PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT SALAH TANGKAP (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S. Sy)
Oleh: FAHRURROZI NIM. 104045101547
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2010 M
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur yang tiada hentinya kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberi penulis kemudahan dari setiap kesulitan yang datang dan kekuatan yang tidak terduga dari setiap kelelahan yang menerpa. Atas rahmat dan karunia dari Mu, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan di warnai dengan ujian, emosi, kesabaran, dan kekuatan. dan juga salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat. Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. DR. H. Amin Suma, SH., MA., MM. 2. Ketua program studi Jinayah Siyasah, Bapak Dr. Asmawi M.Ag dan sekretaris program studi Jinayah Siyasah Ibu Sri Hidayati, M.Ag atas kesabaran dan waktunya dalam menghadapi semua pertanyaan penulis. 3. Kepada para dosen yang telah memberi ilmu, tenaga, dan waktu yang luar biasa bagi penulis selama ini. 4. Kepada pegawai perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah membantu penulis mencari buku dalam pembuatan skripsi ini.
5. Kepada para pembimbing skripsi, Bapak H. Zubir Laini, SH, dan Bapak Dr. Nurul Irfan, Yang telah memberikan saran, masukan, dan pengarahan yang luar biasa bagi proses skripsi ini. 6. Kepada Kedua Orang tua tercinta, Ayahnda H. Abdul Rammat dan Ibunda Halimah yang telah menekankan mengenai pentingnya pendidikan dan menghargai ilmu, memberikan dukungan do’a yang tidak pernah putus juga telah memberikan kepercayaan yang besar bagi Anakmu (penulis). 7. Kepada adikku yang masih belum beranjak dewasa, Ahmad Maulana rizqi. Terima kasih telah memberikan suasana yang berbeda setiap harinya di rumah. Semoga skripsi ini dapat memberikan inspirasi untuk kamu agar dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik. 8. Kepada teman-teman alumni Pon Pes Darussalam Bogor khususnya alumni ke IX Al-Adiyaat. 9. Kepada teman-teman sekelas : Amin, Epi, Zaelani, Hijrah, Finalto, Devison, Komson, Azis, Rifa’i, Riko, Husni, Agus, Hilmi, Johan, Nandez, Iwek, Irna, Puti, Zulfa, Novi, dan Reva. 10. Kepada seluruh dosen yang memberi dorongan dan semangat penulis dalam pembuatan skripsi ini. 11. Kepada seluruh guru-guru yang pernah mengajar penulis. Skripsi ini merupakan bentuk terima kasih dan penghargaan tertinggi penulis atas jasajasa para guru selama ini. 12. Kepada rental Elok dan rental Cemara khususnya buat Bang Nanang yang membantu penulis dalam pengetikan dari awal hingga selesai.
13. Kepada Fitriyani terima kasih telah memberikan masukan-masukan yang berharga bagi penulis. Smoga apa yang penulis cita-citakan tercapai. Amin... Demikian ucapan terima kasih dari penulis dan penulis berharap semoga segala kebaikan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis juga berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.
Jakarta,
10 Januari 2010 M 25 Muharram 1431 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................
5
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................
7
C. Manfaat dan Tujuan ..................................................................
8
D. Kajian Pustaka ..........................................................................
8
E. Metode Penelitian .....................................................................
9
F. Sistematika penulisan................................................................ 10
BAB II
TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana........................................ 12 B. Tujuan Pemidanaan................................................................... 21 C. Sanksi Dalam Hukum Pidana Jenis dan Macam-Macamnya ...... 25 D. Pencemaran Nama Baik dan Sanksinya Menurut Hukum Positif 29
BAB III
PIDANA DAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Jinayah dan Jarimah................................................. 39 B. Macam-macam dan Jenis-Jenis Jarimah .................................... 42 C. Uqubah Macam dan Tujuannya Dalam Hukum Islam................ 55 D. Pencemaran Nama Baik dan Jenis Sanksinya Menurut Hukum Islam......................................................................................... 62 E. Kasus Hadis Al-Ifki dan Kaitannya Dengan Pencemaran Nama Baik .......................................................................................... 65
BAB IV
SALAH TANGKAP DAN PENCEMARAN NAMA BAIK A. Pengertian Salah Tangkap ......................................................... 77 B. Sebab Terjadinya Salah Tangkap .............................................. 78 C. Akibat Salah Tangkap ............................................................... 83 D. Macam-Macam Perlindungan Hak Korban................................ 84 E. Kasus Salah Tangkap ................................................................ 86 F. Analisis Pebandingan .................................................................. 91
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................... 91 B. Saran-saran ............................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia yang memiliki serta kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk lainnya telah mendorong untuk mencari jalan yang lurus dan terang agar kehidupan mereka senantiasa dipenuhi kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk itu dibuatlah suatu rumusan yang dikenal dengan istilah Hukum, yakni kumpulan dan aturan-aturan hidup dan kehidupan. Akan tetapi semenjak terjadinya krisis moneter pada masa orde baru tahun 1998 menyebabkan perekonomian di Indonesia tidak stabil sehingga ada sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan tindak pidana seperi pencurian, pembunuhan , perampokan dan lain-lain. Maka dari karena itu, tugas penertiban hukum pada masa yang akan datang tidak terlepas dari penggunaan metode dan cara-cara penyelesaian konflik berdasarkan aturan hukum. Baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, Polisi (aparat hukum) pada masa yang akan datang tidak terlepas dari tugas yang paling utama yaitu menjaga ketertiban.1 Oleh karena itu, untuk terciptanya pelaksanaan pembangunan nasional yang terencana dan terarah tentunya perlu didukung oleh peran serta secara aktif dari semua lapisan masyarakat serta aksi dan reaksi dari aparat pemerintah dalam
1
Siswanto Sunarso. Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia. (Bandung, PT Citra Aditia Bakti. 2005). Cet ke 1. hal. 162
kerangka penegakan hukum. Dengan kata lain pembangunan nasional dapat terwujud, salah satunya melalui, proses pengintegrasian antara upaya penegakan hukum dengan keseluruhan kebijaksanaan sosial. 2 Setiap anggota masyarakat tentu memiliki berbagi kepentingan yang beraneka warna dan yang dapat menimbulkan bentrokan satu sama lain. Jika bentrokan ini terjadi, maka masyarakat menjadi guncang. Keguncangan ini sebeberapa mungkin harus dihindarkan. Untuk ini, hukum menciptakan berbagai hubungan tertentu dalam masyarakat. Hubungan-hubungan ini di antara orang-orang perorangan, atau antara berbagai kelompok orang-orang. Atau antara suatu kelompok dan seorang oknum tertentu, atau antara masyarakat seluruhnya di satu pihak. Dalam mengatur suatu hubungan ini, hukum bertujuan menyeimbangkan di antara berbagai kepentingan. Imbangan ini tidak terutama terletak pada dunia rohaniah di tengah-tengah Masyarakat (Magisch evecuscht). Janganlah sampai suatu kepentingan telantar di samping suatu kepentingan lain yang terlaksana tujuannya seluruhnya, hanya kalau masyarakat mewujudkan neraca yang lurus, dapat dikatakan ada keselamatan dan kebahagiaan di dalam masyarakat yang bermanfaat. Kelurusan neraca masyarakat ini hanya dapat tercapai, kalau hukum yang mengaturnya itu dilaksanakan, dihormati dan tidak dilanggar.3
2
Didik dan Lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Reaita, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008.) hal. 18 3 Wirjono Projodikro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Rafika Aditama) hal. 15-16
Pelanggaran dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. 4
Dalam hubungan ini, kesalahan
merupakan faktor bagi pertanggungjawaban pidana. Ada tidaknya kesalahan, terutama penting bagi penegak hukum untuk menentukan apakah yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya dapat dipidana.5 Walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai pelaku kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sebagai manusia dengan hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan Hakim yang menyatakan pelaku bersalah. Tujuan diberikannya perlindungan hukum kepada si pelaku kejahatan adalah untuk menghormati hak asasi pelaku kejahatan agar nasibnya, tidak terkatung-katung, adanya kepastian hukum bagi si pelaku serta menghindari perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selama ini banyak berkembang pemikiran bahwa dengan telah diadilinya pelaku kejahatan dan selanjutnya pelaku menjalani hukuman, maka perlindungan terhadap pelaku dianggap sudah selesai. 6 Seiring dengan meluasnya pernyataan Internasional tentang hak asasi manusia di berbagai belahan dunia, Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum (Recht Staat), dan bukan berdasarkan kekuasaan (macht staat) 4
Moeljetno. Asas-Asas Hulum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta. 2002,) hal. 130 Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggunjwaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisah Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta, Pranada Media, 2006,) hal. 19 6 Didik dan Lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Reaita, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008.) hal. 20 5
memberikan jaminan hak asasi terhadap warga negara untuk menjalankan aktivitas sehari-hari jaminan terhadap hak asasi ini tercantum dalam Undangundang dasar 1945 dan dalam batang tubuh Undang-undang 1945. Jaminan tentang hak asasi bukan hanya diberikan kepada masyarakat yang bebas saja, tetapi terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, yang pada hakikatnya, merupakan pengurangan terhadap hak asasi manusia, dibatasi wewenang oleh Undang-undang. Jaminan mengenai hak asasi tersangka tertuang dalam Undangundang Nomor 45 Tahun 1970 Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.7 Tetapi salah atau tidaknya tersangka, hukum lebih mengutamakan pada pengakuannya, untuk pembuktian aparat penegak hukum mengambil jalan pintas dengan melakukan penganiayaan terhadap tersangka. Tersangka dipaksa mengaku bahwa ia melakukan tindak pidana, penyiksaan tetap dilakukan bila tersangka tidak mengakui perbuatan tindak pidana yang ia lakukan. Akhirnya tersangka lebih baik mengakui secara terpaksa karena di dalam penjara mereka akan mendapat siksaan kembali. Namun demikian, perlu dimaklumi bahwa para penegak hukum adalah manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan. Tindakan penangkapan dan penanahan sebenarnya dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Kadang-kadang 7
KUHP (Surabaya, Karya Anda, tth), hal. 256
mereka memberi perlakuan seseorang yang belum jelas kesalahannya, sehingga tersangka menderita, baik secara fisik maupun mental.8 Sering sekali profesionalisme Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan aparat hukum lainnya yang terlibat dalam penyelesaian perkara hukum semakin ramai dibahas oleh media massa, selain soal korupsi juga soal salah tangkap yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Wacana tersebut bukan hanya perbincangan di kalangan para elit, tetapi juga semakin ramai mewarnai opini masyarakat. Terdapat kerisauan harapan atas kinerja aparat kepolisian dan aparat hukum lainnya agar dapat lebih profesional dalam menjalankan tugasnya. Kasus salah tangkap semakin ramai dibahas seiring dengan pengakuan Riyan si jagal dari Jombang yang telah membunuh Ashrory, sebenarnya kematian Ashrori telah membawa tiga orang pelaku yang di antaranya bernama Maman, Imam Hambal, dan David, tersangka telah divonis 17 dan 12 tahun penjara oleh hakim pengadilan negeri Jombang. Peristiwa tersebut mengungkap suatu catatan bahwa aparat kepolisian (Polres Jombang) telah melakukan salah tangkap atas pembunuhan Asrori pada bulan Mei 2007. Ternyata, kasus salah tangkap dan menghukum mereka yang sama sekali tidak bersalah sudah merupakan rahasia umum di negeri ini. Berbagai kasus sebelumnya juga pernah santer diperbincangkan, kisah sedih dialami. Sengkon dan Karta Tahun 1974 yang dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh
8
Hal 128.
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syamil,2001) Cet ke 2,
merampok dan membunuh, hal yang tidak pernah mereka lakukan terhadap korban suami-istri Sulaiman dan Siti Haya di desa Bojong, Bekasi. Hal serupa terjadi pada Budi Harsono di Bekasi pada tahun 2002 yang dipaksa mengaku oleh oknum polisi agar mengakui pembunuhan ayah kandungnya sendiri. 9 Kita berharap pimpinan kepolisian menindak tegas terhadap oknum polisi yang bersalah melakukan kesalahan penangkapan, apalagi melakukan kekerasan terhadap yang korban tidak bersalah. Kejadian salah tangkap dan salah menghukum menjadi salah satu alasan utama penolakan hukuman mati oleh pendapat kontra hukuman mati (obolisionis) alangkah berbahaya pelaksanaan hukuman mati bila ternyata terpidana tidak bersalah, di mana sistem hukum Negara kita yang masih lemah, terlebih aparatnya masih tidak profesional seperti saat ini. Oleh karena itu para korban salah tangkap dan salah hukum berhak mengajukan upaya hukum, seperti permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada mahkamah agung dengan mengerahkan bukti baru (Novum) serta gugatan ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana diatur didalam KUHAP. Para korban yang tidak bersalah sebaiknya mendapatkan ganti rugi yang layak dari negara dan bila perlu ganti rugi tersebut dibebankan kepada para penegak hukum yang terlibat dalam peradilan sesat atas diri korban.10
9
http://www.gp-anshor.org/tajuk/salah-tangkap-dan-kesalahan-berjamaah.Html.Senin 25 mei 2009 10 http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salahtangkapdansalahmenghukum
Adanya kasus salah tangkap dan salah menghukum ini telah sampai ke tengah-tengah pers dan telah disampaikan kepada masyarakat luas setelah diketahui bahwa ternyata tersangka tidak bersalah akan tetapi nama tersangka telah tersebar luas atau telah tercemar. Dari latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk mengajukan skripsi yang berjudul. “Pencemaran Nama Baik Akibat Salah Tangkap” (Kajian Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Positif) karena pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk kejahatan yang dapat membunuh karakter seseorang. sehingga hal ini sangat menarik untuk dibahas dan diangkat sebagai judul skripsi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat batasan permasalahan, yaitu kasus salah tangkap yang terjadi di Kota Bekasi pada tahun 1947 dan tahun 2002. Untuk memudahkan pembahasan proposal ini maka penulis mencoba merumuskan masalah ini sebagai berikut 1. Apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik ? 2. Apa yang dimaksud salah tangkap ? 3. Bagaimana perlindungan hak-hak korban dalam kasus salah tangkap ? 4. Apa perbedaan dan persamaan dari hukum Islam dan hukum positif tentang “pencemaran dan salah tangkap” ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Dari latar belakang dan perumusan di atas maka dapat diakui bahwa tujuan umum dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui definisi pencemaran nama baik 2. Untuk mengetahui definisi salah tangkap 3. Untuk mengetahui perlindungan hah-hak korban dalam salah tangkap 4. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari hukum islam dan hukum positif tentang “Pencemaran dan Salah Tangkap”.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah agar para aparat lebih hati-hati dalam melakukan penyidikan, untuk mengetahui bagaimana perlindungan hakhak korban yang dilakukan oleh pemerintah serta sangsi yang akan dikenakan kepada Aparat Kepolisian serta untuk mengetahui pandangan hukum pidana islam dan hukum pidana positif
D. Kajian Pustaka Penulis akan membuat kajian pustaka dengan tujuan untuk mengkaji materi-materi yang terdahulu yang memiliki tema yang berkaitan dengan tema yang dipilih oleh penulis dan materi atau karya-karya tersebut adalah skripsiskripsi yang berjudul pencemaran nama baik oleh media massa (pers), karangan Hidayatullah, 2004. yang paling utama yang dikaji adalah perlindungan terhadap pekerjaan pers serta adanya kebebasan pers, dan skripsi yang berjudul
perlindungan hukum Bagi tersangka kekerasan oleh aparat, karangan Handriyo Akbarullah, 2006. yang paling utama dikaji adalah bahwa pentingnya perlindungan bagi hak-hak setiap manusia terutama pada tersangka yang sering adanya kekerasan dalam penyidikan baik secara fisik dan mental. Dilihat dari karya-karya di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa belum ada yang membahas mengenai pencemaran nama baik akibat salah tangkap, kajian hukum pidana Islam dan hukum pidana positif
E. Metode Penelitian 1. Teknik Penelitian Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data yang kemudian dianalisakan dan diuji kebenarannya dengan cara mengumpulkan sumbersumber yang berkaitan dengan aspek permasalahan yaitu dengan cara mengambil buku-buku, pendapat para ahli, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lainnya. 2. Sumber Data Dalam penelitian ini terdapat dua sumber data, yaitu data yang bersumber dari data primer dan data sekunder yang kedua-duanya berbentuk kitab-kitab dan buku-buku baik bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Yang di maksud data primer adalah Al-tasyri’ Al-jina’i Al-Islami Muqoronan Bilqonun Al-wad’i, karangan Abdul Qadir Al-Audah, KUHP karangan
Moeljatno, KUHAP, Urgensi perlindunagn kejahatan antara norma dan realita, karangan Dikdik M.arief Mansur dkk, dan Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, karangan Tjiptro Lesman. Adapun yang dimaksud data sekunder adalah kitab-kitab, bukubuku, serta literature yang berhubungan dengan skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan sumber data yang digunakan baik primer atau sekunder yang sebagian besar data yang diperoleh melalui kitab-kitab, buku-buku, pendapat-pendapat para ahli hukum, dokumen-dokumen dan sebagainya yang ada relevansinya dengan masalah pokok yang terdapat dalam masalah ini. Sedangkan teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan, maka pembahasan skripsi “pencemaran nama baik akibat salah tangkap” ini akan disusun dalam lima bab dan masing-masing terdiri dari sub-sub bab. Dengan sistematika sebagai berikut: BAB I
:
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II
:
Berisi landasan teori yang membahas tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana positif.
BAB III
:
Berisi landasan teori yang membahas tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana Islam.
BAB IV
:
Berisi tentang pengertian salah tangkap, sebab-sebab terjadinya salah tangkap serta akibat yang akan dirasakan akibat dari salah tangkap,
BAB V
:
Merupakan bab penutup
yang
berisikan kesimpulan dari
permasalahan skripsi dan saran, dan di mana pada akhir terdapat pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF
A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya yaitu straf. Hukuman merupakan istilah umum untuk segala macam sanksi, baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.11 Oleh karena itu “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus. Maka, perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khusus. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana: 1. Menurut Profesor Sudarto. yang dimaksud dengan hukum pidana adalah, penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 2. Menurut Profesor Ruslan Soleh, Pidana adalah reaksi atas delik. Dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.12
11
. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994). Cet. Ke-2, h.
27. 12
. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2005). H. 2
3. Dan menurut Profesor Van Hemel, arti dari pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah, suatu yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.13 Jadi, pidana merupakan suatu bentuk penderitaan yang dikenakan dengan sengaja oleh kekuasaan yang berwenang kepada pelanggar peraturan. Pada kalimat “tindak pidana” terdiri dari dua kata yakni “tindak” dan “pidana”.dalam kamus bahasa Indonesia kata “tindak” mempunyai arti: perbuatan.14 Sedangkan kata “pidana” mempunyai arti: kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya).15 Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit, Terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Ternyata “straf” diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kalimat “baar” diterjemahkan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata “feit” diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.16 Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
13
. P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: CV. Amrico, 1994), Cet. Ke-
4, h. 49. 14
. Dep dik but ,Kumus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 984. . Ibid, h. 681. 16 . Adami Chzawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) h. 69. 15
1. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum. 2. Peristiwa pidana. 3. Perbuatan pidana. 4. Tindak pidana. 5. Delik.17 Perumusan Simon yang dikutip oleh S.R. Sianturi dalam bukunya, merumuskan bahwa : “Een Strafbare Feit” adalah suatu handeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. 18 Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, memakai istilah tindak pidana, karena istilah tindak pidana (tindakan), mencakup pengertian melakukan atau berbuat (actieve handling) dan atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handling).19 Dalam hal ini dapat diambil suatu kesimpulan tentang rumusan tindak pidana (delik) : 1. Suatu perbuatan manusia (menselijke handelingen) hendelingen bisa bersifat een doen ( perbuatan ) dan een nalaten ( mengabaikan ).
17
. R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerannya, (Jakarta: Alumni ahaem petehem, 1996,), Cet. Ke-4, h. 200. 18 . Ibid, h. 201. 19 . Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1, (Balai Lektur Mahasiswa, Tth), h. 70.
2. Perbuatan (handelingen) yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. 3. Perbuatan (handelingen) itu harus dilakukan oleh orang ( seseorang ) yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari pengertian-pengertian Strafbaar Feit yang dikumukakan oleh para pakar hukum pidana, diperoleh makna bahwa Strafbaar Feit sama dengan delik, sama dengan perbuatan pidana, tindak pidana dan istilah lain salinannya. Namun dari segi materi Strafbaar Feit terdapat 2 (dua) pendapat yakni: ada pendapat yang menyatukan unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab Strafbaar Feit dalam satu golongan dan pendapat lain yang memisahkan unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab Strafbaar Feit dalam 2 (dua) golongan, atau dengan kata lain ada beda pandangan mengenai materi Strafbaar Feit sehingga ada garis pemisah antara 2 (dua) aliran, yaitu20: 1. Aliran Monisme, antara lain Simon yang merumuskan Strafbaar Feit sebagai eene strafbaar getseld, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya). Menurut aliran ini unsur Strafbaar Feit meliputi unsur-unsur perbuatan (lazim disebut unsur objekif) yaitu unsur melawan hukum dan
20
. Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, ( Jakarta : Pradnya Paramita, 1997 ), Cet. Ke-1, h.18.
unsur tidak ada alasan pembenar maupun unsur-unsur tanggung jawab (lazim disebut unsur subjektif), yaitu unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesalahan sengaja dan atau alpa, unsur tidak ada alasan pemaaf. Oleh karena manunggalnya unsur perbuatan dan unsur si pembuat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, Strafbaar Feit adalah sama dengan syarat-syarat pemberian pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika terjadi Strafbaar Feit, maka pasti si pembuatnya dapat dipidana. 2. Aliran Dualisme antara lain Moelyanto, yang merumuskan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Menurut aliran ini perbuatan pidana menurut wujudnya atau sifatnya adalah melawan hukum dan perbuatan yang merugikan dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Karena diadakan pemisahan antara perbuatan (lazim disebut golongan subjektif), yang meliputi unsur melawan hukum, unsur tidak ada alasan pembenar, dan dari si pembuat, (lazim disebut golongan subjektif) meliputi unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesalahan : sengaja dan atau alpa dan unsur tidak ada alasan pemaaf.
Kedua aliran itu ada kesamaan pendapat, bahwa delik harus mencocoki perumusan Undang-undang, sehingga dapat digambarkan dalam suatu skema, sebagai berikut21: UNSUR DELIK
Aliran Monisme 1. 2. 3. 4. 5.
Aliran Dualisme
Melawan hukum Mampu bertanggung jawab Kesalahan ; sengaja atau alpa Tidak ada alasan pembenar Tidak ada alasan pemaaf
1.
Golongan obyektif a. Melawan hukum b. Tidak ada alasan pembenar
2.
Golongan subyektif a. Mampu bertanggung jawab b. Kesalahan ; sengaja atau alpa c. Tidak ada alasan pemaaf
Syarat pemberian pidana
Dalam pandangan dualisme, Karena pemisahan unsur perbuatan dan unsur si pembuat, maka konsekuensinya jika yang tidak terbukti unsur objektif, maka bunyi amar putusan ialah bebas (vrijspraak). Namun jika yang tidak terbukti unsur subjektif, maka amar putusan berbunyi : dilepas dari tuntutan (ontslag van rechtsvervologing). Jika semua unsur terbukti, maka si pelaku dipidana. Jadi hal itu, apabila yang terbukti unsur objektif yaitu unsur melawan hukum, namun jika si pelaku tidak mampu dipertanggung jawabkan, maka ia harus dilepaskan dari tuntutan. Dengan kata lain : perbuatannya itu tetap melawan hukum akan tetapi si 21
. Ibid., h. 19.
pelaku misalnya sakit jiwa ( pasal 44 KUHP ), karena itu ia tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, telah menjelaskan unsur-unsur delik pada dua bagian:22 1. Unsur-unsur yang objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar dari manusia, yaitu berupa : a. Suatu tindak tanduk, jadi suatu tindakan. b. Suatu akibat tertentu (een bepaaldgejolg). c. Keadaan ( omstendungheid ). Yang kesemuanya ini dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. a. Suatu tindak-tanduk atau tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Seperti sumpah palsu (meineed) pasal 242. Dalam perbuatan ini yang merupakan unsur objektif dan yang dilarang dan diancam dengan hukuman adalah : memberikan keterangan palsu dalam sumpah. Memalsukan Surat, pasal 263 (unsur objektif, pemalsuan). Pencurian, pasal 362 unsur objektif, mengambil (wegnemen). b. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, seperti di antaranya : pembunuhan pasal 338, didalam
22
. Satochid Kartanegara. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1, (Balai Literatur Mahasiswa, Tth), h. 73-75
perbuatan ini yang merupakan unsur objektif adalah akibat (gevolg) perbuatan seseorang yaitu : matinya orang lain. Dan penganiayaan pasal 351, yang dimaksud dengan perbuatan ini adalah : yang mengakibatkan sakit pada badan atau cidera pada orang lain, unsur objektifnya : mengakibatkan sakit dan cidera orang lain. c. Hal-hal khusus yang dilarang dan diancam dengan hukuman dan undangundang, misalnya : menghasut pasal 160, unsur objektifnya adalah dilakukannya perbuatan itu di depan orang banyak (umum). Melanggar kesusilaan umum pasal 281, unsur objektifnya dalam pasal ini adalah apabila perbuatan ini dilakukan di depan umum. 2. Unsur-unsur yang subjektif, yakni berupa diantaranya a. Toerekenungsvatbarheid (dapat dipertanggung jawabkan) b. Schuld (kesalahan)23. Dari penjelasan semua di atas dapat diambil secara ringkas tentang unsurunsur-unsur tindak pidana yakni : 1. Subyek 2. Kesalahan 3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan) 4. Suatu tindakan aktif atau pasif yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang atau perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.
23
. Satochid Kartanegara. Hukum Pdana Kumpulan Kuliah Bagian 1, h.73-75
5. Waktu, tempat dan keadaan (unsur-unsur obyektif lainnya)24. Oleh karena itu penggunaan istilah “perbuatan pidana” dengan pengertian sebagai aliran atau teori “dualisme”, sedangkan penggunaan istilah “tindak pidana” dengan pengertian sebagai aliran atau teori “monisme”. Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan yang juga dapat dijadikan suatu dasar atau pedoman bahwa : 1. Tiada pidana, tanpa telah terjadi suatu tindakan yang terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang. 2. Tiada pidana, tanpa kesalahan. 3. Tiada pidana, tanpa sifat melawan hukum (dari tindakan tersebut). 4. Tiada pidana, tanpa adanya subjek (petunjuk yang ditentukan). 5. Tiada pidana, tanpa adanya unsur-unsur objektif lainnya. Jadi apabila dari salah satu dari berbagai unsur-unsur tindak pidana itu tidak ada atau hilang atau kurang maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Tetapi apabila suatu peristiwa telah memenuhi unsur-unsur dari suatu delik, dalam hal ini unsur-unsur dari delik tersebut disusun terlebih dahulu seperti tersebut di atas. Jika ternyata sudah cocok maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang (dapat) dipertanggung jawabkan pidananya kepada subjeknya.
24
. R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapanya, (Jakarta: Alumni ahaem petehaem, 1996), Cet. Ke-4, h.2007.
B. Tujuan Pemidanaan Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidnaan, yaitu:25 1. Untuk memperbaiki pribadi penjahatnya itu sendiri. 2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan. 3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain yang sudah tidak diperbaiki lagi. Dalam literatur bahasa Inggris, tujuan pidana dapat disingkat dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu adalah reformation, yang berati memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat, restraint,
maksudnya
mengasingkan
pelanggaran
dari
masyarakat
dan
restrtribution ialah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan satu D ialah deterence yang terdiri individual deterence dan generale deterence (pencegahan khusus dan pencegahan umum) yang berarti menjera atau mencegah. Sehingga, baik terdakwa sebagai individu maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.26
25
. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1 h.52. 26 . A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressido, 1983), Cet. Ke-1 h. 19.
Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu:27 1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. 2. Untuk mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna. 3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.28 Kerangka di atas menimbulkan beberapa teori yang berupa pertanyaan, yakni apa hakekat dan tujuan pemidanaan?. Di antara para penulis barat yang menganut pelbagai teori hukum pidana atau strafrechts theorien mendasarkan pikirannya pada persoalan-persoalan mengapa suatu kejahatan dikenakan suatu hukuman pidana. Teori-teori hukum pidana ada hubungan erat dengan subjectief strafrecht (jus paniendi), sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan menjatuhkan pidana terhadap pengertian objectief strafrecht (jus punale), sebagai peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana. 29
27
. Aruan Sakitjo dan Babang Poenomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990) Cet. Ke-1h. 70. 28 . Zaenal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindak Pidana Dalam Rancangan KUHP, (Jakarta: Elsam, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2005), h. 13. 29 . A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia. h. 24-26.
1. Teori Absolut Atau Mutlak (tujuan) Menurut teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak dan tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.30 Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan tindak pidana, sehingga terhadap
pelakunya
mutlak
pembalasan terhadap
dijatuhkan
tindakan tersebut.31
pidana
yang
Penjatuhan
merupakan hukum
itu
berdasarkan pembalasan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Dasar hukumnya terletak pada kejahatan itu sendiri yang mengakibatkan hukum itu.32
Namun terdapat perbedaan dalam hal
mencegah kejahatan yakni 1) ada yang berpendapat agar pencegahan di tujuan kepada umum yang disebut prevensi umum. Hal ini dapat dilakukan dengan ancaman hukuman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan hukuman.Ada yang 2) Berpendapat agar prevensi ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan itu sendiri. Selain itu timbul perbedaan pendapat mengenai cara mencegah kejahatan, di antaranya dengan cara: 1) menakut-nauti yang ditujukan terhadap umum
30
. Ibid, h. 25. . R.S. Sianturi dan Mopang L Panggabean Hukum Penitensia di Indonesia,(Jakarta: Almni Ahaem-Petehaem, 1996) Cet. Ke-1, h. 40. 32 . Samidjo, Pengntar Hukum Indonesia, Bandung: CV. Amrico, 1985), Cet. Ke-3 h. 153. 31
2) memperbaiki pribadi si pelaku atau penjahat agar menginsafi atau tidak mengulangi perbuatannya 3) melenyapkan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan hidup. Kemudian muncul teori relatif modern yang antara lain di utarakan oleh Frans Von Liszt, Van Hamel, dan D. Simons. Mereka mengutarakan bahwa untuk menjamin ketertiban, negara menentukan berbagai peraturan yang mengandung larangan dan keharusan. Peraturan dimaksud untuk mengatur hubugan antar individu di dalam masyarakat, membatasi hak perseorangan agar mereka dapat hidup aman dan tentram, untuk itu negara menjamin agar peraturan- peraturan itu senantiasa dipatuhi masyarakat dengan memberi hukuman pada pelanggarnya.
2. Teori-teori Felatif atau Nisbi (balasan) Teori ini mengatakan bahwa dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan. Para pakar penganut teori ini anatara lain: 1) Immanuel Kant Immanual kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman itu
merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Di sini hukuman itu merupakan suatu pembalasan yang etis. 2) Hegel Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatau kenyataan kemerdrkaan. Olehnkarena itu, kejahatan merupakan tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi balasan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding. 3) Herbart Menurut Herbart, kejahatan menimbulkan perasaan tidakenak pada orang lain. Untuk melenyapkan perasaan tidak enak itu, pelaku kejahatan harus diberi hukuman sehingga masyarakat merasa puas. 4) Stahl Menurut Sthal bahwa hukum adalah suatau yang diciptakan oleh tuhan. Karena kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap perikeadilan tuhan, untuk menindaknya negara diberi kekuasaan sehingga dapat melenyapkan atau memberi penderitaan bagi pelaku kejahatan. 5) Jean Jackues Rousseau Pokok pangkal pemikran Rossseau adalah bahwa manusia dilahirkan dengan memiliki hak dankemerdrkaan penuh. Akan tetapi, manusia di dalam hidupnya memerlukan pergaulan. Di dalam pergaulan itu jika setiap orang ingin mempergunakan hak dan kemerdekaannya secara penuh, akan timbul kekacauan. Untuk
menghindarkan kekacauan itu, setiap orang dibatasi hak dan kemerdekaannya. Artinya, setiap orang menyerahkan sebagian dari hak dan kebebasannya kepada negara. Dengan diperolehnya hak-hak itu, negara harus dapat mengancam setiap arang yang melanggar peraturan. Jadi, setiap hukuman telah disetujui oleh semua orang termasuk pelaku kejahatan.33
3. Teori Gabungan Teori ini merupakan penggabungan dari dua teori, yakni teori mutlak atau pembalasan dan teori relatif atau pencegahan. Teori ini yang dianut di Indonesia.34 dengan menelaah teori-teori di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah 1) menjerakan penjahat 2) membinasakan atau membuat tak berdaya lagi si penjahat 3) memperbaiki pribadi si penjahat Pada hakikatnya, ketiga hal tersebut menjadi dasar di adakannya sanksi pidana. Akan tetapi, membinasakan penjahat masih menjadi masalah perdebatan para pakar. Sebagian negara memang telah
33
. Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jkarta: Sinar Grafika, 2002)
34
. Samidjo, Op. Cit., h. 154.
h. 105.
menghapuskan
hukaman
mati,
tetapi sebaian
lagi
masih
dapat
menerapkannya.35 Adapun tujuan hukuman dalam hukum positif, menurut A. Hanafi, tujuan hukuman adalah:36 1. Fase balasan perseorangan (Vengeance-Privee atau al-Intiqomul-fardi) 2. Fase Balasan Tuhan (Vengeance Divine atau al-Intiqomul Ilahi) 3. Fase kemanusiaan (Humanitaire atau al-‘ashrul-Insani) 4. Fase keilmuan (scientifique atau al-‘asrul-‘ilmi) Dari sekian pendapat yang telah diuraikan, penulis lebih sepakat tujuan penjatuhan hukuman atau pemidanaan adalah agar pelaku tindak kejahatan menjadi jera (sadar) dan supaya orang lain yang belum pernah merasakannya bisa mengambil pelajaran penting bahwa setiap tindak pidana yang melanggar peraturan hukum akan dikenakan sanksi. Hal ini lebih dipertimbangkan demi ketertiban sosial dan keharmonisan bersama dalam pranata sosial.
C. Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jenis Dan Macam-Macamnya Sanksi pidana dalam hukum pidana positif dibagi menjadi dua bagian yaitu berupa hukuman pokok dan hukuman tambahan. Sebagaimana yang tercantum dalam KUHP Pasal 10 yang berbunyi sebagai berikut:37
35 36
h. 4.
. Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. H. 107. . A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke-5
1. Pidana pokok a. Hukuman mati b. Hukuman penjara c. Hukuman kurungan d. Hukuman denda e. Hukuman tutupan 2. Pidana tambahan a. Pencabutan hak-hak tertentu b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman putusan hakim Hukuman Pokok 1. Hukuman mati Hukuman mati adalah hukuman yang dilakukan dengan mengambil jiwanya pelaku yang melanggar undang-undang pidana. Hukuman mati biasanya digelar di lapangan yang luas dan dapat dilihat oleh masyarakat dari berbagai tempat. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang melihat hukuman mati tidak
melakukan perbuatan kejam yang
akan
mengakibatkan
dijatuhkannya hukuman mati. Mengutip pendapat Mr. JE Jonkers, Wirdjono Prodjodikoro mengemukakan ada empat golongan kejahatan dalam KUHP diancam dengan hukuman mati, yaitu:
37
. Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bumi Aksara, Jakarta 1999), Cet. Ke-20, h.5-6.
a. Kejahatan berat terhadap kemanan negara (Pasal 130, 105, 111 ayat 2, 124 ayat 3, 129 b. Pembunuhan berencana (Pasal 130 ayat 3, 140 ayat 3, 340). c. Pencurian dan pemerasan dalam keadaan memberatkan (Pasal 365 ayat 4, dan Pasal 368 ayat 2). d. Bajak laut, perampokan di pantai, perampokan di tepi laut, dalam air surut, dan perampokan di sungai, dilakukan dalam keadaan tersebut (Pasal 444). Pelaksanaan (eksekusi) hukuman mati sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 11 KUHP berbunyi: “pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”. 2. Hukuman penjara Kedua
hukuman
ini
sama-sama
menghilangkan
kemerdekaan
seseorang untuk sementara waktu atau seumur hidup. Perbedaan yang sangat jelas adalah hukuman penjara dijatuhkan karena tindak pidana berat, sedangkan hukuman kurungan dijatuhkan pada tindak pidana ringan. Perbedaan-perbedaan pokok hukuman penjara dan kurungan adalah sebagai berikut:38
38
. Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1989, Cet. Ke-6. 169.
a. Menurut Pasal 12 ayat 2 KUHP, lamanya hukuman penjara adalah sekurang-kurangnya (minimum) satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun, maksimum lima belas tahun dilampaui dalam hal gabungan tindak pidana, recidive, atau dalam berlakunya Pasal 52 KUHP (Pasal 12 ayat 3). Menurut Pasal 18 ayat 1 KUHP, lamanya hukuman kurungan (hectenis) adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun, dengan kemungkinan maksimum satu tahun empat bulan dengan aturanaturan yang sama (Pasal 18 ayat 2). b. Menurut Pasal 19 ayat 2 KUHP, kepada seorang hukuman kurungan diberi pekerjaan ringan. c. Menurut Pasal 21 KUHP, orang hukuman kurungan harus dijalani dalam daerah propinsi (gewest) tempat si terhukum berdiam. d. Menurut Pasal 23 KUHP, orang hukuman kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang. Sedangkan persamaan dari hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah sebagai berikut:39 a. Menurut Pasal 20 KUHP dalam putusan hakim yang menjatuhkan hukuman penjara atau kurungan selama tidak lebih dari satu bulan, dapat ditentukan bahwa kepada mereka oleh jaksa dapat diizinkan, di luar jamjam bekerja pulang ke rumah masing-masing. 39
. Ibid., h. 170
b. Tidak boleh bekerja di luar tembok rumah-rumah penjara, yang sekarang dinamakan rumah-rumah pemasyarakatan, yaitu: 1) Orang-orang yang dipenjara seumur hidup 2) Orang perempuan 3) Orang yang mendapat sertifikat dokter c. Menurut Pasal 26 KUHP, apabila menurut hakim alasan berdasarkan atas keadaan pribadi atau keadaan kemasyarakatan, maka dapat ditentukan bahwa kepada seorang hukuman penjara atau kurungan tidak diberi pekerjaan di luar tembok rumah-rumah pemasyarakatan. 3. Hukuman tambahan Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah dari hukuman pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan hukuman tambahan. Misalnya seorang yang melakukan tindak pidana tertentu oleh hakim diputuskan dengan hukuman penjara dan dicabut hak pilih maupun hak memilih dalam pemilihan umum. Para ahli hukum berpendapat sub-sub sistem hukuman di atas sederhana. Sifat kesederhanaan ini terletak pada gagasan, bahwa berat ringannya hukuman tergantung pada berat atau ringannya suatu tindak pidana. Mengenai sistem hukum ini Wirdjono Prodjodikoro berpendapat dalam menentukan suatu hukuman harus berhati-hati dalam menyesuikan system hukuman di Indonesia yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman,
selama belum ada system yang baik dan benar sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia, kiranya dipertahankan system seperti ini. 40
D. Pencemaran Nama Baik Dan Sanksinya Menurut Hukum Positif Di Amerika dan di Ingris dikenal istilah “defarmation” (dari kata kerja to defame yang artinya Menghina, menista) to defame bisa diartikan (merusak atau menodai reputasi seseorang ataupun sekelompok orang dengan cara-cara yang tidak baik seperti pernyataan yang tidak berdasarkan fakta).41 Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation) diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis).42 Dalam pebuatan defarmation, suatu pernyataan dipermasalahkan karena di pernyataan itu telah mengakibatkan tercemarnya atau ternodanya nama baik seseorang. Masalah libel sebenarnya mempunyai sejarah ribuan tahun, tepatnya pada kerjaan romawi. Tatkala itu dikenal dalam bahasa latin yang disebut libelli famosi yang berarti publikasi yang bersifat menghina dengan tujuan merusak pribadi seseorang. Pada awal era republik Roma, penguasa membuat suatu peraturan perundang-undangan yang disebut “Twelve Table”. Dengan undang-undang ini,
40
. Wirdjono Prodjodikoro, Op. Cit, h. 163. . Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, (Jakarta: Rika Pres, 2005), h.27. 42 . http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/PncemaranNama.pdf 41
siapa saja yang terbukti membuat tulisan yang bersifat menghina dapat dikenakan hukuman sangat berat ketentuan ini, menurut sejarawan kenamaan Romawi, Tacitus, tidak dijalankan lagi pada tahun-tahun akhir republik Roma.baru masa kekaisaran Agustus (63 SM), peradilan terhadap pelaku libelli famosi dilakksanakan lagi.43 Setelah mendapatkan bisikan dan sejumlah pembantu dekatnya tentang adanya undang-undang anti penghinaan, Kaisar Agustus segera memerintahkan supaya semua barang cetakan yang bersifat menghina dibakar dan sebagian pengarangnya diadili. Salah satu ketentuan dalam undang-undang tersebut, menyatakan pengarang Libellus FamosiI harus dikutuk (intestabillis). Hukuman mati bukan saja dikenal kepada pembuatnya, tapi juga mereka yang terbukti telah menyimpannya, atau mereka yang tidak segera memusnahkannya setelah mendapatkannya.44 Raja-raja yang berkuasa di Eropa, khususnya Jerman, setelah kerajaan Romawi runtuh, juga mengikuti tradisi kaisar Romawi, yaitu menjatuhkan hukuman keras terhadap mereka yang tidak percaya pada Tuhan, atau menganjurkan pandangan yang bertentangan dengan pendapat penguasa, atau menghasut rakyat untuk memberontak. Raja Konstantinus Agung, misalnya, mengeluarkan titah yang melarang beredarnya tulisan tulisan Porphiry dan Anus. Raja Accadius memerangi buku-buku Eunomian (tahun 398) dan Raja
43 44
. Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik…, OP. Cit, h. 27. . Ibid, OP. Cit, h. 27
Theodosius memberangus kaum Nestorian (tahun 435). Raja Justinian malah memimpin langsung gerakan penghancuran atas karya-karya tulisan yang bernada menghina terhadap kekuasaan. Para paus di Roma juga bertindak sama. Mereka mengklaim mempunyai kewenangan untuk mengawasi publikasi yang berisikan ajaran agama Kristen. Kewenangan itu malah menambah ke universitasuniversitas. Paus Leo I membakar buku-buku Manichaean (tahun 446) Semua itu terkait dengan isu penghinaan dan fitnah. Artinya, buku-buku itu tulisan yang dilarang, kemudian dimusnahkan, dinilai oleh penguasa berisikan ajaran-ajaran sesat yang meracuni penduduk.45 Sedangkan di Indonesia istilahlah pencemaran nama baik menurut KUHP “menyerang kehormatan orang lain” istilah ini baru muncul sekitar pertengahan tahun 70-an. Jika kita simak rekaman delik-delik pers yang terjadi pada dekade tahun 50-an, misalnya , istilah yang paling sering dipakai adalah”menghina”, disusul dengan istilah “memfitnah”. Misalnya, Menteri tenaga kerja dan pekerjaan umum pada pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), Ir H. Loah, pernah menggugat
Ny.
Fuhri
Mierop
(Pemimpi
redaksi
Nieve
Courant
di
Surabaya).46Menteri menggugat suatu berita yang dipublikasi di Koran yang dianggap menghina martabatnya. Pengadilan Surabaya mengabulkan gugatan Ir.
45 46
. Ibid, h. 28. . I. N. Soebagio, Sejarah Pers Di Indonesia, ( Jakarta: Dewan Pers, 1977), h. 17.
Laoh. Ny. Mierop dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 171 ayat (2) KUHP dan dihukum denda sebesar Rp. 200,- subsider kurungan badan 3 minggu. Pasal 171 ayat (2) KUHP dicabut pada tahun 1946, diganti dengan UU no. 1 tahun 1946 yang dalam pasal XIV berbunyi: Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pembertahuan itu adalah bohong, dihukum penjara selama 3 tahun. Di Banjarmasin, pada triwulan ketiga 1953, para anggota redaksi dua surat kabar ditangkap karena artikel-artikel yang dianggap menghina para pejabat setempat.47 Asnawi Musa, pemimpin redaksi Tekad dipenjara selama beberapa hari, sementara menunggu sidang pengadilan. Pemimpin redaksi yang lain, A. Djohansjah dari Tugas, dikenai hukuman kerja keras bersama para narapidana biasa. Namun, Djohansjah kemudian dibebaskan setelah timbul protes dari kalangan pers. Baru-baru ini kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh dua anggota ICW (Indonesia Corruption Watch) yakni Lilian Deta Arta Sari dan Emerson Yuntho yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Keduanya dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap pejabat negara Kejaksaan Agung. Kasus itu bermula saat peringatan Hari
47
. Edward Cecil Smith, Sejarah Pembredelan Pers Di Indonesia, (Jakarta: Graditi Pers, 1990), h. 140-141.
Antikorupsi sedunia tanggal 9 Desember 2008. Kejaksaan Agung mengklaim telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 8 triliun dan 18 juta dolar Amerika Serikat dari berbagai kasus korupsi di seluruh Indonesia dalam rentang waktu 2004-2008. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ICW merilis data tandingan bahwa uang yang diselamatkan instansi kejaksaan hanya Rp. 382,67 juta, sedangkan sisa dari jumlah yang diklaim Kejaksaan belum dikembalikan ke kas negara. Oleh karena itu, KP2KKN (Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antikorupsi di Jateng yang tergabung dalam Cintai Indonesia Cintai KPK Jawa Tengah meminta agar Kapolri segera mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) atas kasus tersebut. Jika mengacu pada Pasal 311 KUHP Tentang Pencemaran Nama Baik, tidak bisa dikenakan dalam kasus ini, sebab unsur dalam pasal tersebut mengacu pada Pasal 310 KUHP. Di mana unsur Pasal 310, 311-316 KUHP hanya bisa dikenakan terhadap seseorang atau individu bukan institusi atau organisasi.48 Dan pada akhirnya kasus tersebut ditutup. Delik penghinaan, secara khusus, diatur dalam Bab XVI kitab undangundang hukum pidana (KUHP) yang terdiri atas dua pasal, yakni Pasal 310 sampai Pasal 312. Tindak kejahatan “penghinaan”, menurut R. Soesilo adalah
48
.http://www.republika.co.id/berita/82319/Penetapan_Tersangka_Anggota_ICW_ Pengalihan_ Isu
“menyerang kehormatan nama baik seseorang”. Akibatnya , yang diserang merasa malu “kehormatan” yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan “kehormatan dalam lapangan seksual” atau kehormatan yang dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Perbuatan yang menyinggung kehormatan seseorang dalam bidang seksual tidak termasuk dalam kejahatan “penghinaan”, akan tetapi masuk pada kejahatan “kesopanan” atau kejahatan “kesusilaan” yang diatur dalam Pasal 281 sampai Pasal 303 KUHP.49 Soesilo membagi kejahatan penghinaan dalam 6 kategori: 1. Menista Dengan lisan (Pasal 310): Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4.500,2. Menista dengan tulisan (Pasal 310): a. Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan di tempat umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-
49
. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, (Bogor: poleteia, 1990), h.225
lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,b. Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri (KUHP 134 s, 142 s, 207,311 s, 319 s, 483, 488) 3. Memfitnah (Pasal 311): a. Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ini diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman selamalamanya empat tahun. b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam Pasal 35 No.1-3 (KUHP 312 s, 316, 319, 488). 4. Penghinaan ringan (Pasal315): Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tiada bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan seseorang baik di tempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun di hadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitu pun dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,- (KUHP 134 s, 142 s, 310, 316, 319, 488) 5. Mengadu dengan memfitnah (Pasal 317): a. Barang siapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitaan yang palsu kepada pembesar negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam (Pasal 35, No. 1-3 KUHP 72 220, 310, 488). 6. Menyuruh dengan memfitnah (Pasal 318): a. Barang siapa dengan sengaja dengan melakukan suatu perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut pada Pasal 35 No 1-3 (KUHP 319, 488).50 Unsur-unsur kejahatan menista seperti diatur di dalam Pasal 310 ayat (1) adalah: 1. Menuduh seseorang. 2. Melakukan perbuatan tertentu. 50
. Ibid , h. 226-227.
3. Dengan maksud. 4. Tuduhan itu tersiar untuk diketahui banyak orang. Sedangkan unsur-unsur kejahatan menghina seperti diatur dalam Pasal 310 ayat 2 (dua) adalah semua unsur yang terdapat pada tindak kejahatan menista ditambah satu unsur lagi, yaitu “tuduhan itu diketahuinya tidak Benar” Artinya , ada kesengajaan menista.51 Dari yang telah diuraikan, penulis lebih sepakat bahwa salah satu kunci perbuatan mencemarkan nama baik adalah reputation. Menghina atau merusak, menodai reputasi, atau nama baik atau nama baik seseorang atau sekelompok orang dengan tidak Fair seperti menyebarluaskan pernyataan yang tidak berdasarkan fakta. Yang ada dalam masyarakat terhadap seseorang reputasi atau nama baik lebih banyak berbicara tentang karakter atau kepribadian seseorang. Maka jika kepribadian seseorang yang positif dihadapkan dengan stigma buruk, ia akan merasa malu dan tersinggung. Reputasi seseorang bisa baik bisa buruk, yang menentukan baik-buruknya reputasi seseorang adalah masyarakat. Maka setelah nama baik seseorang tercemar si pembuat dikenai hukuman pidana yang tertera dalam KUHP BAB XVI Tentang Penghinaan.
51
. Ibid, h.229.
BAB III PIDANA DAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jinayah dan Jarimah Dalam kaidah hukum Islam, pengertian pidana termuat dalam Fiqh Jinayah. Di dalamnya terhimpun pembahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia berbagai sasaran yang menyangkut badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, Negara, tatanan hidup dan lingkungan hudup. Di sinilah letaknya agama Islam sangat menghomati dan mengakui keberadaan manusia dengan menimbang segala kelebihan maupun kekurangannya. Dalam mempelajari fiqh jinayah, ada istilah penting yang terlebih dulu harus dipahami sebelum menggali materi selanjutnya. Pertama adalah jinayah dan kedua mengenai jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi murodif (sinonim) bagi istilah lainnya. Singkat kata, keduanya bermakna tunggal. Meski begitu, keduanya
berbeda
dalam
penerapannya.
Dengan
demikian,
kita
patut
memperhatikan dan memahami agar penggunaannya tidak keliru. Abdu Qodir Audah dalam kitabnya At-Tasyri Al-jinai Al-Islami Muqoronan Bilqonun Al-wad’i menjelaskan arti kata jinayah sebagai berukut:52
52
. Abdul Qodir Audah, At- Tasyri Al-jinai Al-Islami Muqoronan Bilqonun Al-wad’i, (kairo mesir, 1968), Juz 1 h. 67
ا ا اء اآ وا + ذ- "! ﻥ أو#$ ا%& )م " 'اء و#$ ا Artinya: “jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu pebuatan yang diharamkan syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, atau sebagainya.” Pengertian
jarimah secara harfiah sama halnya dengan pengertian
jinayah. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek atau dosa. Maka jarimah adalah:53
7$ أو ﺕ1) ﺏ3" 4'رات " زﺝا0) Artinya: “larangan –larangan syara (yang apabila dikerjakan) diancam Allah SWT. Dengan hukuman Had atau Ta’zir.” Dalam hukum pidana Islam, apa yang mendorong untuk menganggap sesuatu sebagai jarimah ialah kerena perbuatan itu dapat merugikan tata aturan masyarakat, atau kepercayaan-kepercayaannya, atau merugikan kehidupan anggota-anggota masyarakat bendanya atau nama baiknya atau perasaanperasaannya atau ketimbang lain yang harus dihormati dan dipelihara. Adapun unsur-unsur umum dari pada tindak pidana dalam hukum Islam, dibagi menjadi tiga yaitu:54 1. Hendaknya ada nash yang mengancam tindak pidana yang dapat menghukuminya (rukun syar’i). Dalam perundang-undangan kita istilah ini disebut juga dengan unsur formil.
53
. Ibid, h. 66 . Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Islam, (bandung: Penerbit Angkasa, 1993), Cet. Ke-2. h. 81. 54
Adanya nash
yang
melarang perbuatan dan mengancam hukuman
terhadapnya sesuai dengan kaidah ushul fiqh:55
) "! ﺕ#1ء ا<ﺏ ;'م ا9 ا: #9ا Artinya: “Pada dasarnya status hukum segala sesuatu itu diperbolehkan sampai ada dalil (petunjuk) yang menunjukan keharamannya.”
=< ﺝ و<";'ﺏ ﺏ ﻥ Artinya: “Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nash (aturan)” 2. Melakukan pebuatan perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan melakukan pebuatan atau tidak melakukan pebuatan (rukun madi). Dalam perundang-undangan kita unsur ini disebut dengan unsur materil. 3. Hendaknya pelaku tindak pidana kejahatan itu mukallaf atau bertnggung jawab atas tindakan pidana itu. (rukun adabi). Dalam perundang-undangan kita disebut dengan unsur moril. Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap macam jarimah (tindak pidana atau delik). Di samping itu, terdapat unsur kasus yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak tedapat pada jarimah yang lain. Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja tidak akan ditemukan pada jarimah lain. Sebagai contoh, memindahkan (mengambil) harta benda orang lain hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan nyawa orang lain dalam kasus pembunuhan.56
55
. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1 h. 52. 56 . Ibid, h. 53.
B. Macam-Macam dan Jenis-Jenis Jarimah Pidana itu dapat dikatagorikan menjadai beberapa macam tergantung kepada sudut pandang kita terhadapnya. Tapi penulis mencoba menjelaskan pidana berdasarkan tindak pidana (jarimah) yang dilakukan pembuat . berikut penjelasannya: 1.
Pidana Hudud, yaitu sanksi pidana yang ditetapkan untuk jarimah hudud. Ada beberapa poin penting di dalam menegakkan pemidanaan dalam jarimah hudud, yaitu: a. Asas legalitas, di mana setiap perbuatan yang dilakukan harus ada nash yang melarangnya. Ini disebabkan agar ketika seseorang pembuat perbuatan yang dilarang tidak dihukum atas perbuatannya di masa lalu yang ditetapkan sebagai jarimah di kemudian hari. b. Prinsip kehati-hatian, ketika hudud akan diterapkan harus dengan penuh kehati-hatian. Hudud tidak dapat dijatuhkan bila ditemukan keragu-raguan (syubhat). Karena akan menjadi lebih baik, pada saat membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Di sini berlaku kaidah
“Adlaruuatu
Tubiihu
Al-Mahdzuraat”
(keadaan
darurat
memperbolehkan melakukan yang dilarang), di mana terjadi delimatis akibat dari kergu-raguan timbul. c. Prinsif pembuktian yang akurat, prisif ini menjamin bahwa penjatuhan atas pidana hudud benar-benar tepat sasaran, yakni memang mengenai
orang yang memang layak maendapatkannya. Pembuktian merupakan aspek penting dalam jarimah hudud, karena pembuktian yang akurat harus dilakukan sebelum putusan dijatuhkan. Karena putusan dapat diambil ketika si pembuat dinyatakan sah dan meyakinkan terbukti bersalah atas perbuatan yang dilakukan. 57 Berikut ini perincian pidana dalam jarimah hudud: a. pidana Zina 1) Unsur-Unsur Zina a) persetubuhan yang diharamkan, di dalam persetubuhan ini dapat diukur, apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk ke dalam farji (pagina) walaupun sedikit. Dan juga, tetap dianggap zina walaupun ada penghalang tipis yang tidak menghalang perasaan dan kenikmatan bersenggama. Persetubuhan haram itu tetap dianggap zina jika dilakukan oleh seseorang dengan orang lain yang bukan miliknya atau bukan pasangannya yang sah. b) Adanya kesengajaan atau niat melawan hukum, unsur ini terpanuhi
apabila
pelaku
melakukan
suatu
perbuatan
(persetubuhan) pedahal ia mengetahui bahwa wanita yang di setubuhi adalah wanita yang haram baginya.58 2) Bentuk Pidana Zina 57
. Muhammad Ichsan dan M Endriyo Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif (Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiah Yogyakarta, 2008), h. 123-125. 58 . Ibid, h. 126-128.
a) Pidana dera, pidana dera sebanyak sertus kali diancam atas perbuatan zina yang dilakukan oleh ghair muhsan (belum kawin). Ketentuan ini didasarkan pada firman allah SWT dalam surat Annur Ayat 2:
☺ !"#$ )* &'( %$ ☺ 1 +,-. ; < 9: 6578 5 234 (;@?$! !=>? BC@D 9: + J8D EFGHI 2⌧LM:N ☺ 1⌧(
/)ا'ر
(5P?$!☺D HO#$
( 4 :24 Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu berman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman.” (Q.S.An-nur/ 24 : 4) b) Pidana pengasingan (tagrib), hukuman pengasingan ini dikenakan selama satu tahun selain nukuman jilid kepada pembuat zina ghair muhsan (belum kawin). c) Pidana rajam, pidana rajam adalah pidana mati dengan jalan dilempari dengan batu. Dan yang dikenakan adalah pembuat zina
muhsan (telah menikah), baik laki-laki maupun perempuan. Apabila perbuatan zina antara laki-laki yang muhsan (telah menikah) dengan perempuan yang ghair muhsan (belum kawin). Maka bila laki-laki berlaku pidana rajam. Sedangkan untuk perempuan berlaku pidana dera. Demikian pula bila terjadi sebaliknya.59 b. Pidana Qazaf (menuduh orang berzina) Pidana qazaf dikenakan hukuman dera sebanyak 80 kali, dan tidak diterima persaksian pembuatnya (hukuman tambahan). Hukuman tersebut dijatuhkan apabila berisi kebohongan, akan tetapi jika berisi kebenaran maka qazaf dapat di buktikan, dengan cara-cara sebagai berikut: 1) Dengan saksi, saksi merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah qazaf. Syarat-syarat saksi sama dengan syarat saksi dalam jarimah zina. Yaitu: balig, berakal, dapat berbicara, adil, Islam, dan tidak terhalang menjadi saksi. Adapun jumlah saksi kurang lebih empat orang. 2) Dengan pengakuan, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku (penuduh), bahwa dia telah menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan satu kali dalam majelis pengadilan.
59
199.
.Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam. (Bandung: Bulan Bintang, 2005), h. 197-
3) Dengan sumpah, menurut imam Syafi’i jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apanila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah: orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. 60 c. Pidana Syurbul Khamr (minum-minuman keras) Jarimah khamr dijatuhkan pidana 80 kali dera. Namun pendapat imam Syafi’i, hukuman jarimah khamr adalah 40 dera sebagai hukuman had, sedang 40 kali dera lainnya tidak termasuk pidana had, melainkan sebagai pidana takzir. Di mana hukuman tersebut baru dijatuhkan bila dipandang perlu oleh hakim atau penguasa. d. Pidana Sariqah (Pencurian) Pencurian diancam potong tangan (dan kaki), sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-maidah ayat 38. dan unsur-unsur dalam jarimah pencurian, adalah: 1) Pengambilan secara diam-diam 2) Barang yang diambil itu berupa harta 3) Harta tersebut milik orang lain 4) Adanya niat melawan hukum e. Pidana Hirabah (perampokan)
60
. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 68.
Ada empat macam pidana yang dapat dijatuhkan terhadap jarimah hirabah, yaitu: 1) Pidana mati, pidana ini dijatuhkan atas pengganggu keamanan (pembegal, penyamun) apabila ia melakukan pembunuhan. Pidana tersebut adalah pidana had. 2) Pidana mati disalib, pidana ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan melakukan pembunuhan disertai dengan merampas harta benda. Jadi pidana tersebut dijatuhkan atas perbuatan membunuh dan mecuri secara bersama-sama. 3) Pidana pemotongan anggota badan, pidana ini dijatuhkan atas pengganggu keamanan jika ia mengambil harta tetapi ia tidak melakukan pembunuhan. Pemotongan disini dilakukan dengan memotong tangan kanan dan kaki kiri si pembuat secara sekaligus (selang-seling) 4) Pidana pengasingan, pidana ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan hanya menkut-nkuti orang yang melintas tapi tidak mengambil harta dan tidak pula membunuh. Mengenai cara lamanya pengasingan, menurut pendapat fuqaha sama dengan pengasingan dalam jarimah zina.
f. Pidana Riddah (murtad) Hukuman bagi oarng yang melakukan Riddah ada tiga macam , Yaitu: 1) Pidana Pokok, pidana pokok untuk jarimah riddah adalah pidana mati. Ini sesuai dengan hadis Nabi SAW.:61
4ل ر'ل ا: : " &ل4 اDEو" إﺏ " س ر I )رواI'! &: ل د1 ﺏ.! "! و4 اD! (ريL ا Artinya: “dari ibnu ‘abbas ra berkata: bersabda Rosulullah SAW, barang siapa menukar agamanya, maka kamu bunuhlah dia”. (H. R. Al-Bukhari).62
Bahwasanya pidana mati adalah berlaku umum untuk setiap orang yang murtad, baik ia laki-laki maupun prempuan, tua maupun muda. Akan tetapi sebelum melaksanakan pidana tersebut diberikan kesempatan bagi terdakwa untuk bertaubat ada tiga hari tiga malam.63 Dan taubatnya cukup dengan mengucapkan “dua kali syahadat” 2) pidana pengganti, pidana pengganti untuk jarimah riddah berlaku dalam dua keadaan, yaitu: a) Apabila pidana pokok gugur akibat taubat, maka hakim mengganti dengan pidana Takzir yang sesuai dengan keadaan pelaku
61 62
. Ibid. . Abi Abdullah Muhammad bin Ismail, Kitab Sahih Bukhori, (Bairut: Dar Al-Fikr, t.th), Jilid
8. h 50. 63
. A. Jazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 166.
perbuatan tersebut. Seperti: cambuk, penjara, denda, atau dipermalukan di depan umum. b) Apabila pidana pokok gugur akibat syubhat, karena menurut pendapat Imam Abu Hanifah, seorang wanita dan anak-anakyang murtad tidak dihukum mati. Akan tetapi dipenjara dengan hukuman yang tidak terbatas dan keduanya kembali kepada agama Islam.64 3) Pidana Tambahan, pidana tambahan bagi orang murtad dengan cara penyitaan dan perampasan harta. Menurut Imam Ahmad, Malik dan Syafi’i apabila seorang murtad meninggal atau dibunuh, maka hartanya menjadi milik bersama dan tidak boleh diwarisi oleh siapapun. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, harta tersebut boleh diwarisi yang beragama Islam. g. Pidana Bughat (pemberontakan) Jarimah pemberontakan dikenakan pidana mati, hukuman ini bersumber dari firman Allah SWT dalam surat Al-hujurat ayat 49. Syariat mengambil tindakan keras terhadap jarimah pemberontakan, karena jika tidak demikian ditakutkan terjadi fitnah, kekacauan serta ketegangan yang akhirnya menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di masyarakat.65
64 65
. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 130. . Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 207.
2. Pidana Kisas - Diyat. Yaitu pidana yang ditetapkan untuk jarimah kisas-diat yang oleh syariat Islam ada lima macam: a. Kisas. Merupakan pidana bagi pembunuhan sengaja dan pencideraan sengaja. Di mana cara pemidanaannya disamakan atau
seperti seperti
perbuatan jahat yang dilakukan oleh pembuatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah ayat 178-179 dan surat Al-maidah ayat 45. Sebagai contoh, jika sipelaku pembunuh maka pidana dibunuh dan bila ia mencederakan orang lain mak ia akan dicederakan. Kisas merupakan bentuk pidana yang menawarkan keadilan sejati, di mana pembuat jarimah diberi balasan yang sesuai ataupun setimpal dengan perbuatan jahatnya. Ancaman pidana yang diterapkan pada qisas berupa pembalasan (prevention) sebagai ciri khasnya, memberikan daya cegah (prevention) dan efek jera (deterrent effect) yang luar biasa. Ada tiga sebab yang menggugurkan qisas, yaitu: 1) Hilangnya tempat atau objek qisas, yang dimaksud objek qisas di sini adalah jiwa pelaku (pembunuh) atau anggota badan pelaku yang sama dengan objek telah hilang. Di mana kehilangan tersebut dapat disebabkan berbagai sebab, seperti, sakit, musibah, hukuman. Apabila objek qisas tidak ada maka dengan sendirinya qisas gugur. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah wali korban atau korban mendapat diat. Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, jika qisas gugur maka korban tidak mendapat diat, karena hak korban dalam qisas adalah bersifat asli. Sedang Imam Syafi’i dan Ahmad Bin Hambal berpendapat
bahwa jika hilangnya objek qisas maka korban berhak mendapat atau memilih diat, jika apapun sebab hilangnya objek qisas. 66 2) pengampunan, korban atau walinya diberi wewenang atau hak untuk mengampuni pidana qisas. Maka ia memaafkan si pelaku maka gugurlah qisas tersebut. Pemberian apapun di sini bisa dengan Cuma-Cuma atau dengan membayar diat kepada korban atau walinya. Jika kondisi pada apapun dengan membayarkan diat, menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, bukan marupakan ampunan, melainkan akad damai karena ampunan tersebut membutuhkan kerelaan pelaku untuk membayar diat. 3) Akad damai atau perdamaian (shulh). Perdamaian yang dilakukan oleh korban dengan pelaku dapat berlangsung, sehingga dengan demikian qisas menjadi gugur. Korban, atau walinya boleh meminta imbalan yang sama dengan diat atau lebih. b. Diyat, yakni pidana berupa kewajiban membayar ganti rugi dengan besaran tertentu kepada pihak korban untuk kasus penganiayaan ataupun pembunuhan. Setatus diyat sendiri bisa merupakan hukuman pokok (main punishment) dan hukuman pengganti (substitutive punishment). Diat adalah pidana yang mempunyai satu batasan. Artinya hakim tidak berhak mengurangi atau menambahi jumlahnya. Diat itu merupakan hukuman untuk pembunuhan sengaja, pembunuhan serupa sengaja, pembunuhan
66
. Alie Yafi, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Judul Asli: At- Tastri Al-jinai Al-Islami Muqoronah Bilqonun Al-wad’i, Pengarang, Abdul Qodir Audah, (Jakarta: Karisma Ilmu, 2007), jilid 3, h. 64.
serupa sengaja dan pembunuhan salah, akan tetapi kadarnya berbeda. Pada umumnya diyat itu 100 ekor unta. Tetapi di dalam diyat dapat terjadi pemberatan dan peringanan, dan yang membedakan bukan jumlahnya tetapi macam dan umur unta tersebut. Pembedaan tersebut, disebut diyat mughalladzah menyerupai
(yang sengaja
diperberat)
bagi
dan
mukhaffafah
diyat
pembunuhan (yang
sengaja
dan
diperingan)
diperuntukan pembunuhan tersalah. c. Kaffarat, adalah pidana pokok berupa memerdekakan seorang hamba yang beriman. Apabila tidak ditentukan hamba dan tidak mempunyai sebanyak hamba tersebut, maka digantikan dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Pidana berpuasa tersebut sebagai pidana pengganti. d. Pencabutan Hak mawaris, merupakan pidana tambahan bagi jarimah pembunuhan, selain pidana pokoknya yaitu mati, apabila antara orang yang membunuh dengan korbannya ada hubungan keluarga. Dasar hukumnya adalah sabda Rasulullah SAW.:67
: &ل3" 4 اE رI1 " أﺏ " ﺝM$ " " اﺏ # ;ﺕ.! "! و4 اD! 4&ل ر'ل ا N ااث (D;ارا1 اء واI)روا Artinya: “dari ‘Amru ibni Su’aiba dari bapanya dari kakenya ra berkata: bersabda Rosulullah SAW, tidak ada bagian warisan sama
67
. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islas, h. 207.
sekali bagi orang yang membunuh” (H. R, Nasai dan darul qutni).68 e. Pencabutan hak menerima wasiat, pidana ini merupakan pidana pidana tambahan. Di mana seorang pembunuh tidak mendapatkan apapun dari warisan ataupun juga wasiat.69 3. Pidana Takzir. Adalah pidana yang ditetapkan untuk segala jarimah takzir.70 Hal penting dalam pidana ta’zir adalah bahwa jarimah takzir tidak ditentukan di dalam Nash begitupun dengan pemidanaannya. Walaupun seperti itu tetap saja dalam penjatuhan pidanannya tidak boleh melewati ataupun tidak berdasarkan syar’i. dalam artian tetap dalam koridor syar’i. bentuk pidana takzir adalah sebagai brikut:71 a. Pidana Mati Imam Hanafi membolehkan sanksi takzir dengan hukuman mati dengan syarat bila perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, Imam Malik juga membolehkan hukuman mati sebagai sanksi takzir tertinggi, ia memberi contoh sanksi bagi orang yang melakuakan kerusakan di muka bumi, Imam Syafi’i juga membolehkan hukuman mati.72
68
. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Al-Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 201), cet- 3. h. 302. 69 . Muhammad Ichsan dan Mendriyo susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif, h. 169. 70 . Alie Yafi, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid 3, h. 24. 71 . Jimly Assiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia; (Bandung: Angkasa. 1996) h. 143. 72 . A. Jazuli, Fiqh Jinayah, h. 188.
b. Pidana Dera Hukuman jilid dalam jarimah hudud, baik perzinaan maupun tuduhan zina dan sebagainya telah disepakati oleh para ulama. Batas terendah bagi hukuman jilid dalam takzir termasuk masalah ijtihad, oleh karena itu wajar bila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Hanya saja demi kepastian hukum, maka Ulil Amri berhak menentukan batas terendah hukuman, karena masalah jinayah itu bekaitan dengan kemaslahatan umat.73 c. Pidana Penjara, ada dua macam pidana penjara: 1) Pidana Penjara terbatas (ada kurun waktunya), batas terendahnya ialah satu hari sedangkan batas tertingginya tidak ada kesepakatan. Biasaya pidana penjara terbatas ini dikenakan untuk jarimah takzir biasa atau kejahatan biasa. 2) Pidana penjara tidak terbatas. Para ulama sepakat bahwa pidana ini dikenakan bagi pelaku kejahatan yang membahayakan dan mereka yang biasa melakukan jarimah. Kurun waktu tidak ditentukan terlebih dahulu, berarti dapat berlangsung terus menerus sampai mati atau terjadi tobat dan memperbaiki dirinya. 3) Pidana Pengasingan, pidana pengasingan ini diperlukan karena ditakutkan perbuatan sipelaku dapat berdampak buruk terhadap Masyarakat
(menarik
orang
membahayakan orang lain). 73
. Ibid.h. 192.
lain
untuk
melakukannya
atau
4) Pidana Ancaman, Teguran, dan Peringatan. 5) Pidana Denda, diterapkan pada jarimah takzir seperti pencurian. Di mana seorang yang mencuri buah yang masih tergantung di pohon yang didenda dua kali dengan harga buah tersebut.
C. Uqubah Macam Dan Tujuannya Dalam Hukum Islam Dalam hukum Islam dikenal adanya prinsip atau asas pembebanan hukum (taklif hukum). Pembebanan hukum kepada setiap subyek hukum selalu mengandung tiga asas penting, yaitu: 1. Asas peniadaan kesulitan (‘Adam Al-harj), 2. Asas pembebanan berangsur-angsur (Al-tadrij fi Al-tasyri’) dan 3. Asas meringankan beban (Taqlil Al-takalif) Asas pertama dimaksud bahwa dibebankannya kewajiban dalam hukum Islam bagi siapa saja yang ingin beriman kepada Allah adalah untuk meringankan beban mereka dari kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh tradisi masyarakat sebelum Islam. Sedangkan asas yang kedua adalah bahwa tidak serta merta hukum Tuhan yang diterapkan dalam Al-qur’an harus dilaksanakan sekaligus. Yang terakhir bahwa diterapkannya ketentuan hukum Islam itu dimaksud untuk meringankan beban para subyek hukum yang beriman, khususnya bila dibandingkan dengan beban yang diwajibkan oleh tadisi hukum sebelumnya.74
74
. Jimli Asy-syiddiqey, Ibid. h. 56.
Uqubah atau sanksi hukuman dalam sistem hukum pidana Islam terbagi kepada tiga kategori utama yaitu uqubah hudud, uqubah qisas dan diat dan uqubah takzir.75 Di bawah ini perincian berat ringannya hukuman adalah: 1. Jarimah Hudud. Yakni jarimah hukuman yang diancam dengan hukuman had, hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Tuhan. Pengertian hak tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perseorangan (yang menjadi korban jarimah), ataupun oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. 76 Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi. Jarimah hudud yang termasuk dalam golongan jarimah yang menjadi hak Allah SWT, identik dengan hak jamaah atau hak masyarakat. Oleh karena itu jarimah hudud yidak mengenal pemaafan atas perbuatan jarimah, baik oleh perseorangan yang menjadi korban jarimah (mujna alaih) maupun oleh negara.77 2. Jarimah Qisas atau Diyat, pengertian jarimah qisas sama halnya dengan pengertian jarimah hudud, yakni suatu tindak pidana yang dikenai sanksi qisas dan diyat yang hukumannya telah ditentukan jenisnya maupun besar hukumannya. 78 Sementara yang membedakan hanyalah jarimah qisas atau diyat merupakan hak perseorangan atau hak adami yang membuka
75
. http://yogiikhwan.blogspot.com/2008/04/uqubah.html . Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 7. 77 . Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (fiqh jinayah), h. 26. 78 . Ibid, h. 27. 76
kesempatan pemaafan bagi si pembuat jarimah oleh orang yang menjadi korban, wali, atau ahli warisnya. 3. Jarimah Takzir. Yang termasuk jarimah ini ialah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman takzir. Secara atimologi takzir berarti at-ta’dib, artinya memberi pengajaran. Sedangkan secara terminology takzir merupakan suatu bentuk jarimah, yang bentuk atau macam jarimah serta hukuman (sanksi) jarimah ini ditentukan penguasa. 79 Jadi, jarimah ini berbeda dengan jarimah hudud dan qisas atau diyat yang macam jarimah atau bentuk hukumannya telah ditentukan oleh syara’. Tidak ditentukan macam dan hukuma pada jarimah takzir sebab jarimah ini berkaitan dengan perkembangan masyarakat serta kemaslahatannya. Maksud pemberian hak penentuan jarimah-jarimah ta’zir kepada penguasa, ialah agar mereka dapat mengaturmengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi sebaik-baiknya terhadap keadaan mendadak. 80 Adapun tujuanya adalah, sang pencipta Alam sungguh sangat Bijaksana dan Maha Adil. Allah SWT, sebagai pembuat kebijakan hukum pastilah menyimpan fungsi, manfaat dan target dalam setiap keputusannya. Tujuan pokok penjatuhan hukuman dalam Syari’at Islam ialah mencegah (Ar-radu wa Az-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (Al-ishlah wa Al-tahdzib).81
79
. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (fiqh jinayah), h. 30. . Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 9. 81 . Ibid, h.255. 80
Pengertian pencegahan ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus-menerus melakukannya di samping pencegahan terhadap orang lain selain pembuat agar ia tidak melakukan jarimah sebab ia dapat mengetahui bahwa hukuman yang dilaksanakan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian, maka kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan memohon orang lain untuk tidak melakukannya pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah. Tujuan jangka pendek adalah mengarahkan penjahat untuk mencegahnya kembali melakukan kejahatan dan mencegah orang lain dari mengikutinya, tujuan jangka panjang ialah menjaga kemaslahatan masyarakat. Hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh Al-Quran hanya terhadap beberapa jenis kejahatan saja, sedangkan untuk kejahatan lainnya Al-Quran hanya memberikan norma-normanya saja, maka untuk menentukan jenis hukumannya Al-Quran memberikan dasar-dasar yang umum pula, yaitu bahwa hukuman itu harus sebanding dengan apa yang dikerjakannya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran :
2ST8U ST8U (R(
(40 :42 /'رىQ )اVW!X#$ Artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa ( Asssyura/ 42 : 40 )”.
Dan hukuman pidana Islam tidak mengenal pertanggung jawaban kolektif, tetapi menganut pertanggung jawaban individual sebagaimana firman Allah :
[(\]^⌧
☺ +
YZDL(
4
(38 : 74/R 1`'_ )اa4 Artinya: “Setiap jiwa terikat dengan apa yang dilakukannya (Al-Mudatsir/ 74:38)” Pertanggung jawaban individual ini dapat memperbaiki penjahat untuk tidak melakukan atau mengulangi kejahatannya lagi dan ini merupakan tujuan hukuman jangka pendek dalam hukuman pidana Islam. Seperti dalam pembunuhan disengaja apabila si pembunuh tersebut dimaafkan oleh keluarga si korban, maka si pembunuh dikenakan diyat yang cukup berat yang harus dibayar oleh si pembunuh sendiri, diyat ini menyatakan penjara bagi pelaku. Sementara itu Ahmad Hanafi mengemukakan mengenai penjatuhan dalam hukum pidana Islam, ialah untuk pencegahan, pengajaran, pendidikan, baik pelakunya sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. 82 Adapun tujuan jangka panjang hukuman dalam hukum pidana Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia dan kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.83 Adapun untuk merealisirnya harus mengandung jaminan atas tiga hal sebagai berikut : 82 83
. Ibid, hal.225. . M. Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum.
1. Terjaminnya kebutuhan pokok. 2. Terjaminnya kebutuhan sekunder. 3. Terjaminnya kebutuhan pelengkap. 84 Hal yang bersifat pokok bertitik tolak untuk memilih lima ( 5 ) perkara yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta85. Agama merupakan tujuan utama hukum Islam sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia dan di dalam agama Islam selain dari komponen-komponen akidah yang merupakan pegangan hidup setiap muslim serta akhlak yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syari’at yang merupakan jalan hidup seorang muslim baik dalam berhubungan dengan tuhannya maupun berhubungan dengan manusia lainnya dalam bermasyarakat. Untuk memelihara jiwa agar terjamin kelangsungan hidupnya, hukum Islam mensyari’atkan untuk memperoleh sesuatu yang dapat memelihara jiwa dengan mensyari’atkan qisas, diyat, serta kafarat (tebusan) terhadap orang yang menganiaya jiwa. Untuk menjaga dan memelihara keturunan, Islam mensyari’atkan had (dera) bagi laki-laki atau perempuan yang berzina, juga had bagi pelaku penuduh zina. Untuk menjaga harta, hukum Islam mengharamkan pencurian dan memberikan hukuman had kepada pelaku pencurian baik laki-laki maupun perempuan.86
84
. Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam ( Bandung : Risalah, 1983 ), Terjemahan, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1996, Cet.V, hal.53. 85 . Ibid. 86 . Ibid. hal 140.
Hal bersifat sekunder adalah adanya tuntutan diyat (denda tebusan) kepada keluarga terbunuh pada jurusan ayah, untuk meringankan pembunuhan tidak sengaja. Hukum Islam juga menolak hukuman had karena adanya keraguan dan memberikan hak kepada orang tua si terbunuh untuk mengampuni si pembunuh dari pelaksanaan qisas. Hal yang merupakan kebutuhan pelengkap
ialah diharamkannya
membunuh anak-anak dan hukum wanita dalam peperangan, dilarang penyiksaan, khianat, dilarang membuka aib orang hidup atau mati. Hal demikian berkaitan erat dengan akhlak yang telah ditetapkan oleh Islam untuk mengajarkan hal-hal yang dapat mendidik individu dan masyarakat banyak. Apabila ketiga kebutuhan tersebut dilaksanakan secara terpadu, niscaya apa yang dicita-citakan oleh hukum pidana Islam yaitu kemaslahatan bagi umat manusia akan menjadi kenyataan. Tujuan hukum ialah mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat, menolak kemudharatan dan mewujudkan keadilan yang mutlak. Orang yang memperhatikan kesempurnaan kandungan syari’at Islam bagi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat, dan kedatangan syari’at tersebut dengan keadilan yang sempurna maka tidak ada kemaslahatan lain selain yang dikandung oleh syari’at Islam. 87 Oleh karena itu tujuan hukuman dalam hukum Islam adalah untuk menegakkan hukum Allah di dunia dalam rangka melakukan ibadah kepada Allah 87
. Hasbi Ash-Shiddiqq, Falsafah Hukum Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1983 ), h.123.
dari apa yang diperintahkan-Nya, sehingga mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
D. Pencemaran Nama Baik Dan Jenis Sanksinya Menurut Hukum Islam Pada dasarnya dalam hukum pidana Islam tidak terdapat sanksi khusus yang terkait dengan pencemaran nama baik, oleh karena itu penulis mengqiyaskan atau menganalogikan masalah tersebut ke dalam tindak Takzir. Adapun pengertian takzir adalah hukuman pendidikan atas dosa-dosa yang telah dilakukan oleh pelaku jarimah yang belum ditentikan hukumannya oleh syara’. Dalamjarimah takzir terdapat beberapa hukuman yaitu: a. Pidana Mati Imam Hanafi membolehkan sanksi takzir dengan hukuman mati dengan syarat bila perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, Imam Malik juga membolehkan hukuman mati sebagai sanksi takzir tertinggi, ia memberi contoh sanksi bagi orang yang melakuakan kerusakan di muka bumi, Imam Syafi’i juga membolehkan hukuman mati.88 b. Pidana Dera Batas terendah bagi hukuman jilid dalam takzir termasuk masalah ijtihad, oleh karena itu wajar bila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Hanya saja demi kepastian hukum, maka Ulil Amri berhak
88
. A. Jazuli, Fiqh Jinayah, h. 188.
menentukan batas terendah hukuman, karena masalah jinayah itu bekaitan dengan kemaslahatan umat.89 a. Pidana Penjara, ada dua macam pidana penjara: 1). Pidana Penjara terbatas (ada kurun waktunya), batas terendahnya ialah satu hari sedangkan batas tertingginya tidak ada kesepakatan Dalam tindak pidana yang diancam hukuman takzir adalah setiap tindak pidana selain tindak pidana hudud, qisas dan diyat, karena hukuman ini telah ditantukan hukumannya dalam syara. 90 Adapun jenis-jenis hukuman jarimah takzir yang berkaitan dengan pencemaran nama baik akibat salah tangkap 1. Hukuman Pengasingan, kaitan hukuman pengasingan dengan pencemaran nama baik akibat salah tangkap karena, pebuatan tersebut dapat membahayakan dan merugikan orang lain, adapun masa hukuman pengasingan tersebut tidak lebih dari satu tahun. 2. Hukuman Denda, sanksi denda ini bisa merupakan hukuman pokok yang dapat digabungkan dengan sanksi lainnya. Hanya saja syariat tidak menentukan batas tertinggi dan rendah bagi hukuman denda ini. 91 3. Nasihat, hukuman nasihat ini seperti halnya hukuman peringatan dan dihadirkan di depan sidang pengasdilan, merupakan hukuman yang
89
. Ibid.h. 192. . Alie Yafi, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 84 91 . Ahad Jazuli, fiqih jinayah, h. 209 90
diterapakn untuk pelaku-pelaku pemulka yang melakukan tindak pidana, bukan karena kebiasaan melainkan karena kelalaian. 4. Pengucila, hukuman takzir berupa pengucilan ini diberlakuakan apabila membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat tesebut. 5. Pemecatan (Al-‘azl), hukuman ini adalah berupa melarang seseorang dari pekerjaanya dan memberhentikannya dari tugas atau jabatan yang di pegangnya sebagai akibat pemberhentian dari pekerjaannya itu. 6. Pengumuman Kesalahan Secara Terbuka (Tasyhir), adalah mengumumkan kesalahan pelaku kehadapan masyarakat umum lawat media massa, baik media cetak maupun elektronik, antara lain penayangan gambar atau wajah penjahat di layer televise.
E. Kasus Hadis Al-Ifki Dan Kaitannya Dengan Pencemaran Nama Baik Hadisul ifki adalah “berita bihong” yang sangat berbahaya, baik jika dilihat dari segi makna maupun kandungan dan tujuannya.92 Yaitu berita murahan dan tuduhan keji yang disebarluaskan oleh sekelompok orang yahudi dan kaum munafik terhadap seorang putri suci, putri seorang shiddiq, yaitu istri seorang Rasulullah yang suci. Dialah kekasih yang dekat di hati Rasulullah SAW,
92
. Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-Kisah Manusia Pilihan, Penerjemah, Uwais Al-qorny, (Bogor: Pustaka Teriqul Izzah, 2005), h. 194.
bernama Aisyah binti Abu bakar Shiddiq. Dialah istri Rasulullah dan merupakan istri yang paling dicintainya. Haditsul Ifki atau “berita bohong” yang dimaksudkan oleh para musuh Islam untuk melukai perasaan Rasulullah SAW dengan cara melemparkan tuduhan palsu terhadap istrinya yang sangat terhormat.93 Aisyah ra menceritakan kisah berita bohong besar tersebut, yang diriwayatkan oleh az-Zuhri dari ‘Urwah dan lain-lain dari riwayat Aisyah ra beliau berkata: “Biasanya Rasulullah SAW apabila hendak bepergian jauh melakukan undian bagi istri-istrinya, maka siapa saja di antara mereka yang bagiannya (undiannya) keluar atas namanya maka dialah yang mendapat bagian ikut pergi bersama beliau. Pada suatu ketika, Nabi akan pergi dalam suatu peperangan, lalu beliau melakukan undian dan yang keluar adalah bagian atas namaku. Maka aku pun ikut pergi bersamanya (mendampinginya) sesudah ayat tentang wajib hijab diturunkan. Aku pada saat itu dibawa di dalam sekedup (di atas punggung unta) dan di situlah aku tinggal. Kami pun berjalan hingga Rasulullah SAW selesai dari misi peperangannya dan beliau pun kembali. Dan sudah terasa dekat dari kota madinah, maka pada suatu malam beliau mengizinkan (para sahabatnya) untuk berangkat (pulang). Maka aku pun bangkit (untuk buang hajat) ketika mereka diizinkan untuk pulang hingga pasukan itu
93
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section= kj073&idjudul=1990
telah berlalu.94 Seusai buang hajat aku kembali kepada untaku, kemudian aku raba dadaku dan ternyata kalungku terputus karena terenggut kukuku (dan hilang). Maka aku kembali (ke tempat buang hajat) sambil mencari kalungku yang terjatuh hingga makan waktu cukup lama. Lalu pada saat itu sekelompok orang yang biasa menuntun untaku datang menuju unta yang dipunggungnya ada sekedupku (tempat dudk di atas unta) dan mereka langsung menggiringnya dengan mengira bahwa aku ada di dalamnya. Rata-rata perempuan pada masa itu ringan, tidak gemuk, karena kami biasa makan sesuap makanan saja, sehingga ketika mengangkat sekedupku ke atas punggung unta tidak merasa bahwa aku tidak ada di dalamnya dan mereka pun langsung membawanya. Sementara pada saat itu aku masih remaja di bawah umur sedangkan unta telah pergi bersama mereka. Kalungku baru aku temukan sesudah para pasukan berjalan jauh, maka dari itu aku pergi ke bekas tempat mereka singgah (bermalam) dan di sana tidak ada seseorang. Lalu aku menuju bekas persinggahanku, karena dalam dugaanku mereka pasti akan mencariku di sini.95 Ketika aku sedang duduk menunggu, aku pun tertidur. Pada saat itu ada seorang sahabat Nabi bernama Shafwan bin Mu’atthal As-Sulami Adz-Dzakwani, bertugas sebagai orang yang memeriksa di belakang pasukan hingga kemalaman dan pada keesokan harinya ia berada di dekat persinggahanku. Lalu ia melihat warna kehitam-hitaman tampak seperti manusia yang sedang tidur dan ia pun 94
. Ibid. . Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur”an Wanita, (Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, tth), Judul Asli: Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim Lin nisa. h. 200. 95
menghampirinya (aku) dan langsung mengenalku di saat ia melihatku,96 dan itu sebelum diwajibkan hijab (tabir). Akupun terbangun karena ucapan “istirja’-nya di saat melihatku. (Istirja’ adalah ucapan: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiu’un). Maka aku langsung menutup wajahku dengan jilbabku, demi Allah, ia tidak berbicara kepadaku dengan satu katapun, dan aku tidak mendengar satu kata pun selain istirja’-nya tadi. Lalu ia turun dan mendudukkan untanya (supaya aku naik untanya). Maka aku naik ke untanya dan ia pun mengendalikannya, hingga kami dapat mengejar para pasukan setelah mereka singgah beristiraha di madinah.97 Aisyah melanjutkan: orang yang melihat mereka mulai membicarakan menurut pendapat masing-masing;98 dan tokoh yang menyebarluaskan dosa besar ini ada Abdullah bin Ubai bin Salul (seorang tokoh munafik yang tidak jujur). Setibanya kami di Madinah aku jatuh sakit selama satu bulan karena berita bohong itu, dan orang-orang banyak terlibat dalam hasutan para penyebar berita bohong itu, sedangkan aku tidak sadarkan diri dan makin membuatku tidak menentu di masa sakitku adalah bahwasanya aku tidak melihat lagi dari Rasulullah SAW kelembutan yang selama ini selalu aku melihatnya mana kala aku sedang sakit, dan beliau hanya memberikan salam bila masuk menjengukku
96
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section =kj073&idjudul=1990 97 . Zaini Dahlan, Dkk, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakap, 1990), Jilid-6, h. 604. 98 . Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur”an Wanita, h. 201.
lalu bertanya, “Bagaimana kamu”, lalu pergi. Itulah yang membuatku makin merasa bimbang.99 Aku tidak merasakan adanya keburukan kecuali setelah aku sembuh dan masih dalam keadaan lemah. Aku keluar bersama Ummi Masthah menuju Manashi’, yaitu tempat kami buang air. Kami tidak keluar ke sana kecuali pada malam hari, dan itu sebelum kami menggunakan dinding pelindung (untuk buang air), karena kami sama seperti orang-orang Arab lainnya dalam hal buang air besar, yaitu membuang air besar di padang yang jauh (gha’ith). Kemudian, seusai buang hajat aku dan Ummi Masthah kembali dengan jalan kaki. (Ummi Masthah adalah putri Abu Dirham bin Abdil Mutthalib bin Abdi Manaf, sedangkan ibunya adalah anak dari Shakhar bin ‘Amir, bibinya Abu Bakar Siddik, putranya bernama Masthah bin Utsatsah). Tiba-tiba Ummi Masthah tersandung karena kainnya dan berkata, “Celaka Masthah!” Maka aku bertanya, “Alangkah buruknya apa yang kamu katakan! Apakah kamu mencela orang yang telah ikut dalam perang Badar?” Ia menjawab, “Wahai saudaraku, apakah kamu belum mendengar apa yang ia katakan?” Aku bertanya, “Apa yang telah ia katakan?” Lalu Ummi Masthah menceritakan kepadaku bahwa Masthah ikut membicarakan apa yang dibicarakan oleh para penyebar berita bohong itu. Maka aku pun bertambah sakit.100
99
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section =kj073&idjudul=1990 100 . Ibid
Sekembalinya aku ke rumah, Rasulullah SAW masuk menjengukku dan berkata, “Bagaimana kamu?” Aku berkata kepada beliau, “Izinkan aku datang kepada kedua ibu-bapakku.” Pada saat itu aku ingin mengecek berita dari pihak mereka (orang tuaku). Maka Rasulullah mengizinkan dan akupun pergi menemui ibu dan ayahku. Di rumah aku bertanya kepada ibuku, “Wahai ibuku, apa yang sedang dibicarakan oleh banyak orang saat ini?” Ibu menjawab, “Wahai anakku, tahan dirimu atas peristiwa ini, karena demi Allah, jarang ada perempuan cantik yang mempunyai suami yang sangat mencintainya, sedangkan ia mempunyai banyak
madu
(istri-istri
suami
yang
lain)
melainkan
mereka
selalu
memojokkannya.” Aku berkata, “Maha suci Allah, sungguh manusia telah membicarakan masalah ini?” Maka aku pun menangis pada malam itu hingga pagi, air mata terus bercucuran tiada henti dan tidak dapat tidur. Pagi harinya pun aku tetap menangis.101 Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah ra ketika wahyu belum kunjung turun untuk minta pendapat kepada mereka berdua tentang perpisahan beliau dengan istrinya. Aisyah menceritakan: Adapun Usamah, menganjurkan sesuai dengan pengetahuannya akan kebersihan istrinya dan dengan dasar pengetahuannya bahwa Nabi sangat mencintai mereka, seraya berkata: “Mereka adalah keluargamu wahai Rasulullah, dan kami, demi Allah, tidak mengenal mereka
101
. Ibid.
kecuali sebagai orang-orang baik”. 102 Sedangkan Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah tidak mempersulit dirimu, dan perempuan selain dia (Aisyah) masih sangat banyak. Engkau hanya minta carikan kepada salah seorang perempuan, niscaya ia mencarikannya.” Aisyah melanjutkan: Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Barirah seraya bersabda, “Wahai Barirah, apakah engkau melihat padanya (Aisyah) ada sesuatu yang meragukanmu?” Barirah menjawab, “Tidak, demi Tuhan yang telah mengangkatmu dengan haq sebagai Nabi, jika engkau melihat darinya (Aisyah) sesuatu, maka campakkanlah kepadanya. Dia kan cuma seorang remaja belia yang masih di bawah umur, dan bisanya hanya tidur saja, lalu membiarkan hidangan keluarganya sehingga datang ayam memakannya.” Aisyah menuturkan: Semenjak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi dan meminta kerelaan orang-orang untuk menindak Abdullah bin Ubai bin Salul seraya bersabda sambil berdiri di atas mimbar, “Siapa yang mendukungku untuk menghukum orang yang telah menyakiti aku dengan mencemarkan keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengenal keluargaku selain sebagai orang yang baik. Dan sesungguhnya mereka menyebutkan seseorang yang tidak aku ketahui kecuali sebagai orang baik, dan ia tidak pernah datang kepada keluargaku kecuali bersamaku.”
102
. http://soaljawab.wordpress.com/2007/11/03/hadis-ifki1-ujian-sedih-kepada-ummul -mukminin-aisyah-ra/
Lanjut Aisyah: Maka Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, Aku, demi Allah, aku mendukungmu untuk menghukumnya. Kalau dia berasal dari suku Aus, maka kita penggal lehernya, dan kalau ia berasal dari saudara kami, suku Khazraj, maka kami tunggu apa perintahmu terhadapnya, niscaya kami lakukan.” Kemudian Sa’ad bin Ubadah ra bangkit dia adalah pemuka suku Khazraj dan merupakan seorang lelaki shalih, namun fanatisme kesukuannya sangat tinggi- seraya berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Tidak benar kamu! Demi Allah, kamu tidak boleh membunuhnya dan tidak akan mampu melakukannya.” Kemudian, Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu (keponakan Sa’ad bin Mu’adz) berkata kepada Sa’ad bin Ubadah, “Kamu yang tidak benar! Demi Allah, kami pasti membunuhnya, kamu adalah orang munafik, karena membela orang-orang munafik.” Maka kedua suku Aus dan Khazraj ini pun naik darah, hingga hampir saja mereka berbunuhan. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih berada di atas mimbar dan melunakkan emosi mereka hingga akhirnya mereka diam dan kemudian beliau turun (dari mimbar).103 Aku pada hari itu menangis tiada henti dan air mataku pun terus berlinang dan tidak merasakan tidur sedikit pun juga. Pada malam berikutnya pun aku masih terus menangis dengan air mata bercucuran dan tidak dapat tidur hingga pada keesokan harinya ayah dan ibuku mendampingiku. Sungguh, aku telah
103
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section =kj073&idjudul=1990
menangis dua malam satu hari hingga aku mengira bahwa tangisan itu akan membelah hatiku. Ketika ayah dan bundaku duduk di sisiku, sementara aku sedang menangis, seketika ada seorang perempuan dari kaum Anshar minta izin masuk, maka aku pun mengizinkannya. Lalu ia duduk sambil menangis bersamaku. Ketika kami dalam keadaan seperti itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk kepada kami lalu duduk, padahal ia tidak pernah duduk di sisiku semenjak hari disebarluaskannya berita bohong itu. Sudah sebulan lamanya beliau tidak menerima wahyu berkenaan dengan perihalku ini. Beliau ber-tasyahhud ketika duduk, lalu bersabda, “Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku tentang kamu, bahwa begini dan begitu. Maka jika kamu benar-benar bersih dari tuduhan itu, niscaya Allah membebaskan kamu dari tuduhan. Dan jika kamu benar-benar telah melakukan dosa, maka minta ampunlah kamu kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya, karena sesungguhnya apabila seorang hamba mengakui dosanya lalu bertobat, niscaya Allah menerima tobatnya.” Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai mengutarakan ucapannya maka air mataku kering (berhenti) hingga aku tidak merasa ada setetes pun.104 Kemudian aku berkata kepada ayahku, “Berbicaralah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewakiliku sebagai jawaban ucapannya.” Ayahku berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang akan aku katakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lalu aku berkata kepada Ibuku, “Berbicaralah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewakiliku sebagai 104
. Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur”an Wanita, h. 203.
jawaban ucapannya.” Ibuku berkata, “Demi Allah, aku pun tidak tahu apa yang akan aku katakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Aisyah menuturkan: “Aku pada saat itu masih remaja belia, aku belum mempunyai banyak bacaan (hafalan) Al-Qur’an. Maka aku berkata (kepada Rasulullah), “Demi Allah, sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa engkau telah mendengar pembicaraan yang sedang menjadi buah bibir banyak orang, dan itu telah tertancap di dalam dirimu, bahkan engkau mempercayainya. Jika aku katakan bahwa sesungguhnya aku bersih dari tuduhan itu, maka engkau tidak akan mempercayaiku. Dan jika aku mengakui kepadamu bahwa tuduhan itu benar, padahal Allah mengetahui bahwa tuduhan itu palsu dan aku bersih darinya, niscaya engkau mempercayaiku. Maka, demi Allah, Aku tidak menemukan perumpamaan lain bagiku dan bagimu selain Ayah Yusuf (Nabi Ya’qub) di mana ia berkata: “Maka Sabar itulah yang terbaik, dan Allah tempat aku meminta pertolongan terhadap apa yang kalian katakan.” Pada saat itu Allah menurunkan firman-Nya surat 11,
.... ُْYِْ ٌَ ْ]ُ" ِ+ْ:ِ^ِْإِن` ا`_َِ ﺝَءُوا ﺏ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…” (Dan ayat-ayat lanjutannya). Lalu setelah ayat tentang pembebasan ‘Aisyah, diturunkan Abu Bakar AsShiddiq radhiyallahu ‘anhu yang sebelumnya selalu memberi nafkah kepada Misthah bin Utsatsah karena hubungan kerabat dekat dan kefakirannya, ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memberinya nafkah lagi selama-lamanya,
karena ia turut serta menyebarkan berita bohong yang dituduhkan terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anha.” Maka kemudian Allah menurunkan ayat:105
اْ;ُْ َﺏDِْﺕُ'ا أُوbُ َِْ أَن$`ُْ وَاYِْ ِ#ْcَِْ أُوُ' ا#َْﺕdَ ََو َ'نe ِ)ُُْ'ا وََْ]َْ)ُ'ا أََ ﺕ$ََِْ ا!` ِ و#ِ َ Dِ: ََِِﺝ3ُْوَاََْآَِ َا (22 : 24 /َُ'رٌ رٌَِ )ا'ر- ُ `!ُْ وَاYَ ُ `!أَنْ ََِْ ا Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur/ 24: 22).106 Maka setelah itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, aku benar-benar sangat suka kalau Allah mengampuni aku.” Maka ia pun kembali memberi nafkah kepada Misthah sebagaimana biasanya, bahkan beliau berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mencabut (pemberian nafkah ini) darinya selamalamanya.” Aisyah
radhiyallahu
‘anha
menuturkan:
Rasulullah
SAW
juga
menanyakan tentang aku kepada Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha seraya berabda, “Wahai Zainab, apa yang engkau ketahui (tentang Aisyah) dan apa yang telah kamu lihat.” Zainab menjawab, “Ya Rasulullah, aku selalu memelihara pendengaran dan mataku, demi Allah, aku tidak mengetahui tentang dia kecuali baik-baik saja.” 105
Dialah (Zainab) di antara istri-istri Rasulullah
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section =kj073&idjudul=1990 106 . M. Qurais Shihab. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian A-Qur’an ,(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet-8, h. 310.
shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu menyaingi aku, dan Allah melindunginya dengan ke-wara’annya. Aisyah juga menuturkan, “Namun saudara perempuannya selalu melancarkan serangan terhadapnya, maka dari itu ia binasa (mendapat hukuman) bersama-sama para penyebar berita bohong itu.” 107 Kisah di atas menjelaskan betapa dahsyatnya pengaruh atau akibat buruk yang timbul dari tindakan pencemaran harga diri, kehormatan dan nama baik. Dan dari sini kita dapat mengetahui betapa pentingnya hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah SWT terhadap siapa saja yang telah memperpanjang lidahnya untuk melontarkan tuduhan keji, pencemaran kehormatan terhadap orang lain, dan jelas sekali berhubungan sekali dengan pencemaran nama baik.
BAB IV
107
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section =kj073&idjudu l=1990
SALAH TANGKAP DAN PENCEMARAN NAMA BAIK
A. Pengertian Salah Tangkap Salah tangkap terdiri dari dua kata “salah” dan “tangkap” menurut kamus lengkap bahasa Indonesia “salah” adalah, tidak benar atau tidak mengenai sasaran.108 Sedangkan kata “tangkap” adalah, memegang atau mendapati.109 Jadi yang dimaksud dengan “salah tangkap” adalah, tidak mengenai sasaran. “salah tangkap” di sini lebih cocok diartikan dengan, salah menetapkan tersangka dalam suatu kasus.110 Ketika berkas-berkas perkara berita acara, alat bukti, barang bukti ini adalah pekerjaan kepolisian dari kepolisian dinyatakan sudah lengkap oleh kejaksaan, maka kejaksaan menyiapkan penuntutan untuk mengajukan tersangka ke depan pengadilan (menjadi terdakwa). Apabila hakim merasa sudah tersedia cukup bukti bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan tersebut, keluarlah vonis hukuman penjara. Dilihat dari prosesnya, maka tahapan-tahapan tersebut saling tergantung satu sama lain. Apabia terjadi kesalahan atau kekeliruan di tingkat kepolisian, kemudian tetap diproses lebih lanjut, maka vonis yang diberikan pun bisa salah, terdakwapun dipenjara akibat perbuatan yang tidak pernah dilakukan. B. Sebab Terjadinya Salah Tangkap
108
. Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: tth), hal. 978. . Dep Dik Nas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet- 3, h. 1139. 110 . http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=41587 109
Ada beberapa sebab timbulnya salah tangkap dalam penegakan hukum. Salah satunya adalah pelaksanaan hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) yang kurang diiringi dengan semangat satu sistem terpadu oleh para penegak hukum. Meskipun secara prinsip terdapat pembagian fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing penegak hukum, dalam pelaksanaannya mensyaratkan secara mutlak adanya keserasian dan koordinasi antar instansi penegak hukum. Syarat mutlak tersebut tertuang dalam konsepsi "integrated criminal justice system" yang memandang proses penyelesaian perkara pidana sebagai satu rangkaian kesatuan, sejak penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara, hingga pada penyelesaian di tingkat lembaga pemasyarakatan. Belakangan ini sistem tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan sehingga yang terlihat adalah hubungan yang kurang memperlihatkan rangkaian kesatuan sehingga kurang menjamin kesatuan pelaksanaan hukum acara pidana. Terlihat pada saat terjadi dugaan salah tangkap (error in persona), terdapat kecenderungan tanggung jawab tertumpah hanya pada aparat penyidik sebagai penanggung jawab awal dalam proses pidana. Padahal, kegiatan penyidikan sebagai suatu subsistem berjalan dalam satu proses terkait dengan subsistem lain dalam bentuk koordinasi sinkronisasi instansional dan fungsional. Awal dari suatu proses pidana adalah penyidikan yang menempatkan Polri sebagai penanggung jawab utama terutama di bidang tindak pidana umum. Penyidikan yang diawali dan didahului dengan langkah teknis penyelidikan menyeleksi secara cermat, apakah suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sebagai suatu sistem yang mengutamakan hak asasi manusia dan kesamaan kedudukan dalam hukum, maka peningkatan
penyelidikan
ke
proses
penyidikan
harus
juga
selalu
mempertimbangkan hal tersebut. Sebagai hasil penyelidikan yang ditingkatkan ke penyidikan, maka begitu masuk ke tingkat penyidikan dibuatlah laporan dimulainya penyidikan ditujukan kepada penuntut umum atau kejaksaan. Dengan adanya laporan tersebut, kejaksaan secara awal telah mengetahui adanya proses penyidikan di kepolisian. Meskipun penyidikan adalah tanggung jawab kepolisian, dengan laporan dimulainya penyidikan tersebut tanggung jawab proses dalam satu sistem mulai berlangsung, meski dengan tingkat tanggung jawab formal yang berbeda. Dengan laporan tersebut, penuntut umum mulai mengetahui kegiatan penyidikan termasuk identitas tersangka meskipun belum secara fisik.111 Tidak kalah penting adalah hubungan penyidik dengan penasehat hukum. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang penasehat hukum atau lebih. Bantuan hukum ini diberikan pada setiap tingkat pemeriksaan yang dilakukan sejak berlangsungnya penyidikan. Bahkan pada perkara dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana lima belas tahun atau lebih, pidana mati wajib didampingi oleh penasehat hukum. Termasuk yang diancam pidana lima tahun atau lebih dan ternyata tidak mempunyai penasehat hukum, dapat ditunjuk penasihat hukum dengan biaya 111
. http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=41587
cuma-cuma. Dari kordinasi dan sinkronisasi tersebut makin jelas bahwa dengan satu sistem terpadu, maka informasi tentang data tersangka dan perbuatan pidana yang disangkakan tidak semata menjadi "milik" penyidik. Meskipun
hubungan
tersebut
berlangsung
baru
dalam
bentuk
administratif, hubungan tersebut telah melahirkan secara moral dan hukum keikutsertaan dalam tanggung jawab, minimal yang terkait dengan seseorang yang terkena upaya paksa dan terancam dengan suatu hukuman. Hubungan administratif antara penyidik dan penuntut umum tersebut pada saatnya akan menjadi lebih nyata di saat penyidik menyerahkan berkas perkara tahap kedua yang disertai tersangka dan alat buktinya. Hukum acara pidana telah memungkinkan dan memberi jalan antara lain dengan adanya ketentuan pemeriksaan tambahan berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum. Mondar-mandirnya berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum yang selama ini dinilai sebagai suatu hambatan dan kekurangan, namun dari segi mengemban tanggung jawab satu sistem dapat dipahami, sepanjang berlangsung tidak berlebihan dan merugikan. Pada penyerahan berkas perkara tahap kedua, tersangka akan dihadapkan bersama alat bukti kepada penuntut umum. Meskipun identitas dan data perbuatan tersangka telah diketahui penuntut umum namun pengenalan secara fisik baru saat itu. Seharusnya, bila terjadi kesalahan dalam penetapan tersangka, saat itu dapat diketahui.
Pengenalan secara jelas identitas dan data perbuatan tersangka oleh penasehat hukum berlangsung lebih awal, yaitu pada saat mendampingi sebagai penasehat hukum pada tingkat penyidikan. Bila ternyata ada dugaan kesalahan dalam penetapan tersangka, dapat pula segera diketahui dan segera dilakukan langkah koreksi. Meskipun tahap-tahap proses pidana tersebut telah jelas diatur dalam hukum acara pidana (KUHAP), bila pelaksanaannya berlangsung tanpa disertai niat bersama untuk terpadu dalam satu sistem, maka apa yang terlihat dan terjadi semata hubungan instansional yang cenderung hanya mengutamakan keberhasilan masing-masing dan bukan keberhasilan bersama dalam satu sistem. Oleh karena itu, hukum acara pidana memberi dasar yang fundamental untuk penyidikan yang berbeda dengan hukum acara terdahulu (HIR) antara lain perlindungan hak asasi manusia, perlakuan yang layak disertai kewajiban memberi perlidungan dan pengayoman kepada tersangka dan pengetatan pengawasan. Dasar yang fundamental tersebut bukan saja menjadi pedoman petugas penyidik, tetapi juga seluruh aparat penegak hukum. Melihat ketergantungan dan perluasan tanggung jawab tersebut rasanya sulit terjadi kesalahan penetapan tersangka dalam suatu kasus pada tingkat penyidikan yang selanjutnya membias pada tingkat berikutnya. Kejadiannya, bila benar terjadi pada saat penyidikan, dapat dicegah dan penyidikan dapat diberhentikan, dan itu hanya mungkin bila hubungan terutama dengan penuntut umum dan penasehat hukum koordinasi dan sinkronisasinya berlangsung efektif.
Sebaliknya, bila setelah proses berlangsung ternyata terjadi kesalahan dalam penentuan tersangka atau terdakwa, maka tidaklah berlebihan bila dipertanyakan sampai di mana semua petugas bersama penyidik berperan waktu itu sesuai dengan tanggung jawabnya dalam pelaksanaan satu proses pidana yang terpadu. Dari segi perlindungan hak asasi individu, baik terhadap korban maupun terhadap si pelanggar, maka peristiwa salah penentuan tersangka adalah hal yang sangat fatal dan sangat memprihatinkan. Hal tersebut dapat mengarah pada keraguan masyarakat luas terhadap kemampuan profesional, integritas moral, dan kesungguhan penegakan hukum. Tanpa usaha nyata untuk mengatasinya, dapat mengancam goyahnya kepastian hukum serta merosotnya wibawa hukum. 112 Banyaknya kasus salah tangkap, peradilan sesat yang terjadi di Indonesia tidak dapat dipungkiri terjadi karena minimnya profesional dan kinerja aparat hukum sebagai akibat antara lain: 1. Lemahnya pengawasan dan SDM di lingkungan aparat hukum di Indonesia. 2. Keterlambatan proses revisi legislasi yang memproteksi hak asasi manusia dalam prosedur acara pidana (KUHAP) dan KUHP; dan 3. Tidak diimplementasikannya secara efektif konvensi menentang penyiksaan yang telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1998 turut berkontribusi pada maraknya kasus-kasus salah tangkap.113
112 113
. Ibid. . http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=10783
C. Akibat Salah Tangkap Menyidik kasus pidana memang bukan perkara yang gampang. Di tengah segala keterbatasan, polisi lebih suka mengejar pengakuan tersangka. Caranya, antara lain, melalui paksaan, ancaman, bahkan tidak sedikit yang berujung pada kekerasan dan siksaan.114 Sudah menjadi pengetahuan umum praktik penyiksaan tahanan serta kekerasan oleh kepolisian sering menghiasi keseharian tugas kepolisian. Harapan terhadap kepolisian sebagaimana bunyi Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002, yaitu ”Kepolisian RI bertugas memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Komite Anti penyiksaan PBB dalam laporannya, 5-7 Mei 2008, menyatakan, praktik penyiksaan yang melanggar HAM di Indonesia cenderung meluas meski Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. 115 Dan kejahatan kemerdekaan orang, pada Pasal 335 kejahatan terhadap orang diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.116 1.barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu
114
. http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/15/1/154323/komnas-hambebaskan-korban-salah-tangkap 115 . http://koran.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salah.tangkap.dan.salah. menghukum 116 . http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/58/Salah-Tangkap_Hukum_yang_Salah-Kaprah Salah-Tangkap Juga Dapat Dipidana!
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. 117 Untuk menghindari dari salah tangkap, kekerasan dan penyiksaan di tingkat penyidik polisi (aparat) harus meningkatkan profesionalitas dan kredibilitas mereka, baik dari segi teknis maupun dari sisi yuridis. Jika tidak meningkatkan poin-poin tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi salah tangkap yang mengakibatkan, tercemarnya nama baik seseorang karena telah tersebar isu bahwa orang dialah yang melakukan tindak pidana. mengalami luka batin maupun fisik dari kekerasan dan penyiksaan di tingkat penyidik. 118
D. Macam-Macam Perlidungan Hak Korban Kasus salah tangkap adalah kasus pelanggaran HAM yang sistematis dan termasuk jenis kejahatan amat serius. Karena itu, penanganannya harus bersifat extra ordinary. Para korban dapat pula menuntut para penegak hukum yang salah menghukum secara pidana dan perdata, misalnya karena penganiayaan sesuai dengan Pasal 351 KUHP dan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.119 Bagaimanapun, dalam negara demokrasi, keadilan dan kebenaran haruslah terbuka untuk setiap warga. Negara tanpa harus malu, tanpa mesti 117
. R. Soenarto Soerodibroto, KUHP Dan KUHAP, Di Lengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Dan Hoge Raad, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Cet, Ke-9, h204. 118 . http://www.mediaindonesia.com/read/2008/12/12/48989/70/13/Kasus_Salah_Tangkap_ dan_Asas_Legalitas 119 . http://koran.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salah.tangkap.dan.salah. menghukum
ditekan publik, wajib melaksanakan asas legalitas, yaitu memberi ganti rugi dan merehabilitasi nama baik warga yang menjadi korban salah tangkap. 120 Adapun Arti dari ganti rugi dan rehabilitasi, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Ganti Rugi, Pasal 1 Butir 22 dari Undang-Undang Nomor 8 1981 memberikan batasan atau definisi ganti kerugian. Ganti kerugian adalah: hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Untuk dapat menentukan secara tepat kapan tuntutan ganti kerugian harus dilancarkan, karena salah tangkap, salah tahan, salah penerapan hukum.121 Kemudian tentang tuntutan ganti kerugian ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 95 Ayat 3 Tahun 1981 yang mengatakan bahwa: “tututan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 diajukan oleh terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.122 2. Rehabilitasi, Pasal 1 Butir 23 dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 memberikan batasan atau definisi tentang rehabilitasi. Rehabilitasi adalah: hak 120
. http://www.mediaindonesia.com/read/2008/12/12/48989/70/13/Kasus_Salah_Tangkap_ dan_Asas_Legalitas 121 . Nawawi, Teknik dan Strategi Membela Perkara Pidana, (Jakarta: Fajar Agung, 1987), Edisi Ke- 2, h. 32. 122 . Ibid.
seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya berdasarkan Pasal 97 Ayat 1 dari UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981, bahwa seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan humum tetap.123
E. Kasus Salah Tangkap Duduk perkaranya bisa diuraikan bahwa ada sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka. Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Tapi lantaran tidak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi dari pada bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon 123
. Ibid, h. 39.
divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan pengadilan tinggi Jawa Barat. Pada akhirnya merekapun bebas dari penjara, karena polisi telah menangkap perampok sekaligus pembunuh Sulaiman-Siti Haya.124 Kasus yang mirip dengan Sengkon dan Karta pada tahun 1974 kembali terulang. Budi Harjono 27 disangka membunuh ayah kandungnya sendiri. Budi pun harus menjalani pahit getirnya menjadi seorang tahanan selama enam bulan di Rumah Tahanan Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi dan Lembaga Pemasyarakatan Bulak Kapal. Empat tahun kemudian kebenaran terkuak. Masin, mantan pekerja bangunan di rumah keluarga almarhum Ali Harta Winata, ayah kandung Budi, tertangkap. Ia mengaku sebagai pembunuh pemilik Toko Material Trubus pada tahun 2002.125 Tepatnya 17 November 2002 sekitar pukul 02.00. Ali Harta ditemukan tewas secara mengenaskan di kamar mandi rumahnya di Jalan Raya Hankam Jatiwarna, Pondok Gede, Bekasi. Ia tewas dengan luka tulang hidung patah, memar di kepala belakang, dan cekikan tangan di lehernya. Kematian Ali Harta itu didahului kejadian tragis. Menurut Eni, istri almarhum, pukul 22.00 menjelang kejadian, ia dan Ningsih 19, pembantu rumah tangganya, tengah memasak. Karena mengantuk, Ningsih tidur lebih awal. Tidak lama kemudian, Ali Harta bangun untuk menyelesaikan pekerjaan administrasi toko seperti biasanya.
