KEDUDUKAN ISLAH DALAM MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : ANNISA RAHMI FAISAL NIM : 1111045100004
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M
ABSTRAK Annisa Rahmi Faisal 1111045100004, Jurusan Kepidanaan Islam, Prodi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 1436 H/ 2015, vii + 94 halaman. Penelitian ini berjudul “Kedudukan Islah Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Menurut Perspektif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam (Studi Analisis Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ). Tujuan penulisan ini untuk memberikan gambaran tentang kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia dan dalam hukum pidana Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa penelitian pustaka (library research). Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari KUHP, Undang-undang, serta kitab fiqih. Dan data sekunder diperoleh dari buku-buku hukum yang ditulis oleh para ahli hukum yang berkaitan dengan objek penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa islah dalam penyelesaian tindak pidana dapat dilakukan sebagai jalan keluar yang baik, tanpa melalui proses persidangan dan menguntungkan para pihak yang terlibat baik korban maupun pelaku kejahatan. Secara spesifik islah tidak diatur dalam hukum positif Indonesia, namun proses penyelesaian islah sudah lama dikenal sebagai keadilan restoratif (restoratif justice), proses islah dalam hukum positif hendaknya diketahui penyidik agar dapat menghentikan proses peradilan ke pengadilan. Dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang diskresi kepolisian, polisi mempunyai pijakan yuridis untuk menetapkan filosofi restoratif justice. Adapun tindak pidana yang dapat diselesaikan secara islah adalah tindak pidana ringan serta tindak pidana oleh anak, namun pada praktiknya tindak pidana sedang dan beratpun tidak menutup kemungkinan para pihak untuk melakukan islah. Pada tindak pidana anak sebagaimana yang diatur dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak menegaskan konsep keadilan restoratif sebagai jalan keluar permasalahan, hal ini ditujukan untuk mempebaiki keadaan si anak. Sedangkan dalam hukum Islam, konsep islah sudah lama ada sejak jaman Rasulullah, sebagaimana keterangan dari Q.S.Al-Hujurat ayat 9, Q.S Al-Baqarah ayat 178, serta beberapa hadis Nabi yang melegalkan islah. Dalam hukum pidana Islam, islah dapat dilakukan atas jarimah Qisash, Diyat dan Ta’zir, adapun dalam jarimah Hudud hal ini masih menjadi pro-kontra para fuqaha, karena dalam hudud terdapat hak Allah dan ketentuan hudud telah diatur secara jelas dan rinci hukumanya dalam AlQur’an. Kesimpulanya adalah islah merupakan salah satu jalan keluar yang dianggap baik karena menguntungkan para pihak serta dapat memperbaiki keadaan sosial suatu masyarakat. Kata kunci : Islah, Kedudukan Islah, Islah Dalam Penyelesaian Tindak Pidana. Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pemilik alam semesta beserta isinya, yang telah memberikan kemudahan serta ilmu yang bermamfaat. Tak lupa shalawat serta salam akan kerinduan yang teramat dalam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya, yang telah memberikan cahaya serta pertolongan kepada umat muslim hingga akhir zaman. Alhamdulillah, MENYELESAIKAN
skripsi
yang
TINDAK
berjudul
PIDANA
“KEDUDUKAN
MENURUT
ISLAH
DALAM
PERSPEKTIF
HUKUM
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Kasus Pelanggaran Lalu Lintas AQJ) telah selesai. Skripsi ini merupakan sebuah bentuk akhir dari semua usaha yang penulis lakukan selama 3 tahun lebih belajar di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang semoga dapat bermamfaat bagi penulis juga pembaca. Tak sedikit kesulitan serta halangan ketika penulisan ini dilmulai, namun semua itu bisa teratasi dengan baik karena dukungan serta arahan dari berbagai pihak yang selalu dengan sabar membantu penulis. Penulis menyadari dalam hal apapun tidak ada yang sempurna, apa lagi hanya sebuah karya skripsi ini yang penulisnya pun masih dalam proses belajar kearag yang lebih baik. Namun dari semua itu, yang paling diutamakan adalah usaha serta kerja keras yang sudah penulis lakukan untuk menyajikan wacana keilmuan dalam skripsi ini. Tentunya hal tersebut tidaklah mungkin dapat terjadi jika tanpa bantuan para pihak, oleh sebab itu penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Kepada pak Dr. Phill. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
iv
2. Kepada Ibu Masyrofah, S.Ag, M.Si, selaku ketua prodi Jinayah Siyasah, dan Ibu Rosdiana,M.A selaku sekretaris prodi Jinayah Siyasah, kepada keduanya yang telah memberikan banyak arah serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Kepada Pak Dr.H. M. Nurul Irfan, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan banyak waktu, arahan, kritik dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 4. Kepada Pak Qosim Asryadani, M.A, selaku dosen pembimbing akademik, yang telah membimbing dengan penuh kesabaran layaknya seorang ayah. 5. Kepada dosen hukum penulis, yaitu Dr. Alfitra, M.H selaku dosen hukum pidana yang sudah memberikan banyak masukan serta pengertian kepada penulis. 6. Kepada semua dosen Jinayah Siyasah yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Semoga ilmu yang mereka berikan dapat selalu bermamfaat. 7. Kepada Ibunda tercinta yakni Dahliawati, S.Pd yang telah banyak sekali memberikan halhal berarti kepada penulis. Terimakasih karena selalu memberikan doa, motivasi, serta pelajaran hidup kepada penulis. Semoga ibunda selalu sehat dan bangga akan anakanaknya. 8. Kepada Ayahanda Ma’mun Faisal, S.Pd yang telah dengan sabar membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, dan kepada semua keluarga penulis, yang telah memberikan dorongan serta dukungan yang penuh kasih sayang. 9. Kepada semua sahabat-sabahat terbaik Jinayah Siyasah : Fachria, Nurhayati, Dewi, dan Novi yang telah banyak memberikan dukungan selama kuliah dan selama penulisan skripsi ini, juga kepada teman-teman sejawat di Jinayah Siyasah dan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendoakan serta mendukung penulis.
v
10. Kepada senior Jinayah Siyasah, Waskita Agung Nugroho yang selalu mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis, serta telah memberikan banyak pengarahan semenjak penyusunan prosal hinggal skripsi. Serta untuk senior lainya baik dari Jinayah Siyasah maupun PMII. Terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu penulis, semoga kebaikan mereka semua dapat balasan yang indah dari Allah SWT. Kepada mereka, penulis hanya bisa mendoakan, agar mereka semua selalu sehat dalam rahmat dan keberkahan Allah SWT. Akhir kata, semoga kerja keras penulisan skripsi ini dapat bermamfaat untuk semua pihak, baik pembaca, penulis, maupun praktisi hukum.
Jakarta, 30 April 2015.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................i HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI.........................................................................ii HALAMAN SURAT PERNYATAAN....................................................................................iii KATA PENGANTAR...............................................................................................................iv ABSTRAK................................................................................................................................vii DAFTAR ISI.............................................................................................................................ix BAB I :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……..…………………………………………......1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…...………………………...………..9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……...………………………...…………..10 D. Tinjauan Pustaka………..…………………………………………………11 E. Metode Penelitian…………………………………..……………………..13 F. Sistematika Penulisan………………………..……………………………14
BAB II :
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA A. Islah dan Perdamaian Para Pihak…………………………………………17 a)
Pengertian Islah dan Perdamaian……………………………………17
b)
Latar Belakang Penyelesaian Secara Islah…………………………..18
c)
Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah……………………………25
d)
Efektifitas Islah dan Perdamaian Dalam Penyelesaian Tindak Pidana………………………………………………………………..32
B. Tindak Pidana dan Pemidanaan…………………………………………..35 a)
Pengertian Tindak Pidana……………………………………………35
b)
Kategorisasi Tindak Pidana…………………………………………39
ix
BAB III :
c)
Unsur-unsur Tindak Pidana…………………………………………42
d)
Tujuan Pemidanaan…………………………………………………45
KEDUDUKAN ISLAH DALAM HUKUM PIDANA ISLAM a. Islah Menurut Hukum Pidana Islam…………………………………..….49 b. Urgensi Islah Dalam Hukum Pidana Islam……………………………....52 c. Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Dalam Hukum Pidana Islam...58 d. Efektifitas Islah Dalam Hukum Pidana Islam……………………………69
BAB IV :
PENYELESAIAN KASUS PIDANA ANAK MELALUI ISLAH a. Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dan Konsep Pertanggung Jawaban Pidana Anak…………………………………………………….73 b. Kedudukan Islah Dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ…………………………………………………………………79 c. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam hukum positif……………………………………………………………………..84 d. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum Pidana Islam……………………………………………………………...88
BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………………92 B. Saran……………………………………………………………………..94
DAFTAR PUSTAKA
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara Konvensional hukum dibagi menjadi hukum publik dan hukum privat, dan hukum pidana adalah bagian dari hukum publik. Hal ini berlaku dewasa ini, dahulu di Eropa dan juga di Indonesia tidak dipisahkan hukum publik dan hukum privat. Gugatan baik dalam bidang yang termasuk hukum publik sekarang ini maupun yang termasuk hukum privat, diajukan oleh pihak-pihak yang dirugikan. Terkenanlah adagium bahasa Jerman, “wo kein klager ist, ist kein richter” (jika tidak ada aduan maka tidak ada hakim).1 Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai, adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, dan keseimbangaan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuan tersebut, hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.2 Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak 1
A.Z. Abidin, A.Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yasrif Watampone, 2010, hlm.7 2 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm. 77
1
dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang kurang jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukum agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Sehingga dapat mewujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.3 Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam kebijakan penegak hukum. Disamping itu, karena tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegak hukum inipun termasuk kedalam kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, penggunaan hukum pidana sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian, masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana bukan hanya merupakan problem sosial, tetapi juga masalah kebijakan (the problem of policy).4 Selain itu, tujuan umum dari hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi manusia), melindungi kepentingan masyarakat dan Negara dengan perimbangan yang serasi dari suatu tindakan tercela atau kejahatan di satu pihak dari tindak penguasa sewenang3
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta:UII Pers,2006, hlm 28. 4
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2010,hlm 20
2
wenang dilain pihak.5 Dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, fungsi hukum menjadi sangat penting, karena berarti harus ada perubahan secara berencana. Untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat, pemerintah berusaha untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan berbagai alat yang ada padanya. Salah satu alat itu adalah “hukum pidana”. Dengan hukum pidana, pemerintah menetapkan perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana baru. Hukum sebenarnya hadir untuk menyelesaikan conflic of human interest dan melalui pendekatan hukum inilah konflik yang tidak selesai melalui perdamaian dapat diperkarakan melalui jalur peradilan. Perdamaian mengakhiri pertikaian ditandai oleh tercapainya keadilan dengan saling memaafkan, sedangkan peradilan mengakhiri perseteruan dengan ditandai oleh tercapainya keadilan yuridisindividualis yakni ditentukan terbukti-tidaknya dan benar-salahnya suatu perbuatan oleh hakim. Dalam memecahkan masalah hukum, secara keperdataan, setiap orang akan lebih puas dan terpenuhi rasa keadilannya bila mampu menyelesaikannya melalui lembaga perdamaian. Karena perdamaian merupakan jalan yang menguntungkan para pihak dan bukan menguntungkan salah satu pihak semata. Perdamaian merupakan win-win solution bagi setiap konflik yang dialami manusia.6 Konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana, pada umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi). Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori, ada tiga hal 5
www.fhunram.com Moh Rifqi, Islah Para Tokok Politik Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam Perspektif Sosiologi Hukum. Jogjga: 2008 6
3
yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan tersebut, yaitu : keadilan, kemamfaatan dan kepastian hukum. 7 Meskipun demikian, dalam tataran prakteknya, sangat sulit ketiganya dapat terpenuhi sekaligus. Adapaun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaian dikenal dengan istilan win lose solution, dimana akan terdapat pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Dengan kenyataan seperti ini, penyelesaian suatu perkara umumnya kerap menimbulkan suatu rasa “tidak enak” dibenak pihak yang kalah, sehingga berupaya untuk mencari “keadilan” ke tingkat peradilan lebih lanjut. Hal ini pada umumnya dicap sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi yang tidak dapat dihindari walaupun sudah menjadi ketentuan.8 Pilihan Penyelesaian Sengketa atau disebut juga dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dalam istilah asingnya disebut Alternative Dispute Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia) untuk dapat menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak asasi setiap orang dalam masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan putusan yang tepat atau memuaskan. Harapan-harapan lain itu nyatanya sampai sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih masalah itu ditangani melalui
7
Sudikimo Mentokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, 1997,
hlm.98. 8
Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 3
4
adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti Pengadilan atau Arbitrase itu memakan waktu yang panjang, biaya yang tidak kecil, penyelesaian yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan pihak-pihak yang bersengketa.9 Dalam kenyataanya di masyarakat, praktek perdamaian antara korban dan pelaku tindak pidana banyak dilakukan tidak hanya dalam pelanggaran terharap ketentuan adat tetapi dalam tindak pidana pada umumnya. Penyelesaian konflik dengan jalan damai merupakan nilai kultural yang dimiliki masyarakat Indonesia seperti dinyatakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Wukir Prayitno bahwa budaya hukum di Indonesia dalam menyelesaikan konflik mempunyai karakteristik tersendiri disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyakarat, mempertahankan perdamaian merupakan suatu usaha terpuji sehingga dalam menyelesaikan konflik terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi, terutama dalam masyarakat Jawa dan Bali.10 Islah memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah pada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat, mengganti suasana konflik dengan perdamaian, menghapus hujat menghujat dengan pemaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan. Klarifikasi yang diinginkan adalah tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui meja
9
Misna Mistiyah, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam dan Hukum Positif, samuderailmu.blogspot.com, Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014 pukul 19.30 WIB 10 Wukir Prayitno, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang, 1991, hal. 21.
5
perdamaian dan perundingan.11 Islah adalah pilihan yang secara sadar ditempuh oleh korban dan pelaku untuk mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan keyakinannya terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, Islah merupakan pilihan yang menjadi hak prerogratif dari korban maupun ahli warisnya.12 Penyelesaian perkara tindak pidana melalui islah juga terterap dalam hukum Islam, hal ini dapat kita lihat dari beberapa nash yang dijadikan landasan islah, antara lain surat Al-Hujurat ayat 10 yang asrtinya : “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” Serta dalam surat Al-Baqarah ayat 224 yang artinya : “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah di antara manusia[139]. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” Proses islah terjadi karena adanya perspektif yang berubah dari korban dalam menyikapi peristiwa yang terjadi. Perubahan perspektif ini menyebabkan cara yang penyelesaian yang ditempuh pun berubah tergantung kondisi dan keinginan korban. Tetapi perubahan perspektif ini berpengaruh terhadap proses pemeriksaan kesaksian di pengadilan, dimana dalam beberapa keterangannya saksi-saksi cenderung mengubah “perspektifnya” atas peristiwa yang terjadi. Selama proses pemeriksaan saksi, alasan yang dikemukakan untuk mengubah keterangan atau mencabut keterangan dalam BAP adalah karena alasan emosional
11
A. Yani Wahid, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001. Tim Penyusun Artikel dari lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berjudul Monitoring pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok. Artikel ini didapat memalui akses internet pada tanggal 08 oktober 2014 12
6
saksi yang disebabkan oleh situasi psikologis saksi sebelum melakukan islah dan setelah melakukan islah. Contoh islah dapat kita lihat dalam Kasus HAM di Tanjung Priok, alasan para saksi melakukan koreksi (revisi) atau “perbaikan” keterangan tersebut disebabkan karena pada saat diperiksa oleh Kejaksaan Agung para saksi tersebut belum melakukan islah dan masih dendam terhadap tentara, sehingga pada waktu memberikan keterangan, saksi sengaja merekayasa keterangannya. Atas keterangan ini memang majelis hakim telah memperingatkan saksi agar memberikan keterangan sebagaimana yang dialaminya. Namun, peringatan majelis hakim ini tidak pernah dihiraukan oleh para saksi dan koreksi (revisi) keterangan ataupun perbaikan keterangan ini tetap saja berlanjut dalam pemeriksaan-pemeriksaan saksi berikutnya.13 Islah juga pernah terjadi pada tahun 2013, yaitu yang dilakukan Ahmad Dhani kepada keluarga korban kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat sang anak yaitu Abdul Qadir Jaelani/ AQJ (Dul). Dalam kasusnya, ia melanggar UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan khususnya Pasal 281 atas pelanggaran terhadap Pasal 77 Ayat (1). Sanksi pidanya adalah pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Akibat kecelakaan ini 7 orang meninggal dunia, maka Dul juga dapat dituntut dengan menggunakan Pasal 310 Ayat (4) atas pelanggaran terhadap Pasal 229 Ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sanksinya adalah pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda maksimal Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Namun disebabkan oleh 13
Artikel dari lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berjudul Monitoring pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok. Artikel ini didapat memalui akses internet pada tanggal 08 oktober 2014
7
usianya yang masih 13 tahun, yaitu masih dalam kategori anak-anak, maka selama dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan negeri wajib melakukan upaya diversi. Hal ini tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam kasus ini, Islah sangatlah diperlukan, karena ancaman pidana terhadap Dul kurang dari 7 (tujuh) tahun penjara dan apa yang dilakukan Dul bukan merupakan pengulangan tindak pidana.14 Dalam wawancara media pada tanggal 09 September 2013, Kak Seto mengatakan bahwa setiap orang memang harus bertangungjawab atas perbuatannya, termasuk Dul. Tetapi hukum kita juga mengatur bagaimana seharusnya anak seusia Dul diperlakukan. berdasarkan Undang-Undang No.3/97 tentang Pengadilan Anak dan sekarang diganti dengan undang-undang No 11 tahun 2012, meskipun masih ditunda pemberlakukannya, mestinya ditempuh secara kekeluargaan (restoratif justice). Ini merupakan proses hukum juga tetapi dengan
cara
perdamaian,
dan
pihak
korban
pun
setuju.
Artinya,
pertanggungjawaban kerugian dan pengobatan harus diselesaikan oleh pihak Ahmad Dhani.15 Namun, meski akhirnya Dul bebas, perhatian publik menuai prokontra. Penyelesaian Tindak pidana melalui islah memang merupakan jalan keluar yang sangat baik, namun pada kenyataanya, penyelesaian secara islah tak selalu bisa menghentikan penyelidikan perkara dalam hukum positif oleh sebab yang
14
http://hukum.kompasiana.com/2013/09/09/hukum-untuk-si-dul-588073.html. artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.00 WIB 15 http://www.sayangi.com/fitur/wawancara/read/5593/kak-seto-belajar-dari-kasus-dul ahmad -dhani artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.10 WIB
8
diatur oleh hukum, namun berbeda halnya dalam hukum pidana Islam, islah merupakan jalan yang sangat baik dan bisa dilakuan sebelum adanya keputusan dari hakim. Maka untuk menjawab problematika tersebut, penulis akan mengusung
skripsi
MENYELESAIKAN
yang
berjudul
TINDAK
KEDUDUKAN
PIDANA
ISLAH
MENURUT
DALAM
PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Kasus Pelanggaran Lalu Lintas AQJ).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Fokus masalah dalam studi ini berkisar pada bagaimanakah islah dapat dilakukan yang dalam kajianya melihat seperti apa kedudukan islah dalam penyelesaian tindak pidana menurut hukum positif dan hukum pidana islam, serta bagaimana pandangan hukum tersebut mengenai islah dalam analisis kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ. Dari masalah pokok diatas dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) sub-masalah yang dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research questions), yaitu : 1. Bagaimanakah kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana dalam hukum positif? 2. Bagaimanakah kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam? 3. Bagaimanakah kedudukan islah dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ?
9
Hukum Positif yang dimaksud penulis ialah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), dan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) No. 2 tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, serta Perundang-undangan lain yang terkait. Dalam Hukum Pidana Islam, penulis meninjau penarikkan kesimpulan terharap ayat-ayat Al-Qur‟an dan As-Sunnah untuk mencari apakah Islah dapat berlaku bagi semua tindak pidana, dan dari studi kualitatif bagaimana praktek islah dilakukan dalam persidangan pidana Islam.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian Secara umum, studi ini ada bebrapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu : a. merumuskan dan menjelaskan secara utuh mengenai pengertian dan prosedur Islah dalam hukum Pidana di Indonesia. b. merumuskan dan menjelaskan secara komperhensif prosedur islah para pihak dalam penyelesaian tindak pidana dalam perspektif hukum Islam. c. Menjelaskan kedudukan islah dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ menurut hukum positif dan hukum pidana Islam.
10
2. Manfaat Penelitian Adapun mamfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut : a. Untuk mengetahui dan menambah wawasan keilmuan yang secara spesifik mengenai kedudukan islah dalam penyelesaian tindak pidana dalam hukum positif dan hukum pidana Islam. b. Mengetahui dalam perkara apa sajakah islah dapat dilakukan oleh para pihak dalam hukum positif dan hukum pidana Islam. c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan studi komparatif untuk penelitian selanjutnya yang membahas tentang islah dan perdamaian tindak pidana. d. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan kontribusi pemikiran dalam merumuskan RUU KUHP di Indonesia mengenai prosedur islah/ perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana dimasa yang akan datang.
D. Tinjauan Pustaka / Penelitian Terdahulu Sejumlah penelitian tentang topik Islah telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spasifik sumber data yang diperoleh, isu, maupun yang menyinggung secara umum. Berikut beberapa tinjauan umum atas bagian karya-karya penelitian mengenai penyelesaian perkara tindak pidana memalui Islah Karya ilmiah yang di susun oleh Ahmad Ramzy dengan berjudul “Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan Restorative Justice Dikaitkan dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”. Dalam Tesisnya beliau mengatakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar antara penyelesaian perkara pidana menurut hukum pidana Islam dan Restorative Justice mengenai tindak-pidana
11
yang dapat dilaksanakan perdamaian, institusinya yang dapat menyelesaikan perkara pidana secara perdamaian bisa menjadi komparasi untuk sistem peradilan pidana yang berada di Indonesia sehingga dapat terbangunnya semangat untuk menyelesaikan permasalahan perdamaian.16 Karya Ilmiah ditulis oleh Alef yang berjudul “Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.” Dalam penelitianya beliau mengatakan bahwa dalam praktek pengadilan, perdamaian yang dilakukan anatara korban dengan pelaku tindak pidana menjadi bahan pertimbangan meringankan yang digunakan oleh sebagian besar hakim dalam menjatuhkan putusanya. Perdamaian yang dilakukan antara korban dan pelaku tindak pidana tidak dapat mengahapuskan pertanggung jawabanan atau perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa meskipun sudah memaafkan terdakwa dan tidak menuntut terdakwa atas perbuatanya, bahkan meminta petugas untuk membebaskan terdakwa dari pemidanaan.17 Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, maka penulis bermaksud untuk menulis skripsi mengenai islah, yang menitik beratkan tentang bagaimana kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana, apakah islah dapat berpengaruh terhadap putusan hakim baik dalam persidangan hukum positif di Indonesia maupun hukum pidana Islam. Penulis pun akan menganalisis kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ, yang pada penyelesaian perkaranya dengan menggunakan upaya permadamain (islah). 16
Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan Restorative Justice Dikaitkan dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Universitas Indonesia, 2012. 17 Alef Musyahadah , Tesis, Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan. Universitas Diponogoro, 2005.
12
E. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang digunakan sebagai dasar penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian Secara tipologis, penelitian penulisan ini merupakan model penelitian dengan pendekatan Kualitatif sehingga metode yang diterapkan ialah metode kualitatif. Dalam penelitian kualitatif menurut Noeng Muhadjir diterapkan model logika reflektif, yang di dalamnya proses berfikir membuat abstraksi dan proses berfikir membuat penjabaran berlangsung cepat.18 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penulis melakukan penelitian kualitatif berupa penelitian pustaka (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan. 2. Sumber Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data kualitatif, yaitu data yang umumnya berbentuk narasi atau gambar-gambar. Dalam data kualitatif, datadata yang berupa bahan hukum terdiri dari : a. Bahan hukum premier, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.19 Adapun bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu : KUHP dan Kitab Fiqih. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan 18
Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Asmawi. Soejono Soekanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:IND HILLCO, 2001), Cet V, hlm.13. 19
13
hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang sudah membahas masalah ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.20 Bahan hukum tersier adalah semua bahan yang mendukung bahan primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, artikel, dan lain-lain.
3. Tehnik Analisis Data Analisis data yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan menggunakan penelitian kulitatif. Dalam penyajianya, penelitian kualitatif yang khas adalah dalam teks naratif.21 Dalam melakukan analisis terhdapa sumber dan materi hukum pidana islam diterapkan pendekatan teoritis-filosofis. Sedangkan dalam melakukan analisis terhadap materi perundang-undangan pidana khusus dan doktrin hukum pidana, diterapkan pendekatan normative-doktrin dengan memanfaatkan model-model interpretasi hukum.
F. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab pertama bertajuk “pendahuluan”. Dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatar belakangi penelitian ini, dan diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan
20
Soejono Soekanto, Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:IND HILLCO, 2001), Cet V, hlm.13. 21 Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Asmawi.
14
dan mamfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) metode penelitian, dan (6) sistematika penulisan. Bab kedua berjudul “tinjauan umum tentang tindak pidana”. Bab ini menyajikan uraian teori mengenai pengertian serta tinjauan hukum mengenai penyelesaian masalah tindak pidana secara islah berdasarkan hukum positif. Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian islah secara teori yang diungkapkan oleh beberapa ahli. Uraian dalam bab ini juga menjadi landasan berpikir menganalisis hukum pidana nasional. Bab ini terdiri dari atas 2 (dua) subbab utama, yaitu (1) Islah dan perdamaian para pihak, (2) Tindak pidana dan pemidanaan. Pada sub-bab “Islah dan perdamaian para pihak” memuat 4 (empat) sub-bab , yaitu (a) pengertian islah dan perdamaian, (b) latar belakang penyelesaian secara islah, (c) penyelesaian tindak pidana secara islah, dan (d) efektifitas islah dan perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana. Sedangkan dalam sub-bab kedua (2) “Tindak pidana dan pemidanaan.” memuat 4 (empat) sub-bab, yaitu (a) pengertian tindak pidana, (b) kategorisasi tindak pidana, (c) unsur-unsur tindak pidana, dan (d) tujuan pemidanaan. Bab ketiga berjudul “kedudukan islah dalam hukum pidana Islam”. Bab ini menyajikan uraian teori mengenai pengertian, definisi serta tinjauan hukum mengenai penyelesaian masalah tindak pidana secara islah berdasarkan hukum pidana Islam. Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian islah secara teori yang diungkapkan oleh beberapa fuqaha. Uraian dalam bab ini juga menjadi landasan berpikir menganalisis hukum pidana Islam. Bab ini terdiri dari atas 4 (empat) sub-bab, yaitu (1) Devinisi Islah menurut hukum pidana Islam, (2)
15
Urgensi Islah dalam hukum pidana Islam, (3) Penyelesaian tindak pidana secara islah dalam hukum pidana Islam, dan (4) Efektifitas Islah dalam hukum pidana Islam. Bab Keempat berjudul “Penyelesaian kasus pidana anak melalui islah”. Dalam bab ini diuraikan analisis terhadap kasus pidana AQJ yang diselesaikan secara islah dengan menerapkan kerangka pemikiran konsep hukum, baik hukum positif maupun hukum pidana Islam, sehingga dapat dilihat dalam bentuk komparatif terhadap islah tersebut. Bab ini menyajikan 4 sub-bab, yaitu : (a) Kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ dan konsep pertanggungjawaban pidana anak, (b) kedudukan islah dalam penyelesaian kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ, (c) Efektifitas islah kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ perspektif hukum positif, dan (d) Efektifitas Islah kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ perspektif hukum pidana Islam. Bab kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan dan saransaran. Dalam bab ini disajikan pokok-pokok temuan penelitian yang telah dihasilkan, serta memuat saran terkait dengan penelitian selanjutnya.
16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA A. Islah dan Perdamaian Para Pihak a.) Pengertian Islah dan Perdamaian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa edisi keempat, pengertian islah adalah perdamaian, yakni tentang penyelesaian pertikaian. Sedangkan pengertian perdamaian adalah penghentian permusuhan, perselihisan, pertikaian, dsb.22 Islah atau perdamaian, memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah pada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat, mengganti suasana konflik dengan perdamaian, menghapus hujat menghujat dengan permaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan. Klarifikasi yang diinginkan adalah tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui meja perdamaian dan perundingan.23 Islah adalah pilihan yang secara sadar ditempuh oleh korban dan pelaku untuk mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan keyakinannya terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, islah merupakan pilihan yang menjadi hak prerogratif dari korban maupun ahli warisnya. Islah merupakan pilihan yang sifatnya voluntaristik, suka rela dan tanpa paksaan. Kedua belah pihak, baik
22
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 594. 23 A. Yani Wahid, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001.
17
korban maupun pelaku sama-sama dalam posisi tidak saling menekan dan memilih secara bebas jalan menuju islah ini.24 Islah dalam praktiknya adalah bersifat pribadi dan bilateral antara pelaku dan korban. Dalam hal pelaku dan korban jumlahnya lebih dari satu maka tetap islah ini dalam koridor perdamaian dua belah pihak. Namun, Islah inipun bersifat privat atau pribadi dan tidak bisa dilakukan penyamarataan terhadap semua korban atau pelaku. Sekali lagi bahwa islah adalah pilihan yang sifatnya pribadi antara pelaku dan korban. Munculnya pemikiran tentang islah sendiri adalah sebuah proses yang sering didahului dengan perubahan perspektif baik korban ataupun pelaku dalam mensikapi peristiwa yang terjadi. Kedua belah pihak, baik pelaku maupun korban, mengalami proses pemahaman tertentu sehingga lebih memilih proses penyelesaian melalui perdamaian dan memilih untuk bermusywarah dan memberikan permaafan.25
b.) Latar Belakang Penyelesaian Secara Islah Di dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana termasuk dalam ruang hukum publik. Artinya, hukum pidana mengatur hubungan antara warga negara dan menitikberatkan kepada kepentingan publik. Secara historis, hubungan
hukum
yang
ada
pada
awalnya
adalah
hubungan pribadi/
privat, tetapi dalam perjalanan waktu terdapat hal-hal yang diambilalih oleh kelompok atau suku dan akhirnya setelah berdirinya negara diambilalih oleh negara dan dijadikan kepentingan umum. Hak penuntutan terhadap suatu 24
Tim Penyusun, Artikel, Monitoring Pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2003, hlm. 2-3. 25 Ibid
18
perbuatan pidana terletak pada alat kelengkapan negara, yaitu jaksa penuntut umum.26 Salah satu karakteristik dari hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik dapat dilihat dari segi keterlibatan alat kelengkapan negara untuk menuntut setiap orang yang telah melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana pada umumnya tidak mengenal adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan. Namun dalam kenyataannya di masyarakat, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sering dilakukan. 27 Setiap perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang akan menimbulkan akibat negatif berupa ketidakseimbangan suasana kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik tersebut, diperlukan suatu pertanggungjawaban dari pelaku yang telah mengakibatkan ketidakseimbangan tersebut. Pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Jadi seseorang yang dipidanakan, berarti dirinya harus menjalankan suatu hukuman yang berguna untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya karena dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum.28 Konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana, pada umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi). Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori, ada tiga hal 26
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012, hlm. 2. Wukir Prayitno, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, Semarang : CV.Agung, 1999, hlm.21. 28 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012, hlm. 3. 27
19
yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan tersebut, yakni adalah : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.29 Secara teoritik, model peradilan pidana yang selama ini berkembang dalam masyarakat sosial, dikenal dalam dua bentuk, yakni model dalam peradilan pidana (In of Court System) dan model di luar peradilan pidana (Out of Court System). Model dalam peradilan pidana dimaksudkan model penyelesaian yang bertolak dari kaidah-kaidah normatif, yaitu kaidah yang secara tekstual normatif telah disepakati untuk menjadi pedoman dalam proses penanganan perkara pidana, dan dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal adanya model-model dalam sistem peradilan pidana, yakni : crime control model, due process model dan family model. Sedangkan model di luar peradilan pidana (Out of Court System) adalah model yang dikembangkan dari kaidah-kaidah tradisi dalam kehidupan sosial masyarakat dan atau praktik penegakan hukum, unutk menyelesaikan persoalan hukum di luar proses persidangan formal.30 Meskipun pengadilan dibentuk oleh negara untuk menyelesaikan konflik yang muncul dalam masyarakat dan bersifat netral, tetapi pengadilan bukanlah satu- satunya institusi dalam menyelesaikan konflik, karena pihak-pihak yang berkonflik tidak selamanya menggunakan mekanisme penyelesaian pada badan peradilan. Marc Galanter menyatakan pencarian keadilan tidak hanya didapatkan di ruang pengadilan akan tetapi juga terdapat di luar ruang pengadilan.31
29
Sudikno Mentokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1997,
hlm.98 30
Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 31 31 Trisno Raharjo, Jurnal Hukum, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Pidana Adat, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010, hlm.492 - 519
20
Adapun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaian tindak pidana melalui pengadilan, dikenal dengan istilah win lose solution, di mana akan terdapat pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Dengan kenyataan seperti ini, penyelesaian suatu perkara umumnya kerap menimbulkan satu rasa “tidak enak” di benak pihak yang kalah, sehingga berupaya untuk mencari “keadilan” ke tingkat peradilan lebih lanjut atau lebih tinggi. Hal ini pada umumnya dicap sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi yang tidak dapat dihindari walaupun sudah menjadi suatu ketentuan.32 Sehingga banyak dari masyarakat yang berhadapan dengan hukum lebih memilih jalur di luar pengadilan, yakni dengan perdamaian (islah). Dalam konstruksi hukum pidana yang dibangun berdasar pandangan retributif,
penderitaan
atau
kerugian
korban
telah
diabstraksi
dan
dikompensasikan dengan ancaman sanksi pidana yang dapat dikenakan pada pelaku. Penyelesaian atas tindak pidana yang terjadipun sepenuhnya menjadi kewenangan aparat penegak hukum. Abstraksi terhadap kerugian atau penderitaan korban serta kewenangan penyelesaian tindak pidana dalam jalur hukum yang hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum tersebut tidak terlepas dari pengertian tindak pidana yang menurut pandangan retributif dikonsepsikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum negara. Dengan konsepsi tersebut maka negara, yang aturan-aturan hukumnya telah dilanggar oleh pelaku tindak pidana, menempatkan diri sebagai korban dan juga berhak, melalui aparat penegak hukumnya, untuk menuntut dan menjatuhkan sanksi kepada si pelaku kejahatan. Dalam pandangan 32
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm.3-5.
21
retributif, konstruksi penyelesaian tindak pidana akan menghadap-hadapkan pelaku, sebagai pihak yang melanggar aturan hukum, melawan negara, sebagai pihak yang aturan hukumnya telah dilanggar. Dalam konstruksi hukum pidana yang demikian, segala keinginan korban yang berkaitan dengan penyelesaian tindak pidana yang menimpa dirinya menjadi kurang bahkan tidak diakomodasi. Padahal secara moral yuridis telah disepakati bahwa keadilan hukum diberikan kepada pihak yang terlanggar haknya. Lembaga peradilan, termasuk peradilan pidana, adalah lembaga yang memberikan jaminan tegaknya keadilan yang ditujukan kepada pihak yang terlanggar hak-hak hukumnya, yang disebut sebagai korban. Namun pada kenyataannya, putusan lembaga peradilan tersebut seringkali mengecewakan perasaan korban mengenai keadilan yang didambakan.33 Pilihan Penyelesaian Sengketa atau disebut juga dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dalam istilah asingnya disebut Alternative Dispute Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia) untuk dapat menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak asasi setiap orang dalam masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan putusan yang tepat atau memuaskan semua pihak. Harapan-harapan lain itu nyatanya sampai sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih masalah itu ditangani 33
G. Widiartana, Disertasi, Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Pidana, Universitas Diponogoro, 2011, hlm.14
22
melalui adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti Pengadilan atau Arbitrase itu memakan waktu yang lama, biaya yang tidak kecil, penyelesaian yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan pihak-pihak yang bersengketa.34 Adanya pemikiran penyelesaian perkara pidana melalui jalur ADR (Alternative Dispute Resolution) adalah bermaksud agar dapat menyelesaikan konflik yang terjadi antara pelaku dengan korban. Pendekatan melalui jalur ADR, pada mulanya termasuk dalam wilayah hukum keperdataan, namun dalam perkembangannya dapat pula digunakan oleh hukum pidana, hal ini sebagaimana diatur dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-6 Tahun 1995. ADR ini merupakan bagian dari konsep restorative justice yang menempatkan peradilan pada posisi mediator.35 Praktik penyelesaian perkara pidana melalui jalur musyawarah antar pelaku dan korban serta masyarakat yang terlibat di dalamnya merupakan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mekanisme penyelesaian ini dalam praktiknya terselenggara dengan atau tanpa melibatkan penegak hukum. Dalam praktik, perdamaian sebagai hasil akhir dari musyawarah yang terjadi menjadi kunci penutup permasalahan yang terjadi seolah mendapatkan pembenaran dalam hukum yang hidup dalam masyarakat. Fenomena yang demikian dalam kenyataannya bukan hanya menjadi permasalahan di Indonesia saja. Di sejumlah Negara telah dibuat kebijakan dalam rangka menjawab
34
Misna Mistiyah, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Palembang : 2013 (Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014 pukul 20:05 WIB) 35 Sahuri Lasmadi, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. hlm.2.
23
pennasalahan tersebut dalam bentuk program Pemerintah atau bahkan kebijakan dalam regulasinya. Kebijakan dan program ini dibuat berdasarkan filosofi pemidanaan tradisional yang membingkainya yang dikenal sebagai keadilan restoratif. Keadilan restoratif merupakan suatu filosofi pemidanaan tradisional yang dapat dipakai sebagai pendekatan dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana yang terjadi dalarn masyarakat.36 Untuk lebih jelasnya, keadilan restoratif juga dapat dilihat dalam United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, dinyatakan bahwa restorative justice merupakan sebuah istilah baru terhadap konsep lama. Pendekatan restorative justice telah digunakan dalam memecahkan masalah konflik antara para pihak dan memulihkan perdamaian di masyarakat. Karena pendekatan-pendekatan retributif atau rehabilitatif terhadap kejahatan dalam tahun-tahun terakhir ini dianggap sudah tidak memuaskan lagi. Oleh karenanya menyebabkan dorongan untuk beralih kepada pendekatan restorative justice. Kerangka pendekatan restorative justice melibatkan pelaku, korban dan masyarakat dalam upaya untuk menciptakan keseimbangan, antara pelaku dan korban.37 Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi. Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. 36
Eva Achjani Zulfa, Artikel, Keadilan restoratif di Indonesia: studi tentang kemungkinan penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana), Universitas Indonesia. 37 Sahuri Lasmadi, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hlm.1-2
24
Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hal ini menjadi penting, karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, namun dalam hal restorative justice, korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka.38 Model penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan memalui musyawarah yang bertujuan perdamaian, dapat digunakan sebagai model alternatif atas daras pertimbangan kompleksitas masalah dan pada saat yang sama untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap peran hukum pidana itu sendiri.39
c.)
Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Menurut Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya yang berjudul Filsafat
Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, perdamaian dalam perkara pidana tidak selalu diupayakan layaknya perkara perdata. Karena upaya damai dalam perkara pidana tidak pernah menjadi komponen yang utama dan tidak menentukan baik di awal maupun diakhir proses penanganan. Hukum pidana menempatkan perdamaian di luar pengadilan. Itulah sebabnya filosofi yang melatar belakangi
38
Jecky Tengens, Artikel, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia, Klinik Hukum Online. Artikel ini diakses pada 15 Februari 2015 pukul 20:13 WIB. 39 Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Huku, Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 37
25
kehadiran peradilan pidana hanya berkisar pada upaya pengawasan sosial melalui upaya penegakkan hukum materiil, dan melindungi hak-hak individu.40 Paradigma diatas ada benarnya, sebab paradigam dalam hukum pidana bersifat retributif, di mana hukuman harus mengakibatkan pada si penjahat kerugian atau penderitaan, atau paling tidak seimbang dengan apa yang diderita korban. Namun, demikian bukan berarti penyelesaian perkara pidana di luar peradilan tidak dapat dilakukan. Mengingat dalam hukum pidana sudah dianut pola semacam itu. Hal ini dapat dilihat di bab VIII buku I KUHP, di mana ada alasan penghapusan penuntutan, meskipun hanya terbatas pada tindak pidana pelanggaran yang semata-mata diancam dengan denda.41 Dalam penyelesaian tindak pidana melalui islah/ perdamaian, dapat dilakukan di luar pengadilan (konsep restorative justice). Hal itu dapat memutus perkara menjadi tidak sampai dalam tahap persidangan, karena para pihak telah berdamai atau telah menemukan sebuah kesepakatan sebelum kasus di persidangkan. Namun, tentu hal itu hanya bisa terjadi pada delik tertentu. Pada kasus tindak pidana biasa maupun pidana berat, perdamaian tidak dapat menghentikan perkara kedalam persidangan, namun hal itu dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan.42 Hakim mempunyai wewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat saat ini, dengan mencakupkan pertimbangan 40
Soedjono Dirdjosisworo, Filasafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung : Armico, 1984, hlm. 21 41 Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 35 42 Wawancara kepada Alfitra, Jum‟at 13 Februari 2015 pukul 10.30 WIB.
26
hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan hukum.43 Dalam penyelesaian tindak pidana dengan konsep keadilan Restoratif, setelah adanya penandatanganan Nota Kesepakatan Bersama MAHKUMJAKPOL tentang Perma Nomor 2 Tahun 2012 antara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepolisan Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dilakukan agar lembaga-lembaga hukum terkait dapat berkordinasi dengan baik untuk menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 dan dapat mensosialisasikannya untuk mengadili dan memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan Tindak Pidana Ringan dan perkara-perkara yang dijatuhi hukuman denda.44 Namun dalam praktiknya, tidak hanya tindak pidana ringan ataupun perkaraperkara yang dijatuhi denda saja yang melakukan perdamaian atau proses islah di luar peradilan pidana. Hal ini dapat terjadi dengan adanya diskresi kepolisian45, yang berwenang untuk memilih tindakan apa yang pantas kepada suatu perkara.46
43
Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 9 Anistia Retenia Putri Siregar, Jurnal Hukum, Eksistensi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2012 Tentang Penyesuaia Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013. 45 Diskresi adalah kebijaksanaan kepolisian dalam hal memutuskan sesuatu tindakan tidak hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku, tetapi juga atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan menurut penilaiannya sendiri. 46 Wawancara dengan Dr. Alfitra, SH, MH 44
27
Menurut pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang diskresi kepolisian, sebenarnya telah memberikan pijakan yuridis kepada polisi sebagai penyidik untuk menerapkan filosofi restorative justice dalam penanganan perkara pidana. Dengan diskresi ini, penyidik polri dapat memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya, dalah satu tindakan yang dapat dilakukanya adalah mengimplementasikan restorative justice dengan cara mendudukan korban pada titik sentral dalam menyelesaikan perkara pidana dan menjauhkan dari pemenjaraan, akan tetapi tetap dimintai pertanggung jawaban.47 Sistem peradilan pidana harus selalu mempromosikan kepentingan hukum dan keadilan. Tetapi terdapat pandangan salah bahwa ukuran keberhasilan hukum hanya ditandai dengan keberhasilan mengajukan tersangka ke pengadilan dan kemudian dijatuhi hukuman. Seharusnya ukuran keberhasilan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ditandi dengan tercapainya nilai-nilai keadilan di masyarakat. Kepolisian sebagai alat Negara yang berperan dalam menegakkan hukum diharapkan dapat merespons hal ini dengan menggunakan mekanisme restotarive justice.48 Kepolisian dalam melaksanakan tugas harus selalu berpedoman pada hukum dan mengenakan sanksi hukum kepada pelaku pelanggaran, namun kepolisian juga dimungkinkan melakukan tindakan pembebasan seorang pelanggar dari proses hukum, seperti adanya kewenangan diskresi kepolisian yang tertuang pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
47
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, Hal.10. 48 Ibid, hlm. 1
28
Negara Republik Indonesia, yang bunyi pasalnya adalah untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pelaksanaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan
peraturan
perundang-undangan
serta
Kode
Etik
Profesi
Kepolisian Negara RI.49 Penerapan restorative justice di Indonesia dapat dilakukan dengan model lembaga musyawarah untuk mencapai perdamaian dan keadilan. Dengan demikian, penegak hukum dapat menjadikanya sebagai solusi untuk mengatasi kendala bagi penegak hukum dalam penanganan perkara di lapangan dalam mengimplementasikan keadilan restoratif. Polisi dapat melakukan hal ini melalui hak diskresi yang dimilikinya karena hal itu merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri.50 Tugas polisi sebagaimana yang diatur dalam bab IV KUHAP memiliki wewenang untuk menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang tersangka
dan memeriksa tanda
pengenalnya,
melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan, memeriksa dan menyita surat, memanggil orang sebagai tersangka atau saksi, mendatangkan orang ahli, mengadakan penghentian penyidikan, serta mengadakan tindakan lain menurut
49
Bram Wijaya, dkk.Jurnal Hukum, Implementasi Kewenangan Diskresi Kepolisian Dalam Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Di Luar Pengadilan. Jurnal Hukum Fakultas Brawijaya, hlm.3 50 Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, Hlm.14.
29
hukum yang bertanggung jawab.51 Hal senada juga dijelaskan dalam UU No.2 tahun 2002 tentang kepolisian. Dengan demikian, kepolisian itu tidak perlu hanya memainkan peran yang bersifat represif. Di lapangan, secara prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil dengan pekerjaan yang pre-emptif. Pola yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara kerja kepolisian bukan seperti pemadan kebakaran yang bekerja setelah kejadian, melainkan harus selalu mendahului menculnya kejadian dengan mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emptif ketimbang represif. Mengingat peran yang dimainkan oleh kepolisiaan secara komprehensif seperti itu (represif-preventif-pre-emptif), maka model peradilan yang cocok dikembangkan oleh kepolisian (dan tentunya perangkat hukum yang lainya) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah restorative justice.52 Model peradilan yang demikian itu lebih mengutamakan upaya “pemulihan keadaan” sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat yang mencarei keadilan. Peran kepolisian dalam model peradilan restorative adalah sebagai “fasilitator” dan bukan semata-mata sebagai “penghukum” (penegak hukum). Dengan demikian hasil yang diharapkan dari proses peradilan restorative adalah menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak melalui upaya win-win solution.
51
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2011, Cet.VII. hlm. 236. 52 Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.7
30
Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perdamaian dalam perkara pidana dapat dilakukan dengan pihak ketiga yaitu kepolisian sebagai fasilitator untuk korban dan pelaku kejahatan agar bisa bermusyawarah dan mengupayakan perdamaian di luar pengadilan. Meskipun rumusan restorative justice itu belum ada dalam perundangundangan Indonesia namun tidak berari tidak ada dasar hukumnya. Dasar hukum yang dapat dirujuk adalah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian RI, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan, UU Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, UU Nomor 13 tahun 2006 tentang LPSK, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan korban. Juga sila ke-4 Pancasila yaitu prinsip musyawarah mufakat untuk menyelesaikan masalah.53 Selain itu, restorative justice sudah secara jelas tertuang dalam UU No.11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, dimana proses peradilan tersebut wajib mengedepankan restorative justice.54 Proses restorative justice ini dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak (baik anak sebagai korban, pelaku, maupun saksi). Proses ini dilakukan oleh penyidik (kepolisian) di luar pengadilan atau sebelum perkara di persidangkan.55
53
Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi Dan Legislasi Keadilan Restoratif Di Indonesia, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2, Nomor 2, Agustus 2013, hlm.10 54 Aqsa Alghifarri, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: LBH Jakarta, 2012, hlm.15 55 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
31
d.)
Efektifitas Islah dan Perdamaian Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Dalam berbagaimacam wacana aktual, restorative justice atau keadilan
restoratif merupakan suatu cara khusus untuk menyelesaikan kasus pidana di luar pengadilan. Walaupun tidak semua jenis pidana dapat diterapkan dalam sistem ini, namun penerapan sistem ini bisa dikatakan jauh lebih efektif dibandingkan proses peradilan pidana yang konvensional.56 Ada beberapa manfaat diterapkanya retributive justice dalam sistem peradilan suatu Negara. Manfaat pertama adalah bagi korban dan pelaku. Konsep ini berpandangan bahwa pelaku tindak pidana harus membayar kesalahanya melalui pemenjaraan. Adapun korban sering hanya “dimamfaatkan” sebagai saksi. Setelah proses persidangan selesai korban akan ditinggalkan sendiri dengan segala penderitaan dan kerugiannya. Sebaliknya, restorative justice justru akan lebih memperhatikan nasib korban. Hasil penelitian menunjukan bahwa 80% korban merasakan proses yang lebih fair dalam restorative justice. Mereka merasa lebih less upset about the crime, less apprehensive and less afraid of revictimization (kurang tau tentang kejahatan, kurang memprihatinkan dan kurang takut reviktimisasi).57 Mamfaat kedua adalah bagi komunitas sekitarnya. Restorative justice tidak hanya merestorasi pelaku dan korban, tetapi juga menyembuhkan pengaruh buruk yang dirasakan komunitas. Program perdamaian yang menjadi icon restorative justice diharapkan akan menjamin keselamatan, keamanan, dan keharmonisan
56
Ibid. hlm. 08 Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol.2 Nomor 2. Agustus 2013, hlm.12 57
32
masyarakat terdampak. Manfaat ketiga adalah mengurangi jumlah narapidana dan residivis, dan manfaat keempat adalah menghemat biaya dan waktu.58 Realitas praktik penyelesaian perkara pidana di luar peradilan melalui prosedur perdamaian, terlihat bahwa pola penyelesaian yang demikian dirasa lebih sesuai dengan adat istiadat dan atau nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan bahwa upaya penyelesaian kasus-kasus kriminal tertentu melalui prosedur perdamaian (conciliation procedure) dan atau penyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui upaya perdamaian atau ADR, atau mediasi penal, memang dapat dibenarkan, tetapi bukan berarti dapat dilakaukan dengan serta merta, tetapi harus memperhatikan kriteria yang ada.59 Adapun kriteria yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis dan aspek sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah sifat melawan hukumnya perbuatan, sifat berbahaya perbuatan, jenis pidanaya (strafsoort), berat ringan pidana (straftmaat), cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus), dan kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh tindak pidana itu. Adapun askpek sosiologis yang harus diperhatikan adalah karakter, umur dan keadaan si pelaku, latar belakang terjadinya perilaku tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah pelaku itu pemula atau bukan, pelaku memperbaiki kerugian yang ditimbulkan atas perilakunya, pelaku mengakui kesalahanya, pelaku meminta maaf kepada korban, serta pelaku menyesali serta tidak akan mengulangi perbuatanya lagi. 60
58
Ibid. Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Pnyelesaian Perkara Pidana Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia. Vol 25 No.1, Janurai 2007, hlm. 40 60 Ibid. 59
33
Pada intinya, pelaksanaan restorative justice adalah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat, serta mengembalikan pelaku dengan masyarakat. Restorative justice menawarkan suatu yang berbeda karena mekanisme peradilan yang terfokus kepada pembuktian perkara pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi. Tujuan akhir dari sistem ini adalah membuktikan kesalahan pelaku dan menjatuhi hukuman diubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu penyelesaian perkara pidana yang menguntungkan.61 Ada beberapa keuntungan dengan menjadikan kedilan restoratif sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan perkara pidana. Pertama, masyarakat diberikan ruang untuk menangani sendiri permasalahan hukumanya yang dirasakan lebih adil. Kedua, beban negara berkurang. Secara administratif, jumlah perkara yang masuk ke dalam sistem peradilan dapat dikurangi sehingga beban institusi pengadilan menjadi berkurang. Dengan begitu maka beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem peradilan pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan pun akan berkurang.62 Jika ingin dibandingkan sistem peradilan pidana dengan restorative justice, maka perbandingannya adalah demikian63 :
61
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.04 62 Ibid, hlm.05 63 Ibid, hlm. 04
34
SPP Tujuan
RJ
Menanggulangi dan Mengendalikan
Mencari penyelesaian atas
Kejahatan
tindak pidana yang terjadi
Tolok ukur
Jumlah perkara yang diproses dan di
Kesepakatan para pihak
keberhasilan
pidana yang dijatuhkan
dapat dijalankan
Tujuan akhir Mengintegrasikan pelaku kembali ke masyarakat untuk menjadi warga yang
Pemulihan hubungan social antar stake holder
baik Bentuk
Pembalasan, pemaksaan, penderitaan
penyelesaian bagi pelaku
Pemaafan, sukarela, perbaikan untuk semua.
B. Tindak Pidana dan Pemidanaan a.) Pengertian Tindak Pidana Mendefinisikan tentang pengerian hukum tindak pidana tidaklah mudah. Hal itu disebabkan para ahli memberikan pengertian hukum tindak pidana akan berkaitan dengan cara pandang, batasan, dan ruang lingkup dari pengertian tersebut. Seorang ahli hukum pidana yang memberikan pengertian tentang hukum pidana tentu akan berimplikasi pada batasan dan ruang lingkup hukum pidana, hal itu tentu saja akan berbeda dengan ahli hukum yang lainnya. Tidak mengherankan apabila dijumpai banyak sekali pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum pidana yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainya.64
64
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal.1
35
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar suatu larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.65 Kata tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit, terkadang juga menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa latin delictum. Sedangkan hukum pidana Negara-negara anglo-saxon menggunakan istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama.66 Pada dasarnya istilah strafbaar feit diuraikan secara harfiah yang terdiri dari tiga kata, yaitu Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum, lalu Baar yang diterjemahkan dengan dapat dan boleh, serta kata feit yang diterjemahkan dengan kata tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Jadi istilah strafbaar feit secara singkat bisa diartikan perbuatan yang boleh dihukum. Namun, dalam kajian selanjutnya tidak sesederhana ini karena yang bisa dihukum bukan perbuatannya melainkan orang yang melakukan suatu perbuatan yang melanggar aturan hukum.67 Tindak pidana menurut undang-undang diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh perturan perundang-undangan dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dengan demikian perbuatan yang dituduhkan haruslah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh suatu perturan perundangn-undangan.68 Adapun istilah yang dipakai dalam hukum pidana sebagaimana yang ditulis dalam buku Moeljatno, yaitu „tindak pidana‟. Istilah ini muncul dari pihak 65
Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet I Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 28 66 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, cet I, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 86 67 Ibid. hlm. 87 68 Koesparmono, Hukum Pidana 2, Jakarta: Ubhara Jaya, 2005, hal .1
36
kementerian Kehakiman, istilah ini sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata „tindak‟ lebih pendek dari „perbuatan‟ tapi „tindak‟ tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana hanya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakukan, tingkah-laku, gerak-gerik, atau sikap jasmani seseorang.69 Oleh karena tindak sebagai kata tidak terlalu dikenal, maka di dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasalpasalnya, maupun dalam penjelasan undang-undang tersebut, hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.70 Selanjutnya, berikut adalah pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli hukum. Menurut Moeljatno mengartikan hukum tindak pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai acaman maupun sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya. 2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada seseorang yang telah melakukan larangan-larangan, sehingga dapat dijatuhi atau dikenakan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan bagaimana cara pemidanaan itu dapat dilakukan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan yang berlaku.71
69
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000,
hlm.55. 70 71
Ibid. Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 2
37
A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan kriminal”, karena “perbuatan pidana” yang dipakai Moeljatno itu juga kurang tepat.72 Ia menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah yang padanan saja, yang umum dipakai sarjana, yaitu delik (dari bahasa latin Delictum). Memang jika kita perhatikan hampir semua penulis hukum juga menggunakan juga istilah delik di samping istilahnya sendiri seperti Roeslan Saleh di samping menggunakan “perbuatan pidana” juga menggunakan istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno Adji, di samping menggunakan islitlah “perbuatan pidana” juga menggunakan islitalh “delik”.73 Menurut ahli hukum pidana yang lain yaitu Simons, sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah, strafbaar freit atau tindak pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan kelakuan orang yang mampu bertanggung jawab.74 Menurut Moeljatno sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Andi Hamzah dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, ia mengatakan bahwa perbuatan pidana itu dapat dipersamakan dengan criminal act, jadi berbeda dengan strafbaar feit, yang meliputi pula pertanggungjawaban pidana. Menurut Molejatno, criminal act berarti kelakuan akibat, yang disebut juga actus reus.75 Dalam pengertian tindak pidana, para pakar memiliki uraian mengenai istilah yang dapat mewakili konsep strafbaar feit atau criminal act, ada tujuh
72
Andi Hamzah, Asaz-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2005, cet.I.
hlm.96 73
Ibid. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, cet II, hlm. 88 75 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005, cet I, 74
hlm. 96
38
istilah yang mewakili, yaitu 1) tindak pidana, 2) peristiwa pidana, 3) delik, 4) pelanggaran pidana, 5) perbuatan yang boleh dihukum, 6) perbuatan yang dapat dihukum, dan 7) perbuatan pidana. Menurut Nurul Irfan, istilah apapun yang dipakai, pengertian tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana.76
b.) Kategorisasi Tindak Pidana Secara teoritis tindak pidana dikategorisasikan ke dalam beberapa jenis perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran.77 Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan secara nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya.78 Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai tindak kejahatan dalam undangundang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini juga disebut mala in se, yang artinya, perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat perbuatan tesebut memang jahat.79
76
M.Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 6 77 Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.101. 78 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, Cetakan Keenam, 2000. hlm.71 79 Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.101
39
Sebaliknya, pelanggaran adalah “wetsdeliktern” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya wet yang menentukan demikian. Namun, sejak sebelum Wetbook v. Strafrecht mulai berlaku, pandangan seperti itu telah ditentang. Hal itu disebabkan bahwa adanya pelangggaran juga sudah ada sebelum adanya ketentuan wet, yang memang sudah dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut.80 Pembagian delik atau tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran ini muncul dalam WvS (KUHP Belanda) pada tahun 1886, yang kemudian turun ke KUHP Indonesia pada tahun 1918.81 Pembagian delik kejahatan dan delik pelanggaran ini menimbulkan perbedaan secara teoritis. Sering disebut kejahatan sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur dalam undang-undang, sudah dianggap seharusnya dipidana. Sedangkan pelanggaran sering disebut sebagai delik undang-undang, yang artinya setelah tercantum dalam undang-undang maka hal tersebut dapat dipandang sebagai delik.82 Manurut Moeljatno, KUHP di Indonesia hanya membagi delik kejahatan dan pelanggaran itu didasarkan atas berat atau entengnya pidana saja. 83 Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi delik kejahatan adalah lebih berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa84 :
80
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000.
81
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005), cet I,
hlm.71 hlm. 106 82
Ibid. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000,hlm.72 84 Ibid. 83
40
1.
Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja
2.
Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran maka hal itu tidak perlu.
3.
Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (pasal 54). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (pasal 60).
4.
Perihal tenggang daluarsa, baik hak untuk menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan.
5.
Dalam hal perbarengan (Concursus) para pemidanaan berbeda untuk pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat (pasal 65, 66-70). Pembagian tindak pidana pun tidak hanya terbagi dalam delik kejahatan dan
pelanggaran, tindak pidana pun dikategorisasikan dalam delik materiil dan delik formil. Yang pertama adalah perbuatan pidana yang dalam perumusanya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Perbuatan pidana formil adalah perbuatan pidana yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukanya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang, tanpa mempersoalkan akibatnya, seperti yang tercantum dalam pasal 362 KUHP dan pasal 160 KUHP. Sedangkan perbuatan pidana materiil adalah perbuatan pidana yang perumusannya dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Perbuatan pidana ini baru dianggap telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi. 85
85
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.102.
41
Selain kategorisasi di atas, pembagian tindak pidana juga dapat dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah perbuatan pidana yang dalam penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau dirugikan. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaraktkan adanya pengaduan
untuk
penuntutannya,
seperti
pembunuhan,
pencurian
dan
penggelapan.86
c.) Unsur-unsur Tindak Pidana Pada hakikatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari atas unsurunsur lahir oleh karena perbuatannya, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karena hal itu, yakni suatu kejadian dalam alam lahir (kejadian yang nyata).87 Satochid Kartanegara mengatakan bahwa unsur-unsur delik terdiri dari dua golongan, yaitu unsur-unsur objektif dan unsur-unsur subjektif. Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri manusia, yang semuanya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.88 Adapun unsurunsur subjektif yaitu unsur yang terdapat di dalam diri pembuat. Unsur-unsur Subjektif ini berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap suatu perbuatan yang dilakukannya.89
86 87
Ibid. hlm.103 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000,
hlm.58 88
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th), hlm. 65 89 P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditunjukan Terhadap Hak Milik, Bandung: Tarsito,1992, hlm. 29
42
Menurut Mahrus Ali, dalam bukunya dasar-dasar hukum pidana, ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana atau delik adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi yang melakukanya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal, yaitu90 : 1.
Perbuatan itu berwujud suatu kelakukan, baik aktif maupun pasif, yang mengakibatkan timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.
2.
Kelakukan yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertianya yang formil maupun materiil.
3.
Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang. Misalnya, berkaitan dengan diri pelaku delik, tempat terjadinya delik, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Moeljatno, ia mengatakan bahwa yang
merupakan unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah adanya kelakuan dan akibat perbuatan, adanya hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, adanya keadaan tambahan yang memberatkan pidana, adanya unsur melawan hukum yang objektif maupun unsur yang melawan hukum subyektif.91 Dalam bukunya pun Moeljatno kembali menekankan, bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatan 90 91
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.100. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000.
hlm.63
43
pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subjektif.92 Dalam hukum pidana, istilah “sifat melawan hukum” adalah satu frasa yang memiliki empat makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan hukum umum, sifat melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formil, dan sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum dapat dipidana suatu perbuatan. Sedangkan sifat melawan hukum khusus biasanya kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.93 Di dalam KUHP Indonesia yang berlaku sekarang, adakalanya perkataan “melawan hukum” dirumuskan secara tegas dan eksplisit di dalam rumusan delik dan adakalanya tidak. Jika perkataan “melawan hukum” dirumuskan dan dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, hal demikian memiliki arti penting untuk memberikan perlindungan atau jaminan tidak dipidananya orang yang berwenang atau berhak melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.94 Menurut doktrin hukum pidana, ajaran sifat melawan hukum dikenal dua jenis, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan
92
Ibid. Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.142. 94 Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UUM Press, 2008, hlm. 211. 93
44
hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang.95 Sedangkan ajaran sifat melawan hukum materiil berpandangan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada undang-undangn saja, atau hukum tertulis saja, tetapi harus juga didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis. Suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum materiil apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat.96
d.) Tujuan Pemidanaan Menurut Remmelink hukum pidana bukan bertujuan untuk diri sendiri tetapi ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada paksaan.97 Teori pemidanaan yang menjelaskan tentang tujuan pemidanaan dalam sistem hukum Eropa Kontinental yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan. Sedangkan teori pemidanaan dalam sistem hukum Anglo Saxon yaitu teori retribusi, teori inkapasitasi, teori penangkalan, dan teori rehabilitasi.98 Dalam karya tulis ini, penulis akan lebih menjelaskan teori tujuan pemidanaan Eropa Kontinental.
95
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.45 Ibid. hlm.147 97 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I, 96
hlm. 30 98
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.186.
45
1. Teori Absolut Teori absolut bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban.99 Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.100 Teori ini mirip dengan teori retribution dalam Anglo Saxon. Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkanya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidak perlu untuk memikirkan mamfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Maka drai itu, teori ini disebut teori absolut, karena penjatuhan pidana merupakan hal yang mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.101
99
Ibid. hlm.187. Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998, hlm. 49. 101 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I, 100
hlm. 33
46
2. Teori Relatif Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaanya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana (special prevention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang, serta secara umumnya bertujuan untuk mencegah masyarakat luas (general prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainya.102 Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda, yaitu : menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Prevensi ini dibedakan menjadi dua, yaitu prevensi umum dan khusus. Prevensi umum yaitu bertujuan untuk menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.103 Sedangkan prevensi khusus, yang dianut oleh van Hamel (Belanda) dan von Liszt (Jerman) mengatakan bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader) untuk mengulangi perbuatanya, atau mencegah bakal pelanggar melasanakan perbuatan jahat yang direncakanaya.104 3. Teori Gabungan Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran yang terdapat dalam teroti absolut dan teori relatif. Di samping mengakui bahwa penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga
102 103
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.190. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005), cet I,
hlm. 34 104
Ibid. hlm.37.
47
dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke masyarakat.105 Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu106 : 1. Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. 2. Mengadakan
koreksi
terhadap
terpidana
dan
dengan
demikian
menjadikanya orang yang baik dan berguna. 3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (pasal 5). Dalam ayat 2 pasal di atas dikatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dengan demikian dapat dikatan bahwa yang tercantum dalam rancangan KUHP merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prevensi, koreksi, kedamain dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana.107
105 106
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.191 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I,
hlm. 38 107
Ibid, hlm. 39
48
BAB III KEDUDUKAN ISLAH DALAM HUKUM PIDANA ISLAM a. Islah Menurut Hukum Pidana Islam
Dalam Islam perdamaian dikenal dengan kata al-islah yang artinya memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan, berusaha mewujudkan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dengan lainnya, dan melakukan perbuatan baik berperilaku sebagai orang suci.108 Secara bahasa, akar kata islah berasal dari lafazh صال حب – يصلح – صلحyang berarti “baik”, yang mengalami perubahan bentuk. Kata islah merupakan bentuk mashdar dari wazan إفعبلyang berarti memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan, (penyelesaian pertikaian). Kata صال حmerupakan lawan kata dari سيئة/ ( فسبدrusak). Sementara kata إ صلحbiasanya secara khusus digunakan untuk menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. 109 Iṣ lah ialah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang sedang saling berperkara. Iṣ lah merupakan sebab untuk mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, maka dari itu islah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran, menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan, serta yang menimbulkan
108
Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997, hlm. 740 Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, hlm.13. 109
49
sebab-sebab yang menguatkan, yakni persatuan dan persetujuan, hal itu merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara.110 Konsep islah dikatakan banyak terjadi kemiripan dengan al‟afwu, bahkan ada beberapa ulama yang menyamakan antara islah dan al‟afwu. Namun, dari Islah dan al‟afwu berbeda secara definisi maupun konsep. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa ishlah merupakan satu proses penyelesaian perkara antar pihak yang dipilih oleh masing-masing pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh pihak ketiga dan berakhir dengan kesepakatan, sehingga tercipta perdamaian di antara kedua belah pihak. Sedangkan al‟afwu adalah media penyelesaian perkara kejahatan qisash dengan melepaskan hak qisash dari korban kepada pelaku, yang masih memungkinkan dilakukan qisash. Dalam konteks jinayat dan lebih khusus lagi persoalan pembunuhan, secara implisit menarik satu garis pembeda antara al‟afwu dan ishlah dengan melihat arti makna inisiatif kompensasi itu berasal. Jikalau inisiatif pemberian kompensasi terhadap hukuman qisas tersebut berasal dari kedua belah pihak, maka itu dikatakan ishlah (perdamaian). Sedangkan jika inisiatif pemberian kompensasi itu hanya berasal dari satu pihak saja (tepatnya pihak korban), maka yang demikian itu masuk dalam kategori al‟afwu (pemaafan).111 Pembedaan antara islah dan al‟afwu tersebut dapat dikatakan hanya terdapat pada tataran konsep saja, sedangkan dalam praktik, sangat mungkinkan terjadi 110
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm. 455 111 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia 2012, hlm. 27-28.
50
persamaan teknis dalam pelaksanaannya sebagai satu metode penyelesaian suatu jarimah. Bahwa islah merupakan konsep perdamaian secara umum untuk masalah keluarga sampai pada masalah politik kenegaraan, dan mencakup pula dalam bidang hukum pidana dengan menekankan pada hasil kesepakatan para pihak. Sedangkan al‟afwu merupakan satu konsep penyelesaian perkara praktis berupa pemaafan dengan membebaskan pelaku dari tuntutan hukuman dengan konsekuensi korban memiliki pilihan untuk meminta diyat (kompensasi) atau tanpa kompensasi.112 Secara istilah, islah bisa diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam kaitannya dengan perilaku manusia. Karena itu, dalam terminologi Islam secara umum, islah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan tidak baik.113 „Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua amal perbuatannya dan segala urusannya. Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya berpendapat, bahwa kata islah mempunyai arti mengkondisikan sesuatu pada keadaan yang lurus serta mengembalikan fungsinya untuk dimanfaatkan.114 M. Quraish Shihab berpendapat bahwa, ada puluhan ayat dalam Al-Qur‟an berbicara tentang kewajiban melakukan salah dan islah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata ṣ alah diartikan sebagai antonym dari kata fasad (kerusakan),
112
Ibid. Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. hlm.14 114 Ibid 113
51
yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah digunakan oleh Al-Qur‟an dalam dua bentuk: Pertama islah yang selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah salah yang digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, salah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut dan hal yang dilakukannya itu dinamai islah.115
b. Urgensi Islah Dalam Hukum Pidana Islam Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap sengketa dapat diselesaikan sehingga keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forumforum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.116 Islah dalam Islam merupakan satu konsep yang utuh dalam penyelesaian suatu perkara. Secara mendasar terdapat prinsip-prinsip yang harus ada dalam proses islah, yang pertama adalah pengungkapan kebenaran, kedua, adanya para pihak, yaitu pihak yang berkonflik dalam hal kejahatan dan harus ada korban serta 115
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm. 464 116 Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Jakarta : Tata Nusa, 2004, hlm. 18
52
pelaku, sedangkan pihak yang lain adalah mediator. Yang ketiga, islah merupakan proses sukarela tanpa paksaan, dan keempat adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban.117 Terdapat anggapan selama ini bahwa dalam suatu perkara atau kasus hukum, terutama pada kasus-kasus pidana, pilihan penyelesaian perkara melalui peradilan menjadi pilihan utama, karena itulah satu-satunya penyelesaian perkara yang dianggap legal di negeri ini. Namun demikian, salah satu alternatif penyelesaian perkara yang dianggap lebih mudah sehingga tidak memerlukan waktu yang panjang untuk selesainya sebuah perkara yaitu dibuatnya lembaga pemaafan. Lembaga pemaafan dapat menangani segala jenis jarimah dalam Islam, maka dapat dikatakan bahwa ditetapkannya lembaga pemaafan dalam sistem hukum pidana nasional menjadi sangat urgen, bukan saja karena lembaga ini diakui dalam hukum tetapi juga karena keberadaan lembaga pemaafan ini akan mengurangi masalah yang dihadapi oleh para pihak yang bertikai.118 Pandangan bahwa Islam sangat menekankan penyelesaian perkara di luar mekanisme peradilan, juga dapat ditelusuri dari berbagai konsep dalam AlQur‟an. Yakni konsep islah (perdamaian), sebagaimana ditegaskan dalam QS AlHujurat/49 : 9.119
117
Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia 2012, hlm.31. 118 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.450 119 Ibid, hlm. 455
53
“Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain maka tidaklah kelompok yang berubuat aniaya itu sehingga ia kembali keoada perintah Allah, jika ia telah kembali maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berlaku adil.” Ayat di atas menggunakan kata ()إن. Kata ini untuk menunjukan bahwa pertikaian antar kelompok orang beriman sebenarnya diragukan atau jarang terjadi. Karena orang-orang itu adalah orang yang beriman juga dan memiliki tujuan yang sama. Kata iqtatalu ( )إ قتتلواterambil dari kata qatala () قتل. Ia dapat berarti membunuh atau berkelahi atau mengutuk. Dengan demikian, perintah fa qatilu pada ayat di atas tidak tepat bila langsung diartikn perangilah, karena memerangi mereka boleh jadi merupakan tindakan yang terlalu besar dan jauh. Terjemahan yang lebih netral untuk kata tersebut – lebih-lebih dalam konteks ayat ini – adalah tindaklah. Dengan demikian, ayat di atas menuntun kaum beriman agar segera turun tangan melakukan perdamaian begitu tanda-tanda perselisihan nampak. Jangan tunggu sampai rumah terbakar, tetapi padamkanlah api sebelum menjalar.120 Kata iqtatalu ( ) إقتتلواberbentuk jamak, sedang tha‟ifatani ( )طبءفتبنberbentuk dual. Sepintas mestinya kata iqtatalu berbentuk dual juga. Tetapi tidak demikian kenyataanya. Hal tersebut karena – menurut sementara pakar – di sebabkan karena 120
Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 13, Jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm. 244
54
jika terjadi peperangan atau perkelahian antara dua kelompok, yang akhirnya menjadi lebih dari dua orang, tetapi tetap itu menjadi dua pihak. Kata ashlihu ( )أصلحواterambil dari kata ashlaha ( )أصلحyang asalnya adalah shaluha ()صلح. Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan anonym kata fasada () فسد yang artinya rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian shaluha berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedang ishlah ( )إصالحadalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Dalam konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan. Apabila terjadi kerusakan, maka hal ini menuntut adanya islah, yakni perbaikan agar keharmonisan pulih, dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemashlahatan.121 Ayat di atas merupakan landasan hukum untuk memaafkan tindak pidana AlBaghyu (pemerontakan). Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk mendamaikan. Namun jika salah satu kelompok dari dua golongan masih memberontak dan melampaui batas maka diperbolehkan untuk memerangi mereka hingga mereka kembali jalan yang benar. Namun, pemberontakan yang dimaksud ialah bahwa pemberontakan hanya dilakukan kepada kepala negara yang sah dan berdaulat. Apabila dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di suatu negara tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi, maka itu tidak disebut pemberontakan.122 Selain dasar hukum perdamaian dan pemaafaan di atas, dasar hukum perdamaian juga tertera dalam hadis Nabi SAW dari Sahl bin Sa'ad ra : “bahwa 121
Ibid. hlm. 244 -245 Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hlm.66-67
122
55
sesungguhnya penduduk Quba berperang-perangan (berkelahi) sampai mereka berlempar-lemparan dengan batu. Lalu hal itu dikabarkan kepada Rasulullah saw, Beliau bersabda: "marilah kita pergi ke sana dan kita damaikan mereka". (HR.Imam Bukhari, Kitab Shahihul Bukhari, Terjemah, Juz III, hal 76, no 1248).123 Dari penjelasan di atas, dapat diketahui doktrin Islam tentang penyelesaian perkara adalah penyelesaian secara damai dan musyawarah di antara pihak-pihak yang berperkara tanpa harus melalui proses hukum di depan hakim pengadilan. Hal-hal yang saat ini baru muncul dan menunjukkan kekurangan dari sistem peradilan konvensional, sebenarnya telah disadari dalam Islam sehingga dianjurkan untuk tidak terburu-buru membawa setiap perkara ke pengadilan. Karena jiwa yang telah didoktrin dengan ajaran pemaafan merupakan jiwa yang menjadi tujuan setiap muslim untuk mencapai ketaqwaan, maka diyakini perkara itu dapat diselesaikan di antara pihak-pihak berperkara. Doktrin Islam tentang lembaga alternatif penyelesaian perkara pidana bahkan telah merupakan hukum postif yang berlaku dalam negara dan masyarakat Islam mendahului doktrin sistem hukum manapun. Lembaga itulah yang dikenal sebagai lembaga pemaafan yang terukir dalam sejarah awal Islam.124
123
Misnawati Mistiah, Samudrailmu.blogspot.com, blog ini diakses pada 10 Desember 20014 pukul 19.30 WIB 124 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm 460.
56
c. Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Dalam Hukum Pidana Islam Salah satu ketentuan mengenai hubungan antar orang perorang adalah mekanisme penyelesaian konflik ketika manusia menghadapi sengketa hukum. Al-Quran mengatur proses penyelesaian sengketa ini melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa melalui jalur non pengadilan dapat dilakukan di antaranya oleh seorang hakam (Pihak ketiga).125
Ḥ akam ini berfungsi sebagai penengah (pendamai) dari dua atau lebih pihak yang sedang berperkara. Istilah teknis penyelesaian perkara non-litigasi, ḥ akam sejajar dengan mediator atau arbitator.126 Menurut Amin Suma, salah seorang anggota tim revisi KUHP, beliau pernah menyatakan bahwa salah satu konsep pertanggungjawaban pidana dalam fikih jinayah yang bisa diadopsi KUHP adalah lembaga pemaafan. Seorang terdakwa bisa saja terbebas dari sanksi pidana jika ia dimaafkan oleh korban atau keluarga korban. Ketika diwawancarai oleh Nanang Shaikhu dari UIN Online, Amin Suma mengatakan “Saya pernah menjadi tim perumus RUU KUHP. Saya memaparkan bahwa salah satu institusi dalam pidana Islam terdapat “pemaafan”. Institusi ini setahu saya adalah khas milik hukum pidana Islam, dalam hukum pidana lain tidak ada. Dalam pidana Islam, seseorang yang melakukan pembunuhan tetapi jika pihak keluarga korban memaafkan, maka ia bebas sama sekali dari hukum.
125
Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB 126 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm. 461.
57
Kalau dalam hukum pidana lain tidak demikian, tetap perbuatanya harus diproses.127 Penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam dapat dilakukan melalui lembaga “pemaafan” dengan menghadirkan Hakam di antara pihak yang sedang berperkara. Dalam kamus Munjid disebutkan bahwa, “arbitrase” dapat disepadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yaitu pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berperkara atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan perkara mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “hakam”.128 Menurut Abu al-Ainain Fatah Muhammad, pengertian tahkim menurut istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan perkara para pihak yang bersengketa. Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar pengertian “tahkim” menurut kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum di antara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak. Sedangkan pengertian “tahkim” menurut ahli hukum dari kelompok Syafi‟iyah yaitu memisahkan pertikaian
127
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm. 450. 128 Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB
58
antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara‟ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilakukanya.129 Hakam dalam Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 35 : “Dan jika kamu khawatir persengketaan diantara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufik kepada suami-istri-mu iyu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Fungsi utama hakam adalah mendamaikan. Tetapi jika mereka gagal, apakah mereka dapat menetapkan hukum dan harus dipatuhi oleh suami-istri yang bersengketa itu? Ada yang mengiyakan dengan alasan Allah menamai mereka hakam dan, dengan begitu, mereka berhak menetapkan hukum sesuai dengan kemashlahatan, baik disetujui oleh para pihak maupun tidak. Pendapat ini juga dianut oleh sejumlah sahabat Nabi SAW, juga kedua imam mazhab Malik dan Ahmad Ibn Hanbal.130 Meskipun konsep tahkim, al-hakam, dan hakamain, dalam Al-Qur‟an lebih mengacu pada perkara perdata, yaitu perceraian, tetapi dalam perkembangannya, ternyata konsep tersebut juga digunakan dalam perkara-perkara yang terkait dengan pidana. Seperti, perkara yang terjadiantara Ali bin Abi Talib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan terjadinya perang Siffin
129
Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB 130 Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 2. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm.522.
59
diselesaikan dengan sebuah mekanisme yang dikenal dalam sejarah sebagai “tahkim”.131 Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 178 : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diat kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” Menurut Quraish Sihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini menjelaskan bahwa Allah mewajibkan qisash jika - wahai keluarga terbunuh- menghendakinya sebagai sanksi akibat pembunuhan. Tetapi pembalasan itu harus melalui pihak yang berwenang dengan ketetapan bahwa, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Jangan menuntut seperti adat Jahiliah, membunuh orang merdeka walau yang terbunuh adalah hamba sahaya, jangan juga menuntut balas terhadap dua atau banyak orang kalau yang terbunuh secara tidak sah hanya seorang, karena makna qisash adalah “persamaan”. Tetapi
131
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hal. 455.
60
jika keluarga teraniaya (korban) ingin memaafkan dengan menggugurkan sanksi itu, dan menggantinya dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan.132 Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya sekemanusiaan, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat yakni tebusan kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Jangan sekali-kali yang memaafkan menuntuk tebusan yang tak wajar. Yang demikian itu, adalah ketetapan hukum tersebut, yakni suatu keringanan dari Tuhan kamu agar tidak timbul dendam atau pembunuhan beruntun, ia juga merupakan rahmat bagi keluarga korban dan pembunuh.133 Jarimah qisash dalam fiqih jinayah ada 2, yaitu qisash karena melakukan jarimah pembunuhan, dan qisash karena melakukan jarimah pengaiayaan. Adapun jarimah pembunuhan menurut ulama fiqih terbagi dalam 3 kategori, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan semi-sengaja dan tersalah.134 Adapun sanksi hukuman qisash hanya berlaku bagi tindak pidana pembunuhan yang pertama, yakni pembunuhan sengaja. Adapun dua jenis pembunuhan yang lain sanksinya dalah diyat. Demikian juga sanksi pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban, sanski hukumanya juga berupa diyat. Mengenai jumlah diyat yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana adalah berupa diyat berat, ataupun diyat ringan. Perbedaan kedua diyat tersebut terletak pada jenis dan umur unta, tetapi jumlah untanya tetap sama baik diyat ringan
132
Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 1, Jakarta : Lentera Hati, 2007, hal. 393 133 Ibid. 134 Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hlm.5-7.
61
maupun diyat berat, yakin sama-sama 100 ekor unta. Untuk diyat ringan, hanya terdiri dari 20 ekor unta umur 0-1 tahun, 20 ekor yang lain berumur 1-2 tahun, 20 ekor yang lain umurnya 2-3 tahun, 20 ekor yang lain umur 3-4 tahun, dan 20 ekor lagi berumur 4-5 tahun. Sedangkan diyat berat terdiri dari tiga kategori terakhir di atas ditambah 40 ekor unta yang sedang mengandung atau bunting.135 Kasus pidana yang secara jelas dapat diserahkan kepada lembaga pemaafan ini, adalah jarimah pembunuhan, sebab kasus itulah yang disebutkan secara tegas dan langsung dalam Al-Qur‟an, yang memberikan hak kepada keluarga korban untuk menentukan jenis hukuman apa yang diberikan kepada pelaku tindak pidana. Namun ada Hadis Nabi saw. yang menunjukkan bahwa kasus-kasus pidana yang lain pun dapat diselesaikan melalui mekanisme lembaga pemaafan ini.136 Dalam wewenangnya sebagai lembaga pemaafan, hendaknya melihat jarimah apa yang menjadi pertikaian di antara para pihak. Dalam hukum pidana Islam, dikenal tiga macam jarimah (tindak pidana), yaitu jarimah Hudud, Qisash, dan Ta‟zir. Jarimah sendiri menurut bahasa, berasal dari kata Jarama yang artinya berusaha dan bekerja. Sedangkan menurut istilah, seperti dikemukakan oleh Imam al-Mawardi, Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang yang bersifat syari (mahzurat syar‟iyyah), yang diancam oleh Allah SWT dengan sanksi had atau ta‟zir.137
135
Ibid. Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm. 456 137 Ibid. hlm. 456. 136
62
Menurut Abdul Qadir Audah, yang dapat menyebabkan gugurnya „uqubah (hukuman) dalam syari‟at yaitu, Pertama, pelaku kejahatan (jani) meninggal dunia. Akan tetapi jika hukuman itu adalah hukuman maliyah seperti diyat, tentu saja tidak dapat menggugurkan hukumanya, seperti dalam kasus tindak pidana qatl alkhata‟ (pembunuhan tidak sengaja) maka hukuman terhadap hartanya tetap harus dijalankan. Kedua, qisash dan diyat menjadi gugur apabila kedua belah pihak melakukan islah. Fuqaha sepakat bahwa qisash menjadi gugur jika para pihak melakukan islah. Untuk perkara qisash, jika terjadi islah, maka kadar pelaksanaan islah boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih ringan dari pada diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta. Namun, islah dalam perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang telah diwajibkan diyat, karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai riba. Ketiga, hukuman dapat gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari korban atau walinya. Adapun dalam perkara hudud tidak boleh ada maaf, karena ia menyangkut hak Allah. Maaf yang diberikan, baik itu diberikan oleh korban ataupun wali al-amr adalah tidak sah.138 Secara bahasa, lafal hadd atau hudud berarti pencegahan, dan yang dimaksud dengan hudud Allah adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah karena dilarang. Jarimah Qisash dan Diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman Qisash atau diyat. Baik Qisash maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaan qisash dengan hukuman hadd adalah bahwa hadd merupakan hak Allah (masyarakat), sedangkan qisash dan diat adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana 138
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Hlm. 63.
63
dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah “suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu”. Pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Sedangkan, jarimah takzir adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman takzir. Pengertian takzir menurut bahasa ialah ta‟dib atau memberi pelajaran atau menolak dan mencegah, akan tetapi menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh imam Al-Mawardi bahwa “Takzir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum di tentukan hukumannya oleh syara‟.139 Ta‟zir adalah bentuk masdar dari kata ُ يَعْزِر-َ عَزَرyang secara etimologis berarti ُ ال َّردُ وَال َمنْع, yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti َُنصَّرَه menolong dan menguatkan. Hal ini serupa dalam firman Allah SWT berikut :
Artinya : “Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membersarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Q.S. Al-Fath : 9).140 Kata ta‟zir dalam ayat diatas juga memiliki arti ّر ُه وَأعَبنَوُ وَ َقوَا ُه َ َّظمَوُ وَ وَق َع َ yaitu membersarkan, memperhatikan, membantu, dan menguatkan (Agama Allah). Sementara itu Al-Fayyumi dalam Al-Misbah Al-Munir mengatakan bahwa ta‟zir adalah pengajaran dan tidak termasuk ke dalam kelompok had.141
139
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm. 465-467 140 M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013, hlm.136 141 Ibid.
64
Menurut Nurul Irfan dalam buku fiqih Jinayah, ta‟zir ialah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, dan tidak termasuk dalam kategori hukuman hudud ataupun kafarat. Karena ta‟zir tidak ditentukan secara langsung oleh Alqur‟an dan hadis. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta‟zir, harus tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kepentingan umum.142 Ta‟zir memang tidak termasuk dalam kategori hukuman hudud. Namun, bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat dimungkinkan di antara sekian banyak jenis dan bentuk ta‟zir berupa hukuman mati.143 Berbeda dengan hudud, menurut Makhrus Munajat, jarimah hudud umumnya diartikan sebagai tindak pidana yang macam dan sanksinya ditetapkan secara mutlak oleh Allah SWT, sehingga manusia tidak berhak untuk menetapkan hukuman
selain
hukum
yang
ditetapkan
Allah.
Alasan
para
fuqaha
mengklasifikasikan jarimah hudud sebagai hak Allah, pertama, karena perbuatan yang disebut secara rinci oleh Al-Qur‟an sangat mendatangkan kemaslahatan baik perorangan maupun kolektif. Kedua, jenis pidana dan sanksinya secara definitif disebut secara langsung oleh lafal yang ada dalam Al-Qur‟an, sementara pidana lain tidak.144 Jika mengacu pada hadis-hadis Nabi SAW yang telah dikemukakan. "Saling memaafkanlah kalian dalam kasus-kasus hukum sebelum datang kepada saya
142
Ibid. hlm.140 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah, 2012, hlm. 147 144 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.462 143
65
(untuk mendapatkan putusan), sebab kasus hukum apa saja yang sampai kepada saya, maka saya wajib menegakkan hadd". Hadis ini mengindikasikan bahwa kasus-kasus hukum apa pun dapat diselesaikan melalui mekanisme Lembaga Pemaafan.145 Rasulullah bersabda Dari Abu Syuraih al-Khaza‟iy berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW berkata, "Barangsiapa ditimpa pembunuhan atau penganiayaan (al-khubl adalah al-jarah, yakni penganiayaan badan), maka ia berhak memilih salah satu dari tiga hal; menjatuhkan haknya, mengambil diyat, atau memaafkan, maka jika berkehendak yang keempat ambillah dari kedua tangannya.”146 Dalam hadis lain pun yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi dari Amr bin Syuaib dari Bapak dari Kakeknya, Rassulullah SAW bersabda, yang artinya: “Barang siapa dengan sengaja membunuh, maka si pembunuh diserahkan kepada wali korbannya. Jika wali ingin melakukan pembalasan yang setimpal (qisash), mereka dapat membunuhnya. Jika mereka tidak ingin membunuhnya, mereka dapat mengambil diyat (denda). Dan bila mereka berdamai, itu terserah kepada wali mereka.” kasus-kasus hukum sebaiknya diusahakan untuk diselesaikan melalui jalur non litigasi sebelum dibawa ke pengadilan. Maka, lembaga pemaafan dapat berfungsi sebagai alternatif penyelesaian perkara sebelum kasus itu diajukan ke pengadilan. Jika perkara-perkara yang tergolong jarimah hudud masih diperdebatkan menjadi kewenangan Lembaga Pemaafan, maka perkara-perkara lainnya yang termasuk
145
Ibid. Hlm.465 Misnawati, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Samuderailmu.blogspot.com. Artikel ini di akses pada 12 Desember 2014 pukul 19.00 WIB 146
66
jarimah qisash/ diat dan jarimah takzir, sama sekali tidak ada masalah jika menjadi kewenangan Lembaga Pemaafan.147 Orang yang berhak memiliki dan memberikan pengampunan atau perdamaian adalah orang yang memiliki hak qishash. Jumhur ulama yang terdiri atas Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa pemilik qishash adalah semua ahli waris, baik zawil furudh maupun ashabah, laki-laki maupun perempuan dengan syarat mereka itu akil dan baligh. Lain halnya dengan Imam Malik, menurutnya pemilik hak qishash adalah ashabah laki-laki yang paling dekat derajatnya dengan korban dan perempuan yang mewarisi dengan syaratsyarat tertentu mereka adalah mustahik (ahli waris) qishash.148 Sedangkan, untuk jarimah qisash para ulama telah sepakat tentang dibolehkannya perdamaian, sehingga dengan demikian qishash menjadi gugur. Perdamaian dalam qishash ini boleh dengan meminta imbalan yang lebih besar dari pada diat, sama dengan diat, atau lebih kecil dari diat. Juga boleh dengan cara tunai atau utang (angsuran), dengan jenis diat atau selain jenis diat dengan syarat disetujui (diterima) oleh pelaku jarimah. Akan tetapi, dalam hukum qishash itu terkandung dua hak, yaitu hak Allah (masyarakat) dan hak manusia (individu), penguasa (negara) masih berwenang untuk menjatuhkan hukuman ta‟zir. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah dan Malikiyah. Hukuman ta‟zir menurut malikyah adalah penjara selama satu tahun dan jilid (dera) sebanyak seratus kali.
147
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.466 148 Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia 2012, hlm.30.
67
Akan tetapi menurut Syafi‟iyah, Hanabilah, Ishak, dan Abu Tsaur, pelaku tidak perlu dikenakan hukuman ta‟zir. 149 Salah satu jarimah qisash adalah pembunuhan, Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menyebutkan bahwa Imam Malik, al-Laist dan al-Auza‟i telah menetapkan bahwa si pembunuh apabila dimaafkan oleh wali korban, maka dia dijatuhi hukuman jilid dan penjara selama satu tahun. Sedangkan al-Syafi‟i, Ishak, Ibn Munzir dan Abu Tsaur berpendapat bahwa si pembunuh boleh diberi kebebasan penuh. Memperkuat pendapat Malik di atas, Abd al-Qadir Audah dalam bukunya al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami menegaskan bahwa jika pihak korban memaafkan pembunuh, maka yang gugur hanyalah hak-hak perorangan (private rights) yaitu hukuman qisash atau diyat saja. Sedangkan hak Allah yang dilanggar harus tetap dijatuhi hukuman oleh hakim berupa hukuman ta‟zir.150 Adapun dasar pelaksanaan islah menurut Abd al-Qadir Audah selain QS. AlBaqarah (2):178, adalah Hadis Rasulullah SAW yang artinya “Barang siapa melakukan pembunuhan sengaja (qatl al-amd), maka terserah kepada wali si terbunuh apakah akan menuntut qisash atau akan mengambil diyat, hak islah sepenuhnya diserahkan kepadanya.” (HR. Abu Daud dan al-Turmuzi). Menurut Wahbah al-Zuhaily, hukum yang ada pada islah sama dengan hukum yang ada pada „afw. Siapa yang memberi maaf maka dia telah melakukan islah. Apa yang terjadi pada islah juga sama dengan yang terjadi pada „afw, yakni sama-sama menggugurkan qisash. Maaf dalam perkara ta‟zir dapat dilakukan oleh wali al-
149 150
Ibid. Ibid.
68
amr. Karena ia yang mempunyai hak untuk memberi maaf secara sempurna dalam tindak pidana ta‟zir. 151
d. Efektifitas Islah Dalam Hukum Pidana Islam Islah atau sulh adalah suatu proses penyelesaian perkara ketika para pihak bersepakat mengakhiri perkara mereka secara damai. Islah/ sulh memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan perkara. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar agar perkara mereka dapat diakhiri. Al-Qur‟an menganjurkan memilih sulh sebagai sarana penyelesaian perkara yang didasarkan pada pertimbangan bahwa sulh dapat memuaskan para pihak, dan tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam penyelesaian perkara mereka. Sulh mengantarkan pada ketentraman hati, kepuasan dan memperkuat tali silaturahmi para pihak.152 Masyarakat memiliki tata nilai dan norma yang dijadikan acuan bersama dalam menata hubungan sosial. Islah sebagai salah satu nilai hidup, dapat memberikan identitas pada masyarakat, yaitu masyarakat yang mengutamakan perdamaian dan kebaikan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kekompakan di antara individu dalam masyarakat.153 Islah dinilai mampu mengobati luka hati rakyat. Islah dapat mencegah masyarakat membuka luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam, 151
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, hlm.65 152 Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.465. 153 Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, hlm.51
69
melainkan menutup luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.154 Dengan demikian, islah lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi menjaga agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara berkelanjutan. Untuk tujuan akhir tersebut, berarti individu, kelompok, dan negara “harus menanggung ketidakadilan yang memilukan” dan membuka pintu maaf untuk pelaku. Dengan demikian, islah adalah kesediaan memaafkan atau melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di masa depan. Singkatnya, islah lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu daripada penuntutan pidana.155 Formula islah sejalan dengan ajaran agama. Sebab, agama memandang semua manusia dan muslim bersaudara, maka perbaikilah persaudaraan antarsesama. Islam membolehkan peristiwa pidana diselesaikan melalui qisas-diyat, tetapi memaafkan lebih baik dan lebih dekat kepada taqwa.156 Memahami dan mengaplikasikan islah dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya dapat diterapkan dalam kalangan muslim. Islah dapat diaplikasikan dalam masyarakat manapun. Sebab secara esensial, islah merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa islah yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep Islam, tetapi dampak sosial yang lahir dari ishlãh dapat digunakan dan dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.Termasuk dalam konteks kehidupan antar bangsa, nilai islah sangat relevan untuk dijadikan nilai
154
Ibid. hlm.8-9. Ibid.. 156 Dhenny, Islah Sebagai Hukum Positif Banjar, artikel Komisi Kepolisian Indonesia, November 2013. Artikel ini diakses pada 8 Maret 2015 pukul 12.58 WIB 155
70
universal guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.157 Islah dalam hukum pidana Islam secara konsep sudah diatur dalam Al-Qur‟an dan hadis, hal ini tentunya menjadikan Islam sebagai agama yang sangat toleran dan menjungjung tinggi hak asasi manusia dengan tidak melupakan kepentingan umum. Adapun islah dapat dilakukan atas jarimah-jarimah selain jarimah hudud. Hal ini berdasarkan hukum, bahwa jarimah hudud merupakan hak Allah yang ketentuanya sudah secara jelas tertulis di dalam Nash. Islah diharapkan dapat membawa kedamaian para pihak tanpa meninggalkan rasa dendam maupun penyesalan, yang akhirnya keadaan sosial masyarakat kemabali rukun.
157
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, hlm. 53
71
BAB IV
PENYELESAIAN KASUS PIDANA ANAK MELALUI ISLAH
a. Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dan Konsep Pertanggung Jawaban Pidana Anak.
Kasus pelanggaran lalu lintas tak jarang mengakibatkan kecelakaan. Tak hanya oleh orang dewasa, kasus pelanggaran serta kecelakaan lalu lintas pun banyak dilakukan oleh anak di bawah umur. Maraknya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anak di bawah umur diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi para orang tua agar lebih mengawasi dan menjaga putra putri mereka, selain mengancam nyawa dan psikologis si anak, terjadinya kecelakaan juga menyebabkan anak mempunyai catatan kelam dalam hukum yang bisa mempengaruhi masa depannya. 158 Salah satu kasus pelanggaran lalu lintas yang melibatkan anak-anak adalah kasus pelanggaran lalu lintas yang terjadi pada hari Minggu tanggal 8 September 2013 sekitar pukul 01.00 WIB, bertempat di Jalan Tol Jagorawi KM 08.400 A arah selatan wilayah Jakarta Timur. Kejadian melibatkan kendaraan Mitsubhisi Lancer Nopol B-80-SAL, dengan kendaraan Daihatsu Grand Max Nopol B-1347UZJ, dengan kendaraan Toyota Avanza Nopol B-1882-UZ. Diketahui bahwa pengemudi kendaraan Mitsubhisi Lancer adalah Achmad Abdul Qadir Jaelani berusia 13 tahun, Laki-laki, pekerjaan pelajar, tempat tinggal di Pinang Emas
158
thesis.umy.ac.id/data publik/t38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum‟at 13 Maret 2015 pukul 14.45.WIB
72
VII/D4 RT8/3 Pondok Indah Jaksel. Pengemudi kendaraan Mitsubhisi Grand Max teridentifikasi sebagai Nugroho Brury Laksono berusia 35 tahun, jenis kelamin laki-laki, pekerjaan karyawan swasta, dan beralamat di Kampung Bendungan Melayu Rt 006/01 Rawa Badak Selaran Koja, Jakut. Sedangkan pengemudi kendaraan Toyota Avanza teridentifikasi sebagai Hendra Sasongko, laki-laki, pekerjaan swasta, dan beralamat di Asrama Janang Ratmil RT02/02 Jakarta Utara.159 Kecelakaan beruntun yang terjadi di Tol Jagorawi 8 September tersebut menewaskan enam orang dan sembilan lainnya luka-luka ini, kecelakaan maut yang terjadi pada pukul 00:24 dini hari ini menjadikan Abdul Qodir Jaelani atau yang akrab dipanggil Dul sebagai tersangka utama penyebab kecelakaan tersebut. Anak bungsu musisi Ahmad Dhani yang mengendarai mobil sedan dengan plat polisi B 80 SAL ini menabrak pagar pemisah dan masuk ke jalur berlawanan, yang kemudian mobil yang dikendarainya menghantam mobil Avanza dan Grandmax yang berisi 13 penumpang yang datang dari arah berlawanan. Peristiwa yang terjadi di kilometer 8+200 ini terjadi ketika Dul memacu kendaraan dari arah Cibubur menuju Jakarta. Tiba-tiba saja mobil yang dikemudikan Dul lepas kendali dan menabrak pembatas jalan. Diduga mobil yang dikendarai Dul melaju dengan kecepatan di atas 100 Km per jam.160
159
Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad Abdul Qadir 13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaan-lalulintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 Pukul 15.00WIB 160 e-journal.aujy.ac.id/5676/2/KOM104242.pdf artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 13.10 WIB.
73
Lebih jelasnya, kronologis pelanggaran lalu lintas yang berujung kecelakaan ini terjadi ketika Mobil Mitsubishi Lancer B 80 SAL yang dikendarai oleh Dul datang dari arah selatan menuju utara menabrak pagar tengah hingga melayang ke arah jalur berlawanan. Mobil itu menghantam Daihatsu Grandmax B 1347 UZJ dan terdorong mengenai Avanza B 1882 UZ. Akibat kecelakaan yang terjadi sekitar pukul 00.45 WIB. Korban meninggal di TKP sebanyak 6 orang sedangkan 1 orang meninggal di rumah sakit, jadi korban yang meninggal sebanyak 7 orang, dan 9 orang mengalami luka-luka.161 Kasus kecelakaan maut ini menjadikan Dul sebagai tersangka, disebabkan Dul lalai dan mengakibatkan tujuh korban tewas. Selain itu, Dul juga dijerat pasal berlapis yaitu pasal 310 ayat 3 dan 4 UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas, serta pasal 105 tentang ketertiban, 106 tentang mengemudi dengan wajar dan berkonsentrasi, dan pasal 281 tentang kewajiban pengemudi mmeiliki SIM.162 Pasal 310 ayat 3 UULAJ No.22 tahun 2009 : “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”163 Pasal 310 ayat (4) yaitu : “Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan 161
thesis.umy.ac.id/data publik/t38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum‟at 13 Maret 2015 pukul 14.45.WIB 162 Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad Abdul Qadir 13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaan-lalulintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 Pukul 15.00WIB 163 UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
74
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”164 Kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Dul mengakibatkan dirinya harus berhadapan dengan hukum. Menurut pasal 1 Undang-undang no.11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.165 Jika ditinjau dari segi yuridis, dul masih berumur 13 tahun yang dalam hal ini masih dalam kategori anak anak. Namun dalam undang undang no 11 tahun 2012 tentang sistem peradilam anak, anak dalam kasus anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun dan di bawah 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Kejadian itu seharusnya bisa menjadi renungan bagi para orang tua, terutama yang memiliki anak remaja agar tidak bersikap permisif dan harus menerapkan disiplin pada anak.166 Di Indonesia sudah memiliki beberapa perangkat hukum yang mengatur tentang hukum bagi anak, baik sebagai pelaku pidana maupun sebagai korban dari suatu tindak pidana. Perlindungan hukum kepada anak adalah upaya hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak anak (fundamental rights and freedom of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
164
Ibid. UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 166 Khoeriyah, Skripsi, Pertanggung Jawaban Pidana Dibawah Umur Perspektif Hukum Islam (Analisis Kasus Kecelakaan AQJ di Tol Jagorawi), UIN Sunan Kalijaga, 2014. Hlm.4 165
75
anak.167 Wagiati Soetodjo menyatakan bahwa pembentuk undang-undang telah mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di bawah umur, sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan khusus bagi kepentingan psokologi anak.168 Dalam pasal 5 ayat 1 UU No.11 tahun 2012, sistem peradilan anak wajib mengedepankan pendekatan kedilan restorative. Untuk mewujudkan keadilan restorative diperlukan pelibatan seluruh orang-orang yang punya kepentingan dari suatu tindak pidana yakni pelaku, korban, keluarga korban serta masyarakat. Yang dimaksud pelibatan di sini ialah orang-orang yang punya kepentingan harus dilibatkan dalam diskusi untuk menentukan respon yang pantas terhadap suatu kejahatan, yang mana tujuannya adalah untuk memperkuat nilai-nilai saling menghormati, mengasihi dan memaafkan diantara pemangku kepentingan. Untuk memastikan pelaku memikul tanggung jawab pemenuhan kompensasi baik terhadap korban maupun masyakarat, atas dampak kejahatanya.169 Proses peradilan anak harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak,
167
Muhammad Rajab Ali, Tinjauan Yuridis Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Kematian Yang Dilakukan Oleh Anak, Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar, 2012, hlm 4 168 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, 2006, hlm. 5 169 Aqsa Alghifarri, Mengawal perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta : LBH Jakarta, 2012, hlm.21
76
dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.170 Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan anak, wajib mengupayakan disversi sebagaimana yang telah diatur dalam UU No.11 tahun 2012 tentang disversi. Berdasarkan pasal 6 UU tersebut, disversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.171 Dilihat dari tujuannya, proses peradilan anak lebih mengedepankan perdamaian para pihak, sehingga menghindari penjatuhan hukuman yang dikhawatirkan akan menganggu psikologis anak. Dalam sistem peradilan anak, skema yang dijalankan adalah yaitu setelah terjadi tindak pidana, kemudian dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh petugas, setelah itu dilakukanya disversi yang melibatkan pihak anak, korban, keluarga atau wali anak, serta penyidik atas rekomendasi lembaga kemasyarakatan.172 Kesepakatan disversi dapat berbentuk pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua atau wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan; atau pelayanan masyarakat paling lama 3 bulan. Namun apabila disversi tidak menyelesaikan perkara, maka proses peradilan
170
Penjelasan UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak 172 Aqsa Alghifarri, Mengawal perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta : LBH Jakarta, 2012, hlm.46 171
77
pidana bagi anak dapat dilanjutkan/ dilaksanakan dengan Acara Peradilan Anak di persidanagan. Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.173
b. Kedudukan Islah Dalam Penyelesaian Kasus Pealnggaran Lalu Lintas Oleh AQJ Kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan oleh AQJ membuatnya menjadi seorang tersangka. Hal ini disayangkan oleh ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yaitu Arist Merdeka Sirais. Menurutnya hal ini terlalu terburu-buru dan seharusnya polisi bisa menjadi fasilitator terjadinya restoratif justice (penyelesaian kasus di luar pengadilan) melihat adanya upaya dari keluarga Ahmad Dhani untuk menemui keluarga korban dan berdamai. "Saya menilai Dhani, sebagai orangtua Dul sudah berupaya untuk mengisi peluang adanya restoratif justice dengan menemui keluarga korban. Dengan begitu, Dhani yang berupaya meminta maaf atas apa yang dilakukan Dul, semestinya dilihat polisi sebagai upaya restoratif justice. Bahkan pemberian santunan sebagai tanda permintaan maaf yang tulus dan perhatian keluarga Dul, bisa mempermulus hal itu," ujar Arist.174
173
UU no.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Hasiloan Eko, Cara Ahmad Dhani Dinilai Sebagai Upaya Penyelesaian Kasus di Luar Pengadilan, www.tribunenews.com/metropolitan/2013/09/01/cara-ahmad-dhani-sebagaiupaya-penyelesaian-kasus-di-luar-pengadilan artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.00 WIB 174
78
Restorative justice, atau penyelesaian di luar pengadilan terhadap anak, sangat mungkin dilakukan, dan polisi seharusnya memberi peluang itu atau bahkan memfasilitasinya dengan mengajak pihak keluarga Dul dan keluarga korban duduk bersama. Bersamaan dengan itu, pengumpulan fakta untuk proses hukum terus dilakukan oleh polisi untuk mengantisipasi jika restorative justice tidak berhasil dilakukan. Peluang restorative justice oleh polisi ini adalah hak diskresi polisi. Dalam dunia hukum dan perpsektif anak, sebenarnya ada peluang di mana kasus ini bisa diselesaikan secara islah atau damai dengan catatan pihak korban mau menerimanya dan memaafkan Dul atas permintaan keluarga atau Dhani. Polisi dengan hak diskresinya harus melihat hal ini. Setelah Dul ditetapkan menjadi tersangka oleh polisi, restorative justice masih tetap dilakukan. Syaratnya, keluarga korban sudah memaafkan, tidak menuntut, tidak merasa dirugikan dan menerima semuanya sebagai musibah.175 Kriminolog dari Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar menyatakan bahwa penyelesaian kasus kecelakaan yang melibatkan Abdul Qodir Jaelani (Dul) dilematis. Menurutnya, perlu kehati-hatian dari aparat penegak hukum untuk menuntaskannya. Meskipun di sisi lain, Ahmad Dhani memberi respons positif dan akan bertanggung jawab pada keluarga korban. Bila pihak Ahmad Dhani dan keluarga para korban sepakat berdamai, itu merupakan hal positif. Hal itu sah secara hukum. Namun, ia menyatakan bahwa musyawarah itu juga harus menyertakan polisi sebagai penegas perdamaian antara dua pihak. Sebaliknya, bila
175
Ana Shofiana, Penetapan Dul Terburu-buru,megapolitan.kompas.com/read/2013/09/10 /0839160/penetapan.dul.tersangka.terburu-buru. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.00 WIB
79
pihak Ahmad Dhani dan keluarga korban berdamai tanpa sepengetahuan polisi, hal itu akan sia-sia.176 Dalam kasus ini, pihak Ahmad Dhani mencoba mendekati keluarga korban dengan cara mengunjungi keluarga korban mati dan korban luka-luka. Hal ini dilakukan pihak AQJ sebagai itikad baik untuk mempertanggungjawabkan perbuatan AQJ secara damai. Salah satu korban luka-luka bernama Nugroho Brury mengaku mendapatkan santunan dari pihak AQJ, santunan itu sebesar 18 juta per enam bulan. Selain itu, ketika korban masuk rumah sakit, Ahmad Dhani selaku orangtu AQJ membantunya dengan melunasi semua biaya perawatan hingga keluar dari rumah sakit. "Sejauh ini untuk tanggung jawabnya saya puas sekali ya, kita nggak merasa dipersulit. Segala urusan dipermudah," urainya ketika diwawancarai oleh media online detik.177 Proses islah yang dilakukan oleh pihak AQJ nyatanya tidak berpengaruh terhadap penghentian proses peradilanya. Proses restorative justice yang dilakukan Ahmad Dhani dan keluarga korban, tidak menghentikan proses peradilan AQJ dan akhirnya pada tanggal 16 Juli 2014, sidang pembacaan putusan AQJ dilakukan. Dalam tuntutan jaksa penutut umum, putra bungsu Dhani itu dituntut dua tahun masa percobaan dan satu tahun penjara. Apabila selama masa
176
Oris Riswan, Dilematisnya Kasus Kecelakaan Dul Ahmad Dhani, news.okezone.com/ read/2013/09/12/526/864873/dilematisnya-kasus-kecelakaan-dul-ahmad-dhani. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.05 WIB 177 Maulidi Riswoyo, Korban Kecelakaan Dul Ini Dapat Santunan Rp.18 Juta Per bulan, Hot.detik.com/read/2013/10/16/142510/2387032/230/korban-kecelakaan-dul-ini-dapat-santunanrp-18-juta-per-bulanh991103207. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB
80
percobaan dua tahun tersebut AQJ/ Dul melakukan perbuatan melanggar hukum, maka dia akan menjalani hukuman kurungan satu tahun penjara.178 Dalam sidang pembacaan putusan, AQJ ditetapkan bebas oleh majlis hakim Jakarta Timur, vonis ini berbanding terbalik dari keputusan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut Dul dengan tiga dakwaan kumulatif Pasal 310 UndangUndang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dakwaan pertama yakni Pasal 310 ayat 4, kedua Pasal 310 ayat 2 dan 3 dan ketiga, Pasal 310 ayat 1. Ancaman hukuman dalam pasal ini terendah satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun serta denda Rp 5 juta subsider tiga bulan kerja sosial. Sementara maksimal enam tahun penjara.179 Ketua Majelis Hakim yaitu Pertianti, membacakan putusan dengan mengungkapkan beberapa pertimbangan mengapa membebaskan terdakwa. Majelis hakim tidak sependapat jika terdakwa diberikan pidana bersyarat. Pengamatan
majelis,
terdakwa
masih
dapat
dibina
untuk
meperbaiki
kesalahannya. Adapun pertimbangan lain mengacu pada UU No 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak. Lebih lanjut Petrianti menambahkan, ada beberapa pertimbangan lainnya yaitu telah terjadinya perdamaian antara korban dan keluarga besar terdakwa. Para korban dan keluarga korban tidak ingin kasus ini dibawa ke ranah hukum karena sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Keluarga terdakwa secara sungguh-sungguh menyatakan tanggung jawab. Di mana
178
Gusti Sawabil, Dul Anak Ahmad Dhani Divonis Hari Ini, www.tribunenews.com/ metropolitan/2014/07/16/dul-anak-ahmad-dhani-divonis-hari-ini. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB 179 Tri Harnigsih, Tewaskan 7 Orang Dul Ahmad Dhani Akhirnya Divonis Bebas, www.sayangi.com/gayahidup1/selebriti/read/25306/tewaskan-7-orang-dul-ahmad-dhani-akhirnyadivonis-bebas artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.25 WIB
81
keluarga terdakwa, telah menanggung biaya pengobatan, pendidikan anak korban, dan pemakaman para korban. Usai membacakan beberapa pertimbangan lainnya, Petrianti akhirnya memutuskan bahwa AQJ dinyatakan bebas dan akan dikembalikan kepada kedua orangtuanya, karena masih di bawah umur.180 Selain itu, hakim juga menolak hukuman bersyarat dari jaksa agar AQJ menjalani kerja sosial dan denda Rp5.000.000. Hakim menyatakan AQJ menunjukkan sikap sopan dan bertindak baik selama menjalani persidangan, serta dianggap bukan anak yang nakal. Majelis hakim menganggap AQJ kurang perhatian orang tua sehingga masih bisa diberikan pembinaan. Hakim mempertimbangkan hal lain yang meringankan hukuman AQJ karena adanya perdamaian antara keluarga terdakwa dengan para korban. Keluarga terdakwa dianggap bertanggung jawab menanggung biaya pengobatan dan pemakaman para korban yang luka maupun meninggal dunia. Bahkan keluarga AQJ bersedia menanggung biaya pendidikan hingga perguruan tinggi bagi anak korban yang meninggal dunia. Fetrianti mengungkapkan kasus AQJ tergolong "restoratif justice" dengan mempertimbangkan pergantian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak yang diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.181 Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa islah atau upaya damai yang dilakukan oleh pihak AQJ dan keluarga korban berguna sebagai pertimbangan hakim. Hal ini
180
Ibid. Ajijah, Kasus AQJ Divonis Bersalah Putra Ahmad Dhani Tetap Bebas, bandung.bisnis.com/read/20140716/34247/513075/kasus-aqj-divonis-bersalaha-putra-ahmaddhani-tetap-bebas. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.30 WIB. 181
82
dapat terlihat ketika proses restorative justice yang dilakukan oleh pihak AQJ tidak menghentikan proses peradilan. Sebagaimana dalam UU no.11 tahun 2012, apabila proses disversi dalam mewujudkan keadilan restoratif tidak tercapai, maka proses peradilan anak tetap dilanjutkan dalam acara peradilan pidana anak.182 Namun proses disversi tersebut bukanlah sesuatu yang sia-sia, hakim dalam menetapkan keputusanya menjadikan islah para pihak sebagai pertimbangan, yang akhirnya menjadikan sebuah keputusan yang bermamfaat bagi semua pihak.
c. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum Positif Kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ adalah bentuk pelanggaran lalu lintas, yang dalam hal ini ia dikenakan pasal 310 ayat 1-4. Kitab Undangundang Hukum Pidana menjelaskan bahwa sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas adalah berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda maupun pengumuman putusan hakim. Lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tergantung kepada akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Semakin berat akibat tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut, maka ancama pidanya semakin lama juga. Pengaturan tersebut terdapat dalam pasal 359, 360, dan 361. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini, adapun sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan maupun denda. Pemberian
182
Pasal 13 UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
83
pidana tersebut tergantung kepada jenis kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pelaku, baik kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas sedang, maupun kecelakaan lalu lintas berat.183 Status AQJ yang masih berusia 13 tahun mengkatogerikan dirinya sebagai anak-anak. Setelah diterbitakannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, telah diatur secara khusus tentang hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, Undang-undang No 3 tahun 1997 merupakan hukum yang khusus (lex spesialis) dari hukum yang umum (lex generalis) yang tertuang dalam kitab Undag-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Acara
Pidana
(KUHAP).184
Kemudian
pada
tahun
2012,
pemerintah
menggeluarkan UU No.11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, menggantikan UU No. 3 tahun 1997. Dalam UU No.11 tahun 2012, keadilan restoratif dapat dilakukan oleh para pihak yang berperkara. Keadilan restoratif yang dilakukan tentu bertujuan untuk memberikan hal baik, bagi anak maupun bagi korban. Menurut pasal 1 UU No.11 tahun 2012 keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
183
Hotmarta Adelia, Jurnal Hukum, Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2014, hlm.22 184 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011, cet -1, hlm.75
84
Di luar konteks hukum peradilan anak, keadilan restoratif memang memiliki banyak mamfaat serta efektifitas bagi para pihak. Mamfaat dan efektifitas yang paling dirasakan oleh para pihak adalah bahwa pelaku tindak pidana tidak harus membayar kesalahanya melalui pemenjaran, korban pun tidak “dimamfaatkan” sebagai saksi yang akhirnya hanya bisa menerima takdir atas musibah yang ia terima tanpa mendapatkan ganti rugi ataupun pemulihan, sedangkan yang pelaku kejahatan hanya membayar kesalahanya dengan pemenajraan, meninggalkan korban tanpa memikirkan dampak kejahatanya terhadap diri korban yang menderita, baik fisik maupun psikologis. Dalam restorative justice, pelaku kejahatan dan korban dapat bersama-sama menentukan jalan keluar yang menguntungkan bagi mereka.185 Keadilan restoratif tentu dapat dilakukan, tetapi harus tetap memperhatikan kriteria yang ada. Adapun kriteria yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis dan aspek sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah sifat melawan hukumnya perbuatan, sifat berbahaya perbuatan, jenis pidanaya (strafsoort), berat ringan pidana (straftmaat), cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus), dan kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh tindak pidana itu. Adapun askpek sosiologis yang harus diperhatikan adalah karakter, umur dan keadaan si pelaku, latar belakang terjadinya perilaku tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah pelaku itu pemula atau bukan, pelaku memperbaiki kerugian yang ditimbulkan
185
Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol.2 Nomor 2. Agustus 2013. hlm.12
85
atas perilakunya, pelaku mengakui kesalahanya, pelaku meminta maaf kepada korban, serta pelaku menyesali serta tidak akan mengulangi perbuatanya lagi. 186 Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ, tentu saja islah atau perdamaian para pihak dapat dilakukan, selain karena usia AQJ yang masih anak-anak dan harus menggunakan UU No.11 tahun 2012, perbuatan serta sikap AQJ juga memenuhi kriteria dalam aspek sosilogis dan yuridis untuk dilakukanya sebuah keadilan restoratif. Islah yang dilakukan pihak AQJ dan korbanya tidak hanya membuat AQJ bebas dari hukuman disebabkan usianya yang masih muda dan masih memiliki masa depan yang panjang, tetapi islah juga membuat para korban menjadi lebih tenang disebabkan oleh pihak AQJ yang bertanggung jawab. Saat menggelar jumpa pers dikediamanya pada tanggal 10 Januari 2014 Pondok Pinang Jakarta Selatan, Ahmad Dhani selaku ayah AQJ mengatakan bahwa besok sore keluarga para korban selamat di undang kerumahnya untuk membicarakan seputar santunan yang diminta agar tidak diberikan perbulan lagi, tetapi diakumulasikan. "Mereka ini mohon tidak lagi diberi santunan bulanan tapi langsung dalam nominal tertentu untuk membuka usaha, bisnis. Alhasil kami berhasil kumpulkan sejumlah uang yang diminta. Saya, Al, El, Dul, Mulan, Safeea, kami berenam bareng-bareng ya, pas korbannya enam," selain itu, untuk korban meninggal, pihak AQJ masih menjalankan tanggung jawabnya dengan memberikan santunan hingga anak-anak korban selesai sekolah. "Yang selamat iya sudah selesai. Tapi
186
Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Pnyelesaian Perkara Pidana Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia. Vol 25 No.1, Janurai 2007, hlm. 40
86
kalau korban yang jadi janda, tetap akan kita santuni sampai anak sekolahnya selesai semua.”187 Oleh karena para pihak yang terlibat dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan AQJ telah sepakat atas perdamaian dan santunan yang diberikan pihak AQJ, maka tujuan dari sistem restorative justice telah tercapai. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yunan Hilmi dalam jurnal hukum Rechtsvinding, bahwa tujuan akhir dari sistem ini adalah membuktikan kesalahan pelaku dan menjatuhi hukuman diubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu penyelesaian perkara pidana yang menguntungkan semua pihak.188
d. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum Pidana Islam Dalam hukum pidana Islam, islah dapat diterapkan berdasarkan landasan hukum yang termuat dalam Al-Qur‟an, antara lain adalah surat Al-Baqarah ayat 178 : Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa 187
Agus Prianto, Korban Kecelakaan Dul Lucky Dapat Santunan Rp 50 Juta, www. kapanlagi.com/showbiz/selebriti/korban-kecelakaan-dul-lucky-laki-dapat santunan-rp-50-juta2e5802.html. Artikel ini diakses pada 15 Maret 2015, pukul 14.03 WIB 188 Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.04
87
yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diat kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” Pada kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ, perbuatan yang ia lakukan menyebabkan orang lain meninggal dunia dan luka-luka. Dalam perspektif hukum Islam, perbuatan yang dilakukan oleh AQJ dikenakan jarimah qisash. Namun, usia AQJ yang masih dibawah umur membuatnya tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur tindak pidana untuk jarimah dapat dibedakan tiga bagian, yaitu: Pertama unsur formal (al-rukn al-syar‟i), kedua unsur material (al-rukn al-madi), ketiga unsur moral (al-rukn al-adabi).189 Al-rukn al-syar‟i atau unsur formil yaitu unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana. Kemudian Al-rukn al-madi atau unsur materil ialah unsur yang menyakatan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu), maupun yang bersifat negatif (pasif dalam melakukan sesuatu). Sedangkan, Alrukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau sedang berada di bawah ancaman.190
189 190
M.Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.2 Ibid. hlm.3
88
Adapun jika ada perbedaan pendapat, apakah AQJ sudah mumayiz atau masih dalam kategori anak-anak, maka perbuatan AQJ pun tidak dapat dikenakah jarimah qisash disebabkan bahwa kecelakaan lalu lintas tersebut adalah ketidaksengajaan. Menurut Abdul Qadir Audah, yang dapat menyebabkan gugurnya „uqubah (hukuman) dalam syari‟at yaitu, Pertama, pelaku kejahatan (jani) meninggal dunia. Akan tetapi jika hukuman itu adalah hukuman maliyah seperti diyat, tentu saja tidak dapat menggugurkan hukumanya, seperti dalam kasus tindak pidana qatl alkhata‟ (pembunuhan tidak sengaja) maka hukuman terhadap hartanya tetap harus dijalankan. Kedua, qisash dan diyat menjadi gugur apabila kedua belah pihak melakukan islah. Fuqaha sepakat bahwa qisash menjadi gugur jika para pihak melakukan islah. Untuk perkara qisash, jika terjadi islah, maka kadar pelaksanaan islah boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih ringan dari pada diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta. Namun, islah dalam perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang telah diwajibkan diyat, karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai riba. Ketiga, hukuman dapat gugur jika pelaku mendapat maaf (afw) dari korban atau walinya.191 Meskipun hukuman qisash dan diyat tidak dapat dijatuhi oleh sebab tidak terpenuhinya unsur-unsur qisash karena AQJ masih dibawah umur dan dikhawatirkan terdapat syubhat, AQJ tetap dikenakan hukum, yakni dengan jarimah ta‟zir. Menurut Nurul Irfan dalam bukunya yang berjudul Fiqih Jinayah, sanksi yang diberikan dalam jarimah ta‟zir dapat bermacam-macam, dari sanksi 191
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Hlm. 63.
89
yang ringan, hingga sanksi yang berat. Sanksi ta‟zir yang berkaitan dengan badan dapat berupa hukuman cambuk, ataupun mati. Selain itu, hukuman ta‟zir juga dapat berupa penjara, pengasingan, pembayaran denda, perampasan/ penyitaan, hingga peringatan tertulis, nasihat, celaan, pemecatan, pengumuman kesalahan, dsb.192 Adapun tujuan dan syarat-syarat sanksi ta‟zir yaitu, pertama, sebagai upaya preventif (pencegahan), hal ini ditujukan bagi orang lain yang belum melakukan jarimah, kedua, untuk membuat jera (represif), dimaksudkan agar pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah di kemudian hari. Yang ketiga adalah adanya islah (kuratif), ta‟zir harus mampu membawa perbaikan perilaku terpidana di kemudian hari. Dan yang terakhir adalah sebagai upaya edukatif (pendidikan), yang diharapkan dapat mengubah pola hidup ke arah yang lebih baik.193 Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kematian para korban oleh AQJ, yang kemudian pihak AQJ mepertanggungjawabkan perbuatanya dengan cara melakukan islah kepada para pihak dan memberikan santunan kepada para korban, hal ini lah yang kemudian membuat hakim harus mempertimbangkan 2 hal, yang pertama adalah bahwa AQJ masih dalam usia anak-anak, dan yang kedua adalah pihak AQJ telah melakukan islah dengan para korban. Sehingga, hukuman ta‟zir yang diberikan hakim kepada AQJ menjadi hukuman yang ringan, yakni dikembalikan kepada orang tua, untuk dididik dan diarahkan agar pola hidup serta masa depanya menjadi lebih baik.
192 193
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.147 Ibid. hlm.142
90
Pengembalian AQJ kepada orangtuanya oleh hakim, dengan pertimbangan karena islah yang dilakukan para pihak, tidaklah bertentangan dengan hukum pidana Islam. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa‟i dan Al-Baihaqi, dari Aisyah ra, bahwa Nabi bersabda :
سَّلمَ أَقِيّلُىا ذَوِي َ عَّليْهِ َو َ ث قَبلَ َرسُ ْىلُ الّلَ ِه صَّلّىَ الّلَ ُه ْ َعنْ عَب ئِشَةَ رَضِيَ الّلَ ُه عَ ْنهَب قَبل َ َحدُود ُ ّْال ال َ ع َثرَا ِج ِه ْم ِإ َ ت ِ ا ْلهَيْئَب “Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perubuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud.” Hal ini sejalan dengan pendapat Abdul Qadir Audah yang menyatakan bahwa, hukuman hudud, qisash, diyat tidak boleh diubah-ubah oleh hakim, sedangkan ta‟zir dapat disesuaikan. Objek pertimbangan hakim dalam bidang hudud, qisash, diyat hanya sebatas pada tindak pidananya, bukan pelakunya. Sedangkan pada hukuman ta‟zir, untuk memaafkan atau memberatkan hukuman dapat dilihat dari dua sisi, yakni tindak pidana yang dilakukan serta siapa pelaku tindak pidana tersbut.194
194
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.140
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan tentang penyelesaian tindak pidana melalui islah dalam hukum positif dan hukum pidana Islam, serta analislis islah dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ, maka banyak hal yang sebenarnya dapat ditarik kesimpulan. Berikut adalah beberapa point penting yang menjadi inti dari pembahasan skripsi penulis. 1. Islah dalam hukum positif merupakan penyelesaian perkara di luar pengadilan dikenal dengan disebut Alternative Dispute Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. kebijakan ini juga dikenal dengan keadilan restoratif (restorative justice). pada umumnya hukum pidana positif tidak mengenal keadilan restoratif, namun pada preakteknya hal ini dapat dilakukan, yakni melalui jalur perdamaian yang dilakukan para pihak dengan menggunakan wewenang kepolisian sebagai penengah dan mewujudkan keadilan restoratif, karena aparat kepolisian memiliki hak diskresi. 2. Dalam hukum pidana Islam, islah Konsep islah dikatakan banyak terjadi kemiripan dengan al‟afwu. Namun, dari Islah dan al‟afwu berbeda secara
92
definisi maupun konseptual. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa ishlah merupakan satu proses penyelesaian perkara antar pihak yang dipilih oleh masing-masing pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh pihak ketiga dan berakhir dengan kesepakatan, sehingga tercipta perdamaian diantara kedua belah pihak. Sedangkan al‟afwu adalah media penyelesaian perkara kejahatan qisash dengan melepaskan hak qisash dari korban kepada pelaku, yang masih memungkinkan dilakukan qisash. Islah dalam hukum pidana Islah dapat dilakukan melalui lembaga pemaaf, yakni dengan adanya seorang hakam sebagai penengah/ pendamai diantara kedua pihak yang berperkara. Hak iIslah diberikah kepada ahli waris korban maupun si korban yang masih hidup. Dalam pelaksanaanya, islah dapat dilakukan untuk jarimah qisash, diyat, serta jarimah ta‟zir. Sedangkan untuk jarimah hudud, tidak dibenarkan karena hudud merupakan hak Allah dan sangat jelas aturanya dalam Nash. 3. Islah yang dilakukan para pihak dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ menjadi pertimbangan hakim. Baik ditinjau dalam hukum positif maupun hukum pidana Islam. Dalam hukum positif, kasus AQJ tetap disidangkan hingga proses pembacaan vonis, yang artinya, proses islah tidak menghentikan penyidikan kasus, tetapi islah menjadi pertimbangan hakim ketika memutuskan dan mengembalikan AQJ kepada kedua orangtuanya. Dalam hukum pidana Islam, islah yang dilakukan para pihak pun menjadi pertimbangan hakim karena kasus AQJ termasuk dalam jarimah ta‟zir.
93
B. Saran-saran Setelah penulis manarik kesimpulan dari uraian skripsi ini, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut. 1. Seharusnya, para pembuat undang-undang di negeri ini, lebih memperhatikan keadaan korban dan pelaku, tidak hanya mengedepankan kepentingan negara. Korban dan pelaku harus sama-sama dipulihkan, korban tidak boleh hanya dijadikan sebagai saksi dan kemudian ditinggalkan pelaku yang menjalani hukuman, sedangkan korban sendiri menderita kerugian yang harus ia tanggung sendiri. 2. Konsep islah dalam hukum pidana Islam telah ada, jauh sebelum hukum positif lahir. Konsep islah dalam hukum pidana Islam seharusnya dapat menjadi pertimbangan para penegak hukum untuk membuat undang-undang kearah yang lebih baik. 3. Dalam melakukan islah, hendaknya pemerintah membuat standar pelaksanaan, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menengahi penyelesaian perkara pidana. Kejadian islah seperti kasus AQJ hendaknya menjadi pelajaran dan menjadi koreksi agar islah dapat berjalan lebih baik.
94
DAFTAR PUSTAKA A.Wahid, Yani, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001. A.Z. Abidin, A.Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yasrif Watampone, 2010. Alghifarri, Aqsa, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: LBH Jakarta, 2012. Dirdjosisworo, Soedjono, Filasafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung : Armico, 1984 Emerzon, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005 Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2011, Cet.VII. Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013. Irfan, Nurul, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2014. Irfan, Nurul, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah, 2012. Irsan, Koesparmono, Hukum Pidana 2, Jakarta: Ubhara Jaya, 2005. Kamil, Ahmad, Fauzan M, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008. Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th) Khoeriyah, Skripsi, Pertanggung Jawaban Pidana Dibawah Umur Perspektif Hukum Islam (Analisis Kasus Kecelakaan AQJ di Tol Jagorawi), UIN Sunan Kalijaga, 2014 Lamintang, P.A.F dan Samosir, Djisman, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditunjukan Terhadap Hak Milik, Bandung: Tarsito,1992.
Mahrus, Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Mertokusumo, Sudikmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000. Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998. Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Dr, Asmawi, M.Ag. Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012. Prayitno, Wukir, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang, 1991. Rajab Ali, Muhammad, Tinjauan Yuridis Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Kematian Yang Dilakukan Oleh Anak, Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar, 2012. Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB Ramzy, Ahmad, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia, 2012. Rifqi, Mohammad, Islah Para Tokok Politik Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam Perspektif Sosiologi Hukum. Jogjga: 2008. Sihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 13, Jakarta: Lentera Hati, 2007. Soekanto, Soejono, Mudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Cet.V, Jakarta : Indhillco, 2001. Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, 2006.
Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet I Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Suparman, Eman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Jakarta : Tata Nusa, 2004. Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta:UII Pers, 2006. Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UUM Press, 2008. Widiartana.G, Disertasi,
Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Pidana, Universitas Diponogoro, 2011. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008. Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997. Tim Penyusun, Artikel, Monitoring Pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2003. Peraturan Perundang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Peraturan Perundang-undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Wawancara kepada Alfitra, Jum’at 13 Februari 2015 pukul 10.30 WIB. Adelia, Hotmarta, Jurnal Hukum, Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2014. Artadi, Ibnu, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Vol.25 No.1. 2007
At-Tamimi, Umar, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, 2013. Dhenny, Islah Sebagai Hukum Positif Banjar, artikel Komisi Kepolisian Indonesia, November 2013. Artikel ini diakses pada 8 Maret 2015 pukul 12.58 WIB. Lasmadi, Sahuri, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Putri Siregar, Anistia Retenia Jurnal Hukum, Eksistensi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2012 Tentang Penyesuaia Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013. Raharjo, Trisno, Jurnal Hukum, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Pidana Adat, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17, 2010. Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi Dan Legislasi Keadilan Restoratif Di Indonesia, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2, Nomor 2, 2013. Tengens, Jecky, Artikel, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia, Klinik Hukum Online. Artikel ini diakses pada 15 Februari 2015 pukul 20:13 WIB. Wijaya, Bram, dkk. Jurnal Hukum, Implementasi Kewenangan Diskresi Kepolisian Dalam Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Di Luar Pengadilan. Jurnal Hukum Fakultas Brawijaya. Yunan Hilmy, Jurnal Hukum,
Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan
Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, 2013. Zulfa, Eva Achjani, Artikel, Keadilan restoratif di Indonesia: studi tentang kemungkinan penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana), Universitas Indonesia.
Ajijah,
Kasus
AQJ
Divonis
Bersalah
Putra
Ahmad
Dhani
Tetap
Bebas,
bandung.bisnis.com/read/20140716/34247/513075/kasus-aqj-divonis-bersalaha-putraahmad-dhani-tetap-bebas. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.30 WIB. e-journal.aujy.ac.id/5676/2/KOM104242.pdf artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 13.10 WIB. Eko, Hasiloan, Cara Ahmad Dhani Dinilai Sebagai Upaya Penyelesaian Kasus di Luar Pengadilan,www.tribunenews.com/metropolitan/2013/09/01/cara-ahmad-dhanisebagaiupaya-penyelesaian-kasus-di-luar-pengadilan artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.00 WIB. Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad Abdul Qadir 13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaanlalu-lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 Pukul 15.00WIB Harnigsih, Tri, Tewaskan 7 Orang Dul Ahmad Dhani Akhirnya Divonis Bebas, www.sayangi.com/gayahidup1/selebriti/read/25306/tewaskan-7-orang-dul-ahmaddhani-akhirnya-divonis-bebas artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.25 WIB http://hukum.kompasiana.com/2013/09/09/hukum-untuk-si-dul-588073.html. artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.00 WIB http://www.sayangi.com/fitur/wawancara/read/5593/kak-seto-belajar-dari-kasus-dul ahmad dhani artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.10 WIB Mistiyah, Misna, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam dan Hukum Positif, samuderailmu.blogspot.com, Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014 pukul 19.30 WIB Prianto, Agus, Korban Kecelakaan Dul Lucky Dapat Santunan Rp 50 Juta, www. kapanlagi.com/showbiz/selebriti/korban-kecelakaan-dul-lucky-laki-dapat
santunan-rp-
50-juta-2e5802.html. Artikel ini diakses pada 15 Maret 2015, pukul 14.03 WIB
Riswan, Oris, Dilematisnya Kasus Kecelakaan Dul Ahmad Dhani, news.okezone.com/ read/2013/09/12/526/864873/dilematisnya-kasus-kecelakaan-dul-ahmad-dhani. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.05 WIB. Riswoyo, Maulidi, Korban Kecelakaan Dul Ini Dapat Santunan Rp.18 Juta Per bulan, Hot.detik.com/read/2013/10/16/142510/2387032/230/korban-kecelakaan-dul-ini-dapatsantunan-rp-18-juta-per-bulanh991103207. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB. Sawabil, Gusti, Dul Anak Ahmad Dhani Divonis Hari Ini, www.tribunenews.com/ metropolitan/2014/07/16/dul-anak-ahmad-dhani-divonis-hari-ini. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB Shofiana, Penetapan Dul Terburu-buru, megapolitan.kompas.com/read/2013/09/10/0839 160/penetapan.dul.tersangka.terburu-buru. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.00 WIB. Thesis.umy.ac.id/data publik/t38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum’at 13 Maret 2015 pukul 14.45.WIB