. 19.500.000.000,00 (sembilan belas milyar lima ratus juta rupiah). Inilah gambaran ganti kerugian atau restitusi yang dapat dibayarkan oleh pemerkosa kepada korban, yang penulis kutip dari bukunya Neng Djubaedah.30 Dengan demikian bisa diketahui bahwa sangat berat hukuman dan besarnya ganti kerugian bagi pelaku kejahatan perkosaan. Jika hukum seperti ini, masih adakah yang melakukan tindak perkosaan? Wallahu a‟lam.
E. Manfaat Efek Jera Secara konseptual penetapan hukuman kepada pelaku kejahatan ternyata memiliki banyak manfaat, sebagai berikut: 31 General deterrence benefits atau efek jera secara umum, yaitu dampak dari hukuman adalah untuk membersihkan sinyal untuk mengurangi hasrat dari pihak ketiga untuk melakukan korupsi maupun tidak kejahatan lain. Specific deterrence benefits atau efek jera secara khusus, yaitu manfaat pengenaan hukuman yang akan menyebabkan si pelaku jera untuk mengulangi perbuatannya.
30
Neng Djubaedah, Perzinaan, Dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), h. 224-226. 31 Ridwan Zachrie Wijayanto, Korupsi Mengorupsi Indonesia: sebab, akibat, dan prospek, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h.181.
68
Incapacitation benefits atau manfaat penahanan, yaitu bahwa masyarakat terbebas dari kemungkinan tindak kejahatan yang dilakukan si pelaku ketika yang bersangkutan ditahan di rutan. Punishment benefits atau manfaat hukuman, yaitu upaya untuk membebani si pelaku dengan biaya sebagai reaksi atas perilaku yang merugikan masyarakat. Rehabilitation benefits atau manfaat rehabilitasi, yaitu mengirim pelaku kejahatan ke penjara untuk kemudian dibina dan diberikan keterampilan. Restitution benefits atau manfaat pemulihan, kerugian akibat tindak pidana, bisa berbentuk uang pembayaran ganti rugi kerugian yang harus dibayar kepada pihak-pihak yang dirugikan.
F. Tingkat Kriminalitas Perkosaan Tahun 2003-2007 Menurut data yang dilansir oleh Rifka Annisa Woman Crisis Center (Yogyakarta) dalam situsnya, jumlah pengaduan yang masuk dari tahun 2003 sampai dengan Oktober 2006 untuk kasus pelecehan seksual adalah sebanyak 69 kasus, sedangkan jumlah pengaduan untuk kasus pemerkosaan adalah sebanyak 151 kasus. Selama rentang waktu tahun 1994 September 2007 secara keseluruhan Rifka Annisa mencatat ada 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26,60 persen di antaranya adalah kekerasan dalam pacaran dan perkosaan.
69
LBH APIK Jakarta mengungkapkan DKI Jakarta menempati urutan pertama jumlah kasus kekerasan pada perempuan, yaitu sebanyak 7.020 kasus, diikuti oleh Jawa Tengah sebanyak 4.878 kasus, Jawa Timur sebanyak 1.886 kasus, dan Sumatera 1.599 kasus. Angka kekerasan terhadap perempuan di Jakarta itu meliputi kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 3.682 kasus, dan kekerasan dalam komunitas sebanyak 1.787 kasus dalam bentuk pencabulan sebanyak 12 kasus, pemerkosaan (343 kasus), pelecehan seksual (7 kasus), kekerasan seksual (548 kasus), perdagangan perempuan (15 kasus), buruh migran (712 kasus), penganiayaan (74 kasus), dan lain-lain (76 kasus). Sedangkan secara nasional, (menurut data Komnas Perempuan) ada peningkatan jumlah kasus yang signifikan dalam kurun waktu tahun 2003-Maret 2007. Tahun 2003 total kasus yang terjadi adalah 7.787, tahun 2004 sebanyak 14.020 kasus (naik 80 %), tahun 2005 sebanyak 20.391 kasus (naik 69 %), dan tahun 2006-Maret 2007 sebanyak 22.512 kasus. Data tersebut adalah data jumlah kasus yang ditangani oleh 257 lembaga di 32 propinsi di Indonesia. 32
32
www.jogjaselfdefense.blogspot.com, artikel diakses pada Selasa, 22 Maret 2011, pukul 16.00 WIB.