124 125
. http://dekade80.blogspot.com/2009/04/sengkon-dan-karta-sebuah-ironi-keadilan.html . http://forum.wgaul.com/showthread.php?t=50761
Menjelang tengah malam, Eni pergi tidur. Ali tetap sibuk dengan pekerjaannya. "tidak lama Eni tidur, dia lihat bayangan lelaki berkelebat. Orang itu masuk kamar. Tiba-tiba saja pelipis Eni dipukul dengan balok kaso. Eni merasa sakit bukan kepalang, tetapi sebelum ia sadar pukulan kedua mendarat di bagian rahangnya hingga tak sadarkan diri. Ketika sadar, ia sudah berada di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit UKI, Jakarta Timur. Saat ini terpasang sembilan pen pada tulang pelipis dan rahang Eni. Menurut Budi, dia terbangun karena sayup-sayup mendengar teriakan ibunya. Ia lalu mendapati ibunya bersimbah darah. Ningsih juga ikut terbangun ketika Budi berteriak, "Ada maling memukul mamah!" Sebelumnya dia mendengar suara seorang lelaki menyuruh temannya ’cepat...cepat’, tetapi ningsih biarkan. Lalu dia dengar teriakan Budi. Menurut Ningsih, saat itu ia juga melihat Budi kebingungan mencari ayahnya. Dicari keluar, hingga ke kebun sebelah, tetap tak ketemu. Lalu ia meminta tolong tetangganya dan ramailah rumah itu. Tetangga menemukan Ali Harta tewas di kamar mandi. “ningsih disuruh bilang bahwa dia melihat Budi turun dari tangga, lalu menyeret ayahnya ke kamar mandi. Padahal dia tidak melihat Budi menyeret ayahnya. Penyiksaan terhadap Budi berbeda lagi. Selain menjadi sasaran pukulan, Budi dipaksa mengaku bahwa dia yang membunuh ayahnya sendiri. Skenario pembunuhan versi polisi waktu itu adalah bahwa sebelum pembunuhan terjadi,
Eni terlibat pertengkaran dengan suaminya. Ali Harta memukul Eni dengan balok dan Budi membantu ibunya. Karena kalap, Budi pun menghabisi orangtuanya sendiri. Padahal, kata Budi, yang terjadi tidaklah demikian. Enam bulan berlalu dengan penuh kepahitan. Majelis hakim perkara tersebut memutuskan terdakwa Budi bebas dari segala tuntutan. Di tengah derita stigma masyarakat Budi sebagai pembunuh ayahnya, Polda Metro menangkap Masin. Lelaki itu adalah bekas kuli bangunan di rumah Eni sebelum akhirnya dia diberhentikan dari pekerjaannya empat hari sebelum pembunuhan terjadi.126 Setelah penulis menelusuri masalah atau kasus salah tangkap tersebut di Pengadilan Negeri Bekasi, benar-benar ada, sehigga penulis mendapatkan bukti yang menguatkan kasus di atas, berupa putusan hakim pengadilan negeri bekasi, yang akan di lampirkan setelah akhir bab. Dari yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwasannya salah tangkap bisa mengakibatkan tercemarnya nama baik seseorang, luka lahir dan luka batin, yang disebabkan adanya penyiksaan saat penyidikan. Sebagai contoh di atas kasus Sengkon dan Karta, dan kasus Budi Harjono, yang tidak lepas dari paksaan, siksaan oleh polisi. Yang mengakibatkan tercemarnya nama baik tersangka, kerena kasus tersangka telah menyebar ke masyarakat lewat media surat kabar atau elektronik, bahwa dialah yang melakukan kejahatan tersebut. Kurang profesionalisme para penegak hukum yang menyebabkan terjadinya salah tangkap, dari polisi di tingkat penyidikan, jaksa, dan hakim. 126
. Ibid.
Apabila dihubungakan dengan hukum Islam, kasus salah tangkap atau salah menghukum, dapat dikatagorikan ke dalam masalah syubhat, yang berakibat gugurnya hukuman hudud terhadap tersangka disebabkan adanya bukti yang kuat bahwa bukan tersangka yang berbuat jarimah. Seharusnya qadhi atau hakim lebih berhati-hati dalam memvonis tersangka, hakim lebih baik salah dalam memaafkan dari pada salah dalam memberikan hukuman. Untuk aparat penegak hukum atau polisi yang telah melanggar aturan-aturan hukum seperti penganiayaan terhadap tersangka harus mengganti rugi atas perbuatan mereka, dalam hukum Islam terdapat konsep hukuman qisas yang apabila ada anggota badan yang hilang atau luka akibat perbuatan orang lain harus dibalas dengan perbuatan yang yang sama, seperti hidung dengan hidung, gigi denan gigi, telinga dengan telinga dan seterusnya.
F. Analisis Perbandingan 1. Persamaan antara hukum pidana islam dan hukum pidana positif Pada dasarnya, tujuan dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif adalah memberikan kedamaian dan keamanan serta melindungi kepentingan masyarakat. Persamaan kedua penerapan hukuman pada hukum pidana islam dan hukum pidana positif adalah dengan tujuan agar dapat mengendalikan situasi dan masyarakat serta untuk menimbulkan rasa kesadaran bagi para pelakunya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Persamaan ketiga adalah dalam hukum pidana Islam sama-sama menaruh perhatian yang sangat besar mengenai pencemaran nama baik terlebih lagi penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada saat menyelidiki kasus, karena pencemaran nama baik bisa menurunkan harkat dan martabat tertuduh yang bisa mengancam jiwa tertuduh. Persamaan kelima hukum Islam dan hukum Positif sangat mengancam bagi orang yang melakukan penganiayaan yang mengancam jiwa seseorang khususnya yang dibahas pada skripsi ini yaitu penganiayan atau kekerasan yang dilakukan oleh polisi di tingkat penyelidikan. Persamaan berikutnya mengenai sangsi bagi pelaku (polisi) pencemaran nama baik akibat salah tangkap, mempunyai kesamaan hukuman dalam hukum pidana positif dengan hukum pidana Islam antara lain: sama-sama diasingkan atau dimutasi. 2. Perbedaan Hukum Pidana Islam Dengan Hukum Pidana Positf Perbadaan antara hukum Islam dengan hukum Positif antara lain: Tinjauan umum dari tindak pidana pencemaran nama baik akibat salah tangkap, dalam hukum Islam tindak pidana pencemaran nama baik akibat salah tangkap tidak dibahas secara terperinci, sedangkan dalam hukum Positif diatur secara terperinci didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XVI tantang penghinaan. Pebedaan yang kedua adalah mengenai sanksi yang dikenakan kepada pelaku pencemaran nama baik, dalam hukum Islam tidak terdapat yang menjadi
pokok dalam menentukan sanksi melainkan dimasukan kedalam tindak pidana takzir, sedangkan dalam hukum pidana positif terdapat sanksi yang terperinci tentang pencemaran nama baik yang temuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dilakukan terhadap permasalahan yang diangkat di dalam skripsi ini, maka penulis telah mengambil beberapa kesimpulan, yaitu 1. Perbuatan pencemaran nama baik atau mencemarkan kehormatan orang mempunyai arti yang sama dengan perbuatan menista seperti yang diatur dalam Pasal 130 KUHP. Tentu perbuatan pencemaran nama baik adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum, baik itu dengan lisan maupun dengan tulisan. Yang menyerang kehormatan seseorang yang mengakibatkan rusaknya nama baik atau reputasi seseorang, dengan menyebarkan berita yang tidak sesuai dengan fakta, dan menyebarkan berita tersebut kepada khalayak ramai yang bisa menimbulkan kerugian bagi pihak yang bersangkutan. 2. Hukum Islam memandang bahwa tindak pidana Pencemaran nama baik adalah perbuatan yang diharamkan, penulis menggolongkan perbutan pencemaran nama baik dalam jarimah qazaf ( pebuatan menuduh zina). 3. Salah tangkap adalah salah menetapkan tersangka dalam suatu kasus. Kasus salah tangkap oleh jajaran kepolisian terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana membuktikan bahwa aparat penegak hukum tidak profesional dan cenderung memaksakan diri untuk memenuhi target
pengungkapan dan penuntasan terhadap suatu kasus. Kasus salah tangkap ini sudah seringkali terjadi di lingkungan polisi, bukan hanya terhadap orang yang disangka pelaku kriminal. Ini membuktikan kinerja polisi di lapangan tidak profesional dan hanya untuk memenuhi target saja. Untuk kasus-kasus yang banyak mendapat sorotan masyarakat polisi sering bertindak tidak sesuai prosedur dan memaksakan diri untuk segera menuntaskan kasus tersebut sehingga berdampak pada salah tangkap. Ada sejumlah kasus yang diindikasikan polisi merekayasa termasuk dalam keterangan tersangka di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan tekanan-tekanan maupun intimidasi sehingga orang tersebut terpaksa mengakui BAP meskipun itu bukan perbuatannya. Maka tersangka salah tangkap berhak menuntut kepada aparat tertentu dengan meminta ganti rugi dan rehabilitasi nama baik.
B. Saran-saran 1. Agar pemerintah segara bertindak tegas kepada para penegak hukum (polisi) yang malas-malasan dalam tugasnya, sehigga tidak akan terjadi lagi kasuskasus salah tangkap, bila perlu diberhentikan dari tugasnya atau di pecat menjadi pelindung masyarakat. 2. Agar semua pihak memperhatikan atau bersikap jeli dengan adanya tindak pidana, dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi yang merugikan pihakpihak tertentu, dan bertindak menurut hukum yang telah diatur oleh undangundang.
3. Agar polisi atau penyidik tidak bertindak semena-mena kepada terdakwa demi menjauhkan dari tindakan-tindakan kekerasan kepada tersangka agar tidak menimbulkan luka-luka. 4. Kepada penegak hukum agar memberi hak-hak tersangka kasus salah tangkap dengan seadil-adilnya demi mengangkat harkat martabat tersangka salah tangkap.
DAPTAR PUSTAKA Dari Buku-Buku Al-qur’an Al-Karim Abdul Quodir Audah. Al-tasyri’ al-Jinai’ al-Islami Muqaronah bi al-qonun al-Wad’i. Bairut. 1992 Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-Kisah Manusia Pilihan, Penerjemah, Uwais Alqorny, Bogor: Pustaka Teriqul Izzah, 2005. Abi Abdullah Muhammad bin Ismail A-bukhari, Kitab Sahih Bukhori, t.t.: Daran Nahra Al-naili, t.th, Juz- 4 Adami Chzawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008. A. Jazuli. Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. Rajawali Pres. Jakarta 1997 Ahmad Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Bandung: Bulan Bintang 2005. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Ahmad Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung : Risalah, 1983. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. Cet. Ke-2. Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressido, 1983, Cet. Ke-1. Barda Nawawi Arif. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003 Aruan Sakitjo dan Babang Poenomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Cet. Ke-1. Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju KepadaTiada Pertanggunjwaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap
Teori Pemisah Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Pranada Media, 2006. Chazawi. Adami Drs. Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, Jakarta, 2002, cet 1. Dikdik dan lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Reaita, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008. Dep dik but ,Kumus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998. Edward Cecil Smith, Sejarah Pembredelan Pers Di Indonesia, (Jakarta: Graditi Pers, 1990), h. 140-141. Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jombang: tth. Hasbi ash-Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. Ramadhani. Bandung 1975 I. N. Soebagio, Sejarah Pers Di Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977. Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur”an Wanita, Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, tth, Judul Asli: Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim Lin nisa. Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Islam, bandung: Penerbit Angkasa, 1993, Cet. Ke-2. Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1997 , Cet. Ke-1. Muhammad Ichsan dan M Endriyo Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiah Yogyakarta, 2008. M. Husen, Harun. Surat Dakwaan Teknik penyusunan, fungsi, dan Permasalahannya, Jakarta, Rieneka Cipta, 1994. M. Qurais Shihab. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian A-Qur’an ,(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet-8. M. Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Terjemahan, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1996, Cet.5. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2005 Moeljetno. S.H. Asas-Asas Hulum Pidana, Jakarta, PT Rineka Cipta. 2002,
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta 1999, Cet. Ke-20. Nawawi. Taktik dan Strategi Membela Perkara Pidana. Jakarta, Fajar Agung, 1986. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiinayah), Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, Cet. Ke-1. R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerannya, Jakarta: Alumni ahaem petehem, 1996, Cet. Ke-4. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, Bogor: poleteia, 1990. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1, Balai Lektur Mahasiswa, Tth. Siswanto Sunarso. Wawwasan Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung, PT Citra Aditia Bakti. 2005. Cet ke 1. R. Soenarto Soerodibroto, KUHP Dan KUHAP, Di Lengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Dan Hoge Raad, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, Cet, Ke-9. Sudirman Teba, Hukum Media Massa Nasional, Banten: Pustaka Irvan, 2007. Taqiyudin Abu Bakar Al-Husaini.Kiayatul Ahyar. penrjemah: A. Zaidun. A. Ma’ruf Asrori. PT. Bina Ilmu.Surabaya 1997. Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, Jakarta: Rika Pres, 2005. P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: CV. Amrico, 1994, Cet. Ke- 4. Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: PT. Eresco, 1989, Cet. Ke-6. Zaenal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindak Pidana Dalam Rancangan KUHP, Jakarta: Elsam, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2005. Zaini Dahlan, Dkk, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakap, 1990), Jilid-6.
Adapun dari Wabsites Atau dari Internet www.Google.com. www.Yahoo.com. www.okezone.com. www.wilkypedia.com. http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salah.tangkap.dan.salah.me nghukum Senin 25 mei 2009 http://www.gp-anshor.org/tajuk/salah-tangkap-dan-kesalahanberjamaah.Html.Senin25mei 2009 http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/PncemaranNama.pdf http://www.republika.co.id/berita/82319/Penetapan_Tersangka_Anggota_ICW_Peng alihan_ Isu http://yogiikhwan.blogspot.com/2008/04/uqubah.html http://rubiatul.blogspot.com/2008/12/qadzaf.html http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_sect ion=kj073&idjudul=1990 http://soaljawab.wordpress.com/2007/11/03/hadis-ifki1-ujian-sedih-kepada-ummulmukminin-aisyah-ra/ http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=41587 http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=10783 http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/15/1/154323/komnas-hambebaskan-korban-salah-tangkap http://koran.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salah.tangkap.dan.salah. menghukum http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/58/Salah-Tangkap_Hukum_yang_SalahKaprahSalah-Tangkap Juga Dapat Dipidana!
http://www.mediaindonesia.com/read/2008/12/12/48989/70/13/Kasus_Salah_Tangka p_ dan_Asas Legalitas http://dekade80.blogspot.com/2009/04/sengkon-dan-karta-sebuah-ironi-keadilan.html http://forum.wgaul.com/showthread.php?t=50761