TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : Mohamad Fadhila Agusta NIM : 1110045100001
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M
ABSTRAK MOHAMAD FADHILA AGUSTA. NIM 1110045100001. TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Makasssar Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks). Konsentrasi Kepidanaan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1436 H/2015 M. vi + 80 halaman + 1 lampiran. Masalah utama dalam skripsi ini mengenai perkosaan terhadap anak kandung yang terdapat dalam putusan nomor 1459/Pid/B/PN.Mks yang memvonis Muddin Dg Kulle dengan pidana penjara selama 8 tahun. Skripsi ini bertujuan unutuk mengetahui bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan hukum positif terhadap kasus perkosaan yang dilakukan oleh ayah terhadap anak kandungnya serta menganalisis menurut perspektif hukum pidana Islam dan hukum positif mengenai putusan pengadilan terhadap kasus tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berarti penulis tidak menggunakan sample. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan, penulis melakukan pengidentifikasian secara sistemis dari sumber yang berkaitan dengan objek kajian. Setelah data diperoleh penulis menganalisis secara yuridis normatif data yang diperoleh terhadap objek kajian (1459/Pid/B/2013/PN.Mks). Hasil penelitian ini menujukkan bahwa dalam pandangan hukum positif hukuman penjara 8 tahun yang diberikan kepada terdakwa dalam kasus perkosaan terhadap anak kandung ini jauh dari sanksi pidana maksimal yakni 15 tahun penjara, dan ditinjau dari hukum pidana Islam ada dua pendapat tentang hukuman bagi pelaku, pendapat pertama pelaku dijatuhi hukuman rajam. Pendapat kedua menyatakan pelaku dikenakan hukuman ta’zîr, yaitu kadar dan jenis hukumannya diserahkan kepada keputusan ijtihad penguasa. Kata kunci: Perkosaan, Anak Pembimbing 1 : Dr. Burhanuddin, MH Pembimbing 2 : Afwan Faizin, MA Daftar Pustaka : Tahun 1962 s.d. Tahun 2013
i
KATA PENGANTAR Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkah
rahmat,
hidayah
dan
karunianya,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaiakan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan generasi sesudahnya hingga hari kiamat, yang senantiasa melaksanakan ajaran-ajaran dan sunah-sunahnya untuk memperoleh kebahagiaan baik di dunia dan akhirat. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis secara pribadi, tetapi semua itu merupakan usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis merasa perlu menyampaikan terimakasih terutama kepada: 1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Burhanuddin, MH dan Afwan Faizin, MA selaku dosen pembimbing Skripsi ini. Terima kasih atas waktu dan ilmu yang telah diberikan, semoga dapat bermanfaat sepanjang masa.
ii
3. Dra. Hj. Maskufa, M. Ag selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, Dra. Hj. Rosdiana, M.Ag Sekertaris Program Studi Jinayah Siyasah dan Dr. Rumadi, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik. 4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis. 5. Segenap Pengelola Pepustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Untuk seluruh guru-guru yang pernah mengajar penulis, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi yang telah membuka lebar cakrawala keilmuan penulis dan memberi bekal dalam menghadapi kehidupan yang harus ditempuh dengan arif dan bijaksana. 7. Ayahanda Setiadji dan Ibunda Tri Susanti, atas semua yang telah diberikan dan dikorbankan dan telah mencurahkan kasih sayang, memberikan motivasi dan dukungan serta do’anya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi dan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 8. Amelia Susan Anggraeni selaku kakak atas semua motivasi dan dukungan dan Nurindah Ade Pertiwi yang telah memberikan do’a serta dukungannya kepada penulis. 9. Teman-teman seperjuangan Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Pidana Islam angkatan 2010 yang telah memberikan semangat dan
iii
motivasi selama menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberi mereka balasan yang jauh lebih besar dari apa yang mereka lakukan dan berikan khususnya kepada penulis, umumnya kepada semua pihak.
Jakarta, April 2015
Mohamad Fadhila Agusta
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK ...................................................................................................................................... i KATA PENGANTAR................................................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................................................. v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................................................. 6 D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu.................................................................... 7 E. Metode Penelitian..................................................................................................... 9 F. Sistematika Penulisan............................................................................................. 12
BAB II
DESKRIPSI UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Tindak Pidana Positif Dan Pidana Islam................................................................ 13 B. Pembagian Hukum Pidana ..................................................................................... 17 C. Tindak Pidana Perkosaan ....................................................................................... 23 D. Faktor Penyebab Tindak Pidana Perkosaan Dalam Islam ..................................... 30
BAB III TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK KANDUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Anak dan Hak-Hak Anak ..................................................................... 34 B. Persetubuhan Sesama Mahram............................................................................... 47 C. Hukuman Perkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur Dalam Hukum Positif ..... 51 v
D. Hukuman Perkosaan Dalam Hukum Pidana Islam ................................................ 55 BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MAKASSAR Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks A. Duduk Perkara........................................................................................................ 61 B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks..........................................................69 C. Analisis Hukum Positif Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks......................................................................... 73
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................................................. 76 B. Saran-Saran ............................................................................................................ 77
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................. 78
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam pada hakikatnya adalah peraturan Allah untuk menata kehidupan manusia. Peraturan itu dapat terealisir dalam kehidupan nyata bila ada kesadaran dari umat Islam untuk mengamalkannya, yakni melaksanakan setiap perintah dan menjauhi seluruh larangan yang digariskan oleh Al-Quran dan Hadist.1 Namun dalam kenyataannya manusia tidak bisa lepas dari masalah kejahatan. Kejahatan (jarimah) menurut Abdul Qadir Audah, yakni:
ﻋ ْﻧﮭَﺎ َ ُ اﻟﺟَرَ ا ِﺋ ُم ﻓِﻰ اﻟﺷ َِر ْﯾﻌَ ِﺔ اﻹِ ْﺳﻼَﻣِ ﯾﱠ ِﺔ ِﺑﺄَﻧﱠﮭَﺎ ﻣَﺣْ ظُوْ رَ اتُ ﺷَرْ ِﻋﯾﱠﺔ ٌ زَ ﺟَرَ ﷲ ِﺑ َﺣ ٍّد أو ﺗَﻌ ِْزﯾ ٍْر Artinya: “Jarimah menurut syariat Islam yaitu larangan-larangan syara’2yang diancam oleh Allah dengan hukuman hadd atau ta’zȋr”. 3 Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak melakukan (ommission) suatu perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan. Masalah kejahatan adalah problem manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial dan produk dari masyarakat yang selalu
1
Chuzaimah T. Yanggo, Problema Hukum Islam Kontemporer II, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hal. 76. 2
Syara’ adalah hukum-hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah untuk hambanya, sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an atau dalam bentuk hadits. M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. PustakaFirdaus, 1994), hal. 342. 3
Abdul Qadir Audah, al-Tasyȓi’ al-Jinâî al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad’î, jilid 1, (Misr: al-Qahiran, 2005), hal. 57.
1
2
mengalami perkembangan, bahkan dapat dikatakan bahwa usia kejahatan seumur dengan manusia karena di mana terdapat masyarakat maka disitu terdapat kejahatan4. Khususnya pada kasus perkosaan, pelakunya tidak lagi mengenal status, pangkat, pendidikan, jabatan dan usia korban. Semua ini akan dilakukan apabila mereka merasa terpuaskan hawa nafsunya. Penyebab dari perilaku perkosaan adalah kegagalan dalam perkembangan nilai-nilai moral yang memadai dan rendahnya kontrol
dalam dorongan seksual dan dorongan kebencian. Kasus
perkosaan bisa saja dilakukan oleh penderita schizophrenics atau penderita psikopati.5 Demikian juga dengan usia pelaku yang tidak mengenal batas usia. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anak-anak sampai orang lanjut usia masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan perkosaan. Kejahatan perkosaan benar-benar perbuatan yang keji, karena selain perbuatan ini tidak disenangi oleh masyarakat dan juga keluarga yang menjadi korban. Adapun perbedaan antara hukuman zina dengan hukuman perkosaan adalah bahwa hukuman zina dikenakan kepada kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), sedangkan hukuman perkosaan hanya diberikan kepada pelaku perkosaan saja dan tidak dikenakan kepada korban. Pada masa Nabi Muhammad
4
Koesparmono Irsan, Kejahatan Susila dan Pelecehan dalam Perspektif Kepolisian, (Yogyakarta: Tp, 1995), hal. 85. 5
Sawitri Supardi Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hal. 14.
3
Saw pun pernah terjadi seorang perempuan yang diperkosa. Terhadap kasus ini Rasulullah Saw tidak menjatuhkan hukuman terhadap perempuan itu.6 Menurut Lombroso dalam teori Born Criminal yakni manusia pertama adalah penjahat semenjak lahirnya, ia mengatakan: laki-laki adalah pembunuh, pencuri dan pemerkosa, sedangkan wanita adalah pelacur. Karena peranan sejarah yang sifatnya selektif dan korektif, maka kemudian mereka kehilangan sifat biadabnya dan memperoleh sifat beradabnya, sehingga masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak jahat tetapi ada penjahat.7 Kejahatan tersebut dapat timbul karena pengaruh lingkungan maupun latar belakang kejiwaan yang mempengaruhi tindakan pelaku dimasa lalu maupun karena guncangan psikis spontanitas akibat adanya rangsangan seksual.8 Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada hukuman hadd bagi wanita yang dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang (zina). Dalam hal ini keadaan tersebut dapat digolongkan kepada keadaan darurat.9 Sepanjang tahun 2011, KOMNAS Perlindungan Anak telah mencatat 2.508 kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2010 yakni 2.413 kasus. 1.020 atau setara 62,7 persen dari jumlah angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk
6
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: Alma’arif, 1990), hal. 141.
7
Abdussalam, Kriminologi, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hal. 34-35.
8
Gerson W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, (Jakarta: Pradya Paramita, 1977),
9
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 21.
hal. 22.
4
sodomi, perkosaan, pencabulan serta incest, dan selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis.10 Tingginya
angka
pengaduan
kekerasan
terhadap
anak
tersebut,
menunjukkan tanda bahwa lingkungan anak yang seharusnya menjadi benteng perlindungan anak, saat ini justru menjadi pelaku utamanya. Keluarga atau orangtua yang oleh UU Perlindungan Anak adalah salah satu pilar penanggung jawab perlindungan anak ternyata telah gagal bahkan menjadi pihak yang menakutkan bagi anak. Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak tersebut terjadi justru di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang yang seharusnya melindungi anak, seperti orangtua, paman, guru, bapak/ibu angkat, maupun ayah/ibu tiri. Meskipun jumlah tindak pidana perkosaan masih rendah dibanding dengan tindak pidana lain, akan tetapi perkembangan tindak pidana perkosaan tersebut berkembang dari tahun ke tahun, hal ini dapat dilihat dari berbagai media masa maupun dari lingkungan kehidupan sehari-hari ada tindak pidana perkosaan yang tidak dilansir media masa karena menutup aib, sesuatu hal yang justru sangat mengenaskan yakni tindak pidana perkosaan tersebut dilakukan oleh ayah terhadap anak kandungnya atau disebut juga incest.
10
Arist Merdeka Sirait, Menggugat Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat Dan Orang Tua Dalam Menjaga Dan Melindungi, Artikel di akses dari https://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan akhir tahun 2011 komisi nasional perlindungan anak/, pada tanggal 8 Januari 2015 pukul 22.00.
5
Incest merupakan hubungan seks di antara pria atau wanita di dalam atau di luar ikatan perkawinan dan mereka terkait dalam hubungan keturunan yang dekat sekali. Sebenarnya secara legal dan biologis mereka tidak diizinkan melakukan pernikahan dan melakukan hubungan sanggama. Incest banyak terjadi di kalangan rakyat dari tingkat sosial dan ekonomis yang rendah dan pada orangorang keturunan darah campuran (mixed blood). Perbuatan incest ini disebut pula sebagai peristiwa “penodaan darah”, dan produk tingkah laku incest ini sering kali melahirkan anak-anak yang cacad jasmaniah dan rohaniahnya.11 Berdasarkan permasalahan di atas penulis ingin mengadakan penelitian yang berkenaan dengan “Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Anak Kandung Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam Dan Hukum Positif” (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam masyarakat sering sekali kita melihat dan membaca berita dalam surat kabar dan yang lainnya mengenai tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung yang dilakukan oleh ayah korban sendiri, seperti dalam skripsi ini penulis mengangkat judul tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung dalam pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Oleh karena itu besarnya hukuman harus disesuaikan dengan perbuatan yang dilakukannya, yakni tidak boleh melebihi maupun kurang dari hukuman yang seharusnya.
11
Kartini, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: CV.Mandar Maju, 2009), Hal. 255-256.
6
Untuk itu penulis hanya memfokuskan pada sanksi hukum yang diberikan pada pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung dalam analisis putusan Pengadilan Negeri Makassar menurut perspektif hukum pidana Islam dan hukum positif. Dari masalah pokok di atas dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) sub masalah, yaitu : 1. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam tentang perkosaan yang dilakukan ayah kandung? 2. Bagaimana pandangan hukum positif tentang perkosaan yang dilakukan ayah kandung? 3. Bagaimanakah penjatuhan pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks tentang perkosaan terhadap anak kandung? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum studi ini bertujuan untuk merumuskan dan menjelaskan secara utuh terhadap perkosaan anak kandung dalam hukum pidana Islam dengan pidana khusus di Indonesia, yang berupa Undang-undang Perkosaan dan Undang-undang Hak Perlindungan Anak. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan : a. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana Islam tentang perkosaan yang dilakukan ayah kandung. b. Untuk mengetahui pandangan hukum positif tentang perkosaan yang dilakukan ayah kandung.
7
c. Untuk mengetahui penjatuhan pidana dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks tentang perkosaan yang dilakukan ayah kandung. 2. Manfaat Penelitian Adapun signifikasi penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Hasil penelitian ini diharapkan menambah perbendaharaan keilmuan dalam bidang hukum khususnya kajian mengenai tindak pidana perkosaan anak kandung secara teoritis maupun praktis. b. Memberikan kontribusi positif kepada masyarakat tentang pidana perkosaan anak kandung serta memberikan gambaran yang objektif mengenai sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana perkosaan anak kandung. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan untuk penelitian selanjutnya terkait pandangan hukum pidana Islam dan hukum positif tentang tindak pidana perkosaan anak kandung.
D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu Adapun studi pustaka yang penulis peroleh yaitu berupa skripsi-skripsi maupun karya yang berhubungan dengan judul skripsi yang ingin penulis buat yaitu mengenai tindak pidana perkosaan, diantaranya yakni. Karya USWATUN HASANAH yang bertajuk Tinjauan Hukum Islam Terhadap Upaya Perlindungan Hukum Bagi Korban Perkosaan Dikaitkan dengan
8
Pasal 285 KUHP.12 Dalam skripsi ini hanya membahas tentang perlindungan hukum terhadap korban perkosaan dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif dan penerapan pasal 285 KUHP kaitannya dengan korban perkosaan. Karya BUSTOMI yang berjudul Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam bagi Kejahatan Perkosaan Akibat Gangguan Kejiwaan.13 Dalam skripsi ini hanya memaparkan tentang pelaku kejahatan perkosaan karena gangguan kejiwaan dalam pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif. Karya AHMAD ZARKASIH yang mengusung judul Dampak Pornografi Terhadap Tindak Pidana Perkosaan oleh Anak Di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.14 Dalam skripsi ini hanya memaparkan tentang pengertian tindak pidana perkosaan oleh anak di bawah umur menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif. Sementara perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini yakni mengenai pandangan hukum pidana Islam dan hukum positif terhadap perkosaan yang dilakukan ayah terhadap anak kandungnya sendiri serta menganalisis putusan pengadilan mengenai kasus tersebut menurut perspektif hukum pidana Islam dan hukum positif.
12
Uswatun Hasanah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Upaya Perlindungan Hukum Bagi Korban Perkosaan Dikaitkan dengan Pasal 285 KUHP, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), Skripsi (tidak diterbitkan). 13
Bustomi, Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam bagi Kejahatan Perkosaan Akibat Gangguan Kejiwaan, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), Skripsi (tidak diterbitkan). 14
Ahmad Zarkasih, Dampak Pornografi Terhadap Tindak Pidana Perkosaan oleh Anak Di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005), Skripsi (tidak ditebitkan).
9
E. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh penulis untuk mengumpulkan data penelitian.15 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode, yakni: 1. Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian normatif, yakni suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 16 Sedangkan pendekatan dalam skripsi ini adalah pendekatan kasus (Case Approach). Dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan normanorma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputuskan, sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi objek penelitian. Dengan demikian dapat dikatakan pada dasarnya tugas analisa hukum adalah menganalisa pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum dan berbagai konsep yuridis. Dalam hal ini penerapan analisa hukum normatif yang dapat digunakan
adalah
putusan
Pengadilan
Negeri
Makassar
Nomor
:
1459/Pid/B/2013/PN.Mks. 2. Teknik Pengumpulan Data Adapun sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data primer dan skunder. Data primer yaitu data yang diambil dalam sumber pokok seperti 15
Joko Subagyo, Metodologi Penelitian, Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: PT.Rineka
Cipta, 1994), hal. 2. 16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media), cet. ke-3, hal. 310.
10
Al-Qur’an, Hadist, Undang-undang, KUHP, dan kitab yang berkaitan dengan bahasan penulis. Data sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi yaitu buku-buku dan data-data yang relevan dengan masalah yang penulis bahas dalam skripsi ini. Mengenai teknik pengumpulan data yang penulis pergunakan adalah menggunakan bahan dokumen yang tertulis dalam bentuk buku-buku, salinan putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor : 1459/Pid/B/2013/PN.Mks yang hasilnya berupa kutipan dan catatan. 3. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dalam bentuk perbandingan hukum. Dalam penelitian ini, penulis membandingkan antara tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung dalam hukum pidana Islam dengan tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung dalam hukum positif khususnya yang ada dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor : 1459/Pid/B/2013/PN.Mks. 4. Teknik Penulisan Dalam tehnik penulisan, penulis mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2012.
11
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab Pertama bertajuk “Pendahuluan”. Di dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian ini, yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka/penelitian terdahulu, (5) metode penelitian, (6) sistematika pembahasan. Bab Kedua berjudul “Deskripsi Umum Tentang Tindak Pidana”. Bab ini menyajikan uraian mengenai tindak pidana, yang terdiri dari 4 (empat) sub-bab yaitu (1) tindak pidana positif dan pidana Islam, (2) pembagian hukum pidana (3) tindak pidana perkosaan, dan (4) faktor penyebab tindak pidana perkosaan dalam Islam. Bab Ketiga bertajuk “Tindak Pidana Perkosaan Anak Kandung dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif”. Dalam bab ini diuraikan mengenai bagaimana perspektif hukum pidana islam dan hukum positif terhadap tindak pidana perkosaan anak kandung. Bab ini meyajikan (4) empat sub-bab, yaitu (1) pengertian anak dan hak-hak anak, (2) persetubuhan sesama mahram, (3) hukuman perkosaan terhadap anak di bawah umur dalam hukum positif, dan (4) hukuman perkosaan dalam hukum pidana Islam Bab Keempat berjudul “Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks”. Dalam bab ini diuraikan tentang deskripsi putusan Pengadilan Negeri Makassar. Komposisi dari bab ini terdiri dari (3) tiga sub-bab, yaitu (1) duduk perkara, yang didalamnya memuat
12
kronologis/peristiwa kejadian, dakwaan, putusan hakim dan pertimbangan putusan hakim, (2) analisis hukum pidana Islam terhadap putusan pengadilan negeri Makassar Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks; dan (3) analisis hukum positif terhadap putusan Pengadilan Negeri Makassar. Bab Kelima berjudul “Penutup”. Bab ini merupakan bab penutup dari hasil penelitian tersebut, yang di dalamnya terdiri dari 2 (dua) sub-bab, yaitu (1) kesimpulan, dan (2) saran-saran.
BAB II DESKRIPSI UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Tindak Pidana Positif dan Pidana Islam Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Istilah ini terdapat dalam Wetboek van Strafrecht Belanda, tetapi tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit.1 Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Menurut Hakristuti Hakrisnowo, tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku tindakan yang membawa konsekuensi sanksi hukuman pidana pada siapapun yang melakukannya. Oleh karena itu, tidak sulit di pahami bahwa tindakan semacam ini layaknya dikaitkan dengan nilai-nilai mendasar yang dipercaya dan dianut oleh suatu kelompok masyarakat pada suatu perbedaan tempat dan waktu tertentu. Tidak mengherankan bahwa perbedaan ruang tempat dan waktu juga akan memberikan perbedaan pada perumusan sejumlah tindak pidana.2
1
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.67.
2
Hakristuti Hakrisnowo, Tndak Pidana Kesusilaan dalam perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dalam Pandangan Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hal. 179.
13
14
Sedangkan Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Moeljatno berpendapat “Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan”. 3 Hazewinkel Suringa seperti dikutip oleh Lamintang mengartikan Strafbaar feit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. Dalam buku yang sama Profesor Pompe menyebutkan bahwa Strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.4
Secara bahasa hukum pidana dalam Islam berasal dari
3 4
(ﺟَرْ ﻣًﺎ-ﯾَﺟْ ِر ُم-)ﺟَرَ َم
artinya
disebut dengan
اﻟذ ﱠﻧْبُ وَ ا ْﻟ َﺧطَﺎ ُء
ٌﺟ َِر ْﯾ َﻣﺔ
yang
artinya perbuatan dosa,
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 56.
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 181-182.
15
perbuatan salah atau kejahatan.5 Abdul Qadir Audah mengatakan, yang dimaksud dengan kata jarimah, yakni:
ﻋ ْﻧﮭَﺎ ِﺑ َﺣ ٍّد َ ُاﻟﺟَرَ ا ِﺋ ُم ﻓِﻰ اﻟﺷ َِر ْﯾﻌَ ِﺔ اﻹِ ْﺳﻼَﻣِ ﯾﱠ ِﺔ ِﺑﺄَﻧﱠﮭَﺎ ﻣَﺣْ ظُوْ رَ اتُ ﺷَرْ ِﻋﯾﱠﺔ ٌ زَ ﺟَرَ ﷲ 6
.أو ﺗَﻌ ِْزﯾ ِْر
“Jarimah menurut syariat Islam yaitu larangan-larangan syara’7 yang diancam oleh Allah dengan hukuman hadd atau ta’zȋr”.
Dalam pengertian di atas, penggunaan kata larangan adakalanya berupa
mengerjakan
perbuatan
yang
dilarang
atau
mengabaikan
perbuatan
yang
diperintahkan.8 Melakukan perbuatan yang dilarang, misalnya seseorang memukul orang lain dengan benda tajam yang akhirnya mengakibatkan orang lain itu terluka atau tewas, sedangkan contoh jarimah berupa meninggalkan yang diperintahkan seperti seorang suami yang tidak memberi nafkah bagi keluarganya atau orang tua yang tidak memberi makan anaknya yang masih kecil.
5
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 186-187. Abdul Qadir Audah, al-Tasyȓi’ al-Jinâî al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad’î, (Mishr: al-Qahirah, 2005), jilid.1, hal. 57 6
7
Syara’ adalah hukum-hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah untuk hambanya, sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an atau dalam bentuk hadits. M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), hal. 342. 8
hal. 57
Abdul Qadir Audah, al-Tasyȓi’ al-Jinâî al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad’î, jilid 1,
16
Dengan demikian penggunaan kata syara’ pada pengertian diatas dapat dipastikan bahwa suatu perbuatan baru dapat dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara’.9 Ahmad Hanafi menambahkan dalam bukunya bahwa suatu perbuatan dapat dianggap jarimah apabila dapat merugikan tata aturan masyarakat, kepercayaankepercayaan, atau merugikan kehidupan anggota-anggota masyarakat, baik harta bendanya, nama baiknya atau perasaan-perasaannya atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara.10 Sedangkan kata jinayah merupakan bentuk masdar dari kata -ﺟﻧَﻰ – ﯾَﺟْ ﻧِﻰ َ
ً ﺟِ ﻧَﺎﯾَﺔyang mengandung arti berbuat dosa atau berbuat jahat.11 Kata jinayah dapat juga diartikan dengan memetik, memotong, mengambil atau memungut. 12 Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadits.13 Sebagian fukaha berpendapat bahwa yang dimaksud jinayah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ mengenai jiwa dan anggota badannya, yaitu pembunuhan, pelukan, pemukulan, penjerumusan. Sebagian fukaha lain 9
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet ke-2,
hal. 9. 10
Ibid, hal. 11.
11
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, hal. 216.
12
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, (Mishr: al-Qahirah, 2000), hal. 323.
13
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), hal.86.
17
mengatakan bahwa jinayah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ mengenai jarimah hudûd dan qisas diat.14 B. Pembagian Hukum Pidana Pada sub bab sebelumnya penulis telah menjelaskan pengertian pidana positif serta perbedaan hukum antara jinayah dan jarimah. Pada sub bab ini penulis akan menjelaskan hukum pidana di Indonesia serta macam-macam jinayah dan jarimah. Hukum pidana di Indonesia terbagi menjadi dua kategori, yaitu hukum pidana umum yang menggunakan KUHP dan Hukum Pidana Khusus yang secara khusus mempunyai kedudukan atau peraturan hukum tersendiri. Hukum pidana umum (ius commure) adalah ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku secara umum bagi semua orang. Akan tetapi ditinjau dari sudut pengkodifikasian, maka KUHP disebut juga sebagai hukum pidana umum diperbandingkan dengan perundang-undangan hukum pidananya yang tersebar. Hukum pidana khusus adalah karena pengaturan secara khusus yang adakalanya bertitik berat kepada kekhususan suatu golongan tertentu atau suatu tindakan tertentu seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi dan lain sebagainya. Titik berat kekhususan adakalanya pada acara penyelesaian suatu perkara biasanya perkara kakap atau yang dilakukan oleh kakap, seperti misalnya tokoh-tokoh pelaku kejahatan terhadap keamanan negara.15 Bisa saja ketentuan-ketentuan itu 14 15
Marsum, Jinayah, (Yogyakarta: Universitas Indonesia Press, 1978), hal.1-2.
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996), hal. 25.
18
ditemukan dalam KUHP tapi karena lemahnya ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP tersebut maka oleh yang berwenang dikeluarkan atau dibuat sendiri ketentuan diluar KUHP, contohnya dalam kasus perkosaan terhadap anak kandung yang menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini yang secara rinci tidak diatur dalam KUHP maka dalam kasus tersebut pelaku akan di adili dengan menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam hukum pidanaIslam macam-macam jarimah (tindak pidana) dapat dikategorikan kedalam tiga bagian, yaitu: 1. Jarimah Hudûd Secara etimologis kata hudûd merupakan bentuk jamak dari kata hadda, yahuddu, haddan/hadadan16 yang artinya al man’u (larangan atau pencegahan).17 Sementara itu, Imam Nawawi mengartikan hadd secara bahasa ialah penghalang, dengan begitu hadd secara syara berfungsi untuk menghalang-halangi pelaku tindak pidana agar pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatan yang telah dilakukannya.18 Abdul Qadir Audah menegaskan dalam kitabnya, bahwa hadd adalah: 19
.ﺗَﻌَﺎ َل
ُ اﻟ َﺣد ﱡ ھُوَ اﻟﻌُﻘُوﺑَﺔ ُ اﻟ ُﻣﻘَد ﱠرَ ة
16
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, hal. 242.
17
Imam Taqiyyuddin Abu Bakar, Kifâyah al-Akhyâr, (T.tp: al-Haramain, 2005), juz II, hal.
178. 18
Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, (Mishr: Mathba’ah al-Ahram, t.th), jilid.18, hal. 239. 19
hal. 68.
Abdul Qadir Audah, al-Tasyȓi’ al-Jinâî al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad’î, jilid.1,
19
Hadd adalah sanksi yang telah ditentukan secara syara’. Dengan demikian, hadd atau hudûd mencakup seluruh atau semua jarimah, baik hudûd itu sendiri, qisas maupun diat, karena sanksi pada keseluruhannya itu telah ditentukan secara syara’.20 Berbeda halnya dengan yang dijelaskan oleh Sayyid Sabiq. Beliau menjelaskan bahwa hudûd ialah sanksi yang telah ditetapkan untuk melaksanankan hak Allah. Oleh karena itu, menurutnya, ta’zȋr dan qisas tidak termasuk kedalam hudûd, karena ta’zȋr itu keputusannya diambil dari pendapat hakim setempat, sedangkan qisas merupakan hak sesama manusia dalam menuntut balas dan keadilan. 21 Dari perbedaan-perbedaan diatas, dapat kita simpulkan bahwa ciri dari jarimah hudûd, yaitu: 1) Hukumannya tertentu dan terbatas, artinya hukumannya itu hanya yang telah ditetapkan oleh syara serta tidak ada batas maksimal dan minimal. 2) Hukuman tersebut hanya hak Allah semata, atau kalau ada hak manusia, maka hak Allah yang lebih ditonjolkan. Mengenai pembagian hudûd, para ulama berbeda pendapat mengenai pengelompokannya. Ulama Syafi’iyyah menyebutkan ada 7 (tujuh) macam, yakni
20
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 14.
21
Ibid, hal. 14-15.
20
al-Jarȃh (pelukaan), al-qisas fȋ al-nafsi (pembunuhan), al-atrȃf (pelukaan), al-
diyyat (ganti rugi), al-bagyȗ (pemberontakan), al-riddah (murtad), al-zinȃ (zina), al-qadzf (menuduh zina), qath’u al-sirqah (pencurian) dan al-asyrabah al-
muharramah (minuman yang diharamkan). Imam Al-Mawardi membagi 2 (dua) jenis pembagian hudûd, yaitu: a. Hudûd yang termasuk hak Allah Hudûd yang termasuk hak Allah ini adalah semua jenis sanksi yang wajib diberlakukan kepada pelaku karena ia meninggalkan semua hal yang difardhukan, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. b. Hudûd yang termasuk hak manusia Hudûd yang termasuk hak manusia adalah semua jenis sanksi yang diberlakukan kepada seseorang karena ia melanggar larangan Allah, seperti berzina, mencuri dan meminum khamer.22 Sementara, dari jenis hudûd yang kedua ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, hudûd yang merupakan hak Allah, seperti hudûd atas jarimah zina, minum-minuman keras, pencurian dan pemberontakan. Kedua, hudûd yang merupakan hak manusia seperti hadd qadzf dan qisas.23
22 23
Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkȃm al-Sulthȏniyyah, (Beirut: Dâr el-Fikr), hal. 221-222. Ibid, hal. 223.
21
2. Jarimah Qisas Secara etimologis qisas berasal dari kata ﺼﺼًﺎ َ َ ﻗ- ﯾَﻘُﺺﱡ- ﻗَﺺﱠyang berarti
ُ( ﺗ َﺘ ﱠﺒَﻌَﮫmengikuti).24 Adapun arti qisas secara terminologis yang dikemukakan oleh Al-Jurjani, bahwa qisas itu ialah mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada para pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (korban).25 Qisas juga bermakna hukum balas (yang adil) atau pembalasan yang sama yang telah dilakukan. Si pembunuh harus direnggut nyawanya sebagaimana dia merenggut nyawa korbannya.26 Sementara itu dalam al-Mu’jam al-Wasit sebagaimana dikutip oleh M. Nurul Irfan bahwa qisas itu diartikan dengan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh. 27 Namun demikian dalam jarimah ini mengenal adanya istilah maaf, sehingga seseorang dapat tidak mendapatkan hukuman jika pihak korban telah memaafkannya.28
24
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, hal. 1126.
25
M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hal. 4; Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitâb al-Ta’rȋfât, hal. 176. 26
Abdurrahman. Doi, Syariah the Islamic Law, terj. Wadi Masturi dan Basri Iba Asghari, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hal. 24-25. 27
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, hal. 4; Lihat juga Ibrahim Anis, dkk., al-Mu’jam al-Wasit, (Mishr: Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972), hal. 740. 28
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, hal. 16.
22
Hukuman qisas dibagi menjadi dua macam, yaitu; pertama, qisas karena melakukan jarimah pembunuhan. Kedua, qisas karena melakukan jarimah penganiayaan.29 3. Jarȋmah Ta’zȋr Kata ta’zȋr merupakan bentuk mashdar dari kata ‘azzara, yu’ziru, ta’zȋran,
yang secara etimologis berarti al-raddu wa al-man’u, yaitu menolak dan
mencegah.30 Menurut terminologis, ta’zȋr adalah hukuman atas dosa-dosa yang tidak diatur oleh hudûd. Status hukumnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan dosa dan pelakunya. Ta’zȋr sama dengan hudûd dari satu sisi, yaitu sebagai pengajaran kesejahteraan dan untuk melaksanakan ancaman yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan dosa yang dikerjakan.31 Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa ta’zȋr ialah hukuman yang tidak diatur oleh hudûd dan merupakan jenis sanksi yang diberlakukan karena melakukan beberapa tindak pidana yang oleh syari’at tidak ditentukan dengan sebuah sanksi hukuman tertentu.32 Sementara itu, dalam kitab al-Ta’zȋr fȋ al-Syarȋah al-Islȃmiyyah
menyatakan bahwa ta’zȋr adalah sanksi yang tidak ada ketentuannya. Hukumnya wajib sebagai hak Allah atau manusia karena melakukan kemaksiatan yang tidak 29
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, hal. 5.
30
Ibrahim Anis, dkk., al-Mu’jam al-Wasit, hal. 598.
31
Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkȃm al-Sulthȏniyyah, hal. 236.
M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah,hal. 138; Abdul Qadir Audah, al-Tasyȓi’ alJinâî al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad’î, jilid.1, hal. 69. 32
23
termasuk kedalam sanksi hadd dan kafarat. Ta’zȋr sama dengan hudûd dalam hal fungsi, yaitu sebagai pengajaran kesejahteraan dan sebagai ancaman. 33 Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ta’zȋr ialah sanksi yang diberlakukan terhadap pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, dan ta’zȋr itu sendiri tidak termasuk dalam kategori hukuman hudûd atau kafarat. Karena ta’zȋr tidak ditentukan secara langsung oleh nash, maka hal ini menjadi ranah bagi para penguasa atau hakim setempat. Oleh sebab itu dalam hal memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta’zȋr, hakim atau penguasa harus tetap memperhatikan petunjuk baik dalam Al-Qur’an maupun hadits secara terperinci dan teliti. Ciri-ciri jarimah ta’zȋr adalah hukumannya belum ditentukan oleh syaradan ada batas maksimal dan minimalnya. Kemudian, penentuan hukuman tersebut diserahkan kepada pemerintah.34
C. Tindak Pidana Perkosaan Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi.35 Pada zaman dahulu perkosaan adalah
33
hal. 52. 34 35
Abdul Aziz Amir, al-Ta’zȋr fȋ al-Syarȋah al-Islȃmiyyah, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1954), Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hal. 12.
Haryanto, Dampak sosio-psikologis korban tindak perkosaan terhadap wanita, (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada, 1997) dalam ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, Dampak Sosial Psikologi Perkosaan, (Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002), hal.3.
24
suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum.36 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerwadarminta, pengertian perkosaan dilihat dari asal kata yang dapat diuraikan sebagai berikut:37 1. Perkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa. 2. Memperkosa : a. Menundukan dan sebagainya dengan kekerasan; b. Melanggar dan menyerangdengan kekerasan. 3. Perkosaan : a. Perbuatan memperkosa, penggagahan dengan paksaan; b. Pelanggaran dengan kekerasan. Kata perkosaan sebagai terjemahan dari aslinya (Belanda) “verkarchting” yakni perkosaan untuk bersetubuh, oleh karena itu menurut beliau kualifikasi yang tepat untuk Pasal 285 KUHP ini adalah perkosaan untuk bersetubuh. Apabila rumusan perkosaan ini dirinci terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:38
36
Wignjosoebroto, Kejahatan Perkosaan Telaah Teoritik dari Sudut Tinjau Ilmu-Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 1997), hal. 4. 37
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1984), hal. 741. 38
Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), hal. 63.
25
1. Perbuatanya: memaksa 2. Caranya: a. Dengan kekerasan; b. Ancaman kekerasan. 3. Objek: seorang perempuan bukan istrinya. 4. Bersetubuh dengan dia . Menurut Soetandyo Wingnjosoebroto bahwa “perkosaan” adalah suatu usaha melampiaskan hawa nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan hukum yang berlaku adalah melanggar hukum. 39 Nursyahbani Kantjasungkana, berpendapat bahwa perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan
terhadap
kepentingan
laki-laki.40
Lalu
Wirdjono
Prodjodikoro,
mengungkapkan bahwa perkosaan yakni seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.41 Back’s Law Dictionary, yang dikutip oleh Topo Santoso, merumuskan perkosaan atau rape yakni hubungan seksual yang melawan hukum dengan seorang 39
Eko Prasetyo, Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset, 1997), hal. 25. 40
Abdul Wahid, Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,
Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hal. 65. 41
Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung:Eresco, 1986), hal. 117.
26
perempuan tanpa persetujuannya, persetubuhan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-laki dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya, tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya dilakukan ketika perlawanan perempuan tersebut diatasi dengan kekuatan dan ketakutan atau di bawah keadaan penghalang.” 42 Walaupun di dalam rumusanya, Pasal 285 KUHP tidak mensyaratkan adanya unsur kesengajaan akan tetapi dicantumkan unsur “memaksa” maka tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang telah diketahui dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja maka dengan sendirinya kesengajaan itu harus dibuktikan oleh penuntut umum atau hakim di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku bahwa telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam pasal KUHP.43 Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekankan kehendak orang lain itu agar orang lain itu tadi menerima kehendak orang yang menekan atau dengan kehendaknya sendiri.44 Ada beberapa macam tipe perkosaan yang dikenal, hal ini juga dapat menggambarkan alasan-alasan dilakukannya perkosaan terhadap perempuan:45 42
Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO, 1997), hal. 17.
43
P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus, Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 109. 44
Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, hal. 63.
27
1. Sadistic Rape Dalam jenis ini seksualitas dan agresi bercampur menjadi satu rasa geram dan kekejaman, serta tindakan-tindakan merusak 2. Anger Rape Adalah penyerangan seksual di mana seksualitas menjadi sarana untuk mengekspresikan dan melaksanakan hasrat kemarahan yang tertahan, dan ini ditandai dengan kebrutalan secara fisik. 3. Domination Rape Motif dari pemerkosa adalah untuk mendemonstrasikan kekuatannya dan kekuasaannya atas si korban. 4. Seduction-turned Intor-rape Penyerangan seksual timbul dalam situasi menggairahkan yang “diterima” tetapi di mana korban memutuskan atau sebelumnya telah memutuskan bahwa keitiman pribadi akan dihentikan segera sesudah “coitus”. 5. Exploitation Rape Merujuk pada suatu tipe di mana si pria memperoleh keuntungan dari mudah diserangnya si perempuan karena perempuan tersebut tergantung
45
Steven Box, Power, Crime and Mystification (New York: Tavistock Publication,1983; p. 127-129. Dalam, Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, (Jakarta: IND. HILL-CO, 1997), hal. 17.
28
secara ekonomi atau bantuan sosial, atau karena kurangnya perlindungan hukum bagi si perempuan. Berdasarkan kelima tipe perkosaan tersebut di atas, tiga dari kelima tipe tersebut menggambarkan bahwa perkosaan dilakukan sebagai pelampiasan dari rasa marah, kekejaman, kegeraman, dan penunjukkan kekuatan dari pelakunya. 46 Didalam hukum pidana Islam jangankan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, bersetubuh di luar pernikahan saja sudah tergolong hudûd zina, apalagi disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dalam hal perkosaan ini tidak ada bedanya antara perkosaan yang dilakukan dengan jalan memakai kekuatan dan perkosaan yang dilakukan dengan jalan menakut-nakuti dengan ancaman. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai kedua jenis perkosaan itu. Hanya saja yang menjadi perbedaan pendapat dalam hal mas kawin bagi perempuan yang diperkosa.47 Menurut Abdul Qadir Audah, yang dikutip dalam kitabnya Al-Tasyȓi’ al-Jinâî
al-Islâmî perkosaan adalah tidak pidana yang diancam hukumaan hadd karena dapat
diartikan sebagai perbuatan zina. Menurut Ulama Hanafiyah mendefinisikan zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang yang diberlakukan padanya hukum Islam, 46
Steven Box, Power, Crime and Mytification, (New York: Tavistock Publications, 1983), hal. 127-129. Dalam, Topo Santoso, Seksualitas dan hukum Pidana, (Jakarta: IND-HLLCO, 1997), hal. 22-23. 47
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Bandung : PT. al-Ma’arif, 1990), hal. 141.
29
dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya, sedangkan menurut ulama Malikiyah, yang dimaksud dengan zina adalah hubungan senggama yang dilakukan oleh orang mukalaf terhadap farji wanita yang bukan haknya dengan kesengajaan.48 Perkosaan dalam Islam memang tidak diatur secara detail dalam Al-Qur’an, namun para ulama telah sepakat bahwa pelaku perkosaan dikenakan hukuman hadd dan tidak ada hukuman hadd bagi wanita yang diperkosa karena hal ini adalah zina dengan pemaksaan, sementara secara bahasa adalah membawa orang kepada sesuatu yang tidak disukainya secara paksa, sedangkan menurut fukaha adalah menggiring orang lain untuk berbuat sesuatu yang tidak disukainya dan tidak ada pilihan baginya untuk meninggalkan perbuatan tersebut. 49 Dimana keadaan tersebut dapat digolongkan kepada keadaan darurat, yaitu seorang wanita yang menjadi korban dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang. Dengan demikian korban tidak dikenai hukuman atau dengan kata lain terlepas dari pertanggungjawaban pidana.50 Sebagaimana firman Allah:
... ِِﺎﻹﯾﻣَﺎن ِ ْ ط َﻣ ِﺋ ﱞن ﺑ ْ … إ ﱠِﻻ ﻣَنْ أُﻛ ِْرهَ وَ ﻗَ ْﻠﺑُﮫ ُ ُﻣ
48
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar grafika, 2005), cet. Ke-2,
49
Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, (Dmasq: Dâr al-Fikr, 1984), Juz. V,
50
A, Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1962), cet. Ke-3, hal. 56.
hal.6-7. hal. 386.
30
Artinya: kecuali orang-orang yang dipaksa padahal hatinya tetap beriman. (QS. An- Nahl: 106).
D. Faktor Penyebab Tindak Pidana Perkosaan dalam Islam Dalam Islam perkosaan sudah jelas-jelas dilarang baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist Nabi Muhammad Saw. Faktor utama terjadinya perkosaan adalah tidak mampunya seseorang menahan nafsu syahwatnya terhadap perempuan. Sebagaimana disebutkan dalam bahasa Arab syahwat berasal dari kata -ﯾﺸﮭﻰ-ﺷﮭﻰ
ﺷﮭﻮةmengandung arti menyukai atau menyenangi. Jika hubungkan dengan manusia artinya kerinduan nafsu terhadap apa yang dikehendakinya, اﻟﻰ ﻣﺎ ﺗﺮﯾﺪﺗﺰوع.51 Dalam Al-Qur’an syahwat terkadang dimaksud untuk menyebut objek yang diinginkan seperti yang dimaksud surat Ali Imron ayat 14:
َت ﻣِ نَ اﻟ ِﻧّﺳَﺎءِ وَ ا ْﻟﺑَ ِﻧﯾْنَ وَ ا ْﻟﻘَﻧَﺎطِ ِر ا ْﻟ ُﻣﻘَ ْﻧطَرَ ِة ﻣِ ن ِ ﱠﺎس ﺣُبﱡ اﻟﺷﱠﮭَوَ ا ِ زُ ﯾِّنَ ﻟِﻠﻧ ُث ذَﻟِكَ َﻣﺗَﺎعُ ا ْﻟ َﺣﯾَﺎة ُ اﻟد ﱡ ْﻧﯾَﺎ وَ ﷲ ِ ْﺿ ِﺔ وَ ا ْﻟ َﺧ ْﯾ ِل ا ْﻟ ُﻣﺳَوﱠ ِة وَ ْاﻷ َ ْﻧﻌَﺎمِ وَ ا ْﻟﺣَر ب وَ ا ْﻟ ِﻔ ﱠ ِ اﻟذ ﱠ َھ ب ِ ِﻋ ْﻧدَه ُ ُﺣ ْﺳ ُن ا ْﻟ َﻣﺋَﺎ Artinya : Dijadikan rasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Q.S Ali-Imran :14)
51
Ar-Raghib al-Ashifani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Quran, (Beirut: Dâr al-Fikr), hal. 22.
31
Bahwa Allah memberikan potensi syahwat kepada kaum laki-laki untuk menyukai perempuan. Allah memberikan rasa cinta pertama kepada wanita untuk menciptakan kecintaan kepada arah selanjutnya yaitu anakanak mereka yang dilahirkannya. Maka dengan begitu laki-laki dan perempuan akan mengikat kebahagiaan ini. Terkadang menyebut potensi keingingan manusia seperti tercantum dalam surat Maryam ayat 59 yakni:
َﻓَ َﺧﻠَفَ ﻣِ نْ َﺑ ْﻌ ِد ِھ ْم َﺧﻠْفٌ أَﺿَﺎﻋُوْ ا اﻟﺻ َﱠﻼةَ وَ اﺗﱠﺑَﻌُوْ ا اﻟﺷﱠﮭَوَ اتَ ﻓَﺳَوْ ف
Artinya : Kemudian datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti keinginganannya, maka mereka kelak akan tersesat. (Q.S Maryam :59)
Dalam ayat ini menceritakan bahwa ada satu generasi sesudah para Nabi yang bertingkah laku meninggalkan shalat dan mengikuti syahwatnya. Para mufassir memahami syahwat dalam ayat ini sebagai potensi manusia untuk mengikuti dorongan syahwatnya, yakni mendahulukan dorongan syahwatnya daripada mematuhi perintah Tuhan.52
52
Ahmad Mustafa Maragy, Tafsir al Maragy, (Beirut: Dâr al-Ihya at Turas al-Arabiyah, 1985) hal. 66-67.
32
Karunia Allah berupa hawa nafsu sering kali tidak dapat dikendalikan dan justru malah berakibat merugikan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Allah SWT juga menghendaki agar manusia mau mengendalikan hawa nafsu dengan akalnya agar tidak terjadi suatu kejahatan atau perbuatan buruk, contohnya seperti tindak pidana perkosaan. Selain hawa nafsu yang menjadi faktor penyebab tindak pidana perkosaan, adapun beberapa faktor lainnya, yakni:53 a. Faktor psikis dan kejiwaan Menurut seksolog Naek L. Thobing, faktor kejiwaan ini biasanya merupakan refleksi dari terkombinasinya beberapa unsur dari pelaku secara bersama, yakni: 1) Unsur Anger (amarah) Amarah biasanya menimbulkan rasa dendam, maka seseorang sering kali melakukan pembalasan dengan balas dendam yang menyakitkan yaitu dengan cara memperkosa atau melakukan pencabulan dan lain-lain. 2) Unsur Power (kekuatan) Penggunaan unsur kekuatan dalam kejahatan ini dapat terjadi di karenakan adanya hubungan (relasi) yang tidak seimbang. Hal ini dapat terjadi karena adanya perasaan tertekan atau stress pada pelaku. 53
Abdul Wahid, Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2001), cet. Ke-1, hal. 66-67.
33
Faktor kejahatan ini terjadi karena pelaku menjadi gambaran sosok manusia yang gagal mengendalikan emosi dan naluri seksualnya.
3) Unsur Pedophilia (penyuka seks terhadap anak-anak) Secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu tindakan pelampiasan nafsu seksual dengan menjadikan anak-anak sebagai sasaran dari tindakan itu.
BAB III TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK KANDUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Anak dan Hak-Hak Anak Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa. 1 Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1990 bertempat di New York menyelenggarakan Convention on the Rights of the Childs (CRC), di antara hasil-hasilnya menyatakan bahwa; Anak adalah setiap orang di bawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Di dalam Al-Qur’an, anak sering disebutkan dengan kata walad-awlad yang berarti anak yang dilahirkan orangtuanya, laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Karenanya jika anak belum lahir belum dapat disebut
1
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet-2
hal.30.
34
35
al-walad atau al-mawlud, tetapi disebut al-janin yang berarti al-mastur (tertutup) dan al-khafy (tersembunyi) didalam rahim ibu.2 Kata al-walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan, sehingga kata al-walid dan al-walidah diartikan sebagai ayah dan ibu kandung. Berbeda dengan kata ibn yang tidak mesti menunjukkan hubungan keturunan dan kata ab tidak berarti ayah kandung. Selain itu, Al-Qur’an juga menggunakan istilah thif (kanak-kanak) dan ghulam (muda remaja) kepada anak, yang menyiratkan fase perkembangan anak yang perlu dicermati dan diwaspadai orang tua, jika ada gejala kurang baik dapat diberikan terapi sebelum terlambat, apalagi fase ghulam (remaja) dimana anak mengalami puber, krisis identitas dan transisi menuju dewasa. Adapaun kedudukan/status anak adalah anak kandung, anak angkat, dan anak tiri masing-masing anak tersebut mendapat perhatian khusus yang menentukan kedudukan/statusnya, baik dalam keturunan dan kewarisan, maupun perwalian. a. Anak Kandung Anak kandung dapat juga dikatakan anak yang sah, pengertianya adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ibu dan bapaknya. Dalam hukum positf dinyatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.3 2
Lois Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: al-Mathba’ah al-Katsolikiyyah, T.th), hal 99 dan 1019.
3
Lihat Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan lihat Pasal
9 huruf a intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 191 tentang perkawinan.
36
Dalam pandangan hukum pidana Islam, ada empat syarat supaya nasab anak itu diangap sah, yaitu : 1) Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang dikawini secara sah maka anak tersebut adalah anak sah.4 2) Tengang waktu kelahiran dengan pelaksanan perkawinan sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fukaha) sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan. 3) Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang-panjangnya kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam. 4) Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang lakilaki ragu tentang batas minimal atau batas maksimal kehamilan terlampaui maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh isterinya dengan cara li’an.5 Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya, orangtua berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup, pendidikan yang cukup,
4
Lihat Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan lihat Pasal 99 huruf a intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang perkawinan. 5
H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama, (Medan: Pustaka Bangsa Pres,), hal. 203, dan 102.
37
memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus keturunanya.6 Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang membutuhkan pembelajaran, hidupnya tergantung kepada adanya pihak yang bertanggung jawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling dekat dengan anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya. Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, ia tidak wajib menafkahi anaknya yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri. Seorang ayah yang mampu akan tetapi tidak memberi nafkah kepada anaknya padahal anaknya sedang membutuhkan, dapat dipaksa oleh hakim atau dipenjarakan sampai ia bersedia menunaikan kewajibannya. Seorang ayah yang menunggak nafkah anaknya tetapi ternyata anaknya tidak sedang membutuhkan
6
H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama, (Medan: Pustaka Bangsa Pres, 2003), hal. 103.
38
nafkah dari ayahnya maka hak nafkahnya gugur, karena si anak dalam memenuhi kebutuhan selama ayahnya menunggak tidak sampai berhutang karena ia mampu membiayai diri sendiri, akan tetapi jika anak tidak mempunyai dana sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhannya ia harus berhutang maka si ayah dianggap berhutang nafkah yang belum dibayarkan kepada anaknya.7 Di sisi lain, pada (Pasal 46) si anak wajib menghormati orangtuanya dan wajib mentaati kehendak dan keinginan yang baik orangtuanya, dan jika anak sudah dewasa ia mengemban kewajiban memelihara orangtua serta karib kerabatnya yang memerlukan bantuan sesuai kemampuannya.8 b. Anak Angkat Anak angkat dalam hukum Islam, dapat dipahami dari maksud firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 yang menyatakan :
َزو َﺟﻛُ ُم اﻟﱣﺋﻰ ﺗ ُظٰ ﮭِرُ ونَ ﻣِ ﻧ ُﮭ ﱠن ٰ ﻣَﺎ َﺟ َﻌ َل ﷲُ ﻟِرَ ُﺟ ٍل ﻣِ ن ﻗَﻠﺑَﯾنِ ﻓﻰ ﺟَو ِﻓ ِﮫ ۚ وَ ﻣَﺎ َﺟﻌَ َل أ ۖ أُﻣﱠﮭٰ ِﺗﻛُم ۚ وَ ﻣﺎ َﺟﻌَ َل أَدﻋِﯾﺎ َءﻛُم أَﺑﻧﺎ َءﻛُم ۚ ٰذ ِﻟﻛُم ﻗَوﻟُﻛُم ِﺑﺄ َٰﻓو ِھﻛُم ﻓَﺈِن ﻟَم ﺗَﻌﻠَﻣوا ءاﺑﺎ َءھُم
﴾ ادﻋوھُم ِﻷ٤﴿ ﯾَﮭدِى اﻟﺳﱠﺑﯾ َل
ح ﻓﯾﻣﺎ أَﺧطَﺄﺗ ُم ِﺑ ِﮫ وَ ﻟٰ ﻛِن ﻣﺎ ﺗَ َﻌ ﱠﻣدَت ٌ ﻋﻠَﯾﻛُم ﺟُﻧﺎ َ َﯾس َ ِﺧوﻧُﻛُم ﻓِﻰ اﻟد ّﯾنِ وَ ﻣ َٰوﻟﯾﻛُم ۚ وَ ﻟ ٰ ﻓَﺈ ﴾٥ ﴿
7
ۚ ﻗُﻠوﺑُﻛُم
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), cet-2, hal. 157-163. 8
UU No.1 Tahun 1974 tentang pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
39
Artinya: “Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanya perkatanmu dimulutmu saja. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka”. Pengertian anak angkat dalam hukum Islam adalah yang yang dalam pemeliharan untuk hidupnya sehari-hari biaya pendidikan dan sebagainya beralih tangung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Dengan adanya pengangkatan anak, maka anak angkat itu tidak mengakibatkan berubahnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orangtua angkatnya baik dalam hubungan keturunan/darah maupun dalam hubungan muhrim. Sehinga status anak angkat terhadap harta peningalan orang tua angkatnya ia tidak mewarisi tetapi memperolehnya melalui wasiat dari orang tua angkatnya, apabila anak angkat tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.9 Dalam hukum Islam, lembaga (peraturan) pengangkatan anak, anak angkat itu tidak mempunyai hubungan darah antara orang tua angkat dengan anak angkatnya. Hal ini berarti bahwa di dalam hukum Islam anak angkat tidak dijadikan dasar mewarisi, karena prinsip dasar untuk mewarisi adalah hubungan
9
Islam.
Lihat Pasal 209 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 191 tentang Kompilasi Hukum
40
darah dan perkawinan, demikian juga pengangkatan anak tidak mengakibatkan halangan untuk melangsungkan perkawinan. Sementara pengertian anak angkat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak :“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggunng jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”. Menurut Surojo Wignodipuro, anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarganya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orangtua yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orangtua dengan anak kandung sendiri.10 c. Anak tiri Mengenai anak tiri ini dapat terjadi apabila dalam suatu perkawinan terdapat salah satu pihak baik isteri atau suami, maupun kedua belah pihak masing-masing membawa anak kedalam perkawinanya. Anak itu tetap berada pada tangung jawab orangtuanya, apabila didalam suatu perkawinan tersebut pihak isteri membawa anakyang di bawah umur (belum dewasa) dan menurut
10
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni, 1991), hal.20.
41
keputusan pengadilan anak itumasih mendapat nafkah dari pihak bapaknya samapai ia dewasa, maka keputusan itu tetap berlaku walaupun ibunya telah kawin lagi dengan pria lain. Kedudukan anak tiri ini baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum adat, hukum perdata barat tidak mengatur secara rinci. Hal itu karena seorang anak tiri itu mempunyai ibu dan bapak kandung, maka dalam hal kewarisan ia tetap mendapat hak waris dari harta kekayan peningalan (warisan) dari ibu dan bapak kandungnya apabila ibu dan bapak kandungnya meningal dunia.11 Dalam Islam hak-hak anak dimulai sejak anak dalam kandungan hingga mencapai kedewasaannya secara fisik maupun psikis. Ada delapan macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu: 1. Hak mendapatkan penjagaan dan pemeliharaan dalam kandungan maupun setelah lahir (hak Hadhanah); 2. Hak mengetahui nasab (keturunan); 3. Hak menerima yang baik; 4. Hak mendapatkan ASI dan ibu atau penggantinya; 5. Hak mendapatkan asuhan; 6. Hak mendapatkan harta warisan; 7. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
11
Iman Jauhari, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa, Jakarta, 203, hal. 87.
42
8. Hak mendapatkan perlindungan hukum.12 Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, ada lima macam hak-hak anak, seperti: hak nasab (keturunan), hak radla’ (menyusui), hak hadlanah (pemeliharaan), hak walayah (wali), dan hak nafkah (alimentasi). Batasan usia anak dalam hukum positif dan hukum Islam di Indonesia berbeda-beda, berikut adalah aturan hukum positif yang mengatur batas usia anak 1. Batasan Usia Anak Menurut Hukum Positif Dalam hukum pidana positif di Indonesia, umur bagi anak yang dikatakan belum dewasa atau dibawah umur telah tertuang dengan jelas dalam KUHP Pasal 45 yang menyatakan anak adalah seorang yang belum berusia 16 tahun. Alasan dalam KUHP menyatakan batasan umur anak adalah seseorang yang belum berusia 16 tahun, karena anak yang di bawah usia 16 tahun belum dapat mempertanggung jawabkan pidana.13 Pasal 45 “Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan sesuatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan : memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa pidana apapun serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, dan putusanya telah menjadi tetap atau menjatukan pidana kepada yang bersalah”.14
12
Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak dikorbankan? Panduan Pemula untuk Pendampingan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, (Malang: PSG Publishing dan Pilar Media, 2006), hal.63. 13
Muljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999) cet, Ke-20
14
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011) cet, Ke-17, hal. 23
43
Dengan maksud anak dibawah 16 tahun dapat dikatakan belum cakap hukum atau belum dapat mempertanggung jawabkan perbuatan yang ia lakukan dan belum dapat berfikir mana yang baik dilakukan atau buruk apabila ia lakukan.15 2. Batasan Usia Anak Menurut Undang-undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002. Dalam pasal 1 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyatakan anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Alasan UUPA menyatakan batasan umur anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, karena menyesuaikan dengan batasan usia anak yang tercantum dalam Konvensi Hak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on The Right of The Child (Konvensi tentang Hak Anak)16. 3. Batasan Usia Anak Menurut Konvensi Hak Anak Dalam Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia di bawah 18 tahun, mereka berhak memperoleh pemeliharaan dan bantuan khusus, karena ketidak matangan jasmani dan mentalnya. Mereka 15
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-Peterhaem , 1996), hal. 259. 16
Redaksi Penerbit Asa Mandiri, Undang-undang Perlindungan Anak, (Jakarta: Asa Mandiri, 2007), cet. Ke-4
44
memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang baik, sebelum dan sesudah kelahiran (Deklarasi Hak Anak). 17 Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi pemerintah melalui Keppres No. 36/1990, menyatakan anak adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun. Dengan istilah ‘anak’ yang dimaksud adalah orang belum dewasa, dalam arti belum memiliki kematangan rasional, emosional, sosial, dan moral seperti orang dewasa. Dengan demikian, hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak harus dilihat sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa persetujuan atau consent dari anak. Hubungan itu tidak dapat didefinisikan sabagai hubungan suka sama suka. Bila orang dewasa melakukan pendekatan seksual, baik dengan penganiayaan fisik ataupun melalui manipulasi dan eksplotasi anak dengan perkembangan kognitif, moral, emosional, dan tidak dapat berfikir rasional serta tidak dapat menolak pendekatan seksual tersebut, maka kejahatan seksual terhadap anak akan dapat terjadi. Oleh karena itu, setiap kontak seksual yang dilakukan orang dewasa terhadap anak harus dianggap dengan sendirinya sebagai tindak kekerasan. Dalam hal orang dewasa memperlakukan anak sebagai sasaran pelampiasan pemenuhan kebutuhannya, yang artinya telah memperlakukan anak sebagai objek manipulasi atau mengeksploitasinya tanpa peduli anak 17
Siti Lestari dan Veronika.“Undang-undang Perlindung Anak dan KPAI: Jalan Kekerasan Terhadap Anak”, (Jakarta: Suara Apik edisi 24 tahun 2004), hal. 4.
45
belum memiliki kesiapan untuk memahami apa yang terjadi, serta belum mampu bertanggung jawab atas apa yang terjadi, sehingga menjadikan anak untuk tidak menolak dalam melakukan hubungan seks karena keberadaan anak dalam posisi sangat rentan, hal ini merupakan alasan pendekatan seksual yang dilakukan orang dewasa pada anak. 4. Batasan Usia Anak Menurut Hukum Islam Adapun ukuran seorang anak dapat dikatakan sudah baligh apabila pada dirinya sudah ada salah satu dari sifat di bawah ini yaitu: a. Telah sampai berumur 15 tahun; b. Telah keluar mani bagi laki-laki; c. Telah keluar darah kotor (haidh) bagi anak perempuan. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasul SAW:18
ﷲ ْﺑ ُن ِ ﻋ ْﺑ ِد َ ْﻋن َ ,َﻋ ِﯾّ ْﯾﻧَﺔ َ اَﺧْ ﺑَرَ ﻧَﺎ ﺳُ ْﻔﯾَﺎنَ ْﺑ ُن: ُ ﻋ ْﻧﮫ َ ُﻰ ﷲ ﺿ ﱠ ِ َﻗَﺎ َل اﻟﺷﱠﺎ ِﻓ ِﻌﻰ ر ﺻﻠﱠﻰ َ ِ ﻰ اﻟﻧﱠ ِﺑﻲ َ ﻋﻠ َ ُﺿت ْ َ َﻋر:ﻋنْ ا ْﺑ ُن ﻋُ َﻣرَ ﻗَﺎ َل َ ,ِﻋنْ ﻧﱠﺎ ِﻓﻊ َ .ﻋُ َﻣرَ ْﺑ ُن َﺣ ْﻔ ٍس ﻋﺎ ُم َ ﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َ ُﺿت ْ َﻋر َ َ و,ﻋﺎ ًﻣﺎ اَ َﺣ ٍد وَ اَﻧَﺎ ا ْﺑ ُن ِﻋ ْﺷرَ ةٍ ﻓَرَ دَ ِﻧﻲ َ ﺳﻠﱠ َم َ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ و َ ُﷲ ِ ﻓَ َﺣدَ ﺛَتْ ِﺑ ِﮫ ﻋُ َﻣرَ ْﺑن: ْ ﻗَﺎ َل ﻧَﺎ ِﻓﻊ,ق وَ اَﻧَﺎ ا ْﺑ ُن َﺧﻣْ سُ ِﻋ ْﺷرَ ةٍ ﻓَﺄ َ َﺟﺎزَ ِﻧﻰ ِ َا ْﻟ َﺧ ْﻧد ﻋ َﻣﺎ َ ﺛ ُ ﱠم ﻛُ ِﺗبَ ِاﻟَﻰ, َھذَا ﻓَرْ ٌق ﺑَ ْﯾنَ اﻟذ ﱡ ِرﯾﱠ ِﺔ وَ ا ْﻟ َﻣﻘَﺎﺗَﻠَ ِﺔ: َﻋ ْﺑد ُ ا ْﻟﻌَ ِز ْﯾ ِز ﻓَﻘَﺎ َل ﻋُ َﻣر َ
18
al-Syafi’i, al-Umm, (Beirut-Libanon: Dâr al-Wafa, 2005) Juz ke-5, cet. Ke-3, hal.371.
46
وَ َﻻ ْﺑ ُن اَرْ ﺑَﻊ ِﻋ ْﺷرَ ةٍ ِﻓﻰ,ﺿوْ ا ِ ِﻻ ْﺑنِ َﺧﻣْ سٌ ِﻋ ْﺷرَ ة ٌ ِﻓﻰ اﻟﻘَﺎ ِﺗﻠ ِﺔ ُ َ اَنْ ﯾَ ْﻔر: ِﻟ ِﮫ اﻟذ ﱡ ِرﯾﱠ ِﺔ Artinya: Imam Syafi’iberkata: kami di kabarkan oleh Sufyan Ibn Uyaynah dari Abdillah Ibn Umar Ibn Hafshin dari Nafi dari Ibn Umar, berkata aku mendatangi (untuk ikut perang) Nabi SAW pada tahun Uhud, dan aku ketika itu berusia empat belas tahun maka Rasulullah menolakku, kemudian aku mendatangi Rasulullah kembali pada tahun Khandak, dan usiaku sudah lima belas tahun, maka Rasulullah membolehkan aku untuk berperang, Nafi berkata aku menceritakan hal itu kepada Umar Ibn Abdil Aziz, maka Umar berkata ini lah perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa (dalam hal peperangan) kemudian Umar mewajibkan kepada pekerjanya agar mereka mewajibkan anakanak mereka untuk turut berperang pada usia lima belas tahun, dan sedangkan pada usia empat belas tahun mereka termasuk anak-anak. Menurut para fukaha, kemampuan berfikir pada anak dimulai sejak ia berusia lima belas tahun. Apabila anak telah menginjak usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara hukum. Imam Abu Hanifah membatasi kedewasaan pada usia delapan belas tahun, menurut suatu riwayat Sembilan belas tahun bagi laki-laki dan tujuh belas tahun bagi perempuan. Pendapat popular dalam mazhab Maliki sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah karena mereka menentukan usia dewasa delapan belas tahun dan menurut sebagian yang lain sembilan belas tahun.19 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 KHI “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri (dewasa) adalah 21 tahun, sepanjang ia tidak cacat fisik atau pun mental Abdul Qadir Audah, al-Tasyȓi’ al-Jinâî al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad’î, (Mishr: al-Qahirah, 2005), jilid.1, hal. 253 19
47
atau belum kawin. Orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Apabila kedua orang tua anak tidak mampu, pengadilan dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban orang tuanya”.
B. Persetubuhan Sesama Mahram Dalam Islam istilah ini dikenal dengan sebutan “wathul maharim” artinya menyetubuhi wanita mahram yang haram untuk dinikahi. Dengan demikian, apabila terjadi persetubuhan dengan wanita mahram yang dinikahi maka menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Zhahiriyah, Syi’ah Zaidiyah, murid Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad maka pelaku harus dikenakan hukuman hadd karena di sana tidak ada syubhat. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang kawin dengan seorang wanita yang tidak halal baginya untuk dinikahi dan kemudian ia melakukan persetubuhan dengannya tidak dikenai hukuman hadd, walaupun ia tahu wanita itu haram untuk dinikahinya.20 Menyetubuhi mahram termasuk ke dalam tindak pidana zina dan wajib dilaksanakan hadd bagi pelakunya, maka apabila seorang laki- laki menikahi perempuan yang mahram, maka nikahnya bâtil, lalu jika ia menyetubuhinya maka
20
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 20.
48
wajib dilaksanakan hadd terhadapnya, ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Akan tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwasanya orang yang menikahi perempuan yang tidak halal baginya untuk ia nikahi seperti ibunya, anaknya, atau bibinya maka menyetubuhinya tidak mewajibkan dilaksanakannya hadd terhadapnya, sekalipun ia mengaku bahwasanya dia mengetahui kalau yang ia nikahinnya itu adalah mahramnya. Hanya saja ia dikenai sanksi terhadap perbuatannya tersebut dengan sanksi ta’zîr.21 Imam Abu Hanifah menggugurkan hadd dalam perkara ini karena adanya syubhat, yang dimaksud dengan adanya syubhat dalam perkara ini adalah karena telah didapati keadaan yang membolehkan, yaitu akad nikah, yang menjadi sebab bagi kebolehan (untuk bersetubuh). Konsepnya adalah, apabila sebuah perkara tidak ada ketetapan hukumnya, maka hukumnya boleh. Keadaan tersebut merupakan syubhat yang berada disekitar hadd, di mana hadd itu tertolak dengan adanya syubhat. Pendapat Imam Abu Hanifah tersebut dibantah, bahwasanya suatu persetubuhan itu terjadi di farji yang disetubuhi karena sifat keharaman farji tersebut, tanpa adanya kepemilikan atau syubhat kepemilikan terhadap farji tersebut. Bagi pelaku persetubuhan yang mengetahui akan keharaman hal tersebut Abdul Qadir Audah, al-Tasyȓi’ al-Jinâî al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad’î, (Mishr: al-Qahirah, 2005), jilid.1,hal. 363. 21
49
tidak ada toleransi baginya dan dilaksanakan hadd terhadapnya. Adapun akad nikah di atas hukumnya adalah bâtil sehingga tidak berpengaruh sama sekali, jadi seolah-olah tidak ada keadaan yang membolehkan. Hanya saja dapat dikatakan keadaan tersebut syubhat, apabila keadaan akad tersebut sahih. 22 Dalam kitab Fathul Bâri disebutkan dalam satu riwayat bahwa; 23
.َﻣنْ زَ َﻧﻰ ِﺑﺄ ُﺧْ ِﺗ ِﮫ َﺣد ﱡه ُ َﺣد ﱡ اﻟزﱠ ا ِﻧﻰ
Artinya: Barangsiapa yang berzina dengan saudara perempuannya, maka hukumannya adalah hukuman pezina.
Dalam riwayat Al-Kasymihani disebutkan dengan redaksi kata
( اﻟزﱠ اﻧِﻲpezina).
زَ ﻧَﺎzina bukan
Riwayat ini diriwayatkan secara mausul oleh Ibnu Abi
Syaibah, Hafs Bin Ghiyats berkata “Aku pernah bertanya kepada Umar, apa yang dikatakan Al-Hasan terhadap orang yang menyetubuhi mahramnya sementara dia mengetahuinya?” dia menjawab “Hukum had harus diterapkan kepadanya”. Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari jalur Jabir bin Zaid, yaitu
22 23
Ibid, Jilid.1, hal. 363.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Sahih al-Bukhari, alih bahasa. Amir Hamzah, Fathul Bâri, (Jakarta: Pustaka Azzam), hal. 203.
50
Abu Asy-Sya’ta, seorang tabi’in yang masyhur, mengenai orang yang menyetubuhi mahramnya, dia berkata “ batang lehernya ditebas”.24 Namun disebutkan dalam riwayat lain, segi pendalilan atsar yang diriwayatkan oleh Ali ra yang mana dia mengatakan “
ﷲ ِ “رَ ﺟَﻣْ ﺗُﮭَﺎ ِﺑﺳُﻧﱠ ِﺔ رَ ﺳُوْ ِل
(Aku telah merajamnya berdasarkan sunnah Rasulullah Saw) menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan yang terjadi antara yang mahram atau yang bukan. Ini sama dengan apa yang diriwayatkan Shalih Bin Rasyd, dia berkata seorang laki-laki yang memperkosa saudara perempuannya pernah dibawa kehadapan Al-Hajjaj, dia pun berkata “tanyakan kepada sahabat Rasulullah yang ada disini!”. Maka Abdullah Bin Al-Mutharrif berkata, “aku mendengar Rasulullah Saw bersabda “
ِﺴﯿْﻒ ﻄﮫُ ﺑِﺎﻟ ﱠ َ ﺳ َ َﻣَﻦْ ﺗ َ َﺨﻄﱠﻰ ا ْﻟﺤُﺮْ َﻣﺘَﯿْﻦِ ﻓَ ُﺨﻄﱡﻮا و Artinya “Barangsiapa yang melanggar dua kehormatan, maka pisahkan tengahnya dengan pedang”.25
24
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Sahih al-Bukhari, alih bahasa. Amir Hamzah, Fathul Bâri, (Jakarta: Pustaka Azzam), hal. 207. 25
Ibid, hal. 208.
51
C. Hukuman Perkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur Dalam Hukum Positif Secara yuridis, pemerkosaan merupakan sebuah kejahatan yang membawa dampak buruk bagi siapapun yang pernah mengalaminya. Ancaman pidana berat bagi pelaku perkosaan dimaksudkan agar Negara memiliki kesempatan memperbaiki sikap dan prilaku terpidana agar tidak berbahaya lagi dan hidup normal di dalam masyarakat serta memberi peringatan kepada masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan serupa.26 Dari tindak pidana pemerkosaan terhadap anak atau penyimpangan seksual terhadap anak telah ditentukan hukumnya dalam Pasal 287 KUHP: Ayat (1) “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus di duga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Ayat (2) “Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal tersebut pasal 291 dan pasal 294”.
26
Suryono Ekotama, et al, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2001), cet. Ke-1, hal. 96.
52
Pasal 287 KUHP ini juga terdapat di dalamnya semacam unsur paksaan meskipun paksaan yang bersifat psikis dan tidak dapat dikatakan atas dasar suka sama suka karena usia perempuan itu belum cukup umurnya atau belum cukup lima belas (15) tahun, kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, karena itu masuk ke dalam ruang lingkup pemerkosaan. Oleh karena itu pula dalam hal ini karena perbuatan bersetubuh tersebut dipandang salah dan dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun, seharusnya penuntutan dilakukan tidak atas dasar pengaduan. Sama halnya dengan perbuatan bersetubuh yang dilakukan terhadap perempuan yang umurnya belum sampai dua belas (12) tahun.27 Adanya pemerkosaan terhadap anak tersebut didasarkan pada terbentuknya kejahatan dalam Pasal 287 KUHP, yang maksudnya memberi perlindungan terhadap kepentingan hukum anak perempuan dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan, maka tidak rasional apabila anak yang telah menjadi korban dan dia dikenai pidana. Akan tetapi, apabila pada perbuatan itu dilakukan berdasarkan suka sama suka dan padahal laki-laki tersebut, karena keadaan ini telah diketahui oleh wanita pasangan yang bersetubuh itu. Seperti perbuatan yang dijelaskan di atas, maka wanita tersebut tidak boleh dipidana karena berdasarkan pada Padal 287 KUHP perbuatannya itu kehilangan
27
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang), cet. Ke-1, hal. 180-181.
53
sifat melawan hukum. Jadi di sini terdapat alasan peniadaan pidana di luar undang-undang. Sementara itu, terdapat si pria yang telah beristri ini telah melakukan dua tindak pidana sekaligus (berbarengan) yakni Pasal 284 KUHP sebagai pleger (pembuat pelaksana) dan Pasal 287 KUHP sebagai dader (pembuat tunggal).28 Selain dalam pasal yang telah disebutkan di atas, terdapat juga dalam pasal lain, yakni Pasal 290 KUHP, yang menyatakan: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: Ayat (1) “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya”. Ayat (2) “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”.
28
Adami Chazawi, S.H., Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal.71.
54
Ayat (3) “Barang siapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau persetubuhan di luar pernikahan dengan orang lain”. Tindak pidana pemerkosaan tidak hanya dimuat KUHP, melainkan dalam Undang-undang khusus juga dimuat, yaitu di dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 menyatakan: Ayat (1) “Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”. Ayat (2) “Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
55
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. Pasal 82 menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan untuk dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”. Dilihat dari kedua Hukum Positif di atas yaitu KUHP dan Undang-undang Perlindungan Anak, ancaman sanksi pidana pada Undang-undang Perlindungan Anak lebih berat dibanding dengan sanksi pidana KUHP. Tetapi pada prakteknya di pengadilan, sanksi hukuman yang diberikan kepada pelaku perkosaan terhadap anak jarang sekali mencapai sanksi hukuman maksimal. Seperti kasus yang dibahas dalam skripsi ini. D. Hukuman Perkosaan Dalam Hukum Pidana Islam Tindak pidana kesusilaan seperti pemerkosaan (zina) termasuk dalam salah satu kategori jarimah hudûd secara etimologi bentuk jamak dari kata “hadd”
56
membatasi.29 Hudûd secara istilah yakni peraturan atau undang-undang dari Allah yang bersifat membatasi atau mencegah yang berkenaan dengan hal-hal yang boleh dan yang dilarang (haram). Dimana jarimah ini merupakan hak Allah secara mutlak. Sanksi hukuman pelaku pemerkosaan selain dihukum seperti pelaku zina, juga diuhkum dengan hukuman ta’zȋr sebagai hukuman tambahan atas paksaan kekerasan atau ancaman yang dilakukan untuk mempelancar perbuatan perkosaannya.30 Dengan sangat tegas hukum Islam telah menentukan mengenai kejahatan terhadap kesusilaan (zina). Pada dasarnya kejahatan terhadap kesusilaan merupakan kejahatan yang sangat peka, dikarenakan menyangkut kehormatan manusia. Dalam pandangan Islam soal moral seks tidak sembarangan, maka segala hal yang mendekati zina juga dilarang. Sebagaimana firman Allah SWT:
ِﯾﻼ ً ﺳﺑ َ ﺷﺔً وَ ﺳَﺎ َء َ ِاﻟزﻧَﺎ ِإﻧﱠﮫ ُ ﻛَﺎنَ ﻓَﺎﺣ ّ ِ وَ َﻻ ﺗَﻘْرَ ﺑُوا Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 17/32) Dalam Hukum pidana Islam menjatuhkan suatu sanksi bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, diperlukannya minimal empat orang sanksi laki-laki yang adil dan berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan orang yang 29
Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta, Multi Karya Grafika, 1998), cet. Ke-4, hal. 696. 30
hal.24.
Ahmad Hanafi, Azas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. Ke-1,
57
melakukan perbuatan tersebut harus mengakui secara terus terang. Contohnya Bayyinah atau Hujjah ialah berupa petunjuk alat bukti. Alat-alat bukti yang paling pokok atau hujjah syar’iyyah yang diperlukan dalam sebuah pembuktian adalah: 1. Iqrar (pengakuan) yaitu hujjah bagi si pelaku memberi pengakuan sendiri. 2. Syahadah (kesaksian) yaitu hujjah yang mengenai orang lain. 3. Qarinah (qarinah yang diperlukan).31 Apabila kasus pemerkosaan itu betul-betul telah memenuhi syarat dan dapat dibuktikan kebenarannya, sebagaimana dalam ketentuan yang telah ditetapkan, maka zina baru dapat dijatuhi sanksi dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an bagi pelaku zina, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam Q.S An-Nuur: 2.
ٌ اﻟزﱠ ا ِﻧﯾَﺔ ُ وَ اﻟزﱠ اﻧِﻲ ﻓَﺎﺟْ ِﻠد ُوا ﻛُ ﱠل وَ اﺣِ ٍد ﻣِ ْﻧ ُﮭﻣَﺎ ﻣِ ﺎﺋَﺔَ َﺟ ْﻠدَةٍ ۖ وَ َﻻ ﺗَﺄْ ُﺧ ْذﻛُ ْم ِﺑ ِﮭﻣَﺎ رَ أْﻓَﺔ َﻋذَاﺑَ ُﮭﻣَﺎ طَﺎ ِﺋﻔَﺔ ٌ ﻣِ ن َ وَ ْﻟﯾَ ْﺷ َﮭ ْد َا ْﻟﻣُؤْ ﻣِ ﻧِﯾن Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orangorang yang beriman”.
Abdul Qadir Audah, al-Tasyȓi’ al-Jinâî al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad’î, (Beirut-Libanon: Muassasah Ar-Risalah, 1992), jilid.1, hal. 441. 31
58
Di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara eksplisit dalil tentang rajam. Sebagaimana yang dikatakan kaum khawarij bahwa hukuman pelaku zina muhsan dan ghairu muhsan itu disamakan tidak ada hukuman rajam. Namun para ulama ahlusunnah bersepakat tentang hukuman rajam. Hal yang menjadi perbedaan adalah hukuman pengasingan, menurut Imam Abu Hanifah hukuman pengasingan ini tidak berlaku lagi karena hadits yang berkaitan dengan hukuman pengasingan ini sudah di mansukh atau dihapus. Sedangkan Imam Malik memandang hukuman ini wajib bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad keduanya memandang bahwa hukuman pengasingan ini wajib bagi laki-laki.32 Nabi Muhammad Saw bersabda:
اَ ْﻟ ِﺑﻛْرُ ﺑِﺎا ْﻟ ِﺑﻛ ِْر َﺟ ْﻠدَة ُ ﻣِ ﺎﺋَ ٍﺔ,ﺳ ِﺑﯾ ًْﻼ َ ﻋﻧِّﻲ ﻗَ ْد َﺟﻌَ َل ﷲُ ﻟَ ُﮭ ﱠن َ ُﺧذ ُوْ ا,ﻋﻧِّﻲ َ ُﺧذ ُوْ ا ِب َﺟ ْﻠدَ ِة ﻣِ ﺎﺋَ ٍﺔ وَ اﻟرﱠ ﺟْ م ِ اَﻟﺛَﯾْبُ ﺑِﺎﻟﺛ ﱠ ْﯾ,ِﻲ اﻟﺳﱠﻧَﺔ ُ وَ ﻧَ ْﻔ Artinya: “Ambilah dariku, ambilah dariku, sesunggunhnya Allah telah menetapkan jalan bagi kalian. Perjaka dan perawan yang berzina maka deralah/cambuklah sebanyak 100 kali dan asingkan selama satu tahun. Sedangkan laki-laki yang sudah menikah melakukan zina dengan perempuan yang sudah menikah juga,maka cambuklah 100 kali dan rajam” 33 Berikut adalah penjelasan hukuman bagi pelaku zina: 1. Hukum dera dan pengasingan Hukuman dera dilakukan sampai seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun terhadap zina yang dilakukan oleh orang yang 32 33
ibid, hal. 639.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Sahih al-Bukhari, alih bahasa. Amir Hamzah, Fathul Bâri, (Jakarta: Pustaka Azzam), hal. 212.
59
belum beristri (ghairu muhsan) dan terhadap korban perkosaan tidak diberikan sanksi karena dia mendapat paksaan beserta ancaman dari pelaku. Dalam penambahan hukuman pengasingan ini para ulama berbeda pendapat, yaitu: a. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa tidak mesti dihukum buang atau diasingkan saat hukum pengasingan diserahkan kepada pertimbangan yang memutuskan (hakim). b. Menurut Imam Ahmad bahwa rasanya hukuman dera seratus kali belum cukup, sehingga perlu ditambah dengan pengasingan selama satu tahun. c. Menurut Imam Malik bahwa yang dikenakan hukuman pengasingan hanya pria saja, sedangkan bagi wanita tidak ada sanksi apa-apa. d. Menurut Imam Syafi’i, Al-Qurtubi dan para khulafaurasyidin mereka menyatakan bahwa perlu didera dan diisolasikan bagi para pezina ghairu muhsan.34 2. Rajam Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu yang dikenakan kepada pelaku zina muhsan (orang yang sudah beristri) baik pria maupun wanita. Para ulama berbeda pendapat apakah hukuman bagi tsayyib (orang yang sudah menikah) itu dijilid seratus kali lalu dirajam ataukah hanya dirajam saja. Ada yang menggabungkan kedua hukuman 34
As’ari Abdul Ghafar, Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: Grafindo Utama, 1997), hal 43-44.
60
tersebut dengan alasan bahwa jilid itu adalah hukuman pokok. Sedangkan diasingkan setahun baik bikr (orang yang belum menikah) dan rajam bagi tsayyib itu merupakan hukuman tambahan.35 Bahwa dalam hukum pidana Islam yang disebut dengan bikr adalah seseorang yang sama sekali belum terikat pernikahan maupun yang belum melakukan hubungan badan. Dalam kasus ini berlaku hukuman cambuk dan hukuman pengasingan diterapkan. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Syafi’i sedangkan Imam madhzab yang lain masih memperdebatkan hukuman pengasingan. Seseorang yang disebut tsayyib adalah seseorang yang masih dalam ikatan perkawinan atau sebagian ulama menyebutkan statusnya sebagai janda atau duda atau juga seseorang yang sudah pernah melakukan perbuatan zina lalu kemudian melakukan zina yang kesekian kalinya.
35
A. Djazuli, Fikh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Raja Grafindo, 1997), hal 43-44
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MAKASSAR Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks A. Duduk Perkara 1. Kronologis/Peristiwa Kejadian Kasus ini diambil dari putusan Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks tentang tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung yang berkronologi sebagai berikut. Perkara ini terjadi pada hari Selasa tanggal 25 Juni 2013 sekitar jam 03.00 WITA, bertempat di Jl. Nuri Baru Lr. 312 Kota Makassar. Pada saat itu, mulanya terdakwa yang bernama MUDDIN DG. KULLE, tempat lahir: Gowa, umur / tanggal lahir: 49 tahun / 05 Desember 1964, jenis kelamin: laki-laki, agama: Islam, pekerjaan: tukang parkir, kebangsaan: Indonesia, tempat tinggal: Jl. Nuri Lr. 312 Kota Makassar. Pada saat kejadian terdakwa dalam keadaan mabuk dan memaksa anak kandungnya yang bernama Risnawati Alias Risna untuk melayaninya berhubungan suami istri dimana terdakwa mula-mula mematikan lampu kamar korban yang sementara sedang tidur dengan adik perempuannya, kemudian terdakwa mendekati korban dan membuka celana dalam korban sambil mengancam dengan dengan parang untuk diam dan jika ribut akan dibunuh, selanjutnya terdakwa memasukkan alat kelaminnya kedalam alat kelamin korban sambil menutup mulut korban dengan
61
62
tangan kanan terdakwa dengan maksud agar korban tidak bisa berteriak pada saat disetubuhi terdakwa. Terdakwa menyetubuhi korban hanya satu kali saja pada malam itu dimana isteri terdakwa yang merupakan Ibu kandung korban sedang bekerja sebagai tukang parkir di Lagaligo yang pulangnya menjelang subuh, dan terdakwa hanya sebentar menyetubuhi korban karena setelah air mani terdakwa keluar didalam vagina korban selanjutnya terdakwa pergi tidur keluar kamar korban. Pada saat terdakwa menyetubuhi anak kandungya yang bernama Risnawati, perbuatan Terdakwa ini juga disaksikan oleh anak perempuan terdakwa yang bernama Yuliana Alias Uli yang adalah adik kandung korban. Korban pada saat kejadian itu masih berumur 15 (lima belas) tahun dan sekolah kelas 2 SMP dan akibat perbuatan terdakwa korban menjadi hamil sehingga korban merasa malu dan akhirnya korban keluar dari sekolah, selanjutnya korban melaporkan kejadian itu pada tantenya dan korban bersama adik perempuannya yang bernama Uli dengan diantar tantenya telah melaporkan terdakwa ke Polisi. 2. Dakwaan Bahwa Terdakwa Muddin Dg. Kulle, pada hari Selasa tanggal 25 Juni 2013 sekitar jam 03.00 wita atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2013, bertempat di Jl. Nuri baru Lr. 312 Kota Makassar atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar, bahwa
63
tuntutan jaksa yaitu menggunakan pasal 81 ayat(1) Undang-undang Perlindungan Anak yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”. Dan Pasal (2) yang berbunyi “Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. Bahwa terdakwa melakukan perbuatan pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas saksi korban yaitu Risnawati alias Risna sementara tidur bersama adiknya yaitu saksi Yuliana tiba-tiba terdakwa masuk ke dalam kamar saksi korban dan langsung mematikan lampu kamar, setelah itu terdakwa naik diatas tempat tidur kemudian saksi Risna terbangaun dan terdakwa langsung mengancam saksi korban dan berkata “sannangko kobunuhko injo” setelah itu terdakwa langsung menarik celana dan celana dalam saksi korban lalu menyekap mulut saksi korban kemudian terdakwa memasukan kemaluannya kedalam kemaluan saksi korban hingga air sperma terdakwa keluar di dalam vagina saksi korban, setelah itu terdakwa meninggalkan saksi korban.
64
Terdakwa mengetahui pada saat menyetubuhi atau melakuakan hubungan badan dengan saksi korban masih berumur 15 (lima belas) tahun. Bahwa akibat perbuatan terdakwa, saksi korban merasa kesakitan yang menyebabkan saksi korban mengalami
luka,
sebagaimana
dalam
visum
et
revertum
nomor
:
VER/13/VII/2013/Rumkit tanggal 22 Juli 2013 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Mauluddin M.Sp.F, dokter pada rumah sakit Bhayangkara Makassar, dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut : 1. Hasil pemeriksaan a. Tampak robekan pada selaput dara arah jam 3 dan 5. b. Test kehamilan hasil positif. 2. Hasil tindakan a. Tidak mendapat pengobatan. b. Tidak dilakukan rawat inap. 3. Kesimpulan : a. Telah dilakukan pemeriksaan terhadap seseorang berjenis kelamin perempuan berusia anak. b. Ditemukan adanya luka robek lama pada selaput dara yang dapat sesuai akibat persetubuhan / penetrasi benda tumpul. c. Ditemukan tanda-tanda kehamilan (test kehamilan hasil positif).
65
Berdasarkan dakwaan diatas, maka terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif,1 yaitu pertama melanggar pasal 81 ayat (1) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tetang Perlindungan Anak dan pasal 81 ayat (2) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tetang Perlindungan Anak. Oleh karena itu, maka Majelis dapat memilih salah satu dari dakwaan yang tepat dan relevan untuk dipertimbangkan. Berdasarkan fakta di dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa dakwaan yang tepat dan relevan dengan perbuatan terdakwa adalah dakwaan pertama yaitu pasal 81 ayat (1) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tetang Perlindungan Anak dan menuntut terdakwa dengan sanksi pidana penjara selama 13 (tiga belas) dan membayar denda Rp.100.000.000,00,- (seratus juta rupiah) subsidair pidana kurungan selama 6 enam bulan kurungan. Kemudian jaksa penuntut umum telah mengajukan beberapa orang saksi di depan persidangan dan telah didengar keterangannya di bawah sumpah sesuai dengan agama yang dianutnya, sebagai berikut: Saksi ke-1
: RISNAWATI Alias RISNA : Bahwa saksi kenal dengan
terdakwa dan ada hubungan keluarga sedarah dimana terdakwa adalah Bapak kandung saksi. Terdakwa melakukan perbuatan perkosaan tersebut pada hari Selasa
1
Lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV. Setiawan Indah Abadi, 1996), hal. 189.
66
tanggal 25 Juni 2013 sekitar jam 00.30 wita di rumah Terdakwa di Jl. Nuri Baru Lr.312 Kota Makassar. Terdakwa mendatangi saksi yang sedang tidur dikamarnya bersama dengan adik kandung perempuannya sementara Ibu kandung saksi sedang bekerja sebagai tukang parkir di Lagaligo dan biasanya baru pulang menjelang subuh, terdakwa mematikan lampu kamar dan mengancam akan membunuh saksi dengan parang apabila saksi tidak mau melayaninya dimana saat itu saksi mencium bau minuman keras dari mulut terdakwa sehingga saksi menduga waktu itu terdakwa dalam keadaan mabuk, selanjutnya terdakwa membuka celananya sehingga kelihatan kemaluannya dan kemudian terdakwa melepas celana dalam saksi lalu terdakwa langsung memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan saksi sambil menyekap mulut saksi dengan tangan kanannya; - Bahwa keterangan saksi semuanya dibenarkan oleh terdakwa; Saksi ke-2 : YULIANA Alias ULI: bahwa saksi adalah adik kandung dari RISNAWATI Alias RISNA yang merupakan korban perkosaan sekaligus anak kandung dari terdakwa, saksi telah melihat kejadian perkosaan tersebut secara langsung sampai selesai, dan diancam akan dibunuh dengan parang oleh terdakwa apabila saksi ribut. Saksi ke-3 : RUKIYAH DG. BAJI: Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa sebagai adik ipar atau adik kandung dari isteri terdakwa, tapi tidak ada hubungan sedarah ataupun semenda dengan terdakwa, Bahwa korban melaporkan kejadian
67
tersebut pada saksi yang adalah tantenya korban, dan karena Ibu kandung saksi korban agak idiot maka persoalan saksi korban tersebut diambil alih oleh saksi dan kemudian bersama korban dan adiknya korban, saksi melaporkan terdakwa ke Polisi, pada saat kejadian tersebut korban masih sekolah kelas 2 SMP tapi akibat kejadian tersebut korban hamil dan karena malu kemudian korban keluar dari sekolah; 3.
Pertimbangan Putusan Hakim a.
Pertimbangan Hakim
Bahwa Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang memeriksa kasus tersebut Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum di atas, Majelis berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana “Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Terhadap Anak” sebagaimana yang diatur dalam pasal 81 ayat (1) daan ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya hakim menimbang, bahwa sepanjang persidangan tidak ditemukan adanya alasan pemaaf, alasan pembenar atau alasan lainnya yang dapat menghapus atas pidana, maka pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah dimaksudkan sebagai pembalasan tapi adalah pembinaan agar di masa yang akan datang terdakwa akan lebih baik lagi atau mudah-mudahan dengan dipidananya terdakwa ada efek jeranya; Menimbang bahwa selama terdakwa dalam menjalani proses peradilan telah ditahan oleh aparat pejabat penegak hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya sesuai dengan Undang-Undang maka masa penahanan yang
68
telah dijalani selama ini dikurangkan seluruhnya dari hukuman yang dijatuhkan; dengan masa penahanan yang telah dijalani lebih lama maka diperintahkan terdakwa tetap berada di dalam tahanan; Menimbang bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana, maka kepadanya dibebankan untuk membayar ongkos perkara sebagaimana di dalam amar putusan. Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa, perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan atau hal-hal yang meringankan bagi terdakwa: Hal-hal yang memberatkan :
Terdakwa telah merusak masa depan saksi korban;
Terdawa telah membuat saksi korban trauma seumur hidup;
Hal-hal yang meringankan :
Terdakwa berlaku sopan di persidangan;
Terdakwa mengakui perbuatannnya sehingga sehingga memperlancar jalannya persidangan;
Terdakwa menyesali perbuatannya;
b. Putusan Hakim Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang menangani kasus perkosaan anak kandung adalah sebagai berikut:
69
1. Menyatakan terdakwa Muddin Dg Kulle terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana“memaksa
anak
melakukan persetubuhan terhadap anak”; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa MUDDIN DG. KULLE oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan)
tahun dan denda Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan; 3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Memerintahan kepada terdakwa tetap berada di dalam tahanan; 5. Membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 3.000,- (tiga ribu rupiah); B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks. Kasus perkosaan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa yang menjadi pelaku perkosaan yaitu ayah kandung dari korban perkosaan tersebut. Dalam pandangan hukum pidana Islam kasus ini dibagi menjadi dua hukuman yaitu jarimah hudud dan jarimah ta’zȋr. Tindak pidana perkosaan ini menurut Abdul Qadir Audah perkosaan adalah Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman hadd karena dapat diartikan sebagai perbuatan zina.2 Berarti apabila pelaku perkosaan adalah ghairu muhsan (orang yang belum menikah)
2
Ahmad Hanafi, Azas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. Ke-1, hal.
70
maka dihukum hadd cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Sedangkan hukuman bagi pelaku perkosaan muhsan (orang yang sudah menikah) yakni dirajam sampai mati. Sebagaimana disebutkan dalam hadist Nabi Muhammad Saw.
اَ ْﻟ ِﺑﻛْرُ ﺑِﺎ ْﻟ ِﺑﻛ ِْر َﺟ ْﻠدَة ُ ﻣِ ﺎﺋَ ٍﺔ, ُﺧذ ُوْ ا َﻋﻧِّﻲ ﻗَ ْد َﺟﻌَ َل ﷲُ ﻟَ ُﮭ ﱠن َﺳ ِﺑﯾ ًْﻼ,ُﺧذ ُوْ ا َﻋﻧِّﻲ .ب َﺟ ْﻠدَة ُ ﻣِ ﺎﺋَ ٍﺔ وَ اﻟرﱠ ﺟْ ُم ِ وَ اَﻟﺛَ ْﯾبُ ِﺑﺎﻟﺛ ﱠ ْﯾ,ﻲ اﻟﺳﱠﻧَ ِﺔ ُ وَ ﻧَ ْﻔ Artinya “Ambilah dariku, ambilah dariku, sesunggunhnya Allah telah menetapkan jalan bagi kalian. Perjaka dan perawan yang berzina maka deralah/cambuklah sebanyak 100 kali dan asingkan selama satu tahun. Sedangkan laki-laki yang sudah menikah melakukan zina dengan perempuan yang sudah menikah juga, maka cambuklah 100 kali dan rajam”.3 Bahwa hukuman yang diberikan pada kasus perkosaan ini adalah hukuman mati yaitu hukuman rajam. Di mana pelaksanaan hukuman ini dipendam seluruh tubuhnya dan hanya disisakan bagian kepala kemudian dilempari batu sampai mati. Hal ini dikarenakan pelaku perkosaan pada kasus ini sudah menikah (muhsan). Putusan hakim pengadilan negeri Makassar terhadap pelaku perkosaan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yaitu dengan menghukum pidana penjaara selama delapan
tahun
dari
tuntutan
jaksa
yaitu
13
tahun
penjara
dan
denda
Rp.100.000.000,00-. Hakim menilai hal-hal yang meringankan hukuman terdakwa yakni terdakwa berlaku sopan di persidangan, terdakwa mengakui perbuatannya dan
3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Bandung : PT. al-Ma’arif, 1990), hal. 97.
71
menyesali pebuatannya. Di dalam salah satu pertimbangan Hakim pengakuan merupakan suatu hal yang dapat meringankan hukuman. Hal ini berbanding tebalik dari hukum pidana Islam yang memandang poengakuaan sebagai bentuk penebus dosa dari perbuatannya bukan untuk meringankan hukuman sebaigamana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di kisahkan dalam hadist Nabi saw:
:ﷲ ﻓَﻧَﺎدَه ُ ﻓَﻘَﺎ َل ِ ﻰ رَ ﺳُوْ ُل رَ ُﺟ ُل ﻣِ نَ ا ْﻟ ُﻣ ْﺳ ِﻠﻣِ ْﯾنَ رَ ﺳُوْ ُل َ اَﺗ: ,ﻋنْ اَ ِﺑ ْﻲ ھُرَ ْﯾرَ ةَ ﻗَﺎ َل َ ض َ َ ﻓَﺄ َ ْﻋر, ُﷲ ! ِا ِﻧّﻲ زَ َﻧ ْﯾت ِ ﯾَﺎرَ ﺳُوْ ُل: ﻓَﺗَ َﻧ َﺣﻰ ِﺗﻠﻘﺎ َ ُء وَ ﺟْ ِﮭ ِﮫ,ُض َﻋ ْﻧﮫ َ ﻋ ِر َ ِا ِﻧّﻲ زَ َﻧ ْﯾتُ ﻓَﺄ ﻋﺎه ُ رَ ﺳُوْ ُل َ َﺷ َﮭﺎدَةٍ د َ ﻰ ﻧَ ْﻔ ِﺳ ِﮫ اَرْ ﺑَ َﻊ َ ﺷ ِﮭدَ َﻋﻠ َ ت ﻓَﻠﱠ َﻣﺎ ِ ﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ اَرْ ﺑَ َﻊ ﻣْ رَ ا َ َﻰ ذَ ِﻟك َ ُ َﺣﺗَﻰ ﺛَﻧ,ﻋ ْﻧﮫ َ ِا ْذ َھﺑُوْ ا:ﷲ ِ ﻓَﻘَﺎ َل رَ ﺳُوْ َل. ﻧَﻌَ ْم: ﺻ ْﻧتَ ؟ ﻗَﺎ َل َ ْ ﻓَ َﮭلْ اَﺣ. َﻻ: اَﺑُكَ ُﺟﻧُوْ نَ ؟ ﻗَﺎ َل: ﷺَﱠ ﻓَﻘَﺎ َل ِ َﷲ ِْ َ ِ ." ُ ِﺑ ِﮫ ﻓَﺎرْ َﺟ ُﻣوُ اه Artinya: Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah Saw, ketika beliau sedang berada di dalam masjid. Laki-laki itu memanggil-manggil Nabi seraya mengatakan: Hai Rasulullah, aku telah berbuat zina, tapi aku menyesal. Ucapan ini diulanginya sampai empat kali. Setelah Nabi mendengar pernyataannya yang sudah empat kali diulanginnya it, lalu beliau pun memanggilnya, seraya bertanya “apakah engkau ini gila?” “Tidak,” jawab laki-laki itu, Nabi bertanya lagi “adakah engkau ini orang yang muhsan?” “Ya” jawabnya. Kemudian Nabi bersabda lagi “Bawalah laki-laki ini dan langsung dirajam oleh kamu sekalian,”. 4 Dilihat dari segi hadist ini pelaku mengakui perbuatannya bukan untuk memperingan tetapi untuk menebus dosanya. Disebutkan dalam kitab Fathul Bâri bahwa perbuatan zina ini dilakukan layaknya persetubuhan antara suami dan isteri. 4
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Sahih al-Bukhari, alih bahasa. Amir Hamzah, Fathul Bâri, (Jakarta: Pustaka Azzam), hal.216.
72
Dan pelaku meminta agar Nabi membersihkan dosanya melalui hukuman yaitu hukuman rajam. Disini Nabi tidak memberikan keringanan bagi pelaku zina yang telah mengakui perbuatannya melainkan tetap menjalankan hukuman rajam. Selanjutnya dikenakan hukuman ta’zȋr dengan melihat definisi para ulama Malikiyah, Syafii’ah, Hanafiyah yaang mengatakan bahwa zina adalah perbuatan memasukkan dzakar kedalam
farji’ yang tidak halal dan tidak terdapat unsur
paksaan, disengaja, serta unsur syubhat. Karena dalam kasus perkosaan ini ada unsur paksaan dimana pelaku memaksa korban untuk melakukan persetubuhan atau perzinahan.5 Jika dilihat kasus ini pelaku perkosaan adalah ayah dari korban yang seharusnya melindungi anggota keluarganya dalam hal ini anaknya, justru sebaliknya malah melakukan perbuatan keji kepada anaknya. Dipandang dari sudut pandang Islam bahwa peran seorang ayah didalam keluarga merupakan peran yang sangat penting, seperti melindungi dan mengayomi seluruh anggota keluarganya, sebagaiman disebutkan dalam Al-Qur’an di dalam surat At-Tahrim ayat 6 :
ﺳﻛُ ْم وَ اَ ْھ ِﻠ ْﯾﻛُ ْم ﻧَﺎرً ا َ ُﯾَﺎاَﯾﱡﮭَﺎاﻟﱠ ِذﯾْنَ ءَا َﻣﻧُوْ ا ﻗُوْ ا اَ ْﻧﻔ Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”
5
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal.11
73
Maka hukuman yang ta’zȋr yang diberikan adalah hukuman mati, berdasarkan atsar dari Abdullah bin Mutharrif yang diisyaratkan oleh Abu Hatim itu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalur Bakr bin Abdullah Al-Mizzi, dia berkata, “seorang laki-laki yang menyetubuhi putrinya pernah dibawa Al Hajjaj, sementara di sisinya ada Mutharrif Bin Abdullah Asy-Sykhkhir dan Abu Burdah”. “Maka salah seorang dari keduanya berkata, ‘penggallah lehernya’. Tak lama kemudian leher pria itu pun dipenggal”.6
C. Analisis
Hukum
Positif
Terhadap
Putusan
Pengadilan
Negeri
MakassarNomor: 1459/Pid/B/2013/PN.Mks Dalam putusan hakim pengadilan negeri Makassar yang menyatakan bahwa terdakwa telah merusak masa depan korban dan telah membuat trauma seumur hidup. Penulis sependapat dengan hal yang memberatkan menurut Hakim tersebut, dilihat dari segi keputusan jauh dari rasa keadilan. Tujuan hukum pidana harus mengacu pula pada tujuan hukum secara umum. Menurut Baharuddin Lopa pada dasarnya tujuan hukum ialah menegakkan keadilan, sehingga ketertiban ketentraman masyarakat dapat diwujudkan. Dalam hubungan ini, putusan-putusan hakim pun harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh masyarakat”.7 Seharusnya Hakim
6
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Sahih al-Bukhari, alih bahasa. Amir Hamzah, Fathul Bâri, (Jakarta: Pustaka Azzam), hal. 208. 7
Baharuddin Lopa, Seri Tafsir Al-Qur’an Bil-Ilmi 03, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi
Manusia, (Yogyakarta, Bhakti Prima Yasa, 1996), hal. 126
74
dapat memberikan hukuman yang lebih berat dari hukuman yang semula atau memberikan hukuman yang sesuai dengan Undang-undang yaitu 15 tahun penjara. Dampak perkosaan terhadap anak tersebut menurut pendapat Bagong Suyanto yakni, “anak-anak korban perkosaan (chield rape) adalah kelompok yang paling sulit pulih. Mereka cenderung akan menderita trauma berat. Masa depannya akan hancur, dan bagi yang tidak kuat menanggung beban, maka pilihan satu-satunya akan bunuh diri. Aib, perasaan merasa tercemar dan kejadian yang biadab itu akan terus menerus mengahantui korban, sehingga tidak jarang mereka memilih menempuh jalan pintas untuk melupakan serta mengakhiri semua penderitaannya”.8 Ditambah dalam kasus ini pelakunya bukan orang lain melainkan ayah korban sendiri yang seharusnya menjadi panutan malah merusak masa depan anaknya dan tidak bisa dibayar oleh uang sebesar apapun. Di dalam persidangan kasus ini terdakwa didampingi oleh kuasa hukum yang membela terdakwa sehingga di dalam persidangan terdakwa mendapat pembelaan dalam persidangan. Sementara dari pihak korban tidak mendapatkan hak bantuan hukum sebagaimana yang didapatkan oleh terdakwa. Sebagai subyek korban berhak didengar keterangannya, mendapat informasi atas upaya-upaya hukum yang berjalan, dipetimbangkan rasa keadilan yang ingin diperolehnya dan dipulihkan situasi dirinya atas perampasan hak-hak dan kekerasan yang dialaminya.9 8
Bagong Suyanto dan Emy Susanti Hendrarso, Wanita, Dari Subordinasi dan Marginalisasi Menuju ke Pemberdayaan, (Surabaya, Airlangga Univrsity Press,1996), hal. 10. 9
Theo Van Boven, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban untuk Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, (Jakarta, ELSAM, 2000), hal 44.
75
Tujuan tersebut dapat dikaitkan dengan kasus kejahatan kekerasan seksual (perkosaan) baik dari aspek pelaku, masyarakat maupun korban. Dijatuhkannya sanksi hukum kepada pelaku, maka secaratidak langsung hal itu merupakan suatu bentuk
perhatian
(perlindungan)
secara
hukum
kepada
korban
kejahatan.
Perlindungan hukum kepada wanita yang menjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas kepada dihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat-akibat yang menimpanya, seperti kehamilan akibat perkosaan.10 Semestinya pihak pengadilan memberikan perlindungan setelah Hakim memberikan putusan di persidangan yang bertujuan untuk memberikan pemulihan trauma yang berjangka panjang dan untuk memperbaiki masa depan korban. Di sinilah letak keadilan yang seharusnya diberikan oleh Hakim kepada korban.
10
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Perempuan, (Bandung, Refika Aditama, 2001), hal. 65
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Setelah penulis memaparkan hasil penelitian yang diuraikan pada bab demi bab, maka penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari perumusan masalah. Adapun beberapa kesimpulan tersebut, antara lain: 1. Dalam pandangan hukum pidana Islam, terjadi perbedaan pendapat dalam pemberian hukuman pada pelaku perkosaan terhadap anak kandung. Ada dua pendapat mengenai hukuman bagi ayah yang memperkosa anak kandungnya. Pendapat pertama menyatakan hukumannya adalah rajam, karena pelakunya dipandang sebagi pezina muhsan. Pendapat kedua menyatakan hukumannya adalah ta’zîr, yaitu yang kadar dan jenis hukumannya diserahkan kepada keputusan ijtihad penguasa. 2. Dalam pandangan hukum positif pelaku perkosaan anak kandung diancam dengan pidana penjara maksimal selama 15 tahun sebagaimana terdapat dalam Pasal 81 ayat 1 Undang-undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun dalam kasus ini terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 8 tahun yang jauh dari hukuman maksimal yang seharusnya dijatuhi hukuman pidana penjara selama 15 tahun. 3. Putusan
Hakim
Pengadilan
Negeri
Makassar
Nomor:
1459/Pid/B/2013/PN.Mks tentang kasus perkosaan terhadap anak kandung yaitu pidana penjara selama delapan tahun. Hukuman yang diberikan
76
77
hakim ini jelas lebih ringan dari hukuman maksimal selama 15 tahun penjara yang mengancam terdakwa, jika salah satu yang menjadi alasan hakim memberikan keringanan pada terdakwa yakni karena terdakwa mengakui perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan, ini sungguh keputusan yang jauh dari kata adil. Dilihat dari pandangan hukum pidana Islam menurut pendapat yang pertama yang menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku zina muhsan adalah rajam. B. SARAN-SARAN Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan, antara lain: 1. Sebaiknya Hakim tidak menjatuhkan pidana terlalu jauh dari dasar hukum yang berlaku, karena dalam putusan ini hakim memutuskan setengah dari hukuman yang terdapat dalam Undang-undang yang berlaku, dan Hakim harus melihat siapa pelaku perkosaan dari kasus ini yang tidak lain adalah ayah kandung korban sendiri. 2. Untuk lembaga bantuan hukum agar lebih memperhatikan korban yang kurang dalam segi finansial dalam pendampingan persidangan. 3. Masyarakat secara umum hendaknya berpartisipasi, mencegah secara aktif segala bentuk tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung karena kejahatan tersebut terbilang kejam dan sangat merugikan.
DAFTAR PUSTAKA al- Qur’an al – Karim. Abduh Muhammad Malik. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang. T.th. Abdul Ghafar, As’ari. Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil, Jakarta: Grafindo Utama, 1997. Abdurrahman. Syariah the Islamic Law, terj. Masturi, Wadi dan Iba Asghari, Basri. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992. Abdussalam, Kriminologi, Jakarta: Restu Agung, 2007. Ahmad Bahnasi, Fath. Madhol al-Fiqh al-jinȃȋ al-Islȃmȋ, Beirut: al-Qahirah, 1980.
Ali, Atabik dan Mudlor, Ahmad. Kamus Kontemporer Arab Indonesia, . cet. Ke-4, Yogyakarta, Multi Krya Grafika, 1998. Amin Suma, Muhammad et.al. Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Anis, Ibrahim et.al., al-Mu’jam al-Wasit, (Mesir: Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972. Ashifani al-, Ar Raghib. Mu’jam Mufradat Alfaz al-Quran, Beirut, Dara al Fikr, Tt. Audah, Abd al-Qâdir, al - Tasyrî’ al - jinâ’ȋ al- Islȃmȋ Muqȃranan Bi al – Qȃnȗn al Wad’ȋ, Beirut : Mu’assasat Al-Risȃlah, 1996 Bustomi. Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam bagi Kejahatan Perkosaan Akibat Gangguan Kejiwaan, (Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004.
Chazawi, Adam. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Djazuli, Ahmad. Fikh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Raja Grafindo, 1997. Effendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, cet-2, Jakarta: Kencana, 2004. Ekotama, S. Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2001. Hajar al- Asqalani, Ibnu. Terjemah Fathul Baari Syarah Sahih Al Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Hanafie, Ahmad. Ushul Fiqh. Jakarta: Widjaya. 1962, cet. Ke-3.
78
79
_____________,. Azas-asas Hukum Pidana Islam.Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Hasan al-Mawardi, Abu. al-Ahkȃm al-Sulthȏniyyah, Beirut: Dar el-Fikr.
Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, cet, Ke-17, 2011. Haryanto. Dampak sosio-psikologis korban tindak perkosaan terhadap wanita, Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada, 1997 Hasanah, Uswatun. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Upaya Perlindungan Hukum Bagi Korban Perkosaan Dikaitkan dengan Pasal 285 KUHP, Skripsi (tidak diterbitkan), Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004. Irsan, Koesparmono. Kejahatan Susila dan Pelecehan dalam Perspektif Kepolisian. Yogyakarta: Tp, 1995. Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. ke3,Malang: Bayu Media, .t.th. Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: CV. Mandar Maju, 2009. Irsan, K. Kejahatan Susila dan Pelecehan dalam Perspektif Kepolisian Yogyakarta, Tp, 1995. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997. _________, P.A.F. Delik-Delik Khusus, Tindak-Tindak Pidana Melanggar NormaNormaKesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, Bandung: Mandar Maju, 1990, hal. 109. Lestari, Siti dan Veronika. “Undang-undang Perlindung Anak dan KPAI: Jalan Kekerasan Terhadap Anak”, edisi 24, Jakarta: Suara Apik tahun 2004. Lopa, Baharuddin. Seri Tafsir Al-Qur’an Bil-Ilmi 03, Al-Qur’an dan Hak-Hak AsasiManusia, (Yogyakarta, Bhakti Prima Yasa, 1996. Lois Ma’luf, al-Munjid, Beirut, al-Mathba’ah al-Katsolikiyyah, t.th. Mustafa Maragy,Ahmad. Tafsir al Maragy, Beirut : Dar al Ihya at Turas al’Arabiyah, 1985. M. Moeliono, Anton. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. cet-2. Merdeka Sirait. Arist Menggugat Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat Dan Orang Tua Dalam Menjaga Dan Melindungi, Artikel diakses pada 18 Januari 2015 dari Anakhttps://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatanakhir-tahun-2011-komisi-nasional-perlindungan-anak/. M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet. ke-1, (Jakarta: Amzah, 2013.
80
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, jilid XV,Jakarta: Lentera Hati, 2004. Marsum. Jinayah, Yogyakarta: Universitas Indonesia Press, 1978. Moeljanto. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993. Mufidah. Haruskah Perempuan dan Anak dikorbankan? Panduan Pemula untuk Pendampingan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Malang: PSG Publishing dan Pilar Media, 2006. Muljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet Ke-20, Jakarta: Bumi Aksara, 1999. Mujieb, M. Abdul et.al. Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, hal. 342. Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2005. Prasetyo, Eko dan Marzuki, Suparman. Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset, 1997. Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984. _________. Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Keluarga Berencana Indonesia, 1997.
Yogyakarta: Perkumpulan
Prodjodikoro, Wirdjono. Tindak-Tindak Bandung:Eresco, 1986.
Tertentu
Pidana
di
Indonesia,
_________. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2003. Redaksi Penerbit Asa Mandiri. Undang-undang Perlindungan Anak, cet. Ke-4, Jakarta: Asa Mandiri, 2007. Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992. Sabiq, Sayid. Fikih Sunnah. Bandung: Alma’arif, 1990. Santoso, Topo. Seksualitas Dan Hukum Pidana, Jakarta: IND. HILL-CO, 1997. Sianturi, R.S. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996. ________. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Peterhaem , 1996 Subagyo, J. Metodologi Penelitian, Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1994.
81
Supardi Sadarjoen, Sawitri. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005. Suyanto, Bagong dan Susanti Hendrarso, Emy, Wanita. Dari Subordinasi dan Marginalisasi Menuju ke Pemberdayaan, Surabaya, Airlangga University Press,1996. Sulistyaningsih, Ekandari dan Faturochman. Dampak Sosial Psikologi Perkosaan, Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002. Syafi’i, al-, Al-Umm, Beirut-Libanon: Daar al-Wafa, Juz ke-5, 2005. Taqiyyuddin Abu Bakar, Imam. Kifâyah al-Akhyâr, juz II, t.tp: al-Haramain, 2005. UU No.1 Tahun 1974 tentang pokok Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Van Boven, Theo. Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban untuk Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, ELSAM, 2000. Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2. Jakarta : Sinar grafika, 2005. Warson Munawwir,Ahmad. Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Perempuan, Bandung, Refika Aditama, 2001. W. Bawengan, Gerson. Pengantar Psikologi Kriminil, Jakarta: Pradya Paramita, 1977. Yanggo, Chuzaimah Tahido. Problema Hukum Islam Kontemporer II. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Zakaria, M.A, Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, jilid XVIII, Mesir: Mathba’ah al-Ahram, t.th. Zarkasih, Ahmad. Dampak Pornografi Terhadap Tindak Pidana Perkosaan oleh Anak Di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Skripsi (tidak ditebitkan). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005.