70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah melalui kajian sederhana pada bab-bab terdahulu, ternyata tindak pidana perkosaan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia masih memerlukan kajian berdasarkan hukum Islam. Beberapa kesimpulan penulis uraikan dalam poin-poin sebagai berikut: 1. Hukum pidana positif dan hukum pidana Islam tidak terlalu berbeda dalam memandang tindak pidana perkosaan. Persamaannya terletak pada definisi perkosaan, yaitu “hubungan seksual di luar pernikahan yang sah dan dilakukan tanpa persetujuan korban disertai kekerasan atau ancaman kekerasan”. 2. Sanksi yang ditetapkan dalam hukum pidana positif bagi pelaku kejahatan perkosaan yaitu paling lama 12 tahun penjara, dan paling lama 15 tahun penjara jika menyebabkan kematian korban. Hukum pidana Islam memberikan sanksi bagi pelaku yaitu berdasarkan takzir. Hukuman bisa mencapai hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian. 3. Efek jera yang ada pada sanksi-sanksi yaitu, ketika pelaku di penjara, pelaku sekurang-kurangnya
dihambat untuk melakukan perbuatan
kriminal, sedangkan dalam hukum pidana Islam pelaku akan merasakan pembalasan yang berat atas perbuatan yang dilakukan.
71
4. Manfaat efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan dari hukum pidana Islam yaitu, pelaku merasa malu karena disaksikan masyarakat, korban akan merasa aman karena pelaku sudah dihukum maksimal, dan masyarakat akan merasa enggan bertindak kriminal ketika melihat eksekusi.
B. Saran Beberapa saran yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut: 1. Perkosaaan yang tergolong tindak pidana yang sangat merugikan bagi korban dan berbagai pihak sudah seharusnya dibenahi dan dikaji lagi mengenai ketegasan hukumannya. 2. Hukum pidana positif adalah buatan manusia, sedangkan hukum pidana Islam buatan Allah SWT. Sudah sepantasnya kita selaku makhluknya jika menetapkan hukum berpedoman kepada hukum Sang Pencipta. 3. Bagi korban perkosaan, seharusnya diberikan pelayanan medis gratis dari pemerintah hingga penyembuhan fisik dan mental si korban. 4. Perlunya penanaman nilai-nilai sosial dan nilai-nilai keagamaan, dan penerapan sanksi hukum yang berat serta peningkatan rutinitas dan intensitas razia terhadap media cetak dan elektronik yang memuat unsurunsur pornografi.
72
DAFTAR PUSTAKA
BUKU: Al-Qur’an ku, Arab-Latin-Terjemah, India-Indonesia: Islamic Book Service & Lautan Lestari, 2004. Atmaja, Dwi Surya, Imam Malik ibn Anas al-MuwattaKumpulan Hadits dan Hukum Islam Pertama (al-Muwatta of Imam Malik ibn Annas The First), Jakarta: Raja Grafindo, 1999. Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri al-Jina al-Islami, Beirut: Mu’assasah arRisalah, 1992. Bahnasi, Ahmad Fathi, al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Daar al-Zaid alArubah, 1961. Bemmelen, J.M. van, Hukum Pidana I Hukum Pidana Bagian Umum, Bandung: Bina Cipta, 1987. Box, Steven, Power, Crime and Mystification, Newyork: Tavistock Publications, 1983 Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2000. Dawud, Abu, Sunan Abu Dawud, Beirut: Daar al-Fikr, tt. Djoko Prokoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984. Djubaedah, Neng, Perzinaan (Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam), Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010.
