TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR (Studi Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
MUHAMMAD QOLBI N I M : 1110045100015
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR (Studi Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
MUHAMMAD QOLBI N I M : 1110045100015 Pembimbing
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Desember 2014
Muhammad Qolby
ABSTRAK MUHAMMAD QOLBI. NIM 1110045100015. TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR (Studi Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004). Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H / 2014 M. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, menguraikan, menjelaskan dan menganalisa tentang Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air Dalam Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004 Tentang Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan fenomena yang terjadi ini, penulis ingin menganalisis sanksi pidana yang terdapat dalam PERDA Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air, dalam perspektif hukum Islam maupun positif. Dan sejauh mana pandangan hukum Islam terhadap tindak pidana pencemaran lingkungan khususnya yang berkenaan dengan air? Sudah sesuaikah sanksi yang diberikan pemerintah terhadap pelaku tindak pidana pencemaran air? Apakah sanksinya telah memenuhi syarat pencegahan dan memberikan efek jera bagi si pelaku? Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan (Library reaserch). Studi kepustakaan dilakukan dengan menulusuri berbagai literatur, baik berupa undangundang, buku-buku, majalah, artikel, website, serta kasus yang berhubungan dengan tema penelitian. Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Kata kunci
: Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air (Studi Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004)
Pembimbing
: Dr. Hj. Isnawati Rais, MA
Daftar Pustaka
: Tahun 1967 s.d.Tahun 2013
i
KATA PENGANTAR
Pujian serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang maha rahman dan maha rahim atas segala ridha dan bimbingan-Nya, petunjuk serta kesehatan yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tidak lupa penulis curahkan shalawat dan salam kepada kekasih Allah SWT yaitu, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikut-Nya yang setia dan yang kita harapkan syafa’atnya di akhirat nanti. Skripsi yang berjudul : TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR (STUDI PERDA KOTA SURABAYA NO. 2 TAHUN 2004), disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 (S1) Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari
berbagai pihak, sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Kepada kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan serta do’a yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat, Ayahanda Wahyu Hidayat, dan Ibunda Muhsinah, semoga Allah ampunkan segala dosa-dosanya.
ii
2.
Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3.
Ibu Dra. Hj. Maskufah M.A., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah yang telah memberikan petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis selama perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
4.
Ibu Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
5.
Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, MA, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
6.
Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang menyalurkan ilmu dan pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani.
7.
Teman-teman Program Studi Pidana Islam Angkatan 2010 terima kasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam hidup, terutama Sena Rachmadana, W. Agung, Ahmad Sahuri, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Terima kasih sebanyak-banyaknya yang selalu bersedia menemani penulis baik berdiskusi maupun berpetualang.
iii
Tiada cita-cita yang dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan kehendak Allah SWT sehingga dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Pada akhirnya semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Jakarta,
30 Desember 2014 8 Rabi’ al-Awwal 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... v BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ................................................................................. 1 A.
Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ......................................................................... 7
C.
Tujuan Penelitian .......................................................................... 8
D.
Tinjauan Pustaka ........................................................................... 8
E.
Metode Penelitian........................................................................ 11
F.
Sistematika Penulisan ................................................................. 13
TINJAUAN UMUM TENTANG SANKSI PIDANA ...................... 16 A.
Tindak Pidana Menurut Hukum Positif ...................................... 16 1. Pengertian Tindak Pidana ....................................................... 16 2. Unsur-unsur Tindak Pidana .................................................... 18 3. Pengertian Sanksi Pidana ....................................................... 20 4. Macam-macam Sanksi Pidana................................................ 21
A.
Tindak Pidana Menurut Hukum Islam ........................................ 26 1. Pengertian Jarimah................................................................. 26 2. Unsur Jarimah dan Pembagiannya......................................... 27 3. Pengertian Uqubah ................................................................. 34 4. Macam-macam Uqubah ......................................................... 35 5. Sanksi Ta’zir........................................................................... 38
v
BAB III SANKSI PIDANA DALAM PERDA SURABAYA NO 2 TAHUN 2004 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR .......... 44 A.
Pencemaran Air ........................................................................... 44
B.
Sekilas Perda Kota Surabaya ...................................................... 48
C.
Sanksi Pidana Pencemaran Air ................................................... 51
BAB IV ANALISIS SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR DALAM PERDA KOTA SURABAYA NO.2 TAHUN 2004 .......................... 57 A.
Analisis Hukum Positif Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air Dalam Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004 ......................... 57
B.
Analisis Hukum Islam Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air Dalam Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004 ......................... 64
BAB V
PENUTUP ........................................................................................... 75 A.
Kesimpulan ................................................................................. 75
B.
Saran ............................................................................................ 77
C.
Penutup........................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 79
vi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Air merupakan sumber kebutuhan hidup kita. Selain kita meminumnya
untuk mempertahankan hidup, air juga bermanfaat bagi pertanian dalam hal pengairan persawahan, dan juga bagi peternakan. Akan tetapi, apa yang terjadi jika air yang kita konsumsi itu ternyata kotor dan tercemar? Secara otomatis air tersebut tidak dapat digunakan bukan! Oleh sebab itu kita wajib melindungi dan mencegah air agar tidak tercemar. Karena pencemaran air dapat menyebabkan kerusakan dan timbul penyakit bagi makhluk hidup lainnya termasuk manusia. Jutaan tahun yang lalu manusia hidup tanpa perlu khawatir akan terjadinya gangguan atau bahaya oleh pencemaran udara, pencemaran air, atau pencemaran lingkungan yang dipermasalahkan sekarang, karena manusia percaya dan yakin bahwa alam akan secara otomatis menanggulanginya secara alamiah (life sustaining system).1 Sejak dahulu pemberantasan pencemaran air ternyata tidak mudah. Hal ini karena kenyataannya kecenderungan mencemarkan air merupakan hal yang disukai dan dianggap efektif. Selain biaya yang dikeluarkan sangat murah bahkan tanpa biaya sama sekali, serta lemahnya aturan yang di buat. Ini menjadi persoalan utama bagi pembuat aturan yang memiliki tanggung jawab sangat besar
1
. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Bandung: Alumni, 2001), h. 6.
1
2
dalam melindungi, mencegah dan mengendalikan perairannya dari pencemaran air. Untuk itu pengaturan hukum lingkungan yang ada harus bersifat terpadu dan komprehensif dan peran dari penegakan hukum sangatlah penting dalam mengatasi pelaku pencemaran air untuk menimbulkan efek jera (ultimum remedium) dan efek pencegahan. Menurut PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Pencemaran air adalah bercampurnya mahkluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau proses alam. Sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat digunakan sesuai dengan fungsinya.2 Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai macam cara, salah satunya seperti limbah industri yang berbentuk zat cair yang dibuang ke saluran air umum baik itu disengaja maupun tidak disengaja.3 Akibat hasil dari aktifitas rumah tangga maupun limbah industri menyebabkan terganggunya ekosistem sungai. Ikan banyak yang mati, air berubah warna, menimbulkan bau, dan menimbulkan problem kesehatan manusia lainnya, bahkan kematian.4 Sungai pada umumnya di Indonesia, khususnya di kota besar seperti Surabaya adalah penyedia bahan baku air minum yang diselenggarakan oleh Perusahaan Air Minum Daerah. Sehingga bila sungai tercemar, maka akan 2
.Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153. 3 . Dhoni Yusra, Kebijakan Penentuan Kualitas Air Serta Sanksi Bagi Pelaku Pencemaran Dan Tanggung Jawab Negara Mengantisipasi Pencemaran Air, (Jakarta: Universitas Esa Unggul, t.t.), h. 1. 4 . Sukadi, Pencemaran Sungai Akibat Buangan Limbah dan Pengaruhnya Terhadap BOD dan DO, (Bandung: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan bandung, 1999), h. 7.
3
berdampak langsung pada kehidupan manusia. Oleh karena itu harus di lakukan upaya-upaya pembatasan pembuangan limbah, cara membersihkan perairan dari limbah, sanksi yang diberikan bagi poluter, memastikan tindakan itu tidak diulangi serta membayar biaya pembersihan, dan juga memberikan kompensansi bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat pencemaran tersebut.5 Menurut Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, untuk mengendalikan pencemaran air, pemerintah harus menetapkan baku mutu air limbah
nasional
yang
ditetapkan
dengan
keputusan
menteri
dengan
memperhatikan saran masukan dari instansi terkait. Sementara itu baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan yang sama atau boleh lebih ketat dari baku mutu air limbah nasional. Semenjak UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah diubah menjadi UU No. 32 tahun 2004, maka pengaturan tentang lingkungan hidup telah mengalami perubahan. Otonomi daerah khususnya dibidang lingkungan hidup telah di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Diantaranya terdapat pada pasal 2 ayat 3 (butir 18) yang menyangkut bidang lingkungan hidup yaitu : 1.
Penetapan pedoman sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan.
2.
Penetapan baku mutu lingkungan dan penerapan pedoman tentang pencemaranlingkungan.
5
. Dhoni Yusra, Kebijakan Penentuan Kualitas Air Serta Sanksi Bagi Pelaku Pencemaran Dan Tanggung Jawab Negara Mengantisipasi Pencemaran Air, h. 2.
4
3.
Pedoman tentang konservasi sumber daya alam.6
Pencemaran air merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup yang di alami Kota Surabaya sebagai dampak dari berbagai aktivitas kota metropolitan yang semakin meningkat. Oleh karena itu di keluarkanlah Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004 tentang Pengendalian Pencemaran Air yang dirancang untuk untuk menjamin kualitas air, mencegah terjadinya pencemaran air, mengawasi serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku tindak pidana pencemaran air di Kota Surabaya.7 Dalam Perda Kota Surabaya No 2 tahun 2004 pasal 32 menjelaskan, barang siapa yang melakukan tindak pidana pencemaran air maka akan diancam dengan sanksi pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan kemudian dalam pasal 33 menjelaskan, barang siapa yang melakukan tindak pidana pencemaran air atau mengakibatkan orang lain mati atau luka, maka dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.8 Seperti dalam ketentuan pidana di atas berarti mengikat, meliputi semua orang dan badan hukum yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan pencemaran air, mengganggu upaya pencegahan dan pengurangan resiko dampak pencemaran air atau karena kelalaiannya dikenakan suatu ancaman pidana yang telah ditentukan. Sebagaimana negara menjamin hak atas air demi terciptanya air bersih untuk semua masyarakat, serta adanya ancaman hukuman 6
. Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia sebuah pengantar, cet pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 175. 7 . http//lh.surabaya.go.id/welbh/pencemaran 8 . Peraturan Daerah Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 Tentang Pengendalian Pencemaran Air, Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2004 Nomor 1 / E.
5
dan pertanggung jawaban terhadap pelaku tindak pidana pencemaran air sebagai bentuk penegakan hukum terhadap lingkungan. Sanksi pidana diberikan kepada pelaku tindak pidana agar mencegah timbulnya tindak pidana pencemaran air juga memberikan efek jera kepada pelaku untuk berbuat hal yang serupa. Sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup muncul, Islam telah lebih dahulu mengatur tentang lingkungan hidup lewat ayat-ayat Al-Qur'an. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Oleh sebab itu kita sebagai manusia yang menempati kedudukan strategis sebagai khalifah di bumi ini, diberi tugas oleh Allah untuk menjaga seluruh ciptaanNya, salah satunya adalah air, sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30. Pada hakekatnya, air adalah kekayaan yang mahal dan berharga. Allah SWT menyediakannya di laut, sungai, bahkan hujan secara gratis, akan tetapi manusia seringkali tidak menghargai air sebagaimana mestinya. Jika makhluk hidup terutama manusia tidak bisa hidup tanpa air, sementara kuantitas air terbatas, maka manusia wajib menyadari untuk menjaga dan melestarikan kekayaan yang amat berharga ini. Jangan sekali-kali melakukan tindakan-tindakan yang bisa merusak air itu sendiri, yaitu dengan cara mengotori atau mencemari sumber air. Rasululullah SAW bersabda :
ِل فِيه ُس ِ َنَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَا ِء الدَّائِ ِم الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْت ّ َلَا يَبُول
6
Artinya :"Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir, kemudian mandi disana".9 )HR. Bukhari) Islam sangat mengatur tentang prinsip ketaatan pada setiap aturan pemerintah, terutama jika aturan tersebut untuk kemaslahatan umum, semua masyarakat wajib mentaati tanpa terkecuali. Pemerintah menerapkan aturan tentang pengendalian pencemaran air tentu demi kepentingan masyarakat (maslahat al-’ammah), karena selain demi mengantisipasi kesehatan masyarakat, hal itu secara umum merupakan kepedulian pemerintah akan lingkungan hidup.10 Pencemaran air dikategorikan sebagai jarimah ta’zir, karena pencemaran air termasuk jarimah yang bentuk atau macamnya, serta hukumnya diserahkan kepada manusia (Ulil Amri), syara’ hanya memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum saja, dan pencemaran air merupakan jarimah yang dapat berubahubah menurut keadaan dan waktu.11 Walaupun tidak terdapat sanksi dalam bentuk nash qoth’i mengenai hukumannya, bukan berarti tidak adanya sanksi bagi pelaku pencemaran air. Adapun pelaku yang melakukan pencemaran air dapat dihukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, adapun sanksinya dapat berupa
9
. Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari (Syarah Shahih Bukhari), Penerjemah Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 346. 10 . Ahsin Sakho Muhammad, dkk., Fiqh Lingkungan, (Jakarta: Conservation International Indonesia, 2006), h. 44. 11 . Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 253.
7
sanksi pidana maupun sanksi administrasi yang sesuai dengan tingkat kejahatannya.12 Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis akan menganalisis mengenai permasalahan dari tindak pidana pencemaran air ini, sehingga timbul sanksi pidana dalam suatu pelanggaran atau kejahatan menurut hukum positif maupun hukum Islam ke dalam skripsi penulis yang berjudul : “TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP SANKSI
PIDANA
PENCEMARAN
AIR
(STUDI
PERDA
KOTA
SURABAYA NO. 2 TAHUN 2004)” B.
Rumusan Masalah Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan di dalam latar belakang
masalah, penulis menjelaskan alasan-alasan mengapa tindak pidana pencemaran air ini perlu mengkaji lebih mendalam, dan penulis merumuskannya sebagai berikut: 1.
Bagaimana pandangan hukum positif terhadap sanksi pidana dalam PERDA Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air?
2.
Bagaimana pandangan hukum pidana islam terhadap sanksi pidana dalam PERDA Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air?
C.
Tujuan Penelitian
12
.Akhmad Kholishudin, “Pencemaran Lingkungan Sebagai Tindak Pidana Dalam Keputusan Muktamar NU Ke-29 (Nomor : 02/MNU-29/1994”) ,( Skripsi S1Fakultas Syari’ah, IAIN Walisongo, 2012), h.102.
8
Tujuan penelitian ini di maksudkan : 1.
Untuk mengkaji pandangan hukum positif terhadap sanksi pidana dalam peraturan daerah ( PERDA ) Kota Surabaya no 2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air.
2.
Untuk mengkaji pandangan hukum Islam terhadap tindak pidana pencemaran air dalam PERDA Kota Surabaya no 2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air.
D.
Tinjauan Pustaka Telah banyak kajian-kajian tentang tinjauan hukum Islam terhadap
Peraturan Daerah, baik dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi. Namun kajian yang secara khusus dan menyeluruh untuk mengkaji tentang “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air Dalam Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004 Tentang Pengendalian Pencemaran Air” dalam pengetahuan penulis belumlah ada.. Adapun hasil penelitian terdahulu yang menunjang penelitian ini adalah : Skripsi yang berjudul “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pencemaran Dan Perusakan Lingkungan Hidup Menurut Hukum Islam Dan UU No 32 Tahun 2009” yang ditulis oleh Ahmad Faqih Syarafaddin Mahasiswa Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011, menjelaskan tentang tindak pidana perusakan lingkungan menurut hukum Islam dan menurut undang-undang dan juga sanksi yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
9
Skripsi yang berjudul “Pencemaran Lingkungan Sebagai Tindak Pidana Dalam Keputusan Muktamar NU Ke-29 (Nomor : 02/MNU-29/1994)” yang di tulis oleh Akhmad Kholishudin Mahasiswa Syari’ah IAIN Walisongo 2012, dalam skripsi tersebut ia bermaksud untuk mengetahui keputusan Muktamar NU ke 29 tentang pencemaran lingkungan dan sejauh manakah Istinbath hukum yang digunakan NU dalam keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama tentang Pencemaran lingkungan, bahwasanya pertama pencemaran lingkungan dianggap sebagai perbuatan jarimah karena pencemaran lingkungan memenuhi ketiga unsur-unsur umum jarimah apabila perbuatan akan dikelompokkan kedalam jarimah. Kedua, pencemaran lingkungan sebagai jarimah ta’zir karena pencemaran lingkungan termasuk
jarimah yang bentuk
atau macamnya, dan hukumnya diserahkan
kepada manusia, syara’ hanya memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum saja, dan pencemaran lingkungan merupakan jarimah yang dapat berubahubah menurut keadaan dan waktu. Walaupun tidak terdapat sanksi dalam bentuk nash qoth’i mengenai hukumannya, bukan berarti tidak adanya sanksi bagi pelaku pencemaran lingkungan. Adapun pelaku yang melakukan pencemaran lingkungan dapat dihukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, adapun sanksinya berupa pidana penjara ataupun denda sesuai dengan tingkat kejahatannya Di samping itu ada juga skripsi yang membahas mengenai “Tinjauan Fiqih Lingkungan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Sumber Daya Air” (Studi Analisis Pasal 94 ayat 1 no 7 tahun 2004 tentang SDA ) oleh Imrotun Mahasiswa Syari’ah IAIN Walisongo 2006, ini dengan pertimbangan kepentingan umum yang berorientasikan kemaslahatan dan menolak adanya kerusakan bagi masyarakat,
10
bangsa dan negara dari jeratan hukum dari kerusakan lingkungan khususnya air yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, maka dalam kesimpulan skripsinya dalam perspektif fiqh lingkungan status hukum pelestarian lingkungan hukumnya wajib
dan pencemaran lingkungan merupakan tindak pidana, dan
kewenangan Pemerintah (Ulil Amri) untuk sanksi pidana, ketentuan pidana UU No 7 tahun 2004 sesuai dengan Maqasidus syari’ah karena dapat mengancam jiwa, akal, dan daya survive manusia dan makhluk yang lain. Dalam skripsi ini fokus kajian yang akan diteliti yaitu, meneliti secara umum aspek-aspek pidana dalam PERDA Kota Surabaya No 2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air, yakni mengenai bentuk pidana berdasarkan hukum Islam maupun hukum positif sesuai dengan ketentuan dalam PERDA Kota Surabaya No 2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air. Semoga penelitian ini dapat dijadikan pengalaman atau tambahan referensi berfikir dan berwacana dalam kasus-kasus yang sama, tentunya dalam hal yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, terkhusus dalam bidang sumber daya air dan konservasi air demi kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia dan ekosistemnya. Pemusatan perhatian ini dilakukan karena melihat kerusakan dan pencemaran air khususnya di daerah Surabaya yang semakin parah.
11
E.
Metode Penelitian Metodologi penelitian adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh dalam
mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian, untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan.13 Untuk mendapatkan data dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode
penelitian
kualitatif
yang
bersifat
deskriptif
analistis
yaitu
menggambarkan dan memaparkan secara sistematis tentang apa yang menjadi objek penelitian dan kemudian dilakukan analisis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan pendekatan analistis 1.
Teknik pengumpulan data Penelitian ini menggunakan studi pustaka (library research) yang objek utamanya berupa buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, majalah, surat kabar, hasil seminar dan sumber lainnya yang berkaitan secara langsung dengan obyek yang diteliti. a.
Sumber Data Primer Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat
segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Sumbersumber data tersebut berupa Perundang-undangan yang membahas mengenai, Al-Quran dan As-Sunnah dan juga buku-buku yang membahas tentang Tindak Pidana Pencemaran Air. 13
. Joko Subagyo, Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 2. (12)
12
b.
Sumber Data Sekunder Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan-
bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain informasi yang relevan, artikel, buletin, atau karya ilmiah para sarjana. 2.
Teknik Analisis Data Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan penulis menggunakan teknik kualitatif. Yang dimaksud dengan teknik kualitatif yaitu metode yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu gejala suatu masyarakat tertentu. Yakni dengan mengumpulkan dan menganalisa datadata yang diperoleh dan faktor-faktor yang merupakan pendukung dan relevan terhadap objek yang diteliti sehingga dapat ditarik kesimpulan dari hal yang dijadikan objek penelitian. Data yang diklarifikasikan maupun dianalisa untuk mempermudah dan menghadapkan pada pemecahan masalah. Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis isi secara kualitatif. Dalam analisis ini, semua data yang dianalisis adalah berupa teks. Analisis isi kualitatif digunakan untuk menemukan, mengidentifikasi, dan menganalisa teks atas dokumen untuk memahami, signifikasi dan relevansi teks atau dokumen.
13
F.
Sistematika Penulisan Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi saya ini,
penulis menyusun dengan menggunakan sistematika penulisan yang disesuaikan dengan buku pedoman penulisan skripsi tahun 2012. Skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan penjelasan yang terinci, agar memudahkan pembaca. Berdasarkan pada materi skripsi yang penulis bahas, sistematika penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan yang meliputi, latar belakang penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, lokasi penelitian serta diakhiri dengan penjelasan mengenai sistematika penelitian dan dalam bab pertama ini menggambarkan isi penelitian dan latar belakang yang menjadi pedoman dalam bab-bab selanjutnya. Bab II : Tentang pemaparan mengenai teori-teori tindak pidana yang meliputi tindak pidana menurut hukum positif dan menurut hukum Islam, dan lebih mengedepankan masalah ta’zir. Bab III : Sanksi pidana dalam PERDA Kota Surabaya No 2 tahun 2004 tentang pencemaran air yang meliputi ; Pencemaran air di Kota Surabaya, latar belakang penyusunan PERDA Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 Tentang Pencemaran Air, kemudian sumber hukum PERDA Kota Surabaya No 2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air, dan ketentuan sanksi pidana dalam PERDA Kota Surabaya No 2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air
14
Bab IV: Analisis sanksi pidana positif dan hukum Islam terhadap sanksi pidana dalam PERDA Kota Surabaya No.2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan-kesimpulan penelitian dari awal sampai akhir, juga terdiri dari saran-saran penulis tentang persoalan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
A.
Tindak Pidana Menurut Hukum Positif 1.
Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana dalam bahasa Latin, yakni delictum. Dalam
bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam bahasa Belanda disebut strafbaar feit atau delict.14 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut. “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”15 Mengenai “delik” dalam arti starfbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing member definisi sebagai berikut : 1.
Vos
: Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum
berdasarkan undang-undang. 2.
Van Hamel
: Delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap
hak-hak orang lain. 3.
Prof. Simons
: Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang
14
. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 7. 15 . Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, 2001).
15
16
yang tindakannya tersebut dapat dipertanggung jawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagi suatu perbuatan yang dapat dihukum.16 Di dalam buku-buku maupun di dalam peraturan-peraturan tertulis, ada beberapa istilah lain yang dipakai dari bahasa Indonesia sebagai terjemahannya, seperti : 1) Peristiwa pidana; 2) Perbuatan pidana; 3) Pelanggaran pidana; 4) Perbuatan yang dapat dihukum; dan 5) Perbuatan yang boleh dihukum Jadi, terjemahan strafbaar feit atau delict di dalam bahasa Indonesia terdapat enam istilah, termasuk istilah tindak pidana.17 Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit atau delict dapat kita pahami sebagai suatu tindak pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, atau perbuatan pidana yang dapat dipidana atau dikenakan hukuman. 2.
Unsur-unsur tindak pidana Supaya maksud dari unsur-unsur tindak pidana dapat dipahami, maka
akan diberikan ilustrasi sebagai berikut. Kata “pencemaran” terdiri atas huruf: p, e, n, c, e, m, a, r, a, dan n. Jika salah satu huruf di buang maka kata tersebut tidak akan sempurna, bahkan bisa jadi kata”encemaran” atau 16
. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, h. 8. . M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet 2, (Bandung: Remadja Karya, 1986), h. 1. 17
17
“pencemar” dan sebagainya; yang jelas jika salah satu huruf tidak ada, arti dan maksudnya pun akan berbeda. Artinya, kata “pencemaran” terdiri dari 10 (sepuluh) huruf. Tiap huruf merupakan unsur dari kata ”pencemaran”. Demikian halnya jika diformulasikan kepada “hakikat tindak pidana”, jika salah satu unsur tindak pidana tidak terpenuhi, maka tidak dapat disebut sebagai tindak pidana.18 Terdapat 11 unsur tindak pidana yang tercantum di dalam KUHP, yaitu : 1)
Unsur tingkah laku;
2)
Unsur melawan hukum;
3)
Unsur kesalahan;
4)
Unsur akibat konstitutif;
5)
Unsur keadaan yang menyertai;
6)
Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana;
7)
Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
8)
Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana;
9)
Unsur objek hukum tindak pidana;
10)
Unsur kualitas objek hukum tindak pidana;
11)
Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.19 Menurut pandangan Moeljatno dan Roeslan Saleh yang dikutip dalam
buku Dasar-dasar Hukum Pidana karangan Mahrus Ali, ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang dan 18
. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, h. 8. .Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cet 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 82. 19
18
diancam dengan pidana bagi siapa saja yang melakukannya, maka unsurunsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal. Pertama, perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik yang bersifat formil maupun materiil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum.20 Dalam praktiknya, untuk memidanakan seseorang yang di dakwakan telah melakukan suatu tindak pidana, maka unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut harus terpenuhi. Akan tetapi, apabila yang didakwakan adalah tindak pidana yang dalam rumusannya terdapat unsurunsur kesalahan dan atau melawan hukum, maka unsur tersebut juga terdapat dalam diri si pelaku, dan harus dibuktikan kebenarannya. 3.
Pengertian Sanksi Pidana Kata sanksi berasal dari Bahasa Belanda yaitu “Sanc‟tie” yang artinya
alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat pada perjanjian.21 Dalam kamus Bahasa Indonesia, sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk memaksa seseorang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. Sedangkan kata pidana berasal dari berasal dari
20
. Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Cet 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 100. . S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda- Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 560 21
19
bahasa sanksekerta dalam bahasa Belanda disebut “straf” dan dalam bahasa Inggris disebut “penalty” artinya hukuman.26 Dari beberapa definisi yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana adalah tindakan atau hukuman yang dijatukan karena adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai akibat hukum untuk menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat di dalam masyarakat. Sanksi pidana dari segi tujuan penerapannya dapat dibenarkan dengan alasan yang dikemukakan sebagai berikut: a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau tindakan yang tidak dikehendaki atau tindakan yang salah; b. Untuk memberikan balasan yang setimpal dan layak sesuai tindakan pelaku tindak pidana Karena itu, hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang pelaku sebagai akibat tindak pidana yang dilakukannya membuat sadar dari kesalahan dan tidak mengulang tindakan yang bertentangan dengan hukum.22 4.
Macam-Macam Sanksi Pidana Menurut hukum positif, ketentuan pidana tercantun dalam pasal 10
kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), di mana dibedakan pidana pokok dan pidana tambahan. Yaitu: 1) Hukuman Pokok 22
. Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2007), cet. Ke- 5, h. 361
20
Yaitu hukuman yang dijatuhkan bersama-sama pidana tambahan, dan dapat juga dijatuhkan sendiri. Macam-macam hukuman pokok adalah: a. Hukuman Mati Hukuman mati masih tetap dipertahankan di Indonesia, walaupun sejak tahun 1870 hukuman mati telah dihapuskan dari KUHP Nederland. Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati, akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Karena inilah pada zaman dahulu hukuman mati diberlakukan.23
b.
Hukuman Penjara Hukuman penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan
kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara saja, tetapi juga berupa pengasingan. Jadi, dapat dikatakan bahwa pidana penjara merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan.24 c.
23
Hukuman Kurungan
. Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009), cet. Ke-3, h. 175 24 . Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya paramita, 1993), h. 37
21
Jenis hukuman kurungan sifatnya mirip dengan hukuman penjara, yakni sama-sama
menghilangkan
kemedekaan
seseorang,
namun
dengan
perbedaan yang di antaranya sebagai berikut:25 Pertama, hukuman penjara diancamkan terhadap kejahatan berat, sedangkan hukuman kurungan diancamkan sebagai hukuman alternatif. Kedua, hukuman penjara dapat dijalankan dalam penjara di mana saja, sedangkan hukuman kurungan dengan semuanya terpidana tidak dapat dijalankan di luar daerah, di mana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu pidana itu dijatuhkan. Ketiga, orang yang dihukum dengan pidana penjara pekerjaannya lebih berat daripada orang yang dihukum dengan pidana kurungan; tempo bekerja tiap-tiap hari bagi pidana penjara selama 9 jam dan kurungan hanya 8 jam. Keempat, orang yang dihukum pidana kurungan mempunyai hak “pistole”, yaitu hak untuk memperbaiki keadaannya dalam rumah penjara atau ongkos sendiri, sedang yang dihukum penjara tidak. d.
Hukuman Denda Hukuman denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada
penjara. Hukuman denda adalah hukuman yang tertuju kepada harta seseorang. 2) Hukuman Tambahan
25
. Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), cet. Ke-1, h. 35
22
Melihat namanya, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Pidana tambahan disebut dalam Pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari: a. Pencabutan Hak-Hak tertentu Yang dapat dicabut itu hanya hak-hak tetentu saja, artinya orang tidak mungkin akan dijatuhi pencabutan semua haknya, karena dengan demikian itu ia tidak akan dapat hidup. Pasal 35 KUHP menentukan hak si bersalah yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam undang-undang adalah: a) Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan yang tertentu. Yang dimaksud dari jabatan adalah tugas pada negara atau bagian dari negara; b) Hak untuk masuk kekuasaan angkatan bersenjata. Yang masuk kekuasaan angkatan bersenjata adalah tentara dan pewajib tentara baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, Udara, Maupun Kepolisian Negara; c) Hak dipilih dan memilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum atau berdasarkan undangundang; d) Hak menjadi penasehat, wali, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anakya; e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
23
f) Hak untuk melakukan pekerjaan yang tertentu, artinya segala pekerjaan yang bukan pegawai negeri, jadi pekerjaan partikulir, seperti dagang, sopir, dan lain-lain.26 Adapun jangka waktu pencabutan hak tersebut di atas terikat oleh jangka waktu tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 KUHP, yaitu: a) Dalam hal orang dihukum mati atau penjara semur hidup, maka jangka waktu pencabutan hak-hak tersebut adalah selama hidupnya; b) Sekurang-kurangnya dua tahun atau setinggi-tingginya lima tahun lebih. Jika hukuman yang dijatuhkan itu adalah hukuman penjara atau hukuman kurungan; c) Dalam hal denda, selama sedikit-dikitnya dua tahun dan selamalamanya lima tahun.33 b. Perampasan barang-barang tertentu Pidana ini dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan. Adapun barang-barang yang dapat dirampas adalah: a) Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau sebagian besar diperoleh dari tindak pidana; b) Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana;
26
. Ibid., h. 38
24
c) Barang
yang
dipergunakan
untuk
mewujudkan
atau
untuk
menghalang-halangi
mempersiapkan tindak pidana; d) Barang
yang
dipergunakan
penyidikan tindak pidana; atau e) Barang yang dibuat atau diperuntukkan bagi terwujudnya tindak pidana.27 c. Pengumuman putusan hakim Pada hakikatnya semua putusan hakim itu senantiasa telah diucapkan di muka umum, akan tetapi bila dianggap perlu, di samping itu sebagai pidana tambahan, putusan tersebut akan disiarkan sejelasjelasnya melalui cara yang akan ditentukan oleh hakim. Seperti melalui siaran televisi, radio, surat kabar dan sebagainya. Pengumuman ini dilakukan penuntut umum, dan biaya pengumuman menjadi tanggungan terhukum. B.
Tindak Pidana Menurut Hukum Islam 1.
Pengertian Jarimah Kata Jarimah berasal dari bahasa Arab yang jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia berarti kejahatan, berbuat dosa, berbuat salah, atau perbuatan yang diancam hukuman (delik).28 Menurut istilah yang di ungkapkan oleh Imam Al-Mawardi sebagai berikut :
ٍحظُ ْىرَاتٌ شَ ْرعِّيَ ٌة زَجَرَ اهللُ تَعَالَى عَ ْنهَا بِحَّدٍ اَ ْو تَ ْعسِ ْير ْ َالجَرَائِمُ م 27
. Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. Ke-2,
h.22 28
. Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir; Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 187.
25
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟, yang diancam dengan hukuman had atau ta‟zir.29 Pada kata Mahzhuuraat terdapat definisi yaitu, perbuatan yang dilarang baik berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang maupun meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Pada kata Syar‟iyah terdapat makna bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara’ dan diancam dengan hukuman. Dan kemudian pada kata Had terdapat dua arti, arti umum dan arti khusus. Pada arti umum Had meliputi semua hukuman yang telah ditentukan oleh syara’, baik yang berkenaan dengan hak Allah maupun hak individu. Dalam arti khususnya, Had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah, seperti hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.30 Dari pengertian jarimah menurut syara’ tersebut, hampir sesuai dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif. Istilah jarimah dalam hukum positif diartikan sering diartikan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, atau delik. Dalam hukum pidana positif, suatu perbuatan akan dianggap sebagai tindak pidana, apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang dan terdapat ancaman hukuman di dalamnya. Apabila perbuatan tersebut tidak bertentangan
29
. Al- Mawardi, Al-Ahkam As Sulthaniyah, Cet III, (Mesir, Maktabah Musthafa Al Baby Al Halaby, 1973), h. 219. 30 . Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet I, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), h. 10.
26
dengan hukum dan tidak terdapat ancaman hukuman di dalamnya, maka perbuatan tersebut tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana.31 2.
Unsur Jarimah dan Pembagiannya Seseorang dapat dikatakan terpidana apabila terpenuhinya semua
unsur-unsur tindak pidananya. Dalam hukum pidana Islam terdapat unsurunsur jarimah secara umum yang harus terpenuhi ketika menetapkan suatu perbuatan jarimah, diantaranya ialah: a. Unsur Formal, yaitu adanya nash yang melarang perbuatan dan diancam hukuman terhadapnya. b. Unsur Material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik perbuatan-perbuatan nyata maupun sikap tidak berbuat. c. Unsur Moral, yaitu mukallaf atau orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya.32 Semua unsur-unsur tersebut harus terpehuhi ketika menentukan suatu perbuatan untuk digolongkan kepada jarimah. Disamping unsur-unsur umum tersebut, jarimah juga mempunyai unsur-unsur yang dipenuhi yaitu unsur khusus jarimah. Misalnya suatu perbuatan dikatakan pencurian jika barang yang dicuri minimal bernilai ¼ (seperempat) dinar, dilakukan dengan diam-diam dan benda tersebut disimpan dalam tempat yang pantas. Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, seperti barang tidak berada dalam tempat yang tidak pantas, nilainya kurang dari ¼ (seperempat) dinar atau dilakukan secara terang-terangan. Meskipun memenuhi unsur-unsur 31
. Ibid, h. 10. . Ibid, h. 28.
32
27
umum,tetapi tidak bisa dikategorikan pencurian yang dikenakan hukuman potong tangan seperti dalam ketentuan nash Al Qur’an. Pelakunya hanya terkena hukuman ta‟zir yang ditetapkan oleh penguasa. Ditinjau dari segi berat dan ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi menjadi tiga bagian antara lain : a.
Jarimah hudud
b.
Jarimah qishash diyat
c.
Jarimah ta‟zir
a) Jarimah hudud Kata hudud berasal dari bahasa Arab yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti hukuman, larangan-larangan, peraturan-peraturan.33 Adapun secara terminologi ialah hukuman yang batasannya telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (menyangkut hak masyarakat). Dalam pengertian hak Allah di sini adalah hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara.34 Al-Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hudud yaitu, sanksi-sanksi yang dapat mencegah pelaku dari tindakan mengulang pelanggaran. Adapun arti kata had mengacu kepada arti pelanggaran.35 Sebagaimana firman Allah Surat Al-Baqarah 2 : 187 yang berbunyi : …….
33
. Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir; Arab-Indonesia, h. 243. . Ibid, h. 18. 35 . Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid II, Cet 4, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983), h. 302. 34
28
“Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.....”
Namun demikian, jika kita amati dari semua definisi hudud di atas, pada intinya sama, yaitu sanksi, ancaman atau hukuman yang telah di tentukan secara jelas di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Jika ditinjau dari segi materi jarimah, tindakan jarimah yang wajib dihukum had terbagi menjadi tujuh, yaitu hudud atas jarimah zina, qadzaf, meminum minuman keras, pemberontakan, murtad, pencurian, dan perampokan.36 Dengan demikian ciri khas dari jarimah hudud ialah. Pertama, hukumannya sudah ditentukan dan terbatas, artinya hukumannya telah ditentukan oleh nash dan tidak ada batas minimal dan maksimal. Kedua, hukuman tersebut merupakan hak Allah semata, atau jika ada hak manusia di samping hak Allah maka hak Allah-lah yang harus didahulukan.37 b)
Jarimah qishash diyat Menurut Bahasa, qisas adalah bentuk masdar yang berarti memotong.
Adapun menurut istilah qisas adalah, memberikan sanksi kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut kepada korban. Dengan demikian nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan karena ia pernah menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiyaan boleh dianiaya karena ia pernah menganiaya korban.38
36
. M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 17. . Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 17. 38 . M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 4-5. 37
29
Jarimah qishash dan diyat adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman qishash atau diyat. Qishash dan diyat merupakan hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Adapun perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diyat adalah hak manusia (individu). Dengan demikian, maka ciri khas dari jarimah qishash dan diyat ini adalah. Pertama, hukumannya sudah ditentukan dan terbatas, artinya sudah ditentukan oleh nash dan tidak di tentukan batasan minimal atau maksimal. Kedua, hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), artinya korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.39 Dalam fiqh jinayah, terdapat dua macam qishash, yaitu : a.
Qishash terhadap jarimah pembunuhan.
b.
Qishash terhadap jarimah penganiayaan.
Sanksi qishash berlaku ketika kejahatan dilakukan secara sengaja dan keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Apabila keluarga korban memaafkan, maka akan beralih menjadi hukuman diyat. Diyat (ganti tugi) merupakan hukuman pengganti yang dikenakan kepada pelaku jika tidak terpenuhinya syarat daripada hukuman qishash dan diberikan kepada keluarga korban. Dengan demikian tidak semua pelaku tindak pidana pembunuhan pasti diancam dengan qishash. Al-Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah berpendapat bahwa diyat adalah sejumlah harta yang di bebankan kepada pelaku, karena terjadinya
39
. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 18.
30
tindak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan diberikan kepada korban atau ahli warisnya.40 Dengan demikian jelaslah bahwa hukuman diyat merupakan suatu hukuman yang bersifat harta yang yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana (pembunuhan dan penganiayaan) yang diserahkan kepada korban atau ahli waris korban. Sebagaimana dijelaskan di dalam surat An-Nisa ayat 92 sebagai berikut :
Artinya : “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si 40
. Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2000), h. 209.
31
pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An-Nisa 4 : 92) c)
Jarimah Ta’zir Kata ta‟zir adalah bentuk mashdar dari kata “azzara-ya‟zziru” yang
mempunyai makna menolak dan mencegah.41 Kata ini juga memiliki arti “nasharahu” yang berarti menolong atau menguatkan. Seperti dalam firman Allah SWT berikut :
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Fath 48 : 9) Secara terminologi, Jarimah ta‟zir adalah sanksi atau hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik yang berkenaan dengan hak Allah maupun hak manusia dan tidak termasuk ke dalam kategori hukuman hudud ataupun kafarat. Karena jarimah ta‟zir tidak ditentukan secara langsung oleh Al-qur’an maupun hadits, maka ini menjadi tanggung jawab ulil amri baik penentuan maupun pelaksanaan hukumannya. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta‟zir, ulil amri harus tetap 41
. Ibrahim Anis, dkk., Al-Mu‟jam Al-Wasit, Cet. 1, (Mesir: Majma’ Al-Lughah AlArabiyah, 1972), h. 598.
32
berpedoman kepada nash secara teliti karena menyangkut kemaslahatan masyarakat.42 Menurut Abdul Qadir Audah dalam kitabnya Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i AlIslami Muqaranah bi Al-Qanun Al-Wad‟i, ta‟zir adalah pengajaran atau pendidikan yang tidak diatur oleh hudud dan merupakan jenis sanksi yang diberikan untuk beberapa tindak pidana yang dalam syariat tidak ditentukan sanksi hukuman tertentu.43 3.
Pengertian Uqubah Sanksi dalam hukum pidana Islam disebut dengan istilah al-Uqubah
yang berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah pembalasan dengan keburukan. Sedangkan Abdul Qadir Audah mendefinisikan sanksi (hukuman) adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas perbuatan melanggar perintah Allah SWT.44 Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa sanksi (hukuman) merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang menyebabkan orang lain menjadi korban atau menderita kerugian atas perbuatannya. Atau penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku tindak pidana sebagai balasan dari apa yang telah diperbuat kepada orang lain atau balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran perintah syara‟.
42
. M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 139-140 . Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami Muqaranah bi Al-Qanun Al-Wad‟i, Cet. 11, jilid II, (Beirut: Mu’assasah Al-Risalah, 1992), h. 685. 44 . Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami Muqaranah bi Al-Qanun Al-Wad‟i, juz I, h. 812. 43
33
4.
Macam-macam Uqubah Tujuan pokok dari penjatuhan hukuman ialah pencegahan (ar-rad‟u
wazzarju), pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzib). Pencegahan ialah, mencegah diri si pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah diri orang lain dari perbuatan yang demikian.45 Dalam hukum Islam, penjatuhan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Hukuman dapat dibagi menjadi beberapa golongan menurut segi tinjauannya: 1) Berdasarkan Pertalian Satu Hukuman dengan Lainnya, maka hukuman dapat dibagi menjadi empat : 46 a. Hukuman pokok (al-uqubah al-Asliyyah), hukuman pokok yaitu hukuman yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti hukuman qisas bagi tindak pidana pembunuhan, hukuman rajam bagi pelaku tindak pidana zina, dan hukuman potong tangan bagi tindak pidana pencurian; b. Hukuman pengganti (al-Uqubah al-Badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i;
45
. Ahmad. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. Ke-6, h. 191 46 . Ahsin Sakho Muhammad, Ensikopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Karisma Ilmu, 2007), jld III, cet. Ke-1, h. 39
34
c. Hukuman tambahan (al-„Uqubah al-Tabaiyyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan sendiri; d. Hukuman pelengkap (al-„Uqubah al-Taklimiyyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dan hakim. 2) Berdasarkan Kekuasaan Hakim dalam Menentukan Bentuk dan Jumlah Hukuman, maka hukuman dapat dibagi dua; a. Hukuman yang hanya memiliki satu batas, artinya tidak memiliki batas tertinggi atau batas terendah. Hukuman ini tidak dapat dikurangi atau ditambah meskipun pada dasarnya bisa ditambah atau dikurangi; b. Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah. Dalam hal ini hakim diberi kekuasaan untuk memilih hukuman sesuai antara kedua batas tersebut. 3) Berdasarkan Kewajiban Menjatuhkan Suatu Hukuman, dalam hal ini ada dua macam hukuman, yaitu: a. Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya, yaitu hukuman yang telah ditetapkan jenisnya dan telah dibatasi oleh syar’i (Allah dan Rasul-Nya); b. Hukuman yang tidak ditentukan bentuk jumlahnya, yaitu hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilihnya dari sekumpulan
35
hukuman yang dianggap sesuai dengan keadaan tindak pidana serta pelaku. 4) Berdasarkan Tempat Dilakukannya Hukuman, hukuman ini dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Hukuman badan (Uqubah Badaniyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas badan si pelaku, seperti hukuman mati, dera, dan penjara; b. Hukuman Jiwa (Uqubah Nafsiyyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas jiwa si pelaku. Contohnya hukuman nasihat, celaan, dan ancaman; c. Hukuan Harta (Uqubah Maliyyah), yaitu hukuman yang ditimpakan pada harta pelaku, seperti hukuman diyat, denda, dan biaya administrasi.47 5) Berdasarkan Macamnya Tindak Pidana yang Diancamkan Hukuman, adapun rincian hukuman tersebut adalah sebagai berikut: a.
Hukuman yang telah ditetapkan terhadap tindak pidana hudud. Hukuman hudud terbagi menjadi tujuh macam, sesuai dengan bilangan tindak pidana hudud, yaitu: a. Zina; b. Qazaf; c. Meminum minuman keras; d. Mencuri;
47
. Ibid., h. 40
36
e. Melakukan hirabah (gangguan keamanan); f. Murtad; g. Memberontak. 5.
Hukuman/Sanksi Ta’zir Dalam jarimah ta‟zir, meski hak penetapannya diberikan kepada ulil
amri (umumnya diwakili oleh qadhi/hakim), akan tetapi hal ini tidak menjadikan dirinya berhak menjatuhkan sanksi sekehendak hatinya. Dalam jarimah ta‟zir terdapat sanksi-sanksi yang telah ditetapkan oleh syara’ dengan sangat jelas untuk tidak digunakan sebagai sanksi ta’zir, oleh sebab itu penguasa atau qadhi tidak boleh menghukum dengan hukuman tersebut.48 Terdapat beberapa pandangan para ulama mengenai hukum sanksi ta‟zir diantaranya, pendapat Malikiyah dan Hanabilah, yang mewajibkan sanksi ta‟zir sebagaimana hudud karena merupakan peringatan yang disyariatkan untuk menegakkan hak Allah dan seorang ulil amri baik itu kepala Negara maupun kepala daerah tidak boleh mengabaikannya. Kemudian mazhab Syafi’i yang berpandangan bahwa ta‟zir tidak wajib di berikan apabila hukum itu tidak menyangkut hak adami. Dan menurut mazhab Hanafiyah, ta‟zir hukumnya wajib jika berkaitan dengan hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak dapat digugurkan, kecuali yang memiliki hak itu.49
48
. M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 76. . Ibid, h. 143.
49
37
Di samping itu, baik Alquran maupun As Sunnah telah menjelaskan sanksi-sanksi tertentu yang ditetapkan ukurannya, maka penguasa atau qadhi harus memutuskan berdasarkan sumber tersebut. Ini menjadi sebab ijtihadnya seorang penguasa atau qadhi dalam masalah ta’zir hanya dibatasi pada ukurannya saja, bukan pada sanksi yang hendak ia tetapkan. Ketika seorang penguasa atau qadhi menentukan sanksi ta‟zir, maka ia wajib terikat dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan ia tidak boleh melewati ketetapan yang telah ditentukan itu.50 Adapun hukuman-hukuman ta’zir adalah sebagai berikut : 1.
Sanksi Hukuman Mati Pada dasarnya hukuman ta‟zir bertujuan memberikan pengajaran
(ta‟dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman ta‟zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqoha’ yang lain dalam jarimah ta‟zir tidak ada hukuman mati. Di luar ta‟zir hukuman mati hanya dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan tertentu seperti zina,
50
. Ibid, h. 76.
38
gangguan keamanan, riddah (murtad, keluar dari Islam), pemberontakan dan pembunuhan sengaja.51 2.
Sanksi Jilid Jilid adalah hukuman dengan memukul terhukum menggunakan
cambuk atau alat lainnya yang sejenis. Jilid merupakan salah satu dari sanksi bagi pelaku tindak pidana hudud. Namun demikian, ta’zir juga mengenal hukuman jilid. Seorang hakim diperbolehkan memberikan sanksi pemukulan dengan cambuk, tongkat, batang dahan, atau alat lain yang sejenis. Menurut pendapat yang terkenal dikalangan ulama’Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta‟zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman cambuk dalam ta‟zir adalah 39 kali, dan menurut AbuYusuf adalah 75 kali.52 Sedangkan dikalangan madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman cambuk pada ta‟zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta‟zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.53
51
. Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 310 . Syaikh Wahbah Zuhaily, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, cet. IV, jilid VII, (Beirut: Dar alFikr, t.th), h. 595 53 . Ibid, h. 596. 52
39
3.
Sanksi Pengasingan Pengasingan adalah membuang seseorang di tempat yang jauh.
Pengasingan sebagai hukuman ta’zir dapat dijatuhkan kepada pezina ghairu muhshan setelah sebelumnya ia dijatuhi had zina. Menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad tidak boleh lebih dari satu tahun, menurut Abu Hanifah masa pengasingan lebih dari satu tahun sebab hukuman disini adalah hukuman ta‟zir. Dalam al-Qur’an Allah berfirman :
Artinya : “atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS : Al-Maidah 5 : 33) 4.
Sanksi Penjara Pemenjaraan secara syar‟i adalah menghalangi atau melarang
seseorang untuk mengatur dirinya sendiri. Pemenjaraan biasa dilakukan di rumah, masjid, penjara, atau tempat-tempat lain. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Bahaz bin Hakim, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata : “Rasulullah SAW telah menahan seseorang karena tuduhan, kemudian beliau melepaskannya.”54 5.
54
Sanksi Ghuramah (Ganti Rugi)
. Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Islam Dalam Sistem Hukum Islam, h. 82.
40
Ganti rugi adalah hukuman bagi pelaku perbuatan yang diancam dengan hukuman ta‟zir, dengan cara membayar harta sebagai sanksi atas perbuatannya. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung di pohonnya, hukumannya didenda dengan dua kali lipat harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.55 Hukuman-hukuman ta‟zir ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu : a.
Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, penjara dan sebagainya.
b.
Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan dan teguran.
c.
Hukuman-harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.56
55
. Ibid, h. 83. . Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 262.
56
BAB III SANKSI PIDANA DALAM PERDA SURABAYA NO 2 TAHUN 2004 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
A.
Pencemaran Air Dampak negatif dari penceraman lingkungan merupakan salah satu resiko
yang akan dirasakan oleh masyarakat, salah satunya adalah air. Air memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga air merupakan komponen lingkungan hidup yang harus dilindungi demi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Untuk itu perlu dilakukan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis untuk mendapat air yang sesuai dengan tingkat kualitas yang diinginkan.57 Pencemaran air adalah bercampurnya mahkluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau proses alam. Sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat digunakan sesuai dengan fungsinya.58 Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa sumber penyebab dari pencemaran air adalah masuknya makhluk hidup, zat, energi dan atau komposisi 57
. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. 58 . Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153.
41
42
lain ke dalam air sehingga menyebabkan air itu tercemar. Dalam istilah seharihari, benda-benda tersebut dapat dikatakan sebagai unsur polutan. Pada prakteknya unsur-unsur ini biasanya berupa pembuangan limbah rumah tangga, limbah industri dan limbah cair ke dalam badan air. Indikator atau tanda air dikatakan tercemar adalah, adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati melalui59 : 1.
Perubahan pH atau Konsentrasi Ion Hidrogen Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal maka akan bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH yang lebih besar maka akan bersifat basa60, Air limbah dan bahan buangan dari kegiatan industri yang dibuang ke sungai akan mengubah pH air yang pada akhirnya dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air.
2.
Perubahan Warna, Bau dan Rasa Air Bahan buangan dan air limbah dari kegiatan industri yang berupa bahan anorganik dan bahan organik seringkali dapat larut di dalam air. Apabila bahan buangan dari air limbah dapat larut dan terdegradasi maka bahan buangan dalam air limbah dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna air. Bau timbul akibat aktifitas mikroba dalam air dan
59
. Peraturan Menteri Kesehatan R.I No : 416/MENKES/PER/IX/1990 . Definisi umum dari basa adalah senyawa kimia yang menyerap ion hydronium ketika dilarutkan dalam air. Basa adalah lawan dari asam, yaitu ditujukan untuk unsur/senyawa kimia yang memiliki pH lebih dari 7. Kostik merupakan istilah yang digunakan untuk basa kuat; Basa dapat dibagi menjadi basa kuat dan basa lemah. Kekuatan basa sangat tergantung pada kemampuan basa tersebut melepaskan ion OH dalam larutan dan konsentrasi larutan basa tersebut. 60
43
merombak
bahan buangan organik terutama gugus protein, secara
biodegradasi menjadi bahan mudah menguap dan berbau. 3.
Perubahan Suhu Air Air Sungai yang suhunya naik akan mengganggu kehidupan hewan air dan organisme lainnya, karena kadar oksigen yang terlarut dalam air akan turun bersamaan dengan kenaikan suhu. Setiap kehidupan memerlukan oksigen untuk bernafas, oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara yang secara lambat terdifusi ke dalam air, semakin tinggi kenaikan suhu air maka makin sedikit oksigen yang terlarut di dalamnya. Pencemaran air dikategorikan menjadi 2 (dua) macam, yaitu sumber
kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber kontaminan langsung yaitu meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA sampah, rumah tangga dan sebagainya. Sumber kontaminan tak langsung adalah kontaminan yang memasuki badan air dari tanah, air tanah atau atmosfir berupa hujan. Dampak dari pencemaran air sangatlah banyak dan luas, misalnya dapat meracuni air minum, meracuni makanan hewan, menjadi penyebab penyakit bahkan kematian, dan dampak lainnya. Namun pada umumnya dampak pencemaran air dapat diketegorikan menjadi 4, antara lain61:
61
. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153.
44
a.
Dampak terhadap kehidupan biota air Umumnya banyak zat pencemar limbah yang ada menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut, sehingga menyebabkan kehidupan dalam air terganggu. Selain itu kematian dapat pula disebabkan oleh zat beracun yang merusak tanaman dan tumbuhan air.
b.
Dampak terhadap kualitas air tanah Pencemaran air tanah oleh tinja yang biasa diukur dengan faecal coliform telah terjadi dalam skala yang luas.
c.
Dampak terhadap kesehatan Peranan air sebagai pembawa penyakit bermacam-macam. Peranan tersebut adalah sebagai media hidup mikroba patogen, sebagai sarang insekta penyebar penyakit, apabila air tak cukup manusia tidak dapat membersihkan diri, dan sebagai media hidup faktor penyakit.
d.
Dampak terhadap estetika lingkungan Dengan semakin banyaknya polutan air, maka perairan akan semakin tercemar yang biasanya ditandai dengan bau yang menyengat disamping tumpukan yang dapat mengurangi estetika lingkungan. Limbah lemak dan minyak juga sangat mengganggu yang menyebabkan bau dan daerah sekitar limbah menjadi licin. Sedangkan limbah detergen atau sabun menyebabkan penumpukan busa yang banyak. Menurut Richard Stewart dan James E. Krier yang dikutip di dalam buku
Hukum Lingkungan Di Indonesia yang di tulis oleh Prof. Takdir Rahmadi, dampak dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya
45
pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman atau dampak negative terhadap kesehatan, menurunnya estetika, kerugian ekonomi, dan terganggunya system alami.62 B.
Sekilas Perda Kota Surabaya Kota Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur, sekaligus menjadi
kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia bagian timur. Kota ini terletak 789 km sebelah timur Jakarta, atau 426 km sebelah barat laut Denpasar, Bali. Surabaya terletak di tepi pantai utara pulau Jawa dan berhadapan dengan Selat Madura serta Laut Jawa. Surabaya memiliki luas sekitar 333,063 km² dengan penduduknya berjumlah 2.813.847 jiwa (2014). Daerah metropolitan Surabaya yaitu Gerbang kertosusila yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, adalah metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Surabaya dilayani oleh Bandar Udara Internasional Juanda, Pelabuhan Tanjung Perak, dan Pelabuhan Ujung. Seiring
dengan
bertambahnya
jumlah
penduduk
serta
semakin
berkembangnya industri dan teknologi, seringkali mengakibatkan air mengalami pencemaran. Kota Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan dengan tingkat pencemaran sungai yang memprihatinkan. Sekitar 96% air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Surabaya dipasok dari Kali 62
. Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 3.
46
Surabaya. Kasus pencemaran air di Kali Surabaya mulai terasa pada pertengahan tahun 1976 yang ditandai dengan banyaknya ikan yang mati sehingga PDAM menghentikan produksinya pada saat itu. Pencemaran sungai di Surabaya dapat diketahui melalui jumlah kandungan oksigen yang terlarut dalam air. Salah satu cara yang ditempuh untuk maksud tersebut yaitu dengan uji Chemical Oxygen Demand.63 Berdasarkan data yang saya akses, selama kurun waktu April 2008 hingga Maret 2009 kualitas air Kali Surabaya tak pernah mengalami peningkatan dan semakin tak layak dikonsumsi. Selama kurun waktu itu, kadar DO Kali Surabaya berkisar antara 4,06 miligram per liter hingga 4,76 miligram per liter padahal standar baku mutu DO adalah di atas 6 miligram per liter. Demikian juga dengan BOD yang seharusnya di bawah 2 miligram per liter justru mencapai kisaran 5,97 miligram per liter hingga 7,55 miligram per liter. Sementara itu, kadar COD yang seharusnya di bawah 10 miligram per liter justru melonjak hingga 18,84 miligram per liter sampai 31,44 miligram per liter.64 Berdasarkan dampak negatif dari pencemaran air yang telah diuraikan di atas maka kualitas air di Kota Surabaya harus dikelola dengan baik yaitu terencana, sistemik, dan dilaksanakan terus menerus secara terintegrasi. 63
. BBTKL-PPM. Laporan Situasi dan Kecenderungan Parameter Pencemaran Air Badan Air Serta Risiko Gangguan Kesehatan Di Kali Surabaya Semester II. (Surabaya: Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular, 2010); Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi. Limbah rumah tangga dan industri merupakan sumber utama limbah organik dan merupakan penyebab utama tingginya konsentrasi COD, selain itu limbah peternakan juga menjadi penyebab tingginya konsentrasi COD. 64 . Kompas.com, ” Kali Surabaya Makin Tak.Layak Dikonsumsi”, Diakses tanggal 04 November 2014 dari http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/08/21042911/Kali.Surabaya.Makin.Tak.Layak.Diko nsumsi.
47
Pengaturan pengendalian pencemaran air di Kota Surabaya merupakan arahan yang sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan peraturan daerah di Kabupaten/Kota. C.
Sanksi Pidana Pencemaran Air Di dalam undang-undang dasar tahun 1945 yang berkenaan langsung
dengan hak atas linkungan hidup terdapat didalam pasal 28H ayat 1 : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan”. Kemudian dalam pasal 33 ayat 2 : “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”, pada ayat 3 :” bumi dan air dan kekayaan alam 44 yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, ayat
4 : ”Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.65 Dalam diktum yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air disebutkan : a.
Bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk 65
. UUD 1945, Jakarta : Sekjen Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008, h. 57.
48
memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan; b.
Bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c.
Bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air
dan
pengendalian
pencemaran
air
secara
bijaksana
dengan
memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis.66 Adapun Ketentuan sanksi pidana di dalam Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air terdapat dalam pasal 32-34 : 1.
Sistematika Pasal 32 Perda Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 1) Di ancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). a. Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber-sumber air wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 (a). b. Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 (b).
66
. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153.
49
c. Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan/ atau gas dan atau bahan berbahaya dan beracun ke dalam sumber-sumber air sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17. d. Setiap usaha dan atau kegiatan yang melakukan pembuangan air limbah ke air dan sumber-sumber air yang berada di Daerah harus mendapatkan izin dari Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 (a). e. Apabila pembuangan air limbah dilakukan di luar sumber air sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, maka pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat rekomendasi dari Gubernur sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 (b). f. Dalam pasal 20 (a) di jelaskan bahwa, pemegang izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, berkewajiban : a) mengolah air limbah sampai batas syarat baku mutu yang ditetapkan secara nasional dan regional sebelum dibuang ke sumber-sumber air; b) membuat bangunan saluran pembuangan air limbah, sarana bak kontrol untuk memudahkan pengambilan contoh air limbah dan alat pengukur debit air limbah atau meter air dan pengamanannya; c) mengadakan sarana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat; d) tidak membuang air limbah yang dihasilkan secara sekaligus dalam satu saat; e) tidak melakukan pengenceran dalam upaya ketaatan batas kadar yang dipersyaratkan;
50
f)
mengikuti petunjuk teknis yang diberikan oleh Dinas Teknis dalam hal konstruksi bangunan dan saluran pembuangan air limbah;
g) menyampaikan laporan kepada Kepala Daerah melalui Kepala Dinas tentang pemantauan dan mutu air limbah yang dihasilkan, tiap 1 (satu) bulan sekali dari hasil laboratorium yang memenuhi syarat laboratorium lingkungan; h) memberikan izin kepada pengawas untuk memasuki lingkungan usaha/kegiatannya dan membantu terlaksananya tugas Pengawas tersebut untuk memeriksa bekerjanya peralatan pengolah limbah beserta kelengkapannya; i)
mematuhi persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil penilaian AMDAL atau UKL dan UPL yang erat kaitannya dengan pengendalian pencemaran air bagi usaha/kegiatan yang wajib melaksanakan AMDAL atau UKL dan UPL.
g. Dalam penetapan kewajiban-kewajiban pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi air limbah yang mengandung radioaktif, harus mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dibidang atom sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 (b). 2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. 2.
Sistematika Pasal 33 Perda Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 a. Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 mengakibatkan pencemaran air dan/atau perusakan lingkungan hidup, atau mengakibatkan
51
orang lain mati atau luka, maka dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 3.
Sistematika Pasal 34 Perda Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 a. Penyidikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah b. Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah; b) melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian; c) menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d) melakukan penyitaan benda atau surat; e) mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f)
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h) mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik umum memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;
52
i)
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
c. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
BAB IV ANALISIS SANKSI PIDANA PENCEMARAN AIR DALAM PERDA KOTA SURABAYA NO. 2 TAHUN 2004
A.
Analisis Hukum Positif Terhadap Sanksi Pidana Dalam Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004 Makhluk hidup sangat memerlukan air demi kelangsungan hidup, tanpa air
yang sehat manusia dan makhluk yang ada di bumi lambat laun akan mati secara perlahan karena di dalam air yang tercemar terdapat virus, bakteri patogen, dan parasit lainnya atau zat kimia yang membahayakan. Untuk mendapatkan air yang sehat harus dibentuk aturan yang melarang dan memberikan sanksi tegas bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana pencemaran air, karena menyangkut kemaslahatan umum baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dalam pengaturan tindak pidana yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup termasuk dalam hal pidana pencemaran air disebut dengan tindak pidana lingkungan hidup. Pada tahun 1982 dikeluarkanlah undang-undang No 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup yang merupakan undang-undang induk atau payung yang dikenal dengan istilah kader wet atau umbrella act dibidang lingkungan hidup. Dalam perkembangannya undangundang No 4 tahun 1982 diganti dengan undang-undang No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan kemudian diganti lagi dengan undang-
53
54
undang No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.67 Semenjak UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah diubah menjadi UU No. 32 tahun 2004, maka pengaturan tentang lingkungan hidup telah mengalami perubahan. Otonomi daerah khususnya dibidang lingkungan hidup telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, termasuk bidang lingkungan hidup. Dengan demikian, dalam menangani masalah pengelolaan lingkungan hidup provinsi, kota maupun daerah, mempunyai otoritas dalam mengatur pengelolaan lingkungan hidup. Dalam hal ini diundangkan dalam bentuk Peraturan Daerah Kota Surabaya nomor 2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air. Dalam PP No. 82/2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air
didefinisikan
sebagai
:
“Pencemaran
air
adalah
masuknya
atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Pasal 1, angka 2). Definisi pencemaran air tersebut dapat diuraikan sesuai makna pokoknya menjadi 3 (tiga) aspek yaitu, aspek kejadian, aspek penyebab atau pelaku dan aspek akibat. Berdasarkan definisi tersebut, penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air sehingga 67
. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Cet ke-2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 92.
55
menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan dari komponen-komponen tersebut dapat dikategorikan sebagai unsur pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut dapat berupa buangan yang bersifat rutin, misalnya buangan limbah cair maupun buangan limbah lainnya. Aspek pelaku/penyebab dapat disebabkan oleh alam, atau oleh manusia. Jika pencemaran disebabkan oleh alam maka tidak dapat berimplikasi hukum, akan tetapi Pemerintah tetap harus menanggulangi pencemaran tersebut. Sedangkan aspek akibat dapat dilihat berdasarkan penurunan kualitas air sampai ke tingkat tertentu. Pengertian tingkat tertentu dalam definisi tersebut adalah tingkat kualitas air yang menjadi batas antara tingkat tak-tercemar (tingkat kualitas air belum sampai batas) dan tingkat tercemar (kualitas air yang telah sampai ke batas atau melewati batas). Sebagaimana telah dijelaskan di dalam bab, bahwasanya sanksi pidana adalah tindakan atau hukuman yang dijatukan karena adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai akibat hukum untuk menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat di dalam masyarakat. Sanksi pidana dari segi tujuan penerapannya dapat dibenarkan dengan alasan yang dikemukakan sebagai berikut: a.
Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau tindakan yang tidak dikehendaki atau tindakan yang salah;
b.
Untuk memberikan balasan yang setimpal dan layak sesuai tindakan pelaku tindak pidana
56
Oleh karena itu, hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang pelaku harus sesuai dengan akibat tindak pidana yang dilakukannya, agar si pelaku sadar dari kesalahannya dan tidak mengulang tindakan yang bertentangan dengan hukum.68 Kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran air diatur dalam pasal 32 dan 33 Perda Kota Surabaya nomor 2 tahun 2004 tentang pengendalian pencemaran air, mengenai ancaman pidananya sebagai berikut: Di dalam Pasal 32 di katakan bahwa, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana pencemaran air dan bagi setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber-sumber air, wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 (a). (Setiap usaha dan atau kegiatan, wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 (b). (Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan/ atau gas dan atau bahan berbahaya dan beracun ke dalam sumber-sumber air sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17. (Setiap usaha dan atau kegiatan yang melakukan pembuangan air limbah ke air dan sumber-sumber air yang berada di Daerah, harus mendapatkan izin dari Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 (a)
68
. Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2007), cet. Ke- 5, h. 361
57
Kemudian dalam Pasal 33 di sebutkan juga bahwa, apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 mengakibatkan pencemaran air dan/atau perusakan lingkungan hidup, atau mengakibatkan orang lain mati atau luka, maka dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Berkaitan dengan sanksi pidana yang terdapat dalam PERDA Kota Surabaya No 2 tahun 2004 menurut analisa penulis, untuk takaran denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) itu terlalu sedikit bagi suatu perusahaan. Sebab jika suatu perusahaan melakukan tindak pidana pencemaran air, Mereka akan menganggap denda tersebut terlalu murah, dan secara otomatis mereka akan melakukan hal yang sama dikemudian hari. Dan sanksi tersebut tidak sebanding dengan apa yang mereka perbuat. Sebab banyak sekali dampak dari pencemaran yang mereka lakukan. Adapun dampak dari pencemaran air sebagaimana dijelaskan dalam bab adalah sebagai berikut : a.
Dampak terhadap kehidupan biota air Umumnya banyak zat pencemar limbah yang ada menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut, sehingga menyebabkan kehidupan dalam air terganggu. Selain itu kematian dapat pula disebabkan oleh zat beracun yang merusak tanaman dan tumbuhan air.
b.
Dampak terhadap kualitas air tanah Pencemaran air tanah oleh tinja yang biasa diukur dengan faecal coliform telah terjadi dalam skala yang luas.
58
c.
Dampak terhadap kesehatan Peranan air sebagai pembawa penyakit bermacam-macam. Peranan tersebut adalah sebagai media hidup mikroba patogen, sebagai sarang insekta penyebar penyakit, apabila air tak cukup manusia tidak dapat membersihkan diri, dan sebagai media hidup faktor penyakit.
d.
Dampak terhadap estetika lingkungan Dengan semakin banyaknya polutan air, maka perairan akan semakin tercemar yang biasanya ditandai dengan bau yang menyengat disamping tumpukan yang dapat mengurangi estetika lingkungan. Limbah lemak dan minyak juga sangat mengganggu yang menyebabkan bau dan daerah sekitar limbah menjadi licin. Sedangkan limbah detergen atau sabun menyebabkan penumpukan busa yang banyak. Dalam tujuan tindak pidana, sanksi diberikan kepada seseorang yang
melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memberikan efek jera (ultimum remedium) dan efek pencegahan. Dan seharusnya, sanksi yang diberikan kepada si pelaku harus menimbulkan efek jera dan sanksi tersebut juga dapat mencegah terjadinya tindak pidana yang sama. Dalam peraturan daerah Kota Surabaya juga terdapat pasal yang bertentangan dengan sumber dari perda tersebut yang menyatakan bahwa tindak pidana pencemaran air adalah pelanggaran. Padahal di dalam UU Lingkungan Hidup Tahun 1997 menyebutkan bahwa tindak pidana pencemaran air adalah suatu kejahatan.
59
Dari ulasan mengenai penegakan hukum di atas, Sukanda Husin memberikan pandangan bahwa penegakan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya hukum terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman penjara atau denda. Menurutnya, penegakkan hukum pidana lingkungan sebenarnya dipandang tidak menyelesaikan masalah karena pencemaran dan kerusakan lingkungan telah terjadi walaupun pencemarnya dihukum penjara.69 Sejalan dengan siklus pengaturan ini, maka pada hakikatnya tujuan penegakan peraturan daerah Kota Surabaya tentang pengendalian pencemaran air menurut penulis adalah penataan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi air serta lingkungan hidup yang pada umumnya diformalkan ke dalam peraturan perundang-undangan, termasuk ketentuan pidana yang mengatur tentang pencemaran air yang mengikat pada semua pihak termasuk orang dan badan hukum. Dalam kenyataannya selama diserahkannya wewenang pengelolaan lingkungan hidup ke daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, kondisi lingkungan justru tidak lebih baik dari sebelumnya. Pengurasan sumber daya alam, pengingkaran hak masyarakat adat dan pencemaran yang merugikan masyarakat dapat berlangsung terus menerus tanpa tersentuh hukum karena pemberian konsensi bagi pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya alam mengabaikan aspek daya dukung ekosistem dan kepentingan masyarakat lokal. Pengawasan diabaikan karena aparat pemerintah sebagai regulator pada umumnya 69
. Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 121.
60
menjalankan kepentingan yang bertentangan dengan hajat hidup orang banyak, seperti privatisasi sumber daya alam oleh para pemilik modal atau investor asing yang tidak susah payah harus izin melalui pusat cukup melalui pemerintah daerah setempat yang mempunyai otoritas semenjak diberlakukanya UU otonomi daerah. Menurut penulis seharusnya, ketika wewenang pengelolaan lingkungan hidup diserahkan kepada pemerintah daerah, kondisi lingkungan harus jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena pengawasan dapat lebih intensif dibandingkan ketika masih di bawah pemerintah pusat. Dan seharusnya pemerintah daerah harus lebih ketat lagi mengurus perizinan sebuah perusahaan yang bersentuhan langsung dengan lingkungan hidup. Kemudian sanksi yang diberikan kepada pelaku pencemaran lingkungan harus sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan, agar efek dari sanksi tersebut benar-benar terwujudkan. B.
Analisis Hukum Islam Terhadap Sanksi Pidana Pencemaran Air Dalam Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2004 Memelihara lingkungan dalam Islam merupakan bagian dari totalitas ibadah
manusia, sebab itu Islam menjadi rahmatan lil ‟alamin (rahmat bagi seluruh alam) yang mendorong umat agar tidak membuat kerusakan atau mempercepat laju kerusakan yang dilakukan manusia di bumi dan alam semesta. Etika agama terhadap alam mengantar manusia untuk bertanggung jawab sehingga ia tidak melakukan perusakan atau dengan kata lain setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri. 70 Bahkan hanya Islamlah yang mengatur tentang larangan membuang air kecil sembarangan.
70
. Fachruddin Mangunjaya, Konservasi Alam Dalam Islam, (Jakarta: t.p, 2005), h. 103.
61
Manusia sebagai khalifah dimuka bumi dimintai pertanggung jawabannya oleh generasi yang akan datang, dimuka bumi ini dan di akhirat kelak. Inilah landasan yang digunakan oleh syari’at islam untuk melindungi sumber daya alam, dengan demikian segala tindakan yang mengakibatkan pencemaran air dan prasarananya menurut syari’at diancam oleh hukuman. Dalam bab dijelaskan bahwa tindakan mencemari lingkungan (dalam hal ini air) merupakan suatu jarimah yang diancam dengan hukuman. Walaupun di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak ada nash yang khusus mengatur tentang permasalahan ini, maka jarimah ini termasuk dalam kategori jarimah ta‟zir. Dalam hal ini Ulil Amri yang mempertimbangkannya, karena merekalah orangorang yang bisa dipercaya, jika mereka berselisih dalam suatu masalah maka mereka wajib mencari kebenarannya dalam Al-Qur’an dan hadist dengan kaidah yang ada di dalamnya. Untuk memudahkan wali al amri dalam memutuskan perkara yang belum ada nashnya, maka wali al amri menetapkan suatu sistem al-maslahah. Karena pada dasarnya tujuan dari syari’at Islam adalah mewujudkan kemaslahatan umum, dan mencegah kerusakan (mafsadah) untuk menarik manfaat dan menolak madlarat bagi seluruh umat. Disini Ulil Amri adalah sebagai pembuat kebijakan dalam pembentukan undang-undang Negara di samping menjalankan kontrol atas kebijakan politik pekerjaan badan-badan pemerintah, tugas dan kewajiban Ulil Amri. Apabila mereka telah bersepakat dengan suatu persoalan atau undangundang, maka wajib bagi masyarakat untuk mengikuti dengan syarat bahwa hasil
62
kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan sunnah Rosul yang mutawatir dan dengan syarat keputusan tersebut diputuskan betul-betul untuk kepentingan masyarakat umum secara adil. Sesuai dengan salah satu tujuan syari’at Islam adalah Tahqiqul (mewujudkan keadilan) dan ب ا ْلمَصَا لِح ُ ْجل َ (menarik kemaslahatan). Seperti yang disebutkan dalam kaidah fiqhiyah :
ُب ا ْلمَصَا لِح ُ ْجل َ َد ْر ُء المَفَا سِ ُد َو Artinya: “Menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan” Mengenai pembahasan terhadap tindak pidana pencemaran air dapat dilihat dari unsur-unsur pidananya yang terdapat dalam pasal 32, diantaranya setiap orang atau badan hukum yang mengakibatkan perbuatan diantaranya : a. Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber-sumber air wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air. b. Setiap
usaha
dan
atau
kegiatan
wajib
membuat
rencana
penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga. c. Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan/ atau gas dan atau bahan berbahaya dan beracun ke dalam sumber-sumber air. d. Setiap usaha dan atau kegiatan yang melakukan pembuangan air limbah ke air dan sumber-sumber air yang berada di Daerah harus mendapatkan izin dari Kepala Daerah.
63
e. Apabila pembuangan air limbah dilakukan di luar sumber air, maka pemberian izin harus mendapat rekomendasi dari Gubernur. f. Bagi air limbah yang mengandung radioaktif, harus mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang atom. Berdasarkan pernyataan di atas, maka penulis memandang bahwa, pencemaran air merupakan suatu tindak pidana (jarimah), dan perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur jarimah yaitu, unsur formal (rukun syar‟i), unsur materiil (rukun maddi), unsur moral (rukun adabi) sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam bab. Pertama, unsur formal (Rukun syar‟i) yaitu: nash yang melarang perbuatan dan mengacam perbuatan terhadapnya. Berkenaan dengan perbuatan pencemaran lingkungan (air, udara, tanah, dll.) dalam Al-Qur’an penulis menemukan beberapa ayat-ayat yang menyebutkan tentang larangan berbuat kerusakan (mafasid) yang dapat di kolerasikan dengan pencemaran lingkungan (air, udara, tanah, dll) karena dampak yang ditimbulkan dari pencemaran lingkungan adalah kerusakan dimuka bumi. Beberapa ayat yang menjelaskan tentang larangan berbuat kerusakan lingkungan antara lain: QS. Ar-Rum ayat 41
64
Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum 21 : 41) QS. Al-A’raaf ayat 56
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-A’raaf 7 : 56) QS. Al-Baqarah ayat 205
Artinya:
Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (QS. Al-Baqarah 2 : 205)
Ketiga ayat diatas merupakan contoh nash Al-Qur’an yang menjelaskan tentang larangan manusia untuk berbuat kerusakan terhadap alam, Allah SWT melarang perusakan dimuka bumi, dan yang paling membahayakan adalah perusakan setelah
65
adanya perbaikan. Sebab, jika segala sesuatu berjalan secara benar, kemudian terjadi tindakan perusakan setelahnya, tentu hal itu paling membahayakan bagi manusia.71 Kedua, unsur materiil (Rukun maddi) ialah adanya tingkah laku atau perbuatan yang membentuk jarimah. Baik perbuatan-perbuatan yang nyata maupun sikap tidak perbuatan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pembangunan industri-indutri yang telah melakukan pencemaran lingkungan dengan membuang limbah pabrik tanpa memperhatikan efek yang ditimbulkan terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan. Selain itu masih banyak juga masyarakat yang kurang memperhatikan lingkungan dengan membuang limbah rumah tangga ke bantaran sungai dan di tempat-tempat yang tidak semestinya seperti ditepi jalan, di perkebunan dan lahan kosong sehingga akibatnya masyarakat juga yang dirugikan, terganggu dan menderita terhadap pencemaran lingkungan tersebut. Dan unsur yang ketiga adalah unsur moral (Rukun adabi) yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawabanya terhadap jarimah yang dilakukannya. Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakanya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat perbuatannya itu.72 Tentunya dalam perbuatan pencemaran lingkungan para pelaku pencemaran lingkungan sudah mengetahui maksud dan dampak/akibat yang timbul dari pencemaran terhadap lingkungan tersebut. Para pengelola industri pabrik yang ada diseluruh Indonesia dalam pembuangan limbah industri seharusnya harus melalui beberapa proses pengolahan yang sesuai dengan baku mutu limbah sebelum di buang ke sungai, laut maupun udara. Sehingga dari pembuangan limbah pabrik yang 71 72
. Ibn al-Katsir, Tafsir Al-Qur‟an Al-„Azhim, Juz III (t.t: Dar Thayyibah, 1999) , h. 429. . Ahmad Hanafi, Asas- Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 121
66
dialirkan ke sungai maupun laut tidak mempengaruhi ekosistem di dalamnya dan masyarakatpun tidak dirugikan. Para pelaku pencemaran lingkungan ini yang memenuhi unsur ketiga bahwa pencemaran lingkungan sebagai jarimah karena orang yang melakukan perbuatan jarimah harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya dan bukan orang lain. Diantaranya para pengelola industri pabrik, masyarakat yang membuang sampah di sungai dan para pelaku perusakan lingkungan lainya.
Hukum Pidana Islam juga mengelompokkan jarimah atau tindak pidana dari niat si pelaku yaitu, perbuatan yang disengaja dan perbuatan yang tidak disengaja. a.
Dalam jarimah yang disengaja jelas menunjuk adanya kesengajaan perbuatan
jarimah,
sedang
dalam
jarimah
yang
tidak
disengaja
kecenderungan untuk berbuat salah tidak ada. Hal ini akan berhubungan dengan berat ringannya pemberian sanksi hukum. Untuk sanksi jarimah yang disengaja lebih berat dari pada sanksi jarimah yang tidak disengaja. b.
Dalam jarimah disengaja hukuman tidak bisa dijatuhkan apabila unsur kesengajaan tidak terbukti, sedangkan pada jarimah tidak disengaja hukuman dijatuhkan dengan sebab adanya unsur kelalaian pelaku atau ketidak hati-hatian semata. Selain seorang hakim melihat dari unsur-unsur tindak pidananya, dampak
dari akibat yang di hasilkan dari perbuatannya, dan dalam menentukan sanksi ta‟zir juga melihat dari niat si pelaku, baik sengaja maupun tidak sengaja. Dan ini menjadi tolak ukur seorang hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana tersebut.
67
Adapun dampak dari akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana pencemaran air adalah sebagai berikut73 : a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak b. Luas wilayah persebaran dampak c. Lamanya dampak berlangsung d. Intensitas dampak. Berdasarkan keterangan di atas timbul suatu pertanyaan, apakah sanksi pidana pencemaran air dalam PERDA tersebut telah memenuhi tujuan pokok hukuman dalam syari’at Islam? Dan apakah pemberian sanksi tersebut adil terhadap semuanya jika dilihat dari segi maslahatnya? Contoh misalnya dipidana kurungan (penjara) dan denda, hukuman penjara maksimal 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana terhadap pencemaran air, baik yang dilakukan secara pribadi maupun korporasi. Dalam Syari‟ at Islam tujuan pokok dari hukuman khususnya ta‟zir adalah pencegahan dan pendidikan. Arti pencegahan adalah menahan pelaku jarimah supaya tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah orang lain ikut berbuat jarimah, oleh sebab itu pencegahan lebih inti dari tujuan tersebut. Maka berat ringannya hukuman harus sesuai dengan kebutuhan dan dampak kerugian yang ditimbulkan bagi masyarakat dan Negara, sehingga sasaran dan tujuan penghukuman tersebut bisa tercapai. 73
. Joko Subagyo, Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangannya , Cet ke-3, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm.30
68
Pemidanaan dengan penjara 6 bulan dan denda paling banyak lima juta rupiah, menurut analisa penulis belum cukup untuk memenuhi tujuan pokok penghukumanya, yaitu untuk pencegahan (preventif), pendidikan dan memberikan efek jera. Seharusnya pelaku tindak pidana tersebut harus diberikan hukuman yang lebih setimpal, sebab pencemaran air ini sifatnya lebih cepat meluas dan yang terkena dampaknya masyarakat banyak. Setelah menerima hukuman berat Para pelaku jarimah (tindak pidana) akan jera dan bagi yang akan melakukan akan berpikir dua kali karena hukuman yang diberikan tersebut. Dalam jarimah ta‟zir seorang hakim boleh memilih suatu hukuman sesuai dengan macam jarimah dan perbuatannya dari kumpulan yang disediakan untuk jarimah ta‟ zir juga bisa memperingan hukuman maupun memberatkanya.74 Yurisprudensi Islam dan sejarah memberi kepada penguasa Negara atau hakimhakim kekuasaan dan kebijaksanaan yang tersisa atau pemidanaan. Kekuasaan dan hukum apa yang mereka anggap sebagai perilaku yang belum tercakup sebagai kategori hudud dan jinayat. Dalam konteks sejarah formulasi syari’at Islam patut dipertimbangakan oleh para hakim dan penguasanya untuk memberikan wewenang kebijaksanaan yang tersisa demi perkembangan dan pembaruan hukum. Apabila hukum telah ditetapkan oleh Negara, maka masyarakat harus mematuhi hukum tersebut selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Agar tercapainya ketertiban dan keadilan di masyarakat. Begitu pula hukum yang di wahyukan oleh Allah SWT kepada mahluknya, agar dipatuhi dan di jalankan oleh 74
. Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h.10.
69
mahluknya untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan dalam syari’at Islam bukan untuk kepentingan Allah tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri.75 Sebagaimana Firman Allah SWT Surat An-Nisa ayat 59 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa 4 : 59). Dengan demikian dapat kita disimpulkan bahwa, Tindak pidana pencemaran air dalam hukum pidana Islam termasuk dalam kategori jarimah ta‟zir dan Ulil Amri diberikan wewenang untuk memberikan hukuman ta‟zir terhadap pelaku tanpa memandang siapa pelakunya.
75
. Al- Mawardi, Al-Ahkam As Sulthaniyah, Cet III, (Mesir, Maktabah Musthafa Al Baby Al Halaby, 1973), hlm.5.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di depan, setelah menelaah dan menganalisa
secara seksama tentang sanksi pidana dalam peraturan daerah Kota Surabaya tentang pengendalian pencemaran air, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Sanksi pidana adalah tindakan atau hukuman yang dijatukan karena adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai akibat hukum untuk menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat di dalam masyarakat. Sanksi pidana bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan atau tindakan yang tidak dikehendaki atau tindakan yang salah serta memberikan balasan yang setimpal dan layak sesuai tindakan pelaku tindak pidana. Di dalam PERDA Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 terdapat tiga macam delik dalam masalah pencemaran air, yakni delik materil, delik formil, dan delik korporasi. Sanksi yang diterapkan terhadap pelaku pencemaran air dalam delik materil dan delik formil adalah berupa hukuman penjara dan hukuman denda. Sedangkan dalam delik korporasi, bagi korpoasi yang melakukan kejahatan dapat dikenai sanksi tata tertib sesuai dengan undangundang tersebut
2.
Sedangkan di dalam Hukum Pidana Islam, Pencemaran air dikategorikan sebagai perbuatan jarimah karena pencemaran air memenuhi ketiga unsur-
70
71
unsur umum jarimah apabila perbuatan akan dikelompokan kedalam jarimah. Pencemaran air dikategorikan sebagai jarimah ta’zir, karena pencemaran air termasuk jarimah yang bentuk atau macamnya, dan hukumnya diserahkan kepada manusia (Ulil Amri), syara’ hanya memberikan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum saja, dan pencemaran air merupakan jarimah yang dapat berubah-ubah menurut keadaan dan waktu. Walaupun tidak terdapat sanksi dalam bentuk nash qoth’i mengenai hukumannya, bukan berarti tidak adanya sanksi bagi pelaku pencemaran lingkungan. Adapun pelaku yang melakukan pencemaran lingkungan dapat dihukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, adapun sanksinya berupa pidana penjara ataupun denda sesuai dengan tingkat kejahatannya. Dengan pertimbangan kepentingan umum yang berorientasikan mencapai kemaslahatan dan menolak kerusakan lingkungan, menurut hemat penulis sudah sesuai dengan syari’at Islam (Maqasid al-Tasyri’) yaitu menjaga lima hal kepentingan manusia memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda bahkan pelakunya dapat di jatuhi hukuman maksimal (penjara dan denda). Dan secara tegas bahwasanya sesuai dengan ketentuan pidana dalam pasal 36 merupakan suatu tindak pidana (jarimah) yang mana hukumanya adalah hukuman ta’zir, dan untuk berat ringannya hukumanya adalah wewenang pemerintah (ulil amri) atau disesuaikan dengan ketentuan pidana dalam peraturan daerah.
72
B.
Saran
a.
Kepada para pihak pengelola industri agar lebih memperhatikan keseimbangan lingkungan agar limbah-limbah buangan dari industri yang dikelolanya tidak menimbulkan berbagai dampak yang merugikan manusia.
b.
Pemerintah kota, provinsi maupun daerah agar bekerja sama dalam pengendalian pencemaran lingkungan, baik air, udara, dan lainnya supaya tercipta lingkungan yang sehat bagi masyarakat diseluruh Indonesia serta menindak tegas bagi pelaku tindak pidana pencemaran lingkungan khususnya air.
c.
Kepada para pejabat daerah dimohon untuk lebih gencar dan selektif dalam mengadakan operasi kependudukan guna mengurangi terjadinya kepadatan penduduk yang berakibat buruk bagi kelestarian lingkungan hidup.
C.
Penutup Segala puji bagi Allah SWT. Penulis panjatkan atas segala limpahan rahmat
dan taufiq-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu kita harapkan syafa’atnya di akhirat nanti. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini, dan semoga apa yang telah penulis lakukan dalam penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi siapa saja pada umumnya, sehingga mampu memberikan kerangka berfikir mengenai lingkungan dan air pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA A.
Buku-buku
Al-Qur’an Al-Karim Al Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Baari (Syarah Shahih Bukhari), Penerjemah Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002. Al-Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur‟ an Al-‘Azhim, Juz III, t.t: Dar Thayyibah, 1999. Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Cet 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Arief,
Barda
Nawawi,
Masalah
Penegakan
Hukum
Pidana
Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Cet ke-2, Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Al- Mawardi, Al-Ahkam As Sulthaniyah, Cet III, Mesir: Maktabah Musthafa Al Baby Al Halaby, 1973. Anis, Ibrahim dkk., Al-Mu’jam Al-Wasit, Cet. 1, Mesir: Majma’ Al-Lughah AlArabiyah, 1972. Audah, Abdul Qadir, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranah bi Al-Qanun AlWad’i, Cet. 11, jilid II, Beirut: Mu’assasah Al-Risalah, 1992. Al Faruk, Asadulloh, Hukum Pidana Islam Dalam Sistem Hukum Islam, Bogor, Ghalia Indonesia, 2009. Andi Hamzah, Jur, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005 Bassar, M. Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Cet 2, Bandung: Remadja Karya, 1986. BBTKL-PPM. Laporan Situasi dan Kecenderungan Parameter Pencemaran Air Badan Air Serta Risiko Gangguan Kesehatan Di Kali Surabaya Semester II.
73
74
Surabaya: Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular, 2010. Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cet 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2001. Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. ______, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967. Hamzah,Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya paramita, 1993. Hamzah, Andi dan Siti Rahayu, Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, cet. Ke-1 Jakarta: Akademika Pressindo, 1983. Husin, Sukanda, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Kholishudin, Akhmad, Pencemaran Lingkungan Sebagai Tindak Pidana Dalam Keputusan Muktamar NU Ke-29 (Nomor : 02/MNU-29/1994, Skripsi S1Fakultas Syari’ah, IAIN Walisongo, 2012. Muhammad, Ahsin Sakho, dkk., Fiqh Lingkungan, Jakarta: Conservation International Indonesia, 2006. Muhammad, Ahsin Sakho, dkk., Ensikopedi Hukum Pidana Islam, jilid III, cet. Ke-1, Jakarta: Karisma Ilmu, 2007. Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet I, Jakarta, Sinar Grafika, 2004
75
Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet V, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Mangunjaya, Fachruddin, Konservasi Alam Dalam Islam, Jakarta: t.p, 2005. Irfan, M.Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Bumi Aksara, 2013 . Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153. Peraturan Daerah Kota Surabaya No 2 Tahun 2004 Tentang Pengendalian Pencemaran Air, Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2004 No 1 / E. Peraturan Menteri Kesehatan R.I No : 416/MENKES/PER/IX/1990 Prodjodikoro,Wirdjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, cet. Ke-3 Bandung: Refika Aditama, 2009. Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung: Alumni, 2001. Sukadi, Pencemaran Sungai Akibat Buangan Limbah dan Pengaruhnya Terhadap BOD dan DO, Bandung: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan bandung, 1999. Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia sebuah pengantar, cet I, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Sudarsono, Kamus Hukum, cet. Ke- 5, Jakarta: Asdi Mahasatya, 2007. Subagyo, Joko, Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994
76
______, Joko Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangannya , Cet ke-3, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Sabiq,Sayyid, Fiqh Al-Sunnah, Jilid II, Cet 4, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983. Soemardi,Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Cet Ke-5, Jakarta: IND-HILL-CO, 2007. UUD 1945, Jakarta : Sekjen Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008, h. 57. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. ____________, Ahmad, Hukum Pidana Islam, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Warson Munawir, Ahmad, Kamus al-Munawir; Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, cet. Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Wojowasito,S, Kamus Umum Belanda- Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001. Wahbah Zuhaily, Syaikh, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, cet. IV, jilid VII, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Yusra, Dhoni, Kebijakan Penentuan Kualitas Air Serta Sanksi Bagi Pelaku Pencemaran Dan Tanggung Jawab Negara Mengantisipasi Pencemaran Air, Jakarta: Universitas Esa Unggul, t.t.
77
B.
Sumber Internet
http://lh.surabaya.go.id/welbh/pencemaran http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/08/21042911/Kali.Surabaya.Makin. Tak.Layak.Dikonsumsi.