Pengadaan Tanah untuk Pembangunan versus Penyerapan Anggaran Oleh: Abu Samman Lubis, S.H. M.M.* 1. Latar Belakang Rendahnya penyerapan anggaran telah menjadi perdebatan di ranah publik dan politik. Orang demam bicara soal penyerapan anggaran yang berdaya guna rendah. Banyak segi dari penyerapan anggaran rendah telah diperbincangkan, didiskusikan, bahkan diseminarkan di hotel-hotel berbintang, dan telah banyak pula upaya yang dilakukan untuk penyelesaian masalah penyerapan anggaran yang rendah tersebut, tetapi kenyataan masih tetap rendah dan terus berlanjut khususnya pada semester pertama di tahun anggaran berjalan. Struktur anggaran belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mempunyai komponen (1) belanja pegawai,
(2) belanja barang, (3) belanja modal, (4)
pembayaran bunga cicilan, (5) subsidi, (6) belanja hibah, (7) bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Semua jenis belanja kecuali belanja pegawai berkonstribusi terhadap rendahnya penyerapan anggaran. Jenis belanja modal terdiri atas belanja modal untuk (1) tanah, (2) peralatan dan mesin, (3) gedung dan bangunan, (4) jalan, (5) irigasi dan jaringan, Pemeliharaan Yang Dikapitalisasi, dan Fisik Lainnya. Sedangkan struktur anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), belanja dikelompokkan berdasarkan kelompok belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan setiap bulan dalam satu tahun anggaran sebagai konsekuensi
dari kewajiban pemerintah daerah secara periodik kepada
pegawai yang bersifat tetap (pembayaran gaji dan tunjangan) dan/atau kewajiban untuk pengeluaran belanja lainnya yang umumnya diperlukan secara periodik. Adapun belanja langsung adalah belanja yang penganggarannya dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan, yaitu berupa belanja pegawai (honorarium/upah) untuk melaksanakan program/kegiatan; belanja barang/jasa; dan belanja modal. Dalam setiap APBN, termasuk APBN 2013 bahwa pengadaan lahan tidak selalu ada dalam suatu dokumen, tetapi apabila ada kegiatan pengadaan lahan, sangat besar pengaruhnya pada proses kegiatan selanjutnya. Kalau sampai penyediaan lahan/tanah tidak tersedia atau tidak terlaksana, maka proses selanjutnya dapat dipastikan tidak akan berjalan. Bagaimana 1
mungkin bisa membangun gedung baru, jalan, jembatan, bendungan, lapangan terbang dan sebagainya yang berkaitan dengan tanah, kalau tanahnya tidak tersedia. atau lahannya dalam sengketa, anggaran pasti tidak terserap. Oleh karenanya pembangunan yang tengah dilakukan pemerintah seringkali berbenturan dengan masalah pengadaan tanah. Kita mengakui bahwa masalah tanah adalah masalah sensitif bagi rakyat. Kasus-kasus pengadaan tanah terjadi di berbagai daerah sehingga anggaran tidak terserap atau
penyerapan anggaran rendah yang pada akhirnya akan
menghambat pertumbuhan ekonomi. Sejumlah proyek infrastruktur di daerah masih terkendala oleh pembebasan lahan yang menyebabkan proyek tersebut tidak terselesaikan, walaupun ada sejumlah proyek infrastruktur yang dapat cepat diselesaikan dengan intervensi pemerintah secara langsung. Kasus-kasus yang terjadi saat ini antara lain adalah 1) Persoalan tanah yang yang saat ini masih berlangsung adalah penyediaan lahan untuk bandara di Yogyakarta. Bandara Adi Sutjipto sudah tidak mampu menampung penumpang yang sudah melampaui kapasitas. Daya tampung bandara ini sekitar 1 juta penumpang per tahun, tetapi saat ini menampung 4 juta penumpang per tahun Untuk mengatasi hal itu pemerintah berpikir untuk memindahkan bandara ke Kulon Progo. Namun rencana itu belum bisa direalisasikan karena terkendala pengadaan lahan. Pemerintah pun mulai berpikir untuk mengubah rencana pembangunan tidak lagi di Kulon Progo tetapi ke lokasi lain. Anggaran untuk pengadaan lahan berdasarkan nilai jual objek pajak harga tanah di Kulon Progo Ro 50.000,00 per meter persegi menjadi Rp 500.000,00 per meter persegi. 2) Pembangunan jalan tol Lingkar Luar West II dan East II juga terkendala pembebasan lahan. Akibatnya angkutan logistik yang besar-besar masih menyesaki jalan tol dalam kota. Begitu juga dengan Kanal Banjir Timur, hingga kini pembebasan lahan belum selesai walaupun kanal itu sudah beroperasi. 3) Pembangunan terkendala lahan terlihat nyata di Jalan Raya Ahmad Yani (ByPass), Jakarta. Pembangunan kuping jalan di perempatan Cola-Cola (Cempaka Putih), pembebasan lahannya masih terbengkalai, dan perempatan Pramuka, juga menjadi korban. Kasus pengembangan bandara
Adisucipto di Yogyakarta dan kasus lainnya adalah
masalah infrastruktur. Salah satu terwujudnya infrastruktur adalah tersedianya tanah/lahan untuk pembangunan. Oleh karenanya terhambatnya masalah infrastruktur dapat disebut 2
sebagai salah satu penghalang penyerapan anggaran dan selanjutnya dapat sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kita paham bahwa pengeluaran pemerintah harus dilihat dalam konteks dampak penggandanya. Jika pengeluaran pemerintah terutama pada belanja modal (tanah) seperti pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandar udara, perbaikan jalan, irigasi, berjalan dengan baik, bisa dipastikan akan menarik pergerakan modal swasta. Karena itu, belanja modal juga berfungsi sebagai pengungkit investasi yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, bila pengadaan tanah berjalan lambat maka proses pencairan anggaranpun akan mengalami hambatan dan pertumbuhan ekonomi berjalan tidak maksimal. Oleh karena itu, kita perlu bertanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa tanah sulit didapat dari rakyat, apa ini bagian dari suatu ketidakpedulian rakyat terhadap pemerintah? Atau pemerintah yang kurang peduli terhadap rakyat? (lapisan bawah), sehingga membiarkan munculnya kasus-kasus pengadaan lahan untuk pembangunan, yang pada akhirnya proyek tidak dapat berjalan dengan baik. Banyak persoalan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan pengadaan tanah untuk pembangunan, namun dalam artikel ini akan fokus menyoroti pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah khususnya berkaitan dengan penyediaan lahan untuk pembangunan, dan tidak
dibahas mengenai kasus tanah: (1) antara rakyat dengan rakyat sendiri misalnya
kepemilikan, warisan dan sewa menyewa tanah, konflik wilayah berupa sengketa wilayah antara desa, (2) antara rakyat dengan swasta (partikelir) misalnya mengenai besarnya ganti rugi, (3) antara BUMN dengan karyawannya/pihak lain, seperti PT Kerata Api Indonesia (PT KAI) dengan penghuni rumah dinas yang ditempati pensiunan atau tanah-tanah yang dikuasai oleh pihak ketiga tanpa hak, tanah garapan yang dikelola oleh rakyat di lahan perkebunan dan kehutanan, dan sebagainya. 2. Permasalahan Masalah pokok yang menjadi topik pembahasan artikel ini adalah sering ditemukannya hambatan pembebasan lahan oleh pemerintah atau ketua panitia pembebasan tanah di lingkungan instansi pemerintah.
3
Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, adanya faktor-faktor pemilik tanah dan faktor pemerintah menjadi penyebab kurang lancarnya pembebasan lahan untuk kepentingan umum, yang menurut pengamatan penulis dikarenakan beberapa hal: a. Faktor Sosiologis Rakyat Indonesia Pertanyaan yang perlu dicermati adalah bagaimana pemahaman rakyat tentang hak atas tanah? Sebagian besar rakyat Indonesia tinggal di desa-desa, dan sumber penghasilannya dari tanah pertanian. Pandangan hidup rakyat khususnya di desa-desa, secara sosiologis bahwa tanah adalah segala-galanya, sumber segala penghidupan dan kehidupan masih tetap berakar dari tanah leluhur mereka. Jika tenaga dan modal telah dikeluarkan selama bertahun-tahun dalam penggarapan sebidang tanah, baik itu tanah negara/daerah atau perkebunan/kehutanan, dan tanah-tanah BUMN/BUMD, lahirlah anggapan bahwa tanah itu “milik”nya, sebagaimana anggapan orang-orang tua mereka terdahulu. Ketentuanketentuan yuridis formal ternyata tidak dapat menjangkau pandangan ini. Tanah yang tetap terbatas tidak akan cukup lagi memberi makan mulut-mulut yang semakin bertambah banyak, penduduk dengan perkembangan sosial ekonomi, sementara tanah tetap terbatas sehingga tanah menjadi soal hidup-mati, menyatu dengan peluh, untuk itu mereka bersedia melakukan apa saja sebagaimana pepatah Jawa mengatakan “Sedumuk batuk senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan wutahing ludiro” Artinya kira-kira: Soal wanita dan tanah adalah soal yang sensitif dan untuk itu dipertaruhkan dada dan tumpahnya darah. dan ini banyak terjadi di daerah-daerah, sehingga rakyat sulit bagi mereka untuk melepaskan tanah dari genggamannya. b. Faktor Kebutuhan Pemerintah Pandangan pemerintah bahwa tanah berfungsi sosial. Arti hak milik mempunyai fungsi sosial ini ialah hak milik yang dipunyai oleh seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau perseorangan, melainkan juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hak milik atas tanah tersebut perlu dibatasi dengan fungsi sosial dalam rangka mencegah penggunaan hak milik yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Dalam hal ini pemerintah berpedoman kepada hukum positif yaitu Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk 4
Kepentingan Umum, menyatakan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada Pasal 9 ayat (1) lebih lanjut dijelaskan bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Kemudian dalam pasal 10 Undang-undang ini ditentukan bahwa tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan (1) pertahanan dan keamanan nasional, (2) jalan umum, jalan tol, torowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api, (3) waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya, (4) pelabuhan, Bandar udara, dan terminal, (5) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi, (6) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik, (7) jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah, (8) tempat pembuangan dan pengolahan sampah, (9) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah, (10) fasilitas kesehatan umum, (11) tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah, (12) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik, (13) cagar alam dan cagar budaya, (14) kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/Desa, (15) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dengan status sewa, (16)
prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah, (17) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan (18) pasar umum dan lapangan parkir umum. Uraian pasal 9 tersebut telah mendifinisikan sendiri dan menentukan jenis-jenis pembangunan yang dikategorikan untuk kepentingan umum. dan akan menerapkannya sesuai dengan cakupan Undang-undang No. 2 tahun 2012. tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. c. Faktor Premanisme/Spekulan Premanisme, spekulan dapat menjadi hambatan dalam pembebasan lahan. Spekulan telah menguasai tanah-tanah yang diinginkan pemerintah, sehingga spekulan akan main dan menggetok harga yang tidak masuk akal. Melonjaknya harga tanah yang merupakan komponen penting dari pembangunan lanjutannya adalah akibat aksi dari 5
spekulan. Akibatnya pembangunan pun dapat berhenti karena harga tidak cukup tersedia dalam dokumen DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) untuk dana sektoral atau DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) untuk dana daerah. 3. Akibat dari Masalah Pembebasan lahan bisa menjadi kendala dalam penyerapan anggaran oleh satuan kerja. dan ini menjadi tanggung jawab KPA sebagai penguasa anggaran. Berdasarkan Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terdapat pemisahan kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara, yaitu pemisahan kewenangan antara kewenangan administratif (administrative beheer) dan kewenangan kebendaharaan (comptabel beheer). Di dalam Pengelolaan keuangan negara berdasarkan undang-undang tersebut di atas, maka menteri keuangan berfungsi CFO (chief Financial Officer) artinya, berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara. Sebagai yang memiliki kewenangan kebendaharaan, maka menteri keuangan ditunjuk selaku BUN (Bendahara Umum
Negara)
atau
fungsi-fungsi
pembayaran
(comptable).
Sedangkan
menteri
teknis/pimpinan lembaga selaku COO (Chief Operational Officer) artinya, bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Sebagai pemilik yang memiliki kewenangan administratif, maka menteri pimpinan/lembaga berwenang melakukan perikatan kontraknya atau tindakan-tindakan lainnya seperti pembebasan lahan yang mengakibatkan terjadinya penerimaan dan pengeluaran negara. Terkait dengan penyerapan anggaran maka penyelesaian pengadaan lahan yang tak kunjung selesai atau terlambat menyelesaikan sesuai dengan PP No. 71 tahun 2012 berakibat tertundanya pekerjaan lanjutan yang terkait, dan otomatis akan tertundanya kegiatan/program kerja kementerian/lembaga dan pada akhirnya tidak terealisasi anggaran yang disediakan. Di samping KPA sebagai pengguna anggaran/barang, Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ditunjuk sebagai pelaksana pengadaan juga bertanggung jawab atas pengadaan tanah, termasuk apabila terjadi kasus-kasus pengadaan lahan yang tidak sampai tuntas. Sekarang banyak tanah-tanah yang dikuasai spekulan, atau banyaknya preman yang ingin bermain semua itu merupakan hambatan. Namun terlepas dari masalah di lapangan akan menjadi tidak terserapnya anggaran yang tersedia. 4. Masalah dan Pemecahan Masalah 1. Identifikasi Masalah 6
Penyelasaian masalah pengadaan lahan sangat ditentukan oleh keinginan rakyat untuk ikut serta
berpartisipasi
dalam
pembangunan,
serta
kemampuan
pemerintah
untuk
memberikan pemahaman/pengertian betapa perlunya tanah untuk pembangunan. Kurangnya pemahaman aparat pemerintah terhadap kultur masyarakat setempat mengakibatkan tidak lancarnya proses penyelesaian pengadaan lahan. Perlu diinformasikan kepada rakyat bahwa tanah itu dibutuhkan karena akan digunakan untuk keperluan pembangunan yang pada akhirnya akan dapat menyejahterakan masyarakat.
2. Pemecahan Masalah
Aspek Sosiologis Rakyat Indonesia Penyelesaian sengketa hak atas tanah yang terjadi sekarang ini tidak dapat diatasi hanya dari segi yuridis formal belaka, tetapi juga harus mempertimbangkan pandangan yang hidup dari masyarakat tersebut. Faktor-faktor sosial ekonomi para penggarapnya yang secara turun temurun telah hidup dari tanah tersebut, sehingga mereka yakin bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa tanah. supaya tidak melanggar hak pemilik tanah, pengadaan tanah/lahan dilakukan dengan memerhatikan prinsip-prinsip kepentingan umum (public interest) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Aspek kebutuhan pemerintah Komunikasi yang bagus antara lembaga pemerintah terkait (Badan Pertahanan Nasional dengan satuan kerja pemilik proyek) dengan pemilik tanah. Kewenangan pengadaan lahan kini ada di tangan BPN. Tahapan proses pengadaan tanah dimulai dari inventarisasi kepemilikan, penilaian ganti rugi, musyawarah penetapan ganti rugi, pemberian ganti rugi, dan pelepasan tanah instansi. Untuk menyelesaikan konflik tanah adalah melalui hukum yang adil, dan menerapan aturan yang ada. Perlunya batas waktu negosiasi atas tanah atau lahan yang akan digunakan untuk proyek-proyek yang berkaitan dengan kepentingan umum, akan memberikan kepastian atas pelepasan hak atas tanah tersebut.
Aspek Premanisme Masalah terakhir yang tidak kalah pentingnya dan harus ditanggulangi, yakni spekulan, karena jika sudah menyangkut pembebasan lahan, spekulan akan bermain dengan harga
7
yang tidak masuk akal, dan hal tersebut bisa batal karena dananya tidak mencukupi. Oleh karena itu, harus ada aturan tanah-tanah yang dibutuhkan pemerintah tidak boleh diperjualbelikan atau dipindahtangankan, dan aparat hukum dapat memberikan warning/peringatan bahwa tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum. 5. Simpulan Semua materi yang diangkat diharapkan mampu menjawab permasalahan yang acap kali timbul dalam proses pengadaan tanah oleh pemerintah sehingga pembangunan yang berintikan pada kemakmuran dan keadilan dapat terwujud. Kasus tanah menjadi masalah di beberapa daerah. Bagi para petani tanah merupakan alat produksi, tumpuan harapan, di mana kehidupan diandalkan. Persoalan tanah selalu menjadi masalah: menyangkut pembebasan lahan, spekulan akan bermain dan menggetok harga yang tidak masuk akal. Akibatnya pembangunan pun berhenti karena harga tidak masuk pada perencanaan yang sudah dibuat. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah bahwa dengan masih banyaknya tanah-tanah bermasalah, harus diselesaikan oleh pemerintah demi untuk lancarnya mata rantai ekonomi. Oleh karena itu kepala kantor pemilik proyek dan BPN harus berperan aktif untuk menyelesaikan pengadaan lahan, dengan memberikan informasi dengan cara yang masuk logika mereka yang sederhana. Selanjutnya masalah ganti rugi memberikan ganti rugi dengan harga pasar, tidak di bawah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang “Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Darise, Nurlan. 2009. Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta: Indek. Kompas, “Inflasi dan Kebijakkan Fiskal”. Senin, 08-07-2013 hlm 15. Kompas, “Pengadaan Lahan Kunci Pembangunan”. Kamis, 21-02-2013 hlm. 17. Majalah “Prisma”. Tahun VIII September 1979 No. 9. http://sukirman.weebly.com/1/post/2011/2/hak-milik-berfungsi-sosial.html, diakses: 11-07-2013 10.30. *Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Malang 8