73
Hamzah, Amdi, & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, Di Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, Cet ke-2. Hanapi, Mohd. Shukri dan Mohd. Tajul Sabki, Undang-undang Jenayah Syari’ah (Hudud, Qisas, dan Ta’zir), Kuala Lumpur: Zebra Editions, 2003. Haryanto, Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita, Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada, 1997. Hasan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002. Hayati, Elli Nur, Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan, Yogyakarta: Rifka Annisa dan Pustaka Pelajar, 2000. Ibrahim ibn Muhammad ibn Farhun, Tabsirat al-Hukkam, Kairo: Dar Ihya’ alKutub al-‘Arabiyyah, 1980. Katjasungkana, Nursyahbani, Aspek Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Potret Perempuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1997. Ma’lup, Luis, al-Munjid, Beirut: Daar al-Masayrik, tt. Marlia, Milda, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007. Marpaung, Laden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. --------------, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Marsum, Jinayat, Yogyakarta: Universitas Indonesia Press, 1978.
74
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1993. Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab (al-Fiqh al-Mazahib alKhamsah) terj. Masykur A.B. dan Idris al-Kaff, Jakarta: Lentera Basritama, 1996. Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan (Refleksia Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LkiS, 2001. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005. N.M., Khairuddin, Pelecehan Seksual Terhadap Isteri, Yogyakarta: PPK UGM, 1998. Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992. Sahaleh, K. H. Q., dkk, Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an), Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2007. Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam (Penegakan Syari’an Dalam Wacana dan Agenda), Jakarta: Gema Insani Press, 2003. -------------, Seksualitas Dalam Hukum Pidana, Jakarta: IND-HLL CO, 1997. Soedibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yurisprudensi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor: Politeia, 1996. Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, Beirut: Daar Ihya at-Turas al-‘Arabi, tt Umam, Cholil, Himpunan Fatwa-fatwa Pilihan, Bandung: Citra Umbara, 1997.
75
Wasito, Wojo dan Tito Wasito, Kamus Lengkap (Inggris-indonesia IndonesiaInggris), Bandung: Hasta 1991. Wijayanto, Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: sebab, akibat, dan prospek, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009. Zahrah Abu, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, Beirut: Dar alFikr, t.t.
TULISAN ILMIAH: Asmawi, Menelusuri Kebijakan Hukum Pidana Pada Masa Rezim Khulafa alRasyidin, Tulisan Ilmiah: Makalah di Persentasikan dalam Seminar Hukum Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pada 25 Juli 2008. Dwiyanti, Ira, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana, Tesis S2, Peradilan Pidana, Megister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro Semarang, 2007 Irianto, Sulistyowati, Menumbuhkan Budaya Hukum Baru Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Makalah Disampaikan Dalam Sesi Tentang KeSukuBangsaan dan negara, dalam Seminar Jubileum ke-30 Jurnal Antropologi Indonesia, di Pusar Studi Jepang, universitas Indonesia, Depok 6-8 Mei 1999. JM. Muslimin, Ilmu Syari’ah dan Aplikasi Umum, Tulisan Ilmiah: Jakarta: 2008. Kartanegara, Satochid, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, Dissusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, tahun 1954-1955. Muyassarotussolichah, Pemanfaatan Perbandingan Hukum Delik Kesusilaan Dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Sosio-Religia, Mei 2003. Niarchos, Chaterine N., Women, War, and Rape: Challenges Facing The International Tribunal for the Former Yugoslavia, dalam Skripsi, Tindak Pidana Perkosaan di Waktu Perang, Universitas Sumatra Utara, 2002.
76
Sulistyaningsih, ekandari dan Faturochman, Dampak Sosial Psikologis Perkosaan, Buletin Psikologi Tahun X, No. 1, Juni 2002.
Wignjosoebroto, S. 1997, Kejahatan Perkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau Ilmu-Ilmu Sosial, dalam Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, ed. Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 1997.
MEDIA INTERNET: -
http://asmawi.net/?p=294
-
http://anjarmoe.multiply.com/journal.php
-
http://bimoadiwicaksono.blogspot.com/2010/08/perbandingan-pidana-matidalam.html
-
http://www.docstoc.com
-
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun hukum, Membela Keadilan, kanisius, http://books.google.com/books
-
http://www.uub.ac.id/menulengkap.php?judul=Pelaku%Pemerkosaan%20Pant as%20Dihukum%20Berat&&nomorurut_artikel=452
-
http://www.wikipedia.com-definisi-perkosaan.html
